Anda di halaman 1dari 155

EXANTHEMATOUS DRUG ERUPTION

A.  Definisi
Exanthematous Drug Eruption merupakan erupsi makulapapular atau morbiliformis
disebut juga erupsi eksantematosa yang dapat diinduksi oleh obat. Erupsi ini merupakan salah
satu gejala klinis dari erupsi obat alergi yang mana merupakan suatu reaksi hipersensitivitas
terhadap obat dengan manifestasi pada kulit yang dapat disertai maupun tidak keterlibatan
dengan mukosa.1,2

B.  Epidemiologi dan Faktor resiko


Belum didapatkan angka kejadian yang tepat terhadap kasus erupsi alergi obat, tetapi
berdasarkan data yang berasal dari rumah sakit, studi epidemiologi, uji klinis terapeutik obat dan
laporan dari dokter, diperkirakan kejadian obat alergi adalah 2% dari total pemakaian obat-
obatan atau sebesar 15-20% dari keseluruhan efek samping pemakaian obat-obatan. Hasil survei
prospektif sistematik yang dilakukan oleh Boston Collaborative Drug Surveillance Program
menunjukkan bahwa reaksi kulit yang timbul terhadap pemberian obat adalah sekitar 2,7% dari
48.000 pasien yang dirawat pada bagian penyakit dalam dari tahun 1974 sampai 1993. Sekitar
3% seluruh pasien yang dirawat di rumah sakit ternyata mengalami erupsi kulit setelah
mengkonsumsi obat-obatan. Selain itu, data di Amerika Serikat menunjukkan lebih dari 100.000
jiwa meninggal setiap tahunnya disebabkan erupsi obat yang serius. Beberapa jenis erupsi obat
yang sering timbul adalah: 3
   Eksantem makulopapuler (exanthematous drug eruption) sebanyak 91,2%,
   Urtikaria sebanyak 5,9%, dan
   Vaskulitis sebanyak 1,4%

Faktor-faktor yang memperbesar risiko timbulnya erupsi obat adalah: 3

1.    Jenis kelamin


Wanita mempunyai risiko untuk mengalami gangguan ini jauh lebih tinggi jika dibandingkan
dengan pria. Walaupun demikian, belum ada satupun ahli yang mampu menjelaskan mekanisme
ini.
2.    Sistem imunitas
Erupsi alergi obat lebih mudah terjadi pada seseorang yang mengalami penurunan sistem imun.
Pada penderita AIDS misalnya, penggunaan obat sulfametoksazol justru meningkatkan risiko
timbulnya erupsi eksantematosa 10 sampai 50 kali dibandingkan dengan populasi normal.
3.    Usia
Alergi obat dapat terjadi pada semua golongan umur terutama pada anak-anak dan orang dewasa.
Pada anak-anak mungkin disebabkan karena perkembangan sistim immunologi yang belum
sempurna. Sebaliknya, pada orang dewasa disebabkan karena lebih seringnya orang dewasa
berkontak dengan bahan antigenik. Umur yang lebih tua akan memperlambat munculnya onset
erupsi obat tetapi menimbulkan mortalitas yang lebih tinggi bila terkena reaksi yang berat.
4.    Dosis
Pemberian obat yang intermitten dengan dosis tinggi akan memudahkan timbulnya sensitisasi.
Tetapi jika sudah melalui fase induksi, dosis yang sangat kecil sekalipun sudah dapat
menimbulkan reaksi alergi. Semakin sering obat digunakan, Semakin besar pula kemungkinan
timbulnya reaksi alergi pada penderita yang peka.
5.    Infeksi dan keganasan
Mortalitas tinggi lainnya juga ditemukan pada penderita erupsi obat berat yang disertai dengan
keganasan. Reaktivasi dari infeksi virus laten dengan human herpes virus (HHV) umumnya
ditemukan pada mereka yang mengalami sindrom hipersensitifitas obat.
6.    Atopik
Faktor risiko yang bersifat atopi ini masih dalam perdebatan. Walaupun demikian, berdasarkan
studi komprehensif terhadap pasien yang dirawat di rumah sakit menunjukkan bahwa timbulnya
reaksi obat ini ternyata tidak menunjukkan angka yang signifikan bila dihubungkan dengan
umur, penyakit penyebab, atau kadar urea nitrogen dalam darah saat menyelesaikan
perawatannya.

C.  Etiologi

1.    Obat-obatan yang tinggi probabilitas berlakunya reaksi eksantematosa.2


  Penicilin dan antibiotik yang berkaitan
  Karbamazepin
  Allopurinol
  Gold salts (10-20%)
2.    Obat-obatan yang sedang probabilitas berlakunya reaksi eksantematosa.2
  Sulfonamid (bakteriostatik, antidiabetik, direutik)
  Non-steroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs)
  Hidantoin derivative
  Isoniazid
  Kloramfenikol
  Eritromisin
  Streptomisin
3.    Obat-obatan yang rendah probabilitas berlakunya reaksi eksantematosa.2
  Barbiturat
  Benzodiazepam
  Fenotiazin
  Tetrasiklin

D.  Patogenesis

Beberapa studi menunjukkan hubungan kuat antara human lymphocyte allele (HLA)
dengan erupsi obat alergi (EOA), misalnya HLB*1502 pada kasus sindrom Stevens-Johnson
yang disebabkan karbamazepin pada etnis Han-Cina. Temuan lain misalnya HLA B*5701 pada
kasus sindrom hipersensitivitas obat yang disebabkan oleh abacavir.1
Berdasarkan klasifikasi Coombs dan Gell, patomekanisme yang mendasari EOA dibagi
menjadi 4 mekanisme, yaitu: 1
1.    Tipe I dimediasi oleh IgE yang dapat menyebabkan reaksi anafilaktisis, urtikaria dan
angiodedema, timbul sangat cepat, terkadang dapat urtikaria / angioedema persisten beberapa
minggu setelah obat dihentikan.
2.    Tipe II merupakan mekanisme sitotoksik yang diperantarai rekasi antigen, IgG dan komplemen
terhadap eritrosit, leukosit, trombosit atau sel prekursol hematologic lain. Oabt yang dapat
menyebabkan hipersensitivitas tipe ini antara lain, golongan penisilin, sefalosporin, streptomisin,
klorpromasin, sulfonamide, analgesik dan antipiretik.
3.    Tipe III adalah reaksi imun kompleks yang sering terjadi akibat penggunaan obat sistemik dosis
tinggi dan terapi jangka panjang, menunjukan manifestasi berupa vaskulitis pada kulit dan
penyakit autoimun yang diinduksi oleh obat.
4.    Tipe IV, yang mendasari insiden EOA diperantarai oleh limfosit T dengan manifestasi klinis
erupsi ringan hingga berat. Selain pada kulit, reaksi hipersensitivitas dapat melibatkan hati,
ginjal, dan organ tubuh lain. Reaksi hipersensitivitas yang dimediasi sel T terbagi atas 4 subklas
yaitu tipe IVa hingga IVd.

Untuk lebih jelas, perhatikan klasifikasi erupsi obat alergi pada bagan 1.
Terdapat dua konsep patomekanisme pengenalan obat oleh sel T, yaitu: 1

1.    Konsep Hapten/Prohapten


Pada umumnya obat merupakan prohapten, artinya tidak bersifat reaktif bila tidak berikatan
dengan protein. Sehingga obat dapat dimetabolisme terlebih dahulu untuk dapat membentuk
ikatan kovalen dan menjadi imunogenik sehingga mampu menstimulasi respon imun. Contohnya
adalah obat golongan beta-laktam, yaitu golongan penisilin dan sefalosporin. Contoh lain adalah
golongan sulfametoksazol yang dimetabolisme oleh sitokrom P450 di hati menjadi bentuk
reaktif.

2.    Konsep pharmacological interaction (p-I concept)


Pichler et.al. mengemukakan konsep baru yang dikenal dengan p-I concept (pharmacological
interaction of drugs with immune receptors), yaitu obat dapat membentuk ikatan spesifik secara
langsung dan reversibel denga berbagai macam reseptor antigen spesifik dan berinteraksi
sehingga mampu menstimulasi respon imun. Menurut konsep ini obat inert yang tidak mampu
membentuk ikatan kovalen dengan protein atau peptide, masih dapat merangsang sistem imun
melalui ikatan langsung dengan reseptor sel T. bukti klinis yang mendukung konsep p-I adalah:
  Interval waktu pajanan obat dan timbul gejala klini sangat singkat untuk membangkitkan respon
imun spesifik, sehingga diduga respon imun yang terjadi tidak melalui fase sensitisasi.
  Beberapa obat yang menyebabkan reaksi tipe IV diketahui tidak mengalami metabolisme menjadi
bentuk reaktif, misalnya pada media kontras.
  Beberapa obat inert yang tidak mampu membentuk kompleks hapten di kulit ternyata menunjukan
hasil positif pada uji kulit dan ditemukan infiltrasi limfosit T.

E.  Diagnosis

Langkah pertama pendekatan diagnosis EOA adalah mencurigai terdapat reaksi


hipersensitivitas terhadap obat yang dikonsumsi pasien. Kecurigaan tersebut didukung oleh
anamnesis terkait penggunaan obat sebelumnya, manifestasi klinis dan morfologi lesi pada kulit
serta pemeriksaan penunjang. Hal yang sering menjadi tantangan adalah bila pasien
mendapatkan medikasi dengan obat lebih dari satu jenis. Langkah yang perlu diperhatikan
yakni:1

1.    Kumpulkan data klinis secara sistematis dan teliti mengenai :


Dari anamnesis bisa didapatkan data mengenai riwayat penggunaan obat sebelumnya, riwayat
atopi pasien dan keluarga. Data medikasi pasien saat ini, baik oral, intravena, dan topical. Jangan
diabaikan penggunaan obat herbal dan suplemen. Untuk gejala klinis yang muncul berupa
keluhan gatal ringan sampai berat yang disertai kemerahan dan bintil pada kulit. Kelainan
muncul 10-14 hari setelah mulai pengobatan. Keluhan lain yang juga menyertai berupa deman
ringan. Biasanya disebabkan karena penggunaan antibiotik (ampisilin, sulfonamid, dan
tetrasiklin) atau analgetik-antipiretik non steroid.1,6

Tabel 1. Obat-obatan yang dapat menjadi penyebab timbulnya EDR6


Penyebab tersering Penyebab tidak sering
Ampicillin dan penicillin Cefalosporin
Fenilbutason dan pirazolon lainnya Barbiturat
Sulfonamide Thiazide
Fenitoin Naproxen
Carbamazepin Isoniazid
Gold Fenothiazin
Gentamicin Quinidine
Meprobamate
Atropin

2.    Pemeriksaan Fisik


Dijumpai adanya eritema dengan papula kecil di jumpai di hampir di seluruh badan. dengan
ukuran beberapa millimeters sampai 1 cm merah terang. Lesi menyembuh memiliki warna
kecokelatan. Kemudian lesi akan menjadi konfluen membentuk makula besar, polisiklik/ eritem
berkisar, erupsi retikuler, lembaran seperti eritem (sheet-like erithema), eritroderma, juga eritem
seperti multiforme. Keluhan timbul setelah paling lambat 2 minggu setelah dimulai pengobatan.
Lesi cenderung timbul pertama kali di daerah pangkal paha, ketiak, kemudian menyebar ke
seluruh badan dan simetris. Pada anak-anak, mungkin terbatas pada wajah dan ekstremitas.
Reaksi terhadap ampisilin biasa muncul awalnya di siku, lutut, dan badan, memperluas simetris
ke sebagian besar daerah tubuh.6

Gambar 1. Gambaran exanthematous drug eruption dengan lesi berbentuk makula dan papul dalam berbagai
ukuran2
Gambar 2. Eritema makulopapular yang disebabkan oleh ampicilin6

3.    Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang dilakukan berupa biopsi kulit untuk mengidentifikasi sindrom Stevens-
Johnson. Selain itu dilakukan pemeriksaan berupa kultur virus untuk membedakan penyebab
erupsi eksantem dari virus atau yang lainnya. Pemeriksaan PCR untuk mendeteksi adanya virus
serta tes serologi antibodi (khususnya antibodi IgM pada infeksi akut).5

F.   Diagnosis Banding

1.    Measles
Ruam ini morbiliformis (yang berarti " seperti campak- "), istilah yang sering digunakan untuk
menggambarkan exanthematous akibat erupsi obat, dan biasanya gatal. Tidak seperti kebanyakan
erupsi obat, ruam terlihat pada campak sering dimulai pada kepala dan leher dan menyebar
dengan cepat. Ini biasanya dimulai beberapa hari setelah timbulnya demam, batuk, coryza, dan
konjungtivitis. Bintik-bintik putih pada mukosa bukal (bintik Koplik) membantu menegakkan
diagnosis. ruam atipikal atau yang khas dapat terjadi pada orang dewasa yang divaksinasi
sebelumnya, terutama mereka yang divaksin saat dewasa atau yang tidak lengkap divaksinasi.2
Gambar 4. Measles dan bintik komplik4

2.    Rubella
Disebut sebagai campak Jerman. Gejala biasanya lebih ringan daripada yang terlihat di campak,
dengan ruam serupa yang biasanya menghilang dalam 3 atau 4 hari. Ruam berupa macula
eritematous dimulai dari wajah, leher punggung hingga ke seluruh badan. Ruam sering disertai
dengan demam, adenopati, dan artralgia.4,5
Gambar 5. Rubella4

3.    Dermatitis kontak alergik (DKA)


Dermatitis kontak alergik hanya mengenai orang yang keadaan kulitnya sangat peka
(hipersensitif). Penyebab DKA adalah bahan kimia sederhana. Penderita umumnya mengeluh
gatal. Kelainan kulit bergantung pada keparahan dermatitis dan lokalisasinya. Pada yang akut
dimulai dengan bercak eritematosa yang berbatas jelas kemudian diikuti edema, papulovesikel,
vesikel atau bula.2

Gambar 6. Dermatitis kontak alergik5


G. Terapi

Erupsi makulopapular sering dikaitkan dengan penggunaan ampisilin OAINS,


sulfonamide, antikonvulsan, allopurinol, tetrasiklin, eritromisin, fenobarbital dan bahkan
retinoid. Penyebab utama adalah antibiotika β lactam. Harus diingat bahwa tidak semua
eksantema morbliformis atau makulopapular diinduksi oleh obat. Infeksi tertentu khususnya
virus dapat menginduks eksantem yang sukar dibedakan dengan yang diinduksi oleh obat. Setiap
kali layak, identifikasi dan penarikan cepat dari obat yang diduga merupakan landasan
manajemen untuk erupsi akibat obat.8,9
Hal ini sangat penting untuk obat dengan waktu paruh pendek (<24 jam) saat ruam
eksantema dapat mewakili tanda awal sindrom Stevens-Johnson dan nekrolisis epidermal toksin,
karena cepat penarikan obat dengan waktu paruh pendek (tapi tidak lama) telah dikaitkan dengan
mengurangi mortalitas. Pasien dengan tanda-tanda dan gejala menunjukkan bahwa ruam
mungkin merupakan manifestasi awal dari reaksi parah harus dimonitor dan sering dirawat di
rumah sakit sampai reaksi yang parah dapat dikesampingkan. Jika obat ini penting dan reaksi
tidak parah, desensitisasi setelah pemulihan dapat dicoba, tapi proses ini jarang diperlukan dan
rumit. Antihistamin sedatif seperti diphenhydramine dan hydroxyzine dapat membantu
mengurang gejala pruritus. Glukokortikoid topikal poten (yang tidak boleh digunakan pada
wajah atau di intertriginosa daerah) dapat mengurangi tanda dan gejala ruam, tetapi data dari
percobaan acak dari keberhasilan mereka dalam pengaturan ini kurang.7,8,9
Manfaat sistemik glukokortikoid relatif terhadap risiko pada pengobatan reaksi obat
exanthematous tidak jelas. Meskipun dalam banyak pasien, obat dianggap bertanggung jawab
sebelumnya tidak menghasilkan rekasi baru, umumnya harus dihindari karena erupsi pada pada
paparan ulang bisa lebih parah dibandingkan erupsi sebelumnya. Paparan senyawa kimia yang
terkait juga menjadi perhatian di antara pasien dengan obat sebelum exanthem. Namun, dalam
banyak kasus, terkait obat ditoleransi. Di antara pasien yang memiliki ruam exantema (non-IgE-
mediated) yang dihubungkan dengan antibiotik penisilin, risiko dari reaksi terhadap antibiotik
beta-laktam mungkin kurang dari 10%, dan reaktivitas silang antara sefalosporin jarang terjadi.
Disamping itu jumlah eosinofil tidak akan menjadi normal bila tidak diberi kortikosteroid
sistemik. Kortikosteroid dapat bmenekan jumlah eosinofil dengan cara menghambat transkripsi
dari gen pada IL-3,IL-4, IL-5, GM-SCF dan kemokin lainnya termasuk eotaxin. 7,8,9
Pengobatan erupsi obat alergi belum memuaskan antara lain karena kesukaran dalam
memastikan penyebabnya apakah oleh obat sendiri atau metabolitnya. Pengobatannya dibagi
dalam pengobatan kausal dan simtomatik.
1.    Pengobatan kausal:
Dilaksanankan dengan menghindari obat tersangka (apabila obat tersangka sudah dapat
dipastikan). Dianjurkan pula untuk menghindari obat yang mempunyai struktur kimia dengan
obat tersangka (satu golongan).2,3

2.    Pengobatan simtomatik:


Pengobatan dilaksanakan sesuai tipe reaksi yang mendasarinya.
Pada eksantema erupsi obat penghentian pengobatan obat tersangka umumnya cukup
memberikan hasil yang baik. Pemberian kortikosteroid dengan dosis yang digunakan adalah
prednison 1-1,5 mg/kgBB/hari. Pemberian kortikosteroid sistemik harus secara perlahan
diturunkan, meskipun didapatkan gambaran klinis yang membaik dengan cepat. Hal tersebut
dikarenakan besarnya kemungkinan terjadinya flare up kembali pada sindrom hipersensitivitas
obat. Antihistamin dan kortikosteroid topikal dapat pula diberikan untuk mengurangi keluhan
yang ada.
Hanya sebagian kecil dari erupsi obat yang mengancam jiwa atau menyebabkan
menonaktifkan gejala sisa. Manajemen dimulai dengan penarikan obat tersangka sesegera
mungkin. Namun, pada banyak pasien, beberapa obat dapat dicurigai. Karena tidak ada tes klinis
atau laboratorium yang memungkinkan seseorang untuk mengidentifikasi agen penyebab pasti,
keputusan biasanya dibuat untuk menghentikan semua obat yang non-esensial. Penggunaan
algoritma obat juga membantu dokter untuk mengidentifikasi obat dengan probabilitas tertinggi
merangsang erupsi. Untuk erupsi obat ringan, kortikosteroid topikal dan antihistamin dapat
membantu. Dalam kasus kegagalan kulit akut seperti dalam nekrolisis epidermal toksin,
manajemen harus dilakukan di unit perawatan intensif khusus. Intervensi mendukung termasuk
koreksi gangguan elektrolit, suplementasi kalori tinggi dan pencegahan sepsis.8,9
Hipotesis etiologi imunologi tehadap erupsi obat menyebabkan penggunaan kortikosteroid
sistemik, imunosupresif dan terapi antisitokin. Meskipun kortikosteroid telah dianjurkan oleh
beberapa dokter, ada bukti minimal untuk kegunaannya baik sebagai pencegahan atau sebagai
agen terapi paling umum untuk reaksi obat, misalnya exantema. Namun, tidak ada kesepakatan
mengenai pendekatan klinis ini dan pada kasus reaksi parah, pemberian kortikosteroid sistemik
sebagai tindakan pencegahan dapat merugikan. Kortikosteroid dapat meningkatkan manifestasi
Drug Rash with Eosinophilia and Systemic Symptoms (DRESS) pada kulit dan visceral (paru-
paru, jantung). Namun, kambuh sering diamati ketika kortikosteroid diturunkan. Akhirnya,
setelah pemulihan, pasien harus dianjurkan untuk menghindari obat dianggap bertanggung jawab
untuk reaksi kimia dan semua yang terkait senyawa kimia.8

H.  Komplikasi

Komplikasi sistemik seperti hipertensi, katarak, dan osteoporosis adalah konsekuensi


potensial dari terapi dengan steroid sistemik. Kehilangan kepadatan tulang dapat terjadi di awal
terapi kortikosteroid, sehingga harus dikelola dengan baik. Manajemen yang efektif dapat
mengurangi kejadian osteoporosis akibat steroid. Semua pasien dengan program pengobatan
diantisipasi lebih dari 1 bulan harus dilengkapi dengan kalsium dan vitamin D (kalsium 1,0-1,5 g
dan kolekalsiferol 400-800 U perhari) dan bisfosfonat, seperti alendronate atau risedronate.
Merokok harus dihentikan dan konsumsi alkohol diminimalkan. Kepadatan mineral tulang dapat
diukur secara akurat pada awal melalui dual energi x-ray absorptiometry (DEXA) scan, dan
diikuti selama terapi kortikosteroid. Osteoporosis akibat hipogonadisme pada pria dan wanita
masing-masing dapat diobati dengan testosteron atau estrogen.9

I.     Prognosis

Prognosis EOA tipe ringan baik bila obat penyebab dapat diidentifikasi dan segera
dihentikan. Pada EOA tipe berat misalnya eritroderma dan nekrolisis epidermal toxin prognosis
dapat menjadi buruk disebabkan komplikasi yang terjadi misalnya sepsis.1,3

J.    Pencegahan

Apabila obat tersangka penyebab erupsi obat alergi telah dapat dipastikan maka sebaiknya
kepada penderita diberikan catatan berupa kartu kecil yang memuat jenis obat tersebut (serta
golongannya). Kartu tersebut dapat ditunjukannya bilamana diperlukan (misalnya apabila
penderita berobat), sehingga dapat dicegah pajanan ulang yang memungkinkan terulangnya
erupsi obat alergi.10
DAFTAR PUSTAKA

1.        Budianti WK. Erupsi obat alergik. Dalam: Menaldi SLSW, Bramono K, Indriatmi W, editors.
Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi 7. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokeran Univesitas
Indonesia; 2015. h. 190-5.
2.        Stern RS. Exanthematous drug eruption. N Engl J Med. 2012; 366(26): 2492-501.
3.        Hausmann O, Schnyder B, Pichler WJ. Etiology and pathogenesis of advers drug reaction. Chem
Immunol Allergy. 2012; 97(4): 32-46.
4.        Paz M, Costanedo T, Zug KA. Alergic contact dermatitis In: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest
BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolf K, editors. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. 8th
ed. New York: Mc Graw Hill; 2012. p. 247
5.        Belazarian LT, et al. Exanthematous viral disease In: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA,
Paller AS, Leffell DJ, Wolf K, editors. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. 8th ed.
New York: Mc Graw Hill; 2012. p. 3233-25
6.        Breathnach SM. Drug reaction. In: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C, editors. Rook’s
textbook of dermatology. 8th ed. UK: Wiley-Blackwell; 2010. Ch. 75. p.75.22-75.23
7.        Yang J, Yang X, Li M. Peripheral blood eosinophil counts predict the prognosis of drug
eruptions. J Invest Allergol Clin Immunol. 2013; 24 (4): 248-55.
8.        Revuz J, Laurence VA. Drug reaction. Dermatology. 2nd ed. Philadelphia: Elsevier Inc; 2008:
Ch. 22. p. 301-19.
9.        James WD, Berger TG, Elston DM. Contact dermatitis and drug eruption. Andrews’ diseases of
the skin clinical dermatology. 8th ed. Philadelphia: Elsevier Inc; 2006. Ch.6. p. 118-44.
10.    Knowles NH, Shear SR. Cutaneous reactions to drug. In: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA,
Paller AS, Leffell DJ, Wolf K, editors. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. 8th ed.
New York: Mc Graw Hill; 2012. p. 666-67
Diposting 30th December 2015 oleh Frans Irapanussa
Label: KOASS
0
HUBUNGAN TERAPI HIPERBARIK
OKSIGEN DENGAN INFERTILITAS

Rering GS, Pratama DO, Wattiheluw IZ, Alyanto TFD, Titarsole HRF, Ohoiwirin
MM

I.            INFERTILITAS

Infertilitas merupakan kondisi yang umum ditemukan dan dapat disebabkan oleh
faktor perempuan, laki-laki, maupun keduanya.Infertilitas dapat juga tidak diketahui
penyebabnya yang dikenal dengan istilah infertilitas idiopatik.Masalah infertilitas dapat
memberikan dampak besar bagi pasangan suami-istri yang mengalaminya, selain
menyebabkan masalah medis, infertilitas juga dapatmenyebabkan masalah ekonomi
maupun psikologis. Secara garis besar, pasangan yang mengalami infertilitas akan
menjalani proses panjang dari evaluasi dan pengobatan, dimana proses ini dapat menjadi
beban fisik dan psikologis bagi pasangan infertilitas.

Bertambahnya umur sangat berpengaruh terhadap fertilitas seorang perempuan,


namun pada laki-laki, bertambahnya umur belum memberikan pengaruh yang jelas
terhadap kesuburan. Penelitian di Perancis melaporkan 65% perempuan berumur 25
tahun akan mengalami kehamilan pada 6 bulan dan secara akumulasi 85% kehamilan
akan didapatkan pada akhir tahun pertama. Ini berarti jika terdapat 100 pasangan yang
mencoba untuk hamil, 40 pasangan tidak akan hamil setelah enam bulan, dan 15
pasangan tetap tidak hamil setelah setahun. Untuk pasangan dengan umur 35 tahun atau
lebih peluang kehamilan menjadi 60% pada tahun pertama dan 85% pada tahun kedua.
Kurang lebih 15 persen tetap belum mendapatkan kehamilan setelah tahun ke-3
perkawinan.1-4
A.    DEFINISI

Infertilitas merupakan kegagalan suatu pasangan untuk mendapatkan kehamilan


sekurang-kurangnya dalam 12 bulan berhubungan seksual secara teratur tanpa
kontrasepsi.Infertilitas terdiri dari infertilitas primer tidak terjadi kehamilan. Infertilitas
sekunder adalah ketidakmampuan seseorang memiliki anak atau mempertahankan
kehamilannya.3,5 Pada perempuan di atas 35 tahun, evaluasi dan pengobatan dapat
dilakukan setelah 6 bulan pernikahan. 6 Infertilitas idiopatik mengacu pada pasangan
infertil yang telah menjalani pemeriksaan standar meliputi tes ovulasi, patensi tuba, dan
analisis semen dengan hasil normal. Fekunditas merupakan kemampuan seorang
perempuan untuk hamil dalam satu siklus mensturasi.5 Data dari studi yang telah
dilakukan pada populasi, kemungkinan seorang perempuan hamil tiap bulannya adalah
sekitar 20 sampai 25%.3

B.     EPIDEMIOLOGI

Persentase perempuan umur 15-49 tahun yang mengalami infertilitas primer di Asia
dapat dilihat pada tabel 1.berikut ini:

                                              Tabel 1.Persentase Perempuan Yang Mengalami Infertilitas Primer7


 Prevalensi infertilitas idiopatik bervariasi antara 22-28%, studi terbaru menunjukkan di
antara pasangan yang berkunjung ke klinik fertilitas, sebesar 21 % perempuan berumur di
bawah 35 tahun dan 26% perempuan berumur di atas 35 tahun.1

 C.    FAKTOR RISIKO INFERTILITAS

  Gaya hidup

1.      Konsumsi Alkohol

Alkohol dikatakan dapat berdampak pada fungsi sel Leydig dengan mengurangi
sintesis testosteron dan menyebabkan kerusakan pada membran basalis. Konsumsi
alkohol yang berlebihan dapat menyebabkan gangguan pada fungsi hipotalamus dan
hipofisis.8

  Konsumsi satu atau dua gelas alkohol, satu sampai dua kali per minggu tidak
meningkatkan risiko pertumbuhan janin.2
  Konsumsi alkohol tiga atau empat gelas sehari pada laki-laki tidak mempunyai
efek terhadap fertilitas.2
  Konsumsi alkohol yang berlebihan pada laki-laki dapat menyebabkan penurunan
kualitas semen.2

2.      Merokok

Rokok mengandung zat berbahaya bagi oosit (menyebabkan kerusakan oksidatif


terhadap mitokondria), sperma (menyebabkan tingginya kerusakan morfologi), dan
embrio (menyebabkan keguguran).8

  Kebiasaan merokok pada perempuan dapat menurunkan tingkat fertilitas.2

  Kebiasaan merokok pada laki-laki dapat mempengaruhi kualitas semen, namun


dampaknya terhadap fertilitas belum jelas. Berhenti merokok pada laki-laki dapat
meningkatkan kesehatan pada umumnya

3.      Konsumsi Kafein

Konsumsi kafein (teh, kopi, minuman bersoda) tidak mempengaruhi masalah


infertilitas.2

4.      Berat badan

  Perempuan yang memiliki indeks massa tubuh (IMT) lebih dari 29, cenderung
memerlukan waktu yang lebih lama untuk mendapatkan kehamilan.2

  Tindakan menurunkan berat badan pada perempuan yang memiliki IMT > 29 dan
mengalami anovulasi akan meningkatkan peluang untuk hamil.2
  Laki-laki yang memiliki IMT > 29 akan mengalami gangguan fertilitas.2

  Upaya meningkatkan berat badan pada perempuan yang memiliki IMT < 19 serta
mengalami gangguan haid akan meningkatkan kesempatan terjadinya
pembuahan.2

5.      Olahraga

  Olahraga ringan-sedang dapat meningkatkan fertilitas karena akan meningkatkan


aliran darah dan status anti oksidan

  Olahraga berat dapat menurunkan fertilitas

-   Olahraga > 5 jam/minggu, contoh: bersepeda untuk laki-laki

-   Olahraga > 3-5 jam/minggu, contoh: aerobik untuk perempuan

6.      Stress

  Perasaan cemas, rasa bersalah, dan depresi yang berlebihan dapat berhubungan
dengan infertilitas, namun belum didapatkan hasil penelitian yang adekuat

  Teknik relaksasi dapat mengurangi stress dan potensi terjadinya infertilitas

  Berdasarkan studi yang dilakukan, perempuan yang gagal hamil akan mengalami
kenaikan tekanan darah dan denyut nadi, karena stress dapat menyebabkan
penyempitan aliran darah ke organ-organ panggul.

