Oleh :
Hasan
I1A001055
Pembimbing
Dra. Sulistianingtyas, Apt
Laboratorium Farmasi
Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat
Banjarbaru
Februari 2007
BAB I
PENDAHULUAN
Definisi
Menurut SK. Mes. Kes. No. 922/Men.Kes/ l.h menyebutkan bahwa resep
adalah permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, atau dokter hewan kepada
Apoteker Pengelola Apotek (APA) untuk menyediakan dan menyerahkan obat
bagi penderita sesuai peraturan perundangan yang berlaku(1).
Resep dalam arti yang sempit ialah suatu permintaan tertulis dari dokter,
dokter gigi, atau dokter hewan kepada apoteker untuk membuatkan obat dalam
bentuk tertentu dan menyerahkannya kepada penderita(2).
Arti Resep(1)
1. Dari definisi tersebut maka resep bisa diartikan/merupakan sarana komunikasi
profesional antara dokter (penulis resep), APA (apoteker penyedia/pembuat
obat), dan penderita (yang menggunakan obat).
2. Resep ditulis dalam rangka memesan obat untuk pengobatan penderita, maka
isi resep merupakan refleksi proses pengobatan. Agar pengobatan berhasil,
resepnya harus benar dan rasional.
B.
Kertas Resep(2)
Resep dituliskan di atas suatu kertas resep. Ukuran yang ideal ialah lebar
10-12 cm dan panjang 15-18 cm. Untuk dokumentasi, pemberian obat kepada
penderita memang seharusnya dengan resep; permintaan obat melalui telepon
hendaknya dihindarkan.
Blanko kertas resep hendaknya oleh dokter disimpan di tempat yang aman
untuk menghindarkan dicuri atau disalahgunakan oleh orang yang tidak
bertanggung jawab, antara lain dengan menuliskan resep palsu meminta obat bius.
Kertas resep harus disimpan, diatur menurut urutan tanggal dan nomor
urut pembuatan serta disimpan sekurang-kurangnya selama tiga tahun. Setelah
lewat tiga tahun, resep-resep oleh apotek boleh dimusnahkan dengan membuat
berita
acara
pemusnahan
seperti
diatur
dalam
SK.Menkes
RI
C.
Nama dan alamat dokter serta nomor surat izin praktek, dan dapat
pula dilengkapi dengan nomor telepon, jam, dan hari praktek.
2.
3.
4.
Nama setiap jenis atau bahan obat yang diberikan serta jumlahnya
(inscriptio)
a) Jenis/bahan obat dalam resep terdiri dari :
Remedium cardinale atau obat pokok yang mutlak harus ada. Obat
pokok ini dapat berupa bahan tunggal, tetapi juga dapat terdiri dari
beberapa bahan.
Remedium adjuvans, yaitu bahan yang membantu kerja obat pokok;
adjuvans tidak mutlak perlu ada dalam tiap resep.
Corrigens, hanya kalau diperlukan untuk memperbaiki rasa, warna
atau bau obat (corrigens saporis, coloris dan odoris)
Constituens atau vehikulum, seringkali perlu, terutama kalau resep
berupa komposisi dokter sendiri dan bukan obat jadi. Misalnya
konstituens obat minum air.
b) Jumlah bahan obat dalam resep dinyatakan dalam suatu berat untuk
bahan padat (mikrogram, miligram, gram) dan satuan isi untuk cairan
(tetes, milimeter, liter).
Perlu diingat bahwa dengan menuliskan angka tanpa keterangan lain, yang
dimaksud ialah gram
5.
Cara
pembuatan
atau
bentuk
sediaan
yang
dikehendaki
(subscriptio) misalnya f.l.a. pulv = fac lege artis pulveres = buatlah sesuai
aturan obat berupa puyer.
6.
7.
8.
D.
yaitu setelah menentukan anamnesis, diagnosis dan prognosis serta terapi yang
akan diberikan; terapi dapat profilaktik, simptomatik atau kausal. Penulisan resep
yang tepat dan rasional merupakan penerapan berbagai ilmu, karena begitu
banyak variabel-variabel yang harus diperhatikan, maupun variabel unsur obat
dan kemungkinan kombinasi obat, ataupun variabel penderitanya secara
individual (1).
Resep yang jelas adalah tulisannya terbaca. Misalnya nama obatnya ditulis
secara betul dan sempurna/lengkap. Nama obat harus ditulis yang betul, hal ini
perlu mendapat perhatian karena banyak obat yang tulisannya atau bunyinya
hampir sama, sedangkan khasiatnya berbeda (2).
