Anda di halaman 1dari 17

TUGAS MAKALAH

“ASUHAN KEPERAWATAN ANESTESI PADA PASIEN DENGAN REAKSI


ALERGI OBAT”

Dosen Pengampu:
Maulidah, S. Kep., Ns., M. Kep
Untuk Memenuhi Tugas dari Mata Kuliah
Teori Asuhan Keperawatan Anestesi Kasus Penyulit

Disusun oleh:
1. Dian Kurniawan (1911604094) 6. Rahmada Felani (1911604099)

2. Reza Dwi Abdilla (1911604095) 7. Mutiara Safitri (1911604101)

3. Khairu Ummah Alfitroh (1911604096) 8. Dyah Martha Auladina (1911604102)

4. Dea Sandy (1911604097) 9. Nur Aeni Hi.R.Arsyad(1911604104)

5. Anisya Bella Silvika (1911604098) 10.Sri Mayang Sari (1911604105)

PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN


KEPERAWATAN ANESTESIOLOGI
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ‘AISYIYAH YOGYAKARTA
2021
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Alergi adalah salah satu penyakit yang sering dijumpai di masyarakat. Alergi
merupakan suatu kondisi reaksi hipersensitivitas yang terjadi ketika sistem imun
bekerja secara berlebihan terhadap bahan yang umumnya tidak menimbulkan reaksi
pada orang normal. Bahan penyebab alergi disebut alergen yaitu misalnya debu,
jamur, tungau, bulu binatang, atau makanan,seperti kacang-kacangan, telur, kerang,
ikan dan susu.
Reaksi hipersensitivitas tipe I atau reaksi alergi adalah reaksi imunologis
(reaksi peradangan) yang diakibatkan oleh alergen yang masuk ke dalam tubuh
menimbulkan respon imun berupa produksi IgE, sehingga terjadi vasodilatasi dan
peningkatan permeabilitas vascular yang mengakibatkan akumulasi sel-sel radang
terutama eosinofil. Diperkirakan 10-20% penduduk dunia pernah atau sedang
menderita reaksi alergi. Reaksi alergi dapat menyerang seluruh organ tubuh, organ
yang sering terkena antara lain gaster (gastroenteritis alergi), hidung (rinitis alergika),
saluran napas bagian bawah (asma bronkial), dan kulit seperti dermatitis alergika
(Sudoyo et al., 2009; Kumar et al., 2010; Kim, 2015).
Setiap individu memiliki sistem imun yang berbeda. Semakin lemah sistem
imun seseorang maka orang tersebut semakin rentan untuk terkena penyakit. Efek
paparan allergen pun bervariasi dari satu individu terhadap individu lainnya. Kondisi
alergi ditandai oleh beberapa gejala seperti gatal pada area tubuh tertentu, mual,
muntah, hingga sesak nafas dan kondisi terburuk adalah kematian. Gejala yang
muncul tergantung dari bagian tubuh yang terpapar alergen. Jika mengenai saluran
pernafasan dapat terjadi batuk, hidung gatal, pilek, kongesti hidung, dan mengi.
Alergi makanan berhubungan dengan gejala mual, muntah, nyeri perut dan diare.
Alergi pada kulit dapat menimbulkan lesi, kemerahan, bula, rasa gatal dan lain
sebagainya.
Reaksi hipersensitivitas obat termasuk dalam reaksi adversi obat yang tidak
dapat diduga. Reaksi adversi obat dapat dibedakan menjadi tipe A
(farmakologi/toksik) dan tipe B (hipersensitivitas). Manifestasi penyakit pada tipe A
dapat diprediksi, bergantung pada dosis obat, efek toksik dari obat pada dosis yang
disarankan atau dosis yang berlebihan. Tipe B memiliki manifestasi klinis yang tidak
dapat di duga dan berbeda tiap individu. Gejala terjadi dalam satu hingga enam jam
setelah meminum obat atau beberapa jam hingga hari dengan gejala yang muncul
bisa ringan (bersin) hingga berat (anafilaksis). Mengingat gejala yang timbul dari
reaksi hipersensitivitas sangat beragam dan bahkan bisa mengancam nyawa, maka
diperlukan suatu pemahaman yang baik terhadap penanganan reaksi hipersensitivitas
tersebut.
Seluruh obat memiliki risiko menimbulkan efek samping, namun hanya
beberapa saja yang menimbulkan reaksi alergi. Alergi obat sendiri dapat dimengerti
sebagai reaksi simpang obat yang melibatkan mekanisme imunologis. Meskipun
demikian, tidak mudah menentukan apakah suatu reaksi simpang obat merupakan
reaksi alergi atau bukan, dan dibutuhkan suatu pendekatan diagnostik yang
sistematis. Di Inggris, dilaporkan terdapat 62.000 pasien yang dirawat inap karena
alergi obat dan reaksi simpang obat selama tahun 1996-2000. Sementara itu, pada
tahun 2014, sebuah studi multi-senter di Polandia melaporkan prevalensi alergi obat
sebanyak 8,4 %. Di Thailand, sebuah studi pada tahun 2008 melaporkan bahwa obat
anti-mikroba merupakan penyebab utama alergi obat yang terjadi.