7.      Suplementasi Vitamin

  Konsumsi vitamin A berlebihan pada laki-laki dapat menyebabkan kelainan


kongenital termasuk kraniofasial, jantung, timus, dan susunan saraf pusat.

  Asam lemak seperti EPA dan DHA (minyak ikan) dianjurkan pada pasien
infertilitas karena akan menekan aktifasi nuclear faktor kappa B
  Beberapa antioksidan yang diketahui dapat meningkatkan kualitas dari sperma,
diantaranya:

-   Vit.C dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas semen

-   Ubiquinone Q10 dapat meningkatkan kualitas sperma

-   Selenium dan glutation dapat meningkatkan motilitas sperma

  Asam folat, zink, dan vitamin B12

-   Kombinasi asam folat dan zink dapat meningkatkan konsentrasi dan
morfologi sperma

-   Kobalamin (Vit B12) penting dalam spermatogenesis

8.      Obat-Obatan

  Spironolakton akan merusak produksi testosteron dan sperma

  Sulfasalazin→mempengaruhi perkembangan sperma normal (dapat digantikan


dengan mesalamin)

  Kolkisin dan allopurinol dapat mengakibatkan penurunan sperma untuk membuahi


oosit

  Antibiotik tetrasiklin, gentamisin, neomisin, eritromisin dan nitrofurantoin pada


dosis yang tinggi berdampak negatif pada pergerakan dan jumlah sperma.

  Simetidin terkadang menyebabkan impotensi dan sperma yang abnormal

  Siklosporin juga dapat menurunkan fertilitas pria

9.      Obat-obat Herbal


Penelitian yang dilakukan di California menemukan bahwa konsumsi obat-obatan
herbal dalam jumlah minimal seperti ginko biloba, dicurigai menghambat fertilisasi,
mengubah materi genetik sperma, dan mengurangi viabilitas sperma.

  Pekerjaan

Terdapat beberapa pekerjaan yang melibatkan paparan bahan berbahaya bagi


kesuburan seorang perempuan maupun laki-laki.Setidaknya terdapat 104.000 bahan fisik
dan kimia yang berhubungan dengan pekerjaan yang telah teridentifikasi, namun efeknya
terhadap kesuburan, 95% belum dapat diidentifikasi. Bahan yang telah teridentifikasi
dapat mempengaruhi kesuburan diantaranya panas, radiasi sinar-X, logam dan pestisida.2

                                                        Tabel 2. Bahan Dan Efeknya Terhadap Kesuburan Laki-Laki2


                                                        Tabel 3.Bahan Dan Efeknya Terhadap Kesuburan Perempuan2
  Pencegahan

Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menghindari atau menurunkan faktor
risiko terjadinya infertilitas, diantaranya adalah.2,3

-   Mengobati infeksi yang terjadi pada organ reproduksi. Diketahui bahwa infeksi yang
terjadi pada prostat maupun saluran sperma, dapat menyebabkan infertilitas pada
laki-laki.

-   Mengobati penyebab infertilitas pada perempuan

-   Menghindari bahan-bahan yang menyebabkan penurunan kualitas dan jumlah dari
sperma dan sel telur seperti rokok dan alkohol
-   Berperilaku hidup sehat

D.    FAKTOR PENYEBAB INFERTILITAS

Penyebab infertilitas secara umum dapat dibagi sebagai berikut:

  Faktor perempuan

Penyebab infertilitas pada wnaita dapat diklasifikasikan menjadi 3 kelompok, yaitu:9

  Gangguan ovulasi: seperti SOPK, gangguan pada siklus haid, insufiensi ovarium
primer

Infertilitas yang disebabkan oleh gangguan ovulasi dapat diklasifikasikan


berdasarkan siklus haid, yaitu amenore primer atau sekunder.Namun tidak semua
pasien infertilitas dengan gangguan ovulasi memiliki gejala klinis amenorea,
beberapa diantaranya menunjukkan gejala oligomenorea. Amenorea primer dapat
disebabkan oleh kondisi di bawah ini.8

                                               Tabel 4. Penyebab Amenorea Primer8

Uterus Agenesis mullerian (Ro


Ovarium Sindrom ovarium poliki
Sindrom Turner
Hipotalamus Kehilangan berat badan
(hipogonadotropin hipogonadism) Latihan yang berat (atle
Idiopatik
Pubertas terhambat
Hipofisis Hiperprolaktinemia
Hipopituitarism
Penyebab dari kerusakan hipotalamus/ hipofisis Tumor (gliomas, kista d
(hipogonadism) Trauma kepala

Penyebab sistemik Kehilangan berat badan


Kelainan endokrin (pen

WHO membagi kelainan ovulasi ini dalam 3 kelas, yaitu:2

Kelas 1: Kegagalan pada hipotalamus hipofisis (hipogonadotropin hipogonadism)

Karakteristik dari kelas ini adalah gonadotropin yang rendah, prolaktin


normal, dan rendahnya estradiol.Kelainan ini terjadi sekitar 10% dari
seluruh kelainan ovulasi.

Kelas 2 : Gangguan fungsi ovarium (normogonadotropin-normogonadism)

Karakteristik dari kelas ini adalah kelainan pada gonadotropin namun


estradiol normal.Anovulasi kelas 2 terjadi sekitar 85% dari seluruh kasus
kelainan ovulasi.Manifestasi klinik kelainan kelompok ini adalah
oligomenorea atau amenorea yang banyak terjadi pada kasus sindrom
ovarium polikistik (SOPK). Delapan puluh sampai sembilan puluh persen
pasien SOPK akan mengalami oligomenorea dan 30% akan mengalami
amenorea.

Kelas 3 : Kegagalan ovarium (hipergonadotropin-hipogonadism)

Karakteristik kelainan ini adalah kadar gonadotropin yang tinggi dengan


kadar estradiol yang rendah. Terjadi sekitar 4-5% dari seluruh gangguan
ovulasi.

Kelas 4 : Hiperprolaktinemia
  Gangguan tuba dan pelvis

Kerusakan tuba dapat disebabkan oleh infeksi (Chlamidia, Gonorrhoea, TBC)


maupun endometriosis.Endometriosis merupakan penyakit kronik yang umum
dijumpai.Gejala yang sering ditemukan pada pasien dengan endometriosis adalah nyeri
panggul, infertilitas dan ditemukan pembesaran pada adneksa. Dari studi yang telah
dilakukan, endometriosis terdapat pada 25%-50% perempuan, dan 30% sampai 50%
mengalami infertilitas. Hipotesis yang menjelaskan endometriosis dapat menyebabkan
infertilitas atau penurunan fekunditas masih belum jelas, namun ada beberapa
mekanisme pada endometriosis seperti terjadinya perlekatan dan distrorsi anatomi
panggul yang dapat mengakibatkan penurunan tingkat kesuburan. Perlekatan pelvis pada
endometriosis dapat mengganggu pelepasan oosit dari ovarium serta menghambat
penangkapan maupun transportasi oosit.10

Klasifikasi kerusakan tuba yaitu:

a.       Ringan/ Grade 1

-   Oklusi tuba proksimal tanpa adanya fibrosis atau oklusi tuba distal tanpa ada
distensi.

-   Mukosa tampak baik.

-   Perlekatan ringan (perituba-ovarium)

b.      Sedang/Grade 2

Kerusakan tuba berat unilateral

c.       Berat/Grade 3

-   Kerusakan tuba berat bilateral

-   Fibrosis tuba luas


-   Distensi tuba > 1,5 cm

-   Mukosa tampak abnormal

-   Oklusi tuba bilateral

-   Perlekatan berat dan luas

  Gangguan uterus, termasuk mioma submukosum, polip endometrium, leiomyomas,


sindrom asherman

Distribusi penyebab infertilitas pada perempuan ditunjukkan pada gambar


berikut:9

Gambar 1. Penyebab Infertilitas Pada Perempuan

  Faktor laki-laki

Infertilitas dapat juga disebabkan oleh faktor laki-laki, dan setidaknya sebesar 30-
40% dari infertilitas disebabkan oleh faktor laki-laki, sehingga pemeriksaan pada laki-
laki penting dilakukan sebagai bagian dari pemeriksaan infertilitas. Fertilitas laki-laki
dapat menurun akibat dari:11

a.       Kelainan urogenital kongenital atau didapat

b.      Infeksi saluran urogenital

c.       Suhu skrotum yang meningkat (contohnya akibat dari varikokel)

d.      Kelainan endokrin


e.       Kelainan genetik

f.       Faktor imunologi

Di Inggris, jumlah sperma yang rendah atau kualitas sperma yang jelek merupakan
penyebab utama infertilitas pada 20% pasangan. Kualitas semen yang terganggu,
azoospermia dan cara senggama yang salah, merupakan faktor yang berkontribusi pada
50% pasangan infertilitas.2Infertilitas laki-laki idiopatik dapat dijelaskan karena beberapa
faktor, termasuk disrupsi endokrin yang diakibatkan karena polusi lingkungan, radikal
bebas, atau kelainan genetik.12

              Tabel 5.Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Infertilitas Laki-Laki Dan Distribusi Persentase
Pada Pasien13
 

E.     PEMERIKSAAN INFERTILITAS

  Pemeriksaan pada perempuan

Gangguan ovulasi terjadi pada sekitar 15% pasangan infertilitas dan


menyumbang sekitar 40% infertilitas pada perempuan. Pemeriksaan infertilitas
yang dapat dilakukan diantaranya:1
  Pemeriksaan ovulasi

-   Frekuensi dan keteraturan menstuasi harus ditanyakan kepada seorang


perempuan. Perempuan yang mempunyai siklus dan frekuensi haid yang
teratur setiap bulannya, kemungkinan mengalami ovulasi

-   Perempuan yang memiliki siklus haid teratur dan telah mengalami
infertilitas selama 1 tahun, dianjurkan untuk mengkonfirmasi terjadinya
ovulasi dengan cara mengukur kadar progesteron serum fase luteal madya
(hari ke 21-28)

-   Pemeriksaan kadar progesteron serum perlu dilakukan pada perempuan


yang memiliki siklus haid panjang (oligomenorea). Pemeriksaan dilakukan
pada akhir siklus (hari ke 28-35) dan dapat diulang tiap minggu sampai
siklus haid berikutnya terjadi

-   Pengukuran temperatur basal tubuh tidak direkomendasikan untuk


mengkonfirmasi terjadinya ovulasi

-   Perempuan dengan siklus haid yang tidak teratur disarankan untuk
melakukan pemeriksaan darah untuk mengukur kadar hormon
gonadotropin (FSH dan LH).

-   Pemeriksaan kadar hormon prolaktin dapat dilakukan untuk melihat apakah
ada gangguan ovulasi, galaktorea, atau tumor hipofisis

-   Penilaian cadangan ovarium menggunakan inhibin B tidak


direkomendasikan

-   Pemeriksaan fungsi tiroid pada pasien dengan infertilitas hanya dilakukan
jika pasien memiliki gejala
-   Biopsi endometrium untuk mengevaluasi fase luteal sebagai bagian dari
pemeriksaan infertilitas tidak direkomendasikan karena tidak terdapat
bukti bahwa pemeriksaan ini akan meningkatkan kehamilan.

                         Tabel 6.Pemeriksaan Untuk Melihat Ovulasi Dan Cadangan Ovarium

 Untuk pemeriksaan cadangan ovarium, parameter yang dapat


digunakan adalah AMH dan folikel antral basal (FAB). Berikut nilai AMH dan
FAB yang dapat digunakan:14

a.       Hiper-responder (FAB > 20 folikel / AMH > 4.6 ng/ml

b.      Normo-responder (FAB > 6-8 folikel / AMH 1.2 - 4.6 ng/ml)

c.       Poor-responder (FAB < 6-8 folikel / AMH < 1.2 ng/ml) 

  Pemeriksaan Chlamydia trachomatis2


-   Sebelum dilakukan pemeriksaan uterus, pemeriksaan untuk Chlamydia
trachomatis sebaiknya dilakukan dengan teknik yang sensitif
-   Jika tes Chlamydia trachomatis positif, perempuan dan pasangan
seksualnya sebaiknya dirujuk untuk mendapatkan pengobatan
-   Antibiotika profilaksis sebaiknya dipertimbangkan sebelum melakukan
periksa dalam jika pemeriksaan awal Chlamydia trachomatis belum
dilakukan 

  Penilaian kelainan uterus2


-   Pemeriksaan histeroskopi tidak dianjurkan apabila tidak terdapat indikasi,
karena efektifitas pembedahan sebagai terapi kelainan uterus untuk
meningkatkan angka kehamilan belum dapat ditegakkan.

                             Tabel 7. Beberapa Metode Yang Dapat Digunakan Dalam Penilaian Uterus

  Penilaian lendir serviks pasca senggama2


-   Pemeriksaan ini dapat dilakukan pada pasien dengan infertilitas dibawah 3
tahun.
-   Penilaian lendir serviks pasca senggama untuk menyelidiki masalah
fertilitas tidak dianjurkan karena tidak dapat meramalkan terjadinya
kehamilan. 

  Penilaian kelainan tuba2


-   Perempuan yang tidak memiliki riwayat penyakit radang panggul (PID),
kehamilan ektopik atau endometriosis, disarankan untuk melakukan
histerosalpingografi (HSG) untuk melihat adanya oklusi tuba. Pemeriksaan
ini tidak invasif dan lebih efisien dibandingkan laparaskopi.
-   Pemeriksaan oklusi tuba menggunakan sono-histerosalpingografi dapat
dipertimbangkan karena merupakan alternatif yang efektif
-   Tindakan laparoskopi kromotubasi untuk menilai patensi tuba, dianjurkan
untuk dilakukan pada perempuan yang diketahui memiliki riwayat
penyakit radang panggul

                              Tabel 8. Beberapa Teknik Pemeriksaan Tuba Yang Dapat Dilakukan:

Teknik Keuntungan Kelemahan


HSG Visualisasi seluruh panjang tubaPaparan radiasi
dapat menggambarkan Reaksi terhadap zat kontras
patologi seperti hidrosalping
Peralatan dan staf khusus
dan SIN efek terapeutik Kurang dapat menggambarkan
adhesi pelvis
Saline infusion sonography Visualisasi ovarium, uterus, Pelatihan khusus
tuba. Efek terapeutik belum terbukti
Laparaskopi kromotubasi Visualisasi langusng seluruh Invasive
organ reproduksi interna Biaya tinggi
Memungkinkan dilakukan terapi
sekaligus

  Pemeriksaan pada laki-laki


Penanganan kasus infertilitas pada laki-laki meliputi:
  Anamnesis12
-   Anamnesis ditujukan untuk mengidentifikasi faktor risiko dan kebiasaan
hidup pasien yang dapat secara bermakna mempengaruhi fertilitas pria.
Anamnesis meliputi: 1) riwayat medis dan riwayat operasi sebelumnya, 2)
riwayat penggunaan obat-obatan (dengan atau tanpa resep) dan alergi, 3)
gaya hidup dan riwayat gangguan sistemik, 4) riwayat penggunaan alat
kontrasepsi; dan 5) riwayat infeksi sebelumnya, misalnya penyakit
menular seksual dan infeksi saluran nafas.

Tabel 9. Komponen anamnesis pada penanganan infertilitas laki-laki15


Komponen Anamnesis Pada Penanganan Infertilitas Laki-laki
Riwayat Medis
Kelainan fisik
Penyakit sistemik – diabetes mellitus, kanker, infeksi
              Kelainan genetik – fibrosis kistik, sindrom klinefelter

Riwayat Pembedahan
Undescended testis
Hernia
Trauma testis, torsio testis
              Bedah pelvis, retroperitoneal, kandung kemih

Riwayat Fertilitas
Kehamilan sebelumnya – dengan pasangan saat ini atau sebelumnya
Lama infertilitas
              Penanganan infertilitas sebelumnya

Riwayat sexual
Ereksi atau masalah ejakulasi
Frekuensi hubungan seksual

Pengobatan
Nitrofurantoin, simetidin, sulfasalazin, spironolakton, -alfa blockers, metotreksat,
kolkisin, amiodaron, antidepresan, kemoterapi
Riwayat Sosial
Alkohol, rokok, penggunaan steroid
Paparan radiasi dan panas
Pestisida

  Pemeriksaan Fisik15


-   Pemeriksaan fisik pada laki-laki penting untuk mengidentifikasi adanya
penyakit tertentu yang berhubungan dengan infertilitas. Penampilan umum
harus diperhatikan, meliputi tanda-tanda kekurangan rambut pada tubuh
atau ginekomastia yang menunjukkan adanya defisiensi androgen. Tinggi
badan, berat badan, IMT, dan tekanan darah harus diketahui.
-   Palpasi skrotum saat pasien berdiri diperlukan untuk menentukan ukuran
dan konsistensi testis. Apabila skrotum tidak terpalpasi pada salah satu
sisi, pemeriksaan inguinal harus dilakukan. Orkidometer dapat digunakan
untuk mengukur volume testis. Ukuran rata-rata testis orang dewasa yang
dianggap normal adalah 20 ml.16
-   Konsistensi testis dapat dibagi menjadi kenyal, lunak, dan keras.
Konsistensi normal adalah konsistensi yang kenyal. Testis yang lunak dan
kecil dapat mengindikasikan spermatogenesis yang terganggu.
-   Palpasi epididimis diperlukan untuk melihat adanya distensi atau indurasi.
Varikokel sering ditemukan pada sisi sebelah kiri dan berhubungan dengan
atrofi testis kiri. Adanya perbedaan ukuran testis dan sensasi seperti
meraba “sekantung ulat” pada tes valsava merupakan tanda-tanda
kemungkinan adanya varikokel.
-   Pemeriksaan kemungkinan kelainan pada penis dan prostat juga harus
dilakukan. Kelainan pada penis seperti mikropenis atau hipospadia dapat
mengganggu proses transportasi sperma mencapai bagian proksimal
vagina. Pemeriksaan colok dubur dapat mengidentifikasi pembesaran
prostat dan vesikula seminalis. 

  Analisis Sperma4
-   Penapisan antibodi antisperma tidak dianjurkan karena tidak ada bukti
pengobatan yang dapat meningkatkan fertilitas
-   Jika pemeriksaan analisis sperma dikatakan abnormal, pemeriksaan ulang
untuk konfirmasi sebaiknya dilakukan
-   Analisis sperma ulang untuk mengkonfirmasi pemeriksaan sperma yang
abnormal, dapat dilakukan 3 bulan pasca pemeriksaan sebelumnya sehingga
proses siklus pembentukan spermatozoa dapat terjadi secara sempurna.
Namun jika ditemukan azoospermia atau oligozoospermia berarti pemeriksaan
untuk konfirmasi harus dilakukan secepatnya.

                               Tabel 10. Referensi Hasil Analisa Sperma Menurut WHO 2010
 -   Pemeriksaan Computer-Aided Sperm Analysis (CASA)

Untuk melihat jumlah, motilitas dan morfologi sperma, pemeriksaan ini tidak
dianjurkan untuk dilakukan karena tidak memberikan hasil yang lebih baik
dibandingkan pemeriksaan secara manual

-   Pemeriksaan fungsi endokrinologi.

o   Dilakukan pada pasien dengan konsentrasi sperma < 10 juta/ml

o   Bila secara klinik ditemukan bahwa pasien menderita kelainan


endokrinologi. Pada kelainan ini sebaiknya dilakukan pemeriksaan
hormon testosteron dan FSH serum
-   Penilaian antibodi antisperma merupakan bagaian standar analisis semen.
Menurut kriteria WHO, pemeriksaan ini dilakukan dengan pemeriksaan
imunologi atau dengan cara melihat reaksi antiglobulin. Namun saat ini
pemeriksaan antibodi antisperma tidak direkomendasikan untuk dilakukan
sebagai penapisan awal karena tidak ada terapi khusus yang efektif untuk
mengatasi masalah ini.4

  Pemeriksaan kasus Infertilitas Idiopatik

Dalam tatalaksana infertilitas perbandingan antara biaya yang dikeluarkan dan


efektifitas pemeriksaan sangat penting dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan
klinik.National Institute for Health and Clinical Excellence in the UK and the American
Society of Reproductive Medicine merekomendasikan pemeriksaan yang penting sebagai
berikut : analisis semen, penilaian ovulasi dan evaluasi patensi tuba dengan
histerosalpingografi atau laparoskopi. Peran HSG atau laparoskopi terus menjadi
perdebatan, laparoskopi perlu dipertimbangkan pada kecurigaan adanya endometriosis
berat, perlekatan organ pelvis atau kondisi penyakit pada tuba.6

-   Histeroskopi

Histeroskopi meruapakan baku emas dalam pemeriksaan yang


mengevaluasi kavum uteri. Meskipun Fayez melaporkan pemeriksaan HSG sama
akuratnya dengan histeroskopi dalam hal diagnosis. Peran histeroskopi dalam
pemeriksaan infertilitas adalah untuk mendeteksi kelaianan kavum uteri yang
dapat mengganggu proses implantasi dan kehamilan serta untuk mengevaluasi
manfaat modalitas terapi dalam memperbaiki endometrium.17

Oliveira melaporkan kelainan kavum uteri yang ditemukan dengan


pemeriksaan histeroskopi pada 25 % pasien yang mengalami kegagalan berulang
fertilisasi in vitro (FIV).Semua pasien tersebut memiliki HSG normal pada
pemeriksaan sebelumnya. Penanganan yang tepat akan meningkatkan kehamilan
secara bermakna pada pasien dengan kelainan uterus yang ditemukan saat
histeroskopi.17

Histeroskopi memiliki keunggulan dalam mendiagnosis kelainan intra


uterin yang sangat kecil dibandingkan pemeriksaan HSG dan USG transvaginal.
Banyak studi membuktikan bahwa uterus dan endometrium perlu dinilai sejak
awal pada pasien infertilitas atau pasien yang akan menjalani FIV.17

-   Laparoskopi

Tindakan laparoskopi diagnostik dapat dilakukan pada pasien infertilitas


idiopatik yang dicurigai mengalami patologi pelvis yang menghambat kehamilan.
Tindakan ini dilakukan untuk mengevaluasi rongga abdomino-pelvis sekaligus
memutuskan langkah penanganan selanjutnya.18

Studi menunjukkan bila hasil HSG normal, tindakan laparoskopi tidak


perlu dilakukan Laparoskopi diagnostik dapat dipertimbangkan bila hingga
beberapa siklus stimulasi ovarium dan inseminasi intra uterin pasien tidak
mendapatkan kehamilan.18

Mengacu pada American Society of Reproductive Medicine (ASRM),


laparoskopi diagnostik hanya dilakukan bila dijumpai bukti atau kecurigaan kuat
adanya endometriosis pelvis, perlengketan genitalia interna atau oklusi
tuba.Tindakan laparoskopi diagnostik pada pasien infertilitas idiopatik tidak
dianjurkan bila tidak dijumpai faktor risiko patologi pelvis yang berhubungan
dengan infertilitas. Kebanyakan pasien akan hamil setelah menjalani beberapa
siklus stimulasi ovarium dan atau siklus FIV.18

F.     PEMBENTUKAN SEL TELUR DAN SPERMATOGENESIS

  Pada Wanita
Oogenesis merupakan awal dari proses ovulasi. Oogenesis adalah proses
pembentukan ovum di dalam ovarium dan di dalam ovarium terdapat oogonium atau sel
indung telur. Oogonium bersifat diploid dengan 46 kromosom atau 23 pasang kromosom.
Oogonium akan memperbanyak diri dengan cara mitosis membentuk oosit primer. Kemudian
oosit primer mengalami meiosis I, yang akan menghasilkan oosit sekunder dan badan polar I
(polosit primer). Selanjutnya, oosit sekunder meneruskan tahap meiosis II dan menghasilkan
satu sel besar yang disebut ootid dan satu sel kecil yang disebut badan polar kedua (polosit
sekunder).Badan polar pertama juga membelah menjadi dua badan polar kedua. Akhirnya,
ada tiga badan polar dan satu ootid yang akan tumbuh menjadi ovum dari oogenesis setiap
satu oogonium.

Ovulasi terbagi atas 3 fase yaitu:

a.       Fase pra-ovulasi


Oosit dalam oogonium berada di dalam suatu folikel telur.Folikel juga mengalami
perubahan seiring dengan perubahan oosit primer menjadi oosit sekunder hingga terjadi
ovulasi.Sebelumnya, Hipotalamus mengeluarkan hormon gonadotropin yang merangsang
hipofisis untuk mengeluarkan FSH.Adanya FSH merangsang pembentukan folikel primer
di dalam ovarium yang mengelilingi satu oosit primer. Folikel primer dan oosit primer
akan tumbuh sampai hari ke-14 hingga folikel menjadi matang atau disebut folikel de
Graaf dengan ovum di dalamnya. Selama pertumbuhannya, folikel juga melepaskan
hormon estrogen.Adanya estrogen menyebabkan pembentukan kembali (proliferasi) sel-
sel penyusun dinding dalam uterus dan endometrium.Karena itulah fase pra-ovulasi juga
di sebut sebagai fase poliferasi.

Gambar 2. Fase Pra Ovulasi


b.      Fase ovulasi
Ovulasi merupakan proses pelepasan sel telur yang telah matang dari ovarium dan
kemudian berjalan menuju tuba fallopi untuk di buahi. Pada saat mendekati fase ovulasi
atau mendekati hari ke-14 terjadi perubahan produksi hormon. Peningkatan kadar
estrogen selama fase pra-ovulasi menyebabkan reaksi umpan balik negatif atau
penghambatan terhadap pelepasan FSH lebih lanjut dari hipofisis. Penurunan konsentrasi
FSH menyebabkan hipofisis melepaskan LH.Dan LH merangsang pelepasan oosit
sekunder dari folikel de Graaf.Pada saat inilah disebut ovulasi dan umumnya ovulasi
terjadi pada hari ke-14.

Gambar 3. Fase Ovulasi


c.       Fase pasca-ovulasi
Pada fase pasca-ovulasi, folikel de Graaf yang ditinggalkan oleh oosit sekunder
karena pengaruh LH dan FSH akan berkerut dan berubah menjadi korpus luteum. Korpus
luteum tetap memproduksi estrogen (namun tidak sebanyak folikel de Graaf
memproduksi estrogen) dan hormon lainnya, yaitu progesteron.Progesteron mendukung
kerja estrogen dengan menebalkan dinding dalam uterus atau endometrium dan
menumbuhkan pembuluh-pembuluh darah pada endometrium. Progesteron juga
merangsang sekresi lendir pada vagina dan pertumbuhan kelenjar susu pada payudara.
Keseluruhan fungsi progesteron (juga estrogen) tersebut berguna untuk menyiapkan
penanaman (implantasi) zigot pada uterus bila terjadi pembuahan atau kehamilan. Proses
pasca-ovulasi ini berlangsung dari hari ke-15 sampai hari ke-28. Namun, bila sekitar hari
ke-26 tidak terjadi pembuahan, korpus luteum akan berubah menjadi korpus albikan.
Korpus albikan memiliki kemampuan produksi estrogen dan progesteron yang rendah,
sehingga konsentrasi estrogen dan progesteron akan menurun. Pada kondisi ini, hipofisis
menjadi aktif untuk melepaskan FSH dan selanjutnya LH, sehingga fase pasca-ovulasi
akan tersambung kembali dengan fase menstruasi berikutnya.
Gambar 4. Fase Pasca Ovulasi

  Pada Pria

Spermatogenesis merupakan proses pembentukan spermatozoa. Spermatozoa


merupakan sel yang dihasilkan oleh fungsi reproduksi pria (Junqueira dan Jose,
2007).Spermatozoa merupakan sel hasil maturasi dari sel germinal primordial yang
disebut dengan spermatogonia.Spermatogonia berada pada dua atau tiga lapisan
permukaan dalam tubulus seminiferus.Spermatogonia mulai mengalami pembelahan
mitosis, yang dimulai saat pubertas, dan terus berproliferasi dan berdiferensiasi melalui
berbagai tahap perkembangan untuk membentuk sperma.

