i
ii
LEMBAR PENGESAHAN
PembuatDokumen
iii
PERATURAN DIREKTUR
RUMAH SAKIT UMUM NATALIA
NOMOR: /Per/Dir/RSUN/VIII/2020
TENTANG
iv
MEMUTUSKAN
Menetapkan :
KESATU : PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT TENTANG PEDOMAN
KERJA TIM PELAKSANA PROGRAM PENGENDALIAN
RESISTENSI ANTIMIKROBA DI RUMAH SAKIT
KEDUA : Pedoman Kerja Tim Pelaksana Program Pengendalian Resistensi
Antimikroba di Rumah Sakit sebagaimana terlampir dalam Peraturan ini.
KETIGA : Pedoman Kerja Tim Pelaksana Program Pengendalian Resistensi
Antimikroba di Rumah Sakit digunakan dalam pengendalian resistensi
antimikroba di Rumah Sakit.
KEEMPAT : Peraturan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dan apabila di kemudian hari
ternyata terdapat kekeliruan dalam ketetapan ini akan diadakan perbaikan
sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di : Tuban
Pada tanggal : 10 januari 2020
Direktur,
v
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI......................................................................................................................v
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................1
A. LATAR BELAKANG..............................................................................................1
B. TUJUAN..................................................................................................................2
C. STRATEGI PENGENDALIAN RESISTENSI ANTIMIKROBA..........................2
D. STRATEGI PENGENDALIAN RESISTENSI ANTIMIKROBA..........................3
BAB II RUANG LINGKUP..............................................................................................5
A. KEWASPADAAN STANDAR...............................................................................5
B. KEWASPADAAN TRANSMISI.............................................................................5
C. DEKOLONISASI.....................................................................................................6
D. KEJADIAN LUAR BIASA MULTIDRUG RESISTANS ORGANISM (MDRO) 5
BAB III STANDAR KETENAGAAN.............................................................................8
A. KUALIFIKASI SDM...............................................................................................8
B. TUGAS TIM PELAKSANA PROGRAM PENGENDALIAN RESISTENSI
ANTIMIKROBA.............................................................................................................8
BAB IV STANDAR FASILITAS.....................................................................................11
A. PERSYARATAN BANGUNAN.............................................................................11
B. KEBUTUHAN RUANGAN....................................................................................13
C. STANDAR FASILITAS..........................................................................................13
BAB V TATA LAKSANA................................................................................................22
A. TAHAPAN PELAKSANAAN PROGRAM PENGENDALIAN RESISTENSI
ANTIMIKROBA.............................................................................................................22
B. PEMERIKSAAN MIKROBIOLOGI, PELAPORAN POLA MIKROBA DAN
KEPEKAANNYA...........................................................................................................23
C. EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK.........................................................27
BAB VI LOGISTIK...........................................................................................................32
A. PENGADAAN BARANG SEDIAAN.....................................................................32
B. PENGADAAN BARANG NON SEDIAAN...........................................................32
BAB VII KESELAMATAN PASIEN..............................................................................33
A. PENGERTIAN.........................................................................................................33
B. STANDAR KESELAMATAN PASIEN.................................................................33
vi
C. TUJUAN..................................................................................................................33
D. PENGERTIAN.........................................................................................................34
E. TATA LAKSANA....................................................................................................34
F. SASARAN DAN KESELAMATAN PASIEN........................................................35
G. PELAPORAN INSIDEN KESELAMATAN PASIEN...........................................39
BAB VIII KESELAMATAN KERJA..............................................................................43
A. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KESELAMATAN DAN
KESEHATAN KERJA....................................................................................................43
B. HAL-HAL YANG DIPERHATIKAN DALAM KESELAMATAN KERJA.........45
BAB IX PENGENDALIAN MUTU.................................................................................47
A. PEMANTAUAN DAN EVALUASI........................................................................47
BAB X PENUTUP.............................................................................................................48
vii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Resistensi mikroba terhadap antimikroba (disingkat: resistensi antimikroba,
antimicrobial resistance, AMR) telah menjadi masalah kesehatan yang mendunia,
dengan berbagai dampak merugikan dapat menurunkan mutu pelayanan kesehatan.
Muncul dan berkembangnya resistensi antimikroba terjadi karena tekanan seleksi
(selection pressure) yang sangat berhubungan dengan penggunaan antimikroba, dan
penyebaran mikroba resisten (spread). Tekanan seleksi resistensi dapat dihambat
dengan cara menggunakan secara bijak, sedangkan proses penyebaran dapat dihambat
dengan cara mengendalikan infeksi secara optimal.
Resistensi antimikroba yang dimaksud adalah resistensi terhadap antimikroba
yang efektif untuk terapi infeksi yang disebabkan oleh bakteri, jamur, virus, dan
parasit. Bakteri adalah penyebab infeksi terbanyak maka penggunaan antibakteri yang
dimaksud adalah penggunaan antibiotik.
Hasil penelitian Antimicrobial Resistant in Indonesia (AMRIN-Study) tahun
2000-2005 pada 2494 individu di masyarakat, memperlihatkan bahwa 43% Escherichia
coli resisten terhadap berbagai jenis antibiotik antara lain: ampisilin (34%),
kotrimoksazol (29%) dan kloramfenikol (25%). Sedangkan pada 781 pasien yang
dirawat di rumah sakit didapatkan 81% Escherichia coli resisten terhadap berbagai
jenis antibiotik, yaitu ampisilin (73%), kotrimoksazol (56%), kloramfenikol (43%),
siprofloksasin (22%), dan gentamisin (18%). Hasil penelitian ini membuktikan bahwa
masalah resistensi antimikroba juga terjadi di Indonesia. Penelitian tersebut
memperlihatkan bahwa di Surabaya dan Semarang terdapat masalah resistensi
antimikroba, penggunaan antibiotik yang tidak bijak, dan pengendalian infeksi yang
belum optimal. Penelitian AMRIN ini menghasilkan rekomendasi berupa metode yang
telah divalidasi (validated method) untuk mengendalikan resistensi antimikroba secara
efisien. Hasil penelitian tersebut telah disebarluaskan ke rumah sakit lain di Indonesia
melalui lokakarya nasional pertama di Bandung tanggal 29-31 Mei 2005, dengan
harapan agar rumah sakit lain dapat melaksanakan “self-assessment program”
menggunakan “validated method” seperti yang dimaksud di atas. Pelaksanaannya
1
dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi di masing-masing rumah sakit, sehingga
akan diperoleh data resistensi antimikroba, data penggunaan antibiotik, dan
pengendalian infeksi di Indonesia. Namun, sampai sekarang gerakan pengendalian
resistensi antimikroba di rumah sakit secara nasional belum berlangsung baik, terpadu,
dan menyeluruh sebagaimana yang terjadi di beberapa negara.
