Anda di halaman 1dari 39

KEPUTUSAN DIREKTUR RUMAH SAKIT AR.

BUNDA LUBUKLINGGAU
NOMOR :SK/DIR/RS/AR.BUNDA/LLG/ /2022
TENTANG

PEDOMAN KERJA PELAYANAN PROGRAM PENGENDALIAN RESISTENSI


ANTIMIROBA DI RUMAH SAKIT AR BUNDA TAHUN 2022

DIREKTUR RS AR BUNDA LUBUKLINGGAU


Menimbang: a. Bahwa risiko infeksi dan kegiatan program dapat berbeda dari satu
rumah sakit kerumah sakit lainnya bergantung pada kegiatan klinis dan
pelayanan rumah sakit, populasi pasien yang dilayani, lokasi geografi,
jumlah pasien, serta jumlah pegawai;
b. Bahwa untuk meningkatkan ketepatan penggunaan antimikroba dalam
pelayanan kesehatan perlu diberlakukan Buku Panduan Umum
Penggunaan Antimikroba yang ditetapkan melalui Keputusan Direktur
Rumah Sakit AR Bunda Lubuklinggau;
c. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam a dan
b perlu ditetapkan keputusan direktur mengenai Pedoman Pelayanan
Unit Kerja Tim PPRA di RS AR Bunda Lubuklinggau.
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004, tentang Praktik Kedokteran
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431);
2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063);
3. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1691 Tahun
2011 tentang Keselamatan Pasien;
4. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1333 I MENKES I SK I XII I
1999 tentang Standar Pelayanan Rumah Sakit;
5. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor HK.02.02 / MENKES / 068 / I I
2010 tentang Kewajiban Menggunakan Obat Generik di Fasilitas

1
Pelayanan Kesehatan Pemerintah;
6. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 8 tahun 2015 tentang Program
Pengendalian Resistensi Antimikroba di Rumah Sakit;
7. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 2406 / MENKES / PER / XII /
2011 tentang Pedoman Umum Penggunaan Antibiotika.

MEMUTUSKAN

Menetapkan :
KESATU : Keputusan Direktur RS AR Bunda Lubuklinggau tentang Pedoman Kerja
PPRA di RS AR Bunda Lubuklinggau
KEDUA : Kebijakan PPRA yang terinci dideskripsikan sebagaimana tercantum
dalam Lampiran peraturan ini.
KETIGA : PPRAbertanggung jawab atas perencanaan, monitoring, evaluasi, dan
pelaporan kebijakan tersebut.
KEEMPAT : Apabila di kemudian hari ditemukan kelemahan dalam penerbitan
Keputusan Direktur ini maka akan disempurnakan lebih lanjut.

Ditetapkan di : Lubuklinggau,
Pada tanggal : JANUARI 2022
Direktur,

dr. Sarah Ainar Rahman


NIK. 13.10.02

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT, atas segala rahmat yang telah di karuniakan kepada kita
sehingga dapat menyelesaikan Pedoman Kerja Tim PPRA di Rs Ar Bunda
Lubuklinggau.Pedoman ini merupakan acuan dalam pelaksanaan kegiatan pelayanan pencegahan
dan pengendalian infeksi dan pengendalian resistensi antibiotik diRs Ar Bunda
Lubuklinggau.Pedoman ini diharapkan dapat menurunkan resiko infeksi dan mengendalikan
resistensi pada pemberian antibiotik.
Penyusun menyampaikan terima kasih atas bantuan semua pihak dalam menyelesaikan
Pedoman Kerja Tim PPRA.Kami sangat menyadari banyak terdapat kekurangan dalam buku
ini.Kekurangan ini secara berkesinambungan terus diperbaiki sesuai dengan tuntunan dalam
pengembanganRS AR Bunda Lubuklinggau.

Lubuklinggau, Januari 2022

Tim Penyusun

3
DAFTAR ISI
BAB I. PENDAHULUAN................................................................................................... 5
A. LATAR BELAKANG....................................................................................... 5
B. TUJUAN........................................................................................................... 5
C. RUANG LINGKUP ......................................................................................... 7
D. BATASAN OPERASIONAL.......................................................................... 7
E. LANDASAN HUKUm .................................................................................... 7
BAB II. STANDAR KETENAGAAN………………………………………………………10
A. KUALIFIKASI SDM …….........…………………………………………….10
B. TUGAS TIM PELAKSANA PROGRAM PPRA............................................ 11
BAB III. STANDAR FASILITAS......................................................................................... 14
BAB IV. TATA LAKSANA PELAYANAN......................................................................... 16
A. TAHAPAN PELAKSANAAN PPRA .............................................................
B. EVALUASI PENGGUAAN ANTIBIOTIK ....................................................
BAB V. LOGISTIK ............................................................................................................... 12
A. PENGADAAN BARANG SEDIAAN .............................................................
B. PENGADAAN BARANG NON SEDIAAN ...................................................
BAB VI. KESELAMATAN PASIEN ................................................................................... 19
A. PENGERTIAN .................................................................................................
B. STANDAR KESELAMATAN PASIEN .........................................................
C. TUJUAN ..........................................................................................................
D. TATA LAKSANA............................................................................................
E. SASARAN DAN KESELAMATAN PASIEN ................................................
F. PELAPORAN INSIDEN KESELAMATAN PASIEN ...................................
BAB VII. KESELAMATAN KERJA ..................................................................................
A. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KESELAMATAN DAN
KESEHATAN KERJA ....................................................................................
B. HAL- HAL YANG DIPERHATIKAN DALAM KESELAMATAN KERJA
BAB VIII. PENGENDALIAN MUTU .................................................................................

4
A. PEMANTAUAN DAN EVALUASI ...............................................................
BAB IX. PENUTUP................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA

5
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Resistensi mikroba terhadap antimikroba (disingkat: resistensi antimikroba,
antimicrobial resistance, AMR) telah menjadi masalah kesehatan yang mendunia, dengan
berbagai dampak merugikan dapat menurunkan mutu pelayanan kesehatan. Muncul dan
berkembangnya resistensi antimikroba terjadi karena tekanan seleksi (selection pressure)
yang sangat berhubungan dengan penggunaan antimikroba, dan penyebaran mikroba resisten
(spread). Tekanan seleksi resistensi dapat dihambat dengan cara menggunakan secara bijak,
sedangkan proses penyebaran dapat dihambat dengan cara mengendalikan infeksi secara
optimal.
Resistensi antimikroba yang dimaksud adalah resistensi terhadap antimikroba yang
efektif untuk terapi infeksi yang disebabkan oleh bakteri, jamur, virus, dan parasit. Bakteri
adalah penyebab infeksi terbanyak maka penggunaan antibakteri yang dimaksud adalah
penggunaan antibiotik.
Hasil penelitian Antimicrobial Resistant in Indonesia (AMRIN-Study) tahun 2000-
2005 pada 2494 individu di masyarakat, memperlihatkan bahwa 43% Escherichia coli
resisten terhadap berbagai jenis antibiotik antara lain: ampisilin (34%), kotrimoksazol (29%)
dan kloramfenikol (25%). Sedangkan pada 781 pasien yang dirawat di rumah sakit
didapatkan 81% Escherichia coli resisten terhadap berbagai jenis antibiotik, yaitu ampisilin
(73%), kotrimoksazol (56%), kloramfenikol (43%), siprofloksasin (22%), dan gentamisin
(18%). Hasil penelitian ini membuktikan bahwa masalah resistensi antimikroba juga terjadi
di Indonesia. Penelitian tersebut memperlihatkan bahwa diSurabaya dan Semarang terdapat
masalah resistensi antimikroba, penggunaan antibiotik yang tidak bijak, dan pengendalian
infeksi yang belum optimal. Penelitian AMRIN ini menghasilkan rekomendasi berupa
metode yang telah divalidasi (validated method) untuk mengendalikan resistensi
antimikroba secara efisien. Hasil penelitian tersebut telah disebarluaskan ke rumah sakit lain
di Indonesia melalui lokakarya nasional pertama di Bandung tanggal 29-31 Mei 2005,
dengan harapan agar rumah sakit lain dapat melaksanakan “self-assessment program”