Spermatogenesis terjadi di tubulus seminiferus selama masa seksual aktif akibat


stimulasi oleh hormon gonadotropin yang dihasilkan di hipofisis anterior, yang dimulai
rata-rata pada umur 13 tahun dan terus berlanjut hampir di seluruh sisa kehidupan, namun
sangat menurun pada usia tua. Pada tahap pertama spermatogenesis, spermatogonia
bermigrasi di antara sel- sel sertoli menuju lumen sentral tubulus seminiferus.Sel-sel
sertoli ini sangat besar, dengan pembungkus sitoplasma yang berlebihan yang
mengelilingi spermatogonia yang sedang berkembang sampai menuju bagian tengah
lumen tubulus.
Proses berikutnya adalah pembelahan secara meiosis. Pada tahap ini
spermatogonia yang melewati lapisan pertahanan masuk ke dalam lapisan sel Sertoli akan
dimodifikasi secara berangsur-angsur dan membesar untuk membentuk spermatosit
primer yang besar. Setiap spermatosit tersebut, selanjutnya mengalami pembelahan
mitosis untuk membentuk dua spermatosit sekunder.Setelah beberapa hari, spermatosit
sekunder ini juga membelah menjadi spermatid yang akhirnya dimodifikasi menjadi
spermatozoa (sperma).

Selama masa pergantian dari tahap spermatosit ke tahap spermatid, 46 kromosom


spermatozoa (23 pasang kromosom) dibagi sehingga 23 kromosom diberikan ke satu
spermatid dan 23 lainnya ke spermatid yang kedua. Keadaaan ini juga membagi gen
kromosom sehingga hanya setengah karakteristik genetik bayi yang berasal dari ayah,
sedangkan setengah sisanya diturunkan dari oosit yang berasal dari ibu. Keseluruhan
proses spermatogenesis, dari spermatogonia menjadi spermatozoa, membutuhkan waktu
sekitar 74 hari.

Proses selanjutnya adalah pembentukan sperma. Ketika spermatid dibentuk


pertama kali, spermatid tetap memiliki sifat-sifat yang lazim dari sel-sel epiteloid, tetapi
spermatid tersebut segera berdiferensiasi dan memanjang menjadi spermatozoa.Masing-
masing spermatozoa terdiri atas kepala dan ekor.Kepala terdiri atas inti sel yang padat
dengan hanya sedikit sitoplasma dan lapisan membran sel di sekeliling permukaannya.Di
bagian luar, dua pertiga anterior kepala terdapat selubung tebal yang disebut akrosom
yang terutama dibentuk oleh apparatus Golgi.Selubung ini mengandung sejumlah enzim
yang serupa dengan enzim yang ditemukan pada lisosom dari sel-sel yang khas, meliputi
hialuronidase (yang dapat mencerna filamen proteoglikan jaringan) dan enzim proteolitik
yang sangat kuat (yang dapat mencerna protein).

Enzim ini memainkan peranan penting sehingga memungkinkan sperma untuk


memasuki ovum dan membuahinya. Ekor sperma, yang disebut flagellum, memiliki tiga
komponen utama yaitu (1) kerangka pusat yang secara keseluruhan disebut aksonema,
yang memiliki struktur yang serupa dengan struktur silia yang terdapat pada permukaan
sel tipe lain; (2) membran sel tipis yang menutupi aksonema; dan (3) sekelompok
mitokondria yang mengelilngi aksonema di bagian proksimal ekor ( badan ekor).
Gerakan maju-mundur ekor (gerakan flagella) memberikan motilitas sperma.Gerakan ini
disebabkan oleh gerakan meluncur longitudinal secara ritmis di antara tubulus posterior
dan anterior yang membentuk aksonema.Sperma yang normal bergerak dalam medium
cair dengan kecepatan 1 sampai 4 mm/menit. Kecepatan ini akan memungkinkan sperma
untuk bergerak melalui traktus genitalia wanita untuk mencapai ovum.
Gambar 5. Spermatogenesis
Gambar 6. Struktur dari spermatozom

Proses selanjutnya setelah pembentukan sperma adalah pematangan sperma di


epididimis. Setelah terbentuk di tubulus seminiferus, sperma membutuhkan waktu
beberapa hari untuk melewati tubulus epididimis yang panjangnya 6 meter.Sperma yang
bergerak dari tubulus seminiferus dan dari bagian awal epididimis adalah sperma yang
belum motil, dan tidak dapat membuahi ovum. Akan tetapi, setelah sperma berada dalam
epididimis selama 18-24 jam, sperma akan memiliki kemampuan motilitas.
Kemampuan bergerak maju (motilitas progresif) yang diperoleh di epididimis,
melibatkan aktivasi suatu protein unik yang disebut CatSper, yang berada di bagian
utama ekor sperma.Protein ini tampaknya adalah suatu kanal Ca2+ yang memungkinkan
influx Ca2+ generalisata c-AMP.Selain itu, spermatozoa mengekspresikan reseptor
olfaktorius, dan ovarium menghasilkan molekul mirip odoran. Bukti-bukti terkini
mengisyaratkan bahwa berbagai molekul ini dan reseptornya saling berinteraksi, yang
memperkuat gerakan spermatozoa ke arah ovarium.

Semen Cairan yang diejakulasikan pada saat orgasme, yakni semen (air mani),
mengandung sperma dan sekret vesikula seminalis, prostat, kelenjar Cowper, dan
mungkin kelenjar uretra (Tabel 2.3). Volume rerata per ejakulat adalah 2,5-3,5 mL
setelah beberapa hari tidak dikeluarkan. Volume semen dan hitung sperma menurun cepat
bila ejakulasi berkurang.Walaupun hanya diperlukan satu sperma untuk membuahi ovum,
setiap milliliter semen normalnya mengandung 100 juta sperma. Lima puluh persen pria
dengan hitung sperma 2040 juta/mL dan pada dasarnya, semua pria dengan nilai hitung
yang kurang dari 20 juta/mL dianggap mandul. Adanya banyak spermatozoa yang
immotil atau cacat juga berkorelasi dengan infertilitas.Prostaglandin dalam semen, yang
sebenarnya berasal dari vesikula seminalis, kadarnya cukup, namun fungsi turunan asam
lemak in di dalam semen tidak diketahui. Sperma manusia bergerak dengan kecepatan
sekitar 3 mm/menit melintasi saluran genitalia wanita. Sperma mencapai tuba uterina 30-
60 menit setelah kopulasi. Pada beberapa spesies, kontraksi organ wanita mempermudah
transportasi sperma ke tuba uterina, namun tidak diketahui apakah kontraksi semacam
itu penting pada manusia.

                                                            Table 11. Komposisi Semen Manusia


 

-   Patogenesis infertilitas pada pria

  

Gambar 7. Abnormal sperma infertil


Terdapat 3 kategori utama penyebab infertilitas pada pria:

      1.      Gangguan reproduksi sperma, misalnya akibat kegagalan testis primer
(hipergonadotropik hipogonadisme) yang disebabkan oleh faktor genetik (sindroma
klinefelter, mikrodelesi kromosom Y) atau kerusakan langsung lainnya terkait anatomi
(varikookel, crytorchidism), infeksi (mumps, orchitis), atau gonadotoksin. Stimulasi
gonadotropin yang tidak adekuat yang disebabkan karena faktor genetik (isolated
gonadotropin deficiency), efek langsung maupun tidak langsung dari tumor hippotalamus
atau pituitari, atau penggunaan androgen eksogen, misalnya Danazol, Metiltestoteron
(penekanan pada sekresi gonadotropin) merupakan penyebab lain dari produksi sperma
yang buruk.
      2.      Gangguan fungsi sperma, misalnya akibat antibodi antisperma, radang saluran genital
(prostatitis), varikokel, kegagalan reaksi akrosom, ketidaknormalan biokimia, atau
gangguan dengan perlengketan sperma (ke zona pelusida) atau penetrasi.
      3.      Sumbatan pada duktus, misalnya akibat vasektomi, tidak adanya vas deferens
bilateral, atau sumbatan kongenital atau yang didapat (acquired).

II. HIPERBARIK OKSIGEN (HBO)


A.    DEFINISI
Hiperbarik berasal dari kata hyper berarti tinggi, bar berarti tekanan. Dengan kata
lain terapi hiperbarik adalah terapi dengan menggunakan tekanan yang tinggi. Pada
awalnya, terapi hierbarik hanya digunakan untuk mengobati decompression sickness,
yaitu suatu penyakit yang disebabkan oleh penurunan tekanan lingkungan secara
mendadak sehingga menimbulkan sejumlah gelembung nitrogen dalam cairan tubuh
baik didalam sel maupun diuar sel, dan hal ini dapat menimbulkan kerusakan
disetiap organ didalam tubuh, dari derajat ringan sampai berat bergantung pada
jumlah dan ukuran gelembung yang terbentuk. Seiring dengan berjalannya waktu,
terapi hiperbarik berkembang fungsinya untuk terapi macam-macam penyakit,
beberapa diantaranya seerti stroke, multipel sclerosis, cerebral edema, keracunan
karbon monoksida dan sianida, trauma kepala tertututp, gas gangren, peripheral
neuropathy, osteomielitis, sindroma kompartemen, diabetik neuropati, migran, infark
miokard dan lain-lain.
Hiperbarik oksigen adalah suatu cara terapi dimana penderita harus berada
dalam suatu ruangan bertekanan, dan bernafas dengan oksigen 100% pada suasana
tekanan ruangan yang lebih besar dari 1 ATA (atmosfer absolute). Tidak terdapat
definisi yang pasti akan tekanan dan durasi yang digunakan untuk sesi terapi oksigen
hiperbarik. Umumnya tekanan minimal yang digunakan adalah sebesar 2,4 atm
selama 90 menit. Banyaknya sesi terapi bergantung pada kondisi pasien dengan
rentang 1 sesi untuk keracunan ringan karbon monoksida hingga 60 sesi atau lebih
untuk lesi diabetik pada kaki.

B.     MEKANISME
Mekanisme TOHB melalui dua mekanisme yang berbeda.Pertama, bernafas
dengan oksigen murni dalam ruang udara bertekanan tinggi (hyperbaric chamber)
yang tekanannya lebih tinggi dibandingkan tekanan atmosfer, tekanan tersebut dapat
menekan saturasi hemoglobin, yang merupakan bagian dari sel darah merah yang
berfungsi mentransport oksigen yang secara kimiawi dilepaskan dari paru ke
jaringan.Bernafas dengan oksigen 100% pada atmosfer yang normal tidak efek pada
saturasi hemoglobin.
Kedua, di bawah tekanan atmosfer, lebih banyak oksigen gas terlarut dalam
plasma. Meskipun dalam kondisi normal transport oksigen terlarut dalam plasma
jauh lebih signifikan daripada transport oleh hemoglobin, dengan TOHB kontribusi
transportasi plasma untuk jaringan oksigenasi sangat meningkat. Sebenarnya,
menghirup oksigen murni pada tiga kali yang normal atmosfer.Hasil tekanan dalam
peningkatan 15 kali lipat dalam konsentrasi oksigen terlarut dalam plasma. Itu adalah
konsentrasi yang cukup untuk memasok kebutuhan tubuh saat istirahat bahkan dalam
total tidak adanya hemoglobin.
Sistem kerja TOHB, pasien dimasukkan dalam ruangan dengan tekanan lebih
dari 1 atm, setelah mencapai kedalaman tertentu disalurkan oksigen murni (100%)
kedalam ruang tersebut. Ketika kita bernapas dalam keadaan normal, udara yang kita
hirup komposisinya terdiri dari hanya sekitar 20% adalah oksigen dan 80%nya
adalah nitrogen.
Pada TOHB, tekanan udara meningkat sampai dengan 2 kali keadaan nomal dan
pasien bernapas dengan oksigen 100%. Pemberian oksigen 100% dalam tekanan
tinggi, menyebabkan tekanan yang akan melarutkan oksigen kedalam darah serta
jaringan dan cairan tubuh lainnya hingga mencapai peningkatan konsentrasi 20 kali
lebih tinggi dari normal.
Oksigenasi ini dapat memobilisasi penyembuhan alami jaringan, hal ini
merupakan anti inflamasi kuat yang merangsang perkembangan pembuluh darah
baru, dapat membunuh bakteri dan mengurangi pembengkakan.

C.    INDIKASI
Hiperbarik dapat memiliki beberapa manfaat untuk mengobati penyakit-penyakit
akibat penyelaman dan kegiatan kelautan:
      Penyakit Dekompresi
      Emboli udara
      Luka bakar
      Crush Injury
      Keracunan gas karbon monoksida (CO)
Terdapat beberapa pengobatan tambahan, yaitu:
      Gas gangrene
      Komplikasi diabetes mellitus (gangrene diabeticum)
      Eritema nodosum
      Osteomyelitis
      Buerger’s diseases
      Morbus Hansen
      Psoriasis vulgaris
      Edema serebral
      Scleroderma
      Lupus eritematosus (SLE)
      Rheumatoid artritis
Terdapat pula pengobatan pilihan, yaitu:
      Pelayanan kesehatan dan kebugaran
      Pelayanan kesehatan olahraga
      Pasien lanjut usia (geriatri)
      Dermatologi dan kecantikan

D.    KONTRAINDIKASI
Kontraindikasi terapi oksigen hiperbarik terdiri dari kontraindikasi absolute dan
relatif.Kontra indikasi absolute yaitu penyakit pneumothorax yang belum ditangani.
Kontraindikasi relatif meliputi keadaan umum lemah, tekanan darah sistolik lebih
dari 170 mmHg atau kurang dari 90 mmHg, diastole lebih dari 110 mmHg atau
kurang dari 60 mmHg, demam tinggi lebih dari 38oC, ISPA, sinusitis,
Claustropobhia (takut pada ruangan tertutup), penyakit asma, emfisema dan retensi
CO2, infeksi virus, infeksi kuman aerob seperti TBC, lepra, riwayat kejang, riwayat
neuritis optik, riwayat operasi thorax dan telinga, wanita hamil, penderita sedang
kemoterapi seperti terapi adriamycin, bleomycin.

E.     PERSIAPAN
Persiapan terapi oksigen hiperbarik antara lain:
      Pasien diminta untuk menghentikan kebiasaan merokoknya 2 minggu sebelum
proses terapi dimulai. Tobacco mempunyai efek vasokonstriksi sehingga
mengurangi penghantaran oksigen ke jaringan.
      Beberapa medikasi dihentikan 8 jam sebelum memulai terapi oksigen hiperbarik
antara lain vitamin c, morfin dan alkohol.
      Pasien diberikan pakaian yang terbuat dari 100% bahan katun dan tidak memakai
perhiasan, alat bantu dengar, lotion yang terbuat dari bahan dasar petroleum,
kosmetik, bahan yang mengandung plastik, dan alat elektronik.
      Pasien tidak boleh menggunakan semua zat yang mengandung minyak atau
alkohol (yaitu, kosmetik, hairspray, cat kuku, deodoran, lotion, cologne, parfum,
salep) dilarang karena berpotensi memicu bahaya kebakaran dalam ruang oksigen
hiperbarik.
      Pasien harus melepaskan semua perhiasan, cincin, jam tangan, kalung, sisir
rambut, dan lain-lain sebelum memasuki ruang untuk mencegah goresan akrilik
silinder di ruang hiperbarik.
      Lensa kontak harus dilepas sebelum masuk ke ruangan karena pembentukan
potensi gelembung antara lensa dan kornea.
      Pasien juga tidak boleh membawa koran, majalah, atau buku untuk menghindari
percikan api karena tekanan oksigen yang tinggi berisiko menimbulkan
kebakaran.
      Sebelum pasien mendapatkan terapi oksigen hiperbarik, pasien dievaluasi terlebih
dahulu oleh seorang dokter yang menguasai bidang hiperbarik. Evaluasi
mencakup penyakit yang diderita oleh pasien, apakah ada kontraindikasi terhadap
terapi oksigen hiperbarik pada kondisi pasien.
      Sesi perawatan hiperbarik tergantung pada kondisi penyakit pasien. Pasien
umumnya berada pada tekanan 2,4 atm selama 90 menit. Tiap 30 menit terapi
pasien diberikan waktu istirahat selama 5 menit. Hal ini dilakukan untuk
menghindari keracunan oksigen pada pasien.
      Terapi oksigen hiperbarik memerlukan kerjasama multidisiplin sehingga satu
pasien dapat ditangani oleh berbagai bidang ilmu kedokteran.
      Pasien dievaluasi setiap akhir sesi untuk perkembangan hasil terapi dan melihat
apakah terjadi komplikasi hiperbarik pada pasien.
      Untuk mencegah barotruma GI, ajarkan pasien benapas secara normal (jangan
menelan udara) dan menghindari makan besar atau makanan yang memproduksi
gas atau minum sebelum perawatan.
III. TERAPI HIPERBARIK PADA INFERTILITAS

A.    HUBUNGAN TERAPI HIPERBARIK DENGAN INFERTILITITAS PADA


WANITA

Infertilitas pada wanita dapat didefinisikan sebagai kegagalan untuk dapat hamil
setelah 12 bulan berhubungan seksual tanpa pelindung, yang masih merupakan masalah
kesehatan yang mengganggu sebanyak 6 juta pasangan di Amerika saat ini. Wanita yang
mengalami kesulitan untuk hamil sering merasa tertekan dan putus asa, yang dapat
menyebabkan masalah pada hubungan serta kerusakan umum pada kesehatan
pribadi.Sementara kondisi tertentu yang dikenal meningkatkan risiko infertilitas, seperti
sindrom ovarium polikistik dan endometriosis, sebanyak sepertiga kasus tidak dapat
dijelaskan.Meskipun fakta ini, ketebalan dan suplai darah dari endometrium-membran
lapisan dalam rahim biasanya dianggap sebagai tolok ukur untuk menentukan fertilitas
seorang wanita.Persiapan yang adekuat dari endometrium selama siklus menstruasi
adalah penting untuk konsepsi terkait dengan peran langsung dalam implantasi embrio.
Faktanya, kegagalan implantasi merupakan masalah yang paling sering terjadi
berhubungan dengan fertilisasi in vitro.19

Agar konsepsi dapat berhasil, ketebalan endometrial yang ideal yakni 10mm,
dengan 7mm atau kurang sering dikaitkan dengan terjadinya infertilitas.Wanita dengan
ketidakadekuatan endometrium sangat berguna untuk disarankan pemberian dosis tinggi
estrogen, atau memberikan obat yang dapat meningkatkan aliran darah perifer seperti
pentoxifylline.Namun, banyak wanita merasa tidak menginginkan untuk menggunakan
terapi obat sekitar waktu kehamilan karena risiko kerusakan janin.

  Hiperbarik Berhubungan Dengan Endometrium


Masalah infertilitas merupakan lebih atau kurangnya masalah di seluruh
dunia.Umumnya, setiap pasangan keenam memiliki masalah pemenuhan reproduksi
yang diinginkan dan membutuhkan bantuan dari pihak yang berkualitas. Salah satu
penyebab infertilitas pada wanita adalah masalah pada endometrium, yaitu kualitas
mukosa uterus dimana embrio masa depan akan berimplantasi. Mengingat bahwa
program fertilisasi in vitro (IVF), sonografi endometrium dan color Doppler dapat
digunakan untuk memprediksi terjadinya kehamilan dalam siklus alami atau siklus
yang distimulasi. Implantasi biasanya hanya akan terjadi jika endometrium telah
mencapai tahap tertentu dari vaskularisasi dan pengembangannya.20
HBOT aman dan sangat efektif untuk pengobatan alternatif pada wanita yang
memiliki endometrium yang tipis.HBOT terbukti meningkatkan aliran darah, dan
ketebalan endometrium;penelitian medis terbarutelah menunjukkan HBOT baik
untuk meningkatkan penebalan endometrium. Sebagai contoh studi yang dilakukan
di University of Belgrade pada 32 wanita yang fertilitasnya tidak diketahui,
menghasilkan rata-rata ketebalan endometriumnya meningkat 11 mm. tidak ada
pengobtan yang efektif untuk meningkatkan oksigenasi dan aliran darah seperrti
HBOT. 20

  Hiperbarik Berhubungan Dengan Stimulasi Folikel Ovarium


Angiogenesis dan aliran darah telah terbukti penting dalam perkembangan
folikel ovarium manusia. Hal ini telah dibuktikan sebagian besar dari USG dan
teknik Doppler yang telah secara konsisten menunjukkan peningkatan aliran darah
sistolik dalam ovarium preovulasi dibandingkan dengan di ovarium folikel awal.21
Beberapa studi telah menunjukkan peningkatan aliran darah perifollicular
selama perkembangan folikel untuk siklus IVF.Menariknya, oosit diambil dari
folikel yang memiliki aliran darah yang baik yang dibuktikan dengan USG, terbukti
meningkatkan perkembangan embrio in vitro.Studi terbaru juga menunjukkan
pentingnya oksigen dalam meiosis oosit.Pada manusia, pengurangan kandungan
oksigen di cairan folikel ovarium telah dikaitkan dengan peningkatan abnormalitas
dalam kromosomal pada metaphase spindle.Hal ini bisa mengakibatkan kelainan
segregation dan mosaicisms pada embrio awal. Dengan demikian, pasokan oksigen
yang memadai tampaknya diperlukan untuk memungkinkan pematangan sel telur
normal dan keselarasan kromosom selama meiosis.21
Berdasarkan American Society for Reproductive Medicine, mereka
berhipotesis bahwa penurunan oosit, penurunan tingkat kehamilan dengan IVF, dan
peningkatan abnormalitas kromosom ditemukan pada oosit wanita yang usianya
semakin bertambah karena gangguan angiogenesis folikel dan oksigenasi.
Selanjutnya kami berhipotesis bahwa ini dapat dibalikan dengan terapi oksigen
hiperbarik (HBO) selama rangsangan follicular untuk IVF.Untuk mulai menguji
hipotesis ini, kami melakukan penelitian ini untuk menentukan keamanan,
ketahanan, dan efek dari HBO bila digunakan selama stimulasi ovarium untuk IVF.
Contoh kasus dilakukan pada University of Iowa, dengan sampel wanita
infertil berusia 40 tahun atau lebih tua dan wanita berusia 35-39 tahun yang
setidaknya sudah melakukan satu siklus IVF sebelumnya yang kemudian dibatalkan
karena stimulasinya jelek. Pada saat pasien melakukan protocol IVF diberikan
terapi oksigen hiperbarik setiap hari selama 2 jam, Senin sampai Jumat. Dengan
tekanan 2,4 atm, dan pasien bernapas dengan oksigen 100% selama 90 menit. Ini
adalah standar waktu dan dosis perawatan HBO untuk sebagian
indikasi.Penyelaman terus dilakukan sampai hari sebelum pengambilan oosit
kecuali pada akhir pekan.Semua siklus stimulasi diatur mulai pada hari Senin (hari
pertama injeksi leuprolide), sehingga HBO dimulai dengan timbulnya stimulasi
ovarium.Hasil: terdapat dua wanita setelah terapi HBO dan IVF, yang pertama usia
36 tahun dimana dia pernah melakukan IVF sebelumnnya namun gagal karena
stimulasi yang jelek, dia melakukan 10 kali perawatan HBO dan sekarang dia
mengandung anak kembar. Wanita kedua berusia 41 tahun, pernah melakukan IVF
dua kali siklus sebelumnnya dan melakukan 11 kali perawatan HBO, dan dia
mengandung anak kembar.Tidak ada komplikasi kehamilan baik untuk wanita, dan
tidak ada cacat lahir yang dicatat pada anak-anak.21
Hiperbarik oksigen 100% pada 2 sampai 3 atm di permukaan laut-dapat
mengakibatkan tegangan oksigenjaringan 15 kali dari kondisi fisiologis normal
tingkat oksigenjaringan yang tinggi disebabkan oleh HBO yang merangsang
angiogenesis dalam jaringan yang vaskularisasinya buruk, dan HBO umumnya
digunakan untuk pengobatan penyembuhan luka yang sukar, terutama pada jaringan
yang sebelumnya terpapar sinar radiasi atau pada pasien diabetes. Mekanisme
peningkatan angiogenesis muncul dengan menyediakan oksigen yang
dibutuhkan.Angiogenesis penting untuk perkembangan folikel, kualitas oosit, dan
perkembangan embrio awal.

  Hiperbarik Berhubungan Dengan Anti Mullerian Hormone (AMH)


Anti mullerian hormone merupakan penanda biokimia yang baik untuk
fungsi ovarium pada situasi klinis yang beragam. AMH merupakan bagian dari β-
TGF dan diekspresikan dari folikel preantral dan antral dibawah diameter 8 mm.
Pada wanita dewasa level AMH akan menurun seiring bertambahnya umur dan
AMH tidak terdeteksi saat menopause. Kadar AMH tampaknya menjadi awal dan
merupakan indicator langsung dari penurunan fungsi ovarium. Hal ini juga sangat
berguna untuk mengidentifikasi penurunan folikel ovarium termasuk pada pasien
kanker dan pada pasien yang sudah mengalami radiasi pada cidera
ovarium/pembedahan.22
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Jesus dkk. Terdapat
peningkatan serum AMH sebesar 40 % dan 116 % pada 2 dari 4 pasien yang
terlibat. Pasien tersebut manjalani 20 sesi yang berlangsung 1 jam dengan 2 atm
selama 30 hari.23

B.     HUBUNGAN TERAPI HIPERBARIK DENGAN INFERTILITITAS PADA


PRIA

Kedokteran hiperbarik, juga dikenal sebagai terapi oksigen hiperbarik (HBOT),


adalah penggunaan medis oksigen di tingkat yang lebih tinggi daripada tekanan atmosfer.
Peralatan yang dibutuhkan terdiri dari ruang tekanan, yang mungkin konstruksi kaku atau
fleksibel, dan sarana memberikan oksigen 100%.

HBOT diduga memungkinkan untuk meningkatkan tingkat kesuksesan dari


kehamilan natural dan IV. Penelitian menunjukan salah satu dari alasan terjadinya
infertilitas adalah penurunan perfusi jaringan (iskemia) dan konseksuensi jaringan yang
rendah oksigenasi atau hipoksia.
HBOT dibutuhkan pada terapi infertilitas meliputi:

  Meningkatkan pengambilan sejumlah oksigen dengan memasukan oksigen ke


dalam organ dan mendorong pertumbuhan mikrosirkulasi.

  Meningkatkan kemampuan kekebalan tubuh, memungkinkan penyembuhan


luka, pengendalian infeksi, mengurangi iskemia jaringan, dan mengurangi peradangan
menyakitkan dan pembengkakan.
  Menghilangkan racun dan metabolisme oleh-produk dari tubuh, yang sangat
meningkat pada pasien dengan harapan kesuburan memadai

Bagaimana HBOT membantu Infertilitas Pria?

HBOT telah ditemukan untuk mengurangi dan bahkanmenghilangkan disfungsi dari


rendahnya oksigenasi dengan:

  Menormalkan struktur fisikdan volume testis.

  Peningkatan produksi sperma.

  Peningkatan kualitas semen

  Pengaruh Hiperbarik Pada Motalitas Sperma Digerakan Oleh Respirasi


Mitokondria 

Pada penelitian terbaru yang dilakukan padalaki-laki dengan factorrisiko


infertilitas. Terjadi peningkatan yang signifikan dalam aktivitas motorik
peningkatan spermatogenesis setelah dua bulan setelah dilakukan HBOT.
Peningkatan terbesar spermatozoid telah ditemukan dalam sampel selama
persiapan in vitro dengankualitas media sperma yang baik.24

Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa paparan akut dari sampel


sperma untuk HBOT memiliki dampak yang menguntungkan terhadap kapasitas
fungsional spermatozoids dalam melakukan motilitas yang lebih baik.
Perpanjangan dan menunda efek HBOTdiuji oleh analisis kontrol spermogram-
semensetelah 70 sampai 90 hari setelah terapi dengan
hasilinduksispermatogenesis yang baik, berkat hiperbarik oksigen dan eliminasi
dari spesies oksigen reaktif dan menghindari infeksi karena hyperoxia. Ada juga
efek yang baikpada integritas DNA dengan berkurangnya fragmentasi DNA pada
kondisi hipoksia.24
DAFTAR PUSTAKA

1.      HIFERI, PERFITRI,IAUI,POGI. Konsensus penanganan infertilitas. 2013

2.      RCOG. Fertility: assessment and treatment for people with fertility problems. 2004.

3.      Schorge J, Schaffer J, Halvorson L, Hoffman B, Bradshaw K, Cunningham. Williams


Gynecology: McGraw-Hill

4.      Aleida G, Huppelschoten, Noortje T, Peter FJ, van Bommel , Kremer J, Nelen W.
Do infertile women and their partners have equal experiences with fertility care. Fertil
Steril. 2013;99(3).

5.      Rybak EA. Wallach EE. Chapter 31. Infertility and assisted reproductive
technologies.in:Fortner, B Kimberly, Szymanski, M Linda, Fox, et all, editors. The
Johns Hopkins Manual of Gynecology and Obstetrics.3rd Ed. 2007. Lippincott
Williams & Wilkins.p

6.      ASRM. Definitions of infertility and recurrent pregnancy loss: a committee opinion.
Fertil Steril. 2013;Jan 99(1):63.

7.      WHO. Infecundity, Infertility, and Childlessness in Developing Countries2004; DHS


Comparative Reports No.9.