Berbagai cara perlu dilakukan untuk menanggulangi masalah resistensi
antimikroba ini baik di tingkat perorangan maupun di tingkat institusi atau lembaga
pemerintahan, dalam kerja sama antar-institusi maupun antar-negara. WHO telah
berhasil merumuskan 67 rekomendasi bagi negara anggota untuk melaksanakan
pengendalian resistensi antimikroba. Di Indonesia rekomendasi ini tampaknya belum
terlaksana secara institusional. Padahal, sudah diketahui bahwa penanggulangan
masalah resistensi antimikroba di tingkat internasional hanya dapat dituntaskan melalui
gerakan global yang dilaksanakaan secara serentak, terpadu, dan bersinambung dari
semua negara. Diperlukan pemahaman dan keyakinan tentang adanya masalah
resistensi antimikroba, yang kemudian dilanjutkan dengan gerakan nasional melalui
program terpadu antara rumah sakit, profesi kesehatan, masyarakat, perusahaan
farmasi, dan pemerintah daerah di bawah koordinasi pemerintah pusat melalui
kementerian kesehatan. Gerakan penanggulangan dan pengendalian resistensi
antimikroba secara paripurna ini disebut dengan Program Pengendalian Resistensi
Antimikroba (PPRA).
Dalam rangka pelaksanaan PPRA di rumah sakit, maka perlu disusun pedoman
pelaksanaan agar pengendalian resistensi antimikroba di rumah sakit di seluruh
Indonesia berlangsung secara baku dan data yang diperoleh dapat mewakili data
nasional di Indonesia.
B. TUJUAN
Pedoman ini dimaksudkan untuk menjadi acuan dalam pelaksanaan program
pengendalian resistensi antimikroba di rumah sakit, agar berlangsung secara baku,
terpadu, berkesinambungan, terukur, dan dapat dievaluasi.
1. Tujuan Umum
2
Meningkatkan mutu pelayanan Rumah Sakit Umum Natalia melalui pencegahan
dan pengendalian di semua unit di rumah sakit meliputi kualitas pelayanan,
manajemen risiko, clinical governance, serta kesehatan dan keselamaytan kerja.
2. Tujuan Khusus
C. RUANG LINGKUP
D. LANDASAN HUKUM
Landasan Hukum penyusunan pedoman pengorganisasian ini disusun berdasarkan
peraturan perundang-undangan sebagai berikut :
a. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan
b. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah
Sakit.
3
c. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 290 / Menkes /
Per / III / 2008 Tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran.
d. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 129 / Menkes / Sk
/ II / 2008 Tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit.
e. Peraturan Menteri Kesehatan No.8 tahun 2015 tentang Program
Pengendalian Resistensi Antimikroba di Rumah Sakit
f. Peraturan Menteri kesehatan Republik Indonesia Nomor 1691 / Menkes / Per
/ VIII / 2001 Tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit.
g. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
h. Peraturan Pemerintah No 32 tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan.
i. Surat Kepmenkes RI No.1045/Menkes/Per/XI/2006 tentang Pedoman
Organisasi Rumah Sakit di Lingkungan Departemen Kesehatan.
j. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor. 340/ Menkes/
PER/III/ 2010 Tentang Klasifikasi Rumah Sakit.
k. Keputusan Menteri Kesehatan No. 129 Tahun 2008 Tentang Standar
Pelayanan Minimal Rumah Sakit.
l. Peraturan Presiden RI No. 77 Tahun 2015 tentang Pedoman Organisasi RS
KEWASPADAAN STANDAR
1. Kewaspadaan standar (standard precaution), meliputi:
a. kebersihan tangan
b. Alat Pelindung Diri (APD) : sarung tangan, masker, goggle (kaca mata
pelindung), face shield (pelindung wajah), dan gaun
c. dekontaminasi peralatan perawatan pasien
d. pengendalian lingkungan
e. penatalaksanaan linen
f. perlindungan petugas kesehatan
g. penempatan pasien
h. hygiene respirasi/etika batuk
i. praktek menyuntik yang aman
j. praktek yang aman untuk lumbal punksi
4
KEWASPADAAN TRANSMISI
1. Jenis kewaspadaan transmisi meliputi:
a. Melalui kontak
b. Melalui droplet
c. Melalui udara (airborne)
d. Melalui common vehicle (makanan, air, obat, alat, peralatan)
e. Melalui vektor (lalat, nyamuk, tikus)
2. Pada kewaspadaaan transmisi, pasien ditempatkan di ruang terpisah. Bila tidak
memungkinkan, maka dilakukan cohorting yaitu merawat beberapa pasien dengan
pola penyebab infeksi yang sama dalam satu ruangan.
DEKOLONISASI
Dekolonisasi adalah tindakan menghilangkan koloni mikroba multiresisten pada
individu pengidap (carrier). Contoh: pemberian mupirosin topikal pada carrier MRSA.
5
Penghitungan berpedoman pada rumus berikut ini:
jumlah isolat ESBL
angka ESBL= ------------------------------------------------------ X 100%
jumlah isolat bakteri non-ESBL + bakteri ESBL
Contoh: Klebsiella pneumoniae penghasil ESBL
jumlahK.pneumoniaeESBL
angka ESBL=------------------------------------------------------- X 100%
jumlahK.pneumoniaenon-ESBL + K.pneumoniae ESBL
3) Angka mikroba multiresisten lain dihitung dengan rumus yang sama dengan
poin b)
4) Selain indikator di atas, rumah sakit dapat menetapkan indikator KLB
sesuai dengan kejadian setempat.
5) Untuk bisa mengenali indikator tersebut, perlu dilakukan surveilans dan
kerja sama dengan laboratorium mikrobiologi klinik.
c. Upaya menekan mikroba multiresisten, dilakukan baik ketika tidak ada KLB
maupun ketika terjadi KLB.
1) Jika tidak ada KLB, maka pengendalian mikroba multiresisten dilakukan
dengan dua cara utama, yakni:
a) meningkatkan penggunaan antibiotik secara bijak, baik melalui
kebijakan manajerial maupun kebijakan profesional.
b) meningkatkan kewaspadaan standar
2) Jika ada KLB mikroba multiresisten, maka dilakukan usaha penanganan
KLB mikroba multiresisten sebagai berikut.
a) Menetapkan sumber penyebaran, baik sumber insidental (point source)
maupun sumber menetap (continuous sources).
b) Menetapkan modus transmisi
c) Tindakan penanganan KLB, yang meliputi:
(1) membersihkan atau menghilangkan sumber KLB
(2) meningkatkan kewaspadaan baku
(3) isolasi atau tindakan sejenis dapat diterapkan pada penderita yang
terkolonisasi atau menderita infeksi akibat mikroba multiresisten;
pada MRSA biasanya dilakukan juga pembersihan kolonisasi pada
6
penderita sesuai dengan pedoman.
