BUNDA LUBUKLINGGAU
Menimbang: 1.
Mengingat :
MEMUTUSKAN
Menetapkan :
KESATU :
KEDUA :
KETIGA :
Ditetapkan di : Lubuklinggau,
Pada tanggal : 02 Agustus 2022
Direktur,
1.1 Definisi
Monitoring Efek Samping Obat (MESO) merupakan kegiatan pemantauan
setiap respon tubuh yang tidak dikehendaki terhadap obat yang terjadi pada dosis
lazim yang digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosis dan terapi.
ASHP mendefinisikan efek samping (side effect) sebagai reaksi yang dapat
diperkirakan frekuensinya dan suatu efek yang intensitas maupun kejadiannya
terkait dengan besarnya dosis yang digunakan: mengakibatkan sedikit atau tidak
ada perubahan terapi pada pasien (misalnya, efek mengantuk atau mulut kering
pada penggunaan antihistamin; efek mual pada penggunaan obat kanker). ASHP
mendefinisikan reaksi obat yang tidak diharapkan (ROTD) (ADR, adverse
drug reactions) sebag ai r espons yang tid ak dapat diperkirakan, yang
tidak dikehendaki, atau respons yang berlebihan akibat penggunaan obat sehingga
muncul reaksi alergi atau reaksi idiosinkrasi. Hingga saat ini sistem
pemantauan dan pelaporan ESO oleh sejawat tenaga kesehatan di Indonesia masih
bersifat sukarela, namun demikian dengan tuntutan perkembangan ilmu
pengetahuan dan juga standar pelayanan kesehatan dalam rangka patient safety,
pemantauan ESO menjadi bagian yang sangat penting.Dalam perkembangannya
monitoring efek samping tidak hanya terbatas pada obat saja, tetapi juga
termasuk obat tradisional, suplemen makanan dan kosmetika.
1.2 Tujuan
1. Menemukan Efek Samping Obat (ESO) atau ROTD, sedini mungkin
terutama yang berat, tidak dikenal dan frekuensinya jarang.
2. Mengenal semua faktor yang mungkin dapat menimbulkan/ mempengaruhi
angka kejadian dan hebatnya ESO atau ROTD.
3. Meminimalkan risiko kejadian ESO atau ROTD
4. Mencegah terulangnya kejadian ESO atau ROTD.
BAB II
RUANG LINGKUP
2.1 Tenaga Kesehatan yang melaporkan MESO
a. Dokter umum.
b. Dokter spesialis.
c. Dokter gigi.
d. Apoteker.
e. Bidan.
f. Perawat.
g. Tenaga kesehatan lain.
2.2 Apa yang perlu dilaporkan?
Setiap kejadian yang dicurigai sebagai Efek Samping Obat (ESO) perlu
dilaporkan, baik efek samping yang belum diketahui hubungan kausalnya (KTD/AE)
maupun yang sudah pasti merupakan suatu ESO/ ADR.
2.3 Bagaimana cara melapor dan informasi apa saja yang harus dilaporkan?
Informasi Kejadian Tidak Diinginkan (KTD) atau ESO yang hendak
dilaporkan diisikan ke dalam formulir pelaporan ESO/ formulir kuning yang tersedia.
Dalam penyiapan pelaporan KTD atau ESO, sejawat tenaga kesehatan dapat
menggali informasi dari pasien atau keluarga pasien. Untuk melengkapi informasi
lain yang dibutuhkan dalam pelaporan dapat diperoleh dari catatan medis pasien.
Informasi yang diperlukan dalam pelaporan suatu KTD atau ESO dengan
menggunakan formulir kuning.
