Anda di halaman 1dari 31

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Resep

2.1.1 Definisi

Resep adalah permintaan tertulis dari seorang dokter kepada apoteker


pengelola apotek untuk menyiapkan dan atau membuat, meracik, serta
menyerahkan obat kepada pasien. (Syamsuni, 2006)

Menurut Permenkes No 72 tahun 2016 Resep adalah permintaan tertulis


dari dokter atau dokter gigi, kepada apoteker, baik dalam bentuk paper
maupun elektronik untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi
pasien sesuai peraturan yang berlaku.

Sedangkan menurut jas (2009), Resep artinya pemberian obat secara


tidak langsung, ditulis jelas dengan tinta, tulisan tangan pada kop resmi
kepada pasien, format dan kaidah penulisan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku yang mana permintaan tersebut
disampaikan kepada farmasi atau apoteker di apotek agar diberikan obat
dalam bentuk sediaan dan jumlah tertentu sesuai permintaan kepada
pasien yang berhak.

Dengan kata lain, penulisan resep artinya mengaplikasikan pengetahuan


dokter dalam memberikan obat kepada pasien melalui kertas resep
menurut kaidah dan peraturan yang berlaku, diajukan secara tertulis
kepada apoteker di apotek agar obat diberikan sesuai dengan yang
tertulis. Pihak apoteker berkewajiban melayani secara cermat,
memberikan informasi terutama yang menyangkut dengan penggunaan
dan mengkoreksinya bila terjadi kesalahan dalam penulisan. Dengan

6
7

demikian pemberian obat lebih rasional, artinya tepat, aman, efektif, dan
ekonomis.

Wujud akhir kompetensi dokter dalam medical care, secara


komprehensif menerapkan ilmu pengetahuan dan keahliannya di bidang
farmakologi dan teraupetik secara tepat, aman dan rasional kepada
pasien khususnya masyarakat pada umumnya (Jas, 2009).

Yang berhak menulis resep adalah dokter, dokter gigi (terbatas pada
pengobatan gigi dan mulut) dan dokter hewan(terbatas pada pengobatan
pada hewan/ pasien hanya hewan). Resep diterima oleh apoteker
pengelola apotek yang apabila berhalangan tugasnya dapat digantikan
Apoteker Pendamping/Apoteker Pengganti atau Asisten Apoteker
Kepala di bawah pengawasan dan tanggung jawab Apoteker Pengelola
Apotek. Resep yang benar ditulis secara jelas, dapat dibaca, lengkap dan
memenuhi peraturan perundangan serta kaidah yang berlaku (Jas, 2009)

2.1.2 Jenis Jenis Resep

Jenis- jenis resep, berdasarkan Jas (2009) dibagi menjadi:

2.1.2.1 Resep standar (Resep Officinalis/Pre Compounded) merupakan


resep dengan komposisi yang telah dibakukan dan dituangkan
ke dalam buku farmakope atau buku standar lainnya. Resep
standar menuliskan obat jadi (campuran dari zat aktif) yang
dibuat oleh pabrik farmasi dengan merk dagang dalam sediaan
standar atau nama generik.

2.1.2.2 Resep magistrales (Resep Polifarmasi/Compounded) adalah


resep yang telah dimodifikasi atau diformat oleh dokter yang
menulis. Resep ini dapat berupa campuran atau obat tunggal
yang diencerkan dan dalam pelayanannya perlu diracik terlebih
dahulu.
8

2.1.2.3 Resep medicinal. Yaitu resep obat jadi, bisa berupa obat paten,
merek dagang maupun generik, dalam pelayanannya tidak
mangalami peracikan. Buku referensi : Organisasi Internasional
untuk Standarisasi (ISO), Indonesia Index Medical Specialities
(IIMS), Daftar Obat di Indonesia (DOI), dan lain-lain.

2.1.2.4 Resep obat generik, yaitu penulisan resep obat dengan nama
generik dalam bentuk sediaan dan jumlah tertentu. Dalam
pelayanannya bisa atau tidak mengalami peracikan (Jas, 2009).

2.1.3 Kelengkapan Resep

Resep harus ditulis dengan jelas dan lengkap, supaya dapat memenuhi
syarat untuk dibuatkan obatnya di apotek. Resep yang lengkap terdiri
atas:

2.1.3.1 Nama dan alamat dokter serta nomor surat izin praktek, dan
dapat pula dilengkapi dengan nomor telepon, jam dan hari
praktek.

2.1.3.2 Nama kota serta tanggal resep itu ditulis oleh dokter.

2.1.3.3 Tanda R/ singkatan dari recipe yang berarti ”harap diambil”.

2.1.3.4 Nama setiap jenis/bahan obat yang diberikan serta jumlahnya.

2.1.3.5 Cara pembuatan atau bentuk sediaan yang dikehendaki.

2.1.3.6 Aturan pemakaian obat oleh penderita, yang ditandai dengan


signa.

2.1.3.7 Nama penderita di belakang kata Pro: merupakan identifikasi


penderita, dan sebaiknya dilengkapi dengan alamatnya yang
akan memudahkan penelusuran bila terjadi sesuatu dengan obat
pada penderita.
9

2.1.3.8 Tanda tangan atau paraf dari dokter/dokter gigi/dokter hewan


yang menuliskan resep tersebut yang menjadikan suatu resep itu
otentik. Resep obat suntik dari golongan Narkotika harus
dibubuhi tanda tangan lengkap oleh dokter yang menuliskan
resep, dan tidak cukup dengan paraf saja (Joenoes, 2007).

2.1.4 Format Penulisan Resep


Menurut Jas (2009) Resep terdiri dari enam bagian, antara lain:
2.1.4.1 Inscriptio terdiri dari nama, alamat, dan nomor izin praktek
(SIP) dokter, tanggal penulisan resep. Untuk obat narkotika
hanya berlaku untuk satu kota provinsi. Format inscriptio suatu
resep dari rumah sakit sedikit berbeda dengan resep pada
praktik pribadi.
2.1.4.2 Invocatio merupakan tanda R/ pada bagian kiri setiap penulisan
resep. Permintaan tertulis dokter dalam singkatan latin “R/ =
recipe” artinya ambilah atau berikanlah. Berfungsi sebagai kata
pembuka komunikasi antara dokter penulis resep dengan
apoteker di apotek.
2.1.4.3 Prescriptio/ordonatio terdiri dari nama obat yang diinginkan,
bentuk sediaan obat, dosis obat, dan jumlah obat yang diminta.
2.1.4.4 Signatura merupakan petunjuk penggunaan obat bagi pasien
yang terdiri dari tanda cara pakai, regimen dosis pemberian,
rute dan interval waktu pemberian. Penulisan signatura harus
jelas untuk keamanan penggunaan obat dan keberhasilan terapi
2.1.4.5 Subscriptio merupakan tanda tangan/paraf dokter penulis resep
yang berperan sebagai legalitas dan keabsahan resep tersebut.
2.1.4.6 Pro (diperuntukkan) terdiri dari nama, alamat, umur, jenis
kelamin, dan berat badan pasien.
10

