A. Definisi
Exanthematous Drug Eruption merupakan erupsi makulapapular atau morbiliformis
disebut juga erupsi eksantematosa yang dapat diinduksi oleh obat. Erupsi ini merupakan salah
satu gejala klinis dari erupsi obat alergi yang mana merupakan suatu reaksi hipersensitivitas
terhadap obat dengan manifestasi pada kulit yang dapat disertai maupun tidak keterlibatan
dengan mukosa.1,2
C. Etiologi
D. Patogenesis
Beberapa studi menunjukkan hubungan kuat antara human lymphocyte allele (HLA)
dengan erupsi obat alergi (EOA), misalnya HLB*1502 pada kasus sindrom Stevens-Johnson
yang disebabkan karbamazepin pada etnis Han-Cina. Temuan lain misalnya HLA B*5701 pada
kasus sindrom hipersensitivitas obat yang disebabkan oleh abacavir.1
Berdasarkan klasifikasi Coombs dan Gell, patomekanisme yang mendasari EOA dibagi
menjadi 4 mekanisme, yaitu: 1
1. Tipe I dimediasi oleh IgE yang dapat menyebabkan reaksi anafilaktisis, urtikaria dan
angiodedema, timbul sangat cepat, terkadang dapat urtikaria / angioedema persisten beberapa
minggu setelah obat dihentikan.
2. Tipe II merupakan mekanisme sitotoksik yang diperantarai rekasi antigen, IgG dan komplemen
terhadap eritrosit, leukosit, trombosit atau sel prekursol hematologic lain. Oabt yang dapat
menyebabkan hipersensitivitas tipe ini antara lain, golongan penisilin, sefalosporin, streptomisin,
klorpromasin, sulfonamide, analgesik dan antipiretik.
3. Tipe III adalah reaksi imun kompleks yang sering terjadi akibat penggunaan obat sistemik dosis
tinggi dan terapi jangka panjang, menunjukan manifestasi berupa vaskulitis pada kulit dan
penyakit autoimun yang diinduksi oleh obat.
4. Tipe IV, yang mendasari insiden EOA diperantarai oleh limfosit T dengan manifestasi klinis
erupsi ringan hingga berat. Selain pada kulit, reaksi hipersensitivitas dapat melibatkan hati,
ginjal, dan organ tubuh lain. Reaksi hipersensitivitas yang dimediasi sel T terbagi atas 4 subklas
yaitu tipe IVa hingga IVd.
Untuk lebih jelas, perhatikan klasifikasi erupsi obat alergi pada bagan 1.
Terdapat dua konsep patomekanisme pengenalan obat oleh sel T, yaitu: 1
E. Diagnosis
Gambar 1. Gambaran exanthematous drug eruption dengan lesi berbentuk makula dan papul dalam berbagai
ukuran2
Gambar 2. Eritema makulopapular yang disebabkan oleh ampicilin6
1. Measles
Ruam ini morbiliformis (yang berarti " seperti campak- "), istilah yang sering digunakan untuk
menggambarkan exanthematous akibat erupsi obat, dan biasanya gatal. Tidak seperti kebanyakan
erupsi obat, ruam terlihat pada campak sering dimulai pada kepala dan leher dan menyebar
dengan cepat. Ini biasanya dimulai beberapa hari setelah timbulnya demam, batuk, coryza, dan
konjungtivitis. Bintik-bintik putih pada mukosa bukal (bintik Koplik) membantu menegakkan
diagnosis. ruam atipikal atau yang khas dapat terjadi pada orang dewasa yang divaksinasi
sebelumnya, terutama mereka yang divaksin saat dewasa atau yang tidak lengkap divaksinasi.2
Gambar 4. Measles dan bintik komplik4
2. Rubella
Disebut sebagai campak Jerman. Gejala biasanya lebih ringan daripada yang terlihat di campak,
dengan ruam serupa yang biasanya menghilang dalam 3 atau 4 hari. Ruam berupa macula
eritematous dimulai dari wajah, leher punggung hingga ke seluruh badan. Ruam sering disertai
dengan demam, adenopati, dan artralgia.4,5
Gambar 5. Rubella4
H. Komplikasi
I. Prognosis
Prognosis EOA tipe ringan baik bila obat penyebab dapat diidentifikasi dan segera
dihentikan. Pada EOA tipe berat misalnya eritroderma dan nekrolisis epidermal toxin prognosis
dapat menjadi buruk disebabkan komplikasi yang terjadi misalnya sepsis.1,3
J. Pencegahan
Apabila obat tersangka penyebab erupsi obat alergi telah dapat dipastikan maka sebaiknya
kepada penderita diberikan catatan berupa kartu kecil yang memuat jenis obat tersebut (serta
golongannya). Kartu tersebut dapat ditunjukannya bilamana diperlukan (misalnya apabila
penderita berobat), sehingga dapat dicegah pajanan ulang yang memungkinkan terulangnya
erupsi obat alergi.10
DAFTAR PUSTAKA
1. Budianti WK. Erupsi obat alergik. Dalam: Menaldi SLSW, Bramono K, Indriatmi W, editors.
Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi 7. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokeran Univesitas
Indonesia; 2015. h. 190-5.
2. Stern RS. Exanthematous drug eruption. N Engl J Med. 2012; 366(26): 2492-501.
3. Hausmann O, Schnyder B, Pichler WJ. Etiology and pathogenesis of advers drug reaction. Chem
Immunol Allergy. 2012; 97(4): 32-46.
4. Paz M, Costanedo T, Zug KA. Alergic contact dermatitis In: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest
BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolf K, editors. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. 8th
ed. New York: Mc Graw Hill; 2012. p. 247
5. Belazarian LT, et al. Exanthematous viral disease In: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA,
Paller AS, Leffell DJ, Wolf K, editors. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. 8th ed.
New York: Mc Graw Hill; 2012. p. 3233-25
6. Breathnach SM. Drug reaction. In: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C, editors. Rook’s
textbook of dermatology. 8th ed. UK: Wiley-Blackwell; 2010. Ch. 75. p.75.22-75.23
7. Yang J, Yang X, Li M. Peripheral blood eosinophil counts predict the prognosis of drug
eruptions. J Invest Allergol Clin Immunol. 2013; 24 (4): 248-55.
8. Revuz J, Laurence VA. Drug reaction. Dermatology. 2nd ed. Philadelphia: Elsevier Inc; 2008:
Ch. 22. p. 301-19.
9. James WD, Berger TG, Elston DM. Contact dermatitis and drug eruption. Andrews’ diseases of
the skin clinical dermatology. 8th ed. Philadelphia: Elsevier Inc; 2006. Ch.6. p. 118-44.
10. Knowles NH, Shear SR. Cutaneous reactions to drug. In: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA,
Paller AS, Leffell DJ, Wolf K, editors. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. 8th ed.
New York: Mc Graw Hill; 2012. p. 666-67
Diposting 30th December 2015 oleh Frans Irapanussa
Label: KOASS
0
HUBUNGAN TERAPI HIPERBARIK
OKSIGEN DENGAN INFERTILITAS
Rering GS, Pratama DO, Wattiheluw IZ, Alyanto TFD, Titarsole HRF, Ohoiwirin
MM
I. INFERTILITAS
Infertilitas merupakan kondisi yang umum ditemukan dan dapat disebabkan oleh
faktor perempuan, laki-laki, maupun keduanya.Infertilitas dapat juga tidak diketahui
penyebabnya yang dikenal dengan istilah infertilitas idiopatik.Masalah infertilitas dapat
memberikan dampak besar bagi pasangan suami-istri yang mengalaminya, selain
menyebabkan masalah medis, infertilitas juga dapatmenyebabkan masalah ekonomi
maupun psikologis. Secara garis besar, pasangan yang mengalami infertilitas akan
menjalani proses panjang dari evaluasi dan pengobatan, dimana proses ini dapat menjadi
beban fisik dan psikologis bagi pasangan infertilitas.
B. EPIDEMIOLOGI
Persentase perempuan umur 15-49 tahun yang mengalami infertilitas primer di Asia
dapat dilihat pada tabel 1.berikut ini:
Gaya hidup
Alkohol dikatakan dapat berdampak pada fungsi sel Leydig dengan mengurangi
sintesis testosteron dan menyebabkan kerusakan pada membran basalis. Konsumsi
alkohol yang berlebihan dapat menyebabkan gangguan pada fungsi hipotalamus dan
hipofisis.8
Konsumsi satu atau dua gelas alkohol, satu sampai dua kali per minggu tidak
meningkatkan risiko pertumbuhan janin.2
Konsumsi alkohol tiga atau empat gelas sehari pada laki-laki tidak mempunyai
efek terhadap fertilitas.2
Konsumsi alkohol yang berlebihan pada laki-laki dapat menyebabkan penurunan
kualitas semen.2
2. Merokok
Perempuan yang memiliki indeks massa tubuh (IMT) lebih dari 29, cenderung
memerlukan waktu yang lebih lama untuk mendapatkan kehamilan.2
Tindakan menurunkan berat badan pada perempuan yang memiliki IMT > 29 dan
mengalami anovulasi akan meningkatkan peluang untuk hamil.2
Laki-laki yang memiliki IMT > 29 akan mengalami gangguan fertilitas.2
Upaya meningkatkan berat badan pada perempuan yang memiliki IMT < 19 serta
mengalami gangguan haid akan meningkatkan kesempatan terjadinya
pembuahan.2
5. Olahraga
6. Stress
Perasaan cemas, rasa bersalah, dan depresi yang berlebihan dapat berhubungan
dengan infertilitas, namun belum didapatkan hasil penelitian yang adekuat
Berdasarkan studi yang dilakukan, perempuan yang gagal hamil akan mengalami
kenaikan tekanan darah dan denyut nadi, karena stress dapat menyebabkan
penyempitan aliran darah ke organ-organ panggul.
Asam lemak seperti EPA dan DHA (minyak ikan) dianjurkan pada pasien
infertilitas karena akan menekan aktifasi nuclear faktor kappa B
Beberapa antioksidan yang diketahui dapat meningkatkan kualitas dari sperma,
diantaranya:
- Kombinasi asam folat dan zink dapat meningkatkan konsentrasi dan
morfologi sperma
8. Obat-Obatan
Pekerjaan
Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menghindari atau menurunkan faktor
risiko terjadinya infertilitas, diantaranya adalah.2,3
- Mengobati infeksi yang terjadi pada organ reproduksi. Diketahui bahwa infeksi yang
terjadi pada prostat maupun saluran sperma, dapat menyebabkan infertilitas pada
laki-laki.
- Menghindari bahan-bahan yang menyebabkan penurunan kualitas dan jumlah dari
sperma dan sel telur seperti rokok dan alkohol
- Berperilaku hidup sehat
Faktor perempuan
Gangguan ovulasi: seperti SOPK, gangguan pada siklus haid, insufiensi ovarium
primer
Kelas 4 : Hiperprolaktinemia
Gangguan tuba dan pelvis
- Oklusi tuba proksimal tanpa adanya fibrosis atau oklusi tuba distal tanpa ada
distensi.
b. Sedang/Grade 2
c. Berat/Grade 3
Faktor laki-laki
Infertilitas dapat juga disebabkan oleh faktor laki-laki, dan setidaknya sebesar 30-
40% dari infertilitas disebabkan oleh faktor laki-laki, sehingga pemeriksaan pada laki-
laki penting dilakukan sebagai bagian dari pemeriksaan infertilitas. Fertilitas laki-laki
dapat menurun akibat dari:11
Di Inggris, jumlah sperma yang rendah atau kualitas sperma yang jelek merupakan
penyebab utama infertilitas pada 20% pasangan. Kualitas semen yang terganggu,
azoospermia dan cara senggama yang salah, merupakan faktor yang berkontribusi pada
50% pasangan infertilitas.2Infertilitas laki-laki idiopatik dapat dijelaskan karena beberapa
faktor, termasuk disrupsi endokrin yang diakibatkan karena polusi lingkungan, radikal
bebas, atau kelainan genetik.12
Tabel 5.Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Infertilitas Laki-Laki Dan Distribusi Persentase
Pada Pasien13
- Perempuan yang memiliki siklus haid teratur dan telah mengalami
infertilitas selama 1 tahun, dianjurkan untuk mengkonfirmasi terjadinya
ovulasi dengan cara mengukur kadar progesteron serum fase luteal madya
(hari ke 21-28)
- Perempuan dengan siklus haid yang tidak teratur disarankan untuk
melakukan pemeriksaan darah untuk mengukur kadar hormon
gonadotropin (FSH dan LH).
- Pemeriksaan kadar hormon prolaktin dapat dilakukan untuk melihat apakah
ada gangguan ovulasi, galaktorea, atau tumor hipofisis
- Pemeriksaan fungsi tiroid pada pasien dengan infertilitas hanya dilakukan
jika pasien memiliki gejala
- Biopsi endometrium untuk mengevaluasi fase luteal sebagai bagian dari
pemeriksaan infertilitas tidak direkomendasikan karena tidak terdapat
bukti bahwa pemeriksaan ini akan meningkatkan kehamilan.
b. Normo-responder (FAB > 6-8 folikel / AMH 1.2 - 4.6 ng/ml)
c. Poor-responder (FAB < 6-8 folikel / AMH < 1.2 ng/ml)
Tabel 7. Beberapa Metode Yang Dapat Digunakan Dalam Penilaian Uterus
Riwayat Pembedahan
Undescended testis
Hernia
Trauma testis, torsio testis
Bedah pelvis, retroperitoneal, kandung kemih
Riwayat Fertilitas
Kehamilan sebelumnya – dengan pasangan saat ini atau sebelumnya
Lama infertilitas
Penanganan infertilitas sebelumnya
Riwayat sexual
Ereksi atau masalah ejakulasi
Frekuensi hubungan seksual
Pengobatan
Nitrofurantoin, simetidin, sulfasalazin, spironolakton, -alfa blockers, metotreksat,
kolkisin, amiodaron, antidepresan, kemoterapi
Riwayat Sosial
Alkohol, rokok, penggunaan steroid
Paparan radiasi dan panas
Pestisida
Analisis Sperma4
- Penapisan antibodi antisperma tidak dianjurkan karena tidak ada bukti
pengobatan yang dapat meningkatkan fertilitas
- Jika pemeriksaan analisis sperma dikatakan abnormal, pemeriksaan ulang
untuk konfirmasi sebaiknya dilakukan
- Analisis sperma ulang untuk mengkonfirmasi pemeriksaan sperma yang
abnormal, dapat dilakukan 3 bulan pasca pemeriksaan sebelumnya sehingga
proses siklus pembentukan spermatozoa dapat terjadi secara sempurna.
