Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN
1.1.1 Latar Belakang
Apotek merupakan sarana kesehatan yang dibutuhkan oleh konsumen
untuk mendapatkan obat. Menurut Peraturan Pemerintah (PP) 51 Tahun 2009,
apotek merupakan sarana pelayanan kefarmasian dimana tempat dilakukan
praktek kefarmasian oleh apoteker (Depkes, 2009). Perkembangan yang pesat
telah terjadi di apotek dengan bergesernya orientasi seorang apoteker dari product
atau drug oriented menjaadi patient oriented yang bertujuan untuk membantu
konsumen memperoleh dan menggunakan obat yang tepat dan benar. Konsumen
akan merasa puas jika kebutuhannya terpenuhi dengan baik (Farruk Rastha
Pradipta dkk : 2019 : 283)
Apotek sebagai sarana pelayanan kesehatan dapat menyediakan obat bagi
pasien melalui pelayanan resep. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan
RI Nomor 1197/MENKES/SK/X/2004 resep adalah permintaan tertulis dari
seorang dokter, dokter gigi, dokter hewan yang diberi izin berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku kepada apoteker pengelola apotek untuk
menyiapkan dan atau membuat, meracik serta menyerahkan obat kepada pasien
(Dina Tri Amalia dkk :2014:23)
Dalam hal penulisan resep, terdapat titik--titik rawan yang harus difahami
baik oleh penulis resep (prescriber) maupun pembaca resep (dispenser). Resep
harus ditulis dengan jelas dan lengkap untuk menghindari adanya salah persepsi
diantara keduanya dalam "mengartikan sebuah resep". Menurut Michelle R.
Colien kegagalan komunikasi dan salah interpretasi antara prescriber dengan
dispenser merupakan salah satu faktor penyebab timbulnya kesalahan medikasi
(medication error) yang bisa berakibat fatal bagi penderita (Cohen, 1999
( rahmawati dkk : 2002:87)).
Masalah yang banyak terjadi saat ini antara lain penyalahgunaan obat
khususnya obat psikotropika yang memberikan efek ketergantungan pada
pemakai, maka dalam pelayanan resep obat psikotropika harus berdasarkan resep
dokter dan diketahui keabsahannya.
Menurut Undang-Undang Nomor 5 tahun 1997 tentang psikotropika,
psikotropika merupakan zat atau obat. Baik alamiah maupun sintetis bukan
narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf
pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.
Selain itu dijelaskan bahwa psikotropika sangat bermanfaat dan diperlukan untuk
kepentingan pelayanan Kesehatan dan ilmu pengetahuan, mencegah terjadinya
penyalahgunaan psikoropika, dan memberantas peredapan gelap psikotropika,
maka ketersediaannya perlu dijamin penyerahan psikotropika oleh apotek, rumah
sakit, puskesmas, dan balai pengobatan dilaksanakan berdasarkan resep dokter
(Depkes,2006).
1.1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang maka dapat diformulasikan Rumusan
Masalah ‘Bagaimanakah peresepan obat psikotropika di Apotek Mulia Kota
Gorontalo?”
1.1.3 Tujuan penelitian
a. Tujuan Umum
Untuk mengetahui propil peresepan obat Psikotropika di Apotek Mulia
Kota Gorontalo
b. Tujuan Khusus
Mengidentifikasi dan melakukan pengkajian terhadap peresepan obat
psikotropika yang diterima oleh pasien di Apotek Mulia Kota Gorontalo yang
meliputi :
1. Aspek legalitas
2. Kelengkapan resep
3. Jenis obat psikotropika yang paling banyak diresepkan
4. Dosis obat dalam peresepan psikotropika
1.1.4 Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Diharapkan penelitian ini memberikan kontribusi bagi farmasi sebagai
pedoman tambahan dalam mengidentifikasi cara peresepan obat psikotropika yang
baik dan benar ditinjau dari segi kelengkapan resep, aspek legalitas, jenis obat dan
dosis obat sehingga tidak terjadi lagi prescribing error pada obat psikotropika
yang dapat merugikan nyawa manusia
b. Manfaat Praktis
1. Bagi Peneliti
Untuk menambah wawasan pengetahuan dari peneliti tentang kajian peresepan
psikotropika di Apotek Kota Gorontalo.