2.4 Karakteristik laporan efek samping obat yang baik
Karakteristik suatu pelaporan spontan (Spontaneous reporting) yang baik,
meliputi beberapa elemen penting berikut :
a. Diskripsi efek samping yang terjadi atau dialami oleh pasien, termasuk waktu
mula gejala efek samping (time to onset of signs/symptoms).\
b. Informasi detail produk terapetik atau obat yang dicurigai, antara lain : dosis,
tanggal, frekuensi dan lama pemberian, lot number, termasuk juga obat bebas,
suplemen makanan dan pengobatan lain yang sebelumnya telah dihentikan yang
digunakan dalam waktu yang berdekatan dengan awal mula kejadian efek
samping.
c. Karakteristik pasien, termasuk informasi demografik (seperti usia, suku dan jenis
kelamin), diagnose awal sebelum menggunakan obat yang dicurigai, penggunaan
obat lainnya pada waktu yang bersamaan, kondisi ko-morbiditas, riwayat
penyakit keluarga yang relevan dan adanya factor risiko lainnya.
2.5 Informasi yang diperlukan dalam Formulir efek samping obat
a. Informasi pelapor meliputi nama, alamat dan nomor telepon.
b. Terapi atau tindakan medis yang diberikan kepada pasien untuk menangani efek
samping tersebut dan kesudahan efek samping (sembuh, sembuh dengan gejala
sisa, perawatan rumah sakit atau meninggal).
c. Data pemeriksaan atau uji laboratorium yang relevan.
2.6 Waktu Pelaporan
Tenaga kesehatan sangat dihimbau untuk dapat melaporkan kejadian Efek
Samping Obat yang terjadi segera setelah muncul kasus diduga ESO atau segera
setelah adanya kasus ESO yang teridentifikasi dari laporan keluhan pasien yang
sedang dirawatnya.
2.7 Pengelompokkan Efek Samping Obat
Efek Samping Obat dapat dikelompokkan dengan beberapa cara, yaitu:
a. Efek samping yang dapat diperkirakan yaitu efek farmakologi yang berlebihan,
respon karena penghentian obat, efek samping yang tidak berupa efek
farmakologi utama.
1) Efek Farmakologi yang Berlebihan
Efek ini disebut juga efek toksik yang disebabkan dosis relatif yang
terlalu besar untuk pasien. Hal ini terjadi karena dosis yang diberikan dalam
jumlah besar atau adanya perbedaan respon kinetik atau dinamik pada
kelompok-kelompok tertentu, misalnyapada pasien dengan gangguan fungsi
ginjal, gangguan fungsi jantung, perubahan sirkulasi darah, usia, genetik
dan sebagainya. Sehingga dosis yang diberikan dalam dosis lazim menjadi
relatif terlalu besar pada pasien tersebut. Selain itu, efek ini juga dapat
terjadi karena interaksi farmakokinetik maupun farmakodinamik antar obat
yang diberikan bersamaan, sehingga efek obat menjadi lebih besar. Efek ini
umumnya dijumpai pada pengobatan depresansia susunan saraf pusat, obat-
obat pemacu jantung, antihipertensi dan antidiabetik.
Dalam hal ini perlu diberikan perhatian khusus terhadap kelompok-
kelompok pasien dengan risiko tinggi, seperti pada pasien dengan
penurunan fungsi ginjal, penurunan fungsi hepar, bayi, dan usia lanjut.
Selain itu, riwayat pasien dalam pengobatan yang mengarah ke kejadian
ESO juga perlu diperhatikan.
2) Respon Karena Penghentian Obat / Gejala Penghentian Obat
Gejala penghentian obat ataugejala putus obat atauwithdrawal
syndrome adalah munculnya kembali gejala penyakit semula atau reaksi
pembalikan terhadap efek farmakologi obat, karena penghentian
pengobatan.
Contoh gejala ini,adalah:
a) Agitasi ekstrim, takikardi, rasa bingung, delirium dan konvulsi yang
mungkin terjadi pada penghentian pengobatan dengan depresansia
susunan saraf pusat seperti barbiturate, benzodiazepine dan alkohol.
b) Krisis addison akut yang muncul karena penghentian terapi
kortikosteroid.
c) Hipertensi berat dan gejala aktifitas simpatetik yang berlebihan karena
penghentian terapi klonidin.
d) Gejala putus obat karena obat narkotika, dan sebagainya.
