PENDAHULUAN
1.1.1 Latar Belakang
Apotek merupakan sarana kesehatan yang dibutuhkan oleh konsumen
untuk mendapatkan obat. Menurut Peraturan Pemerintah (PP) 51 Tahun 2009,
apotek merupakan sarana pelayanan kefarmasian dimana tempat dilakukan
praktek kefarmasian oleh apoteker (Depkes, 2009). Perkembangan yang pesat
telah terjadi di apotek dengan bergesernya orientasi seorang apoteker dari product
atau drug oriented menjaadi patient oriented yang bertujuan untuk membantu
konsumen memperoleh dan menggunakan obat yang tepat dan benar. Konsumen
akan merasa puas jika kebutuhannya terpenuhi dengan baik (Farruk Rastha
Pradipta dkk : 2019 : 283)
Apotek sebagai sarana pelayanan kesehatan dapat menyediakan obat bagi
pasien melalui pelayanan resep. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan
RI Nomor 1197/MENKES/SK/X/2004 resep adalah permintaan tertulis dari
seorang dokter, dokter gigi, dokter hewan yang diberi izin berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku kepada apoteker pengelola apotek untuk
menyiapkan dan atau membuat, meracik serta menyerahkan obat kepada pasien
(Dina Tri Amalia dkk :2014:23)
Dalam hal penulisan resep, terdapat titik--titik rawan yang harus difahami
baik oleh penulis resep (prescriber) maupun pembaca resep (dispenser). Resep
harus ditulis dengan jelas dan lengkap untuk menghindari adanya salah persepsi
diantara keduanya dalam "mengartikan sebuah resep". Menurut Michelle R.
Colien kegagalan komunikasi dan salah interpretasi antara prescriber dengan
dispenser merupakan salah satu faktor penyebab timbulnya kesalahan medikasi
(medication error) yang bisa berakibat fatal bagi penderita (Cohen, 1999
( rahmawati dkk : 2002:87)).
Masalah yang banyak terjadi saat ini antara lain penyalahgunaan obat
khususnya obat psikotropika yang memberikan efek ketergantungan pada
pemakai, maka dalam pelayanan resep obat psikotropika harus berdasarkan resep
dokter dan diketahui keabsahannya.
Menurut Undang-Undang Nomor 5 tahun 1997 tentang psikotropika,
psikotropika merupakan zat atau obat. Baik alamiah maupun sintetis bukan
narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf
pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.
Selain itu dijelaskan bahwa psikotropika sangat bermanfaat dan diperlukan untuk
kepentingan pelayanan Kesehatan dan ilmu pengetahuan, mencegah terjadinya
penyalahgunaan psikoropika, dan memberantas peredapan gelap psikotropika,
maka ketersediaannya perlu dijamin penyerahan psikotropika oleh apotek, rumah
sakit, puskesmas, dan balai pengobatan dilaksanakan berdasarkan resep dokter
(Depkes,2006).
1.1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang maka dapat diformulasikan Rumusan
Masalah ‘Bagaimanakah peresepan obat psikotropika di Apotek Mulia Kota
Gorontalo?”
1.1.3 Tujuan penelitian
a. Tujuan Umum
Untuk mengetahui propil peresepan obat Psikotropika di Apotek Mulia
Kota Gorontalo
b. Tujuan Khusus
Mengidentifikasi dan melakukan pengkajian terhadap peresepan obat
psikotropika yang diterima oleh pasien di Apotek Mulia Kota Gorontalo yang
meliputi :
1. Aspek legalitas
2. Kelengkapan resep
3. Jenis obat psikotropika yang paling banyak diresepkan
4. Dosis obat dalam peresepan psikotropika
1.1.4 Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Diharapkan penelitian ini memberikan kontribusi bagi farmasi sebagai
pedoman tambahan dalam mengidentifikasi cara peresepan obat psikotropika yang
baik dan benar ditinjau dari segi kelengkapan resep, aspek legalitas, jenis obat dan
dosis obat sehingga tidak terjadi lagi prescribing error pada obat psikotropika
yang dapat merugikan nyawa manusia
b. Manfaat Praktis
1. Bagi Peneliti
Untuk menambah wawasan pengetahuan dari peneliti tentang kajian peresepan
psikotropika di Apotek Kota Gorontalo.
