Anda di halaman 1dari 13

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.....................................................................................................................................i
BAB I.............................................................................................................................................1
PENDAHULUAN............................................................................................................................1
1.1.Latar Belakang....................................................................................................................1
BAB II..........................................................................................................................................2
TINJAUAN PUSTAKA...............................................................................................................2
2.1 Pengertian Efek Samping Obat.....................................................................................2
2.2 Klasifikasi Reaksi Obat yang Tidak Diharapkan.............................................................3
2.3 Mekanisme side sffects …………………………………………………………………………………………….6

2.4 Ontogeni side effects ……………………………………………………………………………………………..…7

2.5 Diagnostik Side Effects Obat :.......................................................................................8


BAB III...........................................................................................................................................9
REFERENCES...............................................................................................................................11

i
i
BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Kemajuan pengetahuan serta ditemuinya obat- obat terkini buat pengobatan,


pencegahan, maupun diagnosis menuntut kita buat lebih mengenali lebih banyak
tentang farmakodinamik serta farmakokinetik dari obat. Tidak hanya dampak yang
diharapkan pada dikala pemberian obat pada penderita, bisa pula terjalin respon yang
tidak di inginkan, dengan tutur lain ADR “adverse drug reaction”. ADR bisa mencuat
dari yang sangat enteng sampai bisa jadi amat berat yang bisa memunculkan kematian.
ADR yang terjalin bisa memperparah penyakit dasar yang hendak kita atasi, menaikkan
kasus terkini serta apalagi kematian.1

Side effects obat kerap kita jumpai dalam praktek tiap hari. Pada suatu riset di
perancis dari 2067 dewasa berumur 20- 67 tahun yang tiba ke pusat kesehatan
dikabarkan kalau 14, 7% mempunyai riwayat side effects sistemik kepada satu ataupun
lebih obat. Riset di Swiss dari 5568 penderita jaga bermalam, 17% antara lain
memperoleh side effects obat. Respon obat yang parah terjalin pada 0, 1% penderita
medik serta 0, 01% penderita operasi, hanya 5- 10% dari ADR ialah alergi obat. Obat
yang paling sering merupakan antibiotik serta obat anti inflamasi non steroid. ADR
diperkirakan terjalin nyaris 15% dari pemberian obat. Resiko terbentuknya ADR bisa
meningkat 2 kali lipat di rumah sakit.2

Banyak metode ADR yang diperkirakan, namun metode tentu respon obat yang
memunculkan ADR belum nyata dikenal. Perihal ini menimbulkan amat susah
melainkan antara alergi obat dengan wujud lain respon obat dan dalam
memperhitungkan kejadian alergi obat, menilai aspek resiko serta memastikan
penatalaksanaannya.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Efek Samping Obat

Efek Samping Obat merupakan semua respons pada sesuatu obat yang mudarat
serta tidak di idamkan, yang terjalin pada takaran yang umumnya dipakai pada orang
buat penangkalan, penaksiran, ataupun pengobatan penyakit ataupun buat perubahan
guna fisiologis. Sebagian tentang yang butuh dikenal mengenai efek samping obat,
umumnya efek samping obat terjalin sehabis sebagian dikala minum obat. Cermati
situasi penderita, misalnya bunda berbadan dua, bunda menyusui, lanjut usia, kanak-
kanak, pengidap kandas ginjal, jantung serta serupanya. Pada pengidap itu wajib lebih
berjaga- jaga dalam membagikan obat. Data mengenai kemungkinan terbentuknya efek
samping obat, umumnya ada pada edaran bungkusan obat, oleh sebab itu bacalah
dengan teliti bungkusan ataupun edaran obat, supaya dampak sisi yang bisa jadi
mencuat telah dikenal tadinya, alhasil bisa dicoba konsep penanggulangannya. (1)

