Anda di halaman 1dari 16

Resep yang lengkap memuat :

1.

Nama, alamat & nomor izin praktek dokter, dokter gigi, atau dokter hewan

2.

Tanggal penulisan resep ( Inscriptio )

3.

Tanda R/ pada bagian kiri setiap penulisan resep (Invocatio)

4.

Nama setiap obat dan komposisinya (prescriptio/ordonantio)

5.

Aturan pemakaian obat ( Signatura )

6.

Tanda tangan atau paraf dokter penulis resep (Subscriptio)

7.

Nama pasien, umur, BB, dan alamat pasien. Untuk resep dokter hewan, Jenis
hewan & nama serta alamat pemiliknya.

Resep ada 2 jenis, yaitu :


1. Formula Magistrales
Yaitu resep yang dibuat atau dirancang sendiri oleh dokter yang menulis resep
2. Formula Officinales
Yaitu resep yang berasal dari buku-buku resemi, seperti Fornas, Formin
Resep yang memerlukan pelayanan segera :
Dokter dapat memberi tanda dibagian kanan atas resepnya dengan kata-kata :
1. Cito (segera)
2. Statim (Penting)
3. Urgent (Sangat Penting)
4. PIM/Periculum In Mora (berbahaya jika ditunda)
Urutan yang didahulukan PIM, Urgent, Statim, Cito
Resep harus dirahasiakan dan disimpan di apotek menurut urutan tanggal dan nomor urut
penerimaan resep. Penyimpanan untuk resep narkotika harus dipisah dari resep lainnya. Lama
penyimpanan resep-resep ini dalam jangka waktu 3 tahun. Setelah 3 tahun, resep-resep
tersebut dapat dimusnahkan oleh Apoteker Pengelola Apotek dengan disaksikan sekurangkurangnya oleh seorang petugas apotek dan dibuatkan berita acara pemusnahannya.
Ketentuan dalam Pengarsipan Resep
1.

Resep disimpan berdasarkan nomor urut per hari

2.

Lalu di buat bundelan perbulan

3.

Bundelan berdasarkan penggolongan obat yang ada dalam resep. Ada 3 jenis
bundelan resep :
a.

Obat

Narkotika,

b.

Obat

Psikotropika,

c. Obat Bebas + Bebas Terbatas + Obat Keras


Resep Narkotika
Syarat dan penanganan resep narkotika yang dapat diterima oleh Apotek, yaitu :
1.

Resep

harus

a.
b. Ada
c. Tidak

diskrining

Harus
nama
boleh

penderita
ada

tulisan

resep

asli

dan

terlebih

(bukan

alamat

Iter

dahulu

dimana
copy

lengkapnya

yang

artinya

yang
dapat

resep)
jelas
diulang

d. Aturan pakai yang jelas, dan tidak boleh ada tulisan UC (Usus Cognitus) yang
artinya Cara pakai
2.

Obat

diketahui
narkotika

di

dalam

resep

diberi

garis

bawah

tinta

merah

3. Resep yang mengandung narkotika tidak boleh diulang, tetapi harus dibuat resep baru
4.

Resep yang mengandung narkotika harus disimpan terpisah dari resep lain.

5. Jika pasien hanya meminta obat narkotika yang diresepkan, maka di perbolehkan
untuk dibuatkan copy resep bagi pasien tersebut, tetapi copy resep tersebut hanya dpt di tebus
kembali di apotek tersebut yang menyimpan resep aslinya, tidak bisa di apotek lain.
6. Jika pasien sedang berada di luar kota, maka copy resep tetap tidak bisa ditebus,
melainkan harus dibuatkan resep baru dari dokter di daerah/ kota tersebut dengan
menunjukkan copy resep yg dibawa, sehingga pasien tetap bisa memperoleh obatnya.
Pemusnahan Resep
1.

Resep yang telah disimpan melebihi 3 tahun dapat dimusnahkan

2.

Pemusnahan resep dilakukan dengan cara dibakar atau dengan cara lain yang
memadai, oleh APA bersama dangan sekurang-kurangnya petugas apotek

3.

Pada pemusnahan resep harus dibuat berita acara pemusnahan sesuai dengan bentuk
yang telah ditentukan dalam rangkap empat dan ditandatangani oleh APA bersama
dengan petugas apotek yang menyaksikan

Pelayanan Farmasi di Apotek


DETAIL PELAYANAN DI APOTEK
1.