2.1.5 Tanda-Tanda Pada Resep


2.1.5.1 Tanda Segera, yaitu bila dokter ingin resepnya dibuat dan
dilayani segera, tanda segera atau peringatan dapat ditulis
sebelah kanan atas atau bawah blanko resep, yaitu: Cito! =
segera; Urgent = penting; Statim = penting sekali; PIM
(Periculum in mora) = berbahaya bila ditunda; Urutan yang
didahulukan adalah PIM, Statim, dan Cito!.
2.1.5.2 Tanda resep dapat diulang. Bila dokter menginginkan agar
resepnya dapat diulang, dapat ditulis dalam resep di sebelah
kanan atas dengan tulisan iter (Iteratie) dan berapa kali boleh
diulang. Misal, iter 1 x, artinya resep dapat dilayani 2 x. Bila
iter 2 x, artinya resep dapat dilayani 1+2 = 3 x. Hal ini tidak
berlaku untuk resep narkotika, harus resep baru.
2.1.5.3 Tanda Ne iteratie (N.I) = tidak dapat diulang. Bila dokter
menghendaki agar resepnya tidak diulang, maka tanda N.I
ditulis di sebelah atas blanko resep (ps. 48 WG ayat (3); SK
Menkes No. 280/Menkes/SK/V/1981). Resep yang tidak boleh
diulang adalah resep yang mengandung obat-obatan narkotik,
psikotropik dan obat keras yang telah ditetapkan oleh
pemerintah/ Menkes Republik Indonesia.
2.1.5.4 Tanda dosis sengaja dilampaui. Tanda seru diberi di belakang
nama obatnya jika dokter sengaja memberi obat dosis
maksimum dilampaui.
2.1.5.5 Resep yang mengandung narkotik. Resep yang mengadung
narkotik tidak boleh ada iterasi yang artinya dapat diulang;
tidak boleh ada m.i. (mihipsi) yang berarti untuk dipakai
sendiri; tidak boleh ada u.c. (usus cognitus) yang berarti
pemakaiannya diketahui. Resep dengan obat narkotik harus
disimpan terpisah dengan resep obat lainnya (Jas, 2009).
11

2.1.6 Persyaratan Menulis Resep dan Kaidahnya

Syarat – syarat dalam penulisan resep menurut Jas (2009) mencakup :

2.1.6.1 Resep ditulis jelas dengan tinta dan lengkap di kop resep,
tidak ada keraguan dalam pelayanannya dan pemberian obat
kepada pasien.
2.1.6.2 Satu lembar kop resep hanya untuk satu pasien.
2.1.6.3 Signatura ditulis dalam singkatan latin dengan jelas, jumlah
takaran sendok dengan signa bila genap ditulis angka
romawi, tetapi angka pecahan ditulis arabik.
2.1.6.4 Menulis jumlah wadah atau numero (No) selalu genap,
walaupun kita butuh satu setengah botol, harus digenapkan
menjadi Fls. II saja.
2.1.6.5 Setelah signatura harus diparaf atau ditandatangani oleh
dokter bersangkutan, menunjukkan keabsahan atau legalitas
dari resep tersebut terjamin.
2.1.6.6 Jumlah obat yang dibutuhkan ditulis dalam angka romawi.
2.1.6.7 Nama pasien dan umur harus jelas.
2.1.6.8 Khusus untuk peresepan obat narkotika, harus
ditandatangani oleh dokter bersangkutan dan dicantumkan
alamat pasien dan resep tidak boleh diulangi tanpa resep
dokter.
2.1.6.9 Tidak menyingkat nama obat dengan singkatan yang tidak
umum (singkatan sendiri),karena menghindari material
oriented.
2.1.6.10 Hindari tulisan sulit dibaca hal ini dapat mempersulit
pelayanan.
2.1.6.11 Resep merupakan medical record dokter dalam praktik dan
bukti pemberian obat kepada pasien yang diketahui oleh
farmasi di apotek, kerahasiaannya dijaga.
12

2.1.7 Kesalahan Peresepan


Beberapa kesalahan dalam penulisan resep masih banyak ditemukan
dalam praktek sehari-hari seperti kurangnya informasi yang diberikan,
tulisan yang buruk sehingga menyebabkan kesalahan pemberian dosis
dan rute obat, serta peresepan obat yang tidak tepat. Berikut beberapa
masalah yang sering muncul dalam penulisan resep antara lain:
2.1.7.1 Kegagalan dokter dalam menyampaikan informasi penting
seperti peresepan obat, dosis atau rute sesuai dengan yang
diinginkan.
2.1.7.2 Penulisan resep yang tidak terbaca karena tulisan tangan
buruk
2.1.7.3 Menulis nama obat dengan singkatan atau nomenklatur yang
tidak standar.
2.1.7.4 Menuliskan permintaan obat yang ambigu.
2.1.7.5 Meresepkan satu tablet yang tersedia lebih dari satu
kekuatan obat tersebut.
2.1.7.6 Lalai menulis rute pemberian obat yang dapat diberi lebih
dari satu rute.
2.1.7.7 Meresepkan obat yang diberikan secara infus intravena
intermitten, tanpa menspesifikasi durasi pemberian infus.
2.1.7.8 Tidak mencantumkan informasi pasien secara lengkap
seperti alamat, berat badan, dll.
2.1.7.9 Lalai menulis tanggal peresepan obat .
2.1.7.10 Lalai menulis informasi dokter (nama, no.SIP, dll) Tidak
mencantumkan tanda tangan/paraf penulis resep.

2.1.8 Kesalahan pencatatan (transkripsi)


2.1.8.1 Saat datang ke rumah sakit,tanpa sengaja tidak meresepkan
obat yang digunakan pasien sebelum ke rumah sakit.
13

2.1.8.2 Melanjutkan kesalahan penulisan resep dari dokter


sebelumnya, ketika meresepkan obat pasien saat datang ke
rumah sakit.
2.1.8.3 Mencatat perintah pengobatan dengan tidak benar ketika
menulis ulang di daftar obat pasien.
2.1.8.4 Untuk resep yang dibawa pulang tanpa sengaja berbeda
dengan daftar obat yang diresepkan untuk pasien rawat inap.
2.1.8.5 Menulis “miligram” padahal bermaksud menulis “mikrogram”

Kejadian kesalahan penulisan resep memiliki frekuensi yang


tinggi.Guna menghindarinya maka semua permintaan resep harus
ditulis dengan jelas, tidak ambigu, diberi tanggal dan ditandatangani,
sehingga tercipta komunikasi yang optimal antara dokter penulis
resep, farmasi dan perawat.