Efek samping yang lazim terjalin, Pada kulit, berbentuk rasa mengerinyau,
mencuat becak merah ataupun rasa panas. Pada kepala, terasa pusing. Pada saluran
pencernaan, terasa mual, serta muntah, dan berak air. Pada saluran pernafasan, terjalin
ketat napas. Pada jantung terasa dada berdebar cepat( berdebar- debar). Kemih bercorak
merah hingga gelap. Perihal yang wajib dicoba bila mencuat efek samping obat adalah
hentikan minum obat. Mencari bantuan ke alat kesehatan, puskesmas atau rumah sakit
atau dokter terdekat. Peristiwa keamanan penyembuhan bisa diawali dengan, peristiwa
penyembuhan (MI = “Medication Incident”) merupakan seluruh peristiwa yang terjalin
berhubungan dengan penyembuhan. Kekeliruan penyembuhan (ME = “Medication
Error”) merupakan peristiwa yang terjalin dampak cara pemakaian obat yang tidak pas,
alhasil bisa mematikan keamanan pasien (1)

2
Salah satu obat yang paling sering menimbulkan efek samping adalah obat TB.
Regimen anti TB berlandas “rifampisin” serta “regimen antiretroviral berplatform
efavirenz” ialah pengobatan lini awal buat penderita koinfeksi TB atau HIV. Pemakaian
bersama kedua regimen ini menimbulkan “high pill burden”, kenaikan efek interaksi
obat, serta efek samping yang menumpang bertumpukan.4,5

Riset tadinya menyamakan peristiwa efek samping obat antara penderita TB


dengan serta tanpa koinfeksi HIV. Didapat peristiwa efek samping obat yang sungguh-
sungguh lebih biasa ditemui pada penderita dengan koinfeksi TB atau HIV dengan efek
samping penting yang ditemui yakni neuropati perifer serta muntah berkanjang.6

Riset yang lain yang dicoba di Afrika Selatan mendefinisikan profil dampak sisi
pada penderita “multidrug resistant tuberculosis” (MDR-TB) dengan HIV. 80,6%
penderita hadapi peristiwa efek samping serta efek samping yang ditemui antara lain
kehabisan pendengaran (28,7%); neuropati perifer (23,2%); berak air, mual, serta
muntah (20, 5%); artralgia (15, 9%); ruam serta dampak dermatologi (tidak tercantum
sindroma Steven Johnson) (14%); perih abdomen serta dispepsia (10,3%); psikosis serta
konfusi (8, 3%). 7

Riset seragam yang sempat dicoba di Mumbai, India yang mendefinisikan


peristiwa efek samping serta derajatnya pada penderita MDR-TB dengan koinfeksi HIV
yang menempuh penyembuhan dengan OAT lini kedua serta ART. Hasilnya, sebesar
71%, 63%, serta 40% penderita hadapi efek samping enteng, lagi, serta berat; efek
samping yang ditemui merupakan pertanda gastrointestinal (45%), neuropati perifer
(38%), hipotiroidisme (32%), simptom psikiatri (29%), serta hipokalemia (23%).8

2.2 Klasifikasi Reaksi Obat yang Tidak Diharapkan

Dikenal beberapa sistem klasifikasi reaksi obat yang tidak diharapkan, seperti
sistem DoTS dan EIDOS. Sistem DoTS mencakup hubungan risiko-keuntungan suatu
obat, kerentanan pasien, dan kursus waktu kejadian merugikan. Sistem EIDOS
memperkenalkan: 1) (E) jenis kimia ekstrinsik; 2) (I) impaksi tubuh atau sistem
intrinsic; 3) (D) distribusi target-target intrinsik tubuh secara luas yang relevan; 4) (O)

3
dampak hal-hal ini pada proses fisiologis atau patofisiologis menghasilkan keluaran;
dan 5) (S) yang diekspresikan secara klinis sebagai keluaran simpang atau sekuele. Satu
sistem klasifikasi yang digunakan secara luas dan pragmatik bermanfaat pada
pendekatan klinis efek-efek merugikan berhubungan dengan terapi obat adalah sistem
Thompson dan Rawlins.(1)
Sistem Thompson dan Rawlins, sejak tahun 1970, pertama mengemukakan 2 tipe
reaksi obat yang tidak diharapkan, tipe A dan tipe B. selanjutnya, klasifikasi ini
dikembangkan dengan pertimbangan isu jangka panjang seperti teratogenisitas,
karsinogenesis, dan ketergantungan. Klasifikasi mendominasi yang digunakan yaitu tipe
A dan tipe B. Klasifikasi reaksi obat yang tidak diharapkan dapat dilihat pada tabel 2
sebagai berikut:(1)

