Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ascariasis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh cacing
Ascaris lumbricoides dengan prevalensi yang masih tinggi di dunia, dengan
rata-rata kejadian 73% di Asia, Afrika 12% dan Amerika Latin 12% (CDC,
2013).
Penelitian epidemiologi yang telah dilakukan di seluruh provinsi di
Indonesia terutama pada anak sekolah didapatkan angka prevalensi yang
bervariasi antara 60 % sampai dengan 90 % (Mardiana dan Djarismawati,
2008), sedangkan untuk semua umur berkisar antara 40-60% (Depkes RI,
2006). Sumatra Barat dengan angka 29,56% menempati sepuluh besar kejadian
Ascariasis di Indonesia. (Ditjen PP & PL,2011).
Upaya untuk pengentasan infeksi kecacingan sudah dilakukan sejak 1975
dengan pembentukan Unit Struktural Ditjen PP dan PL, namun pembentukan
unit struktural ini tidak terlalu membuahkan hasil. Tahun 1980-2003
dibentuklah kerjasama antara pemerintah dan Yayasan Kusuma Buana ,
program ini melibatkan orang tua anak dengan kontribusi Rp 1000/anak untuk
pengentasan kecacingan di wilayah DKI Jakarta. Program ini membuahkan
hasil yaitu penurunan angka kecacingan dari 78,6% tahun 1989 menjadi 8,9%
pada tahun 2003. Lalu program ini dimodifikasi menjadi Program
Pengendalian Kecacingan Masal yang diprakarsai Oleh Ditjen PP dan PL
Republik Indonesia tahun 2012 dengan tujuan menurunkan angka kejadian
penyakit Ascariasis sebanyak 75% tahun 2014. Namun, kejadian Ascariasis di
Indonesia masih signifikan meskipun upaya-upaya pengendalian dan
pemberantasan sudah dilakukan (Lengkong dkk, 2013).
Kejadian Ascariasis yang masih tinggi tentunya dipengaruhi oleh beberapa
faktor risiko seperti lingkungan, higiene perorangan dan sosial ekonomi.
Higiene perorangan yang terdiri dari, cuci tangan pakai sabun, membersihkan
kuku, memakai alas kaki, buang air besar (BAB) pada tempatnya, serta

1
kebiasaan mandi pada siswamempengaruhi terjadinya Ascariasis (Lengkong
dkk, 2013).Mencuci tangan memakai sabun memberikan pengaruh terhadap
penularan Ascariasis dari tanah. Tangan yang telah berkontak dengan tanah
yang terkontaminasi telur infektif A.lumbricoides bisa tertelan dan
menimbulkan manifestasi klinis bagi penderita. Apabila tangan tidak dicuci
setelah berkontak dengan tanah, kemungkinan tangan masih terkontaminasi
(Natadisastra dan Agoes,2009).
Ascariasis akan meningkat pada daerah yang beriklim tropis dengan
higiene perorangan yang buruk, sanitasi lingkungan yang rendah serta sosial
ekonomi yang lemah ( WHO, 2012). Beberapa penelitian di Indonesia
memperlihatkan bahwa higiene perorangan berkaitan dengan Ascasriasis
seperti pada penelitian yang dilakukan Swiryajaya dan Romadilah (2013) di
kota Mataram sebanyak 57,35% siswa SD yang positif askariasis memiliki
higiene perorang yang sedang, dan 13,24% memiliki higiene perorangan yang
kurang. Anak sekolah dasar merupakan golongan yang rentan terinfeksi oleh
telur cacing A.lumbricoides karena anak - anak tidak memperhatikan
kebersihan tubuhnya seperti tidak menerapkan kebiasaan cuci tangan, tidak
memperhatikan kebersihan kuku dan tidak membiasakan diri untuk memakai
alas kaki (Susanto dkk, 2008). Penelitian yang dilakukan Sandy dan Irmanto
(2012) menunjukkan bahwa Siswa SD dengan higiene perorangan yang buruk
akan berisiko terinfeksi A. lumbricoides dibandingkan siswa yang memiliki
higiene perorangan yang baik.
Dari hasil survei di Desa Asih wilayah Kecamatan Bandara, Kabupaten
Cendana menunjukkan adanya masalah di SDN Asih dimana terdapat 25 %
siswa di sekolah tersebut positif telur Ascaris lumbricoides pada fecesnya. Hal
tersebut dapat dilatarbelakangi oleh :
1. Kepala keluarga yang memiliki fasilitas penyediaan air bersih masih kurang;
2. Tempat penyimpanan sampah baru dimiliki sebagian warga;
3. Membuang air besar di tempat terbuka;
4. Sebagian besar masyarakat bekerja sebagai petani atau buruh tani;
5. Tingkat pendidikan rendah;
6. Siswa dibebaskan jajan di pedagang kaki lima.