2.2 Jantung

2.2.1 Definisi Jantung

Jantung adalah organ otot yang berongga dan berukuran sebesar kepalan
tangan. Fungsi utama jantung adalah memompa darah ke pembuluh
darah dengan kontraksi ritmik dan berulang. Jantung normal terdiri dari
empat ruang, 2 ruang jantung atas dinamakan atrium dan 2 ruang jantung
di bawahnya dinamakan ventrikel, yang berfungsi sebagai pompa.
Dinding yang memisahkan kedua atrium dan ventrikel menjadi bagian
kanan dan kiri dinamakan septum (Vania E, 2015).

2.2.2 Anatomi Jantung

2.2.2.1 Anatomi Luar

Jantung terdiri dari 2 jenis ruang pompa, atrium dan ventrikel,


masingmasing berjumlah 2 buah, kanan dan kiri, sehingga
14

jantung memiliki 4 ruangan. Tampak luar, atrium terletak diatas


ventrikel dan berukuran lebih kecil dibandingkan ventrikel,
keduanya dipisahkan oleh arteri koroner kanan dan arteri
sirkumfleks yang terdapat didalam sulkus koronarius,
mengelilingi jantung.6 Jantung dibungkus oleh jaringan ikat tebal
yang disebut perikardium. Perikardium terdiri dari 2 lapisan,
perikardium viseral yang biasa disebut epikardium dan
perikardium parietal dibagian luar. Lapisan epikardium melapisi
seluruh bagian jantung hingga pangkal aorta dan arteri
pulmonalis di bagian atas untuk kemudian melipat keluar
menjadi perikardium parietalis. Kedua lapisan perikardium yang
saling berkelanjutan ini membentuk suatu ruangan yang berisi
cairan, disebut sebagai cairan perikardium yang memudahkan
pergerakan jantung saat terjadi proses pemompaan darah. Adanya
perikardium dengan perlekatannya pada ligamentum-ligamentum
juga berfungsi memfiksasi organ jantung di dalam rongga dada.

Gambar 2.1 Anatomi luar jantung

2.2.2.2 Anatomi Dalam


15

Jantung terdiri dari 4 ruangan, bagian atrium-ventrikel kiri dan


kanan. Diantara kedua atrium dibatasi oleh septum
interatrial,yang terletak pada bagian postero-inferior dinding
medial atrium kanan, sedangkan kedua ventrikel dibatasi oleh
septum interventrikuler. Secara horizontal atrium kanan
dihubungkan dengan ventrikel kanan oleh katup bikuspidalis atau
biasa disebut dengan katup mitral dan atrium kiri berhubungan
dengan ventrikel kiri lewat katup trikuspidalis.

Gambar 2.2 Anatomi dalam jantung

2.2.3 Fisiologi Jantung

Jantung dapat dianggap sebagai 2 bagian pompa yang terpisah terkait


fungsinya sebagai pompa darah. Masing-masing terdiri dari satu atrium-
ventrikel kiri dan kanan. Berdasarkan sirkulasi dari kedua bagian pompa
jantung tersebut, pompa kanan berfungsi untuk sirkulasi paru sedangkan
bagian pompa jantung yang kiri berperan dalam sirkulasi sistemik untuk
seluruh tubuh. Kedua jenis sirkulasi yang dilakukan oleh jantung ini
adalah suatu proses yang berkesinambungan dan berkaitan sangat erat
untuk asupan oksigen manusia demi kelangsungan hidupnya.
16

Ada 5 pembuluh darah mayor yang mengalirkan darah dari dan ke


jantung. Vena cava inferior dan vena cava superior mengumpulkan darah
dari sirkulasi vena (disebut darah biru) dan mengalirkan darah biru
tersebut ke jantung sebelah kanan. Darah masuk ke atrium kanan, dan
melalui katup trikuspid menuju ventrikel kanan, kemudian ke paru-paru
melalui katup pulmonal.

Darah yang biru tersebut melepaskan karbondioksida, mengalami


oksigenasi di paru-paru, selanjutnya darah ini menjadi berwarna merah.
Darah merah ini kemudian menuju atrium kiri melalui keempat vena
pulmonalis. Dari atrium kiri, darah mengalir ke ventrikel kiri melalui
katup mitral dan selanjutnya dipompakan ke aorta.

Tekanan arteri yang dihasilkan dari kontraksi ventrikel kiri, dinamakan


tekanan darah sistolik. Setelah ventrikel kiri berkontraksi maksimal,
ventrikel ini mulai mengalami relaksasi dan darah dari atrium kiri akan
mengalir ke ventrikel ini. Tekanan dalam arteri akan segera turun saat
ventrikel terisi darah. Tekanan ini selanjutnya dinamakan tekanan darah
diastolik. Kedua atrium berkontraksi secara bersamaan, begitu pula
dengan kedua ventrikel.

2.2.4 Penyakit Jantung

2.2.4.1 Definisi

Penyakit kardiovaskular atau yang biasa disebut penyakit


jantung umumnya mengacu pada kondisi yang melibatkan
penyempitan atau pemblokiran pembuluh darah yang bisa
menyebabkan serangan jantung, nyeri dada (angina) atau
stroke. Kondisi jantung lainnya yang mempengaruhi otot
jantung, katup atau ritme, juga dianggap bentuk penyakit
jantung (Danu satria, 2017).
17

2.2.4.2 Klasifikasi Penyakit Jantung

Berikut adalah penjelasan dari klasifikasi penyakit jantung


menurut Danu Satria, yaitu:

a. Diagnosis Normal
Jantung normal merupakan kondisi dimana jantung bekerja
secara normal untuk memompa darah dan menyuplai
oksigen keseluruh tubuh.
b. Diagnosis Hypertensive Heart Disease (HHD)
Hypertensive heart disease (HHD) adalah istilah yang
diterapkan untuk menyebutkan penyakit jantung secara
keseluruhan, mulai dari left ventricle hyperthrophy (LVH),
aritmia jantung, penyakit jantung koroner, dan penyakit
jantung kronis, yang disebabkan kerana peningkatan
tekanan darah, baik secara langsung maupun tidak
langsung.
c. Diagnosis Congestive Heart Failure (CHF)
Congestive Heart Failure (CHF) adalah suatu kondisi
dimana jantung mengalami kegagalan dalam memompa
darah guna mencukupi kebutuhan sel-sel tubuh akan
nutrien dan oksigen. Hal ini mengakibatkan peregangan
ruang jantung (dilatasi) guna menampung darah lebih
banyak untuk dipompakan ke seluruh tubuh atau
mengakibatkan otot jantung kaku dan menebal. Jantung
hanya mampu memompa darah untuk waktu yang singkat
dan dinding otot jantung yang melemah tidak mampu
memompa dengan kuat.
d. Diagnosis Angina Pectoris
Angina pectoris adalah istilah medis untuk nyeri dada atau
ketidaknyamanan akibat penyakit jantung koroner. Hal itu
terjadi ketika otot jantung tidak mendapat darah sebanyak
18

yang dibutuhkan. Hal ini biasanya terjadi karena satu atau


lebih arteri jantung menyempit atau tersumbat, biasa juga
disebut iskemia.

