Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penggunaan bahasa latin dalam dunia praktek medis memiliki sejarah
yang sangat panjang, bisa dirunut hingga abad 1400-
an saat bahasa latin menjadi bahasa utama di bangsaEropa Barat. Saat ini,
penggunaan singkatan bahasa latin terbatas pada petunjuk pengambilanatau
penggunaan obat dalam resep.
Walaupun petunjuk penggunaan obat dalam resep ditulis oleh dokter
berupa singkatan bahasa latin tetapi karena singkatan itu telah lazim dan
disepakati oleh pihak yang bersangkutan, pelayan permintaan obat atas resep
dokter itu dalam apotek tidak mengalami kesulitan yang berarti. Akan lain halnya,
jika dokter menulis resep dengan singkatan yang tidak lazim baik singkatan yang
tidak lazim baik singkatan kata latin ataupun kata dari bahasa latin termasuk kata
umum Bahasa Indonesia, besar kemungkinan tidak akan dimengerti oleh petugas
apotek seingga dapat memperlambat pelayanan pada resep itu.
Pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang diselenggarakan secara
sendiri atau bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan
meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta
memulihkan kesehatan perorangan, keluarga, kelompok dan/atau masyarakat
(ISFI, 2004). Orientasi pelayanan kefarmasian pada saat ini telah bergeser, dari
obat ke pasien yang mengacu kepada pharmaceutical care. Sebagai konsekuensi
perubahan orientasi tersebut, apoteker dituntut untuk meningkatkan pengetahuan,
ketrampilan dan perilaku agar dapat melaksanakan interaksi langsung dengan
pasien (Depkes RI, 2006).
Pelayanan kefarmasian yang komprehensif meliputi dua kegiatan yaitu
memberikan rasa aman karena kesehatannya menjadi lebih baik dan
menghindarkan masyarakat dari sakit dan penyakit. Dalam proses pengobatan
penyakit berarti menjamin kualitas obat dan proses penggunaan obat untuk dapat
mencapai pengobatan maksimum dan terhindar dari efek sampingnya (ISFI,
2004). Apoteker juga harus memahami dan menyadari kemungkinan terjadinya

1
kesalahan pengobatan (medication error) dalam proses pelayanan (Depkes RI,
2006)
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa itu bahasa latin?
2. Bagaimana penulisan bahasa latin dalam resep?
1.3 Tujuan Masalah
1. Dapat mengetahui pengertian dari bahasa latin.
2. Dapat mengetahui alasan penggunaan singkatan bahasa latin dan angka
romawi dalamresep

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Dasar Teori
Resep harus mudah dibaca dan mengungkapkan dengan jelas apa yang
harus diberikan (Zunilda, 1998). Idealnya resep obat yang diberikan kepada
pasien tidak mengandung kesalahan dan berisi seluruh komponen yang diperlukan
pasien (Edwards dan Roden, 2001). Apabila apoteker menganggap pada resep
tidak dapat dibaca dengan jelas atau tidak lengkap, apoteker harus menanyakan
kepada penulis resep (Hartono, 2003).
Penulisan Resep Dalam resep harus memuat: nama dokter, nomor Surat
Izin Praktek dokter, alamat dokter, tanggal penulisan resep, tanda tangan dokter,
nama pasien, alamat, umur, berat badan, nama obat, dosis, jumlah yang diminta,
aturan pakai (Anonim, 2004). Resep yang mengandung narkotika harus ditulis
tersendiri yaitu tidak boleh ada iterasi (ulangan), ditulis dengan nama pasien
tidak boleh m.i.=mihi ipsi=untuk dipakai sendiri, alamat pasien dan aturan pakai
yang jelas, tidak boleh ditulis sudah tahu pakainya (Aniefa, 2000)
Resep adalah permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, atau dokter
hewan kepada apoteker, baik dalam bentuk paper maupun elektronik untuk
menyediakan dan menyerahkan obat bagi pasien sesuai peraturan yang berlaku
(Kemenkes, 2016).
Resep yang baik harus memuat cukup informasi yang memungkinkan ahli
farmasi yang bersangkutan mengerti obat apa yang akan diberikan kepada pasien.
Pengkajian resep adalah proses pengkajian terhadap penulisan resep oleh tenaga
kefarmasian yang dimulai dari seleksi administrasi, farmasetis, dan klinis baik
pada resep rawat jalan maupun rawat inap. Pengkajian resep dilakukan untuk
menganalisa adanya masalah terkait obat (Kemenkes, 2016).
Permasalahan yang timbul dalam pelayanan resep diantaranya penulisan
resep yang tidak terbaca, kurang lengkapnya informasi pasien, tidak tercantumnya
aturan pemakaian obat, dan tidak terdapat paraf dokter penulis resep (Cahyono,
2008).