1. PELAYANAN RESEP

1.

A. Pengelolaan Resep

Resep adalah permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, dokter hewan kepada apoteker
untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi pasien sesuai peraturan perundangan yang
berlaku. (Kep.Menkes, No. 1027 tahun 2004)
Pasal 15 ayat 1 Permenkes No. 922 tahun 1993 Apotek wajib melayani resep dokter, dokter
gigi dan dokter hewan.
Permenkes No. 26 tahun 1981 pasal 10 menyebutkan resep harus ditulis dengan jelas dan
lengkap selain itu dalam Kepmenkes No. 280 tahun 1981;
Pasal 2, Resep harus memuat:
1.
Nama, alamat dan nomor izin praktek dokter, dokter gigi atau dokter hewan
2.
Tanggal penulisan resep, nama setiap obat atau komposisi obat
3.
Tanda R/ pada bagian kiri setiap penulisan resep
4.
Tanda tangan atau paraf dokter penulis resep, sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku
5.
Jenis hewan dan nama serta alamt pemiliknya untuk resep dokter hewan
6.
Tanda seru dan paraf dokter untuk resep yang mengandung obat yang jumlahnya
melebihi dosis maksimal
Pasal 3 disebutkan juga bahwa :
1.
Resep dokter hewan hanya ditujukan untuk penggunaan pada hewan
2.
Resep yang mengandung narkotika harus ditulis tersendiri sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 4 tertulis :
1.
Untuk penderita yang memerlukan pengobatan segera, dokter dapat memberi tanda
segera, cito, statim atau urgent pada bagian atas kanan resep
2.
Apoteker harus mendahulukan pelayanan resep dimaksud ayat 1 pasal ini.

Pasal 5 menyebutkan bahwa; apoteker tidak dibenarkan mengulangi penyerahan obat atas
dasar resep yang sama apabila :
1.
Pada resep aslinya diberi tanda n.i, ne iteratur atau tidak boleh diulang
2.
Resep aslinya mengandung narkotika atau obat lain yang oleh menteri c.q direktur
jenderal ditetapkan sebagai obat yang tidak boleh diulang tanpa resep baru.
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1027/MENKES/SK/IX/2004, Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek, Standar
pelayanan resep di apotik adalah sebagai berikut.
1. Pelayanan Resep.
1.1. Skrining resep.
Apoteker melakukan skrining resep meliputi :
1.1.1. Persyaratan administratif :
Nama,SIP dan alamat dokter.
Tanggal penulisan resep.
Tanda tangan/paraf dokter penulis resep.
Nama, alamat, umur, jenis kelamin, dan berat badan pasien.
Nama obat , potensi, dosis, jumlah yang minta.
Cara pemakaian yang jelas.
Informasi lainnya.
1.1.2. Kesesuaian farmasetik: bentuk sediaan, dosis,potensi, stabilitas, inkompatibilitas, cara
dan lama pemberian.
1.1.3. Pertimbangan klinis: adanya alergi, efek samping, interaksi, kesesuaian (dosis, durasi,
jumlah obat dan lain-lain). Jika ada keraguan terhadap resep hendaknya dikonsultasikan

kepada dokter penulis resep dengan memberikan pertimbangan dan alternatif seperlunya
bila perlu menggunakan persetujuan setelah pemberitahuan.
1.2. Penyiapan obat.
1.2.1. Peracikan.
Merupakan kegiatan menyiapkan, menimbang, mencampur, mengemas dan memberikan
etiket pada wadah. Dalam melaksanakan peracikan obat harus dibuat suatu prosedur tetap
dengan memperhatikan dosis, jenis dan jumlah obat serta penulisan etiket yang benar.
1.2.2. Etiket.
Etiket harus jelas dan dapat dibaca.
1.2.3. Kemasan obat yang diserahkan.
Obat hendaknya dikemas dengan rapi dalam kemasan yang cocok sehingga terjaga
kualitasnya.
1.2.4. Penyerahan Obat.
Sebelum obat diserahkan pada pasien harus dilakukan pemeriksaan akhir terhadap
kesesuaian antara obat dengan resep. Penyerahan obat dilakukan oleh apoteker disertai
pemberian informasi obat dan konseling kepada pasien dan tenaga kesehatan.
1.2.5. Informasi Obat.
Apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas dan mudah dimengerti, akurat, tidak
bias, etis, bijaksana, dan terkini. Informasi obat pada pasien sekurang-kurangnya meliputi:
cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, aktivitas serta
makanan dan minuman yang harus dihindari selama terapi.
1.2.6. Konseling.