B. Manfaat
1. Manfaat kepada mahasiswa
Manfaat pelayanan kesehatan Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan
informasi kepada para mahasiswa mengenai alergi obat.
2. Manfaat pelayanan kesehatan
Manfaat pelayanan kesehatan Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan
informasi kepada para medis mengenai alergi obat.
3. Manfaat ilmiah
Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi tambahan pengetahuan mengenai
alergi obat.

C. Tujuan
1. Agar mahasiswa dapat mengetahui dan memahami pengertian atau definsi alergi
obat;
2. Agar mahasiswa dapat mengetahui dan memahami faktor resiko alergi obat;
3. Agar mahasiswa dapat mengetahui dan memahami manifestasi klinis alergi obat;
4. Agar mahasiswa dapat mengetahui dan memahami klasifikasi alergi obat;
5. Agar mahasiswa dapat mengetahui dan memahami Patogenesis dan Patofisiologi
alergi obat;
6. Agar mahasiswa dapat mengetahui dan memahami diagnosis alergi obat;
7. Agar mahasiswa dapat mengetahui dan memahami pemeriksaan fisik alergi obat;
8. Agar mahasiswa dapat mengetahui dan memahami pemeriksaan penunjang alergi
obat;
9. Agar mahasiswa dapat mengetahui dan memahami penatalaksanaan alergi obat;
10. Agar mahasiswa dapat mengetahui dan memahami pencegahan alergi obat;
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Alergi Obat
1. Definisi
Obat merupakan senyawa yang digunakan baik untuk mencegah maupun
mengobati penyakit atau untuk kepentingan diagnosis. Obat juga dapat digunakan
pada situasi tertentu, misalnya melumpuhkan sementara otot rangka dalam
tindakan pembedahan ataupun membuat seseorang infertil. Sementara itu, reaksi
simpang obat (RSO) didefiniskan sebagai reaksi yang tidak diinginkan atau pun
reaksi yang berbahaya yang muncul pada dosis normal. Alergi obat adalah reaksi
simpang obat yang melibatkan mekanisme imunologis. Dalam spesialisasi alergi
imunologi, alergi obat merupakan RSO yang terjadi melalui reaksi imun yang
terjadi melalui lgE atau reaksi hipersensitivitas cepat dengan berbagai mekanisme
dan presentasi klinis.
2. Faktor Resiko
Faktor yang berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya alergi obat
termasuk usia, jenis kelamin, polimorfisme genetik, infeksi virus dan faktor terkait
obat (frekuensi paparan, rute administrasi, berat molekul). Alergi obat secara khas
terjadi pada usia muda dan dewasa, dan lebih sering terjadi pada wanita
dibandingkan laki-laki. Polimorfisme genetik dalam human leukocyte antigen
(HLA) dan infeksi virus seperti human immunodeficiency virus (HIV) dan
Epstein-Barr virus (EBV), juga berkaitan dengan peningkatan risiko terjadinya
reaksi imunologis terhadap obat. Kerentanan terhadap alergi obat dipengaruhi oleh
polimorfisme genetik dalam metabolisme obat.
Selain itu, rute administrasi seperti, topikal, intramuskular, dan intravena lebih
sering menyebabkan reaksi alergi obat dibandingkan administrasi secara oral.
Dosis berlebihan dalam jangka waktu yang panjang atau frekuensi dosis dapat
menyebabkan reaksi hipersensitivitas lebih besar daripada dosis tunggal.
Selanjutnya, obat dengan makromolekular atau obat hapten seperti penisilin, juga
berhubungan dengan kemungkinan besar penyebab reaksi hipersensitivitas.
3. Manifestasi Klinis
Pada penderita reaksi hipersensitivitas obat, banyak manifestasi klinis yang
dapat terlihat. Klinis yang terlihat, dapat membantu untuk melakukan penegakkan
diagnosis dan melakukan penanganan secara cepat pada penderita. Manifestasi
akut reaksi hipersensitivitas obat biasanya seperti, urtikaria, angioedema, rinitis,
konjungtivitis, bronkospasme, gejala gastrointestinal (mual, muntah, diare) atau
anafilaksis, dimana dapat mengakibatkan kolapsnya kardiovaskular. Reaksi
lambat hipersensitivitas obat sering mempengaruhi kulit dengan gejala kutaneus
yang bervariasi, seperti urtikaria yang lambat terjadi, erupsi makulopapular, fixed
drug eruptions (FDE), vaskulitis, penyakit blistering (Toxic Epidermal Necrosis
(TEN), Steven Jonhson Syndrome (SJS) dan FDE bula general), sindrom
hipersensitivitas, acute generalized exanthematous pustulosis (AGEP), dan
symmetrical drug-related intertriginous and flexural exanthemas (SDRIFE). Organ
internal yang bisa terkena baik secara tunggal atau dengan gejala pada kulit dan
termasuk hepatitis, gagal ginjal, pneumonitis, anemia, neutropeni, dan
trombositopeni.
4. Klasifikasi
Klasifikasi reaksi obat pembagiannya menurut mekanisme tersaji pada table di
bawah. Infeksi virus, gangguan metabolisme seperti defisiensi G6PD
meningkatkan risiko alergi obat. Sedangkan cahaya UV dapat mengubah imunitas
obat tertentu.
Terbukti/diduga kuat Mungkin
Menimbulkan reaksi
menimbulkan reaksi menimbulkan reaksi
pseudoalergi
alergi alergi
Antibiotik β-laktam
Opiatn Aspirin dan
(penisilin, sefalosporin, Kuinolon Sulfonamid
AINS
monobaktam, karbapenem)
Insulin Dilantin Heparin
Kemopapain Protamin Inhibitor ACE
Streptokinase Pelemas otot Aditif
Serum heterologous Anestesi lokal Larutan protein plasma
Tetanus (Toksoid–Tetanus/ Larutan pengganti
Kemoterapi
Difteri-Td) berbahan gelatin
Lateks Transfusi Tartazin
Agen biologik baru
(campak, mumps, MMR, Hemodilaisis Kontras
vaksin asal telur)

