Anda di halaman 1dari 9

DI APOTEK:

1. Dokter menulis resep dengan kode, dan resep tersebut hanya bisa ditebus di apotek
yang ditunjuk dokter.
2. PSA menjual psikotropika dan pada saat membuat laporan bekerja sama dengan dokter
untuk membuatkan resep.
3. Krim malam, krim pagi buatan apotek sendiri, tidak diketahui formulanya.

DI PUSKESMAS ATAU KLINIK:


1. Yang menyerahkan obat kepada pasien bukan apoteker, melainkan bidan, mantri,
perawat, karena puskesmas tidak memiliki apoteker.

KASUS DISTRIBUSI
KASUS I:
Apotek panel  melanggar UU.

Untuk bersaing dengan apotek lain, sehingga apotek X mencari PBF yang menjual harga murah
walaupun tidak legal dengan tujuan agar bisa menjual kembali dengan harga murah dengan diskon,
sehingga mampu bersaing.

KASUS II:
 Nempil obat antar apotek bagaimana aturan main yang baik?

Penyelesaian:
Pada prinsipnya yang penting (tolong menolong):
1. Bagi yang nempil:
a. minta tolong dengan sopan dan cara yang baik, jangan hanya menggunakan kertas
sobekan untuk pemesanan.
b. Komunikasikan / telepon dulu, siapkan dokumen tertulis.
c. Kalimat terbaik: (1) SP; (2) Copi Resep; (3) Dengan kertas yang baik. 1 & 2 Untuk
nempil narkotik boleh tapi pake SP narkotik (baca UU Narkotika No.35/2009)
2. Bagi yang ditempili:
a. Harga (pada umumnya HNA + PPN x index 1,3), namun untuk sejawat tidak sama
dengan harga pada umumnya, atau bukan juga harga netto, ini egois. Tapi index
misalnya 1,1. Tidak menarik biaya tueslag dan embalanse.

KASUS III:
Narkotik boleh didistribusikan dari apotek ke apotek, dari apotek ke RS. Masa sesama sejawat
tidak saling percaya untuk nempil obat, percuma kuliah lama kata bu Bondan. Yang penting ada
SP nya aja (kesepakatan di Yogya pake SP khusus, tapi berdasarkan undang-undang yang penting
ada permintaan tertulis dari apoteker). UU Narkotik tahun 70an memang tidak diperbolehkan,
namun UU Narkotik sekarang boleh. UU Narkotika No. 35/2009:

Pasal 43
(1) Penyerahan Narkotika hanya dapat dilakukan oleh:
a. apotek;
b. rumah sakit;
c. pusat kesehatan masyarakat;
d. balai pengobatan; dan
e. dokter.
(2) Apotek hanya dapat menyerahkan Narkotika kepada:
a. rumah sakit;
b. pusat kesehatan masyarakat;
c. apotek lainnya;
d. balai pengobatan;
e. dokter; dan
f. pasien.
(3) Rumah sakit, apotek, pusat kesehatan masyarakat, dan balai pengobatan hanya dapat menyerahkan
Narkotika kepada pasien berdasarkan resep dokter.
(4) Penyerahan Narkotika oleh dokter hanya dapat dilaksanakan untuk:
a. menjalankan praktik dokter dengan memberikan Narkotika melalui suntikan;
b. menolong orang sakit dalam keadaan darurat dengan memberikan Narkotika melalui suntikan; atau
c. menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada apotek.
(5) Narkotika dalam bentuk suntikan dalam jumlah tertentu yang diserahkan oleh dokter sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) hanya dapat diperoleh di apotek.

KASUS PELAYANAN
PELAYANAN RESEP

Definisi
Permenkes 922/Menkes/Per/X/1993–Pasal 1(h)
 Resep adalah permintaan tertulis dari Dokter, Dokter Gigi, Dokter Hewan kepada Apoteker
Pengelola Apotik untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi penderita sesuai
peraturan perundangundangan yang berlaku.