Apoteker harus memberikan konseling, mengenai sediaan farmasi, pengobatan dan


perbekalan kesehatan lainnya, sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup pasien atau yang
bersangkutan terhindar dari bahaya penyalahgunaan atau penggunaan salah sediaan
farmasi atau perbekalan kesehatan lainnya. Untuk penderita penyakit tertentu seperti
cardiovascular, diabetes, TBC, asthma, dan penyakit kronis lainnya, apoteker harus
memberikan konseling secara berkelanjutan.
1.2.7. Monitoring Penggunaan Obat.
Setelah penyerahan obat kepada pasien, apoteker harus melaksanakan pemantauan
penggunaan obat, terutama untuk pasien tertentu seperti cardiovascular, diabetes , TBC,
asthma, dan penyakit kronis lainnya.
Penyimpanan obat juga diatur dalam Kepmenkes No. 1332 tahun 2002 pasal 12 ayat 1 yang
menyebutkan bahwa apoteker berkewajiban menyediakan, menyimpan dan menyerahkan
sediaan farmasi yang bermutu baik dan yang keabsahannya terjamin.
Dalam Permenkes No. 922 tahun 1993 juga menjelaskan:
Pasal 14
1.
2.

Apotik wajib melayani resep dokter, dokter gigi dan dokter hewan.
Pelayanan resep dimaksud dalam ayat (1) sepenuhnya atas tanggung jawab Apoteker
Pengelola Apotik.

Pasal 15
1.

Apoteker wajib melayani resep sesuai dengan tanggung jawab dan keahlian profesinya
yang dilandasi pada kepentingan masyarakat.
2.
Apoteker tidak diizinkan untuk mengganti obat generik yang ditulis didalam resep dengan
obat paten.
3.
Dalam hal pasien tidak mampu menbus obat yang tertulis dalam resep, Apoteker wajib
berkonsultasi dengan dokter untuk pemilihan obat yang lebih tepat.
4.
Apoteker wajib memberikan informasi :
1.
Yang berkaitan dengan penggunaan obat yang diserahkan kepada pasien.
2.
Penggunaan obat secara tepat, aman, rasional atas permintaan masyarakat.

Pasal 16

1.

Apabila Apoteker menganggap bahwa dalam resep terdapat kekeliruan atau penulisan
resep yang tidak tepat, Apoteker harus memberitahukan kepada dokter penulis resep.
2.
Apabila dalam hal dimaksud ayat (1) karena pertimbangan tertentu dokter penulis resep
tetap pada pendiriannya, dokter wajib menyatakannya secara tertulis atau membubuhkan
tanda tangan yang lazim diatas resep.

B. Salinan Resep
Salinan resep diatur dalam kepmenkes No. 280 tahun 1981 tentang Ketentuan dan Tata
Cara Pengelolaan Apotek, disebutkan bahwa salinan resep adalah salinan yang dibuat oleh
apotek, yang selain memuat semua keterangan yang terdapat dalam resep asli, harus
memuat pula:
1.
2.
3.
4.

Nama dan alamat Apotek


Nama dan nomor Surat Izin Pengelola Apotek
Tanda tangan atau paraf apoteker pengelola apotek
Tanda det atau detur untuk obat yang sudah diserahkan; tanda nedet atau ne detur
untuk obat yang belum diserahkan
5.
Nomor resep dan tanggal pembuatan

Permenkes No. 922 tahun 1993 pasal 17 menyebutkan bahwa:


Ayat 1 :

Salinan resep harus ditandatangani apoteker

Ayat 3 :

Resep atau salinan resep hanya boleh diperlihatkan kepada dokter penulis resep

atau yang merawat penderita, penderita yang bersangkutan, petugas kesehatan atau
petugas lain yang berwenang merut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
C. Penyimpana dan pemusnahan resep
Di Apotek, bila obatnya sudah diserahkan kepada penderita, menurut Peraturan Pemerintah
kertas resep harus disimpan, diatur menurut urutan tanggal dan nomor urut pembuatan,
serta harus disimpan sekurang-kurangnya selama tiga tahun. Kegunaan hal akhir ini adalah
untuk memungkinkan penelusuran kembali bila setelah sekian waktu terjadi suatu akibat dari
obat yang diberikan. Setelah lewat waktu tiga tahun, resep-resep oleh Apotek boleh
dimusnahkan dengan membuat proses verbal (berita acara) pemusnahan. (SK Menkes RI
no. 280/MenKes/SK/V/1981 mengenai penyimpanan Resep di Apotek).
Secara jelas dalam pasal 7 Kepmenkes No. 280 Tahun 1981 mengatur tentang tata cara
penyimpanan dan pemusnahan resep sebagai berikut:

1.