2
B. Rumusan Masalah
Dari uraian pada latar belakang di atas maka dapat dirumuskan masalah
sebagai berikut:
Bagaimana cara menanggulangi penyakit Ascariasis di Desa Asih ?
C. Tujuan
1. Tujuan umum
Menanggulangi kejadian penyakit Ascariasis di Desa Asih.
2. Tujuan khusus
a. Penatalaksanaan pasien penyakit Ascariasis di Desa Asih.
b. Melakukan promosi kesehatan pada masyarakat di Desa Asih.
c. Melakukan upaya perbaikan fasilitas sanitasi di Desa Asih
d. Melakukan upaya untuk meningkatkan kesehatan lingkungan sekolah di
Desa Asih

3
BAB II
ANALISIS DAN PEMBAHASAN

A. Skenario
Sekolah Dasar Negeri (SDN) Asih terletak dan melayani anak-anak di desa
Asih di wilayah Kecamatan Bandara, Kabupaten Cendana. Suatu penelitian yang
dilakukan oleh Mahasiswa FK UWKS menghasilkan data bahwa 25% siswa di
sekolah tersebut positif telur Ascaris lumbricoides pada feces-nya. Survai pada
masyarakat desa tersebut menunjukkan bahwa 72% kepala keluarga (KK) telah
memiliki fasilitas penyediaan air bersih (sumur) yang umumnya sudah cukup
memenuhi syarat. Tempat penyimpanan sampah baru dimiliki oleh 63% KK, itupun
sebagian besar tidak dilengkapi dengan tutup, atau tutup yang tersedia tidak
difungsikan dengan baik. Membuang air besar di tempat terbuka (open
defecation/OD) sudah menjadi kebiasaan dari sebagian masyarakat, karena baru 61%
KK yang memiliki jamban keluarga (kakus). Sebagian masyarakat bekerja sebagai
petani dan buru tani, sebagian lainnya sebagai wiraswasta atau karyawan di
perusahaan yang ada di desa tetangga. Hanya sedikit yang bekerja lembaga formal
seperti instansi pemerintahan. Tingkat pendidikan masyarakat (KK) sebagian besar
tamat sekolah dasar atau sekolah lanjut pertama. Sedikit yang menyelesaikan sekolah
lanjut atas atau perguruan tinggi. Perhatian puskesmas bendahara terhadap Usaha
Kesehatan Sekolah cukup baik khususnya terhadap pemerikasaan mata dan gigi.
Sekolah membebaskan murid-murid membeli makanan yang dijajakan pedagang
kaki lima yang berjualan didepan sekolah. Kader kesehatan juga cukup jumlahnya.
Mahasiswa FK UWKS tersebut ingin menyelesaikan penelitiaannya agar dapat
memberikan sumbangan pemikiran dalam memecahkan masalah penyakit
kecacingan tersebut.
B. Analisis
Sebagaimana disebutkan pada Sub bab Latar belakang, bahwa hasil
inventarisasi masalah di Desa Asih adalah:
1. Kepala keluarga yang memiliki fasilitas penyediaan air bersih masih
kurang;
2. Tempat penyimpanan sampah baru dimiliki sebagian warga;
3. Membuang air besar di tempat terbuka;