Resep yang baik adalah resep yang jelas dan dapat dibaca, resep harus memenuhi peraturan yang
ditetapkan oleh SK. MENKES RI No. 26 MenKes/Per/1981, Bab III, pasal 10, yang memuat :
1. Nama, alamat dan No Surat Ijin Praktek Dokter
2. Tempat dan tanggal penulisan resep
3. Tanda R/ pada bagian kiri setiap penulisan obat.
4. Nama setiap obat/komponen resep (dengan Bentuk sediaan obat, Dosis, Jumlah dan
petunjuk pemakaian)
5. Tanda tangan/ paraf dokter, alamat jelas rumah untuk obat narkotika
6. Tanda seru/paraf dokter, pada obat yang melebihi dosis maksimum.
7. Nama penderita

Bagian-bagian dari resep adalah :


a. Inscriptio (identitas dokter penulis resep, SIP, alamat, kota, tanggal dan R/
b. Praescriptio (Inti resep, terdiri dari nama obat, BSO, Dosis obat dan jumlah obat)
c. Signatura, tanda yang harus ditulis di etiket obat (nama pasien dan petunjuk pemakaian).
d. Subscriptio, tanda tangan atau paraf dokter.

Secara Teknis
 Resep artinya pemberian obat secara tidak langsung, ditulis jelas dengan tinta, tulisan tangan pada
kop resep resmi kepada pasien, format, dan kaedah penulisan sesuai dengan peraturan dan per
Undang-Undangan yang berlaku.

Perundang-undangan:
Permenkes No.278/279/280/Menkes/SK/V/1981
 Melayani resep dokter, dokter gigi dan dokter hewan
 Salinan resep harus ditanda-tangani atau diparaf oleh Apoteker

Kepmenkes No. 1027/Menkes/SK/IX/2004


Skrining resep : Persyaratan administratif resep, a.l:
 Nama, alamat dokter, tgl penulisan resep, paraf/td tangan dokter, Nama obat, potensi, dosis , juml
yg diminta, cara pemakain dan Informasi lainnya.

Faktanya
 Resep harus mudah dibaca dan mengungkapkan dengan jelas apa yang harus diberikan (Zunilda,
1998).
 Apabila apoteker menganggap pada resep tidak dapat dibaca dengan jelas atau tidak lengkap,
apoteker harus menanyakan kepada penulis resep (Hartono, 2003).
 Dalam resep harus memuat: nama dokter, nomor Surat Izin Praktek dokter, alamat dokter, tanggal
penulisan resep, tanda tangan dokter, nama pasien, alamat, umur, berat badan, nama obat, dosis,
jumlah yang diminta, aturan pakai.
 Resep yang mengandung narkotika harus ditulis tersendiri yaitu tidak boleh ada iterasi (ulangan),
ditulis dengan nama pasien tidak boleh m.i.=mihi ipsi=untuk dipakai sendiri, alamat pasien
dan aturan pakai yang jelas, tidak boleh ditulis sudah tahu pakainya (Aniefa, 2000).

Kaidah Penulisan Resep


 Nama obat ditulis dengan jelas. Penulisan nama obat tidak jelas dapat menyebabkan obat yang
keliru diberikan kepada penderita.
 Kekuatan dan jumlah obat ditulis dalam resep dengan jelas
(Zaman, 2001).

 Pemberian obat yang terlalu banyak sebaiknya dihindari karena bisa bahaya.
 Pemberian obat dalam jangka waktu yang terlalu lama sebaiknya dihindari.
(Joenes, 2001).

Pelayanan Resep Obat


 Dalam pelayanan resep ini, resep yang sudah diterima apoteker harus dibaca secara lengkap dan hati-
hati, sehingga tidak ada keraguan dalam resep tersebut
(Scott, 2000).

Skrining Resep
 Persyaratan administratif yaitu: nama, nomor Surat Izin Praktek dan alamat dokter, tanggal
penulisan resep, paraf dokter penulis resep, nama, alamat, umur, jenis kelamin, berat badan pasien,
nama obat, dosis, dan jumlah yang diminta, dan cara pemakaian yang jelas.
 Jika terdapat sesuatu yang kurang jelas atau jika nampak telah terjadi kesalahan, apoteker harus
mengkonsultasikan kepada penulis resep. Hendaknya apoteker tidak mengartikan maksud dari
kata yang tidak jelas atau singkatan yang tidak diketahui (Scott, 2000).
 Beberapa jenis kesalahan memang cukup banyak dijumpai dalam penulisan resep, misalnya masih
banyak resep obat yang ditulis tanpa ada penulisan signa atau aturan pakai, kadang kata signa
yang dituliskan kurang jelas atau kurang lengkap (Zairina dan Himawati, 2003).