Reaksi ini dapat dikurangi dengan cara menghentikan pengobatan
secara bertahap, misalnya dengan penurunan dosis secara bertahap atau
dengan menggantikan dengan obat sejenis yang mempunyai aksi lebih
panjang atau kurang poten dengan gejala putus obat yang lebih ringan.
3) Efek Samping Yang Tidak Berupa Efek Farmakologi Utama
Dalam hal ini untuk sebagian besar obat umumnya telah dapat
diperkirakan berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan secara
sistematik sebelum obat mulai digunakan untuk pasien.Efek-efek ini
umumnya dalam derajad ringan, namun angka kejadiannya cukup tinggi.
Sedangkan efek samping yang lebih jarang dapat diperoleh dari laporan-
laporan setelah obat digunakandalam populasi yang lebih luas.
Contoh dari efek ini,adalah:
a) Iritasi lambung yang menyebabkan keluhan pedih, mual dan muntah
pada obat-obat kortikostiroid oral, analgetik-antipiretik, teofilin,
eritromisin, rifampisin, dan sebagainya.
b) Rasa ngantuk (drowsiness) setelah pemakaian antihistamin untuk anti
mabuk perjalanan (motion sickness).
c) Kenaikan enzim-enzim transferase hepar karena pemberian rifampisin.
d) Efek teratogenik obat-obat tertentu, sehingga obat tersebut tidak boleh
diberikan pada wanita hamil.
e) Penghambatan agregasi trombosit oleh aspirin, sehingga memperpanjang
waktu pendarahan.
b. Efek samping yang tidak dapat diperkirakan yaitu reaksi alergi, reaksi karena
faktor genetik dan reaksi idiosinkratik.
1) Reaksi Alergi
Alergi obat atau reaksi hipersensitifitas merupakan efek samping yang
sering terjadiakibat reaksi imunologi. Reaksi ini tidak dapat diperkirakan
sebelumnya, seringkali sama sekali tidak tergantung dosis, dan terjadinya
hanya pada sebagian kecil populasi yang menggunakan suatu obat.
Reaksinya dapat bervariasi dari bentuk yang ringan seperti reaksi kulit
eritema sampai yang paling berat, berupa syok anafilaksis.
Reaksi alergi dapat dikenali berdasarkan sifat-sifat khasnya, yaitu:
a) Gejalanya sama sekali tidak sama dengan efek farmakologinya.
b) Seringkali terdapat tenggang waktu antara kontak pertama terhadap obat
dengan timbulnya efek.
c) Reaksi dapat terjadi pada kontak ulangan, walaupun hanya dengan obat
dalam jumlah sangat kecil.
d) Reaksi hilang apabila obat dihentikan.
e) Keluhan atau gejala yang terjadi dapat ditandai sebagai reaksi imunologi,
misalnya rash (ruam) dikulit, serum sickness, anafilaksis, asma,
urtikaria, angio–edema, dan sebagainya.
Mekanisme terjadinya reaksi alergi,adalah:
Tipe I : Reaksi anafilaksis, yaitu terjadinya interaksi antara antibodi
IgEpada sel mast dan leukosit basofil dengan obat atau
metabolit, menyebabkan pelepasanmediator yang
menyebabkan reaksi alergi. Misalnya histamine, kinin, 5-
hidroksi triptamin, dan sebagainya. Manifestasi efek samping
dapat berupa urtikaria, rinitis, asma bronkial, angina-edema,
dan syok anafilaksis.Obat-obat yang sering menyebabkan
adalah penisilin, streptomisin, anestesi lokal, media kontras
yang mengandung iodium.
Tipe II : Reaksi sitotoksik, yaitu interaksi antara antibodiIgG, IgM atau
IgA dalam sirkulasi dengan obat, membentuk kompleks yang
akan menyebabkan lisis sel. Contohnya adalah
trombositopenia karena kuinidin/ kuinin, digitoksin dan
rifampisin, anemia hemolitik karena pemberian penisilin,
sefalosporin, rifampisin, kuinin dan kuinidin, dan sebagainya.