8.      Balen A, Jacobs H. Infertility in Practice. Leeds and UK: Elsevier Science; 2003.

9.      Fritz M, Speroff L. Clinical Gynecologic Endocrinology & Infertility. 8th ed.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2010.

10.  ASRM. Endometriosis and infertility: a committee opinion Fertil Steril. 2012;98:591-
8.
11.  World Health Organization. WHO Manual for the Standardised Investigation and
Diagnosis of the Infertile Couple. Cambridge: Cambridge University Press 2000

12.  European Association of Urology (EAU) Guidelines on male infertility EAU;2010

13.  Nieschlag E, Behre HM. Andrology (Eds), Male reproductive health and dysfunction,
2nd Ed. Springer Verlag, Berlin, Chapter 5, pp.83-87.

14.  Wiweko B, Prawesti D, Hestiantoro A, Sumapraja K, Natadisastra M, Baziad A.


Chronological age vs biological age: an age-related normogram for antral follicle
count, FSH and anti-Mullerian hormone. Pubmed. 2013.

15.  Karavolos S, Stewart J, Evbuomwan I, McEleny K, Aird I. Assessment of the


infertile male. The Obstetrician & Gynaecologist. 2013;15:1-9.

16.  Sigman M, Lipshultz L, Howards S. Office evaluation of the subfertile male.


Cambridge2009.

17.  Pansky M. Diagnosis Hysteroscopy as a Primaey Tool in a Basic Infetility Workup.


JSLS. 2006;10:231-35.

18.  Kahyaoglu S. Does diagnostic laparoscopy have value in unexplained infertile couple
? A review of the current literature. 2012;4:124-28.

19.  Mitrovic A, Nicolic B, Dragojevitc S, Brkic P, Ljubic A, Jovanovic T. Hyperbaric


oxygenation as a possible therapy of choice for infertility treatment. Bosnian Journal
of Basic Medical Sciences. 2006; 6(2): 21-24.

20.  Mitrovic A, Nicolic B, Dragojevitc S, Brkic P, Jovanovic T. Hyperbaric oxygenation


and endometrial receptivity. 2003.

21.  American Society for Reproductive Medicine. Hyperbaric oxygen and ovarian
follicular stimulation for in vitro fertilization; a pilot study. Elsevier Fertile Sterile
2005; 83: 226-8.
22.  Mitrovic A, Jovanovic T. Hyperbaric oxygenation therapy in infertility patients.
Imedpub Journal Critical Care Obstetric and Gynecology. 2016; 2(1): 12.

23.  Pineda JFG, Ortiz CGSL, Moguel GJS, Lopez CREC, Héctor Mondragón Alcocer,
Velasco ST. Téllez.Improvement in Serum Anti-Müllerian Hormone Levels in
Infertile Patients after Hyperbaric Oxygen (preliminary results). JBRA Assist.
Reprod. 2015; 19 (2):87-90

24.  Mitrovic A. Hyperbaric Oxygen Therapy in the Treatment of Male Infertility


Associated With Increased Sperm DNA Fragmentation and Reactive Oxygen Species
in Semen. Department of Urology and Surgical Andrology, Russian Medical
Academy of Postgraduate Education of Minzdrav of Russia, Moscow; Botkin City
Clinical Hospital, Moscow. 2016

Diposting 21st April 2016 oleh Frans Irapanussa

Label: KOASS

Tambahkan komentar

1.

Apr

18

TERAPI OKSIGEN HIPERBARIK


PADA KASUS OSTEOMIELITIS
Hiperbarik oksigen terapi (HBOT) memiliki mekanisme dengan memodulasi nitrit
okside (NO) pada sel endotel. Pada sel endotel ini HBOT juga meningkatkan intermediet
vaskuler endotel growth factor (VEGF). Melalui siklus Krebs terjadi peningkatan NADH
yang memicu peningkatan fibroblast. Fibroblast yang diperlukan untuk sintesis
proteoglikan dan bersama dengan VEGF akan memacu kolagen sintesis pada proses
remodeling, salah satu tahapan dalam penyembuhan luka.
Oksigen hiperbarik adalah suatu cara pengobatan dimana pasien menghirup oksigen
murni (100%) pada tekanan udara lebih besar dari pada tekanan udara atmosfer normal.
Pengobatan oksigen hiperbarik ini, berpengaruh pada pengiriman oksigen secara sistemik
dimana terjadi peningkatan 2 sampai 3 kali lebih besar dari pada atmosfir biasa.
Mekanisme di atas berhubungan dengan salah satu manfaat utama HBOT yaitu untuk
wound healing. Pada bagian luka terdapat bagian tubuh yang mengalami edema dan
infeksi. Di bagian edema ini terdapat radikal bebas dalam jumlah yang besar. Daerah
edema ini mengalami kondisi hipo-oksigen karena hipoperfusi. Peningkatan fibroblast
sebagaimana telah disinggung sebelumnya akan mendorong terjadinya vasodilatasi pada
daerah edema tersebut. Jadilah kondisi daerah luka tersebut menjadi hipervaskular,
hiperseluler dan hiperoksia. Dengan pemaparan oksigen tekanan tinggi, terjadi
peningkatan IFN-γ, i-NOS dan VEGF. IFN- γ menyebabkan TH-1 meningkat yang
berpengaruh pada B-cell sehingga terjadi pengingkatan Ig-G. Dengan meningkatnya Ig-
G, efek fagositosis leukosit juga akan meningkat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
pada luka, HBOT berfungsi menurunkan infeksi dan edema.
Adapun cara HBOT pada prinsipnya adalah diawali dengan pemberianO 2 100%,
tekanan 2 – 3 Atm. Tahap selanjutnya dilanjutkan dengan pengobatan decompresion
sickness. Maka akan terjadi kerusakan jaringan, penyembuhan luka, hipoksia sekitar luka.
Kondisi ini akan memicu meningkatnya fibroblast, sintesa kolagen, rasio RNA/DNA,
peningkatan leukosit killing, serta angiogenesis yang menyebabkan neovaskularisasi
jaringan luka. Kemudian akan terjadi peningkatan dan perbaikan aliran darah
mikrovaskular. Densitas kapiler meningkat sehingga daerah yang mengalami iskemia
akan mengalami reperfusi. Sebagai respon, akan terjadi peningkatan NO hingga 4 – 5
kali dengan diiringi pemberian oksigen hiperbarik 2-3 ATA selama 2 jam. Hasilnya pun
cukup memuaskan, yaitu penyembuhan jaringan luka. Terapi ini paling banyak dilakukan
pada pasien dengan diabetes mellitus dimana memiliki luka yang sukar sembuh karena
buruknya perfusi perifer dan oksigenasi jaringan di distal. Sebelum menjalani terapi,
mekanisme yang paling utama adalah sebelum terapi pasien harus menjalani
pemeriksaan terlebih dahulu, antaranya:
      Menyebutkan atau mengisi riwayat kesehatan pasien. Hal ini penting dilakukan untuk
menghindari terjadinya kontraindikasi dan komplikasi.
      Melakukan pemeriksaan foto toraks (rontgen). Tujuannya untuk mendeteksi apakah
jantung dan paru-paru dalam kondisi baik atau sebaliknya. Jika ternyata mengalami
tuberkolosis, misalnya konsultasikan pada ahli paru agar diobati. Bila perlu pasien
dianjurkan membeli masker sendiri untuk menghindari penularan penyakit itu pada
orang lain. Intinya pemeriksaan ini bertujuan mengetahui secara persis kondisi
keseluruhan si pasien dan untuk mencari faktor penyebab penyakit. Sekali lagi, upaya
tersebut dilakukan semata-mata untuk menghindari kemungkinan efek samping yang
terjadi.

TERAPI OKSIGEN HIPERBARIK PADA KASUS OSTEOMIELITIS


Pengobatan osteomyelitis kompleks dan sulit dan membutuhkan pendekatan
multidisiplin. Walaupun operasi debridemen dan pengobatan dengan antibiotik telah
dilakukan, terapi membutuhkan waktu yang lama dan hasil akhirnya dapat tidak sesuai
dengan harapan. Kegagalan terapi pada osteomyelitis mempunyai berbagai macam factor
antara lain yang berperan adalah aliran darah yang berkurang, hipoksia, dan iskemia
jaringan. Oleh karena itu, akhir-akhir ini dikembangkan terapi adjuvant untuk terapi
osteomyelitis. Terapi oksigen hiperbarik adalah salah satu terapi adjuvant yang paling
potensial dan yang tersering digunakan sebagai adjuvant pada terapi osteomyelitis. Terapi
HBO meningkatkan tekanan oksigen jaringan, tulang dan jaringan lunak yang mengalami
penyembuhan akibat iskemik. Mekanisme HBO dalam pengobatan osteomielitis adalah:

1.    Meningkatkan tekanan oksigen pada jaringan


2.    Meningkatkan mekanisme fagosit leukosit pada tulang dan luka dengan tekanan
oksigen rendah
3.  Tekanan optimal oksigen meningkatkan osteogenesis atau neurovaskularisasi pada
daerah yang mengalami kematian jaringan, pembuluh daran atau jaringan lunak
4.    HBO meningkatkan aktivitas osteoklastik untuk menghilangkan debris pada tulang
dan juga menghambat pertumbuhan organisme anaerobik dalam jaringan hipoksia
Tekanan oksigen normal pada tulang yang sehat adalah sekitar 45 mmHg oksigen di
bawah kondisi ruangan. Jaringan tulang yang terinfeksi dan nekrotik menyebabkan
penurunan tekanan oksigen yaitu 23 mmHg. Hal ini menyebabkan gangguan vaskular,
pembentukan jaringan parut pada jaringan tulang yang terinfeksi. Sehingga untuk
memperbaiki kondisi tersebut dibutuhkan tekanan oksigen sekitar 30- 40 mmHg.
Tekanan ini dibutuhkan untuk pembentukan neurovaskularisasi dalam jaringan yang
mengalami iskemik dan meningkatkan killing leukosit. Walaupun pemberian antibiotik
dapat membunuh meikoorganisme dalam jaringan lunak di area infeksi dan operasi
menghilangkan jaringan yang mati pada tulang yang terinfeksi namun HBO memperbaiki
respon host dengan membuat lingkungan lebih menguntungkan untuk membunuh
leukosit oksidatif, neurovaskularisasi dan resorspsi tulang yang mengalami iskemik dan
tersinfeksi. Selian itu terapi HBO meningkatkan transportasi dan menambahkan
kemanjuran terapi antibiotik karena pemberian antibiotik akan terhambat jika terdapat
area yang mengalami hipoksia.

Secara garis besar pemakaian dan mekanisme oksigen hiperbarik dalam proses
penyembuhan luka dapat dijelaskan sebagai berikut: Hipoksia pada luka dapat dikoreksi
dengan terapi oksigen yang bervariasi dari pemakaian intalasi oksigen 40% pada tekanan
udara bebas hingga oksigen 100% pada tekanan 2,5 Tekanan Atmosfir Absolut (ATA).
Tekanan yang tinggi diperlukan untuk oksigenasi di pusat luka kronis yang hipoksia.
Terapi oksigen hiperbarik pada tekanan 2 ATA memperlihatkan terjadinya peningkatan
oksigenasi jaringan yang mengalami hipoksia. Koreksi secara intermiten pada luka yang
hipoksia dengan terapi oksigen dapat meningkatkan replikasi fibroblas dan produksi
kolagen. Meningkatnya tekanan oksigen pada luka dapat meningkatkan aktifitas leukosit
untuk membunuh bakteri patogenik.
Sel PMN merupakan sel yang bertanggung jawab terhadap perlawanan infeksi
bakteri. Dengan menggunakan model S.aureus, Mader menunjukkan hubungan
proporsional antara tekanan oksigen dan kemampuan fagosit. Meningkatkan oksigen
hingga 150 mmHg dan 760 mmHg membunuh sebagian besar S.aureus.Penelitian
menunjukkan hasil terapi osteomyelitis staphylokokus membaik dengan terapi adjuvant
oksigen hiperbarik. Fibroblast tidak dapat mensintesa kolagen atau migrasi ke daerah
terinfeksi apabila tekanan oksigen kurang dari 20 mmHg.Meningkatkan tekanan oksigen
di atas 200 mmHg mengembalikan aktifitas fibroblastik ke dalam fungsi normal.

Sumber:
1. Manungkalit SM. Dasar-dasar terapi hiperbarik. Temu Ilmiah Dokter Gigi TNI dan Polri Se-
Indonesia. Ladokgi TNI AL. Jakarta, 15 April 2003
2. Prameswari N, Fanny ML. Terapi oksigen hiperbarik sebagai terapi suportif pada
osteomielitis kronis pada rahang. Seminar penatalaksanaan Obat Secara  Rasional. Departemen
Gigi dan Mulut Rumkit AL dan FKG UHT. Surabaya 1 Juni 2002. 

Diposting 18th April 2016 oleh Frans Irapanussa

Label: KOASS

Lihat komentar

2.

Apr

16

EVALUASI DAN PENGELOLAAN


TRAUMA GERIATRI: AN EASTERN
ASSOCIATION UNTUK BEDAH PADA
PRAKTEK TRAUMA
-PEDOMAN MANAJEMEN-
LATAR BELAKANG:

Tingginya usia pasien meningkatkan proporsi pasien yang dirawat di pusat-pusat trauma.
Belum ada data yang adekuat tentang pedoman dan penanganan perawatan trauma
geriatri yang optimal sehingga sulit untuk menentukan keputusan triase, mengoreksi
koagulopati dan keterbatasan resusitasi suprafisiologi.

METODE:

Lebih dari 400 kutipan MEDLINE diterbitkan antara tahun 2000 dan 2008 telah
diidentifikasi dan disaring. Sebanyak 90 referensi dipilih untuk pembuktian diikuti
dengan diskusi berbasis konsensus mengenai tingkat bukti dan kekuatan dari
rekomendasi yang dapat berasal dari temuan terkait studi individu.

HASIL:

Pada umumnya, batas bawah untuk aktivasi trauma harus digunakan untuk pasien cedera
berusia 65 tahun atau lebih yang dievaluasi pada pusat trauma. Selain itu, pasien usia
lanjut dengan setidaknya satu sistem tubuh dengan skor AIS 3 atau lebih tinggi atau
defisit dasar -6 atau kurang harus dirawat di pusat-pusat trauma, terutama di unit
perawatan intensif yang dikelola oleh ahli bedah. Selain itu, semua pasien orang tua yang
menerima terapi antikoagulan harian harus memiliki penilaian yang tepat tentang profil
koagulasi dan crosssectional pencitraan otak sesegera mungkin setelah tiba di tempat
perawatan. Pada pasien berusia 65 tahun atau lebih dengan Glasgow Coma Scale (GCS)
skor kurang dari 8 dan jika peningkatan substansial dalam GCS tidak disadari dalam
waktu 72 jam dari cedera, maka harus dipertimbangan untuk membatasi intervensi terapi
lanjut yang agresif.

KESIMPULAN:
Perawatan berbasis bukti yang efektif pada pasien geriatri memerlukan triase yang
agresif, koreksi koagulopati, dan perawatan yang cukup saat bukti klinis mengarah ke
suatu kemungkinan prognosis jangka panjang yang buruk. (J Trauma Acute Care Surg.
2012; 73.:S345-S350. Hak Cipta 2012 oleh Lippincott Williams & Wilkins)

KATA KUNCI:

Geriatri; lansia; pedoman; triase; koagulopati

Trauma pasien lansia berpotensi meningkatkan risiko yang merugikan setelah


cedera. Dengan demikian, dokter mengobati luka pasien usia lanjut membutuhkan
bimbingan dalam mengidentifikasi teknik dan praktek-praktek yang memiliki kapasitas
yang terbukti untuk meningkatkan hasil yang diharapkan. Meskipun risiko independen
untuk kematian postinjury mungkin mulai pada usia yang jauh lebih muda, penulis telah
memilih untuk membatasi rekomendasi mereka kepada pasien berusia 65 tahun atau
lebih. Ambang batas ini sejalan dengan apa yang tampaknya menjadi asumsi paling
umum dan sebutan pusat trauma yang ada mengenai usia lanjut.

PERNYATAAN MASALAH

Karena berkaitan dengan perawatan yang terluka, '' triage '' didefinisikan sebagai
''pemilahan dan alokasi pengobatan untuk pasien dan terutama korban pertempuran dan
bencana menurut sistem prioritas yang dirancang untuk memaksimalkan jumlah korban".
Untuk pasien tua, seringkali sulit untuk secara akurat mengidentifikasi tingkat keparahan
cedera dan tingkatan dari gangguan fisiologis karena perbedaan biologi terkait usia.
Selain itu, ada juga kompleks interaksi determinan sosial dan budaya yang mungkin
dapat menjelaskan mengapa banyak pasien trauma lansia tidak dilayani dengan agresif
seperti halnya terhadap pasien yang lebih muda.

Di antara ahli bedah trauma akademik, perbedaan pendapat yang substansial


tampaknya ada pada apakah jatuh saat berdiri atau patah tulang pinggul memenuhi syarat
sebagai ''trauma geriatri'' layak masuk ke layanan trauma khusus. Ambivalensi ini
tampaknya meluas ke masyarakat di mana terdapat substansial bukti bahwa pasien lanjut
usia cenderung menjadi pusat trauma, mungkin karena bertentangan bukti eksperimental
pada kelangsungan hidup pasien lansia yang trauma.

Masalah klinis (pada cedera pasien usia lanjut) ditujukan oleh pedoman ini adalah
sebagai berikut:

1.      Apakah kriteria triase usia lanjut untuk pusat trauma rujukan dan aktivasi?
2.      Apakah defisit basa tinggi pengganti untuk cedera parah dan kebutuhan untuk perawatan
intensif?
3.      Haruskah penarikan atau pembatasan perawatan dimulai semata-mata atas dasar usia
lanjut?
4.      Apa pengaruh kondisi yang sudah ada sebelumnya dan komplikasi akibat cdera yang
baru terjadi?
5.      Bagaimana seharusnya medication induced coagulopaty diobati?
6.      Apakah itu berguna untuk mencoba resusitasi supraphysiologic setelah cedera?

Item di atas adalah isu yang dibahas oleh jurnal ini. Salah satu isu tambahan
relevansi khusus untuk orang tua tidak ditangani oleh jurnal ini adalah penggunaan
kateter epidural setelah trauma tumpul toraks.
PROSES

Database awal diambil menggunakan MEDLINE, dengan kutipan yang diterbitkan antara
tahun 2000 dan 2008. Menggunakan kata-kata pencarian 'geriatri', 'trauma’, 'elderly',
dan 'cedera' dan dengan membatasi pencarian ke kutipan berurusan dengan subyek
manusia dan diterbitkan dalam bahasa Inggris, lebih dari 400 kutipan diidentifikasi. surat
untuk editor, laporan kasus, ulasan, dan artikel yang berhubungan dengan Mekanisme
cedera ringan, patah tulang pinggul khususnya dari tergelincir dan jatuh, kemudian
dikeluarkan. Abstrak dari sisa kutipan masing-masing review, dan artikel-artikel yang
tidak mengatasi masalah yang berkaitan dengan tiga tujuan dari kajian ini dan kriteria
usia pasien, 65 tahun atau lebih tua, yang lebih dikecualikan. Ini menghasilkan total 64
artikel dengan
tabel pembuktian. Bibliografi 64 artikel yang kemudian ditinjau lebih lanjut, dan bertemu
delapan kriteria artikel tambahan yang disebutkan sebelumnya ditambahkan dengan total
referensi 90 dalam tabel pembuktian. Setiap referensi kemudian ditinjau oleh dua ahli
bedah trauma, dan konsensus yang dicapai yaitu mengenai klasifikasi yang tepat untuk
masing-masing referensi menurut Association for the Surgery of Trauma (EAST) primer
pada pengobatan berbasis bukti. Delapan belas artikel yang kemudian dikeluarkan dari
tabel pembuktian setelah diidentifikasi artikel review yang murni tanpa baru sintesis
informasi baru.

Kriteria untuk mencapai klasifikasi tertentu di tabel pembuktian akhir dan nomor
artikel untuk masing-masing kelas adalah sebagai berikut:

         Kelas I: Percobaan control secara acak – standar dari percobaan klinik. Beberapa
mungkin dirancang dengan nomor yang tidak adekuat, atau metodologis lainnya tidak
adekuat (0 referensi).
         Kelas II: Studi klinis di mana data dikumpulkan secara prospektif dan analisis
retrospektif yang didasarkan pada data yang lebih jelas. Jenis penelitian sehingga
diklasifikasikan termasuk studi observasi, studi kohort, studi prevalensi, dan studi case-
control (referensi 38).
         Kelas III: Studi berdasarkan data retrospektif dikumpulkan. Barang Bukti digunakan
dalam kelas ini meliputi seri klinis, basis data atau ulasan registry, seri besar tinjauan
kasus, dan pendapat ahli (referensi 35).

“The EAST primer” menyarankan tingkat rekomendasi berdasarkan langkah-


langkah untuk mengembangkan pedoman praktek manajemen (PMGs) yang
menghasilkan kesimpulan rekomendasi berikut (Level 1, Level 2, Level 3, dll).

REKOMENDASI

Pertanyaan 1

Haruskah usia menjadi penentu keputusan triase independen seperti pasien trauma
menerima perawatan sebagai golongan ''waspada'' di sebuah pusat trauma atau keputusan
pembuatan pembatasan perawatan ?

à Tingkat 1

1.      Ada data kelas I dan kelas II yang cukup untuk mendukung setiap standar mengenai
salah satu pertanyaan yang diajukan oleh ini penanya.

à Tingkat 2
1.      Pasien terluka dengan usia lanjut (usia ≥ 65 tahun) dan sudah ada sebelumnya kondisi
medis harus menurunkan ambang batas triase yang diverifikasi langsung di pusat trauma.
2.      Usia pasien yang semakin lanjut bukan merupakan prediktor mutlak mudahnya trauma,
oleh karena itu, tidak harus digunakan sebagai satu-satunya kriteria untuk menolak atau
membatasi perawatan dalam hal ini populasi pasien.
3.      Pendekatan agresif awal harus dikejar untuk pengelolaan pasien lansia kecuali ditentukan
langsung dari ahli bedah trauma berpengalaman tampaknya cedera beban yang berat dan
pasien tampak sekarat.

à Tingkat 3

1.      Batas bawah untuk aktivasi trauma harus digunakan untuk pasien terluka berusia 65
tahun atau lebih yang dievaluasi pada pusat trauma.
2.      Pasien lansia dengan luka parah anatomi (misalnya, satu atau sistem tubuh lebih dengan
Abbreviated Injury Scale (AIS) skor ≥ 3) harus dirawat di ruangan pusat trauma khusus,
terutama di unit perawatan intensif (ICU) dikelola oleh dokter bedah secara intensif.
3.      Pada pasien berusia 65 tahun atau lebih dengan Glasgow Coma Scale (GCS) skor kurang
dari 8, jika peningkatan substansial di GCS tidak disadari dalam waktu 72 jam dari
cedera, pertimbangan harus diberikan untuk membatasi lanjut agresif intervensi
terapeutik yang lebih lanjut.

Pertanyaan 2

Bagaimana seharusnya pasien dengan “ medication-induced coagulopaty” ditangani


selama periode postinjury awal?

à Tingkat 1
1.      Ada data yang cukup Kelas I dan Kelas II untuk mendukung setiap standar mengenai
salah satu pertanyaan yang diajukan oleh penanya.

àTingkat 2

1.      Ada data yang cukup Kelas I dan Kelas II untuk mendukung setiap standar mengenai
salah satu pertanyaan yang diajukan oleh penanya.

àTingkat 3

1.      Semua pasien orang tua yang mengambil obat antikoagulan sistemik sebelum cedera,
mereka harus memiliki penilaian tepat profil koagulasi mereka sesegera mungkin setelah
tiba di tempat perawatan.
2.      Semua pasien usia lanjut dengan dugaan cedera kepala (misalnya, orang-orang dengan
perubahan GCS, sakit kepala, mual, trauma eksternal, atau high energy mechanism) yang
mengambil obat untuk antikoagulasi sistemik sebelum cedera mereka harus dievaluasi
dengan computed tomography kepala secepat mungkin setelah masuk.
3.      Pasien yang menerima warfarin dengan post traumatic intracranial hemorrhage harus
menerima inisiasi terapi untuk memperbaiki international normalizedbratio (INR)
menuju kisaran normal (misalnya, < 1.6x normal) dalam waktu 2 jam setelah tiba di
tempat perawatan.

Pertanyaan 3

Apakah pemantauan kardiovaskular invasif yang tidak pandang bulu dengan kateter arteri
pulmonalis dan resusitasi supranormal, masih dibenarkan setelah cedera pada pasien yang
lebih tua?

àTingkat 1
1.      Ada data yang cukup Kelas I dan Kelas II untuk mendukung setiap standar mengenai
salah satu pertanyaan yang diajukan oleh ini penanya.

àTingkat 2

1.      Ada data yang cukup Kelas I dan Kelas II untuk mendukung setiap standar mengenai
salah satu pertanyaan yang diajukan oleh ini query.

àTingkat 3

1.      Pasien lansia dengan satu atau lebih parah cedera anatomi (yaitu, satu atau sistem tubuh
yang lebih skor AIS ≥ 3) harus dirawat di pusat-pusat trauma khusus, terutama di ICU
yang dikelola oleh ahli bedah secara intensif.
2.      Pengukuran defisit basis dapat memberikan informasi yang berguna dalam menentukan
status resusitasi awal dan risiko kematian untuk pasien geriatri. Dengan demikian, masuk
ICU harus dipertimbangkan untuk pasien berusia 65 tahun atau lebih tua dengan defisit
basis awal - 6 mEq / L atau kurang.

FOUNDASI ILMIAH

Triage dan Usia Lanjut

Salah satu topik utama yang dibahas oleh PMG ini adalah cara di mana pasien usia
lanjut yang diprioritaskan ke pusat-pusat trauma dan, jika diprioritaskan ke pusat trauma,
apakah mereka harus secara rutin menerima tingkat aktivasi trauma perawatan awal dan
apa yang adalah threshold yang tepat untuk mengakui mereka ke ICU. Bukti
menunjukkan bahwa pasien lanjut usia terluka adalah cenderung untuk menerima
perawatan di pusat-pusat trauma meskipun banyak bukti bahwa mereka berada pada
peningkatan risiko untuk hasil yang merugikan setelah cedera karena cadangan
kardiovaskular terbatas, komorbiditas, dan kelemahan umum.

Sebuah analisis retrospektif selama 10 tahun (1995-2004) dari Maryland


Ambulance Information System by Chang et al pada 2008 menemukan bahwa di antara
26.565 pasien, risiko undertriage secara signifikan lebih tinggi di antara mereka yang
lebih tua dari 65 tahun
(49,9 vs 17,8%; p < 0,001).

Selanjutnya, analisis multivariat (control terhadap umur, jenis kelamin, fisiologi,


cedera, mekanisme, transportasi, pelayanan medis pelatihan tingkat penyedia darurat, ada
atau tidak adanya cedera yang spesifik, dan wilayah yurisdiksi), usia 65 tahun atau lebih
tua muncul sebagai faktor risiko independen untuk undertriage (rasio odds, 0,48 [kisaran,
0.3-0.76]) dengan pelatihan yang memadai, pahaman dengan protokol, dan kemungkinan
usia Bias terdaftar oleh responden survei sebagai alasan umum untuk tidak membawa
pasien usia lanjut ke pusat-pusat trauma. Versi sebelumnya PMG ini yang selanjutnya
telah menunjukkan fakta bahwa sebagian besar pasien usia lanjut yang cedera kembali
untuk hidup mandiri. Dengan demikian, usia tidak boleh digunakan sebagai satu-satunya
kriteria untuk membatasi perawatan.

Dalam perbandingan perawatan di rumah sakit perawatan akut (versus perawatan di


pusat-pusat trauma khusus), pasien usia lanjut tampaknya lebih kecil kemungkinannya
untuk mengalami efek samping yang dapat dicegah dan lebih mungkin untuk memiliki
resiko angka kematian lebih rendah jika dirawat di pusat trauma dan / atau rumah sakit
dengan ahli bedah yang intensif. Salah satu penelitian besar hasil risiko disesuaikan
menemukan bahwa pasien yang lebih muda dari 55 tahun dirawat di trauma pusat-pusat
trauma menurun secara signifikan risiko postinjury mortalitas (> 25% lebih rendah),
sedangkan yang berusia 55 tahun atau lebih tidak mengalami manfaat nyata seperti itu.

MacKenzie dan teman-temannya mengakui bahwa penelitian mereka mungkin


tidak cocok sekali untuk menjawab pertanyaan apakah tipikal pasien lansia yang terluka
harus dirawat di trauma pusat trauma karena tidak ada batas umur terendah dan
rendahnya jumlah pasien lansia terluka parah dalam sampel mereka. Salah satu bukti
yang mendukung manfaat dari triage untuk pusat trauma diterbitkan oleh Meldon et al.
pada 2002 dan termasuk penilaian risiko yang disesuaikan hasil untuk populasi pasien
berusia 80 tahun atau lebih. Dalam evaluasi ini, hasil-hasil bervariasi antara pusat yang
khusus dan pengaturan perawatan lainnya. Tidak mengherankan, cedera kepal, tingkat
keparahan cedera, dan kurangnya verifikasi pusat trauma berhubungan dengan kematian
di rumah sakit pada pasien lansia.