Tabel 2. Klasifikasi Reaksi Obat yang Tidak Diharapkan(1)


Tipe A Dapat Diprediksi
Dapat diprediksi berrelasi dengan farmakologi yang diketahui dari obat,
subklasifikasi:
- Side effects: sebagai contoh tremor halus tangan ketika memulai terapi dengan
albuterol (salbutamol),
- Efek sekunder: dapat diprediksi tetapi bukan konsekuensi pasti dari efek obat,
sering pada jaringan-jaringan bukan target. Sebagai contoh, kolitis
pseudomembranosa setelah pemberian linkosamida,
- Interaksi: perubahan pada pembersihan obat akibat interaksi dengan penyakit,
makanan, atau terapi obat konkuren. Sebagai contoh, toksisitas ginjal akibat
siklosporin berasal dari terapi klaritromisin konkuren, dan
- Toksisitas: konsekuensi simpang konsentarasi obat berlebihan. Sebagai contoh,
asidosis dan tinnitus berasal dari overdosis salisilat.

Tipe B Tidak Dapat Diprediksi


Tidak dapat diprediksi berrelasi dengan farmakologi yang diketahui dari obat,
subklasifikasi:
- Intoleransi: side effects berat terjadi pada konsentrasi obat normal, biasanya
pada populasi dengan kerentanan unik. Sebagai contoh, tinnitus pada pasien-

4
pasien terapi salisilat dosis rendah,
- Alergi/pseudoallergic: reaksi-reaksi tidak diharapkan yang diperantarai atau
terjadi oleh mediasi sistem imun. Sebagai contoh, reaksi anafilaktik penisilin,
- Idiosinkratik: reaksi tidak diharapkan jarang dan berat, dimana patogenesisnya
belum jelas, biasanya pada pasien-pasien yang rentan. Sebagai contoh,
Sindroma Steven Johnson berasal dari terapi sulfonamida.
- Psikogenik: reaksi tidak diharapkan yang tidak dipahami dengan karakteristik
reaksi ekstrim, sering pada sekelompok obat-obatan atau bahan-bahan kimia.
Sebagai contoh, sensitivitas antibiotika beragam.
Tipe C Kronik
Berrelasi pada kumulasi dosis sejalan dengan waktu. Sebagai contoh,
penghambatan di sumbu hipotalamus-pituitari berhubungan dengan terapi
kortikosteroid jangka panjang.
Tipe D Lambat
Efek terjadi beberapa waktu setelah penggunaan obat. Sebagai contoh,
karsinogenesis misalnya adenokarsinoma vaginal clear cell berasal dari paparan
intrauterin terhadap dietilstilbestrol atau teratogenesis misalnya spina bifida berasal
dari paparan intrauterin terhadap asam valproat.
Tipe E Withdrawal
Berasal dari withdrawal suatu obat dimana pasien terhabituasi atau ketergantungan.
Sebagai contoh, withdrawal narkotika ketika terapi opiate jangka panjang
mendadak dihentikan.
Tipe F Gagal
Kegagalan terapeutik berasal dari faktor-faktor berdampak pada efikasi atau
pembersihan. Sebagai contoh, kehamilan berasal dari kegagalan kontrasepsi oral
berhubungan dengan terapi karbamazepin berangsur.