5. Patogenesis dan Patofisiologi


a. Imun dan non-imun reaksi hipersensitivitas terhadap obat
Alergi obat merupakan reaksi yang tidak diinginkan dimana antibody
dan/atau sel T aktif secara langsung melawan obat atau salah satu metabolit.
Jumlah reaksi dengan gejala alergi sering keliru dianggap sebagai alergi obat
yang sebenarnya. Patomekanisme reaksi termasuk;
1) Sel mast non spesifik atau pelepasan histamin basofil (seperti opiat, media
radiokontras, dan vankomisin),
2) Akumulasi bradikinin (angiotensin-converting enzyme inhibitors),
3) Aktivasi komplemen (protamine),
4) Perubahan metabolisme arakidonat (aspirin dan nonsteroidal
antiinflammatory drugs) dan,
5) Kerja farmakologis dari substansi tertentu yang menyebabkan
bronkospasme (β-bloker, sulfur dioksida).
b. Reaksi cepat hipersensitivitas obat
Reaksi cepat dari hipersensitivitas obat adalah hasil dari produksi IgE
oleh spesifik antigen limfosit B setelah sensitisasi. Antibodi IgE berikatan
dengan reseptor Fc RI afinitas tinggi pada permukaan sel mast dan basofil,
menciptakan ikatan multivalen terhadap antigen obat. Berdasarkan subsekuen
paparan obat, antigen kompleks protein hapten berikatan silang dengan IgE,
menstimulasi pelepasan preformed mediators (histamin, triptase, beberapa
sitokin seperti TNF-α) dan produksi mediator-mediator baru (leukotrin,
prostaglandin, kinin, sitokin lainnya). Preformed mediators menstimulasi
respon dalam beberapa menit, lalu komponen inflamasi sitokin berlangsung
setelah beberapa jam. Waktu yang dibutuhkan untuk sintesis protein dan
pengerahan sel imun.
c. Reaksi lambat hipersensitivitas obat
Kebanyakan reaksi lambat hipersensitivitas obat dimediasi melalui
kerja limfosit T. Kulit menjadi target organ yang umumnya terjadi dengan
obat yang responsif terhadap sel T, tetapi organ lain bisa saja terlibat.
Diklofenak, sebagaimana beberapa asam karboksil lainnya (obat anti inflamasi
nonsteroid), dapat menyebabkan cedera hati melalui sistem imun, dimana
dijelaskan dengan metabolisme hepar dan modifikasi selektif protein hepar.
Penting untuk diperhatikan, bahwa obat yang sama dapat menimbulkan gejala
dan tanda klinis yang berbeda pada individu yang berbeda pula, meskipun obat
tersebut diadministrasikan pada dosis dan rute administrasi yang sama. Untuk
menstimulasi sel T naif, sel dendritik proses pertama antigen obat. Antigen
lalu masuk dan ditranspor ke nodus limfa regional. Untuk berkembangnya
respon imun yang efektif, sistem imun innate perlu untuk diaktifkan,
menyediakan sinyal maturasi penting, sering ditujukan sebagai sinyal bahaya
dimana termasuk obat langsung atau stres terkait penyakit. Saat tiba di nodus
limfa, antigen dipresentasikan ke sel T naif. Sebagai alternatif, beberapa
antigen obat bisa secara langsung menstimulasi sel T spesifik pada patogen,
kemudian menghindari pengerahan untuk sel dendritik dan sel T. Antigen
spesifik sel T bermigrasi ke target organ dan sekali lagi melakukan paparan
ulang terhadap antigen, mereka diaktifkan untuk mensekresi sitokin yang
meregulasi respon dan sitotoksin (perforin, granzim, dan granulisin) yang
mengakibatkan kerusakan jaringan.
d. Peran virus dalam patogenesis reaksi hipersensitivitas obat
Infeksi virus dapat mengakibatkan erupsi kulit dan meniru reaksi
hipersensitivitas obat jika obat (kebanyakan antibiotik) yang diminum pada
waktu bersamaan.Walaupun infeksi virus dapat mencetuskan erupsi kulit,
infeksi virus bisa juga berinteraksi dengan obat, mengakibatkan erupsi ringan,
misalnya pada kasus “ampicillin rash” berkaitan dengan infeksi EBV dan
reaksi berat selama drug reaction with eosinophilia and systemic symptoms
(DRESS). Virus pertama kali menunjukkan reaktivasi pada pasien DRESS
yang terinfeksi Human herpes virus (HHV)-6, tetapi semua HHV dapat
terlibat. Beberapa studi menunjukkan bahwa replikasi HHV-6 bisa
menginduksi in vitro dengan amoksisilin.