Data dari studi tunggal-pusat yang dilaksanakan dengan baik, menunjukkan


peningkatan lebih dari 30% dalam kelangsungan hidup pasien usia lanjut dengan resiko
setelah memulai usia 70 tahun atau lebih tua sebagai indikator untuk waspada trauma
pada daerah perkotaan yang padat. Pasien dalam sampel ini juga dilaporkan telah
menerima aplikasi liberal perawatan ICU dan pemantauan invasif. Dengan demikian, kita
belum bisa menentukan mana dari ketiga intervensi yang dihasilkan kelangsungan hidup
yang lebih baik; tampaknya bijaksana, namun, untuk memiliki batas bawah untuk
evaluasi agresif awal dan pengobatan sampai multicenter dikendalikan data uji coba
menjadi tersedia. Namun, juga harus mengakui bahwa orang tua pasien dengan cedera
otak traumatis berat (GCS berkelanjutan skor <9) memiliki setidaknya kemungkinan 80%
kematian atau perawatan jangka panjang, sehingga membenarkan diskusi tentang tujuan
perawatan jika tidak ada perbaikan di GCS terlihat setelah tahap awal perawatan dan
setelah penarikan semua obat penenang.

Kelompok Pembaruan ini tidak mampu meneruskan versi sebelumnya mengenai


rekomendasi kebutuhan untuk mencegah komplikasi karena tampaknya hampir mustahil
untuk melaksanakan langkah-langkah universal untuk mencegah komplikasi. Pernyataan
demikian juga sebelumnya bahwa, pasien lansia dengan skor trauma yang rendah, skor
GCS, dan pernapasan tingkat kematian dengan presentasi 100% tampaknya tidak lagi
relevan dalam era ketika lebih banyak pasien yang menerima sedasi pra-rumah sakit,
relaksan otot, dan intubasi.
Gambar 1. Perawatan cedera pada lansia: bagan program berbasis bukti

Koreksi Antikoagulasi

Jumlah lansia di Amerika makin meningkat dalam hal penggunaan antikoagulan


dan agen antiplatelet untuk berbagai indikasi. Meskipun agen ini telah membuktikan
manfaat secara keseluruhan untuk pasien yang beresiko kejadian trombosis atau emboli,
obat-obat ini meningkatkan risiko perdarahan postinjury. Variasi substansial
berhubungan dengan koreksi iatrogenik dan terapi koagulopati setelah cedera meskipun
Ivascu et al., menunjukkan penurunan lebih dari 75% kematian yang berhubungan
dengan perdarahan intrakranial pasca trauma pada pasien usia lanjut dengan Coumadin-
related coagulopathy setelah pelaksanaan
protokol yaitu dengan CT scan kepala, inisiasi terapi INR-mengoreksi dalam 1,9 jam, dan
koreksi penuh koagulopati dalam waktu 4 jam sejak tiba di tempat perawatan. Penulis
yang sama juga menyarankan bahwa INR ulang tidak diperlukan selama tidak terjadi
perdarahan intrakranial. Tingkat koreksi yang ditunjukkan pada pasien usia lanjut dengan
perdarahan intrakranial tidak benar-benar jelas, tetapi beberapa penulis telah
menyimpulkan bahwa INR harus cepat diperbaiki dengan nilai kurang dari 1,6 dengan
plasma segar beku (15 mg / kg atau ~ 4 unit) dan vitamin K IV. Mereka yang berhenti
Coumadin-based antikoagulan setelah cedera berada pada risiko yang lebih rendah untuk
perdarahan besar tetapi terjadi peningkatan risiko untuk thromboembolism.

Sedikit yang diketahui mengenai cara optimal untuk mengoreksi disfungsi


trombosit iatrogenik pada pasien terluka, meskipun tampak jelas bahwa pasien yang
memakai obat antiplatelet berada pada peningkatan risiko untuk hemorrhage postinjury.

Poin Terakhir dari Resusitasi


Versi sebelumnya dari pedoman ini menganjurkan penggunaan kateter Swan-Ganz
untuk trauma sedang sampai berat pada pasien lansia yang disesuaikan dengan cardiac
ouput dan variable transfer oksigen sampai nilai supraterapeutik. Memang jelas terlihat
pada pasien muda terjadi peningkatan secara progresif indeks kardiak dan transfer
oksigen walaupun pada multiple trauma, beda dengan lansia yang harus mulai dengan
level terendah dan sering juga gagal untuk meningkat.

Dalam satu pemeriksaan multicenter besar pada golongan “dry” versus “wet”,
resusitasi pada pasien kritis (tidak eksklusif pada pasien usia lanjut atau terluka), tidak
ada perbedaan survival.

Ada, namun peningkatan marginal pada kelompok yang menggunakan cairan


konservatif tanpa peningkatan risiko untuk dialisis, menunjuk ke kemungkinan bahwa
cedera pasien mungkin juga akan lebih baik jika manajemen cairan lebih terfokus pada
efek paru dari pada untuk perfusi ginjal.

Dalam analisis retrospektif lain yang tidak dilakukan pada pasien usia lanjut,
beberapa penulis telah dijelaskan augmentasi pengiriman oksigen postinjury (untuk
>500), menghasilkan peningkatan risiko hipertensi intra-abdominal, kompartemen
sindrom, dan kematian, tanpa manfaat kelangsungan hidup (odds ratio, 0.86; jangkauan,
0.6-1.2). Nilai defisit dasar -6 mEq / L atau kurang adalah penanda cedera parah dan
mortalitas yang signifikan pada semua pasien trauma tetapi terutama pada orang tua di
yang nilai ini dapat memprediksi risiko sebanyak 60% untuk kematian dibandingkan
dengan mereka yang memiliki defisit dasar mEq -5 / L atau lebih tinggi yang memiliki
risiko mortalitas kurang dari 23%.

RINGKASAN
Dengan tidak adanya relatif data yang bertentangan, pasien lansia harus menerima
perawatan di pusat-pusat yang telah mengabdikan khusus sumber daya untuk mencapai
keunggulan dalam perawatan dari cedera menggunakan kriteria yang sama dengan yang
digunakan pada pasien yang lebih muda. sudah ada sebelumnya kondisi dan / atau cedera
parah anatomi secara dramatis meningkatkan risiko hasil yang buruk pada pasien usia
lanjut.
Usia dan antikoagulan dan antiplatelet agen meningkatkan risiko perdarahan postinjury
dan membutuhkan penilaian profil koagulasi cepat setelah masuk. defisit basa (-6 mEq /
L atau kurang) adalah penanda cedera parah dan signifikan kematian pada semua pasien
trauma dan harus digunakan dalam pertimbangan untuk masuk ICU. Skor Glasgow Coma
Scale 8 atau kurang, tetap rendah setelah 72 jam, menyediakan informasi penting
mengenai prognosis jangka panjang.

INVESTIGASI MASA DEPAN

Wilayah yang berpotensi berguna untuk studi di masa depan harus diidentifikasi
sesuai pedoman berikutoleh ini pedoman berikut:

1.      Pembuatan model prediksi yang kuat untuk memfasilitasi kualitas / peningkatan kinerja
pada populasi lanjut usia diperlukan, terutama karena upaya tersebut berkaitan dengan
keputusan triage tentang pemantauan invasif dan agresivitas perawatan.
2.      Pemahaman yang lebih mendalam diperlukan untuk kapan tepatnya status lansia dimulai
secara fisiologis
3.      Wawasan lebih diperlukan apakah obat-induced disfungsi trombosit membutuhkan
koreksi dengan urgensi yang sama dengan warfarin-induced koagulopati.
4.      Sedikit yang diketahui tentang bagaimana kita harus mengatasi nextgeneration
antikoagulan oral generasi selanjutnya yang tidak dapat dikoreksi dengan produk darah
atau obat-obatan. Dapatkah ini dicapai secara efektif dan hemat biaya?
5.      Akhirnya, dapatkah kita menampung volume pasien lansia yang terus meningkat yang
datang ke pusat-pusat trauma kami (selain volume pasien kami saat ini) dengan tetap
mempertahankan standar perawatan tinggi dan menghindari keputusan triase yang
berlebihan?

SUMBER: TERJEMAHAN DARI:

  Calland JF, Ingraham AM, Martin N, Marshall GT, Schulman CI, Stepleton T, et
al. Evaluation and management of geriatric trauma: An esntern association for
surgery of trauma practice management guildeline. J Trauma Acute Care Surg.
2012; 73 (5): 345-50.

Diposting 16th April 2016 oleh Frans Irapanussa

Label: KOASS

Tambahkan komentar

3.

Apr

16

INTUBASI NASOTRAKEAL
Intubasi adalah memasukan pipa ke dalam rongga tubuh melalui mulut atau hidung.
Intubasi terbagi menjadi 2 yaitu intubasi orotrakeal (endotrakeal) dan intubasi
nasotrakeal. Intubasi endotrakeal adalah tindakan memasukkan pipa trakea ke dalam
trakea melalui rima glottidis dengan mengembangkan cuff, sehingga ujung distalnya
berada kira-kira dipertengahan trakea antara pita suara dan bifurkasio trakea. Intubasi
nasotrakeal yaitu tindakan memasukan pipa nasal melalui nasal dan nasopharing ke
dalam oropharing sebelum laryngoskopi.

Intubasi nasotrakeal dapat dilakukan pada pasien-pasien yang akan menjalani operasi
maupun tindakan intraoral. Dibandingkan dengan pipa orotrakeal, diameter maksimal
dari pipa yang digunakan pada intubasi nasotrakeal biasanya lebih kecil oleh karenanya
tahanan jalan napas menjadi cenderung meningkat. Intubasi nasotrakeal pada saat ini
sudah jarang dilakukan untuk intubasi jangka panjang karena peningkatan tahanan jalan
napas serta risiko terjadinya sinusitis. Teknik ini bermanfaat apabila urgensi pengelolaan
airway tidak memungkinkan foto servikal. Intubasi nasotrakeal secara membuta (blind
nasotrakeal intubation) memerlukan penderita yang masih bernafas spontan. Prosedur ini
merupakan kontraindikasi untuk penderita yang apnea. Makin dalam penderita bernafas,
makin mudah mengikuti aliran udara sampai ke dalam laring. Kontraindikasi lain dari
pemasangan pipa nasotrakeal antara lain fraktur basis cranii, khususnya pada tulang
ethmoid, epistaksis, polip nasal, koagulopati, dan trombolisis.
Sebelum dilakukan intubasi, terlebih dahulu dilakukan oksigenasi dengan menggunakan
orotracheal tube atau nasotracheal tube dan bag valve kurang lebih selama 30 detik.
Untuk melakukan intubasi, perlu mengetahui teknik-teknik khusus. Berikut cara intubasi
nasotrakea.

Intubasi nasal mirip dengan intubasi oral kecuali bahwa NTT masuk lewat hidung dan
nasofaring menuju orofaring sebelum dilakukan laringoskopi. Lubang hidung yang
dipilih dan digunakan adalah lubang hidung yang pasien bernafas lebih gampang. Tetes
hidung phenylephrine (0,5 – 0,25%) menyebabkan pembuluh vasokonstriksi dan
menyusutkan membran mukosa. Jika pasien sadar, lokal anestesi secara tetes dan blok
saraf dapat digunakan. Intubasi nasotrakeal biasanya dilakukan setelah pemberian
anastesi intravena dan pasien telah dilumpuhkan.

NTT yang telah dilubrikasi dengan jelly yang larut dalam air, dimasukkan ke dasar
hidung, dibawah turbin inferior. Bevel NTT berada disisi lateral jauh dari turbin. Untuk
memastikan pipa lewat di dasar rongga hidung, ujung proksimal dari NTT harus ditarik
ke arah kepala. Pipa secara berangsur-angsur dimasukan hingga ujungnya terlihat di
orofaring. Umumnya ujung distal dari NTT dapat dimasukan pada trachea tanpa
kesulitan. Jika ditemukan kesulitan dapat diguankan forcep Magil. Penggunaannya harus
dilakukan dengan hati-hati agar tidak merusakkan balon. Memasukkan NTT melalaui
hidung berbahaya pada pasien dengan trauma wajah yang berat disebabkan adanya resiko
masuk ke intrakranial.

Penggunaan laringoskop untuk mempermudah under vision intubasi nasotrakeal dan


laringoskop harus diposisikan saat bagian ujung tube telah mencapai orofaring. Kepala
yang di ekstensikan mungkin bisa digunakan untuk membuat bagian ujung dari trakeal
tube lebih ke arah anterior. Kemajuan yang lebih jauh dari trakeal tube mungkin bisa
dipermudah dengan memflexikan posisi kepala dan leher, yang meluruskan axis dari
ujung tube terhadap trakea. Teknik alternatif yang bisa digunakan adalah dengan
memakai Margill forceps untuk memegang trakeal tube dan menuntunnya menuju trakea,
kemudia asisten mendorong tube.

Selain teknik ini, intubasi nasotrakea juga dapat dilakukan dengan menggunakan flexible
fiberoptic dengan teknik sebagai berikut: Kedua lubang hidung dipersiapkan dengan
pemberian tetes vasokonstriktor. Identifikasi lubang hidung dimana pasien bernafas lebih
mudah. O2 dapat diinsuflasi ke melalui ujung suction dan saluran untuk aspirasi dari FOB
untuk memperbaiki oksigenasi dan membuang sekret dari ujung tip.

Pilihan lain, jalan nafas nasal yang lebar dapat dipasang dalam lubang hidung kolateral.
Breathing sirkuit dapat langsung dihubungkan pada ujung dari nasal airway untuk
memberikan O2 100% selama laringoskopi. Jika pasien tidak sadar dan tidak bernafas
spontan, mulut dapat diplester dan ventilasi dilakukan melalui nasal airway tunggal. Bila
teknik ini digunakan adekuat ventilasi dan oksigenasi harus di konfirmasi dengan
capnograph dan pulse oximetry. TT yang telah diberi pelumas dan dimasukkan ke dalam
lubang hidung lainnya sepanjang nasal airway. Tangkai dari FOB yang telah diberi
pelicin dimasukan ke dalam lubang TT. Selama endoskopi, jangan dimajukan jika hanya
dinding dari TT atau membran mukosa yang terlihat. Ini juga penting untuk
mempertahankan tangkai bronkoskop relatif lurus, jadi jika kepala dari bronkhoskop
diputar secara langsung, ujung distal akan bergerak dengan derajat yang sama. Ketika
ujung dari FOB masuk ujung distal dari TT, epiglotis dan glotis harus tampak. Ujung dari
bronchoskop dimanipulasi untuk melewati pita suara yang telah abduksi.
Ini tidak perlu dilakukan dengan cepat karena pasien sadar dapat bernafas adekuat dan
pada pasien dianestesi, jika ventilasi dan oksigenasi tidak adekuat, FOB ditarik
danlakukan ventilasi dengan face mask. Minta asisten untuk jaw thrust atau lakukan
tekanan pada krikoid dapat membantu penglihatan pada kasus sulit. Jika pasien bernafas
spontan, tarik lidah dengan klem dapat memfasilitasi intubasi.

Sekali dalam trakhea, FOB didorong masuk ke dekat carina. Adanya cincin trakhea dan
carina adalah membuktikan posisi yang tepat. TT di dorong dari FOB. Sudut sekitar
cartilago arytenoid dan epiglotis dapat mencegah mudahnya memasukan pipa.
Penggunaan pipa yang berkawat baja biasanya menurunkan masalah ini disebabkan lebih
besarnya  fleksibilitas dan  sudut pada bagian distal lebih tumpul. Posisi TT yang tepat
dikonfirmasi dengan melihat ujung dari pipa diatas karina sebelum FOB ditarik.

Rowbotham dan Magill (1921) mengembangkan teknik blind nasal intubation pada
pasien yang masih bernapas spontan. Sebenarnya digunakan anastesi inhalasi dalam,
tetapi teknik ini tetap dapat dibuat pada pasien sadar yang hanya diberikan anastesi
topikal. Pemajuan dari trakeal tube dipandu dengan perubahan suara napas pada akhir
bagian proksimal tube (pengerasan dengan menggunakan siulan akan sangat membantu)
dan dengan mempalpasi jaringan. Blind intubasi nasal mungkin masih dapat berguna jika
penggunaan laringoskop fibreoptik fleksibel gagal atau tidak tersedia alatnya. Blind
intubasi nasal pada pasien yang apneu mepunyai tingkat kesuksesan yang rendah dan
penggunaannya tidak direkomendasikan pada pasien yang menjalani operasi elektif.

Sumber:

1.             G. Edward Morgan, Clinical Anestesiologi, 4th edition, chapter 45.


2.             Decision Making in Anestesiologi, An Algoritmic Approach. 3th edition; By Louis
L. Bready Rhoda M. Mullins, Swan Helene Npprity, R Brain Smith, Mosby Inc.
2000, page 86-105
3.             Chandra S, Adji Prakoso M. Buku Ajar Anestesiologi. FKUI/RSCM. Jakartata;
2012.

Diposting 16th April 2016 oleh Frans Irapanussa

Label: ANESTESI

Tambahkan komentar

4.

Apr

15

SEKSIO SESAREA DENGAN


ANESTESI GENERAL ATAU
EPIDURAL

Apakah berbeda dalam kaitannya dengan oksigenasi serebral regional?

ABSTRAK

Tujuan : untuk mengetahui apakah ada perbedaan pada saturasi serebral regional bayi
baru lahir melalui near infrared spectroscopy born antara anestesi general atau kombinasi
anestesi epidural spinal selama seksio sesarea elektif.

Metode : setelah mendapatkan izin dari komite etik rumah sakit kami serta izin dari ibu-
ibu yang akan melahirkan, maka sebanyak 68 pasien termasuk dalam kriteria inklusi.
Saturasi oksigen serebral regional (RcSO2) dari bayi baru lahir diukur menggunakan
near infrared spectroscopy (NIRS), dan pengukuran dilakukan pada menit 1 dan 5
setelah lahir. Di kelompok 1 (n=32) digunakan anestesi general, dan di kelompok 2
(n=36) digunakan kombinasi anestesi epidural spinal (CSEA). Usia ibu, kehamilan,
masalah saat kehamilan, frekuensi jantung, tekanan darah, dan saturasi oksigen (SpO2)
ibu dicatat. Pengukuran yang dilakukan terhadap bayi baru lahir adalah : SpO2 di tangan
kanan, RcSO2 diukur menggunakan NIRS, waktu kelahiran (mulai dari insisi hingga
pengeluaran plasenta), dan skor Apgar. Data dianalisis menggunakan GraphPad Prism
5,0 (GraphPad Software, La Jolla, California) dan ditampilkan sebagai rata-rata +/- SD.
Hasilnya yang diperoleh dari masing-masing kelompok dibandingkan menggunakan uji t
tidak berpasangan. Tingkat kepercayaan yang digunakan adalah p < 0,05.

Hasil : Tidak ada perbedaan yang signifikan antara kelompok yang berkaitan dengan usia
ibu, minggu kehamilan dan tekanan darah awal. Tekanan darah sistolik dan diastolik
yang diukur pada menit 1 dan 5 setelah induksi atau saat blok spinal dimulai, secara
signifikan lebih rendah pada kelompok ibu yang menjalani CSEA. Frekuensi jantung ibu
yang menjalani CSEA secara signifikan lebih tinggi daripada kelompok anestesi umum.
Skor apgar pada menit 1 diamati secara signifikan lebih tinggi di kelompok II. Saturasi
oksigen dari bayi yang baru lahir secara signifikan lebih tinggi di kelompok II.
Oksigenasi serebral regional yang diukur dengan NIRS secara signifikan lebih tinggi di
kelompok CSEA.

Kesimpulan : CSEA telah terbukti lebih unggul daripada anestesi umum dalam
penyediaan oksigenasi serebral regional dari bayi baru lahir.

PENDAHULUAN

Telah diketahui bahwa transisi dari janin ke bayi baru lahir adalah proses fisiologis
yang kompleks dan penting. Bayi baru lahir mengalami transisi normal post-natal dalam
waktu > 5 menit untuk mencapai saturasi oksigen arteri > 80% dan hampir 10 menit
untuk mencapai 90%. Beberapa penelitian telah mempelajari efek dari metode
manajemen anestesi pada bayi baru lahir. Setelah seksio sesarea elektif, bayi baru lahir
memiliki angka saturasi oksigen arteri yang lebih rendah selama masa transisi
dibandingkan dengan bayi yang lahir melalui persalinan normal. Entah hipoksia atau
hyperoxia yang merugikan selama resusitasi neonatal. Pengukuran saturasi oksigen
perifer (SpO2) dan saturasi oksigen serebral regional (rSO2) dapat membantu
mengevaluasi status transisi neonatus.

Pemantauan non-invasif terhadap rSO2 telah diperkenalkan dalam pengaturan


klinis untuk perkiraan perfusi serebral dan aliran darah otak (CBF). NIRS dapat
digunakan sebagai teknik pemantauan non-invasif untuk oksigenasi dan hemodinamik
otak. NIRS didasarkan pada transparansi jaringan terhadap cahaya inframerah (spektrum
700-1000 nm) dan penyerapan selanjutnya oleh oksigen hemoglobin (O2Hb) dan
hemoglobin terdeoksigenasi (HHB) di pembuluh darah otak, yang berada dalam sinar
inframerah. Perubahan penyerapan dalam cahaya inframerah dekat kemudian dapat
diubah menjadi perubahan konsentrasi dari O2Hb dan HHB.

Ada beberapa artikel mengenai SpO2 segera setelah lahir, namun literatur
mengenai perubahan oksigenasi serebral neonatal segera setelah lahir sangat terbatas.
Dalam sebuah penelitian yang menyelidiki tentang efek cara melahirkan terhadap
oksigenasi serebral, dinyatakan bahwa cara melahirkan memiliki pengaruh yang nyata
pada oksigenasi serebral segera setelah lahir. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan
dinamis dalam oksigenasi serebral post-natal terjadi bersama bayi sehat melalui
persalinan pervaginam dan seksio sesaria elektif (SC). Sepengetahuan kami, tidak ada
penelitian yang membandingkan oksigenasi serebral neonatal segera setelah lahir dengan
SC elektif melalui anestesi umum (GA) atau anestesi epidural.

Tujuan dari penelitian kami adalah untuk membandingkan rSO2 neonatus yang
lahir melalui SC menggunakan anestesi epidural dan GA.

METODE
Standar etik yang sesuai diterapkan dalam penelitian kami. Kami mengikuti
Ethical Principles for Medical Research Involving Human Subjects yang terurai dalam
Deklarasi Helsinki. Protokol penelitian telah disetujui oleh komite etik institusional dan
persetujuan tertulis diperoleh dari semua peserta. Enam puluh delapan ibu melahirkan,
diklasifikasikan dalam American Society of Anesthesiologists (ASA) I/II, yang
dijadwalkan untuk SC elektif, termasuk dalam kriteria inklusi penelitian ini. Indikasi
untuk SC ditentukan oleh dokter kandungan dan operasi darurat tidak dimasukkan dalam
penelitian ini. Tiga puluh dua pasien SC menjalani operasi dengan anestesi umum (GA;
Kelompok I, n = 32) dan 36 pasien setuju untuk menjalani operasi menggunakan
kombinasi anestesi epidural spinal (CSEA; Kelompok II, n = 36). Indikasi untuk GA atau
CSEA ditentukan oleh ahli anestesi dan dokter kandungan sesuai dengan pedoman klinis
dan persetujuan pasien mengenai metode yang dipakai. GA diinduksi dengan propofol
2,5-3 mg/kg, relaksasi otot dengan rocuronium bromida 0,6 mg/kg, dan dipertahankan
dengan sevoflurane 1% dalam O2/N2O 40/60%, 4 L/menit. CSEA diaplikasikan pada
posisi lateral kiri, dengan jarum spinal ukuran 27-gauge (G) yang dimasukkan melalui
jarum epidural 18-G Touhy. Heavy bupivacaine 0,5% 12,5 mg dan fentanil 30 mcg
diaplikasikan dalam ruang subaraknoid setelah kateter epidural dimasukkan untuk
analgesia pasca operasi. Para pasien yang menggunakan CSEA diberi O2 2 L/menit
melalui masker setelah insisi uterus sesaat sebelum kelahiran.

Segera setelah lahir, neonatus dipindahkan ke tempat yang lebih hangat.


Pengukuran SpO2 dan rSO2 dilakukan antara 1 menit dan 2,5 menit setelah lahir. Skor
Apgar (Penampilan, Nadi, Refleks, Aktivitas, Respirasi) pada 1 menit dan 5 menit
dicatat. Usia ibu, minggu kehamilan, masalah yang berkaitan dengan kehamilan dan
komorbiditas, denyut jantung (HR), tekanan darah sistolik/diastolik (SBP/DBP), dan
saturasi oksigen (SpO2) dari ibu dicatat. Pengukuran untuk neonatus adalah: SpO2 di
tangan kanan menggunakan oksimeter nadi (Nellcor N-55 Neonatal SpO2 Sensor;
Covidien IIc, Mansfield, MA, USA), rSO2 diukur dengan NIRS (Foresight Sensor Dual
Kit Kecil; Casmed, Bradford, CT, USA), waktu kelahiran (dari sayatan hingga
pengeluaran plasenta), frekuensi jantung, dan Apgar. Waktu operasi (dari sayatan hingga
penutupan kulit) juga dicatat.
Semua bayi yang lahir dengan cacat bawaan, prematuritas, hipoksia intrauterin atau
asfiksia, ketuban pecah dini, gawat janin, aspirasi mekonium, plasenta abrupsi, atau
plasenta previa termasuk dalam kriteria eksklusi. Hanya bayi dengan masa transisi tanpa
komplikasi yang dimasukkan dalam analisis. Neonatus yang lahir dari ibu melahirkan
yang menggunakan CSEA dan diberi O2 sebelum kelahiran tidak termasuk dalam kriteria
inklusi. Sebanyak 13 bayi, angka SpO2 atau rSO2 tidak dapat terbaca secara akurat
karena masalah gerak, kulit, atau masalah pemeriksaan—bayi-bayi tersebut juga
dikeluarkan dari analisis.

Semua bayi yang baru lahir dikeringkan dan dibungkus dengan handuk hangat.
Segera setelah diletakkan di meja resusitasi, dokter anak melakukan resusitasi awal untuk
bayi baru lahir, sedangkan penata anestesi memasang transducer NIRS di dahi kiri dan
kanan (rSO2) dan oximetry nadi transkutaneus (SpO2) diukur pada tingkat preductal
(kanan) . Transducer ditutup dengan handuk, sedangkan tangan dan dahi bayi baru lahir
dipegang supaya meminimalkan cahaya dan gerak artefak. Bayi diposisikan terlentang
dan menghirup udara ruangan. Dokter anak mengamati transisi bayi baru lahir dan
mencatat skor Apgar pada menit 1 (T1) dan menit 5 (T5).

Data dianalisis menggunakan GraphPad Prism 5.0 (GraphPad Software, La Jolla,


CA, USA) dan ditampilkan sebagai rata-rata ± standar deviasi (SD). Hasil yang diperoleh
dalam kelompok-kelompok yang berbeda diuji untuk distribusi normal dari kumpulan
data dan dibandingkan menggunakan uji t tidak berpasangan dan pengukuran berulang
dari analisis varians (ANOVA)--Tukey uji post hoc untuk pengukuran berturut-turut.
Perbedaan dianggap signifikan secara statistik pada p < 0,05.

HASIL

Tidak ada perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok berdasarkan indikasi
untuk SC, status fisik dari ASA pasien, dan komorbiditas. Tidak ada perbedaan yang
signifikan antara kedua kelompok berdasarkan usia ibu, minggu kehamilan, dan tekanan
darah sistolik/diastolik awal (Tabel 1). Tidak ada perbedaan antara waktu operasi
(kelompok I, 33,3 ± 11,6 menit vs kelompok II, 38,8 ± 14,8 menit), namun, waktu
melahirkan (dari sayatan hingga pengeluaran plasenta) untuk kelompok II secara
signifikan lebih lama dari waktu melahirkan di kelompok I (14,2 ± 6,4 menit vs 7,1 ± 2,0
menit; Tabel 2).

Tekanan darah sistolik dan diastolik diukur pada menit 1 dan menit 5 setelah
induksi atau dimulainya blok spinal secara signifikan lebih rendah pada ibu dengan
CSEA (Tabel 1; Gambar 1.).

Frekuensi jantung dari ibu dengan CSEA secara signifikan lebih tinggi daripada
kelompok GA (Tabel 1; Gambar 1.).

Skor apgar pada menit 1 dan menit 5 diamati secara signifikan lebih tinggi di
kelompok II (Tabel 2).

Saturasi oksigen dari bayi baru lahir secara signifikan lebih tinggi di kelompok II
(Tabel 2; 76,0 ± 10,6 vs 70,8 ± 10,5, p <0,05). Tidak ada perbedaan signifikan secara
statistik dalam frekuensi jantung dari bayi baru lahir.