(4) Pada keadaan tertentu ruang rawat dapat ditutup sementara serta
dibersihkan dan didisinfeksi.Tindakan tersebut di atas sangat
dipengaruhi oleh sumber dan pola penyebaran mikroba multiresisten
BAB II
STANDAR KETENAGAAN
A. KUALIFIKASI SDM
Pola ketenagaan dan kualifikasi SDM Tim Pelaksana Program Pengendalian Resistensi
Antimikroba adalah :
N Kualifikasi sesuai Strata Pelayanan
Jenis Tenaga
o Sederhana Lengkap Sempurna Paripurna
Ketua Tim Dokter Dokter Dokter
Dokter umum
Pelaksana spesialis spesialis spesialis
terlatih atau
Program penyakit Paru penyakit penyakit Paru
1. dokter
Pengendalian Parukonsultan konsultan
spesialis
Resistensi PPRA PPRA
penyakit Paru
Antimikroba
Perawat Perawat Perawat Perawat
dengan dengan dengan dengan
2. Sekretaris
pelatihan pelatihan pelatihan pelatihan
PPRA PPRA PPRA PPRA
Perawat Perawat Perawat Perawat
dengan dengan dengan dengan
3. SMF
pelatihan pelatihan pelatihan pelatihan
PPRA PPRA PPRA PPRA
7
Perawat Perawat Perawat Perawat
Bidang dengan dengan dengan dengan
4.
Keperawatan pelatihan pelatihan pelatihan pelatihan
PPRA PPRA PPRA PPRA
Farmasi Farmasi Farmasi Farmasi
dengan dengan dengan dengan
5. Farmasi
pelatihan pelatihan pelatihan pelatihan
PPRA PPRA PPRA PPRA
Perawat Perawat Perawat Perawat
dengan dengan dengan dengan
6. Komite PPI
pelatihan pelatihan pelatihan pelatihan
PPRA PPRA PPRA PPRA
Dokter/ Dokter/ Dokter/ Dokter/
perawat perawat perawat perawat
7. Komite F&T dengan dengan dengan dengan
pelatihan pelatihan pelatihan pelatihan
PPRA PPRA PPRA PPRA
8
terintegrasi.
2) Melakukan surveilans pola penggunaan antibiotic.
3) Melakukan surveilans pola mikroba penyebab infeksi dan kepekaannya
terhadap antibiotic.
4) Menyebarluaskan serta meningkatkan pemahaman dan kesadaran tentang
prinsip pengendalian resistensi antimikroba, penggunaan antibiotik secara
bijak, dan ketaatan terhadap pencegahan pengendalian infeksi melalui
kegiatan pendidikan dan pelatihan.
5) mengembangkan penelitian di bidang pengendalian resistensi antimikroba
2. SMF/Bagian
a. Menerapkan prinsip penggunaan antibiotik secara bijak dan menerapkan
kewaspadaan standar.
b. Melakukan koordinasi program pengendalian resistensi antimikroba di
SMF/bagian.
c. Melakukan koordinasi dalam penyusunan panduan penggunaan antibiotik di
SMF/bagian.
d. Melakukan evaluasi penggunaan antibiotik bersama tim.
3. Bidang Keperawatan
a. Menerapkan kewaspadaan standar dalam upaya mencegah penyebaran mikroba
resisten.
b. Terlibat dalam cara pemberian antibiotik yang benar.
c. Terlibat dalam pengambilan spesimen mikrobiologi secara teknik aseptik.
4. Instalasi Farmasi
a. Mengelola serta menjamin mutu dan ketersediaan antibiotik yang tercantum
dalam formularium.
b. Memberikan rekomendasi dan konsultasi serta terlibat dalam tata laksana
pasien infeksi, melalui: pengkajian peresepan, pengendalian dan monitoring
penggunaan antibiotik, visite ke bangsal pasien bersama tim.
c. Memberikan informasi dan edukasi tentang penggunaan antibiotik yang tepat
dan benar.
d. Melakukan evaluasi penggunaan antibiotik bersama tim.
5. Laboratorium Mikrobiologi Klinik
9
a. Melakukan pelayanan pemeriksaan mikrobiologi.
b. Memberikan rekomendasi dan konsultasi serta terlibat dalam tata laksana
pasien infeksi melalui visite ke bangsal pasien bersama tim.
c. Memberikan informasi pola mikroba dan pola resistensi secara berkala setiap
tahun.
6. Komite/Tim PPI
a. penerapan kewaspadaan standar
b. surveilans kasus infeksi yang disebabkan mikroba multiresisten
c. cohorting/isolasi bagi pasien infeksi yang disebabkan mikroba multiresisten.
d. menyusun pedoman penanganan kejadian luar biasa mikroba multiresisten.
7. Komite Farmasi dan Terapi
a. Berperanan dalam menyusun kebijakan dan panduan penggunaan antibiotik di
rumah sakit.
b. Memantau kepatuhan penggunaan antibiotik terhadap kebijakan dan panduan di
rumah sakit.
c. Melakukan evaluasi penggunaan antibiotik bersama tim.
10
BAB III
STANDAR FASILITAS
A. PERSYARATAN BANGUNAN
1. Pemilihan lokasi
a. Aksesibilitas untuk jalur transportasi dan komunikasi,
Lokasi harus mudah dijangkau oleh masyarakat atau dekat ke jalan raya dan
tersedia infrastruktur dan fasilitas dengan mudah,
b. Kontur Tanah
Kontur tanah mempunyai pengaruh penting pada perencanaan struktur, dan harus
dipilih sebelum perencanaan awal dapat dimulai. Selain itu kontur tanah juga
berpengaruh terhadap perencanaan system drainase, kondisi jalan terhadap tapak
bangunan dan lain-lain.
c. Fasilitas Parkir
Perancangan dan perencanaan prasarana parker di RS sangat penting, karena
prasarana parkir dan jalan masuk kendaraan akan menyita banyak lahan,
Perhitungan kebutuhan lahan parkir pada RS idealnya adalah 1,5 s/d 2 kendaraan
atau tempat tidur ( 37,5m s/d 50m per tempat tidur ) atau menyesuaikan dengan
kondisi sosial ekonomi daerah setempat. Tempat parkir harus dilengkapi dengan
rambu parkir.
d. Tersedia utilitas public
Rumah Sakit membutuhkan air bersih, pembuangan air kotor/limbah, listrik, dan
jalur telepon.
e. Pengelolaan Kesehatan Lingkungan
Setiap Rumah Sakit dilengkapi dengan persyaratan pengendalian dampak
lingkungan antara lain :
Studi kelayakan Dampak Lingkungan yang ditimbulkan oleh RS terhadap
lingkungan disekitarnya.