2.
3.
4.

5.

1.

Apoteker Pengelola Apotek mengatur resep yang tealh dikerjakan menurut urutan
tanggal dan nomor urutan penerimaan resep dan harus disimpan sekurangkurangnya tiga
tahun.
Resep yang mengandung Narkotika harus dipisahkan dengan resep lainnya.
Resep yang telah disimpan melebihi jangka waktu dimaksud ayat 1 pasal ini dapat
dimusnahkan.
Pemusnahan resep dimaksud dalam ayat 3 pasal ini, dilakukan dengan cara dibakar atau
dengan cara lain yang memadai oleh Apoteker Pengelola Apotek bersama dengan
sekurangkurangnya petugas apotek.
Pada pemusnahan resep, harus dibuat Berita cara pemusnahan sesuai dengan bentuk
yang telah ditentukan dalam rangkap empat dan ditandatangani oleh mereka yang
dimaksud pada ayat 4 pasal ini.
2. PELAYANAN OBAT WAJIB APOTEK (OWA)

Keputusan Menteri Kesehatan Nomor : 347/ MenKes/SK/VII/1990 Tentang Obat Wajib


Apotik, mendefenisikan Obat Wajib Apotek (OWA) yaitu obat keras yang dapat diserahkan
oleh Apoteker kepada pasien di Apotik tanpa resep dokter. Yang pada diktum ke dua pada
putusan, dijelaskan bahwa Obat yang termasuk dalam OBAT WAJIB APOTIK ditetapkan
oleh Menteri Kesehatan.
Permenkes No. 919 tahun 1993 juga mengatur tentang kriteria obat yang dapat diserahkan
tanpa resep yakni sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
5.

Tidak dikontaraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil, anak dibawa usia 2
tahun dan orang tua diatas 65 tahun
Pengobatan sendiri dengan obat yang dimaksud tidak memberikan resiko pada
kelanjutan penyakit
Penggunaannya tidak memerlukan cara dan alat khusus yang harus dilakukan oleh
tenaga kesehatan
Penggunaan diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di Indonesia
Obat dimaksud memiliki resiko khasiat keamanan yang dapat dipertanggungjawabkan
untuk pengobatan sendiri.

Pada diktum ke empat dalam putusan Menteri Kesehatan Nomor : 347/


MenKes/SK/VII/1990, juga di tuliskan Apoteker di Apotik dalam melayani pasien yang
memerlukan obat dimaksud diktum kedua (Obat yang termasuk dalam OBAT WAJIB
APOTIK ditetapkan oleh Menteri Kesehatan) diwajibkan :
1.

Memenuhi ketentuan dan batasan tiap jenis obat per pasien yang disebutkan dalam Obat
Wajib Apotik yang bersangkutan.

2.
3.

Membuat catatan pasien serta obat yang telah diserahkan.


Memberikan informasi meliputi dosis dan aturan pakainya, kontraindikasi, efek samping
dan lain-lain yang perlu diperhatikan oleh pasien.

Jenis obat yang temasuk dalam daftar OWA, tertulis dalam kepmenkes tentang OWA 1,
OWA 2, dan OWA 3. Dalam OWA 2 merupakan tambahan dari daftar obat yang telah
ditetapkan dalam OWA 1, demikian juga OWA 3, merupakan tambahan dari OWA 1 dan
OWA 2.
1.