Oksigenasi serebral regional diukur dengan NIRS secara signifikan lebih tinggi
pada kelompok CSEA (Tabel 2; rSO2 kanan: 57,5 ± 15,2 vs 49,7 ± 12,3; rSO2 kiri: 55,2
± 14,2 vs 48,3 ± 12,4, p <0,05).
DISKUSI

Adaptasi neonatal terhadap kehidupan di luar uterus merupakan suatu proses


dinamis, dan manajemen anestesi memiliki efek terhadap bayi baru lahir selama operasi
seksio sesarea. Dalam penelitian ini, kami membandingkan efek anestesi general dan
kombinasi anestesi epidural spinal terhadap oksigenasi serebral regional (rSO2) bayi baru
lahir menggunakan NIRS. Nilai SpO2 preductal dan rSO2 tampak lebih tinggi pada
kelompok CSEA daripada kelompok GA dalam penelitian ini.

Dalam sebuah penelitian yang dirancang untuk mengevaluasi perbedaan rSO2 pada
bayi yang lahir melalui persalinan normal atau seksio sesarea, ditemukan bahwa dari
menit 4 sampai menit 8 nilai SpO2 untuk bayi yang lahir melalui seksio sesarea secara
signifikan lebih rendah daripada bayi yang lahir melalui persalinan normal. Frekuensi
jantung pada bayi yang lahir SC secara signifikan lebih rendah selama periode observasi
secara keseluruhan. Tidak ada perbedaan antara kedua kelompok berdasarkan rSO2.
Meskipun SpO2 dan frekuensi jantung secara signifikan lebih rendah pada bayi SC, tidak
ada perbedaan dalam rSO2 sehubungan dengan cara melahirkan. Dalam penelitian kami,
nilai SpO2 untuk neonatus melalui SC dengan CSEA lebih tinggi dari nilai SpO2 dari
neonatus yang lahir dari ibu dengan GA. rSO2 kanan rata-rata adalah 49,7 untuk
kelompok GA sedangkan 57,5 pada kelompok CSEA. rSO2 kiri adalah 48,3 pada
kelompok GA sedangkan 55,2 pada kelompok CSEA.

Bayi yang lahir SC menggunakan GA terbukti memiliki saturasi oksigen rendah


dan diperlukan waktu lebih lama untuk mencapai saturasi oksigen yang stabil sebesar
85% pada periode neonatal dibandingkan dengan bayi yang lahir melalui persalinan
normal. Hasil yang sama dilaporkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Kamlin et al
dan Dawson et al. Dalam penelitian kami, nilai SpO2 preductal adalah 70,8% pada
kelompok GA dan 76,0% pada kelompok CSEA, yang sesuai dengan penelitian
sebelumnya. Pengukuran dilakukan bersamaan dengan NIRS, selama 2,5 menit pertama.
Pengukuran tidak dilanjutkan hingga 10 menit karena itu akan mengganggu pemeriksaan
oleh dokter anak. Penelitian lebih bisa dilakukan dengan mengukur SpO2 preductal dan
rSO2 untuk waktu yang lebih lama setelah lahir.

Dalam tinjauan tentang NIRS pada anak-anak yang berisiko tinggi perfusi rendah,
oksimetri jaringan disarankan sebagai alat non-invasif untuk terus memantau dan
mendeteksi keadaan perfusi tubuh yang rendah. Dinyatakan bahwa meskipun teknologi
NIRS masih memiliki kekurangan untuk secara akurat memvalidasi dan mengukur secara
langsung parameter perfusi oksigen sistemik dan aliran darah, NIRS pasti bisa membantu
dalam deteksi curah jantung yang rendah, namun, penelitian prospektif, besar, dan acak
dengan parameter hasil yang terdefinisi dengan baik disarankan untuk dilakukan dalam
rangka mendefinisikan peran NIRS secara jelas pada anak-anak dengan risiko perfusi
rendah. Dalam penelitian kami, instrumen diletakkan di dahi neonatus segera setelah bayi
dipindahkan ke meja resusitasi. Pengukuran dilakukan saat neonatus berbaring di meja
resusitasi, dan diperiksa selama masa transisi oleh dokter anak. Neonatus dengan masalah
bawaan dikeluarkan dari penelitian sehingga setiap curah jantung rendah yang
berhubungan dengan anomali kongenital tidak dimasukkan dalam penelitian kami.
Artefak dari cahaya dan gerak dicegah dengan memegang instrumen dengan penutup.
Penelitian yang lebih berkaitan dengan pengukuran oksigenasi jaringan oleh NIRS harus
dilakukan dalam rangka meningkatkan validitas dan akurasi metode ini.

Dalam sebuah penelitian yang membandingkan perubahan saturasi jaringan


regional otak selama masa transisi dalam kelompok besar pada bayi yang sehat setelah
persalinan pervaginam dengan bayi SC, rSO2 kiri secara signifikan tidak ditemukan
berbeda antara kedua kelompok dan meningkat dari 40% menjadi 80% dari menit 3
sampai menit 10 setelah lahir pada kedua kelompok. Dalam penelitian kami, rSO2 kanan
pada kelompok GA adalah 49,7% sedangkan 57,5% pada kelompok CSEA, dan rSO2 kiri
adalah 48,3% pada kelompok GA dibandingkan 55,2% pada kelompok CSEA di 2,5
menit pertama setelah lahir.

Kadar katekolamin yang lebih tinggi pada saat lahir dilaporkan pada bayi melalui
persalinan normal daripada bayi yang lahir melalui SC. Dalam hemodinamik yang stabil,
infus dopamin dikaitkan dengan vasokonstriksi serebral, yang kemungkinan akan
menjadi autoregulatory, respon alpha-adrenergic untuk peningkatan TD. Ini mungkin
dapat menjadi suatu penjelasan terhadap rSO2 yang lebih rendah pada neonatus yang
lahir dengan persalinan pervaginam. Dalam penelitian kami, nilai rSO2 pada neonatus
yang lahir dengan GA lebih rendah dibandingkan dengan neonatus yang lahir dengan
CSEA. Penelitian lebih lanjut terkait kadar katekolamin dan hubungannya dengan rSO2
sangat diperlukan.

Dalam penelitian oleh Urlesberger et al, ditemukan nilai SpO2 dan frekuensi
jantung yang secara signifikan lebih rendah dalam kelompok SC, dan tidak ada
perbedaan yang signifikan dalam rSO2 antara persalinan pervaginam dan kelompok SC.
Temuan ini serupa dengan penelitian oleh Isobe et al di mana tidak ada perbedaan yang
signifikan dalam rSO2 yang ditemukan dalam 10 menit pertama kehidupan. Oksigen
serebral adalah produk dari aliran darah dan kadar oksigen. Karena curah jantung pada
neonatus terutama ditentukan oleh frekuensi jantung, maka penurunan oksigen dengan
penurunan frekuensi jantung (dalam kelompok SC) diharapkan. Dalam penelitian kami,
perbedaan dalam frekuensi jantung dari bayi baru lahir secara statistik tidak signifikan
baik dalam kelompok GA atau CSEA (150,4/menit 151,8 menit, dan 148,0/menit pada
menit 1, menit 3, dan menit 5 vs 143,3/menit, 150,3/menit, dan 148,2/menit, berturut-
turut).

Fungsi miokard sangat penting selama transisi hemodinamik ke kehidupan di luar


uterus. Terlepas dari output ventrikel kiri dan TD, CBF diatur oleh autoregulasi cerebral.
Autoregulasi cerebral dipengaruhi oleh perubahan gas darah (tekanan oksigen arteri
parsial, PaO2; tekanan karbon dioksida arteri parsial, PaCO2). PaCO2 tampaknya lebih
berpengaruh pada CBF daripada TD. Ada korelasi positif antara rSO2 dan PaCO2 dan
ada korelasi negatif antara fractional tissue oxygen extraction dan PaCO2. Penelitian ini
dapat diulang dengan membandingkan hasil melalui analisis gas darah secara bersamaan.
Penelitian lebih lanjut mengenai korelasi antara PaCO2 dan rSO2 akan diperlukan dalam
hal ini.

Waktu melahirkan secara signifikan lebih lama di kelompok CSEA dibandingkan


kelompok GA. Perbedaan waktu melahirkan dihubungkan dengan kenyamanan dan
dokter kandungan tidak terburu-buru dalam merawat pasien GA, bukannya karena
kondisi ibu.

Ada beberapa keterbatasan dalam penelitian kami. Hanya ibu melahirkan ASA I/II
dan bayi yang tidak memerlukan oksigen tambahan yang dimasukkan dalam penelitian
ini. Penelitian ini dapat diulang pada pasien yang memiliki penyakit penyerta; efek dari
semua faktor ini harus disesuaikan dengan uji t tidak berpasangan atau tes berulang
ANOVA, dan kemudian hasilnya mungkin lebih bermakna. Perbandingan rSO2 dengan
analisis gas darah dapat membantu evaluasi pengukuran.

Kesimpulannya, penelitian kami menunjukkan bahwa rSO2 neonatus lebih tinggi


pada kelompok CSEA dibandingkan pada kelompok GA dalam 2,5 menit pertama. SpO2
preductal juga lebih rendah pada neonatus yang lahir dari ibu dengan GA.

Sumber: Ozgen ZSU, Toramen F, Erkek E, Sungur T, Guclu P, Durmaz S, et al.


Cesarean under general or epidural anasthesia: Does it differ in terms of regional
cerebral oxygenation?. Journal of Acta Anasthesiologica Taiwanica. 2014; 52: 159-162.

Diposting 15th April 2016 oleh Frans Irapanussa

Label: ANESTESI

Tambahkan komentar

5.

Apr

MANAJEMEN NYERI
A.      DEFINISI

Menurut The International Association for the Study of Pain (IASP) tahun 1979,

nyeri didefinisikan sebagai suatu sensori subyektif dan emosional yang tidak

menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial,

atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan. Berdasarkan batasan tersebut di atas,

terdapat dua asumsi perihal nyeri, yaitu:1,2

      Pertama, bahwa persepsi nyeri merupakan sensasi yang tidak menyenangkan, berkaitan

dengan pengalaman emosional menyusul adanya kerusakan jaringan yang nyata (pain

with nociception). Keadaan nyeri seperti ini disebut sebagai nyeri akut.

      Kedua, bahwa perasaan yang sama dapat juga terjadi tanpa disertai dengan kerusakan

jaringan yang nyata (pain without nociception). Keadaan nyeri seperti ini disebut sebagai

nyeri kronis.

B.       KLASIFIKASI

Nyeri dapat diklasifikasikan sebagai berikut:3-6

1.        Menurut Jenisnya

a.    Nyeri nosiseptif

Karena kerusakan jaringan baik somatik maupun viseral. Stimulasi nosiseptor

baik secara langsung maupun tidak langsung akan mengakibatkan pengeluaran

mediator inflamasi dari jaringan, sel imun dan ujung saraf sensoris dan simpatik.
Gambar 1. Mekanisme nyeri nosiseptif6

b.    Nyeri neurogenik

Nyeri yang didahului atau disebabkan oleh lesi atau disfungsi primer pada sistem

saraf perifer. Hal ini disebabkan oleh cedera pada jalur serat saraf perifer, infiltrasi

sel kanker pada serabut saraf, dan terpotongnya saraf perifer. Sensasi yang

dirasakan adalah rasa panas dan seperti ditusuk-tusuk dan kadang disertai

hilangnya rasa atau adanya sara tidak enak pada perabaan. Nyeri neurogenik dapat

menyebakan terjadinya allodynia. Hal ini mungkin terjadi secara mekanik atau

peningkatan sensitivitas dari noradrenalin yang kemudian menghasilkan

sympathetically maintained pain (SMP). SMP merupakan komponen pada nyeri

kronik. Nyeri tipe ini sering menunjukkan respon yang buruk pada pemberian

analgetik konvensional.
Gambar 2. Mekanisme nyeri neurogenik6

c.    Nyeri psikogenik

Nyeri ini berhubungan dengan adanya gangguan jiwa misalnya cemas dan

depresi. Nyeri akan hilang apabila keadaan kejiwaan pasien tenang.

Gambar 3. Mekanisme nyeri psikogenik6

2.        Menurut timbulnya nyeri


a.    Nyeri akut

Nyeri yang terjadi segera setelah tubuh terkena cidera atau intervensi bedah dan

memiliki awitan yang cepat, dengan intensitas bervariasi dari berat sampai ringan.

Nyeri ini terkadang bisa hilang sendiri tanpa adanya intervensi medis, setelah

keadaan pulih pada area yang rusak.  Apabila nyeri akut ini muncul, biasanya

tenaga kesehatan sangat agresif untuk segera menghilangkan nyeri. Misalnya

nyeri pasca bedah.

b.    Nyeri kronik

Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap sepanjang suatu

periode tertentu, berlangsung lama, intensitas bervariasi, dan biasanya

berlangsung lebih dari tiga bulan. Nyeri ini disebabkan oleh kanker yang tidak

terkontrol, karena pengobatan kanker tersebut atau karena gangguan progresif

lain. Nyeri ini bisa berlangsung terus sampai kematian. Pada nyeri kronik, tenaga

kesehatan tidak seagresif pada nyeri akut. Klien yang mengalami nyeri kronik

akan mengalami periode remisi (gejala hilang sebagian atau keseluruhan) dan

eksaserbasi (keparahan meningkat).  Nyeri ini biasanya tidak memberikan respon

terhadap pengobatan yang  diarahkan pada penyebabnya. Nyeri ini merupakan

penyebab utama ketidakmampunan fisik dan psikologis. Sifat nyeri kronik yang

tidak dapat diprediksi membuat klien menjadi frustasi dan seringkali mengarah

pada depresi psikologis. Individu yang mengalami nyeri kronik akan timbul

perasaan yang tidak aman, karena ia tidak pernah tahu apa yang akan

dirasakannya dari hari ke hari. Misalnya nyeri post-herpetic, nyeri phantom atau

nyeri karena kanker.


Tabel 1. Perbedaan karakteristik nyeri akut dan kronik

Nyeri akut
-     Lamanya dalam hitungan menit -     La
-     Sensasi tajam menusuk -     Sen
-     Dibawa oleh serat A-delta -     Dib
-     Ditandai  peningkatan BP, nadi, dan respirasi -     Fu
-     Kausanya spesifik, dapat diidentifikasi secara biologis
-     Respon pasien : Fokus pada nyeri, menangis dan mengerang, cemas -     Ka
-     Tingkah laku menggosok bagian yang nyeri -     Tid
-     Respon terhadap analgesik : meredakan nyeri secara efektif -     Tid
-     Re

3.        Menurut penyebabnya

a.    Nyeri kanker

Nyeri kronis maligna merupakan kombinasi dari beberapa komponen nyeri akut,

intermiten dan kronis. Nyeri kanker dapat muncul pada tempat/situs primer

kanker sebagai akibat ekspansi tumor, penekanan/kompresi saraf, atau infiltrasi

oleh tumor, obstruksi maligna, atau infeksi pada ulkus maligna. Nyeri juga dapat

muncul pada tempat metastase yang jauh. Selain itu, terapi kanker dengan

tindakan bedah, kemoterapi, dan radiasi juga dapat menimbulkan mukositis,

gastroenteritis, iritasi kulit, dan nyeri lain yang berakitan.

b.    Nyeri non kanker

Nyeri kronis non-kanker dapat dibedakan menjadi 2 subtipe utama yaitu nyeri

neuropati dan nyeri muskuloskeletal. Nyeri neuropati dapat bersifat idiopatik atau

dapat juga muncul dari lokasi tertentu atau umum pada jejas saraf. Awitannya
dapat terjadi seketika setelah jejas atau setelah jeda waktu tertentu. Nyeri

neuropati dapat bersifat konstan dan menetap. Selain nyeri yang terus menerus,

juga dapat terjadi nyeri yang tumpang tindih, hilang-muncul (intermitten), nyeri

seperti syok, yang seringkali dicirikan dengan sensasi nyeri yang tajam, seperti

tersengat listrik/elektrik, mengejutkan, seperti disobek/robek, atau kejang Contoh

sindroma nyeri neuropati kronis adalah neuralgia pascaherpes, neuropati diabetik,

neuralgia trigeminal, nyeri pascastroke, dan nyeri phantom (yaitu rasa nyeri pada

bagian tubuh yang telah diamputasi).

Nyeri muskuloskeletal muncul dari jaringan otot, tulang, persendian atau jaringan

ikat. Nyeri ini dapat diakibatkan oleh jejas idiopatik atau iatrogenik. Sindroma

nyeri muskuloskeletal kronik yang umum adalah nyeri yang berkaitan dengan

penyakit inflamasi otot misalnya polimyositis (penyakit jaringan ikat yang

ditandai dengan edema, inflamasi, dan degenerasi otot) dan dermatitis dan juga

nyeri yang berkaitan dengan penyakit persendian misalnya arthritis.

 4.        Menurut derajat nyeri

a.    Nyeri ringan adalah nyeri hilang-timbul, terutama saat beraktivitas sehari-hari dan

menjelang tidur.

b.    Nyeri sedang nyeri yang berlangsung terus-menerus, aktivitas terganggu yang

hanya hilang bila penderita tidur.

c.    Nyeri berat adalah nyeri yang berlangsung terus-menerus sepanjang hari,

penderita tidak dapat tidur dan sering terjaga oleh gangguan nyeri sewaktu tidur.

5.        Menurut sumber nyeri

a.    Nyeri somatik luar


Nyeri yang stimulusnya berasal dari kulit, jaringan subkutan dan membran

mukosa. Nyeri biasanya dirasakan seperti terbakar, tajam dan terlokalisasi.

b.    Nyeri somatik dalam

Nyeri tumpul (dullness) dan tidak terlokalisasi dengan baik akibat rangsangan

pada otot rangka, tulang, sendi, jaringan ikat.

c.    Nyeri visceral

Nyeri karena perangsangan organ viseral atau membran yang menutupinya

(pleura parietalis, perikardium, peritoneum). Nyeri tipe ini dibagi lagi menjadi

nyeri viseral terlokalisasi, nyeri parietal terlokalisasi, nyeri alih viseral dan nyeri

alih parietal.

C.      MEKANISME NYERI

Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri.

Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit

yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor

nyeri disebut juga nosireceptor, secara anatomis reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang

bermielien dan ada juga yang tidak bermielin dari syaraf perifer.

Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa bagian

tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan pada daerah

viseral, karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul juga memiliki

sensasi yang berbeda. Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan subkutan, nyeri yang

berasal dari daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan. Reseptor

jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu:


1.        Serabut A delta

Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan transmisi 6-30 m/detik) yang

memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila penyebab

nyeri dihilangkan. Serabut A-delta mempunyai diameter lebih besar dibanding

dengan serabut C.

2.        Serabut C

Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5-5 m/detik) yang

terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan sulit

dilokalisasi.

Rangkaian proses perjalanan yang menyertai antara kerusakan jaringan sampai

dirasakan nyeri adalah suatu proses elektrofisiologis, yang secara koolektif disebut

sebagai nosiseptif (nociception). Mekanisme timbulnya nyeri terdiri dari 4 proses, antara

lain:6,7

1.        Transduksi

Merupakan perubahan rangsang nyeri (noxious stimuli) menjadi aktifitas listrik pada

ujung-ujung saraf sensoris. Zat-zat algesik seperti prostaglandin, serotonin,

bradikinin, leukotrien, substans P, potassium, histamin, asam laktat, dan lain-lain

akan mengaktifkan atau mensensitisasi reseptor-reseptor nyeri. Reseptor nyeri

merupakan anyaman ujung-ujung bebas serat-serat aferen A delta dan C. Reseptor-

reseptor ini banyak dijumpai dijaringan kulit, periosteum, di dalam pulpa gigi dan

jaringan tubuh yang lain. Serat saraf aferen A delta dan C adalah serat-serat saraf

sensorik yang mempunyai fungsi meneruskan sensorik nyeri dari perifir ke sentral ke
susunan saraf pusat. Interaksi antara zat algesik dengan reseptor nyeri menyebabkan

terbentuknya impuls nyeri.

2.        Transmisi

Merupakan proses perambatan impuls nyeri melalui serabut A-delta dan C yang

menyusul proses tranduksi. Oleh serabut aferen A-delta dan C, impuls nyeri

diteruskan ke sentral, yaitu ke medula spinalis, ke sel neuron di kornu dorsalis. Sel-

sel neuron di medula spinalis kornua dorsalis yang berfungsi dalam fisiologi nyeri ini

disebut sel-sel neuron nosisepsi. Pada nyeri akut, sebagian dari impuls nyeri tadi oleh

serabut aferen A-delta dan C diteruskan langsung ke sel-sel neuron yang berada di

kornu antero-lateral dan sebagian lagi ke sel-sel neuron yang berada di kornu anterior

medula spinalis. Aktifasi sel-sel neuron di kornu antero-lateral akan menimbulkan

peningkatan tonus sistem saraf otonom simpatis dengan segala efek yang dapat

ditimbulkannya. Sedangkan aktifasi sel-sel neuron di kornu anterior medula spinalis

akan menimbulkan peningkatan tonus otot skelet di daerah cedera dengan segala

akibatnya.

3.        Modulasi

Merupakan interaksi antara sistem analgesik endogen (endorfin, NA, 5HT) dengan

input nyeri yang masuk ke kornu posterior. Impuls nyeri yang diteruskan oleh serat-

serat A-delta dan C ke sel-sel neuron nosisepsi di kornua dorsalis medula spinalis

tidak semuanya diteruskan ke sentral lewat traktus spinotalamikus. Di daerah ini

akan terjadi interaksi antara impuls yang masuk dengan sistem inhibisi, baik sistem

inhibisi endogen maupun sistem inhibisi eksogen. Tergantung mana yang lebih

dominan. Bila impuls yang masuk lebih dominan, maka penderita akan merasakan
sensibel nyeri. Sedangkan bila efek sistem inhibisi yang lebih kuat, maka penderita

tidak akan merasakan sensibel nyeri.

4.        Persepsi

Impuls yang diteruskan ke kortex sensorik akan mengalami proses yang sangat

kompleks, termasuk proses interpretasi dan persepsi yang akhirnya menghasilkan

sensibel nyeri.

Gambar 4. Mekanisme nyeri6

D.      SISTEM INHIBISI NYERI


Tidak semua stimulus nyeri akan menghasilkan sensibel nyeri. Hal ini dapat terjadi

karena ada suatu proses modulasi di kornu dorsalis medula spinalis. Ini dimungkinkan

karena ada sistem inhibisi. Inhibisi terjadi melalui beberapa mekanisme, seperti:2

1.        Stimulasi serabut aferen yang mempunyai diameter besar

Stimulasi serabut aferen ini dapat menghasilkan suatu efek berupa aktifasi

interneuron inhibisi di kornu dorsalis. Stimulasi halus berulang serabut A betha atau

menggunakan alat TENS dapat menghambat transmisi nyeri.

2.        Serabut inhibisi desendens

Ada 3 lintasan dari midbrain ke kornu dorsalis medula spinalis, yaitu:

a.    Lintasan I : Berawal dari nukleus raphe magnus.

b.    Lintasan II : Berawal dari nukleus lokus seruleus

c.    Lintasan III : Berawal dari nucleus Edinger Wesphal

Ketiga lintasan ini turun menuju dan menimbulkan hambatan fungsi respon nyeri

neuron nosisepsi di kornu dorsalis medula spinalis. Bila diaktifkan, ketiga lintasan

ini akan melepaskan serotonin, norepinefrin dan cholecystokinin.

Periaquaductal gray (PAG) mempunyai hubungan dengan ketiga lintasan ini. PAG

kaya dengan reseptor opioid. Bila reseptor ini diaktifkan, PAG akan mengaktifkan

ketiga lintasan ini. Reseptor opioid PAG dapat diaktifkan oleh endorphin yang

dilepaskan secara endogen dan opioid yang diberikan secara eksogen. Pelepasan

endorphin dapat dipicu oleh nyeri dan stres.

3.        Betha endorphin


Diproduksi di hipotalamus dan disalurkan ke ventrikulus tertius. Oleh liquor, zat ini

dibawa ke medula spinalis menimbulkan efek depresi konduksi nyeri di substansia

gelatinosa.

 4.        Opioid

PAG kaya dengen reseptor nyeri. Substansia gelatinosa kornu dorsalis medula

spinalis juga kaya dengan reseptor opioid. Opioid bekerja dengan mengaktifkan

sistem inhibisi desendens atau mengaktifkan reseptor opioid di substansia gelatinosa.

E.       RESPON TUBUH TERHADAP NYERI

Nyeri akut akan menimbulkan perubahan-perubahan di dalam tubuh. Impuls nyeri

oleh serabut aferen selain diteruskan ke sel-sel neuron nosisepsi di kornu dorsalis medula

spinalis, juga akan diteruskan ke sel-sel neuron di kornu anterolateral dan kornu anterior

medula spinalis.1

Nyeri akut pada dasarnya berhubungan dengan respon stres sistem neuroendokrin

yang sesuai dengan intensitas nyeri yang ditimbulkan. Mekanisme timbulnya nyeri

melalui serabut saraf aferen diteruskan melalui sel-sel neuron nosisepsi di kornu dorsalis

medula spinalis dan juga diteruskan melalui sel-sel di kornu anterolateral dan kornu

anterior medula spinalis memberikan respon segmental seperti peningkatan muscle

spasm (hipoventilasi dan penurunan aktivitas), vasospasm (hipertensi), dan menginhibisi

fungsi organ visera (distensi abdomen, gangguan saluran pencernaan, hipoventilasi).

Nyeri juga mempengaruhi respon suprasegmental yang meliputi kompleks hormonal,

metabolik dan imunologi yang menimbulkan stimulasi yang noxious. Nyeri juga

berespon terjadap psikologis pasien seperti interpretasi nyeri, marah dan takut.7,8
Impuls yang diteruskan ke sel-sel neuron di kornu antero-lateral akan mengaktifkan

sistem simpatis. Akibatnya, organ-organ yang diinervasi oleh sistem simpatis akan

teraktifkan. Nyeri akut baik yang ringan sampai yang berat akan memberikan efek pada

tubuh seperti:

a.         Sistem respirasi

Karena pengaruh dari peningkatan laju metabolisme, pengaruh reflek segmental, dan

hormon seperti bradikinin dan prostaglandin menyebabkan peningkatan kebutuhan

oksigen tubuh dan produksi karbondioksida mengharuskan terjadinya peningkatan

ventilasi permenit sehingga meningkatkan kerja pernafasan. Hal ini menyebabkan

peningkatan kerja sistem pernafasan, khususnya pada pasien dengan penyakit paru.

Penurunan gerakan dinding thoraks menurunkan volume tidal dan kapasitas residu

fungsional. Hal ini mengarah pada terjadinya atelektasis, intrapulmonary shunting,

hipoksemia, dan terkadang dapat terjadi hipoventilasi.

b.        Sistem kardiovaskuler

Pembuluh darah akan mengalami vasokonstriksi. Terjadi gangguan perfusi, hipoksia

jaringan akibat dari efek nyeri akut terhadap kardiovaskuler berupa peningkatan

produksi katekolamin, angiotensin II, dan anti deuretik hormon (ADH) sehingga

mempengaruhi hemodinamik tubuh seperti hipertensi, takikardi dan peningkatan

resistensi pembuluh darah secara sistemik. Pada orang normal, cardiac output akan

meningkat tetapi pada pasien dengan kelainan fungsi jantung akan mengalami

penurunan cardiac output dan hal ini akan lebih memperburuk keadaanya. Karena

nyeri menyebabkan peningkatan kebutuhan oksigen myocard, sehingga nyeri dapat

menyebabkan terjadinya iskemia myocardial.


c.         Sistem gastrointestinal

Perangsangan saraf simpatis meningkatkan tahanan sfinkter dan menurunkan

motilitas saluran cerna yang menyebabkan ileus. Hipersekresi asam lambung akan

menyebabkan ulkus dan bersamaan dengan penurunan motilitas usus, potensial

menyebabkan pasien mengalami pneumonia aspirasi. Mual, muntah, dan konstipasi

sering terjadi. Distensi abdomen memperberat hilangnya volume paru dan

pulmonary dysfunction.

d.        Sistem urogenital

Perangsangan saraf simpatis meningkatkan tahanan sfinkter saluran kemih dan

menurunkan motilitas saluran cerna yang menyebabkan retensi urin.

e.         Sistem metabolisme dan endokrin

Kelenjar simpatis menjadi aktif, sehingga terjadi pelepasan ketekolamin.

Metabolisme otot jantung meningkat sehingga kebutuhan oksigen meningkat.

Respon hormonal terhadap nyeri meningkatkan hormon-hormon katabolik seperti

katekolamin, kortisol dan glukagon dan menyebabkan penurunan hormon anabolik

seperti insulin dan testosteron. Peningkatan kadar katekolamin dalam darah

mempunyai pengaruh pada kerja insulin. Efektifitas insulin menurun, menimbulkan

gangguan metabolisme glukosa. Kadar gula darah meningkat. Hal ini mendorong

pelepasan glukagon. Glukagon memicu peningkatan proses glukoneogenesis. Pasien

yang mengalami nyeri akan menimbulkan keseimbangan negative nitrogen,

intoleransi karbohidrat, dan meningkatkan lipolisis. Peningkatan hormon kortisol

bersamaan dengan peningkatan renin, aldosteron, angiotensin, dan hormon


antidiuretik yang menyebabkan retensi natrium, retensi air, dan ekspansi sekunder

dari ruangan ekstraseluler.

f.         Sistem hematologi

Nyeri menyebabkan peningkatan adhesi platelet, meningkatkan fibrinolisis, dan

hiperkoagulopati.

g.        Sistem imunitas

Nyeri merangsang produksi leukosit dengan lympopenia dan nyeri dapat mendepresi

sistem retikuloendotelial. Yang pada akhirnya menyebabkan pasien beresiko menjadi

mudah terinfeksi.

h.        Efek psikologis

Reaksi yang umumnya terjadi pada nyeri akut berupa kecemasan (anxiety),

ketakutan, agitasi, dan dapat menyebabkan gangguan tidur. Jika nyeri

berkepanjangan dapat menyebabkan depresi.

i.          Homeostasis cairan dan elektrolit

Efek yang ditimbulkan akibat dari peningkatan pelepasan hormon aldosterom berupa

retensi natrium. Efek akibat peningkatan produksi ADH berupa retensi cairan dan

penurunan produksi urine. Hormon katekolamin dan kortisol menyebabkan

berkurangnya kalium, magnesium dan elektrolit lainnya.