Namun jika ditemukan azoospermia atau oligozoospermia berarti pemeriksaan
untuk konfirmasi harus dilakukan secepatnya.
Tabel 10. Referensi Hasil Analisa Sperma Menurut WHO 2010
- Pemeriksaan Computer-Aided Sperm Analysis (CASA)
Untuk melihat jumlah, motilitas dan morfologi sperma, pemeriksaan ini tidak
dianjurkan untuk dilakukan karena tidak memberikan hasil yang lebih baik
dibandingkan pemeriksaan secara manual
- Histeroskopi
- Laparoskopi
Pada Wanita
Oogenesis merupakan awal dari proses ovulasi. Oogenesis adalah proses
pembentukan ovum di dalam ovarium dan di dalam ovarium terdapat oogonium atau sel
indung telur. Oogonium bersifat diploid dengan 46 kromosom atau 23 pasang kromosom.
Oogonium akan memperbanyak diri dengan cara mitosis membentuk oosit primer. Kemudian
oosit primer mengalami meiosis I, yang akan menghasilkan oosit sekunder dan badan polar I
(polosit primer). Selanjutnya, oosit sekunder meneruskan tahap meiosis II dan menghasilkan
satu sel besar yang disebut ootid dan satu sel kecil yang disebut badan polar kedua (polosit
sekunder).Badan polar pertama juga membelah menjadi dua badan polar kedua. Akhirnya,
ada tiga badan polar dan satu ootid yang akan tumbuh menjadi ovum dari oogenesis setiap
satu oogonium.
Pada Pria
Semen Cairan yang diejakulasikan pada saat orgasme, yakni semen (air mani),
mengandung sperma dan sekret vesikula seminalis, prostat, kelenjar Cowper, dan
mungkin kelenjar uretra (Tabel 2.3). Volume rerata per ejakulat adalah 2,5-3,5 mL
setelah beberapa hari tidak dikeluarkan. Volume semen dan hitung sperma menurun cepat
bila ejakulasi berkurang.Walaupun hanya diperlukan satu sperma untuk membuahi ovum,
setiap milliliter semen normalnya mengandung 100 juta sperma. Lima puluh persen pria
dengan hitung sperma 2040 juta/mL dan pada dasarnya, semua pria dengan nilai hitung
yang kurang dari 20 juta/mL dianggap mandul. Adanya banyak spermatozoa yang
immotil atau cacat juga berkorelasi dengan infertilitas.Prostaglandin dalam semen, yang
sebenarnya berasal dari vesikula seminalis, kadarnya cukup, namun fungsi turunan asam
lemak in di dalam semen tidak diketahui. Sperma manusia bergerak dengan kecepatan
sekitar 3 mm/menit melintasi saluran genitalia wanita. Sperma mencapai tuba uterina 30-
60 menit setelah kopulasi. Pada beberapa spesies, kontraksi organ wanita mempermudah
transportasi sperma ke tuba uterina, namun tidak diketahui apakah kontraksi semacam
itu penting pada manusia.
1. Gangguan reproduksi sperma, misalnya akibat kegagalan testis primer
(hipergonadotropik hipogonadisme) yang disebabkan oleh faktor genetik (sindroma
klinefelter, mikrodelesi kromosom Y) atau kerusakan langsung lainnya terkait anatomi
(varikookel, crytorchidism), infeksi (mumps, orchitis), atau gonadotoksin. Stimulasi
gonadotropin yang tidak adekuat yang disebabkan karena faktor genetik (isolated
gonadotropin deficiency), efek langsung maupun tidak langsung dari tumor hippotalamus
atau pituitari, atau penggunaan androgen eksogen, misalnya Danazol, Metiltestoteron
(penekanan pada sekresi gonadotropin) merupakan penyebab lain dari produksi sperma
yang buruk.
2. Gangguan fungsi sperma, misalnya akibat antibodi antisperma, radang saluran genital
(prostatitis), varikokel, kegagalan reaksi akrosom, ketidaknormalan biokimia, atau
gangguan dengan perlengketan sperma (ke zona pelusida) atau penetrasi.
3. Sumbatan pada duktus, misalnya akibat vasektomi, tidak adanya vas deferens
bilateral, atau sumbatan kongenital atau yang didapat (acquired).
B. MEKANISME
Mekanisme TOHB melalui dua mekanisme yang berbeda.Pertama, bernafas
dengan oksigen murni dalam ruang udara bertekanan tinggi (hyperbaric chamber)
yang tekanannya lebih tinggi dibandingkan tekanan atmosfer, tekanan tersebut dapat
menekan saturasi hemoglobin, yang merupakan bagian dari sel darah merah yang
berfungsi mentransport oksigen yang secara kimiawi dilepaskan dari paru ke
jaringan.Bernafas dengan oksigen 100% pada atmosfer yang normal tidak efek pada
saturasi hemoglobin.
Kedua, di bawah tekanan atmosfer, lebih banyak oksigen gas terlarut dalam
plasma. Meskipun dalam kondisi normal transport oksigen terlarut dalam plasma
jauh lebih signifikan daripada transport oleh hemoglobin, dengan TOHB kontribusi
transportasi plasma untuk jaringan oksigenasi sangat meningkat. Sebenarnya,
menghirup oksigen murni pada tiga kali yang normal atmosfer.Hasil tekanan dalam
peningkatan 15 kali lipat dalam konsentrasi oksigen terlarut dalam plasma. Itu adalah
konsentrasi yang cukup untuk memasok kebutuhan tubuh saat istirahat bahkan dalam
total tidak adanya hemoglobin.
Sistem kerja TOHB, pasien dimasukkan dalam ruangan dengan tekanan lebih
dari 1 atm, setelah mencapai kedalaman tertentu disalurkan oksigen murni (100%)
kedalam ruang tersebut. Ketika kita bernapas dalam keadaan normal, udara yang kita
hirup komposisinya terdiri dari hanya sekitar 20% adalah oksigen dan 80%nya
adalah nitrogen.
Pada TOHB, tekanan udara meningkat sampai dengan 2 kali keadaan nomal dan
pasien bernapas dengan oksigen 100%. Pemberian oksigen 100% dalam tekanan
tinggi, menyebabkan tekanan yang akan melarutkan oksigen kedalam darah serta
jaringan dan cairan tubuh lainnya hingga mencapai peningkatan konsentrasi 20 kali
lebih tinggi dari normal.
Oksigenasi ini dapat memobilisasi penyembuhan alami jaringan, hal ini
merupakan anti inflamasi kuat yang merangsang perkembangan pembuluh darah
baru, dapat membunuh bakteri dan mengurangi pembengkakan.
C. INDIKASI
Hiperbarik dapat memiliki beberapa manfaat untuk mengobati penyakit-penyakit
akibat penyelaman dan kegiatan kelautan:
Penyakit Dekompresi
Emboli udara
Luka bakar
Crush Injury
Keracunan gas karbon monoksida (CO)
Terdapat beberapa pengobatan tambahan, yaitu:
Gas gangrene
Komplikasi diabetes mellitus (gangrene diabeticum)
Eritema nodosum
Osteomyelitis
Buerger’s diseases
Morbus Hansen
Psoriasis vulgaris
Edema serebral
Scleroderma
Lupus eritematosus (SLE)
Rheumatoid artritis
Terdapat pula pengobatan pilihan, yaitu:
Pelayanan kesehatan dan kebugaran
Pelayanan kesehatan olahraga
Pasien lanjut usia (geriatri)
Dermatologi dan kecantikan
D. KONTRAINDIKASI
Kontraindikasi terapi oksigen hiperbarik terdiri dari kontraindikasi absolute dan
relatif.Kontra indikasi absolute yaitu penyakit pneumothorax yang belum ditangani.
Kontraindikasi relatif meliputi keadaan umum lemah, tekanan darah sistolik lebih
dari 170 mmHg atau kurang dari 90 mmHg, diastole lebih dari 110 mmHg atau
kurang dari 60 mmHg, demam tinggi lebih dari 38oC, ISPA, sinusitis,
Claustropobhia (takut pada ruangan tertutup), penyakit asma, emfisema dan retensi
CO2, infeksi virus, infeksi kuman aerob seperti TBC, lepra, riwayat kejang, riwayat
neuritis optik, riwayat operasi thorax dan telinga, wanita hamil, penderita sedang
kemoterapi seperti terapi adriamycin, bleomycin.
E. PERSIAPAN
Persiapan terapi oksigen hiperbarik antara lain:
Pasien diminta untuk menghentikan kebiasaan merokoknya 2 minggu sebelum
proses terapi dimulai. Tobacco mempunyai efek vasokonstriksi sehingga
mengurangi penghantaran oksigen ke jaringan.
Beberapa medikasi dihentikan 8 jam sebelum memulai terapi oksigen hiperbarik
antara lain vitamin c, morfin dan alkohol.
Pasien diberikan pakaian yang terbuat dari 100% bahan katun dan tidak memakai
perhiasan, alat bantu dengar, lotion yang terbuat dari bahan dasar petroleum,
kosmetik, bahan yang mengandung plastik, dan alat elektronik.
Pasien tidak boleh menggunakan semua zat yang mengandung minyak atau
alkohol (yaitu, kosmetik, hairspray, cat kuku, deodoran, lotion, cologne, parfum,
salep) dilarang karena berpotensi memicu bahaya kebakaran dalam ruang oksigen
hiperbarik.
Pasien harus melepaskan semua perhiasan, cincin, jam tangan, kalung, sisir
rambut, dan lain-lain sebelum memasuki ruang untuk mencegah goresan akrilik
silinder di ruang hiperbarik.
Lensa kontak harus dilepas sebelum masuk ke ruangan karena pembentukan
potensi gelembung antara lensa dan kornea.
Pasien juga tidak boleh membawa koran, majalah, atau buku untuk menghindari
percikan api karena tekanan oksigen yang tinggi berisiko menimbulkan
kebakaran.
Sebelum pasien mendapatkan terapi oksigen hiperbarik, pasien dievaluasi terlebih
dahulu oleh seorang dokter yang menguasai bidang hiperbarik. Evaluasi
mencakup penyakit yang diderita oleh pasien, apakah ada kontraindikasi terhadap
terapi oksigen hiperbarik pada kondisi pasien.
Sesi perawatan hiperbarik tergantung pada kondisi penyakit pasien. Pasien
umumnya berada pada tekanan 2,4 atm selama 90 menit. Tiap 30 menit terapi
pasien diberikan waktu istirahat selama 5 menit. Hal ini dilakukan untuk
menghindari keracunan oksigen pada pasien.
Terapi oksigen hiperbarik memerlukan kerjasama multidisiplin sehingga satu
pasien dapat ditangani oleh berbagai bidang ilmu kedokteran.
Pasien dievaluasi setiap akhir sesi untuk perkembangan hasil terapi dan melihat
apakah terjadi komplikasi hiperbarik pada pasien.
Untuk mencegah barotruma GI, ajarkan pasien benapas secara normal (jangan
menelan udara) dan menghindari makan besar atau makanan yang memproduksi
gas atau minum sebelum perawatan.
III. TERAPI HIPERBARIK PADA INFERTILITAS
Infertilitas pada wanita dapat didefinisikan sebagai kegagalan untuk dapat hamil
setelah 12 bulan berhubungan seksual tanpa pelindung, yang masih merupakan masalah
kesehatan yang mengganggu sebanyak 6 juta pasangan di Amerika saat ini. Wanita yang
mengalami kesulitan untuk hamil sering merasa tertekan dan putus asa, yang dapat
menyebabkan masalah pada hubungan serta kerusakan umum pada kesehatan
pribadi.Sementara kondisi tertentu yang dikenal meningkatkan risiko infertilitas, seperti
sindrom ovarium polikistik dan endometriosis, sebanyak sepertiga kasus tidak dapat
dijelaskan.Meskipun fakta ini, ketebalan dan suplai darah dari endometrium-membran
lapisan dalam rahim biasanya dianggap sebagai tolok ukur untuk menentukan fertilitas
seorang wanita.Persiapan yang adekuat dari endometrium selama siklus menstruasi
adalah penting untuk konsepsi terkait dengan peran langsung dalam implantasi embrio.
Faktanya, kegagalan implantasi merupakan masalah yang paling sering terjadi
berhubungan dengan fertilisasi in vitro.19
Agar konsepsi dapat berhasil, ketebalan endometrial yang ideal yakni 10mm,
dengan 7mm atau kurang sering dikaitkan dengan terjadinya infertilitas.Wanita dengan
ketidakadekuatan endometrium sangat berguna untuk disarankan pemberian dosis tinggi
estrogen, atau memberikan obat yang dapat meningkatkan aliran darah perifer seperti
pentoxifylline.Namun, banyak wanita merasa tidak menginginkan untuk menggunakan
terapi obat sekitar waktu kehamilan karena risiko kerusakan janin.
2. RCOG. Fertility: assessment and treatment for people with fertility problems. 2004.
4. Aleida G, Huppelschoten, Noortje T, Peter FJ, van Bommel , Kremer J, Nelen W.
Do infertile women and their partners have equal experiences with fertility care. Fertil
Steril. 2013;99(3).
5. Rybak EA. Wallach EE. Chapter 31. Infertility and assisted reproductive
technologies.in:Fortner, B Kimberly, Szymanski, M Linda, Fox, et all, editors. The
Johns Hopkins Manual of Gynecology and Obstetrics.3rd Ed. 2007. Lippincott
Williams & Wilkins.p
6. ASRM. Definitions of infertility and recurrent pregnancy loss: a committee opinion.
Fertil Steril. 2013;Jan 99(1):63.
8. Balen A, Jacobs H. Infertility in Practice. Leeds and UK: Elsevier Science; 2003.
9. Fritz M, Speroff L. Clinical Gynecologic Endocrinology & Infertility. 8th ed.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2010.
10. ASRM. Endometriosis and infertility: a committee opinion Fertil Steril. 2012;98:591-
8.