2.2.4.3 Kelainan Pada Jantung

Berikut ini beberapa gangguan lain pada jantung menurut Kabo


(2010), yaitu:

a. Atherosklerosis dan Atherotrombosis


Atherosklerosis adalah suatu proses dimana terjadi
penimbunan lemak dan matriks tunika intima, yang diikuti
oleh oleh pembentukan jaringan ikat pada dinding pembuluh
arteri, contoh Coronary Artery Disease (CAD).
Atherotrombosis adalah proses pembentukan thrombus yang
dicetuskan oleh kerusakan plak atheroskerosis.
b. Hipertensi
Hipertensi adalah suatu kondisi medis yang kronis dimana
tekanan darah (TD) meningkat diatas TD yang disepakati
normal. TD terbentuk dari interaksi antara aliran darah dan
tahanan pembuluh darah perifer. Didapatkan dua macam
TD, yaitu TD sistolik (normal ± 120 mmHg) dan TD
diastolik (normal ± 80 mmHg). Perbedaan antar tekanan
sistolik dan diastolik disebut tekanan nadi (Pulse Pressure,
normal ± 40 mmHg).
c. Penyakit Jantung Koroner (PJK)
Merupakan penyebab kematian nomor 1 di negara maju. Di
amerika serikat, dilaporkan setiap menit ada satu orang yang
meninggal akibat PJK. Di Indonesia juga dilaporkan hal
yang hampir serupa hasil berbagai studi menunjukan bahwa
penyebab utama PJK adalah lesi atherosclerosis pada
19

pembuluh darah koroner, walaupun pada sebagian kasus bisa


juga disebabakan oleh sifilis, arteritis, embolus atau penyakit
kolagen pada pembuluh darah koroner. Klasifikasi PJK yang
spesifik sampai saat ini belum ada, karena manifestasi
kliniknya kadang-kadang sangat berbeda antara penderita
yang satu dengan yang lain. Maka dari itu penderita PJK
mungkin dapat mengalami salah satu kejadian dibawah ini
yaitu : tanpa gejala, angina pectoris stabil, angina pectoris
tak stabil, infark miokard akut, gagal jantung, aritmia atau
mati mendadak.
d. Aritmia
Aritmia (atau disritmia) adalah gangguan urutan irima, atau
gangguan kecepatan dari proses depolarisasi, repolarisasi,
atau kedua-duanya pada lambung. Keadaan ini dapat disertai
dengan atau tanpa penyakit jantung, dapat juga dengan atau
tidak dengan gejala klinis.
e. Gagal jantung kongestif
Merupakan ketidakmampuan jantung untuk
mempertahankan curah jantung (cardiac output) dalam
memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh. Penurunan CO
mengakibatkan volume darah yang efektif berkurang. Untuk
mempertahankan fungsi sirkulasi yang adekuat, maka di
dalam tubuh terjadi suatu refleks hemeostatis, atau
mekanisme kompensasi melalui perubahan neurohormonal,
dilatasi ventrikel dan mekanisme Frank-Starling.
f. Angina Pektoris
Angina pektoris atau disebut juga angin duduk adalah
penyakit jantung iskemia didefinisikan sebagai
berkurangnya pasokan oksigen dan menurunnya aliran darah
ke dalam miokardium. Gangguan tersebut bisa dikarenakan
kurangnya suplai oksigen atau kebutuhan oksigen yang
20

meningkat. Sebagai manifestasi keadaan tersebut akan


timbul Angina pektoris yang pada akhirnya dapat
berkembang menjadi infark miokard. Angina pektoris dibagi
menjadi 3 jenis yaitu Angina klasik (stabil), Angina varian,
dan Angina tidak stabil. Angina klasik biasanya terjadi saat
pasien melakukan aktivitas fisik, sedangkan Angina varian
biasa terjadi saat istirahat dan biasa terjadi di pagi hari.
Angina tidak stabil tidak dapat diprediksi waktu
kejadiannya, dapat terjadi saat istirahat dan bisa terjadi saat
melakukan kegiatan fisik. Obat antiangina terdiri dari
berbagai macam golongan. Pilihan terapi pengobatan
antiangina meliputi golongan nitrat, beta bloker, dan Ca
channel antagonis.

2.2.4.4 Faktor Risiko


Perubahan gaya hidup masyarakat seiring dengan pertumbuhan
ekonomi, social budaya dan teknologi seperti perilaku merokok,
minum alcohol, pola diet salah, kurangnya aktifitas fisik dan
obesitas (Supriyono, 2008).

2.2.4.5 Gejala
Sumber rasa sakit berasal dari pembuluh koroner yang
menyempit atau tersumbat. Rasa sakit tidak enak seperti ditindih
beban berat di dada bagian tengah adalah keluhan klasik
penderita penyempitan pembuluh darah koroner. Kondisi yang
perlu diwaspadai adalah jika rasa sakit di dada muncul mendadak
dengan keluarnya keringat dingin yang berlangsung lebih dari 20
menit serta tidak berkurang dengan istirahat. Serangan jantung
terjadi apabila pembuluh darah koroner tiba-tiba menyempit
parah atau tersumbat total. Sebagian penderita PJK mengeluh
21

rasa tidak nyaman di ulu hati, sesak nafas, dan mengeluh rasa
lemas bahkan pingsan (Yahya, 2010).

2.2.4.6 Pencegahan
Pencegahan terhadap penyakit kardiovaskular lebih tepat dengan
mengendalikan factor resikonya, terkecuali factor resiko yang
tidak dapat dikendalikan seperti jenis kelamin, umur, dan genetic
atau keturunan. Berikut ini beberapa cara untuk mencegah
penyakit jantung, yaitu berhenti merokok sedini mungkin,
berolahraga secara teratur, perbaikan diet, menghindari stress
yang berlebihan, serta melakukan pola hidup sehat.

2.3 Interaksi Obat

2.3.1 Definisi
Interaksi obat merupakan efek suatu obat yang disebabkan biladua obat
atau lebih berinteraksi dan dapat mempengaruhi respon tubuh terhadap
pengobatan. Hasilnya berupa peningkatan atau penurunan efek yang
dapat mempengaruhi outcome terapi pasien (Bintarizki, 2016).

Dua atau lebih obat yang diberikan pada waktu yang sama dapat berubah
efeknya secara tidak langsung atau dapat berinteraksi. Interaksi bisa
bersifat potensiasi atau antagonis efek satu obat oleh obat lainnya, atau
adakalanya beberapa efek lainnya (BNF 58, 2009).