Gambar 5. Respon tubuh terhadap nyeri9

F.       PENILAIAN INTENSITAS NYERI

Terdapat beberapa metode yang umumnya digunakan untuk menilai intensitas nyeri,

antara lain:1,3,10

Self reported

Self reported berarti pasien memiliki kemampuan verbal dan dapat melaporkan

sendiri rasa sakitnya. Beberapa metode yang digunakan antara lain:

1.    Verbal Rating Scale (VRSs)

Metode ini menggunakan suatu word list untuk mendiskripsikan nyeri yang

dirasakan. Pasien disuruh memilih kata-kata atau kalimat yang menggambarkan

karakteristik nyeri yang dirasakan dari word list yang ada. Metode ini dapat

digunakan untuk mengetahui intensitas nyeri dari saat pertama kali muncul

sampai tahap penyembuhan. Penilaian ini menjadi beberapa kategori nyeri yaitu:
      Tidak nyeri (none)

      Nyeri ringan (mild)

      Nyeri sedang (moderate)

      Nyeri berat (severe)

      Nyeri sangat berat (very severe)

2.    Numerical Rating Scale (NRSs)

Metode ini menggunakan angka-angka untuk menggambarkan range dari

intensitas nyeri. Umumnya pasien akan menggambarkan intensitas nyeri yang

dirasakan dari angka 0-10. ”0” menggambarkan tidak ada nyeri sedangkan ”10”

menggambarkan nyeri yang hebat.

Gambar 6. Numeric pain intensity scale3

3.    Visual Analogue Scale (VASs)

Metode ini paling sering digunakan untuk mengukur intensitas nyeri. Metode ini

menggunakan garis sepanjang 10 cm yang menggambarkan keadaan tidak nyeri

sampai nyeri yang sangat hebat. Pasien menandai angka pada garis yang
menggambarkan intensitas nyeri yang dirasakan. Keuntungan menggunakan

metode ini adalah sensitif untuk mengetahui perubahan intensitas nyeri, mudah

dimengerti dan dikerjakan, dan dapat digunakan dalam berbagai kondisi klinis.

Kerugiannya adalah tidak dapat digunakan pada anak-anak dibawah 8 tahun dan

mungkin sukar diterapkan jika pasien sedang berada dalam nyeri hebat.

Gambar 7. Visual analog scale3

4.    McGill Pain Questionnare (MPQ)

Metode ini menggunakan check list untuk mendiskripsikan gejala-gejala nyeri

yang dirasakan. Metode ini menggambarkan nyeri dari berbagai aspek antara lain

sensorik, afektif dan kognitif. Intensitas nyeri digambarkan dengan merangking

dari ”0” sampai ”3”.

Non-self reported

Non-self reported biasanya digunakan untuk pasien yang mengalami limitasi verbal

baik karena usia, kognitif, maupun karena berada dibawah pengaruh obat sedasi dan di

dalam mesin ventilator.3,10,11

1.    Wong-Baker Faces Pain Scale

Metode ini digunakan dengan cara melihat mimik wajah pasien dan biasanya

untuk menilai intensitas nyeri pada anak-anak dengan kesulitan atau keterbatasan

verbal.
Gambar 8. Wong Baker Pain Scale3

2.    Skala FLACC

Skala ini merupakan skala perilaku yang telah dicoba pada anak usia 3-7 tahun.

Setiap kategori (Faces, Legs,Activity, Cry, dan Consolability) diberi nilai 0-2 dan

dijumlahkan untuk mendapatkan total 0-10.

Tabel 2. FLACC Pain Scale11

KATEGORI
0
Face (Wajah) Tidak ada ekspresi tertentu atau Kadang meringis atau
senyum, kontak mata dan bunga di diri, tidak tertarik, wajah
lingkungan mata sebagian tertu
m
Leg (Kaki) Posisi normal atau santai Tidak nyaman, gelisah,
fleksi/ekstensi an

Activity (Aktivitas) Berbaring dengan tenang, posisi Menggeliat, menggeser m


normal, bergerak dengan mudah untuk bergerak, menja
dan bebas
Cry (Menangis) Tidak ada teriakan / erangan Erangan atau rengekan,
(terjaga atau tertidur) sesek
Consolability Tenang, santai, tidak memerlukan Perlu keyakinan dengan
hiburan atau ‘berbicara’.

3.    Behavioral Pain Scale

Penggunaan indikator tingkah laku dan fisiologis untuk menilai nyeri pada pasien

dewasa yang tidak responsif, tidak komunikatif telah dikemukakan oleh Payen

pada tahun 2001. Payen membandingkan prospektif 30 pasien yang berada dalam

mekanikal ventilator yang mendapat sedasi dan analgesi. BPS digunakan untuk

menilai rasa nyeri yang dialami pasien pada prosedur yang menyakitkan seperti

tracheal suctioning ataupun mobilisasi tubuh. Skala ini sudah divalidasi. BPS

terbagi menjadi 2 jenis, yaitu BPS dengan ventilator dan BPS tanpa ventilator.

Setiap subskala diskoring dari 1 (tidak ada respon) hingga 4 (respon penuh).

Karena itu skor berkisar dari 3 (tidak nyeri) hingga 12 (nyeri maksimal). Skor

BPS sama dengan 6 atau lebih dipertimbangkan sebagai nyeri yang tidak dapat

diterima (unacceptable pain).

Tabel 3. Behavioral pain score (BPS) dengan ventilator11

KATEGORI PENILAIAN SKOR


Ekspresi wajah Tenang/relaks 1
Sebagian diperketat (misalnya penurunan alis) 2
Sepenuhnya diperketat (misalnya penutupan 3
kelopak mata)
Meringis 4
Anggota badan Tidak ada pergerakkan 1
Sebagian ditekuk 2
sebelah atas
Sepenuhnya ditekuk dengan fleksi jari-jari 3
Retraksi permanen 4
Kepatuhan Pergerakkan yang dapat ditoleransi 1
Batuk dengan pergerakkan 2
Melawan ventilator 3
dengan ventilasi Tidak dapat mengontrol ventilasi 4

Tabel 4. Behavioral pain score (BPS) tanpa ventilator11

KATEGORI PENILAIAN SKOR


Ekspresi wajah Tenang/relaks 1
Sebagian diperketat (misalnya penurunan alis) 2
Sepenuhnya diperketat (misalnya penutupan 3
kelopak mata)
Meringis 4
Anggota badan Tidak ada pergerakkan 1
Sebagian ditekuk 2
sebelah atas
Sepenuhnya ditekuk dengan fleksi jari-jari 3
Retraksi permanen 4
Vokalisasi Kurangnya vokalisasi 1
Mendengus kecil, sering, dan tidak 2
memperpanjang
Mendengus sering atau memperpanjang 3
Berteriak atau keluhan lisan 4

4.    Colorado Behavioral Numerical Pain Scale (CBNPS)

CBNPS dikembangkan dari skala BPS oleh Salmore tahun 2002 untuk menilai

nyeri pada pasien yang tersedasi yang menjalani pemeriksaan saluran cerna, baik

endoskopi maupun kolonoskopi. Rasa nyeri pasien dinilai dengan skala yang lebih

mudah, tanpa harus menggunakan ekspresi verbal. Skala CBNPS dibentuk

berdasarkan keadaan yang dinilai sesuai dengan penilaian nyeri oleh Agency of

Health Care (USA) tahun 1992. CBNPS menilai tingkah laku yang dideskripsikan

dengan skala 0-5, yang berkorelasi dengan peningkatan nyeri. Pada penelitian,

Salmore juga dikemukakan persamaan skor dalam numerik, dengan nilai 0 tidak

ada nyeri hingga 5 yaitu nyeri hebat.


            Tabel 5. Colorado Behavioral Numerical Pain Scale11

5.    Neonatal Infant Pain Scale (NIPS)

Skala ini digunakan untuk menilai nyeri pada bayi usia kurang dari 12 bulan.

Tabel 6. Neonatal Infant Pain Scale11

PENGKAJIAN N
Ekspresi Wajah
0 – Otot-otot relaks Wajah tenang, ekspresi netral
1 – Meringis Otot wajah tegang, alis berkerut, dagu dan r
Menangis
0 – Tidak menangis Tenang, tidak menangis
1 – Mengerang Merengek ringan, kadang-kadang
2 – Menangis keras Berteriak kencang, menaik, melengking,
dibuktikan melalui gerakan mulut dan wajah
Pola Pernafasan
0 – Bernafas relaks Pola bernafas bayi yang normal
1 – Perubahan pola pernafasan Tidak teratur, lebih cepat dari biasanya, ters
Lengan
0 – Relaks/terikat Tidak ada kekakuan otot, gerakan tangan ac
1 – Fleksi/ekstensi Tegang, lengan lurus, kaku, dan/atau eksten
Ekstensi, fleksi
Kaki
0 – Relaks/terikat Tidak ada kekakuan otot, gerakan kaki acak
1 – Fleksi/ekstensi Tegang, kaki lurus, kaku, dan/atau ekstensi
Ekstensi, fleksi
Keadaan kesadaran
0 – Tidur/terjaga Tenang, tidur damai atau gerakan kaki acak
1 – Rewel Tejaga, gelisah, dan meronta-ronta

G.      PENATALAKSANAAN NYERI

Tujuan keseluruhan dalam pengobatan nyeri adalah mengurangi nyeri sebesar-

besarnya dengan kemungkinan efek samping yang paling kecil. Terdapat dua metode

umum untuk terapi nyeri yaitu pendekatan farmakologis dan non farmakologis.

Pendekatan Farmakologis

Garis besar strategi terapi farmakologi mengikuti WHO Three-step Analgesic

Ladder. Strategi ini merupakan bagian dari metode manajemen nyeri yang berpusat pada

4 prinsip, yaitu:12

1.        “By Mouth” berarti menggunakan rute oral bilamana memungkinkan, bahkan untuk

opiat.

2.        “By the Clock” berarti untuk nyeri yang persisten, obat diberikan berdasarkan

interval obat tersebut daripada diberikan hanya ketika dibutuhkan atau “on demand”.

3.        “By the Ladder” yaitu tiga langkah tangga analgesik menurut WHO untuk

pengobatan nyeri, antara lain:

Langkah 1:

      Untuk nyeri ringan sampai sedang sebaiknya dimulai dengan obat analgesik non

opioid dan tingkatkan dosisnya. Jika dibutuhkan dapat ditingkatkan sampai dosis

maksimum yang direkomendasikan.

      Dapat digunakan obat adjuvan seperti antidepresan atau antikonvulsi jika

dibutuhkan.
      Jika pasien dengan nyeri sedang atau berat maka dapat dlewati langkah 1.

Langkah 2:

      Apabila masih tetap nyeri, maka dapat naik ke tangga atau langkah kedua, yaitu

ditambahkan obat opioid lemah, misalnya kodein.

      Tambahkan atau lanjutkan obat adjuvan, jika tepat.

Langkah 3:

      Apabila ternyata masih belum reda atau menetap, maka sebagai langkah terakhir,

disarankan untuk menggunakan opioid kuat yaitu morfin.

      Tambahkan atau lanjutkan obat adjuvan, jika tepat.

4.        “For the Individual” berarti rencana terapi harus berdasarkan tujuan pasien.

Pada dasarnya, prinsip Three Step Analgesic Ladder dapat diterapkan untuk nyeri

kronik maupun nyeri akut, yaitu:12

1.        Pada nyeri kronik mengikuti langkah tangga ke atas 1-2-3.

2.        Pada nyeri akut, sebaliknya, mengikuti langkah tangga ke bawah 3-2-1.
Gambar 9. Three Step Analgesic Ladder WHO12
Namun, berdasarkan guidlines WHO tahun 2012, WHO Three Step Analgesic

Ladder for Cancer Pain Relief tidak lagi digunakan untuk manajemen nyeri pada anak.

Untuk manajemen nyeri pada anak telah digunakan strategi “two-step approach”. Pada

strategi ini, digunakan opioid kuat dengan dosis rendah untuk nyeri sedang. Hal ini

berbeda dengan strategi sebelumnya yang merekomendasikan penggunaan kodein atau

tramadol (opioid lemah) untuk terapi nyeri sedang. Strategi “two-step approach” ini

terdiri dari:13

           Langkah 1: untuk nyeri ringan

Parasetamol dan ibupeofen sebaiknya dipertimbangkan sebagai pilihan pertama pada

anak lebih dari 3 bulan dan yang dapat mengkonsumsi obat secara oral. Parasetamol

merupakan satu-satunya pilihan untuk anak dibawah 3 bulan.

           Langkah 2: untuk nyeri sedang sampai berat

Penggunaan opioid kuat dengan dosis rendah sebaiknya dipertimbangkan pada anak

dengan nyeri sedang sampai berat. Morfin merupakan obat pilihan pada langkah ini.

Tatalaksana nyeri juga dapat diberikan secara terpadu, yaitu memberikan obat-obatan

yang bekerja sesuai dengan proses terjadinya nyeri. Dimana pada proses trasduksi dapat

diberikan OAINS atau obat anti-inflamasi non-steroid maupun anestesi lokal. Proses

transmisi dapat diberikan anestesi lokal. Proses modulasi dapat diberikan anestesi lokal,

opioid, maupun alfa-2 agonis. Sedangkan untuk proses persepsi dapat diberikan opioid,

alfa-2 agonis maupun obat yang bekerja pada respetor NMDA atau N-metil-D-aspartat

(misalnya ketamin) yang menghasilkan efek anestesi disosiatif.14


Gambar 10. Mekanisme kerja obat analgesik14

1.        Analgesik Non-Opioid

Langkah pertama yang sering efektif untuk penatalaksanaan nyeri ringan sampai

sedang adalah menggunakan analgesik non-opioid, terutama asetaminofen

(paracetamol) dan OAINS. Keduanya memiliki efek antipiretik dan analgesik, tetapi

asetaminofen tidak memiliki efek antiinflamasi seperti OAINS. OAINS sangat

efektif untuk mengatasi nyeri akut derajat ringan, penyakit meradang yang kronik

seperti artritis, dan nyeri akibat kanker ringan.

OAINS mengganggu mekanisme transduksi di nosiseptor dengan menghambat

sintesis prostaglandin. OAINS berkerja menghasilkan anlgesia melalui inhibisi

pembentukan prostglandin oleh enzim siklooksigenase (COX) dari prekursor asam


arakidonat. Siklooksigenase berada di retikulum endoplasma yang bertanggung

jawab membentuk prostaglandin, prostasiklin, dan tromboksan dari asam arakidonat.

OAINS merupakan inhibitor enzim COX yang reversibel. Enzim COX terdiri ada

dua jenis, yaitu:

      COX-1

Bersifat konstitutif yang mana selalu ada dan aktif. COX-1 berkontribusi dalam

fungsi fisiologi oragan. Inhibisi pada enzim ini menyebabkan efek yang tidak

diinginkan, seperti cedera mukosa, kerusakan ginjal, perubahan hemodinamik,

dan gangguan fungsi uterus.

      COX-2

Bersifat induksif oleh proses inflamasi dan memproduksi prostaglandin yang

sensitif terhadap nosiseptor, menimbulkan demam, dan membantu inflamasi

dengan menyebabkan vasodilatasi dan meningkatkan permeabilitas vaskuler.

Namun, pada beberapa organ, COX-2 juga bekerja secara konstitutif (ginjal,

endotel vaskuler, uterus dan SSP). Enzim ini diinduksi (up-regulated) oleh adanya

asam arakidonat dan beberapa sitokin dan dihambat oleh glukokortikoid.14,15

Saat ini, sudah terdapat obat-obatan yang bekerja sebagai inhibitor selektif COX-2

(Coxib). Keuntungan dari obat-obatan ini yaitu mengurangi kerusakan atau cedera

pada mukosa. Coxib yang saat ini tersedia, yaitu cecoxib (dosis harian 200-400 mg),

valdecoxib (10-20 mg) (tidak lagi tersedia di Amerika) dan prodrugnya yaitu

parecoxib (40 mg iv). Kontraindikasi dari obat ini yaitu gagal jantung kongestif,

penyakit hati dan ginjal, inflammatory bowel diseases, dan astma.15


Gambar 11. Mekanisme kerja OAINS16
Gambar 11. Konsep tentang COX-1 dan COX-214

Kontraindikasi dari OAINS, antara lain:

      Riwayat tukak peptik

      Riwayat eksaserbasi asma dengan AINS

      Insufisiensi ginjal atau oliguria

      Hiperkalemia

      Transplantasi ginjal

      Antikoagulasi atau koagulopati lain

      Disfungsi hati berat

      Dehidrasi atau hipovolemia

      Terapi dengan frusemide


Gambar 12. Efek samping dari OAINS15
Tabel 7. Beberapa contoh obat analgesik non-opioid

NAMA OBAT DOSIS

Paracetamol Tablet à Dewasa : 3-4 x 500 mg sehari, Anak 6-12 th : 3-4 x s


Sirup à Anak 0-1th: 2,5ml; 1-2th: 5ml; 2-6th: 5-10ml; 6-9th: 1
Ibuprofen Dewasa & >12 tahun: 3-4x200mg tab
Anak2 6-12 tahun : 3-4x100mg tab
Asam Mefenamat Dewasa & anak2 > 14 tahun à Dosis awal: 500mg selanjutnya

Ketorolac Dewasa: 10mg diikuti dgn pe↑ dosis 10-30mg setiap 4-6 jam

2.        Analgesik Opioid

Opiat adalah alkaloid alami yang diambil dari ekstrak bunga poppy (Papaver

somniverum), seperrti morfin, papaverin, heroin dan kodein. Opioid adalah obat-

obatan yang memiliki sifat seperti opiat. Jenisnya lebih banyak dan beragam, juga

potensi analgesianya. Baku emas untuk potensi analgesia adalah morfin. Semua

opioid akan dibandingkan dengan morfin untuk menyatakan kekuatan analgesianya.17


Gambar 13. Mekanisme kerja opioid14

Gambar A menunjukkan jalur nosiseptif yang akan teraktivasi ketika impuls nyeri pada
traktus spinotalamikus mencapai batang otak dan talamus. Dimana Periaquaductal Gray
Matter (PAG) dan nukleus raphe magnus akan mengeluarkan endorfin dan enkefalin
untuk menginhibisi transmisi nyeri di medulla spinalis. Gambar B menunjukkan bahwa
sebanyak 70% reseptor endorfin dan enkefalin berada di nosiseptor membran presinaptik
sehingga banyak sinyal nyeri yang berhenti sebelum mencapai kornu dorsalis medulla
spinalis. Sinyal ini lebih lanjut akan dilemahkan oleh aktifitas dinorfin di medulla
spinalis. Sedangkan gambar C menunjukkan bahwa aktivasi dari dinorfin pada reseptor
alfa di interneuron inhibitor dapat menyebabkan pelepasan GABA (gamma amino butirat
acid), sehingga akan terjadi hiperpolarisasi dari sel kornu dorsalis dan selanjutnya akan
menginhibisi transmisi dari sinyal nyeri. Berdasarkan mekanisme inilah sehingga dibuat
obat opioid yang mirip kerjanya dengan opioid endogen (endorfin, enkefalin, dinorfin,
dan lain-lain).14
 Gambar 14. Efek samping dari opioid15
Klasifikasi reseptor opioid17

Reseptor opioid diklasifikasikan sebagai reseptor mu (µ), delta dan kappa (k),

berdasarkan prpototipe agonisnya, yaitu:

     a.    Reseptor µ (agonis morfin)

Reseptor mu (µ) yang mempunyai afinitas yang tinggi terhadap morfin. Reseptor mu (µ)

terdistribusi secara luas pada otak dan medulla spinalis termaksud lamina 1 dan 2 serta

kornu dorsalis medulla spinalis, striatum, traktus optikus dan lokus coeruleus, pada

batang otak dan medial thalamus. Reseptor ini bertangguing jawab atas analgesia supra

spinal dan spinal. Subtipenya yaitu: mu (µ) 1 dan mu (µ) 2. Aktifasi reseptor mu (µ) 1

diperkirakan yang memerantarai analgesia, euphoria dan rasa tenang, reseptor mu (µ) 2

menyebabkan hipoventilasi, bradikardia, pruritus, pelepasan prolaktin dan

ketergantungan fisis. Rerseptor-reseptor ini disebut juga OP 3 atau MOR (Morphine

Opioid Receptor).
Morfin, meperidin, fentanyl, subfentanil, alfentanil adalah termaksud dalam agonis mu

(µ) eksogen. Nalokson merupakan antagonis reseptor mu (µ) yang spesifik melekat pada

reseptor tetapi tidak mengaktivasi reseptor tersebut.

     b.    Reseptor k (agonis ketocyclazocine)

Reseptor k ditemukan pada sistem limbik dan area di ensefalik lainya, batang otak dan

medulla spinalis. Reseptor ini bertanggung jawab sebagai mediator efek dari

preprodinorphyn dan prepronkephalin terhadap analgesia spinal, sedasi, dyspnea,

ketergantungan, disforia dan depresi napas. Berlokasi pada pasca sinap, mereka juga

dikenal sebagai OP 2 atau KOR (Kappa Opioid Receptors).

      c.       Reseptor delta (agonis delta-alanin-leusin-enkefalin)

Reseptor delta berlokasi di pasca sinap pada neuron feedback pallidostriatal. Reseptor ini

memodulasi nosisepsi prasinap pada periaquaductal grey matter. Reseptor ini juga

berlokasi pada lapisan luar pleksiform dari bulbus olfaktorius, nukcleus accumbens,

beberapa lapis dari korteks cerebri dan beberapa nukleus dari amigdala. Kemungkinan

bertanggung jawab terhadap sikomimetik dan efek disfori. Disebut juga OP 1 dan DOR

(Delta Opioid receptors).

Aktifasi reseptor delta menghasilkan efek analgesia, meskipun lebih lemah dapi pada

efek yang ditimbulkan pada reseptor mu. Banyak agonis delta (meski tidak semua) dapat

menimbulkan kejang pada dosis yang tinggi. Kedua agonis delta golongan peptida dan

agonis delta non-peptida menstimulasi fungsi respirasi dan memblokade efek depresi

pernapasan dari agonis reseptor mu tanpa mempengaruhi efek analgesianya. Dapat

disimpulkan opioid agonis delta pada dosis yang sangat tinggi dapat menghasilkan

depresi pernapasan, sedangakan pada dosis rendah dapat menghasilkan efek yang
sebaliknya. Penggunaan secara bersamaan agonis delta dengan agonis mu membuat

pemakaian agonis mu lebih aman.

     d.   Reseptor sigma (agonis N-allylnormetazocine)

Reseptor sigma adalah reseptor tambahan yang berperan pada aksi antitusif beberapa obat

opioid. Contoh opioid yang berkerja pada reseptor ini adalah allylnormetazocine.

Reseptor ini berbeda struktur dan fungsinya dibandingkan dengan reseptor opiod lainya

dan tidak diaktifkan oleh peptida opioid endogen.

Tabel 8. Klasifikasi reseptor opioid17

Reseptor Analgesia Respirasi


µ Perifer Memperlamb
antidiare
µ2 Supraspinal Pelepasan pr
µ3 Spinal Depresi Memperlamb
K Perifer
K1 Spinal
K2 ?
K3 Supraspinal
Delta Perifer Depresi Memperlamb
Delta1 Spinal Antidiare
Delta2 Supraspinal Supra-spinal
Jenis tak diketahui

Atas dasar kerjanya pada reseptor opioid, maka obat-obatan yang tergolong opioid

dibagi menjadi:17

     a.    Agonis opiod, yang menyerupai morfin, yaitu yang berkerja sebagai agonis terutama

pada reseptor mu dan mungkin pada reseptor k.

     b.    Antagonis opioid, yaitu yang berkerja sebagai agonis pada beberapa reseptor dan

sebagai antagonis atau agonis lemah pada reseptor lain.


     c.    Opioid dengan kerja campur

      Agonis-antagonis opioid, yaitu yang berkerja sebagai agonis pada beberapa

reseptor dan sebagai antagonis atau agonis lemah pada reseptor yang lain.

      Agonis parsial.

Agonis opioid

Obat agonis adalah obat yang menginsisi efek farmakologik setelah bergabung

dengan reseptor, mempunyai efisiensi dan afinitas yang tinggi terhadap reseptor.

Setelah bergabung dengan reseptor obat ini menyebabkan efek stimulasi atau inhibisi

yang menyerupai agonisnya.

Contoh opioid agonis adalah morfin, morfin 6-glukuronida, meperidin, fentanyl,

sufentanil, alfentanil, remifentanil, kodein, hidromorfon, oksimorfon, oksikodon,

hidrokodon, metadon, propoksifen, tramadol, heroin.

Antagonis opioid

Perubahan kecil pada struktur opioid agonis dapat menjadikannya opioid antagonis

pada satu atau beberapa reseptor opioid. Perubahan yang paling umum adalah

substitusi grup alkali dengan grup metil. Obat antagonis mencegah reseptor agonis

termediasi dengan memepati reseptor agonis. Dapat juga mempunyai afinitas yang

sama seperti agonis terhadap reseptor, namun mempunyai efektifitas yang lemah.

Antagonis dapat menginhibisi efek agonis dengan inhibisi kompetitif atau inhibisi

nonkompetitif. Sebuah obat dengan afinitas yang sesuai atau kurang dari agonis

namun memiliki efek yang kurang disebut agonis parsial. Beberapa obat

menghasilkan respon dibawah batas pengukuran. Obat ini kemudian dinamakan


inverse agonis atau superantagonis. Contoh opioid antagonis pada peseptor mu

adalah nalokson, naltreakson, nalmefen, metilnaltrekson.

Agonis-antagonis reseptor opioid

Termaksud golongan ini adalah pentazosin, nalbufin, buprenorfin, nalorfin,

bremasozin dan desozin. Obat-obat ini berikatan dengan reseptor mu, menghasilkan

respon yang terbatas (agonis parsial) atau tanpa efek (antagonis kompetitif).

Obat golongan ini juga bersifat agonis pada reseptor yang lain, yaitu reseptor k dan

delta. Sifat antagonisnya dapat melemahkan sifat agonisnya. Efek samping dari obat

ini menyerupai efek samping dari opioid antagonis. Sebagai tambahan, obat ini dapat

menyebabkan reaksi disforia. Keuntungan penggunaan obat ini adalah kemampuanya

untuk menghasilkan efek analgesia dengan sedikit efek depresi pernapasan dan

kurang berpotensi menyebabkan ketergantungan.

Tramadol

Tramadol merupakan obat sintetik, yang bekerja sebagai analgetik sentral dan

digunakan secara parenteral maupun oral sebagi terapi untuk nyeri sedang sampai

berat. Potensiasinya seperti petidin tetapi untuk nyeri berat, morfin tetap lebih baik.

Efek samping berupa depresi napas dan konstipasi lebih sedikit dengan penggunaan

tramadol. Dalam suatu percobaan klinis, efek samping yang sering terjadi pada

penggunaan tramadol adalah mual, muntah, dizziness, fatigue, mulut kering, dan

hipotensi postural. Metabolit utama yaitu O-desmethyl tramadol (M1) memiliki

afinitas yang lemah sebagai agonis reseptor µ dan juga bekerja sebagai agonis pada

reseptor α2. Selain itu, tramadol juga meningkatkan inhibisi nyeri dengan
menghambat re-uptake dari serotonin (5-HT) dan noradrenalin. Sehingga tidak

seperti opioid lain, tramadol hanya diinhibisi sebagian oleh antagonis opioid

(naloxone). Dosis tramadol yaitu 50-100 mg setiap 4-6 jam dengan dosis maksimal

400 mg/hari.18

   Gambar 15. Efek samping dari Tramadol18

3.        Anestesi Lokal15

Anestesi lokal secara reversibel menginhibisi impuls yang dihasilkan pada saraf.

Konduksi impuls aksonal berasal dari pembentukan suatu potensial aksi. Perubahan

potensial melibatkan influks cepat dari Na+ melalui kanal protein membran yang
teraktivasi (terbuka). Anestesi lokal berfungsi untuk menghambat influks cepat dari

Na+ serta menghambat inisiasi dan perambatan dari eksitasi.