6. Diagnosis
Diagnosis reaksi hipersensitivitas terhadap obat ditegakkan berdasarkan
anamnesis yang teliti, adanya gejala klinis yang muncul setelah penderita terpajan
oleh alergen atau faktor pencetusnya dan identifikasi temuan fisik pada pasien.
Anamnesis yang teliti dapat memberikan penjelasan mengenai penyebab
terjadinya reaksi hipersensitivitas terhadap obat. Berdasarkan anamnesis dan hasil
pemeriksaan fisik, tes diagnostik seperti tes kulit, graded challenges, dan induksi
dari prosedur toleransi obat juga dibutuhkan.
a. Anamnesis
Wawancara mengenai riwayat penyakit pasien merupakan cara yang
paling penting untuk diagnosis alergi obat. Kesulitan yang sering timbul yaitu
apakah gejala yang dicurigai timbul sebagai manifestasi alergi obat atau
karena penyakit dasamya. Masalah tersebut lebih sulit lagi bila pada saat yang
sama pasien mendapat lebih dari satu macam obat. Hal-hal yang perlu
diperhatikan pada anamnesis pasien alergi obat adalah:
1) Mencatat semua obat yang dipakai pasien termasuk vitamin, tonikum, dan
juga obat yang sebelumnya telah sering dipakai tetapi tidak menimbulkan
gejala alergi obat;
2) Riwayat pemakaian obat masa lampau dan catat bila ada reaksi;
3) Lama waktu yang diperlukan mulai dari pemakaian obat sampai timbulnya
gejala. Pada reaksi anafilaksis gejala timbul segera, tetapi kadang-kadang
gejala alergi obat baru timbul 7 - 10 hari setelah pemakaian pertama;
4) Mencatat lama pemakaian serta riwayat pemakaian obat sebelumnya.
Alergi obat sering timbul bila obat diberikan secara berselang-seling,
berulang-ulang, serta dosis tinggi secara parenteral;
5) Manifestasi klinis alergi obat sering dihubungkan dengan jenis obat
tertentu;
6) Diagnosis alergi obat sangat mungkin bila gejala menghilang setelah obat
dihentikan dan timbul kembali bila pasien diberikan obat yang sama;
7) Pemakaian obat topikal (salep) antibiotik jangka lama merupakan salah
satu jalan terjadinya sensitisasi obat yang harus diperhatikan.
7. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada pasien tersangka alergi obat harus dilakukan secara
menyeluruh terhadap semua sistem untuk mencari semua presentasi klinis alergi
obat. Manifestasi klinis tersering adalah pada organ kulit. Karakteristik dari lesi
kulit penting untuk menentukan kemungkinan penyebab, pemeriksaan penunjang
lanjutan dan tatalakasana alergi obat. Sejumlah manifestasi kelainan kulit yang
sering muncul pada reaksi alergi obat adalah pruritus, eksantema, urtikaria,
angioedema, erupsi bula, akne, fixed drug eruptions, eritema multiform,
eritematosus lupus, psoriasis, purpura dan vaskulitis. Selain itu, juga data berupa
reaksi kulit yang mengancam nyawa seperti sindrom Stevens-Johnson erupsi,
toxic epidermal necrolysis(TEN), dermatitis exfoliatif dan drug rash with
eosinophilia and systemic symptoms(DRESS).
8. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Penunjang Umum
Pemeriksaan penunjang umum berdasarkan indikasi di antaranya
adalah pemeriksaan darah perifer lengkap dengan hitung jenis, laju endap
darah, c-reactive protein, tes autoantibodi, tes imunologis khusus, pemeriksaan
rontgen dan elektrokardiografi. Jika reaksi alergi obat melibatkan ginjal, maka
diperlukan pemeriksaan urinalisis untuk mencari proteinuria, eosinofil dan
casts pada urin. Adanya eosinofil pada urin dan peningkatan kadar total IgE
dapat mengarahkan kepada adanya nefritis interstitial. Jika ada kecurigaan
vaskulitis yang disebabkan alergi obat, maka perlu dilakukan pemeriksaan laju
endap darah, C-reactive protein, tes komplemen dan beberapa tes autoantibodi
seperti antinuclear antibody (ANA), antinuclear cytoplasmic antibody (c-
ANCA),dan perinuclear cytoplasmic antibody (p-ANCA). Hasil tes ANA yang
positif mengarahkan kepada diagnosis dari sindrom lupus imbas obat.
b. Pemeriksaan Penunjang Khusus