Suatu interaksi terjadi ketika efek suatu obat diubah oleh kehadiran obat
lain, obat herbal, makanan, minuman atau agen kimia lainnya dalam
lingkungannya. Definisi yang lebih relevan kepada pasien adalah ketika
obat bersaing satu dengan yang lainnya, atau apa yang terjadi ketika obat
hadir bersama satu dengan yang lainnya (Stockley, 2008).
22

Interaksi obat dianggap penting secara klinik bila berakibat


meningkatkan toksisitas dan atau mengurangi efektivitas obat yang
berinteraksi terutama bila menyangkut obat dengan batas keamanan yang
sempit (indeks terapi yang rendah), misalnya glikosida jantung,
antikoagulan, dan obat-obat sitostatik (Setiawati, 2007).

2.3.2 Tipe Interaksi Obat


Menurut Hussar (2007) tipe interaksi obat dibedakan menjadi 3 macam,
yaitu :
2.3.2.1 Duplikasi yaitu ketika dua obat yang sama efeknya diberikan,
efek samping mungkin dapat meningkat.
2.3.2.2 Opposition yaitu ketika dua obat dengan aksi berlawanan
diberikan bersamaan dapat berinteraksi, akibatnya menurunkan
efektivitas obat salah satu atau keduanya.
2.3.2.3 Alteration yaitu ketika suatu obat mungkin dirubah melalui
absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi oleh obat lain.

2.3.3 Mekanisme Terjadinya Interaksi Obat


Mekanisme interaksi obat dapat melalui beberapa cara, yakni :
2.3.3.1 Interaksi Farmasetik (Inkompatibilitas)
Interaksi farmasetik atau disebut juga inkompatibilitas farmasetik
bersifat langsung dan dapat secara fisik atau kimiawi, misalnya
terjadinya presipitasi, perubahan warna, tidak terdeteksi
(invisible), yang selanjutnya menyebabkan obat menjadi tidak
aktif.
Contoh: interaksi karbanisilin dengan gentamisin terjadi
inaktivasi; fenitoin dengan larutan dextrosa 5% terjadi
presipitasi; amfoterisin B dengan larutan NaCl fisiologik, terjadi
presipitasi.
23

2.3.3.2 Interaksi Farmakokinetik


Interaksi farmakokinetik terjadi ketika suatu obat mempengaruhi
absorbsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi obat lainnya
sehingga meningkatkan atau mengurangi jumlah obat yang
tersedia untuk menghasilkan efek farmakologisnya (Tatro, 2009).
Interaksi farmakokinetik terdiri dari beberapa tipe :
a. Interaksi pada absorbsi obat
1) Efek perubahan pH gastrointestinal
Obat melintasi membran mukosa dengan difusi pasif
tergantung pada apakah obat terdapat dalam bentuk terlarut
lemak yang tidak terionkan. Absorpsi ditentukan oleh nilai
pKa obat, kelarutannya dalam lemak, pH isi usus dan
sejumlah parameter yang terkait dengan formulasi obat.
Sebagai contoh adalah absorpsi asam salisilat oleh lambung
lebih besar terjadi pada pH rendah daripada pada pH tinggi
(Stockley, 2008).

2) Adsorpsi, kohelasi, dan mekanisme pembentukan komplek


Sebagai contoh, antibakteri tetrasiklin dapat membentuk
khelat dengan sejumlah ion logam divalen dan trivalen,
seperti kalsium, bismut aluminium, dan besi, membentuk
kompleks yang kurang diserap dan mengurangi efek
antibakteri (Stockley, 2008).
3) Perubahan motilitas gastrointestinal Karena kebanyakan
obat sebagian besar diserap di bagian atas usus halus, obat-
obatan yang mengubah laju pengosongan lambung dapat
mempengaruhi absorpsi. Misalnya metoklopramid
mempercepat pengosongan lambung sehingga
meningkatkan penyerapan parasetamol (asetaminofen)
(Stockley, 2008).
24

4) Induksi atau inhibisi protein transporter obat Ketersediaan


hayati beberapa obat dibatasi oleh aksi protein transporter
obat. Saat ini, transporter obat yang terkarakteristik paling
baik adalah Pglikoprotein. Digoksin adalah substrat P-
glikoprotein, dan obat-obatan yang menginduksi protein ini,
seperti rifampisin, dapat mengurangi ketersediaan hayati
digoksin (Stockley, 2008).

b. Interaksi pada distribusi obat


1) Interaksi ikatan protein Beberapa obat secara total terlarut
dalam cairan plasma, banyak yang lainnya diangkut oleh
beberapa proporsi molekul dalam larutan dan sisanya
terikat dengan protein plasma, terutama albumin. Ikatan
obat dengan protein plasma bersifat reversibel,
kesetimbangan dibentuk antara molekul-molekul yang
terikat dan yang tidak. Hanya molekul tidak terikat yang
tetap bebas dan aktif secara farmakologi (Stockley, 2008).
2) Induksi dan inhibisi protein transport obat Distribusi obat
ke otak, dan beberapa organ lain seperti testis, dibatasi oleh
aksi protein transporter obat seperti P-glikoprotein. Protein
ini secara aktif membawa obat keluar dari sel-sel ketika
obat berdifusi secara pasif. Obat yang termasuk inhibitor
transporter dapat meningkatkan penyerapan substrat obat ke
dalam otak, yang dapat meningkatkan efek samping CNS
(Stockley, 2008).

c. Interaksi pada metabolisme obat


1) Perubahan pada metabolisme fase pertama Meskipun
beberapa obat dikeluarkan dari tubuh dalam bentuk tidak
berubah dalam urin, banyak diantaranya secara kimia
diubah menjadi senyawa lipid kurang larut, yang lebih
25

mudah diekskresikan oleh ginjal. Jika tidak demikian,


banyak obat yang akan bertahan dalam tubuh dan terus
memberikan efeknya untuk waktu yang lama. Perubahan
kimia ini disebut metabolisme, biotransformasi, degradasi
biokimia, atau kadang-kadang detoksifikasi. Beberapa
metabolisme obat terjadi di dalam serum, ginjal, kulit dan
usus, tetapi proporsi terbesar dilakukan oleh enzim yang
ditemukan di membran retikulum endoplasma sel-sel hati.
Ada dua jenis reaksi utama metabolisme obat. Yang
pertama, reaksi tahap I (melibatkan oksidasi, reduksi atau
hidrolisis) obat-obatan menjadi senyawa yang lebih polar.
Sedangkan, reaksi tahap II melibatkan terikatnya obat
dengan zat lain (misalnya asam glukuronat, yang dikenal
sebagai glukuronidasi) untuk membuat senyawa yang
tidak aktif. Mayoritas reaksi oksidasi fase I dilakukan oleh
enzim sitokrom P450 (Stockley, 2008).
2) Induksi Enzim Ketika barbiturat secara luas digunakan
sebagai hipnotik, perlu terus dilakukan peningkatan dosis
seiring waktu untuk mencapai efek hipnotik yang sama,
alasannya bahwa barbiturat meningkatkan aktivitas enzim
mikrosom sehingga meningkatkan laju metabolisme dan
ekskresinya (Stockley, 2008).
3) Inhibisi enzim menyebabkan berkurangnya metabolisme
obat, sehingga obat terakumulasi di dalam tubuh. Jalur
metabolisme yang paling sering dihambat adalah fase I
oksidasi oleh isoenzim sitokrom P450. Signifikansi klinis
dari banyak interaksi inhibisi enzim tergantung pada
sejauh mana tingkat kenaikan serum obat. Jika serum tetap
berada dalam kisaran terapeutik interaksi tidak penting
secara klinis (Stockley, 2008).
26