3. PELAYANAN OBAT BEBAS (OB) DAN OBAT BEBAS TERBATAS (OBT)

Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik, Ditjen Bina Kefarmasian Dan Alat Kesehatan,
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, pada tahun 2006, menerbitkan Pedoman
Penggunaan Obat Bebas Dan Bebas Terbatas diamana penyusunan pedoman tersebut
ditujukan Sebagai pedoman bagi masyarakat yang ingin melakukan swamedikasi dan
sebagai bahan bacaan Apoteker untuk membantu masyarakat dalam melakukan
swamedikasi.
Dalam pedoman tersebut, Obat Bebas (OB) di defenisikan sebagai obat yang dijual bebas
di pasaran dan dapat dibeli tanpa resep dokter. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat
bebas adalah lingkaran hijau dengan garis tepi berwarna hitam.sedangkan Obat bebas
Terbatas (OBT) didefenisikan sebagai; obat yang sebenarnya termasuk obat keras tetapi
masih dapat dijual atau dibeli bebas tanpa resep dokter, dan disertai dengan tanda
peringatan. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat bebas terbatas adalah lingkaran
biru dengan garis tepi berwarna hitam.
Untuk Obat Bebas (OB) dan Obat Bebas Terbatas (OB), karana dapat diserahkan tanpa
resep dokter seperti halnya OWA, makan OB dan OTB juga harus megikuti aturan
Permenkes No. 919 tahun 1993 tentang kriteria obat yang dapat diserahkan tanpa resep
yakni sebagai berikut:
1.

Tidak dikontaraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil, anak dibawa usia 2
tahun dan orang tua diatas 65 tahun
2.
Pengobatan sendiri dengan obat yang dimaksud tidak memberikan resiko pada
kelanjutan penyakit
3.
Penggunaannya tidak memerlukan cara dan alat khusus yang harus dilakukan oleh
tenaga kesehatan

4.
5.

Penggunaan diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di Indonesia


Obat dimaksud memiliki resiko khasiat keamanan yang dapat dipertanggungjawabkan
untuk pengobatan sendiri.

Pada BAB XVIII dalam Pedoman Penggunaan Obat Bebas Dan Bebas Terbatas dijelaskan
tentang PERAN APOTEKER DALAM PENGGUNAAN OBAT BEBAS DAN BEBAS
TERBATAS sebagai berikut:
Penggunaan obat bebas dan obat bebas terbatas dalam pengobatan sendiri (swamedikasi)
harus mengikuti prinsip penggunaan obat secara umum, yaitu penggunaan obat secara
aman dan rasional. Swamedikasi yang bertanggung jawab membutuhkan produk obat yang
sudah terbukti keamanan, khasiat dan kualitasnya, serta membutuhkan pemilihan obat yang
tepat sesuai dengan indikasi penyakit dan kondisi pasien.
Sebagai seorang profesional kesehatan dalam bidang kefarmasian, Apoteker mempunyai
peran yang sangat penting dalam memberikan bantuan, nasehat dan petunjuk kepada
masyarakat yang ingin melakukan swamedikasi, agar dapat melakukannya secara
bertanggung jawab. Apoteker harus dapat menekankan kepada pasien, bahwa walaupun
dapat diperoleh tanpa resep dokter, namun penggunaan obat bebas dan obat bebas
terbatas tetap dapat menimbulkan bahaya dan efek samping yang tidak dikehendaki jika
dipergunakan secara tidak semestinya.
Dalam penggunaan obat bebas dan obat bebas terbatas, Apoteker memiliki dua peran yang
sangat penting, yaitu menyediakan produk obat yang sudah terbukti keamanan, khasiat dan
kualitasnya serta memberikan informasi yang dibutuhkan atau melakukan konseling kepada
pasien (dan keluarganya) agar obat digunakan secara aman, tepat dan rasional. Konseling
dilakukan terutama dalam mempertimbangkan :
1.
2.
3.

Ketepatan penentuan indikasi/penyakit


Ketepatan pemilihan obat (efektif, aman, ekonomis), serta
Ketepatan dosis dan cara penggunaan obat.

Satu hal yang sangat penting dalam konseling swamedikasi adalah meyakinkan agar produk
yang digunakan tidak berinteraksi negatif dengan produk-produk yang sedang digunakan
atau dikonsumsi pasien. Di samping itu Apoteker juga diharapkan dapat memberikan

petunjuk kepada pasien bagaimana memonitor penyakitnya, serta kapan harus


menghentikan pengobatannya atau kapan harus berkonsultasi kepada dokter.
Informasi tentang obat dan penggunaannya perlu diberikan pada pasien saat konseling
untuk swamedikasi pada dasarnya lebih ditekankan pada informasi farmakoterapi yang
disesuaikan dengan kebutuhan serta pertanyaan pasien. Informasi yang perlu disampaikan
oleh Apoteker pada masyarakat dalam penggunaan obat bebas atau obat bebas terbatas
antara lain:
1.