Tipe III: Reaksi imun-kompleks, yaitu interaksi antara antibodi IgG
dengan antigen dalam sirkulasi, kemudian kompleks yang
terbentuk melekat pada jaringan dan menyebabkan kerusakan
endotelium kapiler. Manifestasi efek samping dapat berupa
keluhan demam, arthritis, pembesaran limfonodi, urtikaria dan
ruam makulopapular.Reaksi ini dikenal dengan istilah “serum
sickness”karena umumnya muncul setelah penyuntikan
dengan serum asing (misalnya anti-tetanus serum).
Tipe IV: Reaksi dengan media sel, yaitu sensitisasi limposit T oleh
kompleks antigen–hapten-protein, yang kemudian baru
menimbulkan reaksi setelah kontak dengan suatu antigen,
menyebabkan reaksi inflamasi. Contohnya adalah dermatitis
kontak yang disebabkan salep anestetika lokal, salep
antihistamin, antibiotik dan antifungi topikal.
Walaupun mekanisme efek samping dapat ditelusuri dan dipelajari, namun
dalam praktek klinik manifestasi efek samping karena alergi,meliputi:
a) Demam.
Umumnya demam dalam derajat yang tidak terlalu berat dan akan hilang
dengan sendirinya setelah penghentian obat beberapa hari.
b) Ruam kulit (skin rashes).
Ruam dapat berupa eritema, urtikaria, vaskulitis kutaneus, purpura,
eritroderma dan dermatitis eksfoliatif, fotosensitifitas, erupsi dan sebagainya.
c) Penyakit jaringan ikat.
Penyakit jaringan ikat merupakan gejala lupus eritematosus sistemik, kadang-
kadang melibatkan sendi yang dapat terjadi pada pemberian hidralazin,
prokainamid, terutama pada individu asetilator lambat.
d) Gangguan sistem darah.
Trombositopenia, neutropenia (agranulositosis), anemia hemalitika dan
anemia aplastika merupakan efek yang kemungkinan akan dijumpai,
meskipun angka kejadiannya mungkin relatif jarang.
e) Gangguan pernafasan.
Asma akan merupakan kondisi yang sering dijumpai, terutama karena
aspirin. Pasien yang telah diketahui sensitif terhadap aspirin kemungkinan
besar juga akan sensitif terhadap analgetika atau antiinflamasi lain.
2) Reaksi Karena Faktor Genetik
Pada orang-orang tertentu dengan variasi atau kelainan genetik, suatu obat
mungkin dapat memberikan efek farmakologi yang berlebihan.Efek obatnya
sendiri dapat diperkirakan, namun subyek yang mempunyai kelainan genetik
seperti ini yang mungkin sulit dikenali tanpa pemeriksaan spesifik (yang tidak
mungkin dilakukan pada pelayanan kesehatan rutin).
Contohnya, adalah:
a) Pasien yang menderita kekurangan pseudokolinesterase herediter tidak
dapat memetabolisme suksinikolin (suatu pelemas otot), sehingga bila
diberikan obat ini mungkin akan menderita paralisis dan apnea yang
berkepanjangan.
b) Pasien yang mempunyai kekurangan G6PD (glukosa-6-fosfat
dehidrogenase) mempunyai potensi untuk menderita anemia hemolitika
akut pada pengobatan dengan primakuin, sulfonamide dan kuinidin.
Kemampuan metabolisme obat suatu individu juga dapat dipengaruhi oleh
faktor genetik. Contohnya adalah perbedaan kemampuan metabolisme
isoniazid, hidralazin dan prokainamid, karena adanya peristiwa polimorfisme
dalam proses asetilasi obat-obat tersebut.
Berdasarkan sifat genetik yang dimiliki, populasi terbagi menjadi 2 (dua)
kelompok, yakni individu-individu yang mampu mengasetilasi secara cepat
(asetilator cepat) dan individu-individu yang mengasetilasi secara lambat
(asetilator lambat).
Efek samping umumnya lebih banyak dijumpai pada asetilator lambat
daripada asetilator cepat. Contohnya adalah neuropati perifer karena isoniazid
lebih banyak dijumpai pada asetilator lambat, sindrom lupus karena hidralazin
atau prokainamid lebih sering terjadi pada asetilator lambat.