Beberapa jenis kesalahan yang terjadi pada resep:


 Tidak ada umur pasien terutama untuk pasien anak.
 Tidak ada tanda tangan dokter/prescriber
 Nama obat tidak jelas karena tulisan yang sulit dibaca.
 Penulisan obat dengan khasiat sama lebih dari 1 kali dalam 1 lembar resep, baik dengan nama sama
atau merk berbeda.
(Nadeem, 2003).

Pelayanan Resep
 Apabila apoteker menganggap bahwa dalam resep ada kekeliruan atau penulisan resep yang tidak
tepat, apoteker harus memberitahukan kepada dokter penulis resep.
(Anief, M., 2000).

Kesimpulan
 Resep tidak memenuhi persyaratan/ tidak sesuai dengan kaidah hukum dan teori yang berlaku.
 Resep tersebut dikonfirmasi dan didiskusikan lebih lanjut kepada dokter penulis resep
 Bila terdapat resep yang tidak memenuhi aturan-aturan diatas, resep tidak dapat dilayani, begitu
pula resep narkotika yang telah diambil sebagian oleh pasien diapotek lain.

OWA atau BUKAN


Apotek menjual antibiotik secara bebas tanpa resep misal Amox adalah obat yang tidak termasuk
OWA, tetapi banyak pasien minta amox tanpa resep dokter. Apotek A tetap melayani. Sehingga
untuk mengantisipasi jika diperiksa oleh Dinkes & POM, agar tidak ketahuan maka apoteker di
apotek tersebut membuat copi resep sendiri ‘resep putih’ untuk melegalkan transaksi.
So:
o Resep putih merupakan dokumen palsu dan tidak bertanggung jawab sehingga
melanggar kode etik dan UU, seharusnya bila apoteker menyerahkan obat selain OWA,
maka harus berani bertanggung jawab. Keadaan pasien ditanya terlebih dahulu beserta
alasannya.
o Tidak benar karena copi resep ada tulisan pcc (pro copi confirm) artinya sesuai
benarnya/aslinya. Apoteker ini hanya takut peraturannya tapi tidak tau prinsipnya.
Menurut bu Bondan apoteker bisa memberikan judgement profesi (keputusan) karena
kita seorang profesional yang berbasis keilmuan.
o Jadi jika berdasarkan judgement kita amox harus diserahkan maka buat catatan dan
keterangan (tanggal, nama & alamat pasien, dasar pertimbangan, keluhan, nama obat,
dosis, dan jumlah obat, keterangan lain yang jelas, saat penyerahan diberikan informasi
dan konseling) dan dibubuhi tanda tangan apoteker sehingga apoteker tidak perlu
membuat dokumen palsu.
o Maka layani dengan keyakinan dan keilmuan sehingga bisa membuat judgement profesi
yang bisa kita pertanggungjawabkan.

OBAT RESEP DOKTER DIJUAL KEMBALI


Resep ditulis oleh dokter untuk seorang perawat, ternyata bukan untuk perawat tetapi untuk dijual
kembali.
So:
 Jika resep sah layani, kecuali kita tau pasti disalahgunakan maka kita dapat tolak dengan
tegas namun sopan dan lembut serta dikomunikasikan kepada dokter.
 Maka layani dengan keyakinan dan keilmuan sehingga bisa membuat judgement profesi
yang bisa kita pertanggungjawabkan.

MASUK FORMULARIUM
Produk memiliki kualitas kurang bagus tetapi tetap dimasukkan ke dalam formularium karena
menjadi sponsor/PBF memberikan subsidi besar. Atau sebaliknya kualitas baik tetapi tidak
dicantumkan kedalam formularium, karena tidak memberikan untung misalnya bonus atau
penawaran menarik lainnya.

PERALATAN PENDUKUNG
Apoteker dalam memberikan pelayanan swamedikasi (OTC & OWA) melengkapi dirinya
dengan statoskop, tensi meter, alat tes gula darah dll. So???

Kontennya:
1. Kita harus tau tugas, tanggung jawab dan kewenangan profesi.
2. Tau kompetensi kita
3. Alat itu batasannya untuk apa dulu kita gunakan. Bukan untuk diagnosa, namun untuk
mendukung swamedikasi pasien dan monitoring obat/hasil terapi serta hanya
memberikan “warning” kepada pasien.