2.
3.

4.

5.

6.
7.

8.
9.
10.
11.
12.

Khasiat obat: Apoteker perlu menerangkan dengan jelas apa khasiat obat yang
bersangkutan, sesuai atau tidak dengan indikasi atau gangguan kesehatan yang dialami
pasien.
Kontraindikasi: pasien juga perlu diberi tahu dengan jelas kontra indikasi dari obat yang
diberikan, agar tidak menggunakannya jika memiliki kontra indikasi dimaksud.
Efek samping dan cara mengatasinya (jika ada): pasien juga perlu diberi informasi
tentang efek samping yang mungkin muncul, serta apa yang harus dilakukan untuk
menghindari atau mengatasinya.
Cara pemakaian: cara pemakaian harus disampaikan secara jelas kepada pasien untuk
menghindari salah pemakaian, apakah ditelan, dihirup, dioleskan, dimasukkan melalui
anus, atau cara lain.
Dosis: sesuai dengan kondisi kesehatan pasien, Apoteker dapat menyarankan dosis
sesuai dengan yang disarankan oleh produsen (sebagaimana petunjuk pemakaian yang
tertera di etiket) atau dapat menyarankan dosis lain sesuai dengan pengetahuan yang
dimilikinya.
Waktu pemakaian: waktu pemakaian juga harus diinformasikan dengan jelas kepada
pasien, misalnya sebelum atau sesudah makan atau saat akan tidur.
Lama penggunaan: lama penggunaan obat juga harus diinformasikan kepada pasien,
agar pasien tidak menggunakan obat secara berkepanjangan karena penyakitnya belum
hilang, padahal sudah memerlukan pertolongan dokter.
Hal yang harus diperhatikan sewaktu minum obat tersebut, misalnya pantangan
makanan atau tidak boleh minum obat tertentu dalam waktu bersamaan.
Hal apa yang harus dilakukan jika lupa memakai obat
Cara penyimpanan obat yang baik
Cara memperlakukan obat yang masih tersisa
Cara membedakan obat yang masih baik dan sudah rusak

Di samping itu, Apoteker juga perlu memberi informasi kepada pasien tentang obat generik
yang memiliki khasiat sebagaimana yang dibutuhkan, serta keuntungan yang dapat
diperoleh dengan menggunakan obat generik. Hal ini penting dalam pemilihan obat yang
selayaknya harus selalu memperhatikan aspek farmakoekonomi dan hak pasien.

Disamping konseling dalam farmakoterapi, Apoteker juga memiliki tanggung jawab lain yang
lebih luas dalam swamedikasi. Dalam pernyataan bersama yang dikeluarkan oleh
IPF (International Pharmaceutical Federation)dan WMI (World Self-Medication
Industry) tentang swamedikasi yang bertanggung jawab (Responsible SelfMedication) dinyatakan sebagai berikut:
1.
Apoteker memiliki tanggung jawab profesional untuk memberikan nasehat dan informasi
yang benar, cukup dan objektif tentang swamedikasi dan semua produk yang tersedia untuk
swamedikasi.
2.
Apoteker memiliki tanggung jawab profesional untuk merekomendasikan kepada pasien
agar segera mencari nasehat medis yang diperlukan, apabila dipertimbangkan
swamedikasi tidak mencukupi.
3.
Apoteker memiliki tanggung jawab profesional untuk memberikan laporan kepada
lembaga pemerintah yang berwenang, dan untuk menginformasikan kepada produsen obat
yang bersangkutan, mengenai efek tak dikehendaki (adverse reaction) yang terjadi pada
pasien yang menggunakan obat tersebut dalam swamedikasi.
4.
Apoteker memiliki tanggung jawab profesional untuk mendorong anggota masyarakat
agar memperlakukan obat sebagai produk khusus yang harus dipergunakan dan disimpan
secara hati-hati, dan tidak boleh dipergunakan tanpa indikasi yang jelas.
Selain melayani konsumen secara bertatap muka di apotek, Apoteker juga dapat melayani
konsumen jarak jauh yang ingin mendapatkan informasi atau berkonsultasi mengenai
pengobatan sendiri. Suatu cara yang paling praktis dan mengikuti kemajuan zaman adalah
dengan membuka layanan informasi obat melalui internet atau melalui telepon. Slogan
Kenali Obat Anda. Tanyakan Kepada Apoteker kini semakin memasyarakat. Para
Apoteker sudah semestinya memberikan respons yang baik dan memuaskan dengan
memberikan pelayanan kefarmasian yang profesional dan berkualitas.
1.