6
menggunakan “validated method” seperti yang dimaksud di atas. Pelaksanaannya dapat
disesuaikan dengan situasi dan kondisi di masing-masing rumah sakit, sehingga akan
diperoleh data resistensi antimikroba, data penggunaan antibiotik, dan pengendalian infeksi
di Indonesia. Namun, sampai sekarang gerakan pengendalian resistensi antimikroba di
rumah sakit secara nasional belum berlangsung baik, terpadu, dan menyeluruh sebagaimana
yang terjadi di beberapa negara.
Berbagai cara perlu dilakukan untuk menanggulangi masalah resistensi antimikroba
ini baik di tingkat perorangan maupun di tingkat institusi atau lembaga pemerintahan, dalam
kerja sama antar-institusi maupun antar-negara. WHO telah berhasil merumuskan 67
rekomendasi bagi negara anggota untuk melaksanakan pengendalian resistensi antimikroba.
Di Indonesia rekomendasi ini tampaknya belum terlaksana secara institusional. Padahal,
sudah diketahui bahwa penanggulangan masalah resistensi antimikroba di tingkat
internasional hanya dapat dituntaskan melalui gerakan global yang dilaksanakaan secara
serentak, terpadu, dan bersinambung dari semua negara. Diperlukan pemahaman dan
keyakinan tentang adanya masalah resistensi antimikroba, yang kemudian dilanjutkan
dengan gerakan nasional melalui program terpadu antara rumah sakit, profesi kesehatan,
masyarakat, perusahaan farmasi, dan pemerintah daerah di bawah koordinasi pemerintah
pusat melalui kementerian kesehatan. Gerakan penanggulangan dan pengendalian resistensi
antimikroba secara paripurna ini disebut dengan Program Pengendalian Resistensi
Antimikroba (PPRA).
Dalam rangka pelaksanaan PPRA di rumah sakit, maka perlu disusun pedoman
pelaksanaan agar pengendalian resistensi antimikroba di rumah sakit di seluruh Indonesia
berlangsung secara baku dan data yang diperoleh dapat mewakili data nasional di Indonesia.
B. TUJUAN
Pedoman ini dimaksudkan untuk menjadi acuan dalam pelaksanaan program
pengendalian resistensi antimikroba di rumah sakit, agar berlangsung secara baku, terpadu,
berkesinambungan, terukur, dan dapat dievaluasi.

7
1. Tujuan umum
Meningkatkan mutu pelayanan Rumah Sakit Ar Bunda Lubuklinggau melalui
pencegahan dan pengendalian di semua unit di rumah sakit meliputi kualitas
pelayanan, manajemen risiko, clinical governance, serta kesehatan dan
keselamatan kerja.
2. Tujuan khusus
a. Sebagai pedoman bagi Direktur Rumah Sakit dalam membentuk organisasi,
program, wewenang, dan tanggung jawab secara jelas
b. Menggerakkan segala sumber daya yang ada di rumah sakit secara efektif dan
efisien dalam pelaksanaan PPI
c. Menurunkan angka kejadian infeksi nosokomial di rumah sakit secara
bermakna
d. Memantau dan mengevaluasi pelaksanaan program PPI
C. RUANG LINGKUP
Pimpinan, Pengambil Kebijakan di Rumah Sakit dan Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Lainnya di seluruh Indonesia tanpa kecuali.
D. BATASAN OPERASIONAL
Batasan operasional dari Tim PPRAmeliputi :
1. Melakukan evaluasi penggunaan antibiotik yaitu dengan pengawasan penggunaan
antibiotika bijak melalui evaluasi kualitas dan kuantitas penggunaan
2. Pemantauan atas muncul dan menyebarnya mikroba multiresisten yaitu dengan
penyusunan tata laksana Kejadian Luar Biasa (KLB) mikroba multiresisten atau
Multidrug-Resistant Organisms (MDRO)
E. LANDASAN HUKUM
1. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004, tentang Praktik Kedokteran (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4431);

8
2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5063);
3. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1691 Tahun 2011 tentang
Keselamatan Pasien;
4. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1333 I MENKES I SK I XII I 1999 tentang
Standar Pelayanan Rumah Sakit;
5. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor HK.02.02 / MENKES / 068 / I I 2010 tentang
Kewajiban Menggunakan Obat Generik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Pemerintah;
6. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 8 tahun 2015 tentang Program Pengendalian
Resistensi Antimikroba di Rumah Sakit;\
7. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 2406 / MENKES / PER / XII / 2011 tentang
Pedoman Umum Penggunaan Antibiotika

9
BAB II
STANDAR KETENAGAAN
A. KUALIFIKASI SDM
Pola ketenagaan dan kualifikasi SDM Tim Pelaksana Program Pengendalian Resistensi
Antimikroba adalah :

Kualifikasi sesuai Strata Pelayanan


No Jenis Tenaga
Sederhana Lengkap Sempurna Paripurna

Ketua Tim Dokter Dokter Dokter


Pelaksana spesialis spesialis spesialis
Dokter umum
Program penyakit penyakit penyakit
1. terlatih atau
Pengendalian dokter spesialis bedan Parukonsultan Bedah
Resistensi penyakit Bedah PPRA konsultan
Antimikroba PPRA

Apoteker Apoteker Apoteker


Apoteker dengan dengan dengan
2. Sekretaris dengan pelatihan pelatihan pelatihan
pelatihan PPRA PPRA PPRA PPRA

Dokter umum Dokter umum Dokter umum


Dokter umum dengan dengan dengan
3. SMF dengan pelatihan pelatihan pelatihan
pelatihan PPRA PPRA PPRA PPRA

Perawat Perawat Perawat


Bidang
4. Perawat dengan dengan dengan dengan
Keperawatan pelatihan PPRA pelatihan pelatihan pelatihan
PPRA PPRA PPRA
Farmasi Farmasi Farmasi
5. Instalasi farmasi Farmasi dengan dengan dengan dengan
pelatihan PPRA pelatihan pelatihan pelatihan
PPRA PPRA PPRA
Analis Analis Analis
Analis
kesehatan kesehatan kesehatan
6. Laboratorium kesehatan
dengan dengan dengan
dengan
pelatihan pelatihan pelatihan
pelatihan PPRA
PPRA PPRA PPRA