11. World Health Organization. WHO Manual for the Standardised Investigation and
Diagnosis of the Infertile Couple. Cambridge: Cambridge University Press 2000
13. Nieschlag E, Behre HM. Andrology (Eds), Male reproductive health and dysfunction,
2nd Ed. Springer Verlag, Berlin, Chapter 5, pp.83-87.
18. Kahyaoglu S. Does diagnostic laparoscopy have value in unexplained infertile couple
? A review of the current literature. 2012;4:124-28.
21. American Society for Reproductive Medicine. Hyperbaric oxygen and ovarian
follicular stimulation for in vitro fertilization; a pilot study. Elsevier Fertile Sterile
2005; 83: 226-8.
22. Mitrovic A, Jovanovic T. Hyperbaric oxygenation therapy in infertility patients.
Imedpub Journal Critical Care Obstetric and Gynecology. 2016; 2(1): 12.
23. Pineda JFG, Ortiz CGSL, Moguel GJS, Lopez CREC, Héctor Mondragón Alcocer,
Velasco ST. Téllez.Improvement in Serum Anti-Müllerian Hormone Levels in
Infertile Patients after Hyperbaric Oxygen (preliminary results). JBRA Assist.
Reprod. 2015; 19 (2):87-90
Label: KOASS
Tambahkan komentar
1.
Apr
18
Secara garis besar pemakaian dan mekanisme oksigen hiperbarik dalam proses
penyembuhan luka dapat dijelaskan sebagai berikut: Hipoksia pada luka dapat dikoreksi
dengan terapi oksigen yang bervariasi dari pemakaian intalasi oksigen 40% pada tekanan
udara bebas hingga oksigen 100% pada tekanan 2,5 Tekanan Atmosfir Absolut (ATA).
Tekanan yang tinggi diperlukan untuk oksigenasi di pusat luka kronis yang hipoksia.
Terapi oksigen hiperbarik pada tekanan 2 ATA memperlihatkan terjadinya peningkatan
oksigenasi jaringan yang mengalami hipoksia. Koreksi secara intermiten pada luka yang
hipoksia dengan terapi oksigen dapat meningkatkan replikasi fibroblas dan produksi
kolagen. Meningkatnya tekanan oksigen pada luka dapat meningkatkan aktifitas leukosit
untuk membunuh bakteri patogenik.
Sel PMN merupakan sel yang bertanggung jawab terhadap perlawanan infeksi
bakteri. Dengan menggunakan model S.aureus, Mader menunjukkan hubungan
proporsional antara tekanan oksigen dan kemampuan fagosit. Meningkatkan oksigen
hingga 150 mmHg dan 760 mmHg membunuh sebagian besar S.aureus.Penelitian
menunjukkan hasil terapi osteomyelitis staphylokokus membaik dengan terapi adjuvant
oksigen hiperbarik. Fibroblast tidak dapat mensintesa kolagen atau migrasi ke daerah
terinfeksi apabila tekanan oksigen kurang dari 20 mmHg.Meningkatkan tekanan oksigen
di atas 200 mmHg mengembalikan aktifitas fibroblastik ke dalam fungsi normal.
Sumber:
1. Manungkalit SM. Dasar-dasar terapi hiperbarik. Temu Ilmiah Dokter Gigi TNI dan Polri Se-
Indonesia. Ladokgi TNI AL. Jakarta, 15 April 2003
2. Prameswari N, Fanny ML. Terapi oksigen hiperbarik sebagai terapi suportif pada
osteomielitis kronis pada rahang. Seminar penatalaksanaan Obat Secara Rasional. Departemen
Gigi dan Mulut Rumkit AL dan FKG UHT. Surabaya 1 Juni 2002.
Label: KOASS
Lihat komentar
2.
Apr
16
Tingginya usia pasien meningkatkan proporsi pasien yang dirawat di pusat-pusat trauma.
Belum ada data yang adekuat tentang pedoman dan penanganan perawatan trauma
geriatri yang optimal sehingga sulit untuk menentukan keputusan triase, mengoreksi
koagulopati dan keterbatasan resusitasi suprafisiologi.
METODE:
Lebih dari 400 kutipan MEDLINE diterbitkan antara tahun 2000 dan 2008 telah
diidentifikasi dan disaring. Sebanyak 90 referensi dipilih untuk pembuktian diikuti
dengan diskusi berbasis konsensus mengenai tingkat bukti dan kekuatan dari
rekomendasi yang dapat berasal dari temuan terkait studi individu.
HASIL:
Pada umumnya, batas bawah untuk aktivasi trauma harus digunakan untuk pasien cedera
berusia 65 tahun atau lebih yang dievaluasi pada pusat trauma. Selain itu, pasien usia
lanjut dengan setidaknya satu sistem tubuh dengan skor AIS 3 atau lebih tinggi atau
defisit dasar -6 atau kurang harus dirawat di pusat-pusat trauma, terutama di unit
perawatan intensif yang dikelola oleh ahli bedah. Selain itu, semua pasien orang tua yang
menerima terapi antikoagulan harian harus memiliki penilaian yang tepat tentang profil
koagulasi dan crosssectional pencitraan otak sesegera mungkin setelah tiba di tempat
perawatan. Pada pasien berusia 65 tahun atau lebih dengan Glasgow Coma Scale (GCS)
skor kurang dari 8 dan jika peningkatan substansial dalam GCS tidak disadari dalam
waktu 72 jam dari cedera, maka harus dipertimbangan untuk membatasi intervensi terapi
lanjut yang agresif.
KESIMPULAN:
Perawatan berbasis bukti yang efektif pada pasien geriatri memerlukan triase yang
agresif, koreksi koagulopati, dan perawatan yang cukup saat bukti klinis mengarah ke
suatu kemungkinan prognosis jangka panjang yang buruk. (J Trauma Acute Care Surg.
2012; 73.:S345-S350. Hak Cipta 2012 oleh Lippincott Williams & Wilkins)
KATA KUNCI:
PERNYATAAN MASALAH
Karena berkaitan dengan perawatan yang terluka, '' triage '' didefinisikan sebagai
''pemilahan dan alokasi pengobatan untuk pasien dan terutama korban pertempuran dan
bencana menurut sistem prioritas yang dirancang untuk memaksimalkan jumlah korban".
Untuk pasien tua, seringkali sulit untuk secara akurat mengidentifikasi tingkat keparahan
cedera dan tingkatan dari gangguan fisiologis karena perbedaan biologi terkait usia.
Selain itu, ada juga kompleks interaksi determinan sosial dan budaya yang mungkin
dapat menjelaskan mengapa banyak pasien trauma lansia tidak dilayani dengan agresif
seperti halnya terhadap pasien yang lebih muda.
Masalah klinis (pada cedera pasien usia lanjut) ditujukan oleh pedoman ini adalah
sebagai berikut:
1. Apakah kriteria triase usia lanjut untuk pusat trauma rujukan dan aktivasi?
2. Apakah defisit basa tinggi pengganti untuk cedera parah dan kebutuhan untuk perawatan
intensif?
3. Haruskah penarikan atau pembatasan perawatan dimulai semata-mata atas dasar usia
lanjut?
4. Apa pengaruh kondisi yang sudah ada sebelumnya dan komplikasi akibat cdera yang
baru terjadi?
5. Bagaimana seharusnya medication induced coagulopaty diobati?
6. Apakah itu berguna untuk mencoba resusitasi supraphysiologic setelah cedera?
Item di atas adalah isu yang dibahas oleh jurnal ini. Salah satu isu tambahan
relevansi khusus untuk orang tua tidak ditangani oleh jurnal ini adalah penggunaan
kateter epidural setelah trauma tumpul toraks.
PROSES
Database awal diambil menggunakan MEDLINE, dengan kutipan yang diterbitkan antara
tahun 2000 dan 2008. Menggunakan kata-kata pencarian 'geriatri', 'trauma’, 'elderly',
dan 'cedera' dan dengan membatasi pencarian ke kutipan berurusan dengan subyek
manusia dan diterbitkan dalam bahasa Inggris, lebih dari 400 kutipan diidentifikasi. surat
untuk editor, laporan kasus, ulasan, dan artikel yang berhubungan dengan Mekanisme
cedera ringan, patah tulang pinggul khususnya dari tergelincir dan jatuh, kemudian
dikeluarkan. Abstrak dari sisa kutipan masing-masing review, dan artikel-artikel yang
tidak mengatasi masalah yang berkaitan dengan tiga tujuan dari kajian ini dan kriteria
usia pasien, 65 tahun atau lebih tua, yang lebih dikecualikan. Ini menghasilkan total 64
artikel dengan
tabel pembuktian. Bibliografi 64 artikel yang kemudian ditinjau lebih lanjut, dan bertemu
delapan kriteria artikel tambahan yang disebutkan sebelumnya ditambahkan dengan total
referensi 90 dalam tabel pembuktian. Setiap referensi kemudian ditinjau oleh dua ahli
bedah trauma, dan konsensus yang dicapai yaitu mengenai klasifikasi yang tepat untuk
masing-masing referensi menurut Association for the Surgery of Trauma (EAST) primer
pada pengobatan berbasis bukti. Delapan belas artikel yang kemudian dikeluarkan dari
tabel pembuktian setelah diidentifikasi artikel review yang murni tanpa baru sintesis
informasi baru.
Kriteria untuk mencapai klasifikasi tertentu di tabel pembuktian akhir dan nomor
artikel untuk masing-masing kelas adalah sebagai berikut:
Kelas I: Percobaan control secara acak – standar dari percobaan klinik. Beberapa
mungkin dirancang dengan nomor yang tidak adekuat, atau metodologis lainnya tidak
adekuat (0 referensi).
Kelas II: Studi klinis di mana data dikumpulkan secara prospektif dan analisis
retrospektif yang didasarkan pada data yang lebih jelas. Jenis penelitian sehingga
diklasifikasikan termasuk studi observasi, studi kohort, studi prevalensi, dan studi case-
control (referensi 38).
Kelas III: Studi berdasarkan data retrospektif dikumpulkan. Barang Bukti digunakan
dalam kelas ini meliputi seri klinis, basis data atau ulasan registry, seri besar tinjauan
kasus, dan pendapat ahli (referensi 35).
REKOMENDASI
Pertanyaan 1
Haruskah usia menjadi penentu keputusan triase independen seperti pasien trauma
menerima perawatan sebagai golongan ''waspada'' di sebuah pusat trauma atau keputusan
pembuatan pembatasan perawatan ?
à Tingkat 1
1. Ada data kelas I dan kelas II yang cukup untuk mendukung setiap standar mengenai
salah satu pertanyaan yang diajukan oleh ini penanya.
à Tingkat 2
1. Pasien terluka dengan usia lanjut (usia ≥ 65 tahun) dan sudah ada sebelumnya kondisi
medis harus menurunkan ambang batas triase yang diverifikasi langsung di pusat trauma.
2. Usia pasien yang semakin lanjut bukan merupakan prediktor mutlak mudahnya trauma,
oleh karena itu, tidak harus digunakan sebagai satu-satunya kriteria untuk menolak atau
membatasi perawatan dalam hal ini populasi pasien.
3. Pendekatan agresif awal harus dikejar untuk pengelolaan pasien lansia kecuali ditentukan
langsung dari ahli bedah trauma berpengalaman tampaknya cedera beban yang berat dan
pasien tampak sekarat.
à Tingkat 3
1. Batas bawah untuk aktivasi trauma harus digunakan untuk pasien terluka berusia 65
tahun atau lebih yang dievaluasi pada pusat trauma.
2. Pasien lansia dengan luka parah anatomi (misalnya, satu atau sistem tubuh lebih dengan
Abbreviated Injury Scale (AIS) skor ≥ 3) harus dirawat di ruangan pusat trauma khusus,
terutama di unit perawatan intensif (ICU) dikelola oleh dokter bedah secara intensif.
3. Pada pasien berusia 65 tahun atau lebih dengan Glasgow Coma Scale (GCS) skor kurang
dari 8, jika peningkatan substansial di GCS tidak disadari dalam waktu 72 jam dari
cedera, pertimbangan harus diberikan untuk membatasi lanjut agresif intervensi
terapeutik yang lebih lanjut.
Pertanyaan 2
à Tingkat 1
1. Ada data yang cukup Kelas I dan Kelas II untuk mendukung setiap standar mengenai
salah satu pertanyaan yang diajukan oleh penanya.
àTingkat 2
1. Ada data yang cukup Kelas I dan Kelas II untuk mendukung setiap standar mengenai
salah satu pertanyaan yang diajukan oleh penanya.
àTingkat 3
1. Semua pasien orang tua yang mengambil obat antikoagulan sistemik sebelum cedera,
mereka harus memiliki penilaian tepat profil koagulasi mereka sesegera mungkin setelah
tiba di tempat perawatan.
2. Semua pasien usia lanjut dengan dugaan cedera kepala (misalnya, orang-orang dengan
perubahan GCS, sakit kepala, mual, trauma eksternal, atau high energy mechanism) yang
mengambil obat untuk antikoagulasi sistemik sebelum cedera mereka harus dievaluasi
dengan computed tomography kepala secepat mungkin setelah masuk.
3. Pasien yang menerima warfarin dengan post traumatic intracranial hemorrhage harus
menerima inisiasi terapi untuk memperbaiki international normalizedbratio (INR)
menuju kisaran normal (misalnya, < 1.6x normal) dalam waktu 2 jam setelah tiba di
tempat perawatan.
Pertanyaan 3
Apakah pemantauan kardiovaskular invasif yang tidak pandang bulu dengan kateter arteri
pulmonalis dan resusitasi supranormal, masih dibenarkan setelah cedera pada pasien yang
lebih tua?
àTingkat 1
1. Ada data yang cukup Kelas I dan Kelas II untuk mendukung setiap standar mengenai
salah satu pertanyaan yang diajukan oleh ini penanya.
àTingkat 2
1. Ada data yang cukup Kelas I dan Kelas II untuk mendukung setiap standar mengenai
salah satu pertanyaan yang diajukan oleh ini query.
àTingkat 3
1. Pasien lansia dengan satu atau lebih parah cedera anatomi (yaitu, satu atau sistem tubuh
yang lebih skor AIS ≥ 3) harus dirawat di pusat-pusat trauma khusus, terutama di ICU
yang dikelola oleh ahli bedah secara intensif.
2. Pengukuran defisit basis dapat memberikan informasi yang berguna dalam menentukan
status resusitasi awal dan risiko kematian untuk pasien geriatri. Dengan demikian, masuk
ICU harus dipertimbangkan untuk pasien berusia 65 tahun atau lebih tua dengan defisit
basis awal - 6 mEq / L atau kurang.