5
2.3 Mekanisme Side Effects

Mekanisme yang mendasari reaksi obat yang tidak diharapkan tipe A dapat
diprediksi oleh adanya farmakologi obat diketahui sehingga dapat diantisipasi dan
direncanakan penanggulangannya. Side effects biasanya terjadi di jaringan bukan
targetnya, tipikal efek-efek obat bukan pada targetnya. Side effects sering menimbulkan
gangguan tetapi tidak tipikal serius. Dalam beberapa kejadian, mereka sering
menghilang bila terapi diteruskan, sebagai contoh dalam kasus albuterol (salbutamol)
menimbulkan tremor halus tangan yang sering menghilang sejalan dengan waktu.
Memang dalam beberapa kasus, memberi penanganan suatu side effects merupakan
pendekatan terapeutik legal.(1)
Intoleransi disebut sebagai side effects berat yang konsisten toksisitas walaupun
pemakaian dosis obat sesuai standar. Saat dilakukan pengukuran, konsentrasi obat di
dalam darah berada dalam rentang terapeutik normal, dengan dugaan pasien-pasien
memiliki kerentanan unik pada kejadian-kejadian tidak diharapkan yang muncul.(1)
Variabilitas konsentrasi plasma dipengaruhi oleh bermacam karakteristik
farmakokinetik saat diberikan pada pasien, Pasien memiliki variabilitas bermacam
antara lain:(2)
● Variasi pada absorbsi obat
● Variasi distribusi obat
● Perbedaan kemampuan individu untuk memetabolisme dan mengekskresi obat
(genetik)
● Status kesehatan (insufisiensi ginjal atau hepar) atau status fisiologis (usia ekstrim,
obesitas) yang merubah absorbsi, distribusi, atau eliminasi obat
● Interaksi obat
Interaksi makanan-obat dapat menimbulkan side effects dan toksisitas seperti
pada jus anggur, inhibitor enzim CYP450, dikonsumsi bersama dengan agen
antihiperlipidemia atorvastatin, lovastatin, dan simvastatin akan menghambat
metabolisme dari agen antihiperlipidemia sehingga terjadi peningkatan kadar agen
antihiperlipid di dalam tubuh. Pada saat kedua obat dikonsumsi bersamaan (interaksi
obat-obat) memiliki mekanisme atau transporter yang sama, akan menimbulkan
keterlambatan ekskresi dari salah satu obat tersebut dan terjadi toksisitas dan side

6
effects. Agen antipiretik aspirin yang dapat menggeser warfarin dari protein plasma,
agar tidak diberikan bersamaan dengan warfarin dalam hal pencegahan side effect berat
yaitu perdarahan serius.(3)
Faktor yang mempengaruhi farmakokinetik dan farmakodinamik dijelaskan pada
gambar 1.(2)

Gambar 1. Farmakokinetik dan Farmakodinamik(2)


2.4 Ontogeni Side Effects
Isu terkait ontogeni sering disebutkan dalam konteks bayi prematur dan bayi baru
lahir. , ditemukan berhubungan dengan beberapa efek tidak diharapkan yang signifikan.
Kloramfenikol bekerja dengan menginihibisi aktivitas enzim peptidyl transferase dalam
ribosom bakteri. Salah satunya adalah gray syndrome baby atau sindroma bayi abu-abu.
Obat-obatan sefalosporin generasi kedua seperti cefaclor dimana obat ini terbukti dapat
menimbulkan 1% risiko reaksi sickness-like yang dicirikan dengan eritema multiformis
dan poliatralgia sentrifugal pada bayi usia 1 tahun sampai anak usia 6 tahun.(1)
Obat kloramfenikol pada pemberiannya ialah antibiotik yang efektif bersifat
spektrum luas dengan absorbsi oral yang sangat menarik. Namun pada bayi, terjadi
pembersihan kloramfenikol terganggu, menyebabkan peningkatan kadar kloramfenikol
dalam tingkat sirkulasi darah dan tingkat sel. Bila bakteri bertahan hidup dari
endositosis, toksin ribosom bakteri akan memiliki konsentrasi yang lebih tinggi
sehingga meracuni ribosom mitokondria. Hal ini menyebabkan produksi energi menjadi
rusak dan sistem kardiorespirasi kolaps yang ditandai dengan sindroma bayi abu-abu.(1)