2. Bagi Apoteker
Untuk meningkatkan responsibilitas dan ketelitian seorang apoteker dalam hal
memeriksa prosedur peresepan obat psikotropika yang baik dan benar sehingga
ikut membantu mencegah penyalahgunaan psikotropika.
3. Bagi Tenaga Medis Lain
Penelitian ini diharapakan dapat menjadi bahan masukan bagi para tenaga
kesehatan lain, untuk lebih meningkatkan kinerja dalam mengawasi dan
memeriksa ketepatan peresepan obat psikotropika pada pasien sehingga tidak
terjadi drug related problem yang dapat merugikan semua pihak.
4. Bagi Pemerintah
Penelitian ini diharapkan menjadi salah satu aspek rujukan bagi pemerintah
dalam penyusunan peraturan perundang-undangan yang menjamin tentang
pengaturan peresepan psikotropika yang baik dan benar
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Resep
2.1.1 Definisi Resep
Resep berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 9 Tahun 2017 adalah permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi dan
dokter hewan kepada apoteker baik dalam bentuk paper maupun elektronik untuk
menyediakan dan menyerahkan obat bagi pasien sesuai peraturan yang berlaku
(Kementrian Kesehatan, 2017). Jenis resep meliputi resep standard dan resep
magistrales. Resep standar merupakan resep dengan komposisi yang telah
dibakukan dan dituangkan ke dalam buku farmakope atau buku standa lainnya,
sedangkan resep magistrales merupakan resep yang telah dimodifikasi berupa
campuran atau obat tunggal yang diencerkan oleh dokter yang menulis (Ramkita,
2018).
2.1.2 Jenis-Jenis Resep
1. Resep magistrales (R/Polifarmasi) Yaitu resep yang sudah
dimodifikasi atau diformat oleh dokter bisa berupa campuran atau
tunggal yang diencerkan dalam pelayanannya harus diracik terlebih
dahulu.
2. Resep medicinal Yaitu resep obat jadi, bisa berupa obat paten,
merek dagang maupun generic, dalam pelayanannya tidak
mengalami peracikan. Buku referensi: Informasi Standarisasi Obat
(ISO), Indonesia Index Medical Specialities (IIMS), Daftar Obat
Indonesia (DOI) dan lain-lain.
3. Resep obat generik Yaitu penulisan resep obat dengan nama
generic dalam bentuk sediaan dan jumlah tertentu. Dalam
pelayanannya bisa atau tidak dilakukan peracikan (Riza, 2017).
4. Resep standar (R/. Officinalis) Yaitu resep yang komposisinya
telah dibakukan dan dituangkan ke dalam farmakope atau buku
standar lainnya. Penulisan resep sesuai dengan buku standar.
2.1.3 Tujuan Penulisan Resep
Tujuan Penulisan Resep:
1. Memudahkan dokter dalam pelayanan kesehatan di bidang farmasi
2. Meminimalkan kesalahan dalam pemberian obat.
3. Terjadi control silang (cross check) dalam pelayanan kesehatan di
bidang farmasi.
4. Pemberian obat lebih rasional dibandingkandispensing
5. Pelayanan lebih berorientasi kepada pasien (patient oriented)
(Wibowo,2010).
2.1.4 Format Penulisan Resep
a. Inscriptio : nama, alamat, dan nomor izin praktek (SIP) dokter,
tanggal penulisan resep.
b. Invocatio : tanda R/ pada bagian kiri setiap penulisan resep.
