Dosen Pengampu:
Maulidah, S. Kep., Ns., M. Kep
Untuk Memenuhi Tugas dari Mata Kuliah
Teori Asuhan Keperawatan Anestesi Kasus Penyulit
Disusun oleh:
1. Dian Kurniawan (1911604094) 6. Rahmada Felani (1911604099)
A. Latar Belakang
Alergi adalah salah satu penyakit yang sering dijumpai di masyarakat. Alergi
merupakan suatu kondisi reaksi hipersensitivitas yang terjadi ketika sistem imun
bekerja secara berlebihan terhadap bahan yang umumnya tidak menimbulkan reaksi
pada orang normal. Bahan penyebab alergi disebut alergen yaitu misalnya debu,
jamur, tungau, bulu binatang, atau makanan,seperti kacang-kacangan, telur, kerang,
ikan dan susu.
Reaksi hipersensitivitas tipe I atau reaksi alergi adalah reaksi imunologis
(reaksi peradangan) yang diakibatkan oleh alergen yang masuk ke dalam tubuh
menimbulkan respon imun berupa produksi IgE, sehingga terjadi vasodilatasi dan
peningkatan permeabilitas vascular yang mengakibatkan akumulasi sel-sel radang
terutama eosinofil. Diperkirakan 10-20% penduduk dunia pernah atau sedang
menderita reaksi alergi. Reaksi alergi dapat menyerang seluruh organ tubuh, organ
yang sering terkena antara lain gaster (gastroenteritis alergi), hidung (rinitis alergika),
saluran napas bagian bawah (asma bronkial), dan kulit seperti dermatitis alergika
(Sudoyo et al., 2009; Kumar et al., 2010; Kim, 2015).
Setiap individu memiliki sistem imun yang berbeda. Semakin lemah sistem
imun seseorang maka orang tersebut semakin rentan untuk terkena penyakit. Efek
paparan allergen pun bervariasi dari satu individu terhadap individu lainnya. Kondisi
alergi ditandai oleh beberapa gejala seperti gatal pada area tubuh tertentu, mual,
muntah, hingga sesak nafas dan kondisi terburuk adalah kematian. Gejala yang
muncul tergantung dari bagian tubuh yang terpapar alergen. Jika mengenai saluran
pernafasan dapat terjadi batuk, hidung gatal, pilek, kongesti hidung, dan mengi.
Alergi makanan berhubungan dengan gejala mual, muntah, nyeri perut dan diare.
Alergi pada kulit dapat menimbulkan lesi, kemerahan, bula, rasa gatal dan lain
sebagainya.
Reaksi hipersensitivitas obat termasuk dalam reaksi adversi obat yang tidak
dapat diduga. Reaksi adversi obat dapat dibedakan menjadi tipe A
(farmakologi/toksik) dan tipe B (hipersensitivitas). Manifestasi penyakit pada tipe A
dapat diprediksi, bergantung pada dosis obat, efek toksik dari obat pada dosis yang
disarankan atau dosis yang berlebihan. Tipe B memiliki manifestasi klinis yang tidak
dapat di duga dan berbeda tiap individu. Gejala terjadi dalam satu hingga enam jam
setelah meminum obat atau beberapa jam hingga hari dengan gejala yang muncul
bisa ringan (bersin) hingga berat (anafilaksis). Mengingat gejala yang timbul dari
reaksi hipersensitivitas sangat beragam dan bahkan bisa mengancam nyawa, maka
diperlukan suatu pemahaman yang baik terhadap penanganan reaksi hipersensitivitas
tersebut.
Seluruh obat memiliki risiko menimbulkan efek samping, namun hanya
beberapa saja yang menimbulkan reaksi alergi. Alergi obat sendiri dapat dimengerti
sebagai reaksi simpang obat yang melibatkan mekanisme imunologis. Meskipun
demikian, tidak mudah menentukan apakah suatu reaksi simpang obat merupakan
reaksi alergi atau bukan, dan dibutuhkan suatu pendekatan diagnostik yang
sistematis. Di Inggris, dilaporkan terdapat 62.000 pasien yang dirawat inap karena
alergi obat dan reaksi simpang obat selama tahun 1996-2000. Sementara itu, pada
tahun 2014, sebuah studi multi-senter di Polandia melaporkan prevalensi alergi obat
sebanyak 8,4 %. Di Thailand, sebuah studi pada tahun 2008 melaporkan bahwa obat
anti-mikroba merupakan penyebab utama alergi obat yang terjadi.