10
Dokter/ Dokter/
Dokter/perawat
Dokter/perawat perawat perawat
7. Komite F&T dengan
dengan dengan dengan
pelatihan
pelatihan PPRA pelatihan pelatihan
PPRA
PPRA PPRA
Perawat Perawat Perawat
8. Komite PPI Perawat dengan dengan dengan dengan
pelatihan PPRA pelatihan pelatihan pelatihan
PPRA PPRA PPRA

B. TUGAS TIM PELAKSANA PROGRAM PPRA


1. Ketua Tim Pelaksana PPRA
a. Tugas pokok:
1) Membantu kepala/direktur rumah rakit dalam menetapkan kebijakan tentang
pengendalian resistensi antimikroba.
2) Membantu kepala/direktur rumah sakit dalam menetapkan kebijakan umum dan
panduan penggunaan antibiotik di rumah sakit.
3) Membantu kepala/direktur rumah sakit dalam pelaksanaan program pengendalian
resistensi antimikroba.
4) Membantu kepala/direktur rumah sakit dalam mengawasi dan mengevaluasi
pelaksanaan program pengendalian resistensi antimikoba
b. Uraian Tugas:
1) Menyelenggarakan forum kajian kasus pengelolaan penyakit infeksi
terintegrasi.
2) Melakukan surveilans pola penggunaan antibiotic.
3) Melakukan surveilans pola mikroba penyebab infeksi dan kepekaannya
terhadap antibiotic.
4) Menyebarluaskan serta meningkatkan pemahaman dan kesadaran tentang
prinsip pengendalian resistensi antimikroba, penggunaan antibiotik secara
bijak, dan ketaatan terhadap pencegahan pengendalian infeksi melalui
kegiatan pendidikan dan pelatihan.
5) mengembangkan penelitian di bidang pengendalian resistensi antimikroba

11
2. SMF/Bagian
a. Menerapkan prinsip penggunaan antibiotik secara bijak dan menerapkan
kewaspadaan standar
b. Melakukan koordinasi program pengendalian resistensi antimikroba di
SMF/bagian.
c. Melakukan koordinasi dalam penyusunan panduan penggunaan antibiotik di
SMF/bagian.
d. Melakukan evaluasi penggunaan antibiotik bersama tim.
3. Bidang keperawatan
a. Menerapkan kewaspadaan standar dalam upaya mencegah penyebaran mikroba
resisten.
b. Terlibat dalam cara pemberian antibiotik yang benar.
c. Terlibat dalam pengambilan spesimen mikrobiologi secara teknik aseptik.
4. Instalasi Farmasi
a. Mengelola serta menjamin mutu dan ketersediaan antibiotik yang tercantum
dalam formularium.
b. Memberikan rekomendasi dan konsultasi serta terlibat dalam tata laksana pasien
infeksi, melalui: pengkajian peresepan, pengendalian dan monitoring penggunaan
antibiotik, visite ke bangsal pasien bersama tim.
c. Memberikan informasi dan edukasi tentang penggunaan antibiotik yang tepat dan
benar.
d. Melakukan evaluasi penggunaan antibiotik bersama tim.
5. Laboratorium mikrobiologi klinik
a. Melakukan pelayanan pemeriksaan mikrobiologi.
b. Memberikan rekomendasi dan konsultasi serta terlibat dalam tata laksana pasien
infeksi melalui visite ke bangsal pasien bersama tim.

12
c. Memberikan informasi pola mikroba dan pola resistensi secara berkala setiap
tahun.
6. Komite/tim pencegahan pengendalian infeksi (KPPI)
Komite PPI berperanan dalam mencegah penyebaran mikroba resisten melalui:
a. penerapan kewaspadaan standar,
b. surveilans kasus infeksi yang disebabkan mikroba multiresisten,
c. cohorting/isolasi bagi pasien infeksi yang disebabkan mikroba multiresisten,
d. menyusun pedoman penanganan kejadian luar biasa mikroba multiresisten.
7. Komite/tim farmasi dan terapi (KFT)
a. Berperanan dalam menyusun kebijakan dan panduan penggunaan antibiotik di
rumah sakit,
b. Memantau kepatuhan penggunaan antibiotik terhadap kebijakan dan panduan di
rumah sakit,
c. Melakukan evaluasi penggunaan antibiotik bersama tim.

13
BAB III
STANDAR FASILITAS
Standar Fasilitas PPRA sebuah Rumah Sakit harus menyesuaikan dari kriteria dan
tatanan serta fasilitas Rumah Sakit itu sendiri. Semua disesuaikan sebagaimana mestinya sesuai
dengan aturan-aturan dan prinsip yang berlaku dalam program PPRA. Tentunya dengan adanya
program tersebut, setiap Rumah Sakit atau Fasilitas Kesehatan yang lain mampu memenuhi
target standar program PPRA demi pencegahan dan pengendalian resistensi antimikroba terkait
dengan pelayanan kesehatan, sehingga akan terwujud pelayanan kesehatan yang aman, bermutu
serta memuaskan bagi masyarakat.
1. Sarana Kesekretariatan
a. Ruangan sekretariat
b. Komputer, printer dan internet
c. Telepon dan Faksimili
d. Sarana Kesekretariatan lainnya
2. Dukungan Manajemen
Dukungan yang diberikan oleh manajemen berupa :
a. Surat Keputusan Tim PPRA.
b. Menyediakan anggaran untuk:
1) Pendidikan dan Pelatihan (Diklat).
2) Pengadaan fasilitas pelayanan penunjang.
3) Pelaksanaan program, monitoring, evaluasi, laporan dan rapat rutin.
4) Remunerasi/ Insentif/ Tunjangan / penghargaan untuk Tim PPRA.
3. Pengembangan Dan Pendidikan
a. Tim PPRA
1) Mengembangkan diri mengikuti pelatihan, seminar, lokakarya dan sejenisnya.
2) Bimbingan teknis secara berkesinambungan.
b. Staf Rumah Sakit
1) Semua staf rumah sakit harus mengetahui prinsip-prinsip pencegahan dan
pengendalian infeksi.

14
2) Semua staf rumah sakit yang berhubungan dengan pelayanan berperan aktif
dalam pelaksanaan program PPRA
3) Rumah sakit secara berkala melakukan sosialisasi PPRA.

15
BAB IV
TATA LAKSANA
A. TAHAPAN PELAKSANAAN PPRA
Pelaksanaan PPRA di rumah sakit dilakukan melalui beberapa tahapan sebagai berikut.