Pemeriksaan penunjang yang khusus untuk alergi obat tebagi menjadi
pemeriksaan in vivo dan in vitro, maupun biopsi. Beberapa pemeriksaan
penunjang khusus yang penting untuk menunjang diagnosis alergi obat adalah
tes kulit untuk reaksi hipersensitivitas cepat (lgE), tes tempel, tes provokasi
atau tes dosing, radioallergosorbent test (RAST), mengukur lgG atau lgM
yang spesifik untuk obat, mengukur aktivasi komplemen, mengukur pelepasan
histamin atau mediator lain dari basofil, mengukur mediator seperti histamin,
prostaglandin, leukotrien, triptase, transformasi limfosit, uji toksisitas leukosit,
evaluasi dengan bantuan komputer.
9. Penatalaksanaan
prioritas penatalaksanaan obat mengarah kepada daftar obat-obatan terutama
yang terbukti kuat menimbulkan reaksi alergi yang diperoleh dari data anamnesis.
Tiga hal yang menjadi dasar tatalaksana alergi obat adalah menghindari faktor
yang menimbulkan gejala, pengobatan reaksi yang benar dan cara-cara khusus.
Jika memungkinkan, maka pencegahan pemberian obat merupakan pilihan
utama. Perlu diingat sebisa mungkin menghindari obat yang telah diketahui
menimbulkan reaksi alergi dan obat yang tidak memiliki efek klinis yang penting.
Penapisan melalui uji tusuk diperlukan terutama jika akan memberikan
pengobatan anti serum asing seperti globulin anti-timosit. Rute pemberian obat
yang diketahui dapat menimbulkan reaksi paling berat adalah rute intravena.Oleh
karena itu, jika memungkinkan rute ini dihindari terutama pada pasien dengan
riwayat reaksi alergi obat yang berat. Perhatian khusus harus diberikan pada
antibiotik terutama penisilin karena sering menimbulkan reaksi anafilaksis. Ketika
pernah terjadi reaksi obat, maka pasien dan orang yang bertanggung jawab atas
pasien wajib dinformasikan dan dilakukan pencatatan di rekam medik.
Pengobatan reaksi cepat pada alergi obat prinsip nya adalah pemberian
epinefrin, pengehentian obat yang diberikan, pemberian antihistamin (jika terdapat
urtikaria, angioedema dan pruritus) dan pertimbangan untuk pemberian
kortikosteroid oral. Sedangkan untuk reaksi lambat, pada dasarnya sama dengan
pada reaksi alergi obat cepat kecuali pemberian epinefrin.Namun, reaksi alergi
obat lambat dapat berlanjut meskipun obat penyebab sudah dihentikan.
Cara-Cara Khusus
Terdapat beberapa cara khusus yang penting dalam tatalaksana alergi obat
diantaranya adalah threating through, test dosing, desensitisasi dan pramedikasi
terhadap obat-obat tertentu. Dalam keadaan ekstrim, yaitu saat obat kausal sangat
diperlukan, maka pilihan yang dapat diambil adalah obat diteruskan bersamaan
pemberian anthistamin dan kortikosteroid untuk menekan alergi. Hal ini disebut
treating through, namun berisiko potensial mengakibatkan reaksi berkembang
menjadi eksfoliatif atau sindrom SJS dan memicu keterlibatan organ internal.
Pada tes dosing, obat diberikan dengan dosis awal yang kecil, kemudian
ditingkatkan serial sampai dicapai dosis penuh. Interval waktu peningkatan dosis
yaitu 24-48 jam bila dipikirkan reaksi hipersensitivitas lambat dan 20-30 menit
bila dipikirkan reaksi lgE. Pada tes dosing lambat dikerjakan bila reaksi yang
diduga terjadi adalah reaksi lambat seperti dermatitis. Pada kondisi ini jarak antara
pemberian obat dijadikan 24-48 jam, prosedur biasanya selesai dalam 2 minggu.
Pemeriksaan tes dosing saat ini semakin sering dikerjakan pada penderita HIV
yang akan diberikan trimetoprim/sulfamtoksazole. Saat ini sudah tersedia
beberapa protokol untuk tes dosing terhadap beberapa obat seperti sulfonamid,
relaksan otot, asiklovir, zidovudine, pentamidin dan penisilamin, ihinbitor ACE
dan heparin. Selain itu, termasuk juga obat yang jarang menimbulkan reaksi alergi
seperti β-blocker dan obat-obatan yang dapat menimbulkan reaksi serupa alergi
(pseudo-alergi) seperti opiate, anestesi lokal, aspirin, dan tartazin.
Desensitisasi adalah pilihan tatalaksana pada kondisi yangsudah dipastikan