4
4. Sebagian besar masyarakat bekerja sebagai petani atau buruh tani;
5. Tingkat pendidikan rendah;
6. Siswa dibebaskan jajan di pedagang kaki lima.
Dari hasil inventarisasi tersebut yang menjadi masalah kesehatan adalah
tingginya prevalensi Ascariasis pada siswa di SDN Asih, sedangkan masalah
yang lainnya menjadi pemicu atau faktor risiko. Hubungan antara faktor risiko
dengan masalah kesehatan ini dapat digambarkan dalam diagram fish bone
sebagai berikut (Lihat Diagram Fish Bone).
1. Air bersih
Air merupakan kebutuhan manusia, juga manusia selama hidupnya selalu
memerlukan air (Slamet, 2009). Manusia akan lebih cepat meninggal karena
kekurangan air daripada kekurangan makanan. Di dalam tubuh manusia itu
sendiri sebagian besar terdiri dari air. Tubuh orang dewasa, sekitar 55-60 %
berat badan terdiri dari air, untuk anak-anak sekitar 65 %, dan untuk bayi
sekitar 80 % (Chandra, 2007)
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No.
416/MenKes/Per/IX/1990, yang di maksud air bersih adalah air bersih yang
digunakan untuk keperluan sehari-hari yang kualitasnya memenuhi syarat
kesehatan dan dapat diminum apabila telah di masak. Air bersih merupakan
salah satu kebutuhan manusia untuk memenuhi standar kehidupan manusia
secara sehat. (Chandra, 2007)
Penyakit yang ditularkan melalui air disebut sebagai waterborne disease
atau water-related disease. Terjadinya suatu penyakit tentunya memerlukan
adanya agen dan terkadang vektor. Ascariasis merupakan salah satu contoh
penyakit yang dapat ditularkan melalui air (Chandra, 2007)
Hasil penelitian Mudmainah (2003), menunjukkan bahwa ada hubungan
penyediaan air bersih dengan infeksi kecacingan dengan prevalensi kecacingan
lebih banyak ditemukan pada siswa Sekolah Dasar yang penyediaan air
bersihnya kurang (57%). Kurangnya penyediaan air bersih terutama sebagai
penggelontor kotoran, air untuk cebok serta cuci tangan sebelum dan sesudah
makan, setelah BAB (buang air besar) menimbulkan infeksi kecacingan.
Kecacingan juga dapat terjadi jika mengkonsumsi air yang telah tercemar

5
kotoran manusia atau binatang karena di dalam kotoran tersebut terdapat telur
cacing (PHBS dan Penyakit berbasis lingkungan).
2. Tempat penyimpanan sampah
Sampah dalam ilmu kesehatan lingkungan sebenarnya hanya sebagian dari
benda atau hal-hal yang dipandang tidak digunakan, tidak dipakai, tidak
disenangi, atau harus dibuang, sedemikian rupa sehingga tidak sampai
mengganggu kelangsungan hidup (Azwar,1995).
Pembuangan kotoran, air buangan dan sampah, serta pemeliharaan
lingkungan rumah, juga berperan penting dalam penanggulangan penyebaran
kecacingan. Menurut Hadiwartomo (1994) di Jakarta ditemukan 37.5%
pekarangan rumah positif telur Ascaris lumbricoides. Penelitian Hadidjaja et al
(1989) menunjukkan bahwa 14 - 24 % sample air limbah (got) yang diperiksa
ternyata positif mengandung telur cacing Ascariasis lumbricoides. Telur
Ascaris juga banyak ditemukan di sekitar sumur, tempat cuci, dekat jamban,
pinggir kali dan bahkan di dalam rumah.
Pengaruh sampah terhadap kesehatan dapat secara langsung maupun tidak
langsung. Pengaruh langsung adalah karena kontak langsung dengan sampah
misalnya sampah beracun. Pengaruh tidak langsung dapat dirasakan akibat
proses pembusukan, pembakaran dan pembuangan sampah. Efek tidak
langsung dapat berupa penyakit bawaan, vektor yang berkembang biak di
dalam sampah.
3. Membuang air besar di tempat terbuka
Pembuangan kotoran (tinja) manusia merupakan bagian yang penting
dalam kesehatan lingkungan. Di sebagian besar negara-negara, pembuangan
tinja yang layak merupakan kebutuhan kesehatan masyarakat yang mendesak.
Pembuangan yang tidak saniter dari tinja manusia dapat menyebabkan
terjadinya kontaminasi terhadap air tanah dan sumber-sumber air bersih.
Kondisi ini mengakibatkan agen penyakit dapat berkembang biak dan
menyebarkan infeksi terhadap manusia (Chandra, 2007).
Penyebaran penyakit yang bersumber pada tinja dapat melalui berbagai
macam jalan atau cara. Hal ini dapat dilihat seperti gambar berkut ini :