4. PELAYANAN PSIKOTROPIKA

Menurut pasal 14 UU No. 5 tahun 1997 tentang psikotropika:


Ayat 2 : Penyerahan psikotropika oleh apotek haya dapat dilakukan kepada:
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Apotek lainnya
Rumah sakit
Puskesmas
Balai pengobatan
Dokter
Pengguna/pasien

Ayat 4 : Penyerahan psikotropika oleh apotek, rumah sakit, puskesmas dan balai
pengbatan dilaksanakan berdasarkan resep dokter
Ayat 5 : Penyerahan psikotropika oleh dokter dilaksanakan dalam hal:
1.
2.
3.

Menjalankan praktek terapi dan diberikan melalui suntikan


Menolong orang sakit dalam keadaan darurat
Menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada apotek

Ayat 6 : Psikotropika yang diserahkan dokter hanya dapat diperoleh di apotek.


Pencatatan dan pelaporan terhadap pengelolaan psikotropika diatur dalam pasal 33 UU no 5
tahun 1997 yakni Pabrik obat, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan
farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter, lembaga
penelitian dan/ atau lembaga pendidikan wajib membuat dan menyimpan catatan mengenai
kegiatan masing-masing yang berhubungan dengan psikotropika.
Pada pasal 53 UU no 5 tahun 1997 disebutkan bahwa
Ayat 1 pemusnahan psikotropika dilaksanakan dalam hal :
1.
2.

Berhubungan dengan tindak pidana


Diproduksi tanpa memenuhi tandar dan persyaratan yang berlaku dan/atau tidak dapat
digunakan dalam proses produksi psikotropika
3.
Kadaluarsa
4.
Tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan kesehatan dan / atau untuk
kepentingan ilmu pengetahuan.

Dalam UU no 5 tahun 1997 ini tidak mengatur secara detail tentang teknis pelaksanaan
pemusnahan psikotropika. Dalam pasal 12 ayat 2 permenkes no 922 tahun 1993 disebutkan
bahwa sediaan farmasi yang karena sesuatu hal tidak dapat digunakan lagi atau dilarang
digunakan, harus dimusnahkan dengan cara dibakar atau ditanam atau dengan cara lain
yang ditetapkan oleh menteri.
Pada pasal 53 ayat 2 UU no 5 tahun 1997 hanya menyebutkan tentang siapa yang
memusnahkan psikotropika. Pernah dikeluarkan surat edaran yang berisi tentang
pemusnahan dimana narkotika dan psikotropika disamakan yakni pada surat edaran kepala

direktur pengawasan narkotika dan bahan berbahaya Dir Jend POM Dep. Kes. RI nomor
010/EE/SE/81 tanggal 8 Mei 1981 tentang pemusnahan /penyerahan narkotika atau
psikotropika yang rusak / tidak terdaftar. Bila mengacu surat edaran ini, maka teknis
pelaksanaan pemusnahan psikotropika sama seperti pada narkotika.
1.

5. PENGELOLAAN NARKOTIKA

Menurut pasal 39 UU no 22 tahun 1997 tentang narkotika;


Ayat 2 : Apotek hanya dapat menyerahkan narkotika kepada :
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Runah sakit
Puskesmas
Apotek lainnya
Balai pengobatan
Dokter
Pasien

Ayat 3 : Rumah sakit, apotek, puskesmas dan balai pengobatan hanya dapat
menyerahkan narkotika kepada pasien berdasarkan resep dokter
Ayat 4 : Penyerahan narkotika oleh dokter hanya dapat dilaksanakan dalam hal;
1.
2.
3.

Menjalankan praktek dokter dan diberikan melalui suntikan


Menolong orang sakit dalam keadaan darurat
Menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada apotek.

Ayat 5 : Narkotika dalam bentuk suntikan dalam jumlah tertentu yang diserahkan dokter
hanya dapat diperoleh dari apotek.
Pemusnahan narkotika diatur dalam pasal 60 dan 61 UU no 22 tahun 1997.
Pasal 60 : Pemusnahan dilakukan dalam hal :
1.