terdapat alergi obat.Namun dmeikian, tidak ada pilihan obat yang lain.
Desensitisasi sendiri dapat dikerjakan pada reaksi IgE, pada reaksi yang tidak
terjadi melalui IgE, desensitisasi cepat pada anafilaksis dan desensitisasi lambat.
Pada reaksi yang melibatkan IgE, desensitisasi dikerjakan dengan tujuan
memperoleh reaksi yang ringan melalui eliminasi IgE. Terapi ini dilakukan
dengan cara induksi toleransi pada renderita yang mengalami reaksi alergi
(melalui IgE), cepat dan sistemik terhadap obat yang dapat dipastikan dengan tes
kulit misalnya pada penisilin. Teknik desenstisasi menggunakan protokol yang
prinsip dasarnya adalah pemberian bertahap dosis obat yang ditingkatkansecara
perlahan, mulai dari dosis subalergenik dan diteruskan sampai dosis penuh. Pada
saat dilakukan desensitisasi, jika terapi dihentikan, pada 50% penderita anafilaksis
dapat terjadi kembali. Protokol desensitisasi telah tersedia terhadap berbagai kelas
obat.
Pada obat-obat tertentu yang mekanisme reaksinya tidak melibatkan IgE,
desensitisasi telah dapat dilakukan dengan hasil yang baik. Obat-obat tesebut
diantaranyaadalah aspirin, AINS, alopurinol, preparat emas, sulfametoksazol dan
sulfasalazin. Desensitisasi cepat pada anafilaksis dilakukan dengan pemberian
dosis bertahap selama beberapa jam seperti pada penisilin. Biasanya dimulai
dengan jumlah p/1.000.000 sampai 1/100.000 dosis terapeutik. Jika pemberian
melalui intravena, dosis yang diberikan intravena dilipatgandakan setiap 15 menit
dengan pemantauan penderita secara hati-hati. Reaksi ringan, seperti urtikaria atau
pruritus, biasanya dapat menghilang spontan, sehingga pra-terapi dengan
antihistamin atau steroid pada desensitisasi tidak dilakukan agar reaksi ringan
dapat diidentifikasi. Desensitisasi lambat dilakukan dengan carapeningkatan dosis
dan pemberian dengan jarak 24-48 jam, kecuali bila pengobatan diperlukan lebih
cepat. Prosedur ini memerlukan waktu 2 minggu atau lebih.
Pada penderita yang pernah menunjukan reaksi serupa anafilaksis (non-lgE),
misalnya radiokontras, premedikasi atau terapi profilaksis atau pra-terapi penting
dilakukan sebelum pemberian obat. Premedikasi atau profilaksis dengan
pemberian antihistamin dan kortikosteroid saja atau dalam kombinasi dengan β-
adrenergik bertujuan menurunkan insidens dan reaksi beratmisalnya reaksi
anafilaksis yang ditimbulkan zat kontras. Baik tes dosing, desensitisasi, maupun
premedikasi memiliki kebahayaan menimbulkan reaksi alergi yang fatal, reaksi
anafilaksis dan reaksi psikiatrik non-alergi. Oleh karena itu, perlu diperhatikan
aspek medikolegal dan informed consent dalam melakukan prosedur ini. Hal-hal
yang perlu diperhatikan diantaranya adalah obat yang akan diberikan merupakan
obat esensial yang tidak bisa digantikan obat lain, adanya ruang bagi pasien untuk
menolak setelah memahami keuntungan dan risiko tindakan, dan sarana terapi
darurat yang harus disiapkan saat melakukan prosedur.
10. Pencegahan
Cara yang efektif untuk mencegah atau mengurangi terjadinya reaksi
hipersensitivitas terhadap obat yaitu memberikan obat sesuai indikasinya. Masalah
reaksi silang di antara obat juga harus diperhatikan. Peran obat-obat anti alergi
seperti antihistamin, kortikosteroid, dan simpatomimetik dalam upaya mencegah
reaksi alergi masih terbatas. Pada umumnya pemberian antihistamin dan steroid
untuk pencegahan reaksi alergi tidak bermanfaat kecuali untuk mencegah reaksi
alergi yang disebabkan oleh radioaktivitas.
Pasien harus mengetahui obat-obat yang menyebabkan alergi padanya,
termasuk obat yang diberikan dalam bentuk campuran dengan obat yang lain.
Apabila pasien berobat ke dokter, hendaknya memberitahukan kepada dokter yang
dikunjunginya perihal obat yang pemah menyebabkan reaksi alergi, sehingga
dokter dapat membuat catalan khusus di kartu berobat pasien.