1. Tahap Persiapan
a. Identifikasi kesiapan infrastruktur rumah sakit yang meliputi keberadaan dan
fungsi unsur infrastuktur rumah sakit serta kelengkapan fasilitas dan sarana
penunjang.
b. Identifikasi keberadaan dan/atau penyusunan kebijakan dan pedoman/panduan
yang berkaitan dengan pengendalian resistensi antimikroba, antara lain:
1) Panduan praktek klinik penyakit infeksi
2) Panduan penggunaan antibiotik profilaksis dan terapi
3) Panduan pengelolaan spesimen mikrobiologi
4) Panduan pemeriksaan dan pelaporan hasil mikrobiologi
5) Panduan PPI
2. Tahap Pelaksanaan
a. Peningkatan pemahaman
1) Sosialisasi program pengendalian resistensi antimikroba
2) Sosialisasi dan pemberlakuan pedoman/panduan penggunaan antibiotik
b. Menetapkan pilot project pelaksanaan PPRA meliputi:
1) pemilihan SMF/bagian sebagai lokasi pilot project
2) penunjukan penanggung jawab dan tim pelaksana pilot project
3) pembuatan rencana kegiatan PPRA untuk 1 (satu) tahun
c. Pelaksanaan pilot project PPRA:
1) SMF yang ditunjuk untuk melaksanakan pilot project PPRA menetapkan
Panduan Penggunaan Antibiotik (PPAB) dan algoritme penanganan penyakit
infeksi yang akan digunakan dalam pilot project.
2) Melakukan sosialisasi dan pemberlakuan PPAB tersebut dalam bentuk

16
pelatihan.
3) Selama penerapan pilot project jika ditemukan kasus infeksi sulit/kompleks
maka dilaksanakan forum kajian kasus terintegrasi.
4) Melakukan pengumpulan data dasar kasus yang diikuti selama penerapan dan
dicatat dalam form lembar pengumpul data.
5) Melakukan pengolahan dan menganalisis data yang meliputi: data pola
penggunaan antibiotik, kuantitas dan kualitas penggunaan antibiotik, pola
mikroba dan pola resistensi (jika tersedia laboratorium mikrobilogi).
6) Menyajikan data hasil pilot project dan dipresentasikan di rapat jajaran direksi
rumah sakit.
7) Melakukan pembaharuan panduan penggunaan antibiotik berdasarkan hasil
penerapan PPRA.
d. Monitoring dan evaluasi secara berkala terhadap:
1) laporan pola mikroba dan kepekaannya
2) pola penggunaan antibiotik secara kuantitas dan kualitas
e. Laporan kepada Kepala/Direktur rumah sakit untuk perbaikan
kebijakan/pedoman/panduan dan rekomendasi perluasan penerapan PPRA di
rumah sakit.
f. Mengajukan rencana kegiatan dan anggaran tahunan PPRA kepada
Kepala/Direktur rumah sakit.
B. EVALUASI PENGGUAAN ANTIBIOTIK
Evaluasi penggunaan antibiotik merupakan salah satu indikator mutu program
pengendalian resistensi antimikroba di rumah sakit, bertujuan memberikan informasi pola
penggunaan antibiotik di rumah sakit baik kuantitas maupun kualitas. Pelaksanaan
evaluasi penggunaan antibiotik di rumah sakit menggunakan sumber data dan metode
secara standar.
1. Sumber Data Penggunaan Antibiotik di Rumah Sakit
a. Rekam Medis Pasien
Penggunaan antibiotik selama dirawat di rumah sakit dapat diukur secara

17
retrospektif setelah pasien pulang dengan melihat kembali Rekam Medik (RM)
pasien, resep dokter, catatan perawat, catatan farmasi baik manual atau melalui
Sistem Informasi Managemen Rumah Sakit (SIM RS). Dari penulisan resep
antibiotik oleh dokter yang merawat dapat dicatat beberapa hal berikut ini: jenis
antibiotik, dosis harian, dan lama penggunaan antibiotik, sedangkan dalam catatan
perawat dapat diketahui jumlah antibiotik yang diberikan kepada pasien selama
pasien dirawat.
b. Pengelolaan antibiotik di Instalasi Farmasi
Di rumah sakit yang sudah melaksanakan kebijakan pelayanan farmasi
satu pintu, kuantitas antibiotik dapat diperoleh dari data penjualan antibiotik di
Instalasi Farmasi. Data jumlah penggunaan antibiotik dapat dipakai untuk
mengukur besarnya belanja antibiotik dari waktu ke waktu, khususnya untuk
mengevaluasi biaya sebelum dan sesudah dilaksanakannya program di rumah
sakit.
2. Audit Jumlah Penggunaan Antibiotik di Rumah Sakit
Untuk memperoleh data yang baku dan dapat diperbandingkan dengan data di
tempat lain, maka badan kesehatan dunia (WHO) menganjurkan klasifikasi
penggunaan antibiotik secara Anatomical Therapeutic Chemical (ATC) Classification
dan pengukuran jumlah penggunaan antibiotik dengan defined daily dose (DDD)/100
patient-days.
Defined daily dose (DDD) adalah dosis harian rata-rata antibiotik yang digunakan
pada orang dewasa untuk indikasi utamanya. Perlu ditekankan di sini bahwa DDD
adalah unit baku pengukuran, bukan mencerminkan dosis harian yang sebenarnya
diberikan kepada pasien (prescribed daily doses atau PDD). Dosis untuk masing-
masing individu pasien bergantung pada kondisi pasien tersebut (berat badan, dll).
Dalam sistem klasifikasi ATC obat dibagi dalam kelompok menurut sistem organ
tubuh, menurut sifat kimiawi, dan menurut fungsinya dalam farmakoterapi. Terdapat
lima tingkat klasifikasi, yaitu:

18
a. Tingkat pertama : kelompok anatomi (misalnya untuk saluran pencernaan
dan metabolisme)
b. Tingkat kedua : kelompok terapi/farmakologi obat
c. Tingkat ketiga : subkelompok farmakologi
d. Tingkat keempat : subkelompok kimiawi obat
e. Tingkat kelima : substansi kimiawi obat
Contoh:

Penghitungan DDD

Setiap antibiotik mempunyai nilai DDD yang ditentukan oleh WHO berdasarkan dosis
pemeliharaan rata-rata, untuk indikasi utama pada orang dewasa BB 70 kg.

a. Data yang berasal dari instalasi farmasi berbentuk data kolektif, maka rumusnya
sebagai berikut:
1) Perhitungan numerator :
jml kemasan X jml tablet per kemasan X jml gram per tablet X 100
jumlah DDD = ---------------------------------------------------------------------
DDD antibiotik dalam gram
2) Perhitungan denominator:
jumlah hari-pasien = jumlah hari perawatan seluruh pasien dalam suatu periode studi

b. Data yang berasal dari pasien menggunakan rumus untuk setiap pasien:
jumlah konsumsi antibiotik dalam gram
jumlah konsumsi AB = -----------------------------------------------------------
(dalam DDD) DDD antibiotik dalam gram

19
total DDD
DDD/100 patient days = ---------------------------------- x 100 total
jumlah hari-pasien