7
2.5 Diagnostik Side Effects Obat :

Langkah langkah di bawah ini dapat membantu dalam mengkaji kemungkinan suatu
ESO:
a. Memastikan bahwa obat yang diberikan, diterima dan dikonsumsi oleh pasien sesuai
dengan dosis yang dianjurkan.
b. Memverifikasi onset (mulai terjadinya) ESO yang dicurigai terjadi setelah obat
dikonsumsi, bukan sebelumnya dan diskusikan dengan cermat apa saja yang dirasakan
oleh pasien setelah mengkonsumsi obat tersebut.
c. Menentukan interval waktu antara awal pengobatan dengan onset kejadian yang
dicurigai sebagai ESO.
d. Mengevaluasi ESO yang dicurigai setelah menghentikan pemakaian obat atau
menurunkan dosisnya dan selalu mengawasi keadaan pasien. Jika memungkinkan,
mulai kembali pengobatan dengan obat yang sama dan lakukan pengawasan
keberulangan terjadinya ESO apapun.
e. Menganalisa kemungkinan penyebab lainnya (selain obat) yang mungkin dapat
menimbulkan reaksi tersebut.

8
BAB III
KESIMPULAN

Side Effects Obat ialah suatu respon terhadap suatu obat yang merugikan dan
tidak diinginkan yang terjadi pada dosis yang biasanya digunakan pada manusia untuk
pencegahan, diagnosis, atau terapi penyakit atau untuk modifikasi fungsi fisiologik.
Beberapa bukti menunjukkan bahwa sebenarnya side effects obat dapat dicegah
dengan pengetahuan yang bertambah, yang diperoleh dari kegiatan pemantauan aspek
keamanan obat pasca pengobatan.1
Antibiotik merupakan salah satu obat yang sering menimbulkan side effects.
Insiden keseluruhan side effects per masuk rumah sakit selama penelitian 10 tahun
adalah 1,6%. Kejadian tahunan side effects berkisar antara 0,4% sampai 2,3%. side
effects yang sering timbul yaitu ruam, perubahan tekanan darah, demam, menggigil, dan
kekakuan, neutropenia atau trombositopenia, aritmia, depresi pernafasan, urtikaria,
tremor, kesulitan bernapas atau dinding dada kekakuan.2
Bila antibiotik yang diberikan dalam dosis teraupetik yang kecil tetapi sudah
memberikan side effects, maka obat harus dihentikan atau diganti dengan obat yang
lain.3 Hal ini menimbulkan pertentangan dalam pengobatan dan bermutasinya bakteri,
karena mempengaruhi keberhasilan terapi. Putusnya terapi timbul akibat side effects,
menimbulkan kekebalan bakteri sehingga memperberat beban penyakit dan beban
pasien itu sendiri.4,5
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh Ettore menyimpulkan bahwa
penggunaan antibiotik pada pasien anak mengalami efek kulit (rash dan urtikaria) dan
sistem pencernaan (diare, mual dan muntah).6 Anak lebih mudah sakit akibat daya tahan
tubuh lebih rentan sehingga pengguanaan antibiotik pada anak beresiko lebih tinggi.
Perlunya pemantauan penggunaan antibiotik untuk anak karena respon tubuh anak
tehadap obat tidak sama dengan respon tubuh orang dewasa, selain itu kapasitas
penyerapan, distribusi, metabolisme dan eliminasi dari obat yang sangat berbeda antara
orang dewasa, sehingga dapat terjadi perbedaan respon terapetik atau side effects.7
ADR dalam segi praktis klinis dapat diklasifikasikan untuk memudahkan dalam
mengetahui terjadinya ADR pada penggunaan obat dalam praktek sehari-hari, salah satu
klasifikasi yang dapat digunakan adalah:8

9
1. Reaksi yang dapat timbul pada setiap orang:
a. Overdosis obat: efek farmakologis toksik yang timbul pada pemberian obat yang
timbul akibat kelebihan dosis ataupun karena gangguan ekskresi obat
b. Side Effects obat: efek farmakologis yang tidak diinginkan yang timbul pada dosis
terekomendasi.
c. Interaksi obat: aksi farmakologis obat pada efektivitas maupun toksisitas obat yang
lain.