2. Bagi Apoteker
Untuk meningkatkan responsibilitas dan ketelitian seorang apoteker dalam hal
memeriksa prosedur peresepan obat psikotropika yang baik dan benar sehingga
ikut membantu mencegah penyalahgunaan psikotropika.
3. Bagi Tenaga Medis Lain
Penelitian ini diharapakan dapat menjadi bahan masukan bagi para tenaga
kesehatan lain, untuk lebih meningkatkan kinerja dalam mengawasi dan
memeriksa ketepatan peresepan obat psikotropika pada pasien sehingga tidak
terjadi drug related problem yang dapat merugikan semua pihak.
4. Bagi Pemerintah
Penelitian ini diharapkan menjadi salah satu aspek rujukan bagi pemerintah
dalam penyusunan peraturan perundang-undangan yang menjamin tentang
pengaturan peresepan psikotropika yang baik dan benar
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Resep
2.1.1 Definisi Resep
Resep berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 9 Tahun 2017 adalah permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi dan
dokter hewan kepada apoteker baik dalam bentuk paper maupun elektronik untuk
menyediakan dan menyerahkan obat bagi pasien sesuai peraturan yang berlaku
(Kementrian Kesehatan, 2017). Jenis resep meliputi resep standard dan resep
magistrales. Resep standar merupakan resep dengan komposisi yang telah
dibakukan dan dituangkan ke dalam buku farmakope atau buku standa lainnya,
sedangkan resep magistrales merupakan resep yang telah dimodifikasi berupa
campuran atau obat tunggal yang diencerkan oleh dokter yang menulis (Ramkita,
2018).
2.1.2 Jenis-Jenis Resep
1. Resep magistrales (R/Polifarmasi) Yaitu resep yang sudah
dimodifikasi atau diformat oleh dokter bisa berupa campuran atau
tunggal yang diencerkan dalam pelayanannya harus diracik terlebih
dahulu.
2. Resep medicinal Yaitu resep obat jadi, bisa berupa obat paten,
merek dagang maupun generic, dalam pelayanannya tidak
mengalami peracikan. Buku referensi: Informasi Standarisasi Obat
(ISO), Indonesia Index Medical Specialities (IIMS), Daftar Obat
Indonesia (DOI) dan lain-lain.
3. Resep obat generik Yaitu penulisan resep obat dengan nama
generic dalam bentuk sediaan dan jumlah tertentu. Dalam
pelayanannya bisa atau tidak dilakukan peracikan (Riza, 2017).
4. Resep standar (R/. Officinalis) Yaitu resep yang komposisinya
telah dibakukan dan dituangkan ke dalam farmakope atau buku
standar lainnya. Penulisan resep sesuai dengan buku standar.
2.1.3 Tujuan Penulisan Resep
Tujuan Penulisan Resep:
1. Memudahkan dokter dalam pelayanan kesehatan di bidang farmasi
2. Meminimalkan kesalahan dalam pemberian obat.
3. Terjadi control silang (cross check) dalam pelayanan kesehatan di
bidang farmasi.
4. Pemberian obat lebih rasional dibandingkandispensing
5. Pelayanan lebih berorientasi kepada pasien (patient oriented)
(Wibowo,2010).
2.1.4 Format Penulisan Resep
a. Inscriptio : nama, alamat, dan nomor izin praktek (SIP) dokter,
tanggal penulisan resep.
b. Invocatio : tanda R/ pada bagian kiri setiap penulisan resep.
Permintaan tertulis dokter dalam singkatan latin “R/ = resipe”
artinya ambilah atau berikanlah. Berfungsi sebagai kata pembuka
komunikasi antara dokter penulis resep dengan apoteker di apotek.
c. Prescriptio/ordonatio : nama obat yang diinginkan, bentuk sediaan
obat, dosis obat, dan jumlah obat yang diminta.
d. Signatura : petunjuk penggunaan obat bagi pasien yang terdiri dari
tanda cara pakai, regimen dosis pemberian, rute dan interval waktu
pemberian. Penulisan signatura harus jelas untuk keamanan
penggunaan obat dan keberhasilan terapi.
e. Subscriptio : tanda tangan/paraf dokter penulis resep yang berperan
sebagai legalitas dan keabsahan tersebut
f. Pro (diperuntukkan) terdiri dari nama, alamat, umur, jenis kelamin,
dan berat badan pasien (Brinkman DJ, 2017).