Resep yang tepat, aman, dan rasional adalah resep yang memenuhi lima
tepat, ialah sebagai berikut : setelah diagnosanya tepat maka kemudian memilih
obatnya tepat yang sesuai dengan penyakitnya diberikan dengan dosis yang
tepat dalam bentuk sediaan yang tepat, diberikan pada waktu yang tepat
dengan cara yang tepat untuk penderita yang tepat (2).
Penulisan resep yang tidak rasional meliputi :(2)
1. Memberikan shotgun prescription yaitu (6-10) obat dalam satu resep.
Kemungkinan interaksi antar obat akan besar, bila n jenis obat diberikan
sekaligus.
2. Jumlah obat terlalu banyak, kecuali untuk penyakit yang kronis (misalnya
untuk tuberculosis).
3. Untuk obat jenis antibiotika penderita jangan menghentikan minum obat lebih
awal karena penderita merasa sudah sembuh.
4.
BAB II
ANALISA RESEP
A. Keterangan Resep
Klinik
: Penyakit Dalam
Tanggal
: 2 Januari 2007
Nama Pasien
: Ny. T
Umur
: 50 tahun
No. RMK
: 664866
Alamat
Pekerjaan
: Swasta
Diagnosa
B. Analisa Resep
a. Penulisan Resep
Pada resep ini ukuran kertas yang digunakan lebarnya 11 cm dan
panjangnya 21 cm. Ukuran kertas resep yang ideal adalah lebar 10-12 cm dan
panjang 15-18 cm(2) Berdasarkan ketentuan tersebut, ukuran kertas yang
digunakan pada resep ini, lebarnya sudah ideal tapi masih terlalu panjang.
Penulisan pada resep ini bisa dibaca tapi masih kurang jelas. Pada
penulisan resep yang benar tulisan harus dapat dibaca dengan jelas agar tidak
terjadi kesalahan dalam pemberian obat. Urutan penulisan resep kurang tepat
karena obat kausatif sebagai obat utama ditulis pada urutan kedua seharusnya
ditulis pada bagian pertama.
b. Kelengkapan Resep
1. Pada resep ini ditulis nama dokter dan dokter yang menuliskan resep ini telah
diberi tanda dengan jelas. Tidak ada dicantumkan surat izin praktek.
2. Nama kota serta tanggal resep sudah ditulis oleh dokter.
3. Tanda R/ juga sudah tercantum pada resep ini (superscriptio)
4. Inscriptio
a) Jenis/bahan obat dalam resep ini terdiri dari :
Remedium
Cardinale
atau
7. Nama penderita di belakang tidak di dahului kata Pro serta umur. alamat tidak
ada. Seharusnya identitas penderita ditulis lengkap sehingga mudah
menelusuri bila terjadi sesuatu dengan obat pada penderita.
c. Obat yang Digunakan
a) Amoksisilin
Amoksisilin merupakan turunan ampisilin yang hanya berbeda pada satu
gugus hidroksil dan memiliki spektrum antibakteri yang sama. Obat ini lebih
mudah diserap di usus dan diabsorpsi lebih baik bila diberikan per oral dan
menghasilkan kadar yang lebih tinggi dalam plasma dan jaringan. Tidak seperti
ampisilin, absorpsinya tidak terganggu dengan adanya makanan dalam lambung.
Distribusi amoksisilin secara garis besar sama dengan ampisilin yaitu
didistribusikan luas di dalam tubuh dan pengikatnya oleh protein plasma hanya
20%. Amoksisilin masuk ke dalam empedu mengalami siklus enterohepatik, tetapi
yang diekskresi bersama tinja jumlahnya cukup tinggi. Penetrasi ke CSS dapat
mencapai kadar yang efektif pada peradangan meningen.(3,6,7,8)
Dosis oral dewasa 250-500 mg tiap 8 jam. Infeksi saluran napas
berat/berulang 3 gram tiap 12 jam, anak kurang dari 10 tahun 125-250 mg tiap 8
jam. Pada infeksi berat dapat diberikan dua kali lebih tinggi. Injeksi intramuskular
dewasa 500 mg tiap 8 jam. Anak 50-100 mg/hari dalam dosis terbagi. Injeksi
intravena atau infus 500 mg tiap 8 jam, dapat dinaikkan sampai 1 gram tiap 6 jam.