2. Reaksi yang hanya timbul pada orang yang suseptibel:


a. Intoleransi obat: ambang batas yang rendah pada aksi farmakologis normal dari obat.
b. Idiosinkrasi obat: respon abnormal dari obat yang berbeda dari efek farmakologisnya.
Hal ini timbul pada pasien yang suseptibel dan kejadian bisa / tidak bisa diperkirakan.
Terjadi karena metabolisme obat ataupun defisiensi enzim.
c. Alergi obat
d. Reaksi pseudoalergik/anafilaktoid: reaksi yang secara klinis mirip dengan reaksi
alergi tanpa peranan imunologis (tidak diperantarai IgE).
Golongan penisilin secara umum mempunyai side effects hipersensitasi,
gangguan lambung(mual,diare, muntah) dan pada dosis tinggi dapat terjadi nefrotoksis
dan neurotoksis. Untuk golongan Sefalosporin hampir sama dengan penisilin tapi lebih
ringan, seperti gangguan pada lambung. Untuk golongan aminoglikosida terutama
secara parenteral dapat mengakibatkan kerusakan pada pendengaran, keseimbangan
(ototoksis) karena kerusakan saraf pada otak, selain itu juga dapat merusak ginjal
(nefotoksis). Untuk penggunaan oral dapat menyebabkan muntah, nausea, diare.
Golongan tetrasiklin pada pemakaian oral dapat menyebabkan gangguan lambung,
selain itu dapat itu menimbulkan gangguian stuktur kristal gigi. kulit peka terhadap
cahaya (fotosensitasi). Golongan makrolida mempunyai side effects gangguan lambung
ataupun usus, gangguan fungsi hati. Kloramfenikol merupakan golongan yang
mempunyai side effects gangguan lambung dan usus, neropati optis dan perifer radang
lidah dan mukosa ulut, dan anemia.8

10
REFERENCES

1. Rieder M. Adverse Drug Reactions Across the Age Continuum: Epidemiology,


Diagnostic Challenges, Prevention, and Treatments. J Clin Pharmacol.
2018;58(November 2017):S36–47.
2. Spruill WJ, Wade WE, DiPiro JT, Blouin RA, Pruemer JM. Concepts in Clinical
Pharmacokinetics. 6th ed. 2013. 1–18 p.
3. Alshammari TM. Drug safety: The concept, inception and its importance in
patients’ health. Saudi Pharm J [Internet]. 2016;24(4):405–12. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.jsps.2014.04.008 [Accessed 1 August 2021]
4. Padmapriyadarsini C, Narendran G, Swaminathan S. Diagnosis & Treatment of
Tuberculosis in HIV Co-infected Patients. Indian J Med Res. 2011;134(6):850-
865.
5. Regazzi M, Carvalho AC, Villani P, Matteelli A. Treatment Optimization in
Patients Co- Infected with HIV and Mycobacterium tuberculosis Infections:
Focus on Drug±Drug Interactions with Rifamycins. Clin Pharmacokinet.
2014;53(6):489-507.
6. Breen RAM, Miller RF, Gorsuch T, Smith CJ, Schwenk A, Holmes W, et al.
Adverse Events and Treatment Interuption in Tuberculosis Patients With and
Without HIV Co- infection. Thorax. 2006;61:791-4.
7. TQ Jacobs, A Ross. Adverse effects profile of multidrug-resistant tuberculosis
treatment in a South African outpatient clinic. S Afr Fam Pr. 2012;54(6):531-9.
8. Isaakidis P, Varghese B, Mansoor H, Cox HS, Ladomirska J, Saranchuk P, et al.
Adverse Events among HIV / MDR-TB Co-Infected Patients Receiving
Antiretroviral and Second Line Anti-TB Treatment in Mumbai, India. PLoS
ONE. 2012;7(7).

11

Anda mungkin juga menyukai