PELAYANAN APOTEK DARURAT


KASUS I:
Telah terjadi kecelakaan antarmotor di depan sebuah apotek . Kedua korban
mengalami luka-luka dan salah seorang diantaranya pingsan. Apa yang seharusnya
dilakukan oleh apoteker?

Tindakan:
1. P3K.
2. Beri/sediakan tempat yang nyaman untuk penyelamatan pasien/korban.
3. Beri minum untuk meringankan syok.
4. Menyiapkankan tenaga.
5. Jika ada dokter/tenaga medisyang kompeten/sesuai serahkan kepada ahlinya, jika tidak
baru apoteker turun tangan.
6. Jadi, kita harus bisa menempatkan diri, saat kapan kita turun langsung untuk
mengambil tindakan.
7. Jangan mencari celah untuk mencari keuntungan/jasa profesi/memanfaatkan
kesempatan dalam kesempitan.

KASUS II:
Apoteker S berpraktek di apotek miliknya. Suatu saat ada pasien anak kecil kejang yang diantar
oleh orang tuanya ke rumah sakit, namun belum sampai rumah sakit anak tersebut kejang yang
tiada tara sehingga orang tuanya (dalam perjalanan ke rumah sakit) memutuskan berhenti di apotek
untuk minta tolong pengobatan darurat di apotek tersebut. Dokter praktek sudah tidak ada dan
apoteker S harus mengambil keputusan menolong pasien atau menolaknya. Dengan pertimbangan
keilmuannya, apoteker S memberikan valisanbe rectal ke dubur anak kecil itu sehingga kejangnya
mereda. Pasien dapat diselamatkan dan segera dikirim ke rumah sakit terdekat.

PELANGGARAN & SANKSI PROFESI


APOTEKER
April 2nd, 2011 • Related • Filed Under

Dalam melakukan tugas dan fungsinya, apotek & apoteker mengenal beberapa istilah
pelanggaran dalam melakukan kegiatannya.

Jenis pelanggaran apotek dapat dikategorikan dalam dua macam, berdasarkan berat dan
ringannya pelanggaran tersebut. Kegiatan yang termasuk pelanggaran berat apotek
meliputi :

a. Melakukan kegiatan tanpa ada tenaga teknis farmasi. Kegaiatan ini menurut perundangan yang
berlaku tidak boleh terjadi dan dilakukan. Karena komoditi dari sebuah apotek, salah satunya
adalah obat, dimana obat ini dalam peredarannya di atur dalam perundangan yang berlaku.
b. Terlibat dalam penyaluran atau penyimpangan obat palsu atau gelap. Peredaran gelap yang
dimaksud adalah golongan obat dari Narkotika dan Psikotropika.

c. Pindah alamat apotek tanpa izin. Dalam pengajuan untuk mendapatkan izin apotek, telah
dicantumkan denah dan lokasi apotek

d. Menjual narkotika tanpa resep dokter. Ini adalah pelanggaran yang jarang terjadi. Para tenaga
teknis farmasi di apotek, biasanya sudah mengetahui apa yang harus mereka perbuat, ketika
mengahadapi resep dengan komposisi salah satunya obat narkotika.

e. Kerjasama dengan Pedagang Besar Farmasi (PBF) dalam menyalurkan obat kepada pihak
yang tidak berhak dalam jumlah besar. Selain dari merusak pasar, kegaiatan seperti ini akan
mengacaukan sistem peredaran obat baik di apotek, distrbutor, maupun pabrik. Akibat yang
mungkin ditimbulkan adalah kesulitan konsumen untuk memilih obat mana yang baik dan benar
karena banyaknya obat yang beredar.

f. Tidak menunjuk Apoteker Pendamping atau Apoteker Pengganti pada waktu Apoteker
Pengelelola Apotek (APA) keluar daerah.