Fasilitas pengelolaan limbah pada infeksius dan non infeksius ( sampah
domestic )
Fasilitas pengelolaan limbah cair (Instalasi Pengolahan Air Limbah/IPAL)
Fasilitas pengelolaan limbah cair ataupun padat dari instalasi radiologi
11
Fasilitas Pengolahan Air Bersih ( Water Treatment Plant ) yang menjamin
keamanan konsumsi air bersih rumah sakit, terutama pada daerah yang
kesulitan dalam penyediaan air bersih.
f. Bebas dari kebisingan, asap uap dan gangguan lain
Pasien dan petugas membutuhkan udara bersih dan lingkungan yang tenang
Pemilihan lokasi sebaiknya bebas dari kebisingan yang tidak semestinya dan
polusi atmosfer yang dating dari berbagai sumber
2. Massa Bangunan
Intensitas antar Bangunan Gedung di RS harus memperhitungkan jarak antara
massa bangunan dalam RS dengan mempertimbangkan hal-hal berikut ini ;
a. Keselamatan terhadap bahaya kebakaran
b. Kesehatan termasuk sirkulasi udara dan pencahayaan
c. Kenyamanan
d. Keselarasan dan keseimbangan dengan lingkungan
Perncanaan RS harus mengikuti Rencana Tata Bangunan dan lingkungan yaitu:
a. Koefisien Dasar Bangunan (KDB)
b. Koefisien Lantai Bangunan (KLB)
c. Koefisien Daerah Hijau (KDH)
d. Garis Sempadan Bangunan (GSB) dan Garis Sepadan Pagar (GSP)
3. Denah Rumah Sakit
B. KEBUTUHAN RUANGAN
Kebutuhan ruang minimal untuk rumah sakit Tipe C
Ruang Luas (m2) per
tempat tidur
1 Administrasi 3 ~ 3,5
2 Unit Gawat Darurat 1 ~ 1,5
3 Poliklinik 1 ~ 1,5
4 Pendaftaran 0,2
5 Laboratorium Klinis, Pathologi 2,5 ~ 3
6 Rumah Tangga/Kebersihan 0,4 ~ 0,5
7 Kebidanan dan kandungan 1,2 ~ 1,5
12
8 Diagnostik dan Radiologi 3~4
9 Dapur makanan 2,5 ~ 3,0
10 Ruang pertemuan, pelatihan 0,5 ~ 1
12 Laundri 1 ~ 1,5
13 Rekam Medis 0,5 ~ 0,8
14 Ruang Bedah 3,5 ~ 5
15 Farmasi 0,4 ~ 0,6
16 Gudang 2,5 ~ 3,5
C. STANDAR FASILITAS
1. Standar Alat Kesehatan
Penggunaan alat kesehatan di rumah sakit yang tertuang dalam Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 56 Tahun 2014, yang berhubungan dengan
adanya Program Pengendalian Resistensi Antibiotik diantaranya
13
PELAYANAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
A. Rawat inap (VK)
14
15
B. Kamar Tindakan Persalina (VK)
16
C. Kamar Operasi Kebidanan
17
18
PELAYANAN MIKROBIOLOGI
19
20
BAB IV
21
TATA LAKSANA
22
4) Melakukan pengumpulan data dasar kasus yang diikuti selama penerapan
dan dicatat dalam form lembar pengumpul data.
5) Melakukan pengolahan dan menganalisis data yang meliputi: data pola
penggunaan antibiotik, kuantitas dan kualitas penggunaan antibiotik, pola
mikroba dan pola resistensi (jika tersedia laboratorium mikrobilogi).
6) Menyajikan data hasil pilot project dan dipresentasikan di rapat jajaran
direksi rumah sakit.
7) Melakukan pembaharuan panduan penggunaan antibiotik berdasarkan hasil
penerapan PPRA.
d. Monitoring dan evaluasi secara berkala terhadap:
1) laporan pola mikroba dan kepekaannya
2) pola penggunaan antibiotik secara kuantitas dan kualitas
e. Laporan kepada Kepala/Direktur rumah sakit untuk perbaikan
kebijakan/pedoman/panduan dan rekomendasi perluasan penerapan PPRA di
rumah sakit.
f. Mengajukan rencana kegiatan dan anggaran tahunan PPRA kepada
Kepala/Direktur rumah sakit.
23
Setiap tindakan yang berkaitan dengan pengelolaan spesimen harus mengikuti
pedoman kewaspadaan standar. Semua spesimen dianggap sebagai bahan
infeksius.
b. Pedoman umum dalam pengambilan spesimen yang tepat adalah sebagai
berikut:
1) Pengambilan spesimen dilakukan sebelum pemberian antibiotik dan
mengacu pada standar prosedur operasional yang berlaku.
2) Pengambilan spesimen dilakukan secara aseptik dengan peralatan steril
sehingga mengurangi terjadinya kontaminasi flora normal tubuh atau
bakteri lingkungan.
3) Spesimen diambil pada saat yang tepat, dari tempat yang diduga sebagai
sumber infeksi, dengan volume yang cukup.
4) Wadah spesimen harus diberi label identitas pasein (nama, nomer rekam
medik, tempat rawat), jenis spesimen, tanggal dan jam pengambilan
spesimen.
5) Lembar permintaan pemeriksaan hendaknya diisi dengan lengkap dan jelas,
meliputi identitas pasien, ruang perawatan, jenis dan asal spesimen, tanggal
dan jam pengambilan spesimen, pemeriksaan yang diminta, diagnosis
klinik, nama antibiotik yang telah diberikan dan lama pemberian, identitas
dokter yang meminta pemeriksaan serta nomer kontak yang bisa dihubungi.
2. Tahapan Pemeriksaan Mikrobiologi
Pemeriksaan mikrobiologi terdiri dari beberapa tahap yaitu pemeriksaan secara
makroskopik dan mikroskopik yang dilanjutkan dengan pembiakan, identifikasi
mikroba, dan uji kepekaan mikroba terhadap antimikroba. Apabila mikroba tidak
dapat dibiakkan secara in-vitro maka dipilih metode pemeriksaan lain yaitu uji
serologi (deteksi antigen atau antibodi) atau biologi molekular (deteksi
DNA/RNA), antara lain dengan metode Polymerase Chain Reaction (PCR).
a. Pemeriksaan mikroskopis
Pemeriksaan mikroskopis paling sedikit mencakup pengecatan Gram, Ziehl
Neelsen, dan KOH. Hasil pemeriksaan ini berguna untuk mengarahkan
diagnosis awal dan pemilihan antimikroba.
b. Pemeriksaan kultur
24
Pemeriksaan kultur menurut metode yang baku dilakukan untuk identifikasi
bakteri atau jamur penyebab infeksi dan kepekaannya terhadap antibiotik atau
antijamur. Laboratorium mikrobiologi hendaknya dapat melakukan
pemeriksaan untuk menumbuhkan mikroba yang sering ditemukan sebagai
penyebab infeksi (bakteri aerob non- fastidious dan jamur).
c. Uji Kepekaan Antibiotik atau Antijamur
Hasil uji kepekaan antibiotik atau antijamur digunakan sebagai dasar pemilihan
terapi antimikroba definitif. Untuk uji kepekaan ini digunakan metode difusi
cakram menurut Kirby Bauer, sedangkan untuk mengetahui KHM (konsentrasi
hambat minimal atau Minimum Inhibitory Concentration, MIC) dilakukan cara
manual atau dengan mesin otomatik. Hasil pemeriksaan dikategorikan dalam
Sensitif (S), Intermediate (I), dan Resisten (R) sesuai dengan kriteria yang
ditentukan oleh Clinical Laboratory Standards Institute (CLSI) revisi terkini.