FOUNDASI ILMIAH
Salah satu topik utama yang dibahas oleh PMG ini adalah cara di mana pasien usia
lanjut yang diprioritaskan ke pusat-pusat trauma dan, jika diprioritaskan ke pusat trauma,
apakah mereka harus secara rutin menerima tingkat aktivasi trauma perawatan awal dan
apa yang adalah threshold yang tepat untuk mengakui mereka ke ICU. Bukti
menunjukkan bahwa pasien lanjut usia terluka adalah cenderung untuk menerima
perawatan di pusat-pusat trauma meskipun banyak bukti bahwa mereka berada pada
peningkatan risiko untuk hasil yang merugikan setelah cedera karena cadangan
kardiovaskular terbatas, komorbiditas, dan kelemahan umum.
Koreksi Antikoagulasi
Dalam satu pemeriksaan multicenter besar pada golongan “dry” versus “wet”,
resusitasi pada pasien kritis (tidak eksklusif pada pasien usia lanjut atau terluka), tidak
ada perbedaan survival.
Dalam analisis retrospektif lain yang tidak dilakukan pada pasien usia lanjut,
beberapa penulis telah dijelaskan augmentasi pengiriman oksigen postinjury (untuk
>500), menghasilkan peningkatan risiko hipertensi intra-abdominal, kompartemen
sindrom, dan kematian, tanpa manfaat kelangsungan hidup (odds ratio, 0.86; jangkauan,
0.6-1.2). Nilai defisit dasar -6 mEq / L atau kurang adalah penanda cedera parah dan
mortalitas yang signifikan pada semua pasien trauma tetapi terutama pada orang tua di
yang nilai ini dapat memprediksi risiko sebanyak 60% untuk kematian dibandingkan
dengan mereka yang memiliki defisit dasar mEq -5 / L atau lebih tinggi yang memiliki
risiko mortalitas kurang dari 23%.
RINGKASAN
Dengan tidak adanya relatif data yang bertentangan, pasien lansia harus menerima
perawatan di pusat-pusat yang telah mengabdikan khusus sumber daya untuk mencapai
keunggulan dalam perawatan dari cedera menggunakan kriteria yang sama dengan yang
digunakan pada pasien yang lebih muda. sudah ada sebelumnya kondisi dan / atau cedera
parah anatomi secara dramatis meningkatkan risiko hasil yang buruk pada pasien usia
lanjut.
Usia dan antikoagulan dan antiplatelet agen meningkatkan risiko perdarahan postinjury
dan membutuhkan penilaian profil koagulasi cepat setelah masuk. defisit basa (-6 mEq /
L atau kurang) adalah penanda cedera parah dan signifikan kematian pada semua pasien
trauma dan harus digunakan dalam pertimbangan untuk masuk ICU. Skor Glasgow Coma
Scale 8 atau kurang, tetap rendah setelah 72 jam, menyediakan informasi penting
mengenai prognosis jangka panjang.
Wilayah yang berpotensi berguna untuk studi di masa depan harus diidentifikasi
sesuai pedoman berikutoleh ini pedoman berikut:
1. Pembuatan model prediksi yang kuat untuk memfasilitasi kualitas / peningkatan kinerja
pada populasi lanjut usia diperlukan, terutama karena upaya tersebut berkaitan dengan
keputusan triage tentang pemantauan invasif dan agresivitas perawatan.
2. Pemahaman yang lebih mendalam diperlukan untuk kapan tepatnya status lansia dimulai
secara fisiologis
3. Wawasan lebih diperlukan apakah obat-induced disfungsi trombosit membutuhkan
koreksi dengan urgensi yang sama dengan warfarin-induced koagulopati.
4. Sedikit yang diketahui tentang bagaimana kita harus mengatasi nextgeneration
antikoagulan oral generasi selanjutnya yang tidak dapat dikoreksi dengan produk darah
atau obat-obatan. Dapatkah ini dicapai secara efektif dan hemat biaya?
5. Akhirnya, dapatkah kita menampung volume pasien lansia yang terus meningkat yang
datang ke pusat-pusat trauma kami (selain volume pasien kami saat ini) dengan tetap
mempertahankan standar perawatan tinggi dan menghindari keputusan triase yang
berlebihan?
Calland JF, Ingraham AM, Martin N, Marshall GT, Schulman CI, Stepleton T, et
al. Evaluation and management of geriatric trauma: An esntern association for
surgery of trauma practice management guildeline. J Trauma Acute Care Surg.
2012; 73 (5): 345-50.
Label: KOASS
Tambahkan komentar
3.
Apr
16
INTUBASI NASOTRAKEAL
Intubasi adalah memasukan pipa ke dalam rongga tubuh melalui mulut atau hidung.
Intubasi terbagi menjadi 2 yaitu intubasi orotrakeal (endotrakeal) dan intubasi
nasotrakeal. Intubasi endotrakeal adalah tindakan memasukkan pipa trakea ke dalam
trakea melalui rima glottidis dengan mengembangkan cuff, sehingga ujung distalnya
berada kira-kira dipertengahan trakea antara pita suara dan bifurkasio trakea. Intubasi
nasotrakeal yaitu tindakan memasukan pipa nasal melalui nasal dan nasopharing ke
dalam oropharing sebelum laryngoskopi.
Intubasi nasotrakeal dapat dilakukan pada pasien-pasien yang akan menjalani operasi
maupun tindakan intraoral. Dibandingkan dengan pipa orotrakeal, diameter maksimal
dari pipa yang digunakan pada intubasi nasotrakeal biasanya lebih kecil oleh karenanya
tahanan jalan napas menjadi cenderung meningkat. Intubasi nasotrakeal pada saat ini
sudah jarang dilakukan untuk intubasi jangka panjang karena peningkatan tahanan jalan
napas serta risiko terjadinya sinusitis. Teknik ini bermanfaat apabila urgensi pengelolaan
airway tidak memungkinkan foto servikal. Intubasi nasotrakeal secara membuta (blind
nasotrakeal intubation) memerlukan penderita yang masih bernafas spontan. Prosedur ini
merupakan kontraindikasi untuk penderita yang apnea. Makin dalam penderita bernafas,
makin mudah mengikuti aliran udara sampai ke dalam laring. Kontraindikasi lain dari
pemasangan pipa nasotrakeal antara lain fraktur basis cranii, khususnya pada tulang
ethmoid, epistaksis, polip nasal, koagulopati, dan trombolisis.
Sebelum dilakukan intubasi, terlebih dahulu dilakukan oksigenasi dengan menggunakan
orotracheal tube atau nasotracheal tube dan bag valve kurang lebih selama 30 detik.
Untuk melakukan intubasi, perlu mengetahui teknik-teknik khusus. Berikut cara intubasi
nasotrakea.
Intubasi nasal mirip dengan intubasi oral kecuali bahwa NTT masuk lewat hidung dan
nasofaring menuju orofaring sebelum dilakukan laringoskopi. Lubang hidung yang
dipilih dan digunakan adalah lubang hidung yang pasien bernafas lebih gampang. Tetes
hidung phenylephrine (0,5 – 0,25%) menyebabkan pembuluh vasokonstriksi dan
menyusutkan membran mukosa. Jika pasien sadar, lokal anestesi secara tetes dan blok
saraf dapat digunakan. Intubasi nasotrakeal biasanya dilakukan setelah pemberian
anastesi intravena dan pasien telah dilumpuhkan.
NTT yang telah dilubrikasi dengan jelly yang larut dalam air, dimasukkan ke dasar
hidung, dibawah turbin inferior. Bevel NTT berada disisi lateral jauh dari turbin. Untuk
memastikan pipa lewat di dasar rongga hidung, ujung proksimal dari NTT harus ditarik
ke arah kepala. Pipa secara berangsur-angsur dimasukan hingga ujungnya terlihat di
orofaring. Umumnya ujung distal dari NTT dapat dimasukan pada trachea tanpa
kesulitan. Jika ditemukan kesulitan dapat diguankan forcep Magil. Penggunaannya harus
dilakukan dengan hati-hati agar tidak merusakkan balon. Memasukkan NTT melalaui
hidung berbahaya pada pasien dengan trauma wajah yang berat disebabkan adanya resiko
masuk ke intrakranial.
Selain teknik ini, intubasi nasotrakea juga dapat dilakukan dengan menggunakan flexible
fiberoptic dengan teknik sebagai berikut: Kedua lubang hidung dipersiapkan dengan
pemberian tetes vasokonstriktor. Identifikasi lubang hidung dimana pasien bernafas lebih
mudah. O2 dapat diinsuflasi ke melalui ujung suction dan saluran untuk aspirasi dari FOB
untuk memperbaiki oksigenasi dan membuang sekret dari ujung tip.
Pilihan lain, jalan nafas nasal yang lebar dapat dipasang dalam lubang hidung kolateral.
Breathing sirkuit dapat langsung dihubungkan pada ujung dari nasal airway untuk
memberikan O2 100% selama laringoskopi. Jika pasien tidak sadar dan tidak bernafas
spontan, mulut dapat diplester dan ventilasi dilakukan melalui nasal airway tunggal. Bila
teknik ini digunakan adekuat ventilasi dan oksigenasi harus di konfirmasi dengan
capnograph dan pulse oximetry. TT yang telah diberi pelumas dan dimasukkan ke dalam
lubang hidung lainnya sepanjang nasal airway. Tangkai dari FOB yang telah diberi
pelicin dimasukan ke dalam lubang TT. Selama endoskopi, jangan dimajukan jika hanya
dinding dari TT atau membran mukosa yang terlihat. Ini juga penting untuk
mempertahankan tangkai bronkoskop relatif lurus, jadi jika kepala dari bronkhoskop
diputar secara langsung, ujung distal akan bergerak dengan derajat yang sama. Ketika
ujung dari FOB masuk ujung distal dari TT, epiglotis dan glotis harus tampak. Ujung dari
bronchoskop dimanipulasi untuk melewati pita suara yang telah abduksi.
Ini tidak perlu dilakukan dengan cepat karena pasien sadar dapat bernafas adekuat dan
pada pasien dianestesi, jika ventilasi dan oksigenasi tidak adekuat, FOB ditarik
danlakukan ventilasi dengan face mask. Minta asisten untuk jaw thrust atau lakukan
tekanan pada krikoid dapat membantu penglihatan pada kasus sulit. Jika pasien bernafas
spontan, tarik lidah dengan klem dapat memfasilitasi intubasi.
Sekali dalam trakhea, FOB didorong masuk ke dekat carina. Adanya cincin trakhea dan
carina adalah membuktikan posisi yang tepat. TT di dorong dari FOB. Sudut sekitar
cartilago arytenoid dan epiglotis dapat mencegah mudahnya memasukan pipa.
Penggunaan pipa yang berkawat baja biasanya menurunkan masalah ini disebabkan lebih
besarnya fleksibilitas dan sudut pada bagian distal lebih tumpul. Posisi TT yang tepat
dikonfirmasi dengan melihat ujung dari pipa diatas karina sebelum FOB ditarik.
Rowbotham dan Magill (1921) mengembangkan teknik blind nasal intubation pada
pasien yang masih bernapas spontan. Sebenarnya digunakan anastesi inhalasi dalam,
tetapi teknik ini tetap dapat dibuat pada pasien sadar yang hanya diberikan anastesi
topikal. Pemajuan dari trakeal tube dipandu dengan perubahan suara napas pada akhir
bagian proksimal tube (pengerasan dengan menggunakan siulan akan sangat membantu)
dan dengan mempalpasi jaringan. Blind intubasi nasal mungkin masih dapat berguna jika
penggunaan laringoskop fibreoptik fleksibel gagal atau tidak tersedia alatnya. Blind
intubasi nasal pada pasien yang apneu mepunyai tingkat kesuksesan yang rendah dan
penggunaannya tidak direkomendasikan pada pasien yang menjalani operasi elektif.
Sumber:
Label: ANESTESI
Tambahkan komentar
4.
Apr
15
ABSTRAK
Tujuan : untuk mengetahui apakah ada perbedaan pada saturasi serebral regional bayi
baru lahir melalui near infrared spectroscopy born antara anestesi general atau kombinasi
anestesi epidural spinal selama seksio sesarea elektif.
Metode : setelah mendapatkan izin dari komite etik rumah sakit kami serta izin dari ibu-
ibu yang akan melahirkan, maka sebanyak 68 pasien termasuk dalam kriteria inklusi.
Saturasi oksigen serebral regional (RcSO2) dari bayi baru lahir diukur menggunakan
near infrared spectroscopy (NIRS), dan pengukuran dilakukan pada menit 1 dan 5
setelah lahir. Di kelompok 1 (n=32) digunakan anestesi general, dan di kelompok 2
(n=36) digunakan kombinasi anestesi epidural spinal (CSEA). Usia ibu, kehamilan,
masalah saat kehamilan, frekuensi jantung, tekanan darah, dan saturasi oksigen (SpO2)
ibu dicatat. Pengukuran yang dilakukan terhadap bayi baru lahir adalah : SpO2 di tangan
kanan, RcSO2 diukur menggunakan NIRS, waktu kelahiran (mulai dari insisi hingga
pengeluaran plasenta), dan skor Apgar. Data dianalisis menggunakan GraphPad Prism
5,0 (GraphPad Software, La Jolla, California) dan ditampilkan sebagai rata-rata +/- SD.
Hasilnya yang diperoleh dari masing-masing kelompok dibandingkan menggunakan uji t
tidak berpasangan. Tingkat kepercayaan yang digunakan adalah p < 0,05.
Hasil : Tidak ada perbedaan yang signifikan antara kelompok yang berkaitan dengan usia
ibu, minggu kehamilan dan tekanan darah awal. Tekanan darah sistolik dan diastolik
yang diukur pada menit 1 dan 5 setelah induksi atau saat blok spinal dimulai, secara
signifikan lebih rendah pada kelompok ibu yang menjalani CSEA. Frekuensi jantung ibu
yang menjalani CSEA secara signifikan lebih tinggi daripada kelompok anestesi umum.
Skor apgar pada menit 1 diamati secara signifikan lebih tinggi di kelompok II. Saturasi
oksigen dari bayi yang baru lahir secara signifikan lebih tinggi di kelompok II.