BAB III
KASUS DAN PEMBAHASAN

A. Kasus
Tn. Q, laki-laki, 65 tahun, seorang petani, berdomisili di Lampung Tengah,
datang ke RSUD dr. H. Abdul Moeloek dengan keluhan kulit terkelupas seluruh
tubuh. Kulit terkelupas disertai dengan rasa gatal dan panas. Pasien mengaku
awalnya timbul bintik-bintik merah di seluruh tubuh sejak 18 tahun yang lalu.
Bintik-bintik merah itu diakui timbul setelah pasien meminum obat yang diketahui
merupakan antibiotik. Bintik-bintik itu dirasakan sangat gatal sehingga pasien harus
menggaruk bintik-bintik tersebut untuk menghilangkan rasa gatalnya. Lama-
kelamaan bintik-bintik merah tersebut menghilang, tetapi kulit pasien menjadi
bersisik di seluruh tubuh. Awalnya sisik-sisik tersebut tipis berwarna putih dan
lama-kelamaan menjadi tebal berlapis-lapis. Sisik-sisik tersebut tidak lagi terasa
gatal. Gatal dirasakan jika sisik-sisik tersebut mengelupas.
Pasien pernah berobat untuk mengobati penyakit kulitnya. Pasien mengaku
setelah berobat kulitnya sudah tidak gatal lagi dan sisik-sisik di tubuhnya mulai
menghilang. Akan tetapi setelah habis obat pasien tidak kontrol ulang ke dokter
tersebut. Oleh sebab itulah kulit pasien menjadi gatal-gatal kembali dan sisik-sisik
menjadi menebal di seluruh tubuh pasien.
Pemeriksaan fisik pasien pada tanggal 29 Mei 2013, didapatkan kesadaran
kompos mentis. Tekanan darah 180/90 mmHg, frekuensi nadi 96 x/menit, frekuensi
pernapasan 22 x/menit, suhu 37,7ºC. Status generalis pasien didapatkan konjungtiva
anemis. Kepala, hidung, mulut, leher, dada (jantung dan paru) pasien dalam batas
normal. Status dermatologis di lokasi seluruh tubuh tampak makula eritema disertai
skuama multipel kasar dan berlapis, difus, berwarna putih, dan erosi. Dari
pemeriksaan laboratorium didapatkan hemoglobin 8,7 gr/dl, leukosit 12.800/µl,
SGOT 71 U/L, SGPT 142 U/L, ureum 66 mg/dl, kreatinin 2,4 mg/dl.