Masing-masing antibiotik memiliki rentang S I R yang berbeda, sehingga
antibiotik yang memiliki zona hambatan lebih luas belum tentu memiliki
kepekaan yang lebih baik. Laboratorium mikrobiologi hendaknya melakukan
kontrol kualitas berbagai tahap pemeriksaan di atas sesuai dengan
ketentuannya.
3. Pelaksanaan Konsultasi Klinik
Konsultasi klinik yang perlu dilakukan meliputi:
a. Hasil biakan dan identifikasi mikroba diinterpretasi untuk dapat menentukan
mikroba tersebut merupakan penyebab infeksi atau kontaminan/kolonisasi.
Interpretasi harus dilakukan dengan mempertimbangkan data klinis dan kualitas
spesimen yang diperiksa, bila diperlukan dilakukan komunikasi dengan dokter
penanggung jawab pasien atau kunjungan ke bangsal untuk melihat kondisi
pasien secara langsung. Apabila mikroba yang ditemukan dianggap sebagai
patogen penyebab infeksi, maka hasil identifikasi dilaporkan agar dapat
digunakan sebagai dasar pemberian dan pemilihan antimikroba.Apabila
mikroba merupakan kontaminan/ kolonisasi maka tidak perlu dilaporkan.
b. Anjuran dilakukannya pemeriksaan diagnostik mikrobiologi lain yang mungkin
diperlukan
c. Saran pilihan antimikroba
25
d. Apabila ditemukan mikroba multiresisten yang berpotensi menjadi wabah maka
harus segera dilaporkan kepada Tim Pencegahan Pengendalian Infeksi Rumah
Sakit (Tim PPI) untuk dapat dilakukan tindakan pencegahan transmisi.
4. Pelaporan Pola Mikroba Secara Periodik
Laboratorium mikrobiologi klinik juga bertugas menyusun pola mikroba (pola
bakteri, bila memungkinkan juga jamur) dan kepekaannya terhadap antibiotik (atau
disebut antibiogram) yang diperbarui setiap tahun. Pola bakteri dan kepekaannya
memuat data isolat menurut jenis spesimen dan lokasi atau asal ruangan.
Antibiogram ini digunakan sebagai dasar penyusunan dan pembaharuan pedoman
penggunaan antibiotik empirik di rumah sakit.
5. Format Pelaporan Pola Mikroba Dan Kepekaannya
a. Tujuan
1) Mengetahui pola bakteri (dan jamur bila memungkinkan) penyebab infeksi
2) Mendapatkan antibiogram lokal
b. Dasar penyusunan laporan
Hasil identifikasi mikroba melalui pemeriksaan mikrobiologi yang dikerjakan
sesuai dengan standar yang berlaku.
c. Pelaporan
1) Format laporan:
a) untuk rumah sakit, laporan berbentuk dokumen tercetak
b) untuk diseminasi ke masing-masing departemen /SMF/Instalasi, laporan
dapat berbentuk cetakan lepas
2) Halaman judul:
a) Laporan pola mikroba dan kepekaan terhadap antibiotik di rumah sakit
(tuliskan nama rumah sakit)
b) Bulan dan tahun periode data yang dilaporkan
d. Isi laporan:
1) Gambaran umum yang berisi: jenis spesimen dan sebaran spesimen secara
keseluruhan maupun berdasarkan lokasi (misalnya rawat jalan/rawat inap
non-bedah/rawat inap bedah/ICU).
2) Pelaporan pola bakteri dibuat berdasarkan distribusi bakteri penyebab
infeksi berdasarkan jenis spesimen. Pola disusun berurutan dari jumlah
26
bakteri terbanyak sampai paling sedikit. Jika jumlah spesies terlalu sedikit,
digabung dalam genus.
3) Bila ada data mikroba multiresisten dengan perhatian khusus misalnya
MRSA (methicillin resistance Staphylococcus aureus), batang Gram negatif
penghasil enzim ESBL (extended spectrum beta-lactamase), atau VRE
(vancomycin resistance enterococcus) dilaporkan terpisah.
4) Antibiogram yang dilaporkan adalah persen sensitif.
5) Antibiogram dilaporkan berdasarkan lokasi/jenis perawatan, jenis spesimen,
genus/spesies mikroba
6) Frekuensi pelaporan setiap tahun
7) Ringkasan dan rekomendasi meliputi:
a) Antibiotik yang sensitifitasnya baik (lebih dari 80%) untuk setiap lokasi
RS sebagai dasar penyusunan pedoman penggunaan antibiotik empirik
b) Mikroba multiresisten jika ada (penghasil ESBL, MRSA, VRE, dan
Acinetobacter)
8) Data mikroba multiresisten dilaporkan juga kepada tim PPI sebagai
pelengkap data surveilans HAI di rumah sakit.
27
catatan perawat dapat diketahui jumlah antibiotik yang diberikan kepada pasien
selama pasien dirawat.
b. Pengelolaan antibiotik di Instalasi Farmasi
Di rumah sakit yang sudah melaksanakan kebijakan pelayanan farmasi satu
pintu, kuantitas antibiotik dapat diperoleh dari data penjualan antibiotik di
Instalasi Farmasi.
Data jumlah penggunaan antibiotik dapat dipakai untuk mengukur besarnya
belanja antibiotik dari waktu ke waktu, khususnya untuk mengevaluasi biaya
sebelum dan sesudah dilaksanakannya program di rumah sakit.
2. Audit Jumlah Penggunaan Antibiotik di Rumah Sakit
Untuk memperoleh data yang baku dan dapat diperbandingkan dengan data di
tempat lain, maka badan kesehatan dunia (WHO) menganjurkan klasifikasi
penggunaan antibiotik secara Anatomical Therapeutic Chemical (ATC)
Classification dan pengukuran jumlah penggunaan antibiotik dengan defined daily
dose (DDD)/100 patient-days.
Defined daily dose (DDD) adalah dosis harian rata-rata antibiotik yang digunakan
pada orang dewasa untuk indikasi utamanya. Perlu ditekankan di sini bahwa DDD
adalah unit baku pengukuran, bukan mencerminkan dosis harian yang sebenarnya
diberikan kepada pasien (prescribed daily doses atau PDD). Dosis untuk masing-
masing individu pasien bergantung pada kondisi pasien tersebut (berat badan, dll).
Dalam sistem klasifikasi ATC obat dibagi dalam kelompok menurut sistem organ
tubuh, menurut sifat kimiawi, dan menurut fungsinya dalam farmakoterapi.