4) Interaksi isoenzim sitokrom P450 dan obat yang diprediksi


Siklosporin dimetabolisme oleh CYP3A4, rifampisin
menginduksi isoenzim ini, sehingga tidak mengherankan
bahwa rifampisin mengurangi efek siklosporin (Stockley,
2008).

d. Interaksi pada ekskresi obat


1) Perubahan pH urin Pada nilai pH tinggi (basa), obat yang
bersifat asam lemah (pKa 3-7,5) sebagian besar terdapat
sebagai molekul terionisasi larut lipid, yang tidak dapat
berdifusi ke dalam sel tubulus dan karenanya akan tetap
dalam urin dan dikeluarkan dari tubuh. Sebaliknya, basa
lemah dengan nilai pKa 7,5 sampai 10.5. Dengan
demikian, perubahan pH yang meningkatkan jumlah obat
dalam bentuk terionisasi, meningkatkan hilangnya obat
(Stockley, 2008).
2) Perubahan ekskresi aktif tubular renal, obat yang
menggunakan sistem transportasi aktif yang sama di
tubulus ginjal dapat bersaing satu sama lain dalam hal
ekskresi. Sebagai contoh, probenesid mengurangi ekskresi
penisilin dan obat lainnya (Stockley, 2008).
3) Perubahan aliran darah renal Aliran darah melalui ginjal
dikendalikan oleh produksi vasodilator prostaglandin
ginjal. Jika sintesis prostaglandin ini dihambat, ekskresi
beberapa obat dari ginjal dapat berkurang (Stockley,
2008).
2.3.3.3 Interaksi Farmakodinamik
Interaksi farmakodinamik adalah interaksi yang terjadi antara
obat yang memiliki efek farmakologis, antagonis atau efek
samping yang hampir sama. Interaksi ini dapat terjadi karena
27

kompetisi pada reseptor atau terjadi antara obatobat yang bekerja


pada sistem fisiologis yang sama (Tatro, 2009).
a. Interaksi aditif atau sinergis
Jika dua obat yang memiliki efek farmakologis yang sama
diberikan bersamaan efeknya bisa bersifat aditif. Sebagai
contoh, alkohol menekan SSP, jika diberikan dalam jumlah
sedang dosis terapi normal sejumlah besar obat (misalnya
ansiolitik, hipnotik, dan lain-lain), dapat menyebabkan
mengantuk berlebihan (Stockley, 2008).
b. Interaksi antagonis atau berlawanan Interaksi terjadi bila obat
yang berinteraksi memiliki efek farmakologi yang berlawanan
sehingga mengakibatkan pengurangan hasil yang diinginkan
dari satu atau lebih obat (Stockley, 2008).

2.3.3.4 Interaksi obat yang tidak dikehendaki (ADIs)


Interaksi obat yang tidak dikehendaki (ADIs) mempunyai
implikasi klinis jika:
a. obat indeks memiliki batas keamanan sempit.
b. mula kerja (onset of action) obat cepat, terjadi dalam waktu
24 jam.
c. dampak ADIs bersifat serius atau berpotensi fatal dan
mengancam kehidupan.
d. indeks dan obat presipitan lazim digunakan dalam praktek
klinik secara bersamaan dalam kombinasi.
Banyak faktor berperan dalam terjadinya ADIs yang bermakna
secara klinik, antara lain faktor usia, faktor penyakit, genetik, dan
penggunaan obat-obat preskripsi bersama-sama beberapa obat-
obat OTC sekaligus. Usia lanjut lebih rentan mengalami interaksi
obat. Pada penderita diabetes melitus usia lanjut yang disertai
menurunnya fungsi ginjal, pemberian penghambat ACE (misal:
28

kaptopril) bersama diuretik hemat kalium (misal: spironolakton,


amilorid, triamteren) menyebabkan terjadinya hiperkalemia yang
mengancam kehidupan. Beberapa penyakit seperti penyakit hati
kronik dan kongesti hati menyebabkan penghambatan
metabolisme obatobat tertentu yang dimetabolisme di hati
(misalnya simetidin) sehingga toksisitasnya dapat meningkat.
Pemberian relaksans otot bersama aminoglikosida pada penderita
miopati, hipokalemia, atau disfungsi ginjal, dapat menyebabkan
efek relaksasi otot meningkat dan kelemahan otot meningkat.

Polimorfisme adalah salah satu faktor genetik yang berperan


dalam interaksi obat. Pemberian fenitoin bersama INH pada
kelompok polimorfisme asetilator lambat dapat menyebabkan
toksisitas fenitoin meningkat. Obat-obat OTC seperti antasida,
NSAID dan rokok yang banyak digunakan secara luas dapat
berinteraksi dengan banyak sekali obat-obat lain.

2.3.3.5 Interaksi obat yang dikehendaki


Adakalanya penambahan obat lain justru diperlukan untuk
meningkatkan atau mempertahankan kadar plasma obat-obat
tertentu sehingga diperoleh efek terapetik yang diharapkan.
Selain itu, penambahan obat lain diharapkan dapat
mengantisipasi atau mengantagonis efek obat yang berlebihan.
Penambahan obat lain dalam bentuk kombinasi (tetap ataupun
tidak tetap) kadang-kadang disebut pharmacoenhancement, juga
sengaja dilakukan untuk mencegah perkembangan resistensi,
meningkatkan kepatuhan, dan menurunkan biaya terapi karena
mengurangi regimen dosis obat yang harus diberikan.
29

Kombinasi suatu anti aritmia yang memiliki waktu paruh singkat


misalnya prokainamid, dengan simetidin dapat mengubah
parameter farmakokinetik prokainamid. Simetidin akan
memperpanjang waktu paruh prokainamid dan memperlambat
eliminasinya. Dengan demikian frekuensi pemberian dosis
prokainamid sebagai anti aritmia dapat dikurangi dari setiap 4-6
jam menjadi setiap 8 jam/hari, sehingga kepatuhan dapat
ditingkatkan.