Diproduksi tanpa memenuhi standar dan persyaratan yang berlaku dan atau tidak dapat
digunakan dalam proses produksi;
2.
Kadaluarsa
3.
Tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan kesehatan dan atau untuk
pengembangan ilmu pngetahuan; atau

4.

Berkaitan dengn tindak pidana.

Pasal 61 :
(1) Pemusnahan narkotika sebagaimana dimaksud dalam pasal 60 huruf a, b, dan c
dilaksanakan oleh pemerintah, orang, atau badan yang bertanggungjawab atas produksi
dan atau peredaran narkotika, sarana kesehatan tertentu, serta lembaga ilmu pengetahuan
tertentu dengan disaksikan oleh pejabat yang ditunjuk menteri kesehatan.
(2) Pemusnahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan pembuatan
berita acara yang sekurang-kurangnya memuat :
1.
2.
3.

nama, jenis, sifat, dan jumlah;


keterangan tempat, jam, hari, tanggal, bulan dan tahun, dilakukan pemusnahan; dan
tanda tangan dan identitas lengkap pelaksana dan pejabat yang menyaksikan
pemusnahan

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pemusnahan narkotika
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.
Dalam ketentuan peralihan undang-undang peralihan tersebut disebutkan bahwa semua
peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan UU No. 9 Tahun
1976 tentang narkotik masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan atau belum
diganti, dengan peraturan baru berdasarkan undang-undang ini. Oleh karena itu ketentuan
dibawah ini masih berlaku.
1.
2.
3.
4.

5.
6.
7.

Resep dari luar propensi harus mendapatkan persetujuan dari dokter setempat
Salinan resep untuk obat yang baru diambil sebagaian tidak boleh dilayani oleh apotek
lain
Resep yang berisi narotika tidak boleh iterasi
Penyimpanan narkotika pada lemari yang mempunyai ukuran 40 x 80 x 100 cm, dapat
berupa almari yang diketatkan di dinding atau menjadi suatu kesatuan dengan almari yang
besar
Almari tersebut mempunyai 2 kunci yang satu untuk menyimpan narkotika sehari-hari
dan yang lainnya untuk narkotika persediaan dan morfin, pethidin dan garam-garamnya
Laporan narkotika disampaikan setiap bulan
Pemesanan narkotika menggunakan surat pesanan model N-9 rangkap 5 setiap satu
lembar pesanan berisikan 1 macam narkotika

8.

Pencatatan narkotika menggunakan buku register narkotika

Ketentuan tentang resep dan salinan resep narkotika juga diatur dalam Surat Edaran Dirjen
POM 336/E/SE/1997 tanggal 4 Mei 1997 yang menyebutkan bahwa:
1.

Apotek dilarang melayani salinan resep yang mengandung narkotika, walaupun resep
tersebut baru dilayani sebagian atau belum dilayani sama sekali
2.
Untuk resep narkotika yang baru dilayani sebagian atau belum dilayani sama sekali,
apotek boleh membuat salinan resep, tetapi salinan resep tersebut hanya boleh dilayani di
apotek yang mentimpan resep aslinya.
3.
Salinan resep atau resep narkotika dengan tulisan iter tidak boleh dilayani sama sekali.
Untuk mencegah pertengkaran di apotik harap diumumkan kepada dokter agar tidak
menambah tulisan iter pada resep-resep yang menangandung narkotika.

Tempat penyimpanan narkotika juga diatur dalam pasal 5 permenkes no 28 tahun 1978
tentang penyimpanan narkotika yakni:
1.
2.

Apotik dan rumah sakit harus memiliki tempat khusus untuk menyimpan narkotika
Tempat khusus pada ayat 1 harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1.
Harus dibuar seluruhnya dari kayu atau bahan lain yang kuat
2.
Harus mempunyai kunci yang kuat
3.
Dibagi dua masing-masing dengan kunci yang berlainan, bagian pertama
dipergunakan untuk menyimpan morfina, petidina dan garam-garamnya, serta
persediaan narkotika, bagian kedua dipergunakan untuk menyimpan narkotika lainnya
yang dipakai sehari-hari.
4.
Apabila tempat khusus tersebut berupa lemari berukuran kurang dari 40 X 80 X
100 cm, maka lemari tersebut harus dibuat pada tembok atau lantai.

Anda mungkin juga menyukai