Terdapat lima tingkat klasifikasi, yaitu:
a. Tingkat pertama : kelompok anatomi (misalnya untuk saluran pencernaan dan
metabolisme)
b. Tingkat kedua : kelompok terapi/farmakologi obat
c. Tingkat ketiga : subkelompok farmakologi
d. Tingkat keempat : subkelompok kimiawi obat
e. Tingkat kelima : substansi kimiawi obat
28
Contoh:
Penghitungan DDD
Setiap antibiotik mempunyai nilai DDD yang ditentukan oleh WHO berdasarkan
dosis pemeliharaan rata-rata, untuk indikasi utama pada orang dewasa BB 70 kg.
a. Data yang berasal dari instalasi farmasi berbentuk data kolektif, maka
rumusnya sebagai berikut:
Perhitungan numerator :
jml kemasan X jml tablet per kemasan X jml gram per tablet X 100
jumlah DDD = ---------------------------------------------------------------------
DDD antibiotik dalam gram
Perhitungan denominator:
jumlah hari-pasien = jumlah hari perawatan seluruh pasien dalam suatu periode
studi
b. Data yang berasal dari pasien menggunakan rumus untuk setiap pasien:
29
total DDD
DDD/100 patient days = ---------------------------------- x 100 total
jumlah hari-pasien
30
31
BAB V
LOGISTIK
32
BAB VI
KESELAMATAN PASIEN
A. PENGERTIAN
Keselamatan Pasien (Patient Safety) adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat
asuhan pasien lebih aman.
Sistem tersebut meliputi:
1. Asesmen resiko
2. Identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien
3. Pelaporan dan analisis insiden
4. Kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya
5. Implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko
C. TUJUAN
1. Terciptanya budaya keselamatan pasien di rumah sakit
2. Meningkatnya akuntabilitas rumah sakit terhadap pasien dan masyarakat
3. Menurunkan Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) di rumah sakit
33
4. Terlaksananya program-program pencegahan sehingga tidak terjadi pengulangan
Kejadian Tidak Diharapkan (KTD)
D. PENGERTIAN
1. Kejadian Tidak Diharapkan (KTD)/Adverse Event :
Adalah suatu kejadian yang tidak diharapkan, yang mengakibatkan cedera pasien
akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang
seharusnya diambil, dan bukan karena penyakit dasarnya atau kondisi pasien.
Cedera dapat diakibatkan oleh kesalahan medis atau bukan kesalahan medis karena
tidak dapat dicegah
2. KTD yang tidak dapat dicegah/Unpreventable Adverse Event :
Suatu KTD yang terjadi akibat komplikasi yang tidak dapat dicegah dengan
pengetahuan mutakhir
3. Kejadian Nyaris Cedera (KNC)/Near Miss :
Adalah suatu kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan (commission) atau
tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil (omission), yang dapat
mencederai pasien, tetapi cedera serius tidak terjadi :
a. Karena “keberuntungan”
b. Karena “pencegahan”
c. Karena “peringanan”
4. Kesalahan Medis/Medical Errors :
Adalah kesalahan yang terjadi dalam proses asuhan medis yang mengakibatkan
atau berpotensi mengakibatkan cedera pada pasien.
5. Kejadian Sentinel/Sentinel Event :
Adalah suatu KTD yang mengakibatkan kematian atau cedera yang serius; biasanya
dipakai untuk kejadian yang sangat tidak diharapkan atau tidak dapat diterima,
seperti : operasi pada bagian tubuh yang salah.
Pemilihan kata “sentinel” terkait dengan keseriusan cedera yang terjadi (seperti,
amputasi pada kaki yang salah) sehingga pencarian fakta terhadap kejadian ini
mengungkapkan adanya masalah yang serius pada kebijakan dan prosedur yang
berlaku.
34
E. TATA LAKSANA
1. Memberikan pertolongan pertama sesuai dengan kondisi yang terjadi pada pasien.
2. Melaporkan pada dokter jaga Unit Pelayanan Intensif.
3. Memberikan tindakan sesuai dengan instruksi dokter jaga.
4. Mengobservasi keadaan umum pasien.
5. Mendokumentasikan kejadian tersebut pada formulir “Pelaporan Insiden
Keselamatan”
35
2. Peningkatan Komunikasi yang Efektif
Komunikasi efektif adalah tepat waktu, akurat, jelas, dan mudah dipahami oleh
penerima, sehingga dapat mengurangi tingkat kesalahan (kesalahpahaman).
Prosesnya adalah pemberi pesan secara lisan memberikan pesan, setelah itu
dituliskan secara lengkap isi pesan tersebut oleh si penerima pesan; isi pesan
dibacakan kembali (read back) secara lengkap oleh penerima pesan; dan penerima
pesan mengkonfirmasi isi pesan kepada pemberi pesan.
Komunikasi dilakukan sedemikian sehingga isi pesan yang hendak disampaikan
benar-benar diterima oleh penerima sesuai dengan maksud pemberi pesan.
Komunikasi per lisan dengan menggunakan telepon dilaksanakan sedemikian
sehingga sebelum pembicaraan diakhiri, penerima informasi/instruksi mengulang
kembali informasi/instruksi yang diberikan dan pemberi informasi/instruksi
mengecek kebenaran informasi/ instruksi yang diberikan. (lihat SPO Konsultasi
dengan Dokter per Telepon). Informasi/instruksi lisan yang telah diterima segera
dicatat pada status rekam medis pasien, untuk selanjutnya pada kesempatan
pertama dimintakan tanda tangan dari pemberi instruksi.
3. Peningkatan Keamanan Obat yang Perlu diwaspadai (High Alert Medications)
Sasaran high alert medication ditujukan pada identifikasi, pengelolaan, pelaporan
serta dokumentasi obat-obat yang mempunyai risiko tinggi menyebabkan cedera
pada pasien bila digunakan secara salah. Obat-obat yang perlu diwaspadai (High
Alert Medications) adalah obat-obat yang mempunyai risiko tinggi menyebabkan
cedera pada pasien bila digunakan secara salah yang daftarnya diperoleh dari hasil
inventarisasi unit pelayanan. Obat-obatan yang perlu diwaspadai diberi label
khusus dengan menggunakan stiker berwarna (lihat SPO Pemberian Label Obat
yang Perlu Diwaspadai).
LASA (nama obat, rupa dan ucapan mirip) adalah obat-obat yang memiliki nama,
rupa dan ucapan mirip yang perlu diwaspadai khusus agar tidak terjadi kesalahan
pengobatan (dispensing error) yang bisa menimbulkan cedera pada pasien.
Pemberian obat-obatan tersebut diberikan kepada pasien dengan melakukan
pengecekan ulang atas obat dan pasien yang akan diberi.
4. Kepastian Tepat Pasien, Tepat Lokasi, Tepat Prosedur Operasi
Tindakan Pembedahan dilakukan oleh dokter harus menjamin ketepatan pada pasien
36
dan pada Lokasi yang tepat, dan menggunakan metode yang sesuai untuk mencegah
komplikasi anestesi dan melindungi pasien dari rasa nyeri. Dokter mengidentifikasi
dan mengantisipasi secara efektif ancaman hilangnya fungsi pernapasan, risiko
kehilangan darah, menghindari penggunaan obat yang dapat menimbulkan reaksi
alergi atau reaksi obat yang tidak dikehendaki pada pasien yang diketahui berisiko,
secara konsisten menggunakan metode pencegahan terjadinya infeksi luka operasi,
mencegah tertinggalnya instrumen bedah dan/atau kasa pada luka/tempat operasi,
mengidentifikasi secara akurat dan mengamankan spesimen bedah, dan melakukan
komunikasi dan konsultasi atas informasi penting atas jalannya tindakan pembedahan
yang aman. Formulir Persetujuan Tindakan Medis (informed consent) harus sudah
ditandatangani oleh yang berkepentingan, segera setelah penjelasan/ informasi yang
diperlukan disampaikan kepada pasien dan/ atau keluarganya (lihat SPO
Persetujuan Tindakan Medis).