Dalam regimen pengobatan HIV, diperlukan kombinasi obat-obat


penghambat protease untuk terapi HIV dengan tujuan mengubah
profil farmakokinetik obat-obat tersebut. Misalnya, penghambat
protease lopinavir jika diberikan tunggal menunjukkan
bioavailabilitas rendah sehingga tidak dapat mencapai kadar
plasma yang memadai sebagai antivirus.

Dengan mengombinasikan lopinavir dengan ritonavir dosis


rendah, maka bioavailabilitas lopinavir akan meningkat dan obat
mampu menunjukkan efikasi sebagai antiviral. Ritonavir dosis
rendah tidak memiliki efek antiviral namun cukup adekuat untuk
menghambat metabolisme lopinavir oleh CYP3A4 di usus dan
hati. Kombinasi obat-obat anti malaria dengan mula kerja cepat
tetapi waktu paruhnya singkat (misal, artemisinin) dengan obat
anti malaria lain yang memiliki waktu paruh lebih panjang, akan
meningkatkan efktivitas obat anti malaria tersebut dan
mengurangi relaps. Kombinasi obat-obat anti tuberkulosis
diharapkan akan memperlambat terjadinya resistensi.

2.3.4 Tingkat Keparahan Interaksi Obat


Keparahan interaksi diberi tingkatan dan dapat diklasifikasikan ke dalam
tiga level : minor, moderate, atau major.
30

2.3.4.1 Keparahan minor


Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan minor jika efek
biasanya ringan, konsekuensi mungkin mengganggu tapi tidak
signifikan mempengaruhi hasil terapi. Pengobatan tambahan
biasanya tidak diperlukan (Tatro, 2009).

2.3.4.2 Keparahan moderate


Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan moderate jika
efek yang tejadi dapat menyebabkan perubahan status klinis
pasien, menyebabkan perawatan tambahan, perawatan di rumah
sakit dan atau perpanjangan lama tinggal di rumah sakit (Tatro,
2009).

2.3.4.3 Keparahan major


Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan major jika
terdapat probabilitas yang tinggi kejadian yang membahayakan
pasien termasuk kejadian yang menyangkut nyawa pasien dan
terjadinya kerusakan permanen (Tatro, 2009).

2.3.5 Prevalensi Interaksi Obat


Insiden interaksi obat yang penting dalam klinik sukar diperkirakan
karena dokumentasinya masih sangat jarang, seringkali lolos dari
pengamatan karena kurangnya pengetahuan pada dokter akan
mekanisme dan kemungkinan terjadinya interaksi obat sehingga
interaksi obat berupa peningkatan toksisitas seringkali dianggap sebagai
reaksi idiosinkrasi terhadap salah satu obat sedangkan interaksi berupa
penurunan efektivitas seringkali diduga akibat bertambahnya keparahan
penyakit, selain itu terlalu banyak obat yang saling berinteraksi sehingga
sulit untuk diingat, dan kejadian atau keparahan interaksi dipengaruhi
oleh variasi individual (populasi tertentu lebih peka misalnya penderita
lanjut usia atau yang berpenyakit parah, adanya perbedaan kapasitas
31

metabolisme antar individu), penyakit tertentu (terutama gagal ginjal


atau penyakit hati yang parah), dan faktor-faktor lain (dosis besar, obat
ditelan bersama-sama, pemberian kronik) (Setiawati, 2007).

Pengobatan dengan beberapa obat sekaligus (polifarmasi) yang menjadi


kebiasaan para dokter memudahkan terjadinya interaksi obat. Suatu
survai yang dilaporkan pada tahun 1977 mengenai polifarmasi pada
penderita yang dirawat di rumah sakit menunjukkan bahwa insiden efek
samping pada penderita yang 32 mendapat 0-5 macam obat adalah 3,5%,
sedangkan yang mendapat 16-20 macam obat adalah 54%. Peningkatan
efek samping obat yang jauh melebihi peningkatan jumlah obat yang
diberikan bersama ini diperkirakan akibat terjadinya interaksi obat yang
juga semakin meningkat (Setiawati, 2007).

2.3.6 Faktor-faktor Penyebab Interaksi Obat


Sekarang ini, potensi efek yang tidak terduga sebagai akibat dari
interaksi antara obat dan obat lain atau makanan telah ditetapkan. Risiko
interaksi obat akan meningkat seiring dengan peningkatan jumlah obat
yang digunakan oleh individu. Hal ini juga menyiratkan risiko yang
lebih besar pada orang tua dan mengalami penyakit kronis, karena
mereka akan menggunakan obat-obatan lebih banyak daripada populasi
umum.
Risiko juga meningkat bila rejimen pasien berasal dari beberapa resep.
Peresepan dari satu apotek saja mungkin dapat menurunkan risiko
interaksi yang tidak terdeteksi.
Interaksi obat potensial seringkali terjadi pada pasien rawat inap yang
diresepkan banyak pengobatan. Prevalensi interaksi obat meningkat
secara linear seiring dengan peningkatan jumlah obat yang diresepkan,
jumlah kelas obat dalam terapi, jenis kelamin dan usia pasien (Setiawan,
2011).
32

2.4 Medscape

2.4.1 Pengantar

Medscape adalah aplikasi kesehatan online terkemuka untuk dokter dan


profesional kesehatan di seluruh dunia yang menyediakan berita medis
terbaru, perspektif ahli, informasi obat dan penyakit penting, dan
pendidikan profesional yang relevan.

Medscape diciptakan oleh Peter Frishauf pada tahun 1995, dengan tujuan
menyebarkan sebanyak mungkin informasi medis kepada tenaga medis
serta masyarakat seluas mungkin tanpa menggunakan biaya. Medscape
menyediakan artikel teks lengkap dari jurnal yang diproduksi oleh
perusahaan induknya yaitun SCP Communications, ditambah beberapa
lainnya dari penerbit yang berkerjasama dalam Lingkaran Penerbit
Medscape. Kumpulan artikel tersebut lah yang dapat diakses oleh tenaga
medis maupun masyarakat tanpa menggunakan biaya.

Medscape menyediakan sejumlah informasi medis, bedah, perawatan


kesehatan, dan teknis yang andal melalui berbagai artikel, komentar, dan
penelitian yang berkembang yang pertama kali diterbitkan di sejumlah
jurnal cetak dengan fokus klinis utamanya.

Medscape memiliki lebih dari 8000 resep dan monograf obat bebas,
termasuk herbal dan suplemen serta lebih dari 7600 penyakit, kondisi,
dan prosedur yang ditingkatkan dengan gambar dan video, serta alat
referensi yang penting seperti pemeriksaan interaksi obat, kalkulator
medis, dan pengenalan pil.