6
Gambar II.1. Jalur pemindahan kuman penyakit dari tinja ke pejamu yang baru
(Wagner & Lanoix, 1958 dalam Soeparman, 2001)

Dari gambar tersebut tampak jelas bahwa proses pemindahan kuman


penyakit dari tinja sebagai pusat infeksi sampai pejamu dapat melalui berbagai
media perantara, antara lain air, tangan, serangga, tanah, makanan dan
minuman. Pembuangan tinja dan limbah cair yang saniter akan memutuskan
mata rantai penularan penyakit dengan menghilangkan faktor ke empat dari
enam faktor itu dan merupakan penghalang sanitasi kuman penyakit untuk
berpindah dari tinja ke pejamu potensial (Soeparman, 2001).
Menurut Depkes RI tahun 2014 syarat-syarat jamban yang memenuhi
kesehatan, yaitu:
a. Tidak mencemari sumber air minum, letak lubang penampung berjarak 10-
15 meter dari sumber air minum
b. Tidak berbau dan tinja tidak dapat dijamah oleh serangga maupun tikus.
Umtuk itu tinja harus tertutup rapat misalnya dengan menggunakan jamban
leher angsa atau penutup lubang rapat
c. Cukup luas dan landai/miring ke arah lubang jongkok sehingga tidak
mencemari tanah di sekitarnya.
d. Mudah dibersihkan dan aman digunakan.
e. Dilengkapi dinding dan atap pelindung, dinding kedap air dan berwarna
terang.
f. Cukup penerangan.
g. Lantai kedap air.
h. Ventilasi cukup baik.
i. Tersedia air dan alat pembersih

7
Hasil penelitian Mudmainah (2003) menunjukkan bahwa ada hubungan
antara pembuangan kotoran dengan infeksi kecacingan (52,4%). Pembuangan
tinja sembarangan dapat menimbulkan infeksi kecacingan. Tinja yang dibuang
sembangan tempat memberi peluang besar untuk cacing berkembang biak.
4. Sebagian besar masyarakat bekerja sebagai petani atau buruh tani
Hasil penelitian Rohani, Adrial, Rima pada tahun 2017 menunjukkan
tidak terdapat hubungan yang bermakna antara pekerjaan orang tua murid
dengan kejadian infeksi Ascariasis pada murid SDN 29 Purus Padang. Hasil
penelitian ini sama dengan hasil Ginting pada tahun 2008 yaitu tidak ada
hubungan antara kejadian Ascariasis dengan pekerjaan orang tua murid.
Begitu juga dengan hasil penelitian Desi Yunita pada tahun 2012 pada
murid SDN 06 Kecamatan Sasak Ranah Pesisir Kabupaten Pasaman Barat
ditemukan tidak terdapat hubungan antara kejadian Ascariasis dengan
pekerjaan orang tua.
5. Tingkat pendidikan rendah
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara akif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan akhlak mulia, serta
ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat. Jenjang pendidikan
adalah tahapan pendidikan yang diterapkan berdasarkan tingkat
perkembangan serta peserta didik, tujuan yang akan dicapai dan kemampuan
yang akan dikembangkan. Menurut UU No. 20 tahun 2003, jenjang
pendidikan formal terdiri atas: Pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan
pendidikan tinggi. (UU Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 Tentang
Sistem Pendidikan Nasional)
Berdasarkan hasil penelitian Rohani, Adrial, Rima tahun 2017
ditemukan bahwa murid yang positif mengalami infeksi Ascariasis dengan
pendidikan orang tua rendah lebih banyak dibandingkan dengan murid yang
negatif mengalami Infeksi Ascariasis. Hasil uji statistik menunjukkan tidak
ada hubungan yang bermakna antara Infeksi Ascariasis dengan pendidikan