5. Pengurangan Risiko Infeksi Terkait Pelayanan Kesehatan - Hand Hygiene
Semua bahan/material yang terkontaminasi darah dan komponen cairan tubuh
pasien harus dianggap berpotensi terhadap penularan infeksi, oleh karena itu perlu
dilakukan penggunaan alat pelindung diri (APD) dan dilakukan prosedur
dekontaminasi terlebih dahulu (lihat SPO Penggunaan APD dan SPO
Dekontaminasi)
Semua peralatan medis yang akan dipergunakan untuk melakukan prosedur invasif
terhadap pasien harus terjamin sterilitasnya (lihat SPO Sterilisasi Alat)
Semua tenaga medis/ keperawatan/ paramedis lain harus melakukan cuci tangan
sebelum dan setelah melakukan tindakan terhadap pasien (lihat SPO Cuci Tangan).
Pasien perlu diberi informasi mengenai maksud dan tujuan tindakan cuci tangan
serta setiap prosedur septik dan antiseptik yang dilakukan terhadapnya
Mencuci tangan adalah prosedur tindakan membersihkan tangan dengan
menggunakan sabun/ anti septic di bawah air bersih yang mengalir atau cairan
lainnya. Lima momen cuci tangan, meliputi : sebelum kontak dengan pasien ;
sebelum tindakan aseptik ; setelah kontak pasien ; setelah kontak cairan tubuh
pasien ; setelah kontak lingkungan.
37
a. Gosokkan kedua telapak tangan.
38
Pasien yang telah diidentifikasi berpotensi atas resiko jatuh wajib dimonitor dan
dilakukan tindakan pencegahan (lihat SPO Pencegahan Pasien dengan Risiko
Jatuh).
Asesmen harus sudah ditetapkan dalam waktu selambat-lambatnya 24 jam sejak
pasien dirawat di Rumah Sakit. Asesmen dilakukan oleh dokter penanggung jawab
pasien (DPJP) dan / atau perawat (minimal penanggung jawab shift / kepala tim)
dengan menentukan skore risiko jatuh berdasarkan Morse Fall Scale.
Terhadap semua pasien baru dilakukan penilaian atau asesmen atas potensi risiko
jatuh dan penilaian diulang jika diindikasikan adanya perubahan kondisi pasien
atau pengobatan yang menimbulkan adanya risiko jatuh. Hasil penilaian dimonitor
dan ditindaklanjuti sesuai level risiko jatuh. Seluruh pasien rawat inap dinilai risiko
jatuh dengan menggunakan lembar penilaian risiko jatuh. Penilaian memakai
formulir Morse Fall Scale (MFS).
39
e. Hasil grading akan memeriksa laporan dan melakukan grading risiko terhadap
insiden yang dilakukan sebagai berikut : (Pembahasan lebih lanjut lihat BAB
III)
f. Grade biru : investigasi sederhana oleh atasan langsung, waktu maksimal 1
minggu.
g. Grade hijau : investigasi sederhana oleh Atasan langsung, waktu maksimal 2
minggu.
h. Grade kuning : investigasi komprehensif/Analisis akar masalah/RCA oleh tim
KP di RS, waktu maksimal 45 hari.
i. Grade merah : investigasi komprehensif/Analisis akar masalah/RCA oleh Tim
KP di RS, waktu maksimal 45 hari.
j. Setelah selesai melakukan investigasi sederhana, laporan hasil investigasi dan
laporan insiden dilaporkan ke Tim KP di RS.
k. Tim KP di RS akan menganalisa kembali hasil investigasi dan laporan insiden
untuk menentukan apakah perlu dilakukan investigasi lanjutan (RCA) dengan
melakukan Regrading.
l. Untuk grade Kuning/Merah, Tim KP di RS akan melakukan Analisa akr
masalah/Root Cause Analysis (RCA).
m. Setelah melakukan RCA, Tim KP di RS akan membuat laporan dan
Rekomendasi untuk perbaikan serta “Pembelajaran” berupa : Petunjuk/”Safety
Alert” untuk mencegah kejadian yang sama terulang kembali.
n. Hasil RCA, rekomendasi dan rencana kerja dilaporkan kepada Direksi.
o. Rekomendasi untuk “Perbaikan dan Pembelajaran” diberikan umpan balik
kepada unit kerja terkait.
p. Unit Kerja membuat analisa dan trend kejadian di satuan kerjanya masing-
masing.
q. Monitoring dan Evaluasi Perbaikan oleh Tim KP di RS. (Alur : Lihat Lampiran
4)
2. Alur Pelaporan Insiden Ke Tim Keselamatan Pasien di RS (Internal)
a. Faktor Kontributor
40
Adalah keadaan, tindakan atau faktor yang mempengaruhi dan berperan dalam
mengembangkan dan atau meningkatkan resiko suatu kejadian (misalnya
pembagian tugas yang tidak sesuai kebutuhan).
Contoh :
1) Faktor kontributor di luar organisasi (eksternal)
2) Faktor kontributor dalam organisasi (internal), misal : tidak adanya prosedur
3) Faktor kontributor yang berhubungan dengan petugas (kognitif atau perilaku
petugas yang kurang, lemahnya supervisi, kurangnya tim kerja atau
komunikasi).
4) Faktor kontributor yang berhubungan dengan keadaan pasien.
b. Analisa akar masalah/ Root Cause Analysis (RCA)
Adalah suatu proses berulang yang sistematik dimana faktor-faktor yang
berkontribusi dalam suatu insiden diidentifikasi dengan merekonstruksi
kronologis kejadian menggunakan pertanyaan “kenapa” yang diulang hingga
menemukan akar penyebabnya dan penjelasannya. Pertanyaan “kenapa” harus
ditanyakan hingga tim investigator mendapatkan fakta, bukan hasil spekulasi.
Banyak metode yang digunakan untuk mengidentifikasi resiko, salah satu
caranya adalah dengan mengembangkan sistem pelaporan dan sistem analisis.
Dapat dipastikan bahwa sistem pelaporan akan mengajak semua orang dalam
organisasi untuk peduli akan bahaya/ potensi bahaya yang dapat terjadi kepada
pasien. Pelaporan juga penting digunakan untuk memonitor upaya pencegahan
terjadinya kesalahan sehingga diharapkan dapat mendorong dilakukannya
investigasi selanjutnya.
c. Pertanyaan yang sering diajukan
1) Mengapa pelaporan insiden penting?