2.4.2 Kelebihan

Keuntungan utama penggunaan smartphone dalam kesehatan masyarakat


adalah aksesibilitas dan penyebaran informasi. Saat ini, 88% orang
Amerika memiliki ponsel, setengahnya adalah ponsel cerdas, dan hanya
33

20% orang dewasa di AS yang tidak mengakses Internet sama sekali


baik melalui komputer maupun smartphone.

Dengan ketersediaan jaringan yang memadai, pasien saat ini memiliki


akses ke suatu alat untuk mengubah perilaku kesehatan, mengelola obat-
obatan, dan memungkin mengetahui hasil tes oleh Instansi pelayanan
kesehatan. Penyedia layanan kesehatan di lokasi yang lebih terpencil
bisa menggunakan ponsel sebagai telemedis. Di seluruh dunia, sedang
dilakukan inisiatif untuk menggunakan sistem berbasis smartphone di
rangkaian perawatan kesehatan di pedesaan, atau sebagai alat kesehatan
masyarakat di berbagai penelitian atau hasil penelitian berbasis rumah
sakit. Adapun 5 strategi intervensi kesehatan utama untuk aplikasi
ponsel:

2.4.2.1 Melacak informasi kesehatan (self-monitoring).


2.4.2.2 Melibatkan tim layanan kesehatan (pelatihan dan pemantauan
gejala jarak jauh).
2.4.2.3 Memanfaatkan pengaruh sosial (dukungan dari teman sebaya
atau keluarga).
2.4.2.4 Meningkatkan aksesibilitas informasi kesehatan.
2.4.2.5 Melibatkan hiburan
Smartphone dapat menjadi alat penting untuk mengelola perilaku
kesehatan, berhubungan dengan teman sebaya, keluarga, atau penyedia
layanan kesehatan, dan menjaga kesehatan menjadi mudah.

2.4.3 Kekurangan

Rabin dan Bock menguji aplikasi aktivitas fisik di antara sekelompok


kecil orang dewasa untuk menentukan fitur yang paling banyak mereka
perlukan. Sebagian besar peserta studi menginginkan fitur pemecahan
masalah di aplikasi mereka. Namun, pengembang aplikasi mungkin
34

tidak melibatkan pasien atau konsumen secukupnya selama


pengembangan aplikasi.

Penggunaan smartphone mungkin tidak dapat diterima oleh sebagian


pasien maupun pelayanan kesehatan. Instansi pelayanan kesehatan
enggan menggunakan aplikasi smartphone di depan pasien dikarenakan
tidak diizinkan serta menimbulkan kesan tidak profesional. Meski
banyak pula warga mengetahui bahwa smartphone dapat meningkatkan
efisiensi, penggunaan smartphone juga dikaitkan dengan lebih banyak
gangguan serta perilaku tidak profesional.

Hal lain yang harus diperhatikan adalah keamanan. Perangkat lunak


berbahaya (malware) untuk smartphone dapat menimbulkan risiko lebih
besar bagi kesejahteraan pribadi dan finansial konsumen daripada virus
komputer, katakanlah ilmuwan dari Universitas Rutgers. Di lingkungan
laboratorium, para ilmuwan telah mengembangkan malware yang sangat
tangguh, yang dikenal sebagai rootkit, yang dapat mengubah mikrofon,
GPS, dan baterai ponsel dari pemilik ponsel.

Pengguna smartphone dapat mengikuti daftar periksa keamanan untuk


meminimalkan kerentanan terhadap informasi pada perangkat mereka.
Smartphone, mirip dengan dompet dan barang berharga lainnya, tidak
boleh ditinggalkan tanpa pengawasan. Ini meminimalkan kemungkinan
penggunaan yang tidak sesuai. Selanjutnya, perlindungan kata kunci
smartphone harus diaktifkan, sebuah langkah sederhana yang tidak
dimiliki oleh pengguna smartphone. Pengguna harus menginstal dan
memperbarui sistem operasi smartphone mereka kapanpun tersedia.
Sebuah laporan 2011 menyatakan bahwa 90% pengguna Android rentan
karena menggunakan sistem operasi yang ketinggalan jaman. Memasang
aplikasi perlindungan anti-malware (jika tersedia untuk perangkat) untuk
menggagalkan infeksi dari aplikasi dan situs Web berbahaya sangat
35

disarankan. Serupa dengan penggunaan komputer pribadi di rumah


secara online, pengguna ponsel cerdas harus selektif dalam mengunjungi
situs Web yang patut dipertanyakan atau membeli dan memasang
aplikasi dari sumber yang tidak terpercaya.

Banyak pasien tidak memiliki smartphone atau tidak sepenuhnya


mengerti bagaimana cara menggunakan smartphone mereka. Mereka
tidak dapat menggunakan aplikasi meskipun dianjurkan. Selain itu,
informasi sensitif atau informasi sensitif lainnya sebaiknya tidak dicatat
pada ponsel cerdas manapun tanpa berkonsultasi dengan kebijakan
fasilitas setempat. Beberapa institusi mendistribusikan perangkat yang
memiliki enkripsi dan keamanan untuk mendukung pencatatan informasi
pasien. Kebijakan khusus di rumah sakit dapat mencakup penggunaan
smartphone dan perangkat lain jika smartphone tidak mengganggu
peralatan medis dan peraturan tentang kerahasiaan (termasuk
pengambilan foto dan penyimpanan informasi medis).

Peraturan aplikasi medis Administrasi Makanan dan Obat-obatan AS


baru-baru ini menggariskan peraturan aplikasi mobile medis. Beberapa
orang bertanya-tanya apakah pengawasan ini akan berpengaruh pada
inovasi dan aplikasi mobile tertentu. Aplikasi mobile yang akan
disertakan dalam peraturan adalah mereka yang menggunakan lampiran
tambahan untuk mengubah platform mobile menjadi perangkat medis
dan perangkat lain yang bertindak sesuai dengan perangkat medis yang
sudah diatur.
36

2.5 Kerangka Konsep


Kerangka konsep adalah suatu uraian dan visualisasi tentang hubungan atau
kaitan antara konsep-konsep atau variabel-variabel yang akan diamati atau
diukur melalui penelitian yang akan dilakukan (Notoatmodjo, 2012).

Kerangka konsep pada penelitian ini adalah sebagai berikut :

Resep pasien jantung


dengan jumlah obat ≫ 2

Pengecekan interaksi obat


melalui aplikasi medscape

Obat didalam resep tidak Obat didalam resep


berinteraksi berinteraksi

Gambar 2.4 Kerangka Konsep Gambaran Interaksi Obat Pada Peresepan Pasien
Poliklinik Jantung di Instalasi Farmasi Rawat Jalan RSUD Dr. H. Moch Ansari
Saleh Banjarmasin Dengan Menggunakan Aplikasi Medscape.

Anda mungkin juga menyukai