Anak 50-100 mg/hari dalam dosis terbagi.(3)
Bentuk sediaan amoksisilin adalah kapsul 250 mg dan kaptab 500 mg;
serbuk Injeksi 1 gram/vial; sirup kering 125 mg/5 ml, 250 mg/5 ml.(3)
10
Pada resep ini, dosis yang diberikan sudah sesuai yaitu 3x500 mg sehari.
b) Ambroxol
Ambroxol merupakan mukolitik yaitu obat yang dapat mengencerkan
sekret saluran napas dengan jalan memecah benang-benang mukoprotein dan
mukopolisakarida dari sputum sehingga pengeluaran dahak dipermudah. Obat ini
dapat meringankan perasaan sesak napas dan terutama berguna pada serangan
asma berat yang dapat mematikan bila sumbatan lendir sedemikian kental
sehingga tidak dapat dikeluarkan.(6) Dosis dewasa dan anak > 12 tahun 30 mg
3x/hari selama 2-3 hari 1, kemudian 15 mg 3x/hari. Anak 5-15 tahun 15 mg
3x/hari, 2-5 tahun 7,5 mg 3 x/hari, < 2 tahun 7,5 mg 2 x/hari. Pada resep ini dosis
yang diberikan sudah sesuai yaitu 3 x 1 tablet (30 mg) setiap hari.(3,9)
C) Parasetamol
Asetaminofen merupakan metabolit fenasetin yang bekerja dengan
menghambat prostaglandin. Resorpsinya dari usus cepat dan praktis tuntas, secara
rektal lebih lambat. Kadar puncak dalam darah biasanya tercapai dalam waktu 3060 menit. Dalam hati, zat ini diuraikan menjadi metabolit-metabolit toksis yang
diekskresi dengan kemih sebagai konjugat-glukoronidase dan sulfat. (4,6)
Walaupun efek analgesik dan antipiretiknya setara dengan aspirin,
asetaminofen berbeda karena tidak adanya efek anti inflamasi. Efek samping
antara lain reaksi hipersensitivitas, pada dosis besar dapat menyebabkan
hepatotoksisitas. Gejala dini kerusakan hati meliputi mual, muntah, diare dan
nyeri abdomen. (4,6)
11
d. Bentuk Sediaan
Bentuk sediaan yang diberikan dalam bentuk tablet, sudah sesuai karena
pasien dewasa dan tidak ada gangguan menelan. Pada resep ini, Amoksisilin dan
parasetamoltidak ditulis bentuk sediaannya,tetapi hanya ditulis amoksisilin 500
mg.
12
13
positif, dan bakteri atipik kecuali pada keadaan dicurigai ada infeksi bakteri gram
negatif (penyakit/gangguan pernapasan kronik) dan bahkan anaerob seperti
sinusitis, bronkiektasis atau penyakit paru obstruksi kronik (PPOK).(10)
14
BAB III
KESIMPULAN
15
Usulan Resep
PROPINSI PEMERINTAH DAERAH TINGKAT I
KALIMANTAN SELATAN
Pro
: N. Tresita
Umur
: 50 tahun
Alamat
16
DAFTAR PUSTAKA
1. Lestari, CS. Seni Menulis Resep Teori dan Praktek. PT Pertja. Jakarta, 2001
2. Joenoes, Nanizar Zaman. Ars Prescribendi Penulisan Resep yang
Rasional 1. Airlangga University Press. Surabaya, 1995.
3. Darmansjah, I dkk. Informatorium Obat Nasional Indonesia 2000. Depkes RI
Dirjen POM. Jakarta, 2000.
4. Winotopradjoko, M dkk. Informasi Spesialite Obat Indonesia. Ikatan Sarjana
Farmasi Indonesia. Akarta, Volume 39, 2004.
5. Hardjasaputra, S.L.P dkk. Data Obat di Indonesia edisi 10. Grafidian
Medipress. Jakarta, 2002.
6. Tjay dan Kirana. Obat-Obat Penting. Elex Media Komputindo. Jakarta, 1991.
7. Ganiswarna, S.G (ed). Farmakologi dan Terapi edisi 4. Bagian Farmakologi
FKUI. Jakarta, 1995.
8. Katzung, BG. Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi 3.EGC. Jakarta; 1989
9. Amin, Muhammad dkk. Ilmu Penyakit Parui. Airlangga University Press.
Surabaya, 1989.
10. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Asma Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan Di Indonesia. Balai penerbit FKUI. Jakarta, 1999.
17