B. Manfaat
1. Manfaat kepada mahasiswa
Manfaat pelayanan kesehatan Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan
informasi kepada para mahasiswa mengenai alergi obat.
2. Manfaat pelayanan kesehatan
Manfaat pelayanan kesehatan Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan
informasi kepada para medis mengenai alergi obat.
3. Manfaat ilmiah
Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi tambahan pengetahuan mengenai
alergi obat.
C. Tujuan
1. Agar mahasiswa dapat mengetahui dan memahami pengertian atau definsi alergi
obat;
2. Agar mahasiswa dapat mengetahui dan memahami faktor resiko alergi obat;
3. Agar mahasiswa dapat mengetahui dan memahami manifestasi klinis alergi obat;
4. Agar mahasiswa dapat mengetahui dan memahami klasifikasi alergi obat;
5. Agar mahasiswa dapat mengetahui dan memahami Patogenesis dan Patofisiologi
alergi obat;
6. Agar mahasiswa dapat mengetahui dan memahami diagnosis alergi obat;
7. Agar mahasiswa dapat mengetahui dan memahami pemeriksaan fisik alergi obat;
8. Agar mahasiswa dapat mengetahui dan memahami pemeriksaan penunjang alergi
obat;
9. Agar mahasiswa dapat mengetahui dan memahami penatalaksanaan alergi obat;
10. Agar mahasiswa dapat mengetahui dan memahami pencegahan alergi obat;
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Alergi Obat
1. Definisi
Obat merupakan senyawa yang digunakan baik untuk mencegah maupun
mengobati penyakit atau untuk kepentingan diagnosis. Obat juga dapat digunakan
pada situasi tertentu, misalnya melumpuhkan sementara otot rangka dalam
tindakan pembedahan ataupun membuat seseorang infertil. Sementara itu, reaksi
simpang obat (RSO) didefiniskan sebagai reaksi yang tidak diinginkan atau pun
reaksi yang berbahaya yang muncul pada dosis normal. Alergi obat adalah reaksi
simpang obat yang melibatkan mekanisme imunologis. Dalam spesialisasi alergi
imunologi, alergi obat merupakan RSO yang terjadi melalui reaksi imun yang
terjadi melalui lgE atau reaksi hipersensitivitas cepat dengan berbagai mekanisme
dan presentasi klinis.
2. Faktor Resiko
Faktor yang berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya alergi obat
termasuk usia, jenis kelamin, polimorfisme genetik, infeksi virus dan faktor terkait
obat (frekuensi paparan, rute administrasi, berat molekul). Alergi obat secara khas
terjadi pada usia muda dan dewasa, dan lebih sering terjadi pada wanita
dibandingkan laki-laki. Polimorfisme genetik dalam human leukocyte antigen
(HLA) dan infeksi virus seperti human immunodeficiency virus (HIV) dan
Epstein-Barr virus (EBV), juga berkaitan dengan peningkatan risiko terjadinya
reaksi imunologis terhadap obat. Kerentanan terhadap alergi obat dipengaruhi oleh
polimorfisme genetik dalam metabolisme obat.
Selain itu, rute administrasi seperti, topikal, intramuskular, dan intravena lebih
sering menyebabkan reaksi alergi obat dibandingkan administrasi secara oral.
Dosis berlebihan dalam jangka waktu yang panjang atau frekuensi dosis dapat
menyebabkan reaksi hipersensitivitas lebih besar daripada dosis tunggal.
Selanjutnya, obat dengan makromolekular atau obat hapten seperti penisilin, juga
berhubungan dengan kemungkinan besar penyebab reaksi hipersensitivitas.
3. Manifestasi Klinis
Pada penderita reaksi hipersensitivitas obat, banyak manifestasi klinis yang
dapat terlihat. Klinis yang terlihat, dapat membantu untuk melakukan penegakkan
diagnosis dan melakukan penanganan secara cepat pada penderita. Manifestasi
akut reaksi hipersensitivitas obat biasanya seperti, urtikaria, angioedema, rinitis,
konjungtivitis, bronkospasme, gejala gastrointestinal (mual, muntah, diare) atau
anafilaksis, dimana dapat mengakibatkan kolapsnya kardiovaskular. Reaksi
lambat hipersensitivitas obat sering mempengaruhi kulit dengan gejala kutaneus
yang bervariasi, seperti urtikaria yang lambat terjadi, erupsi makulopapular, fixed
drug eruptions (FDE), vaskulitis, penyakit blistering (Toxic Epidermal Necrosis
(TEN), Steven Jonhson Syndrome (SJS) dan FDE bula general), sindrom
hipersensitivitas, acute generalized exanthematous pustulosis (AGEP), dan
symmetrical drug-related intertriginous and flexural exanthemas (SDRIFE). Organ
internal yang bisa terkena baik secara tunggal atau dengan gejala pada kulit dan
termasuk hepatitis, gagal ginjal, pneumonitis, anemia, neutropeni, dan
trombositopeni.