2.2 Psikotropika
Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan
narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada Susunan
Saraf Pusat (SSP) yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan
perilaku (UU No 5 Tahun 1997).Penggunaan obat psikotropika sebagai saraf
untuk antiepilepsi sebanyak 21,02% yaitu diazepam (9,42%), fenobarbital
(14,25%) obat depresi tidak diberikan dalam jumlah banyak karena dapat
menimbulkan efek adiksi(Asyikin et al., 2016).Selain itu dapat digunakan untuk
depresi, prevalensi gangguan depresi penduduk di dunia 3-8% dan 50% terjadi
pada usia 20-50 tahun(Depkes, 2007).
Tindak pidana psikotropika diatur dalam undang-undang No. 5 Tahun
1997 Tentang Psikotropika. Sebelum membahas aturan hukum tindak pidana
psikotropika terlebih dahulu dijelaskan penggolongan psikotropika. Sesuai dengan
undang-undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika digolongan menjadi 4
(empat) bagian yaitu :
a. Psikotropika golongan I : yaitu Psikotropika yang hanya dapat digunakan
untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta
mempunyai potensi amat kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan.
b. Psikotropika golongan II : yaitu psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan
dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta
mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan.
c. Psikotropika golongan III : yaitu psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan
banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta
mempunyai potensi sedang mengakibatkan sindroma ketergantungan.
d. Psikotropika golongan IV : yaitu psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan
sangat luas digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan
serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan sindroma ketergantungan.
2.3 Apotek
2.3.1 Pengertian Apotek
Definisi apotek menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 51
Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian yang dimaksud dengan apotek adalah
sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh
apoteker ( Menkes, 2009 ). Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
yang terbaru Nomor 9 Tahun 2017 Tentang Apotek juga menyebutkan bahwa
apotek merupakan sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek
kefarmasian oleh apoteker dan tenaga kefarmasian lainnya ( Menkes, 2017 ).
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 9 Tahun 2017
tentang tujuan didirikannya apotek adalah sebagai berikut :
1. Meningkatkan kualitas pelayanan kefarmasian di apotek;
2. Memberikan perlindungan pasien dan masyarakat dalam memperoleh
pelayanan kefarmasian di apotek;
3. Menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian dalam
memberikan pelayanan kefarmasian di apotek ( Menkes, 2017 ).
2.3.2 Tugas dan Fungsi Apotek
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan
Kefarmasian dijelaskan bahwa tugas dan fungsi apotek adalah :
1. Sebagai tempat pengabdian profesi seorang apoteker yang telah
mengucapkan sumpah jabatan.
2. Apotek memiliki fungsi sebagai sarana pelayanan yang dapat
dilakukan pekerjaan kefarmasian berupa peracikan, pengubahan
benuk, pencampuran dan penyerahan obat.
3. Apotek berfungsi sebagai sarana penyalur perbekalan farmasi yang
harus menyebarkan obat yang diperlukan masyarakat secara meluas
dan merata
4. Apotek berfungsi sebagai tempat pelayanan informasi meliputi:
a) Pelayanan informasi tentang obat dan perbekalan farmasi lainnya yang
diberikan baik kepada dokter, perawat, bidan dan tenaga kesehatan lainnya
maupun kepada masyarakat.
b) Pelayanan informasi mengenai khasiat obat, keamanan obat, bahaya dan
mutu obat serta perbekalan farmasi lainnya.

2.3.3 Tugas dan Tanggung Jawab Tenaga Teknis Kefarmasian


Pelayanan Kefarmasian merupakan suatu bentuk pelayanan dan bentuk
tanggung jawab secara langsung oleh apoteker dalam pekerjaan kefarmasian
untuk menigkatkan kualitas hidup pasien (Menkes RI,2004) Menurut Peraturan
Pemerintah No. 51 tahun 2009 pelayanan kefarmasian yaitu merupakan suatu
pelayanan yang bertanggung jawab langsung kepada pasien berkaitan dengan
sediaan farmasi yang bertujuan untuk mencapai hasil yang pasti dan untuk
menigkatkan mutu kehidupan pasien. Pekerjaan kefarmasian yang harus
dilaksanakan oleh seorang Tenaga Teknis Kefarmasian (menurut Keputusan
Menteri Kesehatan RI No.1332/MENKES/X/2002 adalah sebagai berikut:
1. Melayani resep dokter sesuai dengan tanggung jawab dan standart profesi
masing-masing.