Permintaan tertulis dokter dalam singkatan latin “R/ = resipe”
artinya ambilah atau berikanlah. Berfungsi sebagai kata pembuka
komunikasi antara dokter penulis resep dengan apoteker di apotek.
c. Prescriptio/ordonatio : nama obat yang diinginkan, bentuk sediaan
obat, dosis obat, dan jumlah obat yang diminta.
d. Signatura : petunjuk penggunaan obat bagi pasien yang terdiri dari
tanda cara pakai, regimen dosis pemberian, rute dan interval waktu
pemberian. Penulisan signatura harus jelas untuk keamanan
penggunaan obat dan keberhasilan terapi.
e. Subscriptio : tanda tangan/paraf dokter penulis resep yang berperan
sebagai legalitas dan keabsahan tersebut
f. Pro (diperuntukkan) terdiri dari nama, alamat, umur, jenis kelamin,
dan berat badan pasien (Brinkman DJ, 2017).
2.2 Psikotropika
Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan
narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada Susunan
Saraf Pusat (SSP) yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan
perilaku (UU No 5 Tahun 1997).Penggunaan obat psikotropika sebagai saraf
untuk antiepilepsi sebanyak 21,02% yaitu diazepam (9,42%), fenobarbital
(14,25%) obat depresi tidak diberikan dalam jumlah banyak karena dapat
menimbulkan efek adiksi(Asyikin et al., 2016).Selain itu dapat digunakan untuk
depresi, prevalensi gangguan depresi penduduk di dunia 3-8% dan 50% terjadi
pada usia 20-50 tahun(Depkes, 2007).
Tindak pidana psikotropika diatur dalam undang-undang No. 5 Tahun
1997 Tentang Psikotropika. Sebelum membahas aturan hukum tindak pidana
psikotropika terlebih dahulu dijelaskan penggolongan psikotropika. Sesuai dengan
undang-undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika digolongan menjadi 4
(empat) bagian yaitu :
a. Psikotropika golongan I : yaitu Psikotropika yang hanya dapat digunakan
untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta
mempunyai potensi amat kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan.
b. Psikotropika golongan II : yaitu psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan
dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta
mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan.
c. Psikotropika golongan III : yaitu psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan
banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta
mempunyai potensi sedang mengakibatkan sindroma ketergantungan.
d. Psikotropika golongan IV : yaitu psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan
sangat luas digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan
serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan sindroma ketergantungan.
2.3 Apotek
2.3.1 Pengertian Apotek
Definisi apotek menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 51
Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian yang dimaksud dengan apotek adalah
sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh
apoteker ( Menkes, 2009 ). Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
yang terbaru Nomor 9 Tahun 2017 Tentang Apotek juga menyebutkan bahwa
apotek merupakan sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek
kefarmasian oleh apoteker dan tenaga kefarmasian lainnya ( Menkes, 2017 ).
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 9 Tahun 2017
tentang tujuan didirikannya apotek adalah sebagai berikut :
1. Meningkatkan kualitas pelayanan kefarmasian di apotek;
2. Memberikan perlindungan pasien dan masyarakat dalam memperoleh
pelayanan kefarmasian di apotek;
3. Menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian dalam
memberikan pelayanan kefarmasian di apotek ( Menkes, 2017 ).
2.3.2 Tugas dan Fungsi Apotek
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan
Kefarmasian dijelaskan bahwa tugas dan fungsi apotek adalah :
1. Sebagai tempat pengabdian profesi seorang apoteker yang telah
mengucapkan sumpah jabatan.
2. Apotek memiliki fungsi sebagai sarana pelayanan yang dapat
dilakukan pekerjaan kefarmasian berupa peracikan, pengubahan
benuk, pencampuran dan penyerahan obat.
3. Apotek berfungsi sebagai sarana penyalur perbekalan farmasi yang
harus menyebarkan obat yang diperlukan masyarakat secara meluas
dan merata
4. Apotek berfungsi sebagai tempat pelayanan informasi meliputi:
a) Pelayanan informasi tentang obat dan perbekalan farmasi lainnya yang
diberikan baik kepada dokter, perawat, bidan dan tenaga kesehatan lainnya
maupun kepada masyarakat.
b) Pelayanan informasi mengenai khasiat obat, keamanan obat, bahaya dan
mutu obat serta perbekalan farmasi lainnya.
Memperhatikan