3. Audit Kualitas Penggunaan Antibiotik di Rumah Sakit


Kualitas penggunaan antibiotik dapat dinilai dengan melihat data dari form
penggunaan antibiotik dan rekam medik pasien untuk melihat perjalanan penyakit.
Setiap kasus dipelajari dengan mempertimbangkan gejala klinis dan melihat hasil
laboratorium apakah sesuai dengan indikasi antibiotik yang tercatat dalam Lembar
Pengumpul Data (LPD).
Penilai (reviewer) sebaiknya lebih dari 1 (satu) orang tim PPRA dan
digunakan alur penilaian menurut Gyssens untuk menentukan kategori kualitas
penggunaan setiap antibiotik yang digunakan. Bila terdapat perbedaan yang sangat
nyata di antara reviewer maka dapat dilakukan diskusi panel untuk masing- masing
kasus yang berbeda penilaiannya. Pola penggunaan antibiotik hendaknya dianalisis
dalam hubungannya dengan laporan pola mikroba dan kepekaan terhadap antibiotik
setiap tahun.
Kategori hasil penilaian (Gyssens flowchart):

20
21
BAB V
LOGISTIK
A. PENGADAAN BARANG SEDIAAN
1. Barang Sediaan adalah obat, peralatan medis, dan bahan medis habis pakai, alat tulis
kantor (ATK), alat rumah tangga (ART) yang rutin dipergunakan terkait Program
Pengendalian Resistensi Antimikroba, dan tersedia di gudang medis maupun gudang
umum. Barang sediaan medis dan non medis sebagaimana tercantum dalam Bab III
Buku Pedoman ini disediakan untuk kegiatan Program Pengendalian Resistensi
Antimikroba serta menjadi tanggung jawab Ketua Tim Pelaksana Program
Pengendalian Resistensi Antimikroba.
2. Apabila barang sediaan tersebut dipergunakan untuk kegiatan Program Pengendalian
Resistensi Antimikroba, maka Tim Pelaksana Program Pengendalian Resistensi
Antimikroba akan melakukan permintaan dengan menggunakan Form P1.
3. Permintaan barang sediaan ditujukan kepada Gudang Medis atau Gudang Umum. Pada
hari yang telah ditentukan, petugas gudang akan menyediakan barang yang diminta.
B. PENGADAAN BARANG NON SEDIAAN
1. Barang Non Sediaan adalah obat, peralatan medis, dan bahan medis habis pakai, alat
tulis kantor (ATK), alat rumah tangga (ART) yang tidak secara rutin dipergunakan
untuk kegiatan Program Pengendalian Resistensi Antimikroba, dan tidak disediakan
di gudang medis maupun gudang umum.
2. Pengadaan barang non sediaan dilakukan dengan mengisi form P2. Permintaan
barang sediaan ditujukan kepada Unit Pembelian Umum atau Unit Pembelian Medis.
Pada hari yang telah ditentukan, petugas gudang akan menyediakan barang yang
diminta.
3. Apabila barang yang diminta telah dating, maka Unit Pembelian akan mengirimkan
barang tersebut ke Tim Pelaksana Program Pengendalian Resistensi Antimikroba, dan
sistem akan menambahkan stok barang tersebut pada stok Tim Pelaksana Program
Pengendalian Resistensi Antimikroba.

22
BAB VI
KESELAMATAN PASIEN
A. PENGERTIAN
Keselamatan Pasien (Patient Safety) adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat
asuhan pasien lebih aman.
Sistem tersebut meliputi:
1. Asesmen resiko
2. Identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien
3. Pelaporan dan analisis insiden
4. Kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya
5. Implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko
Sistem ini mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh:
1. Kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan
2. Tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil
B. STANDAR KESELAMATAN PASIEN
1. Hak pasien
2. Mendidik pasien dan keluarga
3. Keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan
4. Penggunaan metoda-metoda peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan
program peningkatan keselamatan pasien
5. Mendidik staf tentang keselamatan pasien
6. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien
7. Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien
C. TUJUAN
1. Terciptanya budaya keselamatan pasien di rumah sakit
2. Meningkatnya akuntabilitas rumah sakit terhadap pasien dan masyarakat
3. Menurunkan Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) di rumah sakit
D. TATA LAKSANA
1. Memberikan pertolongan pertama sesuai dengan kondisi yang terjadi pada pasien.

23
2. Melaporkan pada dokter jaga Unit Pelayanan Intensif.
3. Memberikan tindakan sesuai dengan instruksi dokter jaga.
4. Mengobservasi keadaan umum pasien.
5. Mendokumentasikan kejadian tersebut pada formulir “Pelaporan Insiden
Keselamatan”
E. SASARAN DAN KESELAMATAN PASIEN

24
1. Ketepatan Identifikasi Pasien
Kegiatan untuk melakukan verifikasi atas kebenaran atau kesesuaian sosok orang yang
akan mendapatkan pelayanan kesehatan diagnosis dan/atau pengobatan dengan
identitas orang tersebut sebagaimana tercantum dalam file rekam medis pasien atau
dokumen lain yang berkaitan dengan sosok orang tersebut.
Kegiatan identifikasi pasien dilakukan sebelum melakukan pemberian obat-obatan,
prosedur pemeriksaan penunjang medis radiologi (rontgen, MRI, CT-Scan),
Laboratorium, endoskopi, treadmill, EEG; pengambilan sampel (misalnya darah, tinja,
urin, dan sebagainya); intervensi pembedahan dan prosedur invasif lainnya; transfusi
darah; transfer pasien; konfirmasi kematian.
Para staf Unit Pelayanan Intensif harus mengkonfirmasi identifikasi pasien dengan
benar dengan menanyakan nama dan tanggal lahir/umur pasien, kemudian
membandingkannya dengan yang tercantum di rekam medis dan gelang pengenal.
Jangan menyebutkan nama, tanggal lahir, dan alamat pasien dan meminta pasien untuk
mengkonfirmasi dengan jawaban ya/tidak.
2. Peningkatan Komunikasi yang Efektif
Komunikasi efektif adalah tepat waktu, akurat, jelas, dan mudah dipahami oleh
penerima, sehingga dapat mengurangi tingkat kesalahan (kesalahpahaman). Prosesnya
adalah pemberi pesan secara lisan memberikan pesan, setelah itu dituliskan secara
lengkap isi pesan tersebut oleh si penerima pesan; isi pesan dibacakan kembali (read
back) secara lengkap oleh penerima pesan; dan penerima pesan mengkonfirmasi isi
pesan kepada pemberi pesan.