2. Memberi informasi kepada pasien yang berkaitan dengan penggunaan atau
pemakaian obat.
3. Menghormati hak setiap pasien dan menjaga kerahasiaan identitas serta
data kesehatan pasien.
4. Melakukan pengelolaan pada apotek
5. Pelayanan informasi obat mengenai sediaan farmasi.
2.4 Kajian Penelitian Yang Relavan
2.4.1 Penelitian Oleh Ela Ardiyanti, Nadia Aisah Mayzika, Eziah Ika Lubada
Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui Profil Peresepan Obat
Narkotika, Psikotropika, Prekursor dan OOT di RSU Bunda Surabaya Periode
Oktober-Desember 2017. Halaman 1-11.
Penelitian ini menggunakan metode deskripstif dengan pengambilan data
secara retrospektif yaitu pengamatan resep narkotika, psikotropika, prekursor dan
OOT pada pasien rawat jalan di RSU Bunda Surabaya. Sampel yang diambil
adalah resep pada pasien rawat jalan yang mendapat narkotika, psikotropika,
prekursor dan OOT di RSU Bunda Surabaya, resep pada pasien dengan usia 17-55
tahun, resep periode Oktober-Desember 2017. Sedangkan sampel yang tidak
diambil adalah resep yang sebagian obat tidak di ambil oleh pasien. Jumlah
sampel yang diperoleh adalah 422 resep. Sampel diperoleh dari resep dan data
rekam medis.
Pada hasil penelitian dari 422 sampel obat yang digunakan adalah
narkotika sebanyak 127 resep (30.09%), psikotropika sebanyak 196 resep
(46.45%), prekursor sebanyak 80 resep (18.96%), dan OOT sebanyak 19 resep
(4.50%). Peresepan berdasarkan diagnosa pasien untuk kodein paling banyak
digunakan untuk ISPA sebanyak 25 resep (19.69%), diazepam untuk osteo artritis
sebanyak 14 resep (14.29%), alprazolam untuk dyspepsia sebanyak 4 resep
(26.65%), clobazam untuk polyneurophaty sebanyak 4 resep (80%),
chlordiazepoksida untuk dyspepsia sebanyak 32 resep (42.51%), Pseudoefedrine
untuk febris sebanyak 19 resep (25.68%), methylergometrin untuk dead conceptus
sebanyak 5 resep (100%), amitriptilin untuk cephalgia sebanyak 4 resep (28.57%),
dan nyeri sebanyak 4 resep (28.57%), dan tramadol untuk herpes zoster sebanyak
2 resep (40%).
2.4.2 Penelitian Oleh Relin Watta, Gresty Masi, Mario E. Katuuk
Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui Gambaran Peresepan
Benzodiazepine Di Apotek Kimia Farma Mutiara Jayapura Tahun 2019. Halaman
38-43.
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan cross-
sectional untuk menggambarkan peresepan obat golongan benzodiazepine di
Apotek Kimia Farma Mutiara Periode Januari – Desember 2019 (Notoadmojo,
2015). Tempat penelitian dilakukan di Apotek Kimia Farma Mutiara, Jayapura,
pada bulan Maret Tahun 2020 karena berdasarkan survei awal peneliti di Apotek
Kimia Farma Mutiara Jayapura, jenis obat psikotropika yang banyak diresepkan
untuk pasien yaitu Alprazolam dan Clobazam. Populasi dalam penelitian ini
adalah semua resep obat golongan benzodiazepine di Apotek Kimia Farma
Mutiara Tahun 2019 dengan jumlah 168 resep dengan total populasi sebagai
sampel. Data didapatkan dari resep pasien yang diberikan obat golongan
benzodiazepine dan dicatat dalam lembar observasi. Analisis data pada penelitian
ini menggunakan analisis univariat.
Hasil penelitian ini ditemukan 16 pasien (9,5%) yang berumur diatas 70
tahun, yang diresepkan golongan benzodiazepin. Penggunaan benzodiazepin pada
lansia bersama dengan antihipertensi dan obat yang memengaruhi sistem
kolinergik, merupakan penyebab paling umum dari demensia yang diinduksi obat.