Oksigenasi serebral regional yang diukur dengan NIRS secara signifikan lebih tinggi di
kelompok CSEA.
Kesimpulan : CSEA telah terbukti lebih unggul daripada anestesi umum dalam
penyediaan oksigenasi serebral regional dari bayi baru lahir.
PENDAHULUAN
Telah diketahui bahwa transisi dari janin ke bayi baru lahir adalah proses fisiologis
yang kompleks dan penting. Bayi baru lahir mengalami transisi normal post-natal dalam
waktu > 5 menit untuk mencapai saturasi oksigen arteri > 80% dan hampir 10 menit
untuk mencapai 90%. Beberapa penelitian telah mempelajari efek dari metode
manajemen anestesi pada bayi baru lahir. Setelah seksio sesarea elektif, bayi baru lahir
memiliki angka saturasi oksigen arteri yang lebih rendah selama masa transisi
dibandingkan dengan bayi yang lahir melalui persalinan normal. Entah hipoksia atau
hyperoxia yang merugikan selama resusitasi neonatal. Pengukuran saturasi oksigen
perifer (SpO2) dan saturasi oksigen serebral regional (rSO2) dapat membantu
mengevaluasi status transisi neonatus.
Ada beberapa artikel mengenai SpO2 segera setelah lahir, namun literatur
mengenai perubahan oksigenasi serebral neonatal segera setelah lahir sangat terbatas.
Dalam sebuah penelitian yang menyelidiki tentang efek cara melahirkan terhadap
oksigenasi serebral, dinyatakan bahwa cara melahirkan memiliki pengaruh yang nyata
pada oksigenasi serebral segera setelah lahir. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan
dinamis dalam oksigenasi serebral post-natal terjadi bersama bayi sehat melalui
persalinan pervaginam dan seksio sesaria elektif (SC). Sepengetahuan kami, tidak ada
penelitian yang membandingkan oksigenasi serebral neonatal segera setelah lahir dengan
SC elektif melalui anestesi umum (GA) atau anestesi epidural.
Tujuan dari penelitian kami adalah untuk membandingkan rSO2 neonatus yang
lahir melalui SC menggunakan anestesi epidural dan GA.
METODE
Standar etik yang sesuai diterapkan dalam penelitian kami. Kami mengikuti
Ethical Principles for Medical Research Involving Human Subjects yang terurai dalam
Deklarasi Helsinki. Protokol penelitian telah disetujui oleh komite etik institusional dan
persetujuan tertulis diperoleh dari semua peserta. Enam puluh delapan ibu melahirkan,
diklasifikasikan dalam American Society of Anesthesiologists (ASA) I/II, yang
dijadwalkan untuk SC elektif, termasuk dalam kriteria inklusi penelitian ini. Indikasi
untuk SC ditentukan oleh dokter kandungan dan operasi darurat tidak dimasukkan dalam
penelitian ini. Tiga puluh dua pasien SC menjalani operasi dengan anestesi umum (GA;
Kelompok I, n = 32) dan 36 pasien setuju untuk menjalani operasi menggunakan
kombinasi anestesi epidural spinal (CSEA; Kelompok II, n = 36). Indikasi untuk GA atau
CSEA ditentukan oleh ahli anestesi dan dokter kandungan sesuai dengan pedoman klinis
dan persetujuan pasien mengenai metode yang dipakai. GA diinduksi dengan propofol
2,5-3 mg/kg, relaksasi otot dengan rocuronium bromida 0,6 mg/kg, dan dipertahankan
dengan sevoflurane 1% dalam O2/N2O 40/60%, 4 L/menit. CSEA diaplikasikan pada
posisi lateral kiri, dengan jarum spinal ukuran 27-gauge (G) yang dimasukkan melalui
jarum epidural 18-G Touhy. Heavy bupivacaine 0,5% 12,5 mg dan fentanil 30 mcg
diaplikasikan dalam ruang subaraknoid setelah kateter epidural dimasukkan untuk
analgesia pasca operasi. Para pasien yang menggunakan CSEA diberi O2 2 L/menit
melalui masker setelah insisi uterus sesaat sebelum kelahiran.
Semua bayi yang baru lahir dikeringkan dan dibungkus dengan handuk hangat.
Segera setelah diletakkan di meja resusitasi, dokter anak melakukan resusitasi awal untuk
bayi baru lahir, sedangkan penata anestesi memasang transducer NIRS di dahi kiri dan
kanan (rSO2) dan oximetry nadi transkutaneus (SpO2) diukur pada tingkat preductal
(kanan) . Transducer ditutup dengan handuk, sedangkan tangan dan dahi bayi baru lahir
dipegang supaya meminimalkan cahaya dan gerak artefak. Bayi diposisikan terlentang
dan menghirup udara ruangan. Dokter anak mengamati transisi bayi baru lahir dan
mencatat skor Apgar pada menit 1 (T1) dan menit 5 (T5).
HASIL
Tidak ada perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok berdasarkan indikasi
untuk SC, status fisik dari ASA pasien, dan komorbiditas. Tidak ada perbedaan yang
signifikan antara kedua kelompok berdasarkan usia ibu, minggu kehamilan, dan tekanan
darah sistolik/diastolik awal (Tabel 1). Tidak ada perbedaan antara waktu operasi
(kelompok I, 33,3 ± 11,6 menit vs kelompok II, 38,8 ± 14,8 menit), namun, waktu
melahirkan (dari sayatan hingga pengeluaran plasenta) untuk kelompok II secara
signifikan lebih lama dari waktu melahirkan di kelompok I (14,2 ± 6,4 menit vs 7,1 ± 2,0
menit; Tabel 2).
Tekanan darah sistolik dan diastolik diukur pada menit 1 dan menit 5 setelah
induksi atau dimulainya blok spinal secara signifikan lebih rendah pada ibu dengan
CSEA (Tabel 1; Gambar 1.).
Frekuensi jantung dari ibu dengan CSEA secara signifikan lebih tinggi daripada
kelompok GA (Tabel 1; Gambar 1.).
Skor apgar pada menit 1 dan menit 5 diamati secara signifikan lebih tinggi di
kelompok II (Tabel 2).
Saturasi oksigen dari bayi baru lahir secara signifikan lebih tinggi di kelompok II
(Tabel 2; 76,0 ± 10,6 vs 70,8 ± 10,5, p <0,05). Tidak ada perbedaan signifikan secara
statistik dalam frekuensi jantung dari bayi baru lahir.
Oksigenasi serebral regional diukur dengan NIRS secara signifikan lebih tinggi
pada kelompok CSEA (Tabel 2; rSO2 kanan: 57,5 ± 15,2 vs 49,7 ± 12,3; rSO2 kiri: 55,2
± 14,2 vs 48,3 ± 12,4, p <0,05).
DISKUSI
Dalam sebuah penelitian yang dirancang untuk mengevaluasi perbedaan rSO2 pada
bayi yang lahir melalui persalinan normal atau seksio sesarea, ditemukan bahwa dari
menit 4 sampai menit 8 nilai SpO2 untuk bayi yang lahir melalui seksio sesarea secara
signifikan lebih rendah daripada bayi yang lahir melalui persalinan normal. Frekuensi
jantung pada bayi yang lahir SC secara signifikan lebih rendah selama periode observasi
secara keseluruhan. Tidak ada perbedaan antara kedua kelompok berdasarkan rSO2.
Meskipun SpO2 dan frekuensi jantung secara signifikan lebih rendah pada bayi SC, tidak
ada perbedaan dalam rSO2 sehubungan dengan cara melahirkan. Dalam penelitian kami,
nilai SpO2 untuk neonatus melalui SC dengan CSEA lebih tinggi dari nilai SpO2 dari
neonatus yang lahir dari ibu dengan GA. rSO2 kanan rata-rata adalah 49,7 untuk
kelompok GA sedangkan 57,5 pada kelompok CSEA. rSO2 kiri adalah 48,3 pada
kelompok GA sedangkan 55,2 pada kelompok CSEA.
Dalam tinjauan tentang NIRS pada anak-anak yang berisiko tinggi perfusi rendah,
oksimetri jaringan disarankan sebagai alat non-invasif untuk terus memantau dan
mendeteksi keadaan perfusi tubuh yang rendah. Dinyatakan bahwa meskipun teknologi
NIRS masih memiliki kekurangan untuk secara akurat memvalidasi dan mengukur secara
langsung parameter perfusi oksigen sistemik dan aliran darah, NIRS pasti bisa membantu
dalam deteksi curah jantung yang rendah, namun, penelitian prospektif, besar, dan acak
dengan parameter hasil yang terdefinisi dengan baik disarankan untuk dilakukan dalam
rangka mendefinisikan peran NIRS secara jelas pada anak-anak dengan risiko perfusi
rendah. Dalam penelitian kami, instrumen diletakkan di dahi neonatus segera setelah bayi
dipindahkan ke meja resusitasi. Pengukuran dilakukan saat neonatus berbaring di meja
resusitasi, dan diperiksa selama masa transisi oleh dokter anak. Neonatus dengan masalah
bawaan dikeluarkan dari penelitian sehingga setiap curah jantung rendah yang
berhubungan dengan anomali kongenital tidak dimasukkan dalam penelitian kami.
Artefak dari cahaya dan gerak dicegah dengan memegang instrumen dengan penutup.
Penelitian yang lebih berkaitan dengan pengukuran oksigenasi jaringan oleh NIRS harus
dilakukan dalam rangka meningkatkan validitas dan akurasi metode ini.
Kadar katekolamin yang lebih tinggi pada saat lahir dilaporkan pada bayi melalui
persalinan normal daripada bayi yang lahir melalui SC. Dalam hemodinamik yang stabil,
infus dopamin dikaitkan dengan vasokonstriksi serebral, yang kemungkinan akan
menjadi autoregulatory, respon alpha-adrenergic untuk peningkatan TD. Ini mungkin
dapat menjadi suatu penjelasan terhadap rSO2 yang lebih rendah pada neonatus yang
lahir dengan persalinan pervaginam. Dalam penelitian kami, nilai rSO2 pada neonatus
yang lahir dengan GA lebih rendah dibandingkan dengan neonatus yang lahir dengan
CSEA. Penelitian lebih lanjut terkait kadar katekolamin dan hubungannya dengan rSO2
sangat diperlukan.
Dalam penelitian oleh Urlesberger et al, ditemukan nilai SpO2 dan frekuensi
jantung yang secara signifikan lebih rendah dalam kelompok SC, dan tidak ada
perbedaan yang signifikan dalam rSO2 antara persalinan pervaginam dan kelompok SC.
Temuan ini serupa dengan penelitian oleh Isobe et al di mana tidak ada perbedaan yang
signifikan dalam rSO2 yang ditemukan dalam 10 menit pertama kehidupan. Oksigen
serebral adalah produk dari aliran darah dan kadar oksigen. Karena curah jantung pada
neonatus terutama ditentukan oleh frekuensi jantung, maka penurunan oksigen dengan
penurunan frekuensi jantung (dalam kelompok SC) diharapkan. Dalam penelitian kami,
perbedaan dalam frekuensi jantung dari bayi baru lahir secara statistik tidak signifikan
baik dalam kelompok GA atau CSEA (150,4/menit 151,8 menit, dan 148,0/menit pada
menit 1, menit 3, dan menit 5 vs 143,3/menit, 150,3/menit, dan 148,2/menit, berturut-
turut).
Ada beberapa keterbatasan dalam penelitian kami. Hanya ibu melahirkan ASA I/II
dan bayi yang tidak memerlukan oksigen tambahan yang dimasukkan dalam penelitian
ini. Penelitian ini dapat diulang pada pasien yang memiliki penyakit penyerta; efek dari
semua faktor ini harus disesuaikan dengan uji t tidak berpasangan atau tes berulang
ANOVA, dan kemudian hasilnya mungkin lebih bermakna. Perbandingan rSO2 dengan
analisis gas darah dapat membantu evaluasi pengukuran.
Label: ANESTESI
Tambahkan komentar
5.
Apr
MANAJEMEN NYERI
A. DEFINISI
Menurut The International Association for the Study of Pain (IASP) tahun 1979,
nyeri didefinisikan sebagai suatu sensori subyektif dan emosional yang tidak
menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial,
Pertama, bahwa persepsi nyeri merupakan sensasi yang tidak menyenangkan, berkaitan
dengan pengalaman emosional menyusul adanya kerusakan jaringan yang nyata (pain
with nociception). Keadaan nyeri seperti ini disebut sebagai nyeri akut.
Kedua, bahwa perasaan yang sama dapat juga terjadi tanpa disertai dengan kerusakan
jaringan yang nyata (pain without nociception). Keadaan nyeri seperti ini disebut sebagai
nyeri kronis.
B. KLASIFIKASI
mediator inflamasi dari jaringan, sel imun dan ujung saraf sensoris dan simpatik.
Gambar 1. Mekanisme nyeri nosiseptif6
Nyeri yang didahului atau disebabkan oleh lesi atau disfungsi primer pada sistem
saraf perifer. Hal ini disebabkan oleh cedera pada jalur serat saraf perifer, infiltrasi
sel kanker pada serabut saraf, dan terpotongnya saraf perifer. Sensasi yang
dirasakan adalah rasa panas dan seperti ditusuk-tusuk dan kadang disertai
hilangnya rasa atau adanya sara tidak enak pada perabaan. Nyeri neurogenik dapat
menyebakan terjadinya allodynia. Hal ini mungkin terjadi secara mekanik atau
kronik. Nyeri tipe ini sering menunjukkan respon yang buruk pada pemberian
analgetik konvensional.
Gambar 2. Mekanisme nyeri neurogenik6
Nyeri ini berhubungan dengan adanya gangguan jiwa misalnya cemas dan
Nyeri yang terjadi segera setelah tubuh terkena cidera atau intervensi bedah dan
memiliki awitan yang cepat, dengan intensitas bervariasi dari berat sampai ringan.