3) Reaksi Idiosinkratik
Reaksi idiosinkratik adalah kejadian efek samping yang tidak lazim, tidak
diharapkan, yang tidak dapat diterangkan atau diperkirakan kejadiannya.Reaksi
ini relatif sangat jarang terjadi.
Contohnya, adalah:
WHO Certain
• Manifestasi efek samping atau hasil uji lab yang abnormal, dilihat dari waktu
kejadian dapat diterima yaitu bahwa terjadi setelah penggunaan obat (Event or
laboratory test abnormality withplausible time relationship to drug intake)
• Tidak dapat dijelaskan bahwa efek samping tersebut merupakan
perkembangan penyakit atau dapat disebabkan oleh penggunaan obat lain
(Cannot be explained by disease or other drugs)
• Respon terhadap penghentian penggunaan obat dapat terlihat (secara farmakologi
dan patologi (Response to withdrawal plausible (pharmacologically,
pathologically
• Efek samping tersebut secara definitive dapat dijelaskan dari aspek farmakologi
atau fenomenologi (Event definitive pharmacologicallyor phenomenologically
(An objective and specificmedical disorder or recognised
pharmacologicalphenomenon)
• Rechallenge yang positif (Positive rechallenge (if necessary)
Probable
• Manifestasi efek samping atau hasil uji lab yang abnormal, dilihat dari waktu
kejadian masih dapat diterima yaitu bahwa terjadi setelah penggunaan obat
(Event or laboratory test abnormality withreasonable time relationship to drug
intake)
• Tidak tampak sebagai perkembangan penyakit atau dapat disebabkan oleh obat
lain (Unlikely tobe attributed to disease or other drugs)
• Respon terhadap penghentian penggunaan obat secara klinik dapat diterima
(Response to withdrawal clinically reasonable)
• Rechallenge tidak perlu (Rechallenge not necessary)
Possible
• Manifestasi efek samping atau hasil uji lab yang abnormal, dilihat dari waktu
kejadian masih dapat diterima yaitu bahwa terjadi setelah penggunaan obat
(Event or laboratory test abnormality withreasonable time relationship to drug
intake)
• Dapat dijelaskan oleh kemungkinan perkembangan penyakit atau disebabkan
oleh obat lain (Could also be explained by disease orother drugs)
• Informasi terkait penghentian obat tidak lengkap atau tidak jelas (Information on
drug withdrawallacking or unclear)
Unlikely
• Manifestasi efek samping atau hasil uji lab yang abnormal, dilihat dari hubungan
waktu kejadian dan penggunaan obat adalah tidak mungkin (Event or
laboratory test abnormality with a timerelationship to drug intake that makes
aconnection improbable (but not impossible))
• Perkembangan penyakit dan akibat penggunaan obat lain dapat
memberikan penjelasan yang dapat diterima (Diseases or other drugs
provideplausible explanations)
Conditional / Unclassified
• Terjadi efek samping atau hasil uji lab yang abnormal (Event or laboratory test
abnormality)
• Data yang lebih lanjut diperlukan untuk dapat melakukan evaluasi yang baik
(More data forproper assessment needed)
• Atau data tambahan dalam proses pengujian (Or additional data under
examination)
Unassessable / Unclassifiable
Laporan efek samping menduga adanya efek samping obat (A report suggesting an
adversereaction)
BAB V
PENUTUP
Panduan Monitoring Efek Samping Obat (MESO) ini diharapkan dapat digunakan
sebagai acuan dalam pelaksanaan monitoring penggunaan obat, obat tradisional, suplemen
makanan dan kosmetika di rumah sakit. Dengan adanya Panduan ini diharapkan
monitoring efek samping dapat dilakukan, sehingga masyarakat pada umumnya dan pasien
pada khususnya serta pihak-pihak yang terkait lebih merasakan peran dan fungsi pelayanan
kesehatan demi menjamin keselamatan pasien.