Penggunaan benzodiazepin berkaitan dengan peningkatan gerakan tubuh pada
lansia, yang berpotensi menyebabkan kecelakaan fatal termasuk jatuh.
Penghentian benzodiazepin mengarah pada peningkatan keseimbangan tubuh dan
juga peningkatan fungsi kognitif. Jenis obat golongan benzodiazepine yang paling
sering diresepkan di Apotek Kimia Farma Mutiara Jayapura yaitu Alprazolam
sebanyak 58 pasien (34%) serta Analsik dan Clobazam dengan jumlah pasien
yang sama sebanyak 55 pasien (33%). Diazepam, alprazolam, dan klobazam
memiliki aksi kerja lambat.
3.4.3 Penelitian Oleh Fajar Tri Kuncoroyoketi
Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui analisa kelengkapan resep
narkotika dan psikotropika di rumah sakit x kota Depok. Halaman 64-70.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode analisis
deskriptif, menjabarkan secara menyeluruh dan sistematis fakta atau karakteristik
populasi tertentu atau bidang tertentu secara faktual dan cermat. Populasi
penelitian adalah resep dokter, dan terbagi atas populasi resep narkotika dan
populasi resep psikotropika yang berasal dari poliklinik dan resep rawat inap.
Hasil penelitian resep narkotika memenuhi 65,12 % persyaratan
administratif dokter dari penelitian ini dapat dinilai bahwa penulisan resep di RS
“X” tergolong baik (Fajarini, 2020; Mamarimbing et al., 2012; Oktavianty, 2017).
Sedangkan pada penelitian ini terdapat 9 (0,65%) lembar resep psikotropika yang
tidak mencantumkan nama pasien hasil ini lebih tinggi yaitu 0%, dan lebih rendah
dari penelitian yang dilakukan Ismaya, Tho, La, & Fathoni. (2019) yaitu 1%,
terdapat 71 (5,15%) lembar resep psikotropika yang tidak mencantumkan alamat
pasien hasil ini lebih rendah yaitu 76,8%, terdapat 69 (5,%) lembar resep
psikotropika yang tidak mencantumkan umur pasien hasil ini lebih rendah yaitu
49,3%, terdapat 10 (0,73%) lembar resep psikotropika yang tidak mencantumkan
jenis kelamin pasien hasil ini lebih rendah yaitu 88,4%, terdapat 1324 (96,08%)
lembar resep psikotropika yang tidak mencantumkan berat badan pasien hasil ini
lebih rendah yaitu 97,8%, dari hasil penelitian di dapat resep resep yang tidak
mencantumkan berat badan hampir seluruhnya berasal dari poliklinik selain
poliklinik anak hal ini masih dapat ditolerir karena untuk pasien dewasa rata rata
obat psikotropika tidak memerlukan penyesuain dosis. Dari hasil tersebut dapat
disimpulkan, bahwa penulisan resep di RS X tergolong belum 100% lengkap
(Ismaya et al., 2019; Oktavianty, 2017).
2.4.4. Penelitian Oleh Siti Malikhatul Izza, Bilal Subchan Agus Santoso
Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui studi penggunaan obat
Psikotropika di Apotek Bahrudin Pakis Kabupaten Malang (analisis biaya
pembelian dan pola peresepan). Halaman 1-10
Penelitian ini termasuk penelitian yang bersifat deskriptif, Jenis penelitian
ini adalah retrospektif , yaitu penelitian yang berusaha melihat ke belakang
(backward looking) (Notoadmojo, 2012). Instrumen yang digunakan dalam
penelitian ini adalah lembar faktur pembelian yang mencantumkan item obat
psikotropika, lembar resep yang mencantumkan obat psikotropika, lembar
pelaporan penggunaan obat psikotropika, lembar pengumpulan data.
Hasil penelitian Data dari tabel menunjukkan bahwa obat Psikotropika
yang sering digunakan di Apotek Bahrudin pada bulan Januari – Desember 2018
adalah diazepam sediaan 2 mg yaitu sejumlah 17.387 tablet dengan harga
pembelian sebesar Rp. 2.608.000 dan yang paling sedikit digunakan adalah sibital
sediaan 50 mg dengan harga pembelian sebesar Rp. 1.040.000.