Nyeri ini terkadang bisa hilang sendiri tanpa adanya intervensi medis, setelah
keadaan pulih pada area yang rusak. Apabila nyeri akut ini muncul, biasanya
Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap sepanjang suatu
berlangsung lebih dari tiga bulan. Nyeri ini disebabkan oleh kanker yang tidak
lain. Nyeri ini bisa berlangsung terus sampai kematian. Pada nyeri kronik, tenaga
kesehatan tidak seagresif pada nyeri akut. Klien yang mengalami nyeri kronik
akan mengalami periode remisi (gejala hilang sebagian atau keseluruhan) dan
penyebab utama ketidakmampunan fisik dan psikologis. Sifat nyeri kronik yang
tidak dapat diprediksi membuat klien menjadi frustasi dan seringkali mengarah
pada depresi psikologis. Individu yang mengalami nyeri kronik akan timbul
perasaan yang tidak aman, karena ia tidak pernah tahu apa yang akan
dirasakannya dari hari ke hari. Misalnya nyeri post-herpetic, nyeri phantom atau
Nyeri akut
- Lamanya dalam hitungan menit - La
- Sensasi tajam menusuk - Sen
- Dibawa oleh serat A-delta - Dib
- Ditandai peningkatan BP, nadi, dan respirasi - Fu
- Kausanya spesifik, dapat diidentifikasi secara biologis
- Respon pasien : Fokus pada nyeri, menangis dan mengerang, cemas - Ka
- Tingkah laku menggosok bagian yang nyeri - Tid
- Respon terhadap analgesik : meredakan nyeri secara efektif - Tid
- Re
Nyeri kronis maligna merupakan kombinasi dari beberapa komponen nyeri akut,
intermiten dan kronis. Nyeri kanker dapat muncul pada tempat/situs primer
oleh tumor, obstruksi maligna, atau infeksi pada ulkus maligna. Nyeri juga dapat
muncul pada tempat metastase yang jauh. Selain itu, terapi kanker dengan
Nyeri kronis non-kanker dapat dibedakan menjadi 2 subtipe utama yaitu nyeri
neuropati dan nyeri muskuloskeletal. Nyeri neuropati dapat bersifat idiopatik atau
dapat juga muncul dari lokasi tertentu atau umum pada jejas saraf. Awitannya
dapat terjadi seketika setelah jejas atau setelah jeda waktu tertentu. Nyeri
neuropati dapat bersifat konstan dan menetap. Selain nyeri yang terus menerus,
juga dapat terjadi nyeri yang tumpang tindih, hilang-muncul (intermitten), nyeri
seperti syok, yang seringkali dicirikan dengan sensasi nyeri yang tajam, seperti
neuralgia trigeminal, nyeri pascastroke, dan nyeri phantom (yaitu rasa nyeri pada
Nyeri muskuloskeletal muncul dari jaringan otot, tulang, persendian atau jaringan
ikat. Nyeri ini dapat diakibatkan oleh jejas idiopatik atau iatrogenik. Sindroma
nyeri muskuloskeletal kronik yang umum adalah nyeri yang berkaitan dengan
ditandai dengan edema, inflamasi, dan degenerasi otot) dan dermatitis dan juga
a. Nyeri ringan adalah nyeri hilang-timbul, terutama saat beraktivitas sehari-hari dan
menjelang tidur.
b. Nyeri sedang nyeri yang berlangsung terus-menerus, aktivitas terganggu yang
c. Nyeri berat adalah nyeri yang berlangsung terus-menerus sepanjang hari,
penderita tidak dapat tidur dan sering terjaga oleh gangguan nyeri sewaktu tidur.
Nyeri tumpul (dullness) dan tidak terlokalisasi dengan baik akibat rangsangan
(pleura parietalis, perikardium, peritoneum). Nyeri tipe ini dibagi lagi menjadi
nyeri viseral terlokalisasi, nyeri parietal terlokalisasi, nyeri alih viseral dan nyeri
alih parietal.
Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri.
Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit
yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor
nyeri disebut juga nosireceptor, secara anatomis reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang
bermielien dan ada juga yang tidak bermielin dari syaraf perifer.
tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan pada daerah
viseral, karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul juga memiliki
sensasi yang berbeda. Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan subkutan, nyeri yang
berasal dari daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan. Reseptor
memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila penyebab
dengan serabut C.
2. Serabut C
terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan sulit
dilokalisasi.
dirasakan nyeri adalah suatu proses elektrofisiologis, yang secara koolektif disebut
sebagai nosiseptif (nociception). Mekanisme timbulnya nyeri terdiri dari 4 proses, antara
lain:6,7
1. Transduksi
Merupakan perubahan rangsang nyeri (noxious stimuli) menjadi aktifitas listrik pada
reseptor ini banyak dijumpai dijaringan kulit, periosteum, di dalam pulpa gigi dan
jaringan tubuh yang lain. Serat saraf aferen A delta dan C adalah serat-serat saraf
sensorik yang mempunyai fungsi meneruskan sensorik nyeri dari perifir ke sentral ke
susunan saraf pusat. Interaksi antara zat algesik dengan reseptor nyeri menyebabkan
2. Transmisi
Merupakan proses perambatan impuls nyeri melalui serabut A-delta dan C yang
menyusul proses tranduksi. Oleh serabut aferen A-delta dan C, impuls nyeri
diteruskan ke sentral, yaitu ke medula spinalis, ke sel neuron di kornu dorsalis. Sel-
sel neuron di medula spinalis kornua dorsalis yang berfungsi dalam fisiologi nyeri ini
disebut sel-sel neuron nosisepsi. Pada nyeri akut, sebagian dari impuls nyeri tadi oleh
serabut aferen A-delta dan C diteruskan langsung ke sel-sel neuron yang berada di
kornu antero-lateral dan sebagian lagi ke sel-sel neuron yang berada di kornu anterior
peningkatan tonus sistem saraf otonom simpatis dengan segala efek yang dapat
akan menimbulkan peningkatan tonus otot skelet di daerah cedera dengan segala
akibatnya.
3. Modulasi
Merupakan interaksi antara sistem analgesik endogen (endorfin, NA, 5HT) dengan
input nyeri yang masuk ke kornu posterior. Impuls nyeri yang diteruskan oleh serat-
serat A-delta dan C ke sel-sel neuron nosisepsi di kornua dorsalis medula spinalis
akan terjadi interaksi antara impuls yang masuk dengan sistem inhibisi, baik sistem
inhibisi endogen maupun sistem inhibisi eksogen. Tergantung mana yang lebih
dominan. Bila impuls yang masuk lebih dominan, maka penderita akan merasakan
sensibel nyeri. Sedangkan bila efek sistem inhibisi yang lebih kuat, maka penderita
4. Persepsi
Impuls yang diteruskan ke kortex sensorik akan mengalami proses yang sangat
sensibel nyeri.
karena ada suatu proses modulasi di kornu dorsalis medula spinalis. Ini dimungkinkan
karena ada sistem inhibisi. Inhibisi terjadi melalui beberapa mekanisme, seperti:2
Stimulasi serabut aferen ini dapat menghasilkan suatu efek berupa aktifasi
interneuron inhibisi di kornu dorsalis. Stimulasi halus berulang serabut A betha atau
Ketiga lintasan ini turun menuju dan menimbulkan hambatan fungsi respon nyeri
neuron nosisepsi di kornu dorsalis medula spinalis. Bila diaktifkan, ketiga lintasan
Periaquaductal gray (PAG) mempunyai hubungan dengan ketiga lintasan ini. PAG
kaya dengan reseptor opioid. Bila reseptor ini diaktifkan, PAG akan mengaktifkan
ketiga lintasan ini. Reseptor opioid PAG dapat diaktifkan oleh endorphin yang
dilepaskan secara endogen dan opioid yang diberikan secara eksogen. Pelepasan
gelatinosa.
4. Opioid
PAG kaya dengen reseptor nyeri. Substansia gelatinosa kornu dorsalis medula
spinalis juga kaya dengan reseptor opioid. Opioid bekerja dengan mengaktifkan
oleh serabut aferen selain diteruskan ke sel-sel neuron nosisepsi di kornu dorsalis medula
spinalis, juga akan diteruskan ke sel-sel neuron di kornu anterolateral dan kornu anterior
medula spinalis.1
Nyeri akut pada dasarnya berhubungan dengan respon stres sistem neuroendokrin
yang sesuai dengan intensitas nyeri yang ditimbulkan. Mekanisme timbulnya nyeri
melalui serabut saraf aferen diteruskan melalui sel-sel neuron nosisepsi di kornu dorsalis
medula spinalis dan juga diteruskan melalui sel-sel di kornu anterolateral dan kornu
metabolik dan imunologi yang menimbulkan stimulasi yang noxious. Nyeri juga
berespon terjadap psikologis pasien seperti interpretasi nyeri, marah dan takut.7,8
Impuls yang diteruskan ke sel-sel neuron di kornu antero-lateral akan mengaktifkan
sistem simpatis. Akibatnya, organ-organ yang diinervasi oleh sistem simpatis akan
teraktifkan. Nyeri akut baik yang ringan sampai yang berat akan memberikan efek pada
tubuh seperti:
Karena pengaruh dari peningkatan laju metabolisme, pengaruh reflek segmental, dan
peningkatan kerja sistem pernafasan, khususnya pada pasien dengan penyakit paru.
Penurunan gerakan dinding thoraks menurunkan volume tidal dan kapasitas residu
jaringan akibat dari efek nyeri akut terhadap kardiovaskuler berupa peningkatan
produksi katekolamin, angiotensin II, dan anti deuretik hormon (ADH) sehingga
resistensi pembuluh darah secara sistemik. Pada orang normal, cardiac output akan
meningkat tetapi pada pasien dengan kelainan fungsi jantung akan mengalami
penurunan cardiac output dan hal ini akan lebih memperburuk keadaanya. Karena
motilitas saluran cerna yang menyebabkan ileus. Hipersekresi asam lambung akan
pulmonary dysfunction.
gangguan metabolisme glukosa. Kadar gula darah meningkat. Hal ini mendorong
hiperkoagulopati.
Nyeri merangsang produksi leukosit dengan lympopenia dan nyeri dapat mendepresi
mudah terinfeksi.
Reaksi yang umumnya terjadi pada nyeri akut berupa kecemasan (anxiety),
Efek yang ditimbulkan akibat dari peningkatan pelepasan hormon aldosterom berupa
retensi natrium. Efek akibat peningkatan produksi ADH berupa retensi cairan dan
Terdapat beberapa metode yang umumnya digunakan untuk menilai intensitas nyeri,
antara lain:1,3,10
Self reported
Self reported berarti pasien memiliki kemampuan verbal dan dapat melaporkan
Metode ini menggunakan suatu word list untuk mendiskripsikan nyeri yang
karakteristik nyeri yang dirasakan dari word list yang ada. Metode ini dapat
digunakan untuk mengetahui intensitas nyeri dari saat pertama kali muncul
sampai tahap penyembuhan. Penilaian ini menjadi beberapa kategori nyeri yaitu:
Tidak nyeri (none)
dirasakan dari angka 0-10. ”0” menggambarkan tidak ada nyeri sedangkan ”10”
Metode ini paling sering digunakan untuk mengukur intensitas nyeri. Metode ini
sampai nyeri yang sangat hebat. Pasien menandai angka pada garis yang
menggambarkan intensitas nyeri yang dirasakan. Keuntungan menggunakan
metode ini adalah sensitif untuk mengetahui perubahan intensitas nyeri, mudah
dimengerti dan dikerjakan, dan dapat digunakan dalam berbagai kondisi klinis.
Kerugiannya adalah tidak dapat digunakan pada anak-anak dibawah 8 tahun dan
mungkin sukar diterapkan jika pasien sedang berada dalam nyeri hebat.
yang dirasakan. Metode ini menggambarkan nyeri dari berbagai aspek antara lain
Non-self reported
Non-self reported biasanya digunakan untuk pasien yang mengalami limitasi verbal
baik karena usia, kognitif, maupun karena berada dibawah pengaruh obat sedasi dan di
Metode ini digunakan dengan cara melihat mimik wajah pasien dan biasanya
untuk menilai intensitas nyeri pada anak-anak dengan kesulitan atau keterbatasan
verbal.
Gambar 8. Wong Baker Pain Scale3
Skala ini merupakan skala perilaku yang telah dicoba pada anak usia 3-7 tahun.
Setiap kategori (Faces, Legs,Activity, Cry, dan Consolability) diberi nilai 0-2 dan
KATEGORI
0
Face (Wajah) Tidak ada ekspresi tertentu atau Kadang meringis atau
senyum, kontak mata dan bunga di diri, tidak tertarik, wajah
lingkungan mata sebagian tertu
m
Leg (Kaki) Posisi normal atau santai Tidak nyaman, gelisah,
fleksi/ekstensi an
Penggunaan indikator tingkah laku dan fisiologis untuk menilai nyeri pada pasien
dewasa yang tidak responsif, tidak komunikatif telah dikemukakan oleh Payen
pada tahun 2001. Payen membandingkan prospektif 30 pasien yang berada dalam
mekanikal ventilator yang mendapat sedasi dan analgesi. BPS digunakan untuk
menilai rasa nyeri yang dialami pasien pada prosedur yang menyakitkan seperti
tracheal suctioning ataupun mobilisasi tubuh. Skala ini sudah divalidasi. BPS
terbagi menjadi 2 jenis, yaitu BPS dengan ventilator dan BPS tanpa ventilator.
Setiap subskala diskoring dari 1 (tidak ada respon) hingga 4 (respon penuh).
Karena itu skor berkisar dari 3 (tidak nyeri) hingga 12 (nyeri maksimal). Skor
BPS sama dengan 6 atau lebih dipertimbangkan sebagai nyeri yang tidak dapat
CBNPS dikembangkan dari skala BPS oleh Salmore tahun 2002 untuk menilai
nyeri pada pasien yang tersedasi yang menjalani pemeriksaan saluran cerna, baik
endoskopi maupun kolonoskopi. Rasa nyeri pasien dinilai dengan skala yang lebih
berdasarkan keadaan yang dinilai sesuai dengan penilaian nyeri oleh Agency of
Health Care (USA) tahun 1992. CBNPS menilai tingkah laku yang dideskripsikan
dengan skala 0-5, yang berkorelasi dengan peningkatan nyeri. Pada penelitian,
Salmore juga dikemukakan persamaan skor dalam numerik, dengan nilai 0 tidak
Skala ini digunakan untuk menilai nyeri pada bayi usia kurang dari 12 bulan.