Karena pelaporan akan menjadi awal proses pembelajaran untuk mencegah
kejadian yang sama terulang kembali.
2) Bagaimana memulainya?
Dibuat suatu sistem pelaporan insiden di rumah sakit meliputi kebijakan,
alur pelaporan, formulir pelaporan dan prosedur pelaporan yang harus
disosialisasikan pada semua karyawan.
3) Apa yang harus dilaporkan?
41
Insiden yang dilaporkan adalah kejadian yang sudah terjadi, potensial terjadi
ataupun yang nyaris terjadi.
4) Siapa yang membuat Laporan Insiden?
Siapa saja atau semua staf RS yang menemukan kejadian
Siapa saja atau semua staf yang terlibat dalam kejadian.
5) Masalah apa yang dihadapi dalam Laporan Insiden?
a) Laporan dipersepsikan sebagai “pekerjaan perawat”
b) Laporan sering disembunyikan, karena takut disalahkan.
c) Laporan sering terlambat
d) Bentuk laporan miskin data karena adanya budaya blame culture.
6) Bagaimana cara membuat Laporan Insiden?
Karyawan diberikan pelatihan mengenai sistem pelaporan insiden mulai dari
maksud, tujuan dan manfaat laporan, alur pelaporan, bagaimana cara
mengisi formulir laporan insiden, kapan harus melaporkan, pengertian-
pengertian yang digunakan dalam sistem pelaporan dan cara menganalisis
laporan.
42
BAB VII
KESELAMATAN KERJA
43
Fasilitas dan peralatan berpengaruh terhadap kualitas keselamatan kerja. Fasilitas
yang dibangun dengan tidak memenuhi persyaratan konstruksi dan bangunan dapat
menjadi pemicu timbulnya kecelakaan kerja maupun penyakit akibat kerja. Peralatan
yang tidak dilengkapi dengan pengamanan dan pemeliharaan secara rutin dapat
menimbulkan bahaya bagi operator maupun pemakainya. Fasilitas dan peralatan
yang digunakan di ICU harus memenuhi/menjamin keselamatan bagi petugas
maupun pasien.
a. Fasilitas
Tersedia fasilitas untuk menyimpan peralatan monitor, ventilator, pompa infus
dan pompa syringe, peralatan dialisis, alat-alat sekali pakai, cairan, penggantung
infus, troli, penghangat udara darah, alat hisap, linen dan tempat penyimpanan
barang dan alat bersih.
Tersedia ruang untuk membersihkan alat-alat, pemeriksaan urin, pengosongan dan
pembersihan pispot dan botol urin. Desain unit menjamin tidak kontaminasi.
Fasilitas air bersih cukup, perpipaan terlindung dari kontaminasi dan memenuhi
persyaratan kesehatan baik secara kimia maupun biologis.
Fasilitas pengelolaan air limbah dari unit pelayanan intensif yang memenuhi
persyaratan kesehatan sehingga tidak terjadi kontaminasi.
Fasilitas komunikasi baik, dapat digunakan sewaktu-waktu dalam keadaan
darurat.
Fasilitas jaringan listrik, bahwa semua bagian yang bertegangan dilindungi
terhadap sentuhan yang tidak sengaja/sumber listrik dengan penutup/pengaman.
b. Peralatan
Peralatan dilengkapi dengan petunjuk penggunaan alat
Semua peralatan yang digunakan di Unit Pelayanan Intensif harus dilengkapi
dengan petunjuk penggunaan alat yang tertempel/ terpasang disetiap peralatan.
Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi keselahan penggunaan peralatan yang
dapat membahayakan pasien maupun operator.
1) Alat Pelindung Diri
Alat pelindung diri (APD) difungsikan untuk petugas Unit Pelayanan Intensif
dalam pelaksanaan tugasnya untuk melindungi dari bahaya kemungkinan
44
terjadinya kontaminasi sumber penyakit dan kemungkinan kecelakaan kerja.
APD untuk petugas Unit Pelayanan Intensif meliputi:
a) APD kepala
b) APD hidung/masker
c) APD tangan
d) Baju pelindung
e) APD kaki
2) Alat Pemadam Api Ringan (APAR)
Alat pemadam api ringan ialah alat yang ringan serta mudah dilayani oleh satu
orang untuk memadamkan api pada mula terjadi kebakaran. APAR tersedia di
Unit Pelayanan Intensif dan ditempatkan pada area yang mudah dijangkau serta
dapat dalam keadaan baik sehingga dapat digunakan sewaktu-waktu.
3) Pemeliharaan dan Kaliberasi Alat
Pemeliharaan dan kaliberasi peralatan diperlukan untuk menjamin kualitas
peralatan setiap saat digunakan.
3. Keselamatan dan Kesehatan Tenaga Pelaksana
Keselamatan dan kesehatan kerja terkait kegiatan Tim Pelaksana Program
Pengendalian Resistensi Antimikroba dipengaruhi pula oleh faktor manusia, dalam
hal ini adalah sikap dan perilaku.
Upaya yang dapat dilakukan dengan :
a. Peningkatan ketrampilan dan pengetahuan petugas tentang keselamatan dan
kesehatan kerja.
b. Monitoring kesehatan petugas
45
5) Memberikan bantuan dalam batas wewenangnya.
6) Meminta bantuan bila mengalami kesukaan/kesulitan.
7) Melakukan pelaporan dalam hal :
a) Pekerjaan selesai dilakukan
b) Terjadi pada pekerjaan atau lingkungan
c) Keadaan luar biasa pada lingkungan.
b. Sikap-sikap berikut tidak memenuhi persyaratan kerja :
1) Tidak bersedia memakai alat pelindung diri yang telah disediakan.
2) Melanggar peraturan keselamatan dan kesehatan kerja yang diwajibkan
dengan sengaja.
3) Tergesa–gesa dan kurang berhati-hati dalam pekerjaan.
4) Bersikap kasar, bersenda gurau atau berkelakar sambil bekerja.
5) Tidak memahami arti kerugian rumah sakit dan dirinya.
46
BAB VIII
PENGENDALIAN MUTU
47
BAB IX
PENUTUP
48
TIM PPRA
(PROGRAM PENGENDALIAN RESISTEN ANTIMIKROBA)
RUMAH SAKIT MEDIKA MULIA
Kepada Yth :
Direktur RS. Medika Mulia
Di RSMM
Dengan hormat,
Untuk meningkatkan mutu dan keselamatan pasien maka kami mengajukan permohonn
penetapan Pengorganisasian Tim PPRA, sebagaimana terlampir.
Demikian permohonan ini kami sampaikan, atas perhatian bapak Direktur dan
terkabulkannya permohonan ini kami ucapkan terima kasih.
Mengetahui,
Ketua Tim PPRA
49
dr. DENY PERDANA, SpP
Disposisi Direktur :
…………………………………………………………………………………………….
………………….
……………………………………………………………………………….
………………………………………………………………………………………………..
Direktur,
RS. Medika Mulia
50