2.4.5 Penelitian Oleh Ana Regina Noto, Elisaldo de A carlini, and Patricia C
Mastroianni.
Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui Analysis of prescription
and dispensation of psychotropic medications in two cities in the State of São
Paulo, Brazil. Page 68-73.
Penelitian ini untuk mengaktifkan pengumpulan resep, itu perlu bekerja
sama dengan Dinas Kebersihan setempat lembaga dan, oleh karena itu, otoritas
kota bertanggung jawab untuk pengumpulan. Meskipun peraturan pemerintah
344/9816 menentukan bahwa dokumen-dokumen ini harus diperiksa beberapa
institusi awalnya menolak menyediakannya. Karena kesulitan menemukan proses
pengumpulan dibagi menjadi beberapa tahap, mulai dengan sumber dispensasi
publik (Pengaturan Perawatan Primer dan Rumah Sakit Umum), diikuti oleh toko
obat dan ketiga oleh apotek magistral. Rumah sakit swasta seharusnya menjadi
tahap keempat dan terakhir yang tidak dilakukan karena kesulitan operasional.
Hasil penelitian Benzodiazepin sebagian besar dibagikan di semua sumber
dianalisis, kecuali di apotek magistral (Tabel 2). Di azepam adalah yang paling
sering, mencapai hampir 100% dipengaturan perawatan primer publik dan rumah
sakit. Namun, kita harus tekankan fakta bahwa obat-obatan yang tersedia di
lembaga-lembaga publik adalah obat-obatan yang termasuk dalam daftar yang
distandarisasi oleh pemerintah sehingga mengurangi kemungkinan pilihan lain. Di
sisi lain, ketika kami menganalisis profil toko obat dan apotek magistral, kami
dapat memverifikasi gambaran yang sangat berbeda, dengan rentang benzodiaz
epine yang jauh lebih beragam. Bromazepam (terutama Lexotan) diikuti oleh
clonazepam (Rivotrilÿ), lorazepam (terutama Loraxÿ), alprazolam (Frontal),
cloxazolam yang dominan di toko obat, antara lain. Namun, di apotek magistral,
diazepam sampingan, preparat dengan benzodiazepin lainnya juga sering terjadi,
terutama bromazepan dan chlordiazepoxide. Mengenai jenis kelamin pasien kami
mengamati dominasi jelas perempuan untuk hampir semua epine benzodiaz. Rasio
perempuan/laki-laki mendekati 2/1 di salah satu kota dan 3/1 di kota lain. Rasio
ini bahkan lebih tidak proporsional untuk bromazepam (4/1) dan chlordiazepoxide
(5/1), sebagai keduanya sering di apotek magistral, biasanya dikaitkan dengan
penekan nafsu makan yang paling banyak dikonsumsi oleh perempuan.
2.4.6 Penelitian Oleh Shao-You Fang, Chuan-Yu Chen, and I-Shou Cang
Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui Predictors of the
incidence and discontunation of long-term use of benzodiazepines: A population-
based study. Page 140-146.
Data untuk penelitian ini berasal dari Database Riset Asuransi Kesehatan
Nasional 2000– 2002, yang dikembangkan dan dikelola oleh National Health
Insurance. Program (NHIP) untuk tujuan penelitian. Sejak Maret 1995 NHIP telah
menyediakan penduduk di Taiwan dengan layanan kesehatan yang komprehensif
dan universal, dengan perkiraan tingkat cakupan 97,1% pada tahun 2002 dan
98,3% pada tahun 2006. Dalam analisis ini, kami menggunakan salah satu bagian
dari Database Penelitian Asuransi Kesehatan Nasional, sampel acak 200.000
individu (hampir 1% dari total populasi Taiwan) diambil pada tahun 2000. Semua
informasi diambil dari file registri (yaitu, registri untuk penerima manfaat (ID),
registri untuk fasilitas medis yang dikontrak (HOSB), dan file obat (OBAT)), dan
data klaim medis (yaitu, pengeluaran rawat jalan berdasarkan kunjungan (CD),
prosedur rawat jalan dengan resep (OO)). Studi ini telah disetujui oleh Dewan
Peninjau Kelembagaan dari Institut Penelitian Kesehatan Nasional. Untuk Desain
dan Sampelnya Untuk memahami kemungkinan perubahan penggunaan jangka
panjang BZD dari waktu ke waktu, saat ini mengadopsi desain penelitian tindak
lanjut tiga tahun prospektif. Menggunakan 1 Januari, 2000 sebagai baseline, total
187.413 individu direkrut sesuai dengan asuransi kesehatan dan status
kelangsungan hidup; informasi yang berkaitan dengan resep BZD diperoleh dari
data rawat jalan dan farmakologis tahun 2000-2002.