25
Komunikasi dilakukan sedemikian sehingga isi pesan yang hendak disampaikan benar-
benar diterima oleh penerima sesuai dengan maksud pemberi pesan. Komunikasi per
lisan dengan menggunakan telepon dilaksanakan sedemikian sehingga sebelum
pembicaraan diakhiri, penerima informasi/instruksi mengulang kembali
informasi/instruksi yang diberikan dan pemberi informasi/instruksi mengecek
kebenaran informasi/ instruksi yang diberikan. (lihat SPO Konsultasi dengan Dokter
per Telepon). Informasi/instruksi lisan yang telah diterima segera dicatat pada status
rekam medis pasien, untuk selanjutnya pada kesempatan pertama dimintakan tanda
tangan dari pemberi instruksi.
3. Peningkatan Keamanan Obat yang Perlu diwaspadai (High Alert Medications)
Sasaran high alert medication ditujukan pada identifikasi, pengelolaan, pelaporan serta
dokumentasi obat-obat yang mempunyai risiko tinggi menyebabkan cedera pada
pasien bila digunakan secara salah. Obat-obat yang perlu diwaspadai (High Alert
Medications) adalah obat-obat yang mempunyai risiko tinggi menyebabkan cedera
pada pasien bila digunakan secara salah yang daftarnya diperoleh dari hasil
inventarisasi unit pelayanan. Obat-obatan yang perlu diwaspadai diberi label khusus
dengan menggunakan stiker berwarna (lihat SPO Pemberian Label Obat yang Perlu
Diwaspadai).
LASA (nama obat, rupa dan ucapan mirip) adalah obat-obat yang memiliki nama, rupa
dan ucapan mirip yang perlu diwaspadai khusus agar tidak terjadi kesalahan
pengobatan (dispensing error) yang bisa menimbulkan cedera pada pasien. Pemberian
obat-obatan tersebut diberikan kepada pasien dengan melakukan pengecekan ulang
atas obat dan pasien yang akan diberi.
4. Kepastian Tepat Pasien, Tepat Lokasi, Tepat Prosedur Operasi

26
Tindakan Pembedahan dilakukan oleh dokter harus menjamin ketepatan pada pasien dan
pada Lokasi yang tepat, dan menggunakan metode yang sesuai untuk mencegah
komplikasi anestesi dan melindungi pasien dari rasa nyeri. Dokter mengidentifikasi dan
mengantisipasi secara efektif ancaman hilangnya fungsi pernapasan, risiko kehilangan
darah, menghindari penggunaan obat yang dapat menimbulkan reaksi alergi atau reaksi
obat yang tidak dikehendaki pada pasien yang diketahui berisiko, secara konsisten
menggunakan metode pencegahan terjadinya infeksi luka operasi, mencegah
tertinggalnya instrumen bedah dan/atau kasa pada luka/tempat operasi, mengidentifikasi
secara akurat dan mengamankan spesimen bedah, dan melakukan komunikasi dan
konsultasi atas informasi penting atas jalannya tindakan pembedahan yang aman.
Formulir Persetujuan Tindakan Medis (informed consent) harus sudah ditandatangani
oleh yang berkepentingan, segera setelah penjelasan/ informasi yang diperlukan
disampaikan kepada pasien dan/ atau keluarganya (lihat SPO Persetujuan Tindakan
Medis).
5. Pengurangan Risiko Infeksi Terkait Pelayanan Kesehatan - Hand Hygiene
Semua bahan/material yang terkontaminasi darah dan komponen cairan tubuh pasien
harus dianggap berpotensi terhadap penularan infeksi, oleh karena itu perlu dilakukan
penggunaan alat pelindung diri (APD) dan dilakukan prosedur dekontaminasi terlebih
dahulu (lihat SPO Penggunaan APD dan SPO Dekontaminasi)
Semua peralatan medis yang akan dipergunakan untuk melakukan prosedur invasif
terhadap pasien harus terjamin sterilitasnya
Semua tenaga medis/ keperawatan/ paramedis lain harus melakukan cuci tangan
sebelum dan setelah melakukan tindakan terhadap pasien (lihat SPO Cuci Tangan).
Pasien perlu diberi informasi mengenai maksud dan tujuan tindakan cuci tangan serta
setiap prosedur septik dan antiseptik yang dilakukan terhadapnya
Mencuci tangan adalah prosedur tindakan membersihkan tangan dengan menggunakan
sabun/ anti septic di bawah air bersih yang mengalir atau cairan lainnya. Lima momen
cuci tangan, meliputi : sebelum kontak dengan pasien ; sebelum tindakan aseptik ;
setelah kontak pasien ; setelah kontak cairan tubuh pasien ; setelah kontak lingkungan.

27
Prosedur cuci tangan :

a. Gosokkan kedua telapak tangan.


b. Gosok punggung tangan kiri dengan telapak tangan kanan atau
sebaliknya.

c. Dengan menghadapkan telapak tangan kiri dan telapak tangan


kanan dan bersihkan sela-sela jari.

d. Mengepalkan tangan dan gosok pungung jari tangan kanan


dengan tangan kiri atau sebaliknya.

e. Membersihkan ibu jari dengan cara mengosok dan putar ibu


jari tangan kanan dengan tangan kiri atau sebaliknya.
f. Bersihkan ujung jari dengan cara menggosok ujung jari tangan
kanan di atas telapak tangan kiri atau sebaliknya.

28
6. Pengurangan Risiko Pasien Jatuh
Jatuh dapat diartikan sebagai hilangnya posisi tegak yang berakibat pada berakhirnya
posisi tubuh di lantai, tanah atau obyek lain seperti mebeler atau tangga; atau dapat
diartikan perpindahan tubuh ke bawah dan mencapai lantai/tanah atau membentur obyek
lain (kursi, tangga, dsb.) secara tiba-tiba, tidak terkontrol, tidak disengaja, dan tanpa
tujuan.
Dokter/perawat/paramedis wajib melakukan asesmen terhadap pasien dengan resiko jatuh
dan memberikan identifikasi berupa gelang dan papan petunjuk mengenai hal tersebut
(lihat Panduan Pencegahan Pasien Jatuh).
Pasien yang telah diidentifikasi berpotensi atas resiko jatuh wajib dimonitor dan
dilakukan tindakan pencegahan (lihat SPO Pencegahan Pasien dengan Risiko Jatuh).
Asesmen harus sudah ditetapkan dalam waktu selambat-lambatnya 24 jam sejak pasien
dirawat di Rumah Sakit. Asesmen dilakukan oleh dokter penanggung jawab pasien
(DPJP) dan / atau perawat (minimal penanggung jawab shift / kepala tim) dengan
menentukan skore risiko jatuh berdasarkan Morse Fall Scale.
Terhadap semua pasien baru dilakukan penilaian atau asesmen atas potensi risiko jatuh
dan penilaian diulang jika diindikasikan adanya perubahan kondisi pasien atau
pengobatan yang menimbulkan adanya risiko jatuh. Hasil penilaian dimonitor dan
ditindaklanjuti sesuai level risiko jatuh. Seluruh pasien rawat inap dinilai risiko jatuh
dengan menggunakan lembar penilaian risiko jatuh. Penilaian memakai formulir Morse
Fall Scale (MFS).
F. PELAPORAN INSIDEN KESELAMATAN PASIEN
Pelaporan secara anonym dan tertulis kepada Tim KPRS setiap kejadian nyaris cedera
(KNC) atau kejadian tidak diharapkan (KTD) yang menimpa pasien atau kejadian lain
yang terjadi di rumah sakit.
1. Alur Pelaporan Insiden Ke Tim Keselamatan Pasien di RS (Internal)
a. Apabila terjadi suatu insiden (KNC/KTD) di rumah sakit, wajib segera
ditindaklanjuti (dicegah/ditangani) untuk mengurangi dampak/akibat yang tidak
diharapkan.