3
Pengkajian resep harus sesuai dengan yang tertulis dalam Permenkes
Nomor 72 Tahun 2016, meliputi persyaratan administratif, farmasetis, dan klinis.
Aspek administratif merupakan skrining awal pada saat resep dilayani di farmasi.
Aspek administratif meliputi nama pasien, umur, jenis kelamin, berat badan
pasien, tinggi badan pasien, nama dokter, nomor izin, alamat, paraf dokter,
tanggal resep, dan ruangan atau unit asal resep. Ketidak lengkapan resep pada
aspek administratif dapat menyebabkan medication error. Akibat medication error
dapat menimbulkan kegagalan terapi dan efek obat yang tidak diharapakan
sehingga merugikan pasien (Megawati danSantoso, 2017).
Instalasi farmasi rumah sakit merupakan bagian yang berwenang dalam
penyelenggaraan pelayanan kefarmasian, sehingga harus dapat menjamin
pelayanan yang tepat dan sesuai dengan ketentuan standar pelayanan kefarmasian
yang telah ditetapkan (Yusuf, dkk., 2019).
2.1.1 Defenisi Resep
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 34
Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 58
Tahun 2014 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit,resep adalah
permintaan tertulis dari dokter dan dokter gigi, kepada apoteker, baik dalam
bentuk paper maupun elektronik untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi
pasien sesuai peraturan yang berlaku.9
2.1.2. Komponen Resep Resep yang lengkap memuat hal-hal berikut:
1. Inscriptio (nama dokter/dokter gigi, nomor izin praktik dokter/dokter gigi,
alamat dan tanggal penulisan resep)
2. Invocatio (tanda R/ pada bagian kiri setiap penulisan resep)
3. Praescriptio/ordonatio (nama obat, kekuatan obat, bentuk sediaan dan
jumlah setiap obat)
4. Signatura (tanda cara pakai dan dosis obat)
5. Subcriptio (tanda tangan atau paraf dokter penulis resep sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku)
6. Pro (nama, usia dan berat badan pasien)

4
2.1.3. Fungsi Komponen Resep
1. Inscriptio Menjelaskan identitas pemberi resep.Sebelum melayani suatu
resep, apoteker harus memastikan bahwa pemberi resepnya terpercaya dan
harus mampu menghubunginya melalui telepon bila muncul
pertanyaan.Tanggal penulisan resep perlu terletak di atas formulir resep atau
pada awal (batas kiri) lembar perintah. Karena lembar 7 perintah memiliki
makna legal dan biasanya memiliki hubungan waktu dengan tanggal
wawancara dokter-pasien, apoteker sebaiknya menolak melayani suatu resep
tanpa verifikasi melalui telepon jika waktu antara penulisan resep dan
penyampaian resep terlalu lama.
2. Invocatio Permintaan tertulis dokter dalam singkatan latin ”R/ = resipe”
artinya ambilah atau berikanlah, sebagai kata pembuka komunikasi dengan
apoteker di apotek.
3. Praescriptio/Ordonatio Menjelaskan obat, kekuatan dan jumlah yang akan
diberikan, dosis dan petunjuk lengkap pemakaian. Ketika menulis nama
obat dapat digunakan nama dagang atau nama generik. Jumlah obat yang
diresepkan seharusnya mencerminkan perkiraan lama pengobatan, biaya,
kebutuhan untuk hubungan berkelanjutan dengan klinik atau dokter,
kemungkinan penyalahgunaannya dan kemungkinan toksistas atau
kelebihan dosis.
4. Signatura Petunjuk pemakaian harus bersifat spesifik-obat dan spesifik-
pasien Semakin sederhana petunjuknya, semakin baik; dan semakin sedikit
jumlah dosis yang dipakai setiap hari, semakin baik. Untuk membantu
pasien mengingat kapan mereka perlu meminum/menggunakan obat pada
saat atau sekitar waktu makan dan sebelum tidur.
5. Subcriptio Tanda tangan pemberi resep dan data-data identifikasi lainnya.
6. Pro Mengidentifikasi nama dan alamat pasien. Nama dan alamat pasien perlu
ditulis dengan jelas.