Hasil penelitian Setelah secara statistik mengendalikan semua faktor
yang tercantum dalam Tabel 2 karakteristik sosiodemografi individu,
penyedia layanan dan agen farmakologis semuanya terbukti memiliki
hubungan yang signifikan dengan kejadian penggunaan BZD jangka panjang
(n = 15,833). Misalnya, setelah resep BZD dimulai, usia 65 tahun atau lebih
dikaitkan dengan peningkatan risiko penggunaan BZD jangka panjang 6 kali
lipat, dibandingkan dengan usia 30 tahun atau di bawah; individu dengan
gangguan mental tampaknya lebih mungkin menjadi pengguna BZD jangka
panjang ([aOR] =1,87, 95% CI: 1,41-2,47, p <0,001). Untuk penyedia
layanan, insiden penggunaan BZD jangka panjang secara signifikan terkait
dengan penerimaan resep BZD di institusi medis tingkat yang lebih tinggi
(pusat medis: [aOR] = 5,87, 95% CI: 3,57-9,64, p <0,001) dan spesialisasi
tertentu (misalnya, hanya psikiatri: [aOR]= 2,74, 95% CI: 1,79-4,18, p
<0,001). Dalam karakteristik farmakologis, resep BZD waktu paruh kerja
pendek atau tipe campuran terbukti meningkatkan risiko penggunaan jangka
panjang (kerja singkat: [aOR] = 3,02, 95% CI:1,64-5,58, p <0,001 ; tipe
campuran: [aOR] = 3,39, 95% CI: 1,69–6,77, p <0,001).Penggunaan opioid
yang diresepkan dikaitkan dengan risiko BZD LTU yang lebih rendah,
meskipun tidak ada signifikansi statistik ditemukan ([aOR] = 0,87, 95% CI: 0,48-
1,61, p = 0,67)
2.4.7. Penelitian Oleh Nicole Damestoy and Raymond Lalande
Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui Prescribing psychotropic
medication for elderly patients: some physicians, perspectives. Page 143-145.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif berdasarkan grounded
theory karena cocok untuk penelitian yang bersifat eksploratif dan hipotesis
menghasilkan di alam dan untuk studi yang meniliti social yang kompleks realitas.
Grounded theory menganjurkan pendekatan yang sangat induktif untuk
mengumpulkan data; kerangka konseptual muncul secara empiris dari lapangan
selama penelitian berlangsung. Di antara alat kualitatif yang tersedia wawancara
semi-terstruktur menyediakan paling fleksibel untul eksplorasi persepsi, motivasi
dan pengalaman dokter.
Hasil penelitian Banyak pasien yang telah menggunakan obat
psikotropika untuk waktu yang lama. Beberapa selama 20 tahun. Paling dokter
menggambarkan keterikatan yang sangat kuat dari banyak pasien mereka,
khususnya wanita, terhadap obat antisiolitik. Pasien yang sebelumnya
digambarkan rapuh dan rentan adalah: dikatakan menjadi menuntut dan sulit
ketika mereka menggunakan pengobatan psikotropika ditujukan, dan untuk
menolak mencoba untuh mengubah resep mereka. Banyak dokter mengira pasien
akan mencari dokter lain jika mereka tidak puas dengan resep mereka. Sebagian
besar dokter melaporkan kesulitan dalam menetapkan diagnose yang jelas untuk
pasien lanjut usia dan dalam membedakan antara kecemasan dan kondisi medis
lainnya (misalnya, angina). Mereka merasa bahwa ketidakpastian ini sering
mendorong mereka untuk mempertimbangkan keahlian awam pasien mengenai
obat sendiri dan untuk tunduk pada permintaan mereka untuk resep skeptisisme
mengenai pendekatan nonfarmakologis.