PENGKAJIAN N
Ekspresi Wajah
0 – Otot-otot relaks Wajah tenang, ekspresi netral
1 – Meringis Otot wajah tegang, alis berkerut, dagu dan r
Menangis
0 – Tidak menangis Tenang, tidak menangis
1 – Mengerang Merengek ringan, kadang-kadang
2 – Menangis keras Berteriak kencang, menaik, melengking,
dibuktikan melalui gerakan mulut dan wajah
Pola Pernafasan
0 – Bernafas relaks Pola bernafas bayi yang normal
1 – Perubahan pola pernafasan Tidak teratur, lebih cepat dari biasanya, ters
Lengan
0 – Relaks/terikat Tidak ada kekakuan otot, gerakan tangan ac
1 – Fleksi/ekstensi Tegang, lengan lurus, kaku, dan/atau eksten
Ekstensi, fleksi
Kaki
0 – Relaks/terikat Tidak ada kekakuan otot, gerakan kaki acak
1 – Fleksi/ekstensi Tegang, kaki lurus, kaku, dan/atau ekstensi
Ekstensi, fleksi
Keadaan kesadaran
0 – Tidur/terjaga Tenang, tidur damai atau gerakan kaki acak
1 – Rewel Tejaga, gelisah, dan meronta-ronta
besarnya dengan kemungkinan efek samping yang paling kecil. Terdapat dua metode
umum untuk terapi nyeri yaitu pendekatan farmakologis dan non farmakologis.
Pendekatan Farmakologis
Ladder. Strategi ini merupakan bagian dari metode manajemen nyeri yang berpusat pada
4 prinsip, yaitu:12
1. “By Mouth” berarti menggunakan rute oral bilamana memungkinkan, bahkan untuk
opiat.
2. “By the Clock” berarti untuk nyeri yang persisten, obat diberikan berdasarkan
interval obat tersebut daripada diberikan hanya ketika dibutuhkan atau “on demand”.
3. “By the Ladder” yaitu tiga langkah tangga analgesik menurut WHO untuk
Langkah 1:
Untuk nyeri ringan sampai sedang sebaiknya dimulai dengan obat analgesik non
opioid dan tingkatkan dosisnya. Jika dibutuhkan dapat ditingkatkan sampai dosis
Dapat digunakan obat adjuvan seperti antidepresan atau antikonvulsi jika
dibutuhkan.
Jika pasien dengan nyeri sedang atau berat maka dapat dlewati langkah 1.
Langkah 2:
Apabila masih tetap nyeri, maka dapat naik ke tangga atau langkah kedua, yaitu
Langkah 3:
Apabila ternyata masih belum reda atau menetap, maka sebagai langkah terakhir,
4. “For the Individual” berarti rencana terapi harus berdasarkan tujuan pasien.
Pada dasarnya, prinsip Three Step Analgesic Ladder dapat diterapkan untuk nyeri
2. Pada nyeri akut, sebaliknya, mengikuti langkah tangga ke bawah 3-2-1.
Gambar 9. Three Step Analgesic Ladder WHO12
Namun, berdasarkan guidlines WHO tahun 2012, WHO Three Step Analgesic
Ladder for Cancer Pain Relief tidak lagi digunakan untuk manajemen nyeri pada anak.
Untuk manajemen nyeri pada anak telah digunakan strategi “two-step approach”. Pada
strategi ini, digunakan opioid kuat dengan dosis rendah untuk nyeri sedang. Hal ini
tramadol (opioid lemah) untuk terapi nyeri sedang. Strategi “two-step approach” ini
terdiri dari:13
anak lebih dari 3 bulan dan yang dapat mengkonsumsi obat secara oral. Parasetamol
Penggunaan opioid kuat dengan dosis rendah sebaiknya dipertimbangkan pada anak
dengan nyeri sedang sampai berat. Morfin merupakan obat pilihan pada langkah ini.
Tatalaksana nyeri juga dapat diberikan secara terpadu, yaitu memberikan obat-obatan
yang bekerja sesuai dengan proses terjadinya nyeri. Dimana pada proses trasduksi dapat
diberikan OAINS atau obat anti-inflamasi non-steroid maupun anestesi lokal. Proses
transmisi dapat diberikan anestesi lokal. Proses modulasi dapat diberikan anestesi lokal,
opioid, maupun alfa-2 agonis. Sedangkan untuk proses persepsi dapat diberikan opioid,
alfa-2 agonis maupun obat yang bekerja pada respetor NMDA atau N-metil-D-aspartat
Langkah pertama yang sering efektif untuk penatalaksanaan nyeri ringan sampai
(paracetamol) dan OAINS. Keduanya memiliki efek antipiretik dan analgesik, tetapi
efektif untuk mengatasi nyeri akut derajat ringan, penyakit meradang yang kronik
OAINS merupakan inhibitor enzim COX yang reversibel. Enzim COX terdiri ada
COX-1
Bersifat konstitutif yang mana selalu ada dan aktif. COX-1 berkontribusi dalam
fungsi fisiologi oragan. Inhibisi pada enzim ini menyebabkan efek yang tidak
COX-2
Namun, pada beberapa organ, COX-2 juga bekerja secara konstitutif (ginjal,
endotel vaskuler, uterus dan SSP). Enzim ini diinduksi (up-regulated) oleh adanya
Saat ini, sudah terdapat obat-obatan yang bekerja sebagai inhibitor selektif COX-2
(Coxib). Keuntungan dari obat-obatan ini yaitu mengurangi kerusakan atau cedera
pada mukosa. Coxib yang saat ini tersedia, yaitu cecoxib (dosis harian 200-400 mg),
valdecoxib (10-20 mg) (tidak lagi tersedia di Amerika) dan prodrugnya yaitu
parecoxib (40 mg iv). Kontraindikasi dari obat ini yaitu gagal jantung kongestif,
Hiperkalemia
Ketorolac Dewasa: 10mg diikuti dgn pe↑ dosis 10-30mg setiap 4-6 jam
Opiat adalah alkaloid alami yang diambil dari ekstrak bunga poppy (Papaver
somniverum), seperrti morfin, papaverin, heroin dan kodein. Opioid adalah obat-
obatan yang memiliki sifat seperti opiat. Jenisnya lebih banyak dan beragam, juga
potensi analgesianya. Baku emas untuk potensi analgesia adalah morfin. Semua
Gambar A menunjukkan jalur nosiseptif yang akan teraktivasi ketika impuls nyeri pada
traktus spinotalamikus mencapai batang otak dan talamus. Dimana Periaquaductal Gray
Matter (PAG) dan nukleus raphe magnus akan mengeluarkan endorfin dan enkefalin
untuk menginhibisi transmisi nyeri di medulla spinalis. Gambar B menunjukkan bahwa
sebanyak 70% reseptor endorfin dan enkefalin berada di nosiseptor membran presinaptik
sehingga banyak sinyal nyeri yang berhenti sebelum mencapai kornu dorsalis medulla
spinalis. Sinyal ini lebih lanjut akan dilemahkan oleh aktifitas dinorfin di medulla
spinalis. Sedangkan gambar C menunjukkan bahwa aktivasi dari dinorfin pada reseptor
alfa di interneuron inhibitor dapat menyebabkan pelepasan GABA (gamma amino butirat
acid), sehingga akan terjadi hiperpolarisasi dari sel kornu dorsalis dan selanjutnya akan
menginhibisi transmisi dari sinyal nyeri. Berdasarkan mekanisme inilah sehingga dibuat
obat opioid yang mirip kerjanya dengan opioid endogen (endorfin, enkefalin, dinorfin,
dan lain-lain).14
Gambar 14. Efek samping dari opioid15
Klasifikasi reseptor opioid17
Reseptor opioid diklasifikasikan sebagai reseptor mu (µ), delta dan kappa (k),
Reseptor mu (µ) yang mempunyai afinitas yang tinggi terhadap morfin. Reseptor mu (µ)
terdistribusi secara luas pada otak dan medulla spinalis termaksud lamina 1 dan 2 serta
kornu dorsalis medulla spinalis, striatum, traktus optikus dan lokus coeruleus, pada
batang otak dan medial thalamus. Reseptor ini bertangguing jawab atas analgesia supra
spinal dan spinal. Subtipenya yaitu: mu (µ) 1 dan mu (µ) 2. Aktifasi reseptor mu (µ) 1
diperkirakan yang memerantarai analgesia, euphoria dan rasa tenang, reseptor mu (µ) 2
Opioid Receptor).
Morfin, meperidin, fentanyl, subfentanil, alfentanil adalah termaksud dalam agonis mu
(µ) eksogen. Nalokson merupakan antagonis reseptor mu (µ) yang spesifik melekat pada
Reseptor k ditemukan pada sistem limbik dan area di ensefalik lainya, batang otak dan
medulla spinalis. Reseptor ini bertanggung jawab sebagai mediator efek dari
ketergantungan, disforia dan depresi napas. Berlokasi pada pasca sinap, mereka juga
Reseptor delta berlokasi di pasca sinap pada neuron feedback pallidostriatal. Reseptor ini
memodulasi nosisepsi prasinap pada periaquaductal grey matter. Reseptor ini juga
berlokasi pada lapisan luar pleksiform dari bulbus olfaktorius, nukcleus accumbens,
beberapa lapis dari korteks cerebri dan beberapa nukleus dari amigdala. Kemungkinan
bertanggung jawab terhadap sikomimetik dan efek disfori. Disebut juga OP 1 dan DOR
Aktifasi reseptor delta menghasilkan efek analgesia, meskipun lebih lemah dapi pada
efek yang ditimbulkan pada reseptor mu. Banyak agonis delta (meski tidak semua) dapat
menimbulkan kejang pada dosis yang tinggi. Kedua agonis delta golongan peptida dan
agonis delta non-peptida menstimulasi fungsi respirasi dan memblokade efek depresi
disimpulkan opioid agonis delta pada dosis yang sangat tinggi dapat menghasilkan
depresi pernapasan, sedangakan pada dosis rendah dapat menghasilkan efek yang
sebaliknya. Penggunaan secara bersamaan agonis delta dengan agonis mu membuat
Reseptor sigma adalah reseptor tambahan yang berperan pada aksi antitusif beberapa obat
opioid. Contoh opioid yang berkerja pada reseptor ini adalah allylnormetazocine.
Reseptor ini berbeda struktur dan fungsinya dibandingkan dengan reseptor opiod lainya
Atas dasar kerjanya pada reseptor opioid, maka obat-obatan yang tergolong opioid
dibagi menjadi:17
a. Agonis opiod, yang menyerupai morfin, yaitu yang berkerja sebagai agonis terutama
b. Antagonis opioid, yaitu yang berkerja sebagai agonis pada beberapa reseptor dan
Agonis-antagonis opioid, yaitu yang berkerja sebagai agonis pada beberapa
reseptor dan sebagai antagonis atau agonis lemah pada reseptor yang lain.
Agonis opioid
Obat agonis adalah obat yang menginsisi efek farmakologik setelah bergabung
dengan reseptor, mempunyai efisiensi dan afinitas yang tinggi terhadap reseptor.
Setelah bergabung dengan reseptor obat ini menyebabkan efek stimulasi atau inhibisi
Antagonis opioid
Perubahan kecil pada struktur opioid agonis dapat menjadikannya opioid antagonis
pada satu atau beberapa reseptor opioid. Perubahan yang paling umum adalah
substitusi grup alkali dengan grup metil. Obat antagonis mencegah reseptor agonis
termediasi dengan memepati reseptor agonis. Dapat juga mempunyai afinitas yang
sama seperti agonis terhadap reseptor, namun mempunyai efektifitas yang lemah.
Antagonis dapat menginhibisi efek agonis dengan inhibisi kompetitif atau inhibisi
nonkompetitif. Sebuah obat dengan afinitas yang sesuai atau kurang dari agonis
namun memiliki efek yang kurang disebut agonis parsial. Beberapa obat
bremasozin dan desozin. Obat-obat ini berikatan dengan reseptor mu, menghasilkan
respon yang terbatas (agonis parsial) atau tanpa efek (antagonis kompetitif).
Obat golongan ini juga bersifat agonis pada reseptor yang lain, yaitu reseptor k dan
delta. Sifat antagonisnya dapat melemahkan sifat agonisnya. Efek samping dari obat
ini menyerupai efek samping dari opioid antagonis. Sebagai tambahan, obat ini dapat
untuk menghasilkan efek analgesia dengan sedikit efek depresi pernapasan dan
Tramadol
Tramadol merupakan obat sintetik, yang bekerja sebagai analgetik sentral dan
digunakan secara parenteral maupun oral sebagi terapi untuk nyeri sedang sampai
berat. Potensiasinya seperti petidin tetapi untuk nyeri berat, morfin tetap lebih baik.
Efek samping berupa depresi napas dan konstipasi lebih sedikit dengan penggunaan
tramadol. Dalam suatu percobaan klinis, efek samping yang sering terjadi pada
penggunaan tramadol adalah mual, muntah, dizziness, fatigue, mulut kering, dan
afinitas yang lemah sebagai agonis reseptor µ dan juga bekerja sebagai agonis pada
reseptor α2. Selain itu, tramadol juga meningkatkan inhibisi nyeri dengan
menghambat re-uptake dari serotonin (5-HT) dan noradrenalin. Sehingga tidak
seperti opioid lain, tramadol hanya diinhibisi sebagian oleh antagonis opioid
(naloxone). Dosis tramadol yaitu 50-100 mg setiap 4-6 jam dengan dosis maksimal
400 mg/hari.18
Anestesi lokal secara reversibel menginhibisi impuls yang dihasilkan pada saraf.
Konduksi impuls aksonal berasal dari pembentukan suatu potensial aksi. Perubahan
potensial melibatkan influks cepat dari Na+ melalui kanal protein membran yang
teraktivasi (terbuka). Anestesi lokal berfungsi untuk menghambat influks cepat dari
Kebanyakan anestesi lokal berada pada bagian dari bentuk ampifilik kationik. Sifat
polar dan apolar. Dapat ditemukan di membran fosfolipid dan juga di kanal protein
ion. Beberapa bukti menunjukkan bahwa blokade kanal Na+ dihasilkan dari ikatan
antara anestesi lokal terhadap kanal protein. Aktifitas anestesi lokal juga ditunjukka
oleh substansi tidak bebas, menunjukkan tempat ikatan pada daerah apolar dari kanal
Anestesi lokal tidak hanya memblokade influks Na+ pada saraf sensorik tetapi juga
pada jaringan eksitasi lainnya, sehingga obat-obatan ini hanya diberi secara lokal.