Kegiatan yang termasuk pelanggaran ringan apotek meliputi :

a. Tidak menunjuk Apoteker Pendamping pada waktu Apoteker Pengelelola Apotek (APA) tidak
bisa hadir pada jam buka apotek.

b. Mengubah denah apotek tanpa izin. Tidak ada pemberitahuan kepada suku dinas kesehatan
setempat

c. Menjual obat daftar G kepada yang tidak berhak. Obat dengan daftar G yang dimaksud adalah
daftar obat keras. Lihat selengkapnya penggolongan obat menurut undang-undang yang berlaku
di Indonesia disini

d. Melayani resep yang tidak jelas dokternya. Nama, Surat Izin Kerja (SIK) dan alamat praktek
dokter yang tidak terlihat jelas di bagian kepala resep. Jika resep semacam ini dilayani, maka ini
termasuk suatu tindakan pelanggaran.

e. Menyimpan obat rusak, tidak mempunyai penandaan atau belum dimusnahkan. Termasuk obat
yang di kategorikan expired date atau daluarsa. Obat-obatan diatas tidak berhak sebuah apotek
menyimpan dan mendistribusikannya ke pasien.

f. Obat dalam kartu stok tidak sesuai dengan jumlah yang ada. Pelanggaran administratif ini
sering kali terjadi di sebuah apotek dengan sistim manual. Sistim komputerisasi adalah solusi
terbaik untuk mengatisipasi hal ini.

g. Salinan resep yang tidak ditandatangani oleh Apoteker. Sebagai penanggung jawab teknis,
apoteker wajib menandatangani salinan resep dari resep asli, untuk dapat memonitor sejauh
mana pemakaian dan obat apa saja yang dimasukkan dalam salinan resep.
h. Melayani salinan resep narkotika dari apotek lain. Dalam peraturan narkotika, resep yang
berasal dari apotek lain dengan permintaan sejumlah obat narkotika kepada apotek yang kita
pimpin adalah boleh dilakukan. Syarat yang harus dipenuhinya adalah berupa surat keterangan
dari apoteker pengelola apotek tersebut bahwa akan mempergunakan obat narkotika untuk
keperluan stok dan resep serta sifatnya adalah cito atau butuh cepat.

i. Lemari narkotika tidak memenuhi syarat. Penyimpanan narkotika yang diatur dalam Undang-
Undang no 5 tahun 2009, adalah dengan menyimpan sediaan dalam lemari terkunci, terpisah
dengan obat keras lainnya, dst. Lihat disini untuk lengkapnya..

j. Resep narkotika tidak dipisahkan. Prosedur standar yang harus beberapa apotek dan tenaga
kefarmasian sudah ketahui. Salah satu kegunaan pemisahaan resep obat ini adalah
mempermudah kita dalam membuat Laporan Narkotika.

k. Buku narkotika tidak diisi atau tidak bisa dilihat atau diperiksa. Hal teknis seperti sudah harus
dapat dihindari dan diperbaiki. Karena jika hal ini terjadi, maka akan mempersulit administrasi
dari apotek tersebut dalam pengelolaan apotek.

l. Tidak mempunyai atau mengisi kartu stok hingga tidak dapat diketahui dengan jelas asal usul
obat tersebut.

Setiap pelanggaran apoteker terhadap ketentuan yang berlaku dapat dikenakan sanksi,
baik sanksi administratif maupun sanksi pidana. Sanksi administratif yang diberikan
menurut keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1332/ MENKES/ SK/ X/ 2002 dan
Permenkes No. 922/ MENKES/ PER/ X/ 1993 adalah :

a. Peringatan secara tertulis kepada APA secara tiga kali berturut-turut dengan tenggang waktu
masing – masing dua bulan.

b. Pembekuan izin apotek untuk jangka waktu selama – lamanya enam bulan sejak
dikeluarkannya penetapan pembekuan izin apotek. Keputusan pencabutan SIA disampaikan
langsung oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota dengan tembusan kepada Kepala
Dinas Kesehatan Propinsi dan Menteri Kesehatan RI di Jakarta.

c. Pembekuan izin apotek tersebut dapat dicairkan kembali apabila apotek tersebut dapat
membuktikan bahwa seluruh persyaratan yang ditentukan dalam keputusan Menteri Kesehatan
RI dan Permenkes tersebut telah dipenuhi.

Sanksi pidana berupa denda maupun hukuman penjara diberikan bila terdapat pelanggaran
terhadap :

a. Undang- Undang Obat Keras (St. 1937 No. 541).

b. Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.

c. Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.


d. Undang-Undang No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika.

Anda mungkin juga menyukai