2.5 Kerangka Berpikir

Kurangnya komunikasi antara


pemberi dan penerima resep

Memperhatikan

Etika Penulisan Golongan Kajian penelitian yang


Resep Psikotropika Psikotropika mulai relevan yang berpengaruh
dari golongan I-IV masalah pada masalah
yang di teliti.
Terwujudnya kelengkapan
resep di Apotek Mulia
Kota Gorontalo.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian observasional. Dengan
menggunakan metode deskripstif dengan pengambilan data secara retrospektif
yaitu pengamatan resep psikotropika di apotik yang berada di Kota Gorontalo
3.2 Tempat Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di Apotik Mulia Kota Gorontalo dengan
waktu penelitian pada bulan Juli- Agustus 2022.
3.3 Sampel dan Teknik sampling
Sampel yang diambil adalah resep- resep psikotropika pada bulan Juli-
Desember 2021
3.4 Pengumpulan Data
Penelitian ini dilakukan dengan cara melakukan pengumpulan resep
pada resep-resep psikotropika yang menjadi sampel dari penelitian ini dan hasil
yang diperoleh dianalisa.
3.5 Analisis Data
Pada penelitian ini analisis data dilakukan secara deskriptif yaitu untuk
menggambarkan tentang suatu keadaan secara objektif (Notoatmodjo, 2005). Data
dianalisa secara deskriptif dalam bentuk frekuensi dan persentase. Hasil deskriptif
yang diperoleh disajikan dalam bentuk narasi, tabel dan gambar.
3.6 Instrumen Penelitian dan Metode Penelitian
a) Instrumen penelitian
Instrumen penelitian merupakan alat yang digunakan untuk
mengumpulkan data (Notoatmodjo,2012). Instrumen yang digunakan yaitu
dengan mengamati resep psikotropika periode Juli-Desember 2021. Kemudian
membuat tabel data hasil resep psikotropika yang meliputi aspek legalitas,
kelengkapan resep, jenis obat dan dosis obat. Kemudian data tersebut dihitung
presentasenya.
b) Metode Penelitian
Pengumpulan data dilakukan dengan metode deskriptif dengan
pengambilan data secara restrospektif yaitu pengamatan resep psikotropika di
Apotek Mulia Kota Gorontalo.
3.7 Definisi Operasional
Definisi operasional adalah definisi yang membatasi ruang lingkup atau
pengertian variabel-variabel yang diamati atau diteliti (Notoadmojo,2012).
Berdasarkan kerangka konsep yang sudah di uraikan di atas, batasan pengertian
penelitian yang akan dilakukan adalah:
a. Apotek menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
No. 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian yang
dimaksud dengan apotek adalah sarana pelayanan
kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh
apoteker ( Menkes, 2009 ).
b. Resep adalah tertulis dari seorang dokter kepada apoteker
pengelola apotek untuk menyiapkan dan atau membuat,
meracik, serta menyerahkan obat kepada pasien.
c. Psikotropika adalah zat/obat, alamiah atau sintetis dan bukan
narkotika yang berkhasiat proaktif dengan pengaruh yang
selektif dalam susunan saraf pusat, yang mengakibatkan
perubahan khas dalam aktivitas mental serta perilaku.
DAFTAR PUSTAKA

Brinkman DJ, 2017. Pharmacology and therapeutics education in The European


Union needs harmonization and modernization: a cross-sectional survey among
185 medical school in 27 countries. Clinical Pharmacology
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2009. Peraturan Pemerintah
Republik
Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian. Departemen
Kesehatan Republik Indonesia;Jakarta.
Departemen Kesehatan RI. 2009. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44
Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Jakarta: Depkes RI.
Kemenkes RI. 2017 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9
Tahun 2017 tentang apotek. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
Kemenkes RI. 2017. Data dan Informasi Kesehatan Profil Kesehatan Indonesia
2016
Ramkita. 2018. Buku pedoman penulisan resep. Palembang: RS Kusta dr. Rivai
Abdullah Palembang.
Wibowo, M. S. 2010 Elektroforesis. Sekolah Farmasi Institut Teknologi Bandung
Yatnita parama. 2011. Bakteri salmonella typhi dan demam tifoid. Jurnal
kesehatan
masyarakat. Vol.6 No.1 , pp.42–

Anda mungkin juga menyukai