8
orangtua. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Jafar
pada tahun 2008 di Kabupaten Maros Makassar dan penelitian Ginting
bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara Infeksi Ascariasis dengan
pendidikan orangtua. Penderita kecacingan terbanyak pada penelitian
Ginting dan Jafar adalah mereka yang mempunyai ibu dengan pendidikan
rendah.
6. Siswa dibebaskan jajan di pedagang kaki lima
Kecacingan dapat juga disebabkan karena perilaku makan atau minum
pada makanan/minuman yang kotor atau tercemar telur cacing. Makanan
atau minuman yang disimpan dengan tidak tertutup, dimungkinkan
dihinggapi oleh lalat atau tercemar debu di mana di dalam debu tersebut ada
telur cacing. Kebiasaan siswa dengan jajan sembarangan di sekolah dapat
pula mendukung kejadian kecacingan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Siti Muthoharoh dkk pada tahun 2015, menyatakan bahwa perilaku jajan
sembarangan pada siswa sebesar 46,9%. Nilai tersebut jika dibandingkan
dengan perilaku jajan tidak sembarangan tidak terlalu signifikan, di mana
perilaku jajan tidak sembarangan diperoleh hasil sebesar 53,1%. Hal ini
berarti proporsi siswa yang mempunyai kebiasaan jajan sembarangan dan
tidak jajan sembarangan tidak terlalu besar nilainya. Makanan jajanan yang
ada di sekolah yang setiap hari dikonsumsi oleh siswa didapat dari
penjual/pedagang keliling yang berjualan di sekitar sekolah. Sebagian besar
makanan yang dijual tersebut kurang memenuhi syarat dari segi kebersihan
seperti dibiarkan terbuka tidak diberi tutup, sehingga memungkinkan lalat,
debu menempel/masuk ke dalam makanan atau minuman tersebut. Makanan
atau minuman yang tercemar telur cacing tersebut akan masuk ke dalam
tubuh seseorang. Telur cacing di dalam usus halus akan menjadi larva dan
dapat masuk ke peredaran darah maupun saluran limfe yang akan sampai ke
paru-paru dan saluran nafas atas untuk dibatukkan dan ditelan kembali ke
saluran cerna, sehingga akan menjadi dewasa, lalu berkembang biak.

9
PROSES INPUT

Status pendidikan
rendah

Membebaskan Pekerjaan rendah


jajan diluar
Open defecation

25%
KEJADIAN
ASCARIASIS
Jamban
kurang Penyimpanan
sampah
Penyediaan
kurang
air bersih
kurang

LINGKUNGAN

Gambar II.2 Diagram fish bone tentang factor resiko dan kejadian Ascariasis Lumbricoides
di Desa Asih kecamatan Bandara kabupaten Cendana