29
b. Setelah ditindaklanjuti, segera buat laporan insidennya dengan mengisi Formulir
Laporan Insiden pada akhir jam kerja/shift kepada atasan langsung. Paling lambat
2x24 jam, jangan menunda laporan.
c. Setelah selesai mengisi laporan, segera serahkan kepada Atasan Langsung
pelapor. (Atasan langsung disepakati sesuai keputusan Manajemen :
Supervisor/Kepala Bagian/instalasi/Departemen/Unit, Ketua Komite Medis/Ketua
KSMF)
d. Atasan langsung akan memeriksa laporan dan melakukan grading risiko terhadap
insiden yang dilaporkan
e. Hasil grading akan memeriksa laporan dan melakukan grading risiko terhadap
insiden yang dilakukan sebagai berikut : (Pembahasan lebih lanjut lihat BAB III)
f. Grade biru : investigasi sederhana oleh atasan langsung, waktu maksimal 1
minggu.
g. Grade hijau : investigasi sederhana oleh Atasan langsung, waktu maksimal 2
minggu.
h. Grade kuning : investigasi komprehensif/Analisis akar masalah/RCA oleh tim KP
di RS, waktu maksimal 45 hari.
i. Grade merah : investigasi komprehensif/Analisis akar masalah/RCA oleh Tim KP
di RS, waktu maksimal 45 hari.
j. Setelah selesai melakukan investigasi sederhana, laporan hasil investigasi dan
laporan insiden dilaporkan ke Tim KP di RS.
k. Tim KP di RS akan menganalisa kembali hasil investigasi dan laporan insiden
untuk menentukan apakah perlu dilakukan investigasi lanjutan (RCA) dengan
melakukan Regrading.
l. Untuk grade Kuning/Merah, Tim KP di RS akan melakukan Analisa akr
masalah/Root Cause Analysis (RCA).
m. Setelah melakukan RCA, Tim KP di RS akan membuat laporan dan Rekomendasi
untuk perbaikan serta “Pembelajaran” berupa : Petunjuk/”Safety Alert” untuk
mencegah kejadian yang sama terulang kembali.

30
n. Hasil RCA, rekomendasi dan rencana kerja dilaporkan kepada Direksi.
o. Rekomendasi untuk “Perbaikan dan Pembelajaran” diberikan umpan balik kepada
unit kerja terkait.
p. Unit Kerja membuat analisa dan trend kejadian di satuan kerjanya masing-masing.
q. Monitoring dan Evaluasi Perbaikan oleh Tim KP di RS. (Alur : Lihat Lampiran 4)
2. Alur Pelaporan Insiden Ke Tim Keselamatan Pasien di RS (Internal)
a. Faktor Kontributor
Adalah keadaan, tindakan atau faktor yang mempengaruhi dan berperan dalam
mengembangkan dan atau meningkatkan resiko suatu kejadian (misalnya
pembagian tugas yang tidak sesuai kebutuhan).
Contoh :
1) Faktor kontributor di luar organisasi (eksternal)
2) Faktor kontributor dalam organisasi (internal), misal : tidak adanya prosedur
3) Faktor kontributor yang berhubungan dengan petugas (kognitif atau perilaku
petugas yang kurang, lemahnya supervisi, kurangnya tim kerja atau
komunikasi).
4) Faktor kontributor yang berhubungan dengan keadaan pasien.
b. Analisa akar masalah/ Root Cause Analysis (RCA)
Adalah suatu proses berulang yang sistematik dimana faktor-faktor yang
berkontribusi dalam suatu insiden diidentifikasi dengan merekonstruksi
kronologis kejadian menggunakan pertanyaan “kenapa” yang diulang hingga
menemukan akar penyebabnya dan penjelasannya. Pertanyaan “kenapa” harus
ditanyakan hingga tim investigator mendapatkan fakta, bukan hasil spekulasi.
Banyak metode yang digunakan untuk mengidentifikasi resiko, salah satu
caranya adalah dengan mengembangkan sistem pelaporan dan sistem analisis.
Dapat dipastikan bahwa sistem pelaporan akan mengajak semua orang dalam
organisasi untuk peduli akan bahaya/ potensi bahaya yang dapat terjadi kepada
pasien. Pelaporan juga penting digunakan untuk memonitor upaya pencegahan

31
terjadinya kesalahan sehingga diharapkan dapat mendorong dilakukannya
investigasi selanjutnya.

32
BAB VII
KESELAMATAN KERJA
A. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KESELAMATAN DAN
KESEHATAN KERJA
1. Lingkungan Kerja
Lingkungan kerja yang dimungkinkan dapat mempengaruhi keselamatan dan
kesehatan lingkungan kerja pada Tim Pelaksana Program Pengendalian Resistensi
Antimikroba adalah seluruh aspek lingkungan baik fisik, kimia maupun biologis.
Ketiga faktor tersebut perlu dikendalikan sebagai upaya pencegahan penurunan
kualitas lingkungan yang dapat menyebabkan timbulnya sumber penyakit dan
kecelakaan kerja. Faktor – faktor lingkungan kerja yang memenuhi persyaratan
kesehatan dan keselamatan kerja meliputi:
a. Kualitas kimia dan Fisik (Pencahayaan, kebisingan, suhu dan kelembaban)
b. Pencahayaan
Pencahayaan yang cukup dan adekuat untuk observasi klinis dengan lampu TL
day light 10 watt/m2. Secara umum pencahayaan ruang perawatan harus dengan
intensitas 50 – 500 lux.
c. Suhu dan Kelembaban
1) Suhu 22 – 27oC.
2) Kelembaban 50% – 60%.
d. Kebisingan : Kebisingan yang dipersyaratkan 45dB.
e. Debu
Kondisi ruang pelayanan intensif harus selalu dalam keadaan bersih dan dengan
batas persyaratan debu 0,15 mg/m3
f. Kualitas Biologis
Kebersihan ruangan harus terjaga karena akan mempengaruhi kualitas biologis
lingkungan. Batas syarat angka kuman untuk ruang pelayanan intensif adalah
kurang dari 350 koloni kuman / m3 udara.

2. Fasilitas dan Peralatan

33
Fasilitas dan peralatan berpengaruh terhadap kualitas keselamatan kerja. Fasilitas
yang dibangun dengan tidak memenuhi persyaratan konstruksi dan bangunan dapat
menjadi pemicu timbulnya kecelakaan kerja maupun penyakit akibat kerja. Peralatan
yang tidak dilengkapi dengan pengamanan dan pemeliharaan secara rutin dapat
menimbulkan bahaya bagi operator maupun pemakainya. Fasilitas dan peralatan yang
digunakan di ICU harus memenuhi/menjamin keselamatan bagi petugas maupun
pasien.
a. Fasilitas
Tersedia fasilitas untuk menyimpan peralatan monitor, ventilator, pompa infus
dan pompa syringe, peralatan dialisis, alat-alat sekali pakai, cairan, penggantung
infus, troli, penghangat udara darah, alat hisap, linen dan tempat penyimpanan
barang dan alat bersih.
Tersedia ruang untuk membersihkan alat-alat, pemeriksaan urin, pengosongan
dan pembersihan pispot dan botol urin. Desain unit menjamin tidak kontaminasi.
Fasilitas air bersih cukup, perpipaan terlindung dari kontaminasi dan memenuhi
persyaratan kesehatan baik secara kimia maupun biologis.
Fasilitas pengelolaan air limbah dari unit pelayanan intensif yang memenuhi
persyaratan kesehatan sehingga tidak terjadi kontaminasi.
Fasilitas komunikasi baik, dapat digunakan sewaktu-waktu dalam keadaan
darurat. Fasilitas jaringan listrik, bahwa semua bagian yang bertegangan
dilindungi terhadap sentuhan yang tidak sengaja/sumber listrik dengan
penutup/pengaman.
b. Peralatan
Peralatan dilengkapi dengan petunjuk penggunaan alat
Semua peralatan yang digunakan di Unit Pelayanan Intensif harus dilengkapi
dengan petunjuk penggunaan alat yang tertempel/ terpasang disetiap peralatan.
Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi keselahan penggunaan peralatan yang
dapat membahayakan pasien maupun operator.
1) Alat Pelindung Diri