B. Pembahasan
Pada pasien ini diagnosis ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik,
sedangkan pemeriksaan laboratoriumnya tidak khas. Dari anamnesis didapatkan lesi
berawal dari bintik-bintik merah di seluruh tubuh yang diikuti dengan sisik dan kulit
yang mengelupas. Dari pemeriksaan fisik didapatkan eritema di seluruh tubuh yang
disertai dengan skuama multipel kasar dan berlapis, difusi, berwarna putih. Dari
uraian diatas dapat dikatakan diagnosis pada pasien ini sudah tepat yaitu
eritroderma. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
pasien ini juga menderita hipertensi stage II, chronic kidney disease (CKD), anemia,
dan hepatitis.Penyebab eritroderma dibagi menjadi 3 golongan yaitu akibat alergi
obat secara sistemik, akibat perluasan penyakit kulit, dan akibat penyakit sistemik
termasuk keganasan (Wasitaatmadja, 2005). Pada pasien ini penyebab yang paling
mungkin yaitu akibat alergi obat sistemik. Karena sebelumnya pasien mengaku
bahwa lesi timbul setelah pasien meminum antibiotik. Akibat perluasan penyakit
kulit dapat disingkirkan karena pasien sebelumnya tidak pernah menderita penyakit
kulit. Pasien memiliki penyakit sistemik yaitu chronic kidney disease (CKD), tetapi
penyakit tersebut jarang mengakibatkan eritroderma (Sigurdsson et al., 2004).
Penatalaksanaan pada pasien ini dibagi menjadi 2, yaitu umum dan khusus.
Penatalaksanaan umum meliputi obat yang tersangka sebagai kausanya segera
dihentikan, pasien dianjurkan untuk tidak mencubit/menggaruk daerah kulit yang
sangat gatal, motivasi pasien untuk memakan nutrisi tinggi kalori tinggi protein, dan
jaga kebersihan kulit pasien (Umar, 2010). Penatalaksanaan khusus meliputi: IVFD
RL (mikro) 10 tetes/menit, tranfusi darah WB 200 cc, sistemik: methyl prednisolone
62,5 mg/12 jam (IV), cetirizin tablet 2 x 10 mg, eritromisin 3 x 500 mg, furosemide
injeksi 1 ampul/12 jam, bicnat 3 x 1, captopril 3 x 12,5 mg, asam folat 3 x 1,
curcuma 3 x 1 ranitidin 1 ampul/12 jam dan topikal: Emolien lanolin 10%. Pada
dasarnya terapi eritroderma adalah dengan pemberian kortikosteroid (methyl
prednisolone). Diet perlu tinggi protein karena banyak skuama yang terlepas
mengakibatkan kehilangan protein. Emolien lanolin 10% topikal diberikan untuk
mengurangi radiasi akibat vasodilatasi oleh eritema (Djuanda, 2005)

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Alergi obat adalah reaksi simpang obat yang melibatkan mekanisme
imunologis. Konsep mekanisme alergi obat yang umum diterima saat ini adalah
konsep hapten,konsep pro-hapten dan konsep P-I . Reaksi obat sendiri dipengaruhi
berbagai faktor risiko seperti jenis obat , faktor pejamu,atopi,penyakit tertentu
gangguan metabolisme dan lingkungan.
Reaksi alergi obat biasa menyerupai alergi pada umumnya. Ketika ada
kecurigaan mengenai munculnya reaksi alergi obat , maka harus ditanyakan riwayat
pemakaian obat yang baru saja digunakan dan hubungan waktu antara pemakaian
obat dan munculnya gejala. Pemeriksaan fisik pada pasien tersangka alergi obat
harus dilakukan secara menyeluruh terhadap semua sistem untuk mencari semua
presentasi klinis alergi obat. Pemeriksaan penunjang alergi obat terdiri dari
pemeriksaan penunjang umum dan kasus, yang dapat dilakukan baik in Vivi, in
vitro, maupun biopsi.
Tiga hal yang menjadi dasar tata laksana alergi obat adalah menghindari faktor
yang menimbulkan gejala,pengobatan reaksi yang benar dan cara-cara khusus. Cara-
cara khusus yang penting dalam tata laksana alergi obat diantaranya adalah threating
through,tes dosing, dan Premedikasi terhadap obat-obat tertentu.
DAFTAR PUSTAKA

Aru W, Sudoyo. 2009. BUKU AJAR ILMU PENYAKIT DALAM, JILID II, EDISI
V.JAKARTA: INTERNA PUBLISHING. Jakarta; Indonesia

Kumar et al. 2010. PATHOLOGIC BASIC OF DISEASE. 8TH EDITION. HILADELPHIA :


ELSEVIER. p. 1131-1146.

Small P,Kim H. 2011. ALLERGICRHINTIS. ALLERGY ASTHMA CLINIMMUNOL 2011 ;7


(Suppl1): S3.

Pandapotan, R. A., & Rengganis, I. (2017). PENDEKATAN DIAGNOSIS DAN TATA


LAKSANA ALERGI OBAT. Jurnal Penyakit Dalam Indonesia, 4(1), 45-52.

Shiombing, JE. 2013. ERITRODERMA ET CAUSA ALERGI OBAT PADA PENDERITA


HIPERTENSI STAGE II, CHRONIC KIDNEY DISEASE, ANEMIA, DAN HEPATITIS.
Vol.1 No.4. Fakultas Kedokteran Universitas Lampung. Lampung; Indonesia

Wijanarko S.I., dan Tjok Istri Anom. 2016. REAKSI HIPERSENTITIVITAS TERHADAP
OBAT. Ilmu Pemyakit Dalam RSUP Sanglah. Denpasar, Indonesia

Anda mungkin juga menyukai