5
2.1.4. Tanda-Tanda Pada Resep Tanda-tanda pada resep meliputi:
1. Tanda segera, dokter dapat memberi tanda dibagian kanan atas resepnya
dengan kata-kata: cito (segera), statim (penting), urgent (sangat penting),
P.I.M/pericum in mora (berbahaya jika ditunda). Urutan yang
didahulukan adalah P.I.M, urgent, statim, cito.
2. Tanda dapat atau tidak dapat diulang, jika dokter menghendaki agar
resepnya dapat diulang, maka dalam resep ditulis kata “iter/iteratie” dan
berapa kali resep dapat diulang. Jika dokter menghendaki agar resepnya
tidak boleh diulang tanpa sepengetahuannya, maka dapat dituliskan pada
resep tersebut dengan kata “n.i/ne iterator” (tidak dapat diulang).
2.1.5. Jenis-Jenis Resep Resep disebut juga formulae medicae yang terbagi atas:
1. Formulae offcinalis, yaitu resep yang tercantum dalam buku farmakope
atau buku lainnya dan merupakan standard (resep standar).
2. Formulae megistralis, yaitu resep yang ditulis oleh dokter.
2.1.6. Kesalahan Penulisan Kelengkapan Resep
Artikel yang diterbitkan oleh Majalah Farmasi Indonesia tahun 2002
dengan judul “Kajian Penulisan Resep: Tinjauan Aspek Legalitas dan
Kelengkapan Resep di Apotek-Apotek Kotamadya Yogyakarta”, hal-hal yang
berpotensi menimbulkan medication error adalah penulisan resep yang tidak jelas
maupun sukar dibaca dibagian nama obat, jumlah obat dalam resep racikan
maupun jumlah total obat, satuan metrik yang digunakan, bentuk sediaan yang
dimaksud, aturan pakai dan penulisan jumlah iterasi. Juga penulisan resep yang
tidak lengkap, seperti tidak mencantumkan dosis obat, satuan metrik dan bentuk
sediaan yang dimaksud oleh dokter, berpotensi menimbulkan medication error.
Tidak ditulisnya jumlah total obat maupun ketidakjelasan penulisannya
selain memperlambat pelayanan di apotek, juga merugikan pasien karena
berpengaruh terhadap hasil terapi dan harga obat yang harus ditanggung oleh
pasien. Tidak ditulisnya jumlah total obat dalam resep akan membingungkan
apoteker. Di lapangan kadang-kadang angka X (sepuluh) terlihat seperti L (lima
puluh) atau XI (sebelas).

6
Dari wawancara dengan responden, akibat penulisan jumlah obat dalam
bentuk desimal yang kurang jelas menyebabkan pemberian CTM over dosis pada
penderita usia balita (bayi). Bentuk sediaan dalam resep sering tidak tertulis
dengan jelas, sehingga apoteker terkadang "memperkirakan" sendiri apa yang
tertulis pada resep. Penelitian menemukan bahwa telah banyak terjadi perubahan
antara teori dengan kenyataan di lapangan.Sebagai contoh teori mengajarkan bila
resep tidak mencantumkan dosis obat, maka otomatis yang dimaksud adalah
terkecil.
Kenyataan di lapangan dari wawancara dengan beberapa apoteker ternyata
kekuatan obat yang dimaksud oleh dokter belum tentu yang terkecil. Pada
metronidazole, ada dokter yang berpendapat jika kekuatan obat tidak dicantumkan
dalam resep berarti yang dimaksud 500 mg bukan 250 mg. Dokter lain
berpendapat agar kekuatan obat yang disesuaikan/diperkirakan sendiri oleh
apoteker sesuai dengan usia penderita. Di lapangan satuan yang digunakan tidak
hanya satuan metrik “gram” namun juga "tablet", seperti CTM 1/4 tab (berarti 1/4
tablet).
Beberapa resep tidak menuliskan satuan ini, sehingga apoteker perlu
berhati-hati apakah yang dimaksudkan satuan metrik gram atau tablet. Contoh lain
pada kekuatan obat seperti Amoksisilin 500 (tanpa satuan). Selain berpotensi
menimbulkan medication error juga menyebabkan resep tersebut hanya berlaku
lokal tidak bersifat universal, contohnya Klorpromazin disingkat CPZ,
Haloperidol disingkat HPD, Dekstrometorfan disingkat DMP dan lain sebagainya.
2.2 Dokter
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 29 tahun 2014
tentang Praktik Kedokteran, dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis,
dokter gigi, dan dokter gigi spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau
kedokteran gigi baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh Pemerintah
Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang- undangan