34
Alat pelindung diri (APD) difungsikan untuk petugas Unit Pelayanan
Intensif dalam pelaksanaan tugasnya untuk melindungi dari bahaya
kemungkinan terjadinya kontaminasi sumber penyakit dan kemungkinan
kecelakaan kerja. APD untuk petugas Unit Pelayanan Intensif meliputi:
a) APD kepala
b) APD hidung/masker
c) APD tangan
d) Baju pelindung
e) APD kaki
2) Alat Pemadam Api Ringan (APAR)
Alat pemadam api ringan ialah alat yang ringan serta mudah dilayani oleh
satu orang untuk memadamkan api pada mula terjadi kebakaran. APAR
tersedia di Unit Pelayanan Intensif dan ditempatkan pada area yang mudah
dijangkau serta dapat dalam keadaan baik sehingga dapat digunakan
sewaktu-waktu.
3. Keselamatan dan Kesehatan Tenaga Pelaksana
Keselamatan dan kesehatan kerja terkait kegiatan Tim Pelaksana Program
Pengendalian Resistensi Antimikroba dipengaruhi pula oleh faktor manusia, dalam hal
ini adalah sikap dan perilaku.
Upaya yang dapat dilakukan dengan :
a. Peningkatan ketrampilan dan pengetahuan petugas tentang keselamatan dan
kesehatan kerja.
b. Monitoring kesehatan petugas
B. HAL-HAL YANG DIPERHATIKAN DALAM KESELAMATAN KERJA
1. Bagi Petugas
a. Sikap Petugas
1) Menjalankan/mengetahui instruksi yang telah ditetapkan .
2) Menjalankan dan memelihara mesin atau pesawat sesuai dengan apa yang
tertulis dalam manual.

35
3) Melakukan pekerjaan-pekerjaan yang telah ditentukan dengan selamat.
4) Tidak meninggalkan posnya serta selalu siap dan waspada.
5) Memberikan bantuan dalam batas wewenangnya.
6) Meminta bantuan bila mengalami kesukaan/kesulitan.
7) Melakukan pelaporan dalam hal :
a) Pekerjaan selesai dilakukan
b) Terjadi pada pekerjaan atau lingkungan
c) Keadaan luar biasa pada lingkungan.

36
BAB VIII
PENGENDALIAN MUTU
Untuk menilai kualitas kegiatan Tim Pelaksana Program Pengendalian Resistensi
Antimikroba dan mengoreksi permasalahan diperlukan adanya pengendalian mutu & evaluasi
yang meliputi :
A. PEMANTAUAN DAN EVALUASI
Pemantauan dan evaluasi dilaksanakan secara berkesinambungan guna mewujudkan
keberhasilan Tim Pelaksana Program Pengendalian Resistensi Antimikroba. Pemantauan dan
evaluasi harus ditindaklanjuti untuk menentukan faktor-faktor yang potensial berpengaruh agar
dapat diupayakan penyelesaian yang efektif. Pemantauan dan evaluasi mutu dilakukan dalam
bentuk kegiatan pencatatan dan pelaporan. Diperlukan sejumlah indikator dalam pencatatan,
diantaranya sebagai berikut:
a. Perbaikan Kuantitas Penggunaan Antibiotik
Menurunnya konsumsi antibiotik, yaitu berkurangnya jumlah dan jenis antibiotik yang
digunakan sebagai terapi empiris maupun definitive.
b. Perbaikan Kualitas Penggunaan Antibiotik
Meningkatnya penggunaan antibiotik secara rasional (kategori nol, Gyssens) dan
menurunnya penggunaan antibiotik tanpa indikasi (kategori lima, Gyssens)
c. Perbaikan pola sensitivitas antibiotik dan penurunan mikroba multiresisten yang
tergambar dalam pola kepekaan antibiotik secara periodik setiap tahun
d. Penurunan angka infeksi rumah sakit yang disebabkan oleh mikroba multiresisten, contoh
Methicillin resistant Staphylococcus aureus (MRSA) dan bakteri penghasil extended
spectrum beta-lactamase (ESBL)
e. Peningkatan mutu penanganan kasus infeksi secara multidisiplin, melalui forum kajian
kasus infeksi terintegrasi.
Kepala/direktur rumah sakit wajib melaporkan pelaksanaan dan indikator mutu program
pengendalian resistensi antimikroba di rumah sakit secara periodik setiap tahun kepada Menteri
Kesehatan c.q KPRA dengan tembusan kepada Dinas Kesehatan Propinsi, dan Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota.

37
BAB IX

PENUTUP

Program Pengendalian Resistensi Antimikroba merupakan salah satu kegiatan di rumah


sakit yang menunjang pelayanan kesehatan yang bermutu. Buku Pedoman Kerja Tim Pelaksana
Program Pengendalian Resistensi Antimikroba Rumah Sakit ini diharapkan dapat mengatasi
berbagai kendala, antara lain sumber daya manusia, kebijakan manajemen rumah sakit serta
pihak-pihak terkait yang umumnya masih dengan paradigma lama yang “melihat” pelayanan di
rumah sakit “hanya” mengurusi masalah penanganan pasien secara medis saja, melainkan juga
memperhatikan kegiatan Pengendalian Resistensi Antimikroba.
Untuk keberhasilan pelaksanaan Buku Pedoman ini diperlukan komitmen dan kerjasama
yang lebih baik antara berbagai unit terkait di Rumah Sakit, sehingga pelayanan rumah sakit
pada umumnya akan semakin optimal, dan khususnya kegiatan Program Pengendalian Resistensi
Antimikroba di Rumah Sakit akan dirasakan oleh pasien dan masyarakat.

38
Daftar Pustaka

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004, tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara


Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4431);
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5063);
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5072);
Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentangPemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, TambahanLembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5584);
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor1144/Menkes/Per/VIII/2010 tentang Organisasi danTata
Kerja Kementerian Kesehatan (Berita NegaraRepublik Indonesia Tahun 2010 Nomor
585)sebagaimana telah diubah dengan Peraturan MenteriKesehatan Nomor 35 Tahun
2013 (Berita NegaraRepublik Indonesia Tahun 2013 Nomor 741);

39

Anda mungkin juga menyukai