10
C. Pembahasan
Untuk menanggulangi penyakit Ascariasis di Desa Asih di wilayah
Kecamatan Bandara, Kabupaten Cendana akibat penularan perlu dilakukan
beberapa penyelesaian masalah yang dapat dilakukan, antara lain :
1. Penatalaksanaan Ascariasis
Pengobatan Ascariasis melibatkan banyak petugas karena masih
banyaknya penderita belum memahami bahayanya penyakit Ascariasis.
Dalam pengobatan, pendistribusian obat didampingi oleh petugas
puskesmas sebagai supervisor puskesmas, pemberian obat pada penduduk
yang tidak hadir (sweeping), monitoring reaksi obat, puskesmas sebagai
pusat pelayanan kesehatan siap 24 jam, rujukan efek samping ke RS, dan
penguatan sistim rujukan berjenjang.
Penatalaksanaan penyakit Ascariasis dapat diberikan :
a. Albendazol
1) Dewasa, Anak usia > 2 tahun  400 mg
2) Anak usia 12-24 bulan  200 mg
3) Pada infeksi berat, dosis tunggal selama 2-3 hari
b. Mebendazol
1) 100 mg, 2 kali sehari selama 3 hari
2) Infeksi ringan  200 mg (dosis tunggal)
c. Pirantel Pamoat
1) Dosis : 10 mg/kgBB per oral, dosis maksimum 1 gram
d. Tindakan Operatif
2. Melakukan promosi kesehatan
Bersarkan penelitian Pradono dan Sulistyowati pada tahun 2013,
terdapat hubungan positif antara status kesehatan dengan tingkat
pendidikan. Dimana pengetahuan yang kurang baik yang didapat dari
pendidikan formal maupun informal mempunyai kontribusi terhadap
individu dalam mengambil keputusan untuk berperilaku hidup sehat, yang
mempunyai dampak pada status kesehatan.
Penduduk Desa Asih sebagian besar berpendidikan rendah dimana
pengetahuan tentang perilaku hidup sehat masih kurang dibuktikan dengan

11
tingginya angka kejadian Ascariasis sehingga perlu dilakukan promosi
kesehatan berupa upaya menjaga kebersihan baik perorangan maupun
lingkungan secara umum dan tentang cara penularan penyakit Ascariasis
serta pencegahannya.
Menurut Pedoman Pengendalian Kecacingan Direktorat Jenderal PP
dan PL Tahun 2012, dapat dilakukan upaya kebersihan perorangan ataupun
kebersihan lingkungan. Kegiatan tersebut meliputi:
a. Menjaga kebersihan perorangan
1) Mencuci tangan pada saat-saat yang penting yaitu cuci tangan
sebelum makan dan sesudah buang air besar dengan menggunakan
air dan sabun. Cuci tangan pakai sabun pada 5 waktu penting
(sebelum makan, setelah ke jamban, sebelum menyiapkan makanan
setelah menceboki anak, sebelum memberi makan anak)
2) Menggunakan air bersih untuk keperluan makan, minum dan mandi
3) Mengkonsumsi air yang memenuhi syarat untuk diminum
4) Mencuci dan memasak bahan pandan sebelum dimakan
5) Mandi dan membersihkan badan pakai sabun paling sedikit dua kali
sehari
6) Memotong dan membersihkan kuku
7) Memakai alas kaki bila berjalan di tanah, dan memakai sarung
tangan bila melakukan pekerjaan yang berhubungan dengan tanah
8) Menutup makanan dengan tutup saji untuk mencegah debu dan lalat
mencemari makanan terssebut
b. Menjaga kebersihan lingkungan
1) Buang air besar di jamban
2) Jangan membuang tinja dan sampah di sungai
3) Membuat saluran pembuangan air limbah
4) Membuang sampah pada tempat sampah
5) Menjaga kebersihan rumah, sekolah/madrasah dan lingkungannya