4. Klasifikasi
Klasifikasi reaksi obat pembagiannya menurut mekanisme tersaji pada table di
bawah. Infeksi virus, gangguan metabolisme seperti defisiensi G6PD
meningkatkan risiko alergi obat. Sedangkan cahaya UV dapat mengubah imunitas
obat tertentu.
Terbukti/diduga kuat Mungkin
Menimbulkan reaksi
menimbulkan reaksi menimbulkan reaksi
pseudoalergi
alergi alergi
Antibiotik β-laktam
Opiatn Aspirin dan
(penisilin, sefalosporin, Kuinolon Sulfonamid
AINS
monobaktam, karbapenem)
Insulin Dilantin Heparin
Kemopapain Protamin Inhibitor ACE
Streptokinase Pelemas otot Aditif
Serum heterologous Anestesi lokal Larutan protein plasma
Tetanus (Toksoid–Tetanus/ Larutan pengganti
Kemoterapi
Difteri-Td) berbahan gelatin
Lateks Transfusi Tartazin
Agen biologik baru
(campak, mumps, MMR, Hemodilaisis Kontras
vaksin asal telur)
BAB III
KASUS DAN PEMBAHASAN
A. Kasus
Tn. Q, laki-laki, 65 tahun, seorang petani, berdomisili di Lampung Tengah,
datang ke RSUD dr. H. Abdul Moeloek dengan keluhan kulit terkelupas seluruh
tubuh. Kulit terkelupas disertai dengan rasa gatal dan panas. Pasien mengaku
awalnya timbul bintik-bintik merah di seluruh tubuh sejak 18 tahun yang lalu.
Bintik-bintik merah itu diakui timbul setelah pasien meminum obat yang diketahui
merupakan antibiotik. Bintik-bintik itu dirasakan sangat gatal sehingga pasien harus
menggaruk bintik-bintik tersebut untuk menghilangkan rasa gatalnya. Lama-
kelamaan bintik-bintik merah tersebut menghilang, tetapi kulit pasien menjadi
bersisik di seluruh tubuh. Awalnya sisik-sisik tersebut tipis berwarna putih dan
lama-kelamaan menjadi tebal berlapis-lapis. Sisik-sisik tersebut tidak lagi terasa
gatal. Gatal dirasakan jika sisik-sisik tersebut mengelupas.
Pasien pernah berobat untuk mengobati penyakit kulitnya. Pasien mengaku
setelah berobat kulitnya sudah tidak gatal lagi dan sisik-sisik di tubuhnya mulai
menghilang. Akan tetapi setelah habis obat pasien tidak kontrol ulang ke dokter
tersebut. Oleh sebab itulah kulit pasien menjadi gatal-gatal kembali dan sisik-sisik
menjadi menebal di seluruh tubuh pasien.
Pemeriksaan fisik pasien pada tanggal 29 Mei 2013, didapatkan kesadaran
kompos mentis. Tekanan darah 180/90 mmHg, frekuensi nadi 96 x/menit, frekuensi
pernapasan 22 x/menit, suhu 37,7ºC. Status generalis pasien didapatkan konjungtiva
anemis. Kepala, hidung, mulut, leher, dada (jantung dan paru) pasien dalam batas
normal. Status dermatologis di lokasi seluruh tubuh tampak makula eritema disertai
skuama multipel kasar dan berlapis, difus, berwarna putih, dan erosi. Dari
pemeriksaan laboratorium didapatkan hemoglobin 8,7 gr/dl, leukosit 12.800/µl,
SGOT 71 U/L, SGPT 142 U/L, ureum 66 mg/dl, kreatinin 2,4 mg/dl.