Depresi dari proses eksitasi pada jantung dapat menyebabkan aritmia jantung sampai
cardiac arrest.
Anestesi lokal diberikan lewat berbagai rute, termasuk infiltrasi jaringan (anestesia
infiltrasi) atau diinjeksikan didekat percabangan saraf yang membawa serabut saraf
dari daerah yang akan dianestesi (anestesia konduksi dari saraf, anestesi spinal secara
(anestesia superfisial).
Gambar 14. Mekanisme kerja dan efek samping anestesi lokal15
4. Adjuvan atau Koanalgesik19
efek samping dari penggunaan opioid atau untuk meningkatkan efek analgetik dari
nyeri tetapi kemudian ditemukan memilki sifat analgetik atau efek komplementer
dalam penatalaksanaan pasien dengan nyeri. Sebagian dari obat ini sangat efektif
opioid.
Anti kejang, seperti karbamazepin atau fenitoin (dilantin), telah terbukti efektif untuk
mengatasi nyeri menyayat yang berkaitan dengan kerusakan saraf. Anti kejang ini
efektif untuk nyeri neuropatik karena obat golongan ini menstabilkan membran sel
sangat efektif untuk nyeri neuropatik serta berbagai penyakit lain yang menimbulkan
nyeri. Aplikasi-aplikasi spesifik adalah terapi untuk neuralgia pasca herpes, invasi
struktur saraf karena karsinoma, nyeri pasca bedah, dan artritis reumatoid. Pada
Obat adjuvan lain yang bermanfaat dalam pengobatan nyeri adalah hidroksizin
(vistaril), yang memiliki efek analgetik pada beberapa penyakit dan efek aditif
apabila diberikan bersama morfin; pelemas otot misalnya diazepam (valium), yang
digunakan untuk mengobati kejang otot yang berkaitan dengan nyeri; dan steroid
berkaitan dengan kompresi medula spinalis atau metastasis tulang pada pasien
kanker.
Adjuvan lain untuk analgesia adalah agonis reseptor adrenergik-alfa (misalnya,
agonis alfa-2, klonidin), yang sering diberikan secara intraspinal bersama dengan
opioid atau anestetik lokal; obat ini juga memiliki efek analgetik apabila diberikan
reseptor sentral dan perifer. Antagonis alfa-1, prazosin, juga pernah digunakan
dalam penatalaksanaan nyeri yang disebabkan oleh sistem simpatis. Efek samping
utama dari obat-obat ini adalah hipotensi dan potensial depresi pernafasan yang
Walaupun obat-obat analgesik sangat mudah diberikan, namun banyak pasien dan
dokter kurang puas dengan pemberian jangka panjang untuk nyeri yang tidak terkait
untuk mengatasi nyeri. Untuk itu, berbagai modalitas pengobatan nyeri yang beraneka
Latihan fisik, pijatan, vibrasi, stimulasi kutan (TENS), tusuk jarum, perbaikan posisi,
Analgesia Balans
pendekatan multimodal pada proses nosisepsi, dimana proses transduksi ditekan dengan
OAINS, proses transmisi dengan obat anestesi lokal, dan proses modulasi dengan opioid.
yang mempunyai titik tangkap kerja yang berbeda disebut balans anlgesia atau
pendekatan polifarmasi. Dapat digunakan dua atau lebih jenis obat dengan titik tangkap
yang berbeda. Dengan pendekatan ini, dosis masing-masing individu obat tersebut
menjadi jauh lebih kecil, tetapi akan menghasilkan kualitas analgesia yang lebih adekuat
dengan durasi yang lebih panjang. Dengan demikian efek samping yang dapat
Analgesia Preemptif
Ketika seseorang tertimpa cedera dan yang bersangkutan menderita nyeri (berat) dan
nyeri ini tidak ditanggulangi dengan baik, dapat diikuti oleh perubahan kepekaan reseptor
nyeri dan neuron nosisepsi di medulla spinalis (kornu dorsalis) terhadap stimulus yang
masuk. Ambang rangsang organ-organ tersebut akan turun. Terjadinya plastisitas sistem
saraf. Tindakan mencegah terjadinya plastisitas sistem saraf dengan memberikan obat-
obat analgetika sebelum trauma terjadi disebut tindakan preemptif analgesia. Tindakan
anestesia merupakan salah satu contoh preemptif analgesia ini. Dengan menanggulangi
penyebab, keluhan nyeri akan mereda atau hilang. Pembedahan merupakan saat yang
tepat untuk melakukan teknik analgesia preemtif dimana teknik ini menjadi sangat efektif
Patient Controlled Analgesia (PCA) merupakan metode yang saat ini tengah popular
dan digunakan luas terutama di USA, bila opioid analgesia parenteral harus diberikan
lebih dari 24 jam. PCA ini begitu popular disana karena selain menghindarkan dari injeksi
intramuskular, onset yang dihasilkan juga cepat dan bisa dikontrol sendiri oleh pasien.
dan pasien merasakan nyeri mereda lebih cepat. Keberhasilan PCA tergantung pada:20
Pemantauan yang baik terhadap pasien untuk menilai efek terapi dan efek samping.
Terdapat perbedaan yang cukup besar pada kebutuhan akan analgesia, atas dasar
itulah PCA merupakan metode ideal bagi pasien yang membutuhkan lebih banyak
ataupun lebih sedikit daripada standar. Jika kadar plasma berada dibawah ambang
analgesik, pasien dapat mentitrasi sendiri opiod pada kadar analgesia yang mereka
butuhkan (selama masih dalam batasan terapi). Dosis bolus dan waktu stop bisa diubah
sesuai dengan kebutuhan individu. Pasien harus mendapat PCA dari jalur infus khusus
atau katup satu arah pada infus jaga (jika diberikan dengan piggyback). Ini mencegah
DAFTAR PUSTAKA
1. Morgan GE. Pain Management. In: Clinical Anesthesiology. 2nd ed. Stamford:
2. Hamill RJ. The Assesment of Pain. In: Handbook of Critical Care Pain
3. Benzon, et al. The Assesment of Pain. In: Essential of Pain Medicine and Regional
4. Rospond. Pemeriksaan dan Penilaian Nyeri. [Online]. Cited on 2015 March 7.
Available from:
URL: http://lyrawati.files.wordpress.com/2008/07/pemeriksan-dan-penilaian-
nyeri.pdf
5. Brunner, Suddarth. Buku Ajar Medikal Bedah. Volume 1. Edisi 8. Jakarta: EGC;
2001.
6. Brenner GJ, Woolf CJ. Mechanisms of chronic pain. In: Longnecker DE, Brown DL,
Newman MF, Zapol WM. Anesthesiology. New York: McGrawl- Hill; 2008.
7. Latief SA. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi II. Bag Anestesiologi dan Terapi
8. Nicholls AJ, Wilson IH. Manajemen nyeri akut. Dalam: Kedokteran Perioperatif.
pada Tindakan Kuretase dengan Anestesi Total Intravena. [Online]. 2012 [cited on
URL: http://repository.usu.ac.id/bitstream/31956/4/Chapter%20II.pdf
11. RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo. Buku Saku Quality and Safety. Makassar; 2012.
12. World Health Organization. WHO Ladder. [Online]. Cited on 2015 march 7.
Available from:
URL:
http://www.geriatricpain.org/content/management/interventions/documents/WHOlad
der.pdf
Persisting Pain in Children with Medical Illness. [Online]. 2012 [cited on 2015
URL: http://www.who.int/publications/2012/9789241548120_Guidelines.pdf
14. Ikawati Z. Pain Management. [Online]. Cited on 2015 March 7. Available from:
URL: http://zulliesikawati.staff.ugm.ac.id/uploads/pain-management.pdf
15. Lullmann H, Mohr K, Hein L, Bieger D. Color Atlas of Pharmacology. 3rd edition.
16. Michael NJ. Medical Pharmacology at a glance. 4th edition. London: Blackwell
18. Schug SA. Tramadol. [Online]. 2000 October [cited on 2015 March 14]. Available
from:
URL: http://www.medsafe.govt.nz/profs/puarticles/tramadol.html
19. Mangku G, Senapathi TGA. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Cetakan 1.
Label: KOASS
Lihat komentar
6.
Apr
1. Falco OB, Plewig G, Wolff HH, Winkelmann RK. Dermatology. Munich: Mosby;
1990.
2. Arnold HL, Odom RB, James WD. Diseases of the skin. 8 th ed. Philadelphia: W.B.
Saunders Company; 1990.
3. Habif TP. A color guide diagnosis and therapy clinical dermatology. 4 th ed. New
York: Mosby; 2004.
4. Lawrence CM, Cox NH. Physical sign in dermatology. 2nd ed. New York: Mosby;
2002.
1. Wiryadi Benny E. Prurigo. Dalam: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu
penyakit kulit dan kelamin. Edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 1999. h. 252-3. (CONTOH SUMBER DARI BUKU
INDONESIA)
2. Burton JL, Holden CA. Eczema, lichenification and prurigo. In: Champion RH,
Burton JL, Burns DA, Breathnach SM, editors. Rook/Wilkinson/Ebling textbook
of dermatology. 6th ed. London: Blackwell Science; 1998. p. 671-2.
3. Soter NA. Numular eczema and lichen simplex chronicus/prurigo nodularis. In:
Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI, editors.
Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. 6 th ed. New York: Mc Graw Hill;
2002. p. 1196-7. (CONTOH SUMBER DARI BUKU ASING)
4. Mobini N, Toussaint S, Kamino H. Noninfectious erythematous papular and
squamous diseases. In: Elder DE, Elenitsas R, Johnson BL, Murphy GF, editors.
Lever’s histopathology of the skin. 9 th ed. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins; 2005. p. 183-4.
Dari Jurnal
2. Stern RS. Exanthematous drug eruption. N Engl J Med. 2012; 366(26): 2492-
501.
3. Cahyanur R, Koesnoe S, Nanang S. Sindrom hipersensitivitas obat. J Indon Med
Assoc. 2011; 61(4): 179-85.
Dari Internet
1. Hogan, D. Prurigo nodularis. [Online]. 2006 May 2 [cited 2007 Nov 6]; [29
screens]. Available from:
URL: http://www.emedicine.com/dermatology/topic350htm
2. Docrat, M.E. Prurigo nodularis. [Online]. 2005 Jun 6 [cited 2007 Nov 8]; [2
screens]. Available from:
URL: http://www.allergysa.org/journals/2005/june/skin_focus.pdf
3. Janjua SA. Dermatology image prurigo nodularis. DermAtlas Dermatology Image
Atlas with 9861 Dermatology Image [Online]. 2007 Oct 1 [cited 2007 Nov 8]; [1
screen]. Available from :
URL: http://www.dermatlas.med.jhml.edu/derm
Label: KOASS
Tambahkan komentar
7.
Apr
PENATALAKSANAAN KASUS
GIGITAN HEWAN PENULAR RABIES
(GHPR)
Setiap ada kasus gigitan hewan menular rabies harus ditangani dengan cepat
dan sesegera mungkin. Untuk mengurangi/mematikan virus rabies yang masuk
pada luka gigitan, usaha yang paling efektif ialah mencuci luka gigitan dengan air
(sebaiknya air mengalir) dan sabun atau diteregent selama 10-15 menit,
kemudian diberi antiseptik (alkohol 70 %, betadine, obat merah dan lain-lain).
Meskipun pencucian luka menurut keterangan penderita sudah dilakukan namun
di Puskesmas Pembantu/Puskesmas/Rumah Sakit harus dilakukan kembali
seperti di atas. Luka gigitan tidak dibenarkan untuk dijahit, kecuali jahitan situasi.
Bila memang perlu sekali untuk dijahit (jahitannya jahitan situasi), maka diberi
Serum Anti Rabies (SAR) sesuai dengan dosis, yang disuntikan secara infiltrasi
di sekitar luka sebanyak mungkin dan sisanya disuntikan secara intra muskuler.
Disamping itu harus dipertimbangkan perlu tidaknya pemberian serum/vaksin
anti tetanus, anti biotik untuk mencegah infeksi dan pemberian analgetik.
Pemberian Vaksin Anti Rabies (VAR) atau Vaksin Anti Rabies (VAR) disertai
Serum Anti Rabies (SAR) harus didasarkan atas tindakan tajam dengan
mempertimbangkan hasil-hasil penemuan dibawah ini.
Jadi, VAR dan SAR diberikan sesuai dengan kasus GHPR terindikasi.
Perhatikan diagram alur (Flowchart) penatalaksanaan kasus gigitan hewan
tersangka rabies.
Bila ada indikasi pengobatan Pasteur, maka terhadap luka resiko rendah diberi
VAR saja. Yang termasuk luka yang tidak berbahaya adalah jilatan pada kulit
luka, garukan atau lecet (erosi, ekskoriasi), luka kecil disekitar tangan, badan
dan kaki. Terhadap luka resiko tinggi, selain VAR juga diberi SAR. Yang
termasuk luka berbahaya adalah jilatan/luka pada mukosa, luka diatas daerah
bahu (muka, kepala, leher), luka pada jari tangan/kaki, genetalia, luka yang
lebar/dalam dan luka yang banyak (multipel). Untuk kontak (dengan air liur atau
saliva hewan tersangka/hewan rabies atau penderita rabies), tetapi tidak ada
luka, kontak tak langsung, tidak ada kontak, maka tidak PERLU diberikan
pengobatan VAR maupun SAR. Sedangkan apabila kontak dengan air luir pada
kulit luka yang tidak berbahaya, maka diberikan VAR atau diberikan kombinasi
VAR dan SAR apabila kontak dengan air liur pada luka berbahaya.
Label: KOASS
Tambahkan komentar
8.
Apr
- Cakupan Profilaksis Pra Pajanan pada kelompok resiko tinggi : 100%.
- Cakupan profilaksis Pasca Paparan : 100% kasus gigitan terindikasi yang
dilaporkan.
1. Tujuan Eliminasi Rabies 2020
Label: KOASS
Tambahkan komentar
9.
Apr
Sumber: Subdit. Pengendalian Zoonosis, Dit. PPBB, Ditjen PP & PL, Kemenkes RI, 2014
Sumber: Subdit. Pengendalian Zoonosis, Dit. PPBB, Ditjen PP & PL, Kemenkes RI, 2014
Sumber: Subdit. Pengendalian Zoonosis, Dit. PPBB, Ditjen PP & PL, Kemenkes RI, 2014