12
Promosi kesehatan tersebut diatas dapat dilakukan di lingkungan
masyarakat, salah satunya di lingkungan Puskesmas, baik berupa leaflet,
baliho/billboard, poster – poster atau juga spanduk, antara lain :
a. Di Tempat Parkir Puskesmas
b. Di Halaman Puskesmas
c. Di Dinding Puskesmas
d. Di Pagar Pembatas Kawasan Puskesmas
e. Di kantin/kios di Kawasan Puskesmas
Promosi kesehatan dapat pula dilakukan dalam bentuk tatap muka
(diskusi) yang mencakup materi berupa pengetahuan tentang gejala
ascariasis. Beberapa informan mengatakan gejala pertama orang terinfeksi
ascariasis adalah batuk. Batuk terjadi karena telur yang menetas menjadi
larva bermigrasi dari usus halus menuju pembuluh darah atau limfe dibawa
ke paru. Dari paru, larva dapat naik sampai ke faring sehingga
menimbbulkan rangsang batuk. Saat batuk larva akan tertelan sampai ke
usus halus dan tumbuh dewasa disana. Hal tersebut dapat menimbulkan
gejala klinis khas yaitu, mual, nafsu makan berkurang, diare atau konstipasi,
lesu, tidak bergairah, dan kurang konsentrasi. Cacing ascaris juga dapat
menyebabkan intoleransi laktosa, malabsorbsi vitamin dan mikronutrisi.
Pada kasus kronis dapat menyebabkan kegagalan pertumbuhan, gangguan
pencernaan dan malabsorbsi. Dapat juga berefek serius bila cacing
menggumpal dalam usus sehingga terjadi obstruksi usus (ileus). Dapat
masuk ke usus buntu sehingga menyebabkan appendisitis, dan efek
berbahaya lainnya. Penularan ascariasis terjadi melalui tanah (soil
transmitted helminths/STH), dimana dalam siklus hidupnya memerlukan
tanah untuk berubah menjadi bentuk infektif. Dalam pengobatan,
pendistribusian obat didampingi oleh petugas puskesmas sebagai supervisor
puskesmas, pemberian obat pada penduduk yang tidak hadir (sweeping),
monitoring reaksi obat, puskesmas sebagai pusat pelayanan kesehatan siap
24 jam, rujukan efek samping ke RS, dan penguatan sistim rujukan
berjenjang.

13
3. Perbaikan sanitasi lingkungan
Tanah liat, lingkungan yang hangat dan lembab merupakan tempat yang
dapat menjadi saran perkembangan telur Ascaris Lumbricoides menjadi
bentuk infektif. Telur yang dibuahi dan mencemari tanah akan menjadi
matang dalam waktu 3 minggu pada suhu optimum. Telur yang matang
tidak akan menetas di tanah dan dapat bertahan hidup beberapa tahun.
Selain keadaan tanah dan lingkungan yang sesuai, endemisitas juga
dipengaruhi oleh jumlah telur yang dapat hidup sampai menjadi bentuk
infektif dan masuk ke dalam hospes. Semakin banyak telur ditemukan di
sumber kontaminasi (tanah, debu, sayuran dan lain-lain), semakin tinggi
endemisitas suatu daerah.
Bila telur infektif tertelan, telur akan menetas menjadi larva di usus
halus. Larva akan menembus dinding usus halus menuju pembuluh darah
atau saluran limfe, lalu terbawa aliran darah ke jantung dan paru. Di paru,
larva menembus dinding pembuluh darah, lalu dinding alveolus, masuk ke
rongga alveolus, kemudian naek ke trakea melalui bronkiolus dan bronkus.
Larva menuju ke faring menimbulkan rangsang batuk dan larva tertelan ke
esofagus, lalu sampai ke usus halus. Di usus halus berubah menjadi cacing
dewasa. Sejak telur infektif tertelan sampai cacing dewasa bertelur
diperlukan waktu kurang lebih 2-3 bulan.
Perbaikan sanitasi bertujuan untuk mengendalikan penyebaran cacing
yang penularannya melalui tanah atau Soil Transmitted Helminth (STH)
dengan cara menurunkan kontaminasi air dan tanah (Suriptiastutik, 2006).
Tanah yang telah terkontaminasi dengan telur cacing ini dapat diduga
menjadi faktor yang