B. Pembahasan
Pada pasien ini diagnosis ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik,
sedangkan pemeriksaan laboratoriumnya tidak khas. Dari anamnesis didapatkan lesi
berawal dari bintik-bintik merah di seluruh tubuh yang diikuti dengan sisik dan kulit
yang mengelupas. Dari pemeriksaan fisik didapatkan eritema di seluruh tubuh yang
disertai dengan skuama multipel kasar dan berlapis, difusi, berwarna putih. Dari
uraian diatas dapat dikatakan diagnosis pada pasien ini sudah tepat yaitu
eritroderma. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
pasien ini juga menderita hipertensi stage II, chronic kidney disease (CKD), anemia,
dan hepatitis.Penyebab eritroderma dibagi menjadi 3 golongan yaitu akibat alergi
obat secara sistemik, akibat perluasan penyakit kulit, dan akibat penyakit sistemik
termasuk keganasan (Wasitaatmadja, 2005). Pada pasien ini penyebab yang paling
mungkin yaitu akibat alergi obat sistemik. Karena sebelumnya pasien mengaku
bahwa lesi timbul setelah pasien meminum antibiotik. Akibat perluasan penyakit
kulit dapat disingkirkan karena pasien sebelumnya tidak pernah menderita penyakit
kulit. Pasien memiliki penyakit sistemik yaitu chronic kidney disease (CKD), tetapi
penyakit tersebut jarang mengakibatkan eritroderma (Sigurdsson et al., 2004).
Penatalaksanaan pada pasien ini dibagi menjadi 2, yaitu umum dan khusus.
Penatalaksanaan umum meliputi obat yang tersangka sebagai kausanya segera
dihentikan, pasien dianjurkan untuk tidak mencubit/menggaruk daerah kulit yang
sangat gatal, motivasi pasien untuk memakan nutrisi tinggi kalori tinggi protein, dan
jaga kebersihan kulit pasien (Umar, 2010). Penatalaksanaan khusus meliputi: IVFD
RL (mikro) 10 tetes/menit, tranfusi darah WB 200 cc, sistemik: methyl prednisolone
62,5 mg/12 jam (IV), cetirizin tablet 2 x 10 mg, eritromisin 3 x 500 mg, furosemide
injeksi 1 ampul/12 jam, bicnat 3 x 1, captopril 3 x 12,5 mg, asam folat 3 x 1,
curcuma 3 x 1 ranitidin 1 ampul/12 jam dan topikal: Emolien lanolin 10%. Pada
dasarnya terapi eritroderma adalah dengan pemberian kortikosteroid (methyl
prednisolone). Diet perlu tinggi protein karena banyak skuama yang terlepas
mengakibatkan kehilangan protein. Emolien lanolin 10% topikal diberikan untuk
mengurangi radiasi akibat vasodilatasi oleh eritema (Djuanda, 2005)
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Alergi obat adalah reaksi simpang obat yang melibatkan mekanisme
imunologis. Konsep mekanisme alergi obat yang umum diterima saat ini adalah
konsep hapten,konsep pro-hapten dan konsep P-I . Reaksi obat sendiri dipengaruhi
berbagai faktor risiko seperti jenis obat , faktor pejamu,atopi,penyakit tertentu
gangguan metabolisme dan lingkungan.
Reaksi alergi obat biasa menyerupai alergi pada umumnya. Ketika ada
kecurigaan mengenai munculnya reaksi alergi obat , maka harus ditanyakan riwayat
pemakaian obat yang baru saja digunakan dan hubungan waktu antara pemakaian
obat dan munculnya gejala. Pemeriksaan fisik pada pasien tersangka alergi obat
harus dilakukan secara menyeluruh terhadap semua sistem untuk mencari semua
presentasi klinis alergi obat. Pemeriksaan penunjang alergi obat terdiri dari
pemeriksaan penunjang umum dan kasus, yang dapat dilakukan baik in Vivi, in
vitro, maupun biopsi.
Tiga hal yang menjadi dasar tata laksana alergi obat adalah menghindari faktor
yang menimbulkan gejala,pengobatan reaksi yang benar dan cara-cara khusus. Cara-
cara khusus yang penting dalam tata laksana alergi obat diantaranya adalah threating
through,tes dosing, dan Premedikasi terhadap obat-obat tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
Aru W, Sudoyo. 2009. BUKU AJAR ILMU PENYAKIT DALAM, JILID II, EDISI
V.JAKARTA: INTERNA PUBLISHING. Jakarta; Indonesia
Wijanarko S.I., dan Tjok Istri Anom. 2016. REAKSI HIPERSENTITIVITAS TERHADAP
OBAT. Ilmu Pemyakit Dalam RSUP Sanglah. Denpasar, Indonesia