7
2.3. Medication Error
1. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1027 Tahun 2004 tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, medication error adalah kejadian yang
merugikan pasien akibat pemakaian obat selama penanganan tenaga kesehatan,
yang sebetulnya dapat dicegah. Berdasarkan alur proses pengobatan, medication
error dapat dibagi menjadi 3, yaitu:
2., Prescribing error Prescribing error terjadi bila, sebagai akibat keputusan
peresepan atau proses penulisan resep, terjadi penurunan signifikan yang tidak
disengaja dalam probabilitas bahwa terapi diberikan tepat waktu dan efektif atau
terjadi peningkatan risiko harm (gangguan fisik, emosional atau fungsi fisiologis
atau struktur tubuh dan/atau nyeri yang diakibatkan oleh hal tersebut) bila
dibandingkan dengan praktik yang biasa dilakukan. Yang menyebabkan
prescribing erroradalah kurangnya pengetahuan atau informasi tentang pasien,
kurangnya pengetahuan dan informasi tentang obat, error dalam penghitungan
dosis, tidak memahami bentuk sediaan obat, salah penggunaan angka nol dan
posisi koma pada angka desimal, penggunaan cara pemberian obat yang tidak
biasa, rejimen dosis yang tidak biasa digunakan, rejimen dosis yang rumit.
Dispensing dan preparation error Biasanya dispensing error terjadi lebih
jarang daripada prescribing error, tetapi bisa menyebabkan harm yang serius pada
pasien.Dispensing error bisa terjadi dalam bentuk: salah obat, salah besar sediaan,
salah jumlah obat, salah petunjuk pemberian obat, salah nama/detail obat pada
label, salah besar sediaan pada label, salah bentuk sediaan, salah nama pasien
pada label, dan lain-lain. Menurut database DEAS (Dispensing Error Analysis
Scheme) di United Kingdom (UK), obat yang paling sering mengalami dispensing
error adalah prednisolon, MST (morphine sustained-release), isosorbid
mononitrat, warfarin, aspirin, lisinopril, karbamazepin, diklofenak, dan
flukloksasilin. Dispensing error yang melibatkan prednisolon, warfarin, lisinopril,
morfin dan karbamazepin diketahui bisa menyebabkan harm yang serius pada

8
pasien. Obat yang lebih jarang mengalami dispensing error tetapi menyebabkan
harm pada pasien misalnya siklosporin, digoksin, metotreksat, dan tramadol.
Administration error Administration error adalah setiap ketidaksesuaian
antara keinginan penulis resep dan terapi yang benar-benar diterima oleh pasien.
Pasien tidak menerima satu dosis obat ketika dosis berikutnya
Terdapat berbagai tipe administration error; sudah tiba waktunya. Misalnya:
pasien diresepkan fluklosasilin Pasien menerima dosis obat yang salah. Misalnya:
pasien
500 mg 4 kali sehari. Dosis pagi tidak diberikan. diresepkan aspirin 75 mg di
pagi hari, tetapi diberikan tablet 300 Pasien menerima obat yang tidak diresepkan
(wrong drug atau
mg, bukan yang 75 mg. wrong patient). Obat diberikan dalam bentuk sediaan
berbeda dari yang
 diresepkan. Misalnya: yang diresepkan adalah MST (morfin sulfat Pasien
mendapatkan obat pada waktu yang salah. Misalnya:
SR) 10 mg, tetapi yang diberikan morfin sulfat 10 mg (Sevredol). warfarin
diresepkan agar pasien mengkonsumsinya jam 6 sore.
tetapi dosisnya diberikan jam 6 pagi. pemberian. Misalnya: vinkristin untuk
pemberian intravena, tetapi Integritas fisik atau kimiawi obat telah terganggu.
Misalnya:
diberikan melalui intratekal. Infus diberikan dengan kecepatan yang salah.
Misalnya: infuse
vaksin diberikan, padahal tanggal kadaluwarsanya sudah lewat. Prosedur yang
digunakan untuk memberikan obat tidak benar
.diinginkan untuk diberikan 2 ml/jam, tetapi diberikan 20 ml/jam. Misalnya:
teknik inhaler yang salah, sehingga pasien mendapatkan Salah memanipulasi obat
sebelum pemberian. Misalnya: obat
dosis yang tidak memadai. Pasien mendapatkan dosis obat lebih dari yang
sudah diresepkan