Kebanyakan anestesi lokal berada pada bagian dari bentuk ampifilik kationik. Sifat

fisikokemikal ini menyebabkan penyatuan ke dalam membran interfase antara daerah

polar dan apolar. Dapat ditemukan di membran fosfolipid dan juga di kanal protein

ion. Beberapa bukti menunjukkan bahwa blokade kanal Na+ dihasilkan dari ikatan

antara anestesi lokal terhadap kanal protein. Aktifitas anestesi lokal juga ditunjukka

oleh substansi tidak bebas, menunjukkan tempat ikatan pada daerah apolar dari kanal

protein atau disekitar membran lipid.

Anestesi lokal tidak hanya memblokade influks Na+ pada saraf sensorik tetapi juga

pada jaringan eksitasi lainnya, sehingga obat-obatan ini hanya diberi secara lokal.

Depresi dari proses eksitasi pada jantung dapat menyebabkan aritmia jantung sampai

cardiac arrest.

Anestesi lokal diberikan lewat berbagai rute, termasuk infiltrasi jaringan (anestesia

infiltrasi) atau diinjeksikan didekat percabangan saraf yang membawa serabut saraf

dari daerah yang akan dianestesi (anestesia konduksi dari saraf, anestesi spinal secara

segmental), atau dengan mengaplikasikannya pada permukaan kulit atau mukosa

(anestesia superfisial).
Gambar 14. Mekanisme kerja dan efek samping anestesi lokal15
4.        Adjuvan atau Koanalgesik19

Adjuvan berdasarkan WHO berarti obat-obatan yang diberikan untuk menangani

efek samping dari penggunaan opioid atau untuk meningkatkan efek analgetik dari

opioid. Misalnya diberikan obat-obatan pencahar untuk mengatasi konstipasi yang


merupakan salah satu efek samping dari opioid. Obat adjuvan atau koanalgetik

merupakan obat yang semula dikembangkan untuk tujuan selain menghilangkan

nyeri tetapi kemudian ditemukan memilki sifat analgetik atau efek komplementer

dalam penatalaksanaan pasien dengan nyeri. Sebagian dari obat ini sangat efektif

dalam mengendalikan nyeri neuropatik yang mungkin tidak berespon terhadap

opioid.

Anti kejang, seperti karbamazepin atau fenitoin (dilantin), telah terbukti efektif untuk

mengatasi nyeri menyayat yang berkaitan dengan kerusakan saraf. Anti kejang ini

efektif untuk nyeri neuropatik karena obat golongan ini menstabilkan membran sel

saraf dan menekan respon akhir di saraf.

Antidepresan trisiklik, seperti amitriptilin atau imipramin, adalah analgetik yang

sangat efektif untuk nyeri neuropatik serta berbagai penyakit lain yang menimbulkan

nyeri. Aplikasi-aplikasi spesifik adalah terapi untuk neuralgia pasca herpes, invasi

struktur saraf karena karsinoma, nyeri pasca bedah, dan artritis reumatoid. Pada

pengobatan untuk nyeri, antidepresan trisiklik tampaknya memiliki efek analgetik

yang independen dari aktivitas antidepresan.

Obat adjuvan lain yang bermanfaat dalam pengobatan nyeri adalah hidroksizin

(vistaril), yang memiliki efek analgetik pada beberapa penyakit dan efek aditif

apabila diberikan bersama morfin; pelemas otot misalnya diazepam (valium), yang

digunakan untuk mengobati kejang otot yang berkaitan dengan nyeri; dan steroid

misalnya dexametason, yang telah digunakan untuk mengendalikan gejala yang

berkaitan dengan kompresi medula spinalis atau metastasis tulang pada pasien

kanker.
Adjuvan lain untuk analgesia adalah agonis reseptor adrenergik-alfa (misalnya,

agonis alfa-2, klonidin), yang sering diberikan secara intraspinal bersama dengan

opioid atau anestetik lokal; obat ini juga memiliki efek analgetik apabila diberikan

secara sistemis karena memulihkan respons adrenergik simpatis yang berlebihan di

reseptor sentral dan perifer. Antagonis alfa-1, prazosin, juga pernah digunakan

dalam penatalaksanaan nyeri yang disebabkan oleh sistem simpatis. Efek samping

utama dari obat-obat ini adalah hipotensi dan potensial depresi pernafasan yang

diinduksi oleh opioid.

Pendekatan Non Farmakologis

Walaupun obat-obat analgesik sangat mudah diberikan, namun banyak pasien dan

dokter kurang puas dengan pemberian jangka panjang untuk nyeri yang tidak terkait

keganasan. Situasi ini mendorong dikembangkannya sejumlah metode nonfarmakologik

untuk mengatasi nyeri. Untuk itu, berbagai modalitas pengobatan nyeri yang beraneka

ragam dapat digolongkan sebagai berikut:19

a.         Modalitas fisik

Latihan fisik, pijatan, vibrasi, stimulasi kutan (TENS), tusuk jarum, perbaikan posisi,

imobilisasi, dan mengubah pola hidup.

b.        Modalitas kognitif-behavioral

Relaksasi, distraksi kognitif, mendidik pasien, dan pendekatan spiritual.

c.         Modalitas invasif

Pendekatan radioterapi, pembedahan, dan tindakan blok saraf.

d.        Modalitas Psikoterapi


Dilakukan secara terstruktur dan ternecana, khususnya bagi mereka yang mengalami

depresi dan berpikir ke arah bunuh diri.

Analgesia Balans

Analgesia balans merupakan suatu teknik pengelolaan nyeri yang menggunakan

pendekatan multimodal pada proses nosisepsi, dimana proses transduksi ditekan dengan

OAINS, proses transmisi dengan obat anestesi lokal, dan proses modulasi dengan opioid.

Pendekatan ini, memberikan penderita menggunakan beberapa macam obat analgetika

yang mempunyai titik tangkap kerja yang berbeda disebut balans anlgesia atau

pendekatan polifarmasi. Dapat digunakan dua atau lebih jenis obat dengan titik tangkap

yang berbeda. Dengan pendekatan ini, dosis masing-masing individu obat tersebut

menjadi jauh lebih kecil, tetapi akan menghasilkan kualitas analgesia yang lebih adekuat

dengan durasi yang lebih panjang. Dengan demikian efek samping yang dapat

ditimbulkan oleh masing-masing obat dapat dihindari.20

Analgesia Preemptif

Ketika seseorang tertimpa cedera dan yang bersangkutan menderita nyeri (berat) dan

nyeri ini tidak ditanggulangi dengan baik, dapat diikuti oleh perubahan kepekaan reseptor

nyeri dan neuron nosisepsi di medulla spinalis (kornu dorsalis) terhadap stimulus yang

masuk. Ambang rangsang organ-organ tersebut akan turun. Terjadinya plastisitas sistem

saraf. Tindakan mencegah terjadinya plastisitas sistem saraf dengan memberikan obat-

obat analgetika sebelum trauma terjadi disebut tindakan preemptif analgesia. Tindakan

anestesia merupakan salah satu contoh preemptif analgesia ini. Dengan menanggulangi

penyebab, keluhan nyeri akan mereda atau hilang. Pembedahan merupakan saat yang
tepat untuk melakukan teknik analgesia preemtif dimana teknik ini menjadi sangat efektif

karena awitan dari sensari nyeri diketahui.20

PCA (Patient Controlled Analgesia)

Patient Controlled Analgesia (PCA) merupakan metode yang saat ini tengah popular

dan digunakan luas terutama di USA, bila opioid analgesia parenteral harus diberikan

lebih dari 24 jam. PCA ini begitu popular disana karena selain menghindarkan dari injeksi

intramuskular, onset yang dihasilkan juga cepat dan bisa dikontrol sendiri oleh pasien.

Bisa menghasilkan manajemen nyeri berkualitas tinggi. PCA memungkinkan pasien

mengendalikan nyerinya sendiri. Perawat tidak diperlukan untuk memberikan analgesia

dan pasien merasakan nyeri mereda lebih cepat. Keberhasilan PCA tergantung pada:20

           Kecocokan pasien dan penyuluhan pada pasca operasi.

           Pendidikan staf dalam konsep PCA serta penggunaan alat

           Pemantauan yang baik terhadap pasien untuk menilai efek terapi dan efek samping.

           Dana : pompa infus PCA mahal.

Terdapat perbedaan yang cukup besar pada kebutuhan akan analgesia, atas dasar

itulah PCA merupakan metode ideal bagi pasien yang membutuhkan lebih banyak

ataupun lebih sedikit daripada standar. Jika kadar plasma berada dibawah ambang

analgesik, pasien dapat mentitrasi sendiri opiod pada kadar analgesia yang mereka

butuhkan (selama masih dalam batasan terapi). Dosis bolus dan waktu stop bisa diubah

sesuai dengan kebutuhan individu. Pasien harus mendapat PCA dari jalur infus khusus

atau katup satu arah pada infus jaga (jika diberikan dengan piggyback). Ini mencegah

akumulasi sejumlah besar opioid dalam infus.20

 
DAFTAR PUSTAKA

1.        Morgan GE. Pain Management. In: Clinical Anesthesiology. 2nd ed. Stamford:

Appleton and Lange; 1996.

2.        Hamill RJ. The Assesment of Pain. In: Handbook of Critical Care Pain

Management. New York: McGraw-Hill Inc; 1994.

3.        Benzon, et al. The Assesment of Pain. In: Essential of Pain Medicine and Regional

Anesthesia. 2nd ed. Philadelphia; 2005.

4.        Rospond. Pemeriksaan dan Penilaian Nyeri. [Online]. Cited on 2015 March 7.

Available from:

URL: http://lyrawati.files.wordpress.com/2008/07/pemeriksan-dan-penilaian-

nyeri.pdf

5.        Brunner, Suddarth. Buku Ajar Medikal Bedah. Volume 1. Edisi 8. Jakarta: EGC;

2001.

6.        Brenner GJ, Woolf CJ. Mechanisms of chronic pain. In: Longnecker DE, Brown DL,

Newman MF, Zapol WM. Anesthesiology. New York: McGrawl- Hill; 2008.

7.        Latief SA. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi II. Bag Anestesiologi dan Terapi

Intensif FK UI: Jakarta; 2001.

8.        Nicholls AJ, Wilson IH. Manajemen nyeri akut. Dalam: Kedokteran Perioperatif.

Farmedia: Jakarta; 2001.

9.        Avidan M. Pain Managemnet. In: Perioperative Care, Anesthesia, Pain

Management and Intensive Care. London; 2003.


10.    Silaen EL. Perbandingan Propofol 2 mg/KgBB-Ketamin 0,5 mg/KgBB Intravena

dan Propofol 2 mg/KgBB-Fentanil 1 µg/KgBB Intravena dalam Hal Efek Analgetik

pada Tindakan Kuretase dengan Anestesi Total Intravena. [Online]. 2012 [cited on

2015 March 13]. Available from:

URL: http://repository.usu.ac.id/bitstream/31956/4/Chapter%20II.pdf

11.    RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo. Buku Saku Quality and Safety. Makassar; 2012.

12.    World Health Organization. WHO Ladder. [Online]. Cited on 2015 march 7.

Available from:

URL:

http://www.geriatricpain.org/content/management/interventions/documents/WHOlad

der.pdf

13.    World Health Organization. WHO Guidelines on the Pharmacological Treatment of

Persisting Pain in Children with Medical Illness. [Online]. 2012 [cited on 2015

March 7]. Available from:

URL: http://www.who.int/publications/2012/9789241548120_Guidelines.pdf

14.    Ikawati Z. Pain Management. [Online]. Cited on 2015 March 7. Available from:

URL: http://zulliesikawati.staff.ugm.ac.id/uploads/pain-management.pdf

15.    Lullmann H, Mohr K, Hein L, Bieger D. Color Atlas of Pharmacology. 3rd edition.

New york: Thieme; 2005.

16.    Michael NJ. Medical Pharmacology at a glance. 4th edition. London: Blackwell

Science Ltd; 2002.


17.    Soenarto RF, Puspitasari R, Pryambodho. Farmakologi opioid. Dalam: Gunawan SG,

Stiabudy R, Nafrialdi, Elysabeth, editor. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta:

Badan Penerbit FKUI; 2012.

18.    Schug SA. Tramadol. [Online]. 2000 October [cited on 2015 March 14]. Available

from:

URL: http://www.medsafe.govt.nz/profs/puarticles/tramadol.html

19.    Mangku G, Senapathi TGA. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Cetakan 1.

Jakarta: Indeks Jakarta; 2010.

20.    Hasanul A. Pengelolaan Nyeri Akut. Bagian/SMF Anestesiologi dan Reanimasi

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara: Medan; 2002.

Diposting 9th April 2016 oleh Frans Irapanussa

Label: KOASS

Lihat komentar

6.

Apr

DAFTAR PUSTAKA VANCOUVER

CONTOH PENULISAN REFERENSI


Dari Buku

1.      Falco OB, Plewig G, Wolff HH, Winkelmann RK. Dermatology. Munich: Mosby;
1990.

2.      Arnold HL, Odom RB, James WD. Diseases of the skin. 8 th ed. Philadelphia: W.B.
Saunders Company; 1990.

3.      Habif TP. A color guide diagnosis and therapy clinical dermatology. 4 th ed. New
York: Mosby; 2004.

4.      Lawrence CM, Cox NH. Physical sign in dermatology. 2nd ed. New York: Mosby;
2002.

Dari Bab dalam Buku

1.      Wiryadi Benny E. Prurigo. Dalam: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu
penyakit kulit dan kelamin. Edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 1999. h. 252-3.  (CONTOH SUMBER DARI BUKU
INDONESIA)

2.      Burton JL, Holden CA. Eczema, lichenification and prurigo. In: Champion RH,
Burton JL, Burns DA, Breathnach SM, editors. Rook/Wilkinson/Ebling textbook
of dermatology. 6th ed. London: Blackwell Science; 1998. p. 671-2.

3.      Soter NA. Numular eczema and lichen simplex chronicus/prurigo nodularis. In:
Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI, editors.
Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. 6 th ed. New York: Mc Graw Hill;
2002. p. 1196-7.  (CONTOH SUMBER DARI BUKU ASING)
4.      Mobini N, Toussaint S, Kamino H. Noninfectious erythematous papular and
squamous diseases. In: Elder DE, Elenitsas R, Johnson BL, Murphy GF, editors.
Lever’s histopathology of the skin. 9 th ed. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins; 2005. p. 183-4.

Dari Jurnal

1.        Filho JWA, Nogueira A, Ramos-e-Silva M. Prurigo nodularis of hyde - an update.


Journal of the european academy of dermatology and venerology. 2000; 14(2):
75-82.

2.        Stern RS. Exanthematous drug eruption. N Engl J Med. 2012; 366(26): 2492-
501.
3.        Cahyanur R, Koesnoe S, Nanang S. Sindrom hipersensitivitas obat. J Indon Med
Assoc. 2011; 61(4): 179-85.

Dari Internet

1.      Hogan, D. Prurigo nodularis. [Online]. 2006 May 2 [cited 2007 Nov 6]; [29
screens]. Available from:

URL: http://www.emedicine.com/dermatology/topic350htm

2.      Docrat, M.E. Prurigo nodularis. [Online]. 2005 Jun 6 [cited 2007 Nov 8]; [2
screens]. Available from:

URL: http://www.allergysa.org/journals/2005/june/skin_focus.pdf
3.      Janjua SA. Dermatology image prurigo nodularis. DermAtlas Dermatology Image
Atlas with 9861 Dermatology Image [Online]. 2007 Oct 1 [cited 2007 Nov 8]; [1
screen]. Available from :

URL: http://www.dermatlas.med.jhml.edu/derm

Diposting 4th April 2016 oleh Frans Irapanussa

Label: KOASS

Tambahkan komentar

7.

Apr

PENATALAKSANAAN KASUS
GIGITAN HEWAN PENULAR RABIES
(GHPR)

Setiap ada kasus gigitan hewan menular rabies harus ditangani dengan cepat
dan sesegera mungkin. Untuk mengurangi/mematikan virus rabies yang masuk
pada luka gigitan, usaha yang paling efektif ialah mencuci luka gigitan dengan air
(sebaiknya air mengalir) dan sabun atau diteregent selama 10-15 menit,
kemudian diberi antiseptik (alkohol 70 %, betadine, obat merah dan lain-lain).
Meskipun pencucian luka menurut keterangan penderita sudah dilakukan namun
di Puskesmas Pembantu/Puskesmas/Rumah Sakit harus dilakukan kembali
seperti di atas. Luka gigitan tidak dibenarkan untuk dijahit, kecuali jahitan situasi.
Bila memang perlu sekali untuk dijahit (jahitannya jahitan situasi), maka diberi
Serum Anti Rabies (SAR) sesuai dengan dosis, yang disuntikan secara infiltrasi
di sekitar luka sebanyak mungkin dan sisanya disuntikan secara intra muskuler.
Disamping itu harus dipertimbangkan perlu tidaknya pemberian serum/vaksin
anti tetanus, anti biotik untuk mencegah infeksi dan pemberian analgetik. 
Pemberian Vaksin Anti Rabies (VAR) atau Vaksin Anti Rabies (VAR) disertai
Serum Anti Rabies (SAR) harus didasarkan atas tindakan tajam dengan
mempertimbangkan hasil-hasil penemuan dibawah ini.
 

      a.    Anamnesis :


-        Kontak / jilatan / gigitan
-        Kejadian didaerah tertular / terancam / bebas
-        Didahului tindakan provokatif / tidak
-        Hewan yang menggigit menunjukkan gejala rabies
-        Hewan yang menggigit hilang, lari dan tidak dapat di tangkap atau
dibunuh dan dibuat.
-        Hewan yang menggigit mati, tapi masih diragukan menderita rabies.
-        Penderita luka gigitan pernah di VAR dan kapan?
-        Hewan yang menggigit pernah di VAR dan kapan?
      b.    Pemeriksaan Fisik
-        Identifikasi luka gigitan (status lokalis).
      c.    Lain – lain
-        Temuan pada waktu observasi hewan
-        Hasil pemeriksaan spesimen dari hewan
-        Petunjuk WHO
Gambar 6. Diagram Alur Penatalaksanaan Kasus Gigitan Tersangka Rabies
Sumber: Subdit. Pengendalian Zoonosis, Dit. PPBB, Ditjen PP & PL, Kemenkes RI, 2014

Jadi, VAR dan SAR diberikan sesuai dengan kasus GHPR terindikasi.
Perhatikan diagram alur (Flowchart) penatalaksanaan kasus gigitan hewan
tersangka rabies. 
Bila ada indikasi pengobatan Pasteur, maka terhadap luka resiko rendah diberi
VAR saja. Yang termasuk luka yang tidak berbahaya adalah jilatan pada kulit
luka, garukan atau lecet (erosi, ekskoriasi), luka kecil disekitar tangan, badan
dan kaki. Terhadap luka resiko tinggi, selain VAR juga diberi SAR. Yang
termasuk luka berbahaya adalah jilatan/luka pada mukosa, luka diatas daerah
bahu (muka, kepala, leher), luka pada jari tangan/kaki, genetalia, luka yang
lebar/dalam dan luka yang banyak (multipel). Untuk kontak (dengan air liur atau
saliva hewan tersangka/hewan rabies atau penderita rabies), tetapi tidak ada
luka, kontak tak langsung, tidak ada kontak, maka tidak PERLU diberikan
pengobatan VAR maupun SAR. Sedangkan apabila kontak dengan air luir pada
kulit luka yang tidak berbahaya, maka diberikan VAR atau diberikan kombinasi
VAR dan SAR apabila kontak dengan air liur pada luka berbahaya.

Diposting 4th April 2016 oleh Frans Irapanussa

Label: KOASS

Tambahkan komentar

8.

Apr

UPAYA PENGENDALIAN RABIES DI


INDONESIA
Pemerintah mempunyai komitmen dalam pengendalian zoonosis prioritas
(Rabies, Flu Burung, Leptospirosis, Antraks, Pes dan Brusellosis) dtandai
dengan diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 30 Tahun 2011 tentang
pengendalian zoonosis dan dibentuknya Komnas Pengendalian Zoonosis di
Pusat dan di daerah (Komda Pengendalian Zoonosis Provinsi, Komda
Pengendalian Zoonosis Kabupaten dan Kota). Komnas dan Komda ini
merupakan wadah koordinasi lintas sektor seluruh pemangku kepentingan dalam
perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi serta perumusan kebijakan
pengendalian zoonosis terpadu sesuai dengan pendekatan “Satu Kesehatan”
(One Health) dalam pengendalian zoonosis. 
Khusus untuk pengendalian rabies, Pemerintah Indonesia sebagai anggota
ASEAN bersama 9 negara ASEAN lainnya menandatangani deklarasi ASEAN
Bebas Rabies pada tahun 2020, pada Pertemuan Menteri Pertanian dan
Kehutanan ASEAN ke-34 pada September 2012 di Vientiene, Lao PDR. Sasran
pengendalian rabies menuju Eliminasi Rabies 2020 pada manusia:

      -          Cakupan Profilaksis Pra Pajanan pada kelompok resiko tinggi : 100%.

      -          Cakupan profilaksis Pasca Paparan : 100% kasus gigitan terindikasi yang
dilaporkan.
     
      1.    Tujuan Eliminasi Rabies 2020

Dalam rangka pelaksanaan komitmen nasional da omitmen ASEAN dalam


pengendalian rabies, maka tujuan pengendalian rabies di Indonesia yaitu :

-            Indonesia tereliminasi rabies pada tahun 2020


-            Mencegah kematin dan menurunkan angka gigitan pada manusia
dan atau pajanan hewan penular rabies selama proses menuju bebas
rabies.
-            Mempertahankan daerah bebas rabies berkelanjutan

      2.    Strategi Eliminasi Rabies 2020


Untuk mencapai tujuan percepatan Indonesia Eliminasi Rabies Tahun 2020,
diterapkan strategi terpadu dengan pendekatan prinsip “Satu Kesehatan” (One
Health) sebagai berikut:
-            Advokasi dan sosialisasi
-            Penguatan peraturan perundangan dan kebijakan
-            Komunikasi resiko
-            Peningkatan kapasitas
-            Imunisasi massal pada GHPR anjing (Kementerian Pertanian)
-            Manajemen populasi GHPR anjing (Kementerian Pertanian)
-            Profilaksis pra dan paska pajanan/gigitan denga VAR dan
tatalaksana kasus pada manusia.
-            Penguatan surveilas dan respon terpadu
-            Penelitian operasional
-            Kemitraan (pelibatkan dukungan masyarakat, LSM, took agama,
perusahaan, dan internasional)
Dari 10 strategi menuju Eliminasi Rabies 2020 ini, masing-masing dirinci dalam
pelaksanaan kegiatan Eliminasi Rabies 2020 terdiri atas 2 tahap yaitu :

a.    Tahap 1: tahun 2014 – 2017, merupakan tahap operasional


b. Tahap 2: tahun 2018 – 2020, yaitu kegiatan terkait dengan 2 tahun terakhir
tereliminasinya kasus rabies, tak adanya kasus rabies pada hewan dan
manusia dengan sistem surveilas berjalan dengan baik sesuai standar
sebagai persyaratan eliminasi rabies 2020.

Diposting 4th April 2016 oleh Frans Irapanussa

Label: KOASS

Tambahkan komentar

9.

Apr

SITUASI PENYAKIT RABIES DI


INDONESIA
Terdapat 10 provinsi sebagai daerah bebas rabies, dari 34 provinsi di Indonesia
yaitu Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Jawa Tengah, DI
Yogyakarta, Jawa Timur, NTB, Papua Barat dan Kalimantan Barat. Ada tiga
indicator yang digunakan dalam memantau upaya pengendalian rabies, yaitu:
Kasus GHPR (Gigitan Hewan Penular Rabies), Kasus GHPR terindikasi yang
diberi Vaksin Anti Rabies dan Jumlah kasus Lyssa/rabies.
 

      1.    Gigitan Hewan Penular Rabies (GHPR)


Dari Gambar 3 berikut ini menunjukan dari tahun 2009-2012 jumlah kasus GHPR
meningkat 86,3 % yaitu dari 45.466 kasus (2009) menjadi 84.750 pada tahun
2012. Hal ini disebabkan karena pada tahun 2009-2012 terjadi Kejadian Luar
Biasa (KLB) rabies di Bali. Dengan upaya intensifikasi penanggulangan KLB
terpadu semua pemangku kepentingan di Bali yang berhasil menurunkan GHPR
di Bali maka memberi kontribusi penurunan GHPR nasional yaitu menurun
18,4% dari 84.750 (2012) menurun menjadi 69.136 gigitan pada tahun 2013.

Gambar 3. GHPR, VAR dan LYSSA di Indonesia Tahun 2009-2013


Sumber: Subdit. Pengendalian Zoonosis, Dit. PPBB, Ditjen PP & PL, Kemenkes RI, 2014

Gambar 4 di bwah ini menggambarkan 5 peringkat terbesar GHPR tertinggi per


provinsi dari tahun 2009-2013, Provinsi Bali, NTT dan Sumatera Utara selalu
berada pada posisi 5 terbesar GHPR Nasonal dengan Provinsi Bali dan NTT
menduduki peringkat 1 dan 2. Provinsi Bali menunjukan penurunan kontribusi
jumlah GHPR nasional dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2013 berurutan
sebagau berikut: 47,96 % (2009), 77,2 % (2010), 62,65 % (2011), 65,88 %
(2012), 56,94 % (2013). Penurunan ini sebagai hasil upaya intensif
penanggulangan terpadu KLB rabies di Bali.
 Gambar 4. Persentase Lima Besar Provinsi dengan Jumlah GHPR Tahun 2009-2013

Sumber: Subdit. Pengendalian Zoonosis, Dit. PPBB, Ditjen PP & PL, Kemenkes RI, 2014

      2.    Pencegahan Pasca Pajanan/GHPR (Post Exposure Treatment)

Disebut pencegahan karena melakukan tindakan imunisasi dengan


menggunakan Vaksin Anti Rabies yang diberikan kepada setiap kasus GHPR
terindikasi secara dini, dengan dosis standar agar terbentuk antibodi untuk
mencegah terjadinya kasus rabies. Gambar 5 di bawah menunjukkan dari tahun
2009-2012 terdapat kecenderungan penungkatan upaya pencegahan dengan
pemberian VAR sesuai dengan pola kecenderungan peningkatan jumlah GHPR.
Pada tahun 2012 terdapat peningkatan pemberian VAR sebesar 110,5 % dari
35.316 (2009) menjadi 74.331 pada tahun 2012, dan menurun 27,3 % pada
tahun 2013 dengan pemberian VAR sebanyak 54.059 pada GHPR terindikasi.
Pada gambar 5 juga tampak bahwa prsentase VAR terhadap GHPR terindikasi
dari tahun 2009-2012 terus mengalami peningkatan yaitu tahun 2009 sebesar
77,7 % dan tahun 2012 sebesar 87,7 %, sementara pada tahun 2012 terjadi
penurunan 79,2 %.
Gambar 5. Persentase Pemberian VAR Terhadap GHPR tahun 2009 – 2013

Sumber: Subdit. Pengendalian Zoonosis, Dit. PPBB, Ditjen PP & PL, Kemenkes RI, 2014

      3.    Kasus Lyssa/Rabies

Pemberian imunisasi dengan pemberian VAR merupakan upaya pencegahan


primer yang sangat efektif untuk mencegah terjadinya kasus Lyssa/rabies pada
manusia. Pada Gambar 3 dan 5 dapat kita lihat kecenderungan peningkatan
pemberian VAR (absolut atau persentase VAR terhadap GHPR) diikuti dengan
kecenderungan penurunan kasus Lyssa dari tahun 2009-2013. Puncak tertinggi
kasus Lyssa pada tahun 2010 berjumlah 206 menurun sebesar 43,3% dibanding
jumlah kasus Lyssa pada tahun 2013 yang berjumlah 119. Penurunan kasus
Lyssa ini karena salah satu keberhasilan imunisasi dengan VAR pada GHPR
dengan intensifikasi penanggulangan terpadu KLB rabies di Bali dan pemberian
VAR di provinsi lainnya. Tabel 1 menggambarkan distribusi jumlah kasus Lyssa
menurut provinsi dimana pada tahun 2010 terdapat 5 provinsi tertinggi kasus
Lyssa dengan kisaran 10 kasus Lyssa di Sulawesi Utara, 21 kasus di Maluku, 25
kasus di NTT, 35 kasus di Sumatera Utara dan tertinggi di Bali dengan 82 kasus.
Dari 5 provinsi terebut terdapat kecenderungan penurunan jumlah kasus Lyssa
di 4 provinsi secara berurutan yaitu Bali dari 82 (2010) menjadi 1 kasus (2013),
Sumatera Utara dari 35 (2010) menjadi 5 (2013), NTT dari 25 (2010) menjadi 6
kasus (2013) dan Maluku dari 21 (2010) menjadi 11 kasus pada tahun 2013,
sedangkan Sulawesi Utara terdapat kenaikan kasus Lyssa dari tahun 2010-2012
meningkat berurutan dari 10,26, dan 35 kasus Lyssa pada tahun 2012, dan
pada tahun 2013 menurun menjadi 30 kasus.

Tabel 1. Distribusi Kasus Lyssa Menurut Daerah Provinsi Tahun 2010-2013

Sumber: Subdit. Pengendalian Zoonosis, Dit. PPBB, Ditjen PP & PL, Kemenkes RI, 2014

Anda mungkin juga menyukai