9
.injeksi diencerkan dengan lidokain, bukan dengan larutan saline. Misalnya:
dosis obat kedua diberikan pada pasien tanpa mengetahui bahwa dosis tersebut
sebenarnya sudah diberikan.
Penyebab administration error bisa berupa resep yang ditulis dengan tulisan
tangan yang jelek, perintah verbal, penggunaan singkatan yang tidak benar dalam
peresepan, kesalahan penyalinan (transcription error), pelabelan yang tidak
memadai, masalah personal (kurangnya pengetahuan, kelelahan, penyakit, stress,
distraksi/pengganggu konsentrasi), nomenklatur obat (nama obat yang terlihat
atau terdengar mirip), kegagalan atau kerusakan alat, kesalahan 17 penghitungan
dosis, fasilitas pelayanan obat yang sangat sibuk, serta fasilitas penyimpanan obat
yang sesak dan tidak rapi.

10
BAB III
METODE PRAKTIKUM
3.1 Waktu dan Tempat
Pada kegiatan Praktikum Kimia Dasar tentang Hukum-Hukum Dasar
Kimia .ini dilaksanakan pada hari Senin, 11 September 2023, dimulai pada jam
07.00 s/d 10.00 WITA di Laboratorium Kimia Farmasi, Jurusan Farmasi, Fakultas
Olahraga dan Kesehatan Universitas Negeri Gorontalo.
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
Alat yang di gunakan dalam praktikum farmasetika dasar percobaan resep dan
Salinan resep adalah pulpen, kertas, mims dan ilmu resep.
3.2.2 Bahan
Bahan yang di gunakan dalam praktikum farmasetika dasar percobaan resep dan
Salinan resep adalah resep, Salinan resep dan etiket dan diskrining resep
3.3 Prosedur Kerja
3.3.1 Bahasa latin resep
1. Disiapkan alat dan bahan yang di gunakan
2. Dimulai dengan mengamati resep obat dan mulai membaca nama latinnya
3. Dicatat nama latin yang ada di setiap resep obat tersebut
4. Diterjemahkan nama latin yang sudah di catat
3.3.2 Salinan Resep
1. Disiapkan alat dan bahan yang di gunakan
2. Dimulai dengan memebuat format Salinan resep
3. Ditulis sesuai dengan resep yang sudah di baca
4. Diskrining Salinan resep yang telah di buat

11
BAB I V
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Pengamatan

4.2 Pembahasan
Aliupurinol adalah obat yang digunakan untuk mengobati asam urat dalam
darah dan komplikasinya. Aliupurinol termasuk golongan oksidasi inhibitor yang
bekerja dengan cara menghambat enzim sehingga mengurangi pembentukan asam
urat dan menghambat sintesis purin
Mekanisme kerja obat ini adalah dengan cara menghambat siyantine
oksidasi enzim ini menghambat pembentukan hipositin menjadi sianin ke asam
urat mengurangi produksi asam urat tanpa mengganggu sintesis dikonsumsi
dengan dosis awal 300 mg satu kali sehari.

12
Dosis oral satu kali sehari setelah makan dewasa dosis awal 100 mg per hari
dapat ditingkatkan tergantung respon 100 sampai 200 mg per hari untuk kondisi
ringan 300 sampai 600 mg per hari untuk kondisi sedang dan parah.

BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Resep adalah panduan tertulis yang digunakan oleh profesional medis
untuk memberikan instruksi kepada pasien atau apoteker tentang jenis dan dosis
obat yang harus diambil.
Salinan resep adalah salinan atau duplikat dari resep asli yang diberikan
kepada pasien atau digunakan oleh apoteker untuk mengisi obat yang diresepkan.
Resep harus ditulis dengan jelas dan akurat oleh dokter atau profesional
medis yang berkualifikasi. Hal ini penting untuk memastikan pasien menerima
perawatan yang tepat. Penting untuk mengikuti resep dengan seksama, termasuk
dosis dan petunjuk penggunaan obat, untuk memastikan efektivitas pengobatan
dan menghindari efek samping yang tidak diinginkan.Salinan resep harus dijaga
dengan baik dan tidak boleh digunakan untuk mengambil obat tanpa pengawasan
medis yang tepat.
Kesalahan dalam mengikuti resep atau penggunaan salinan resep yang
tidak sah dapat berdampak negatif pada kesehatan pasien. Oleh karena itu,
perhatian dan kepatuhan yang baik terhadap resep sangat penting.
5.2 Saran
Ada baiknya praktikum lebih teratur dan terarah agar praktikan dapat
memahami apa yang di praktikumkan.

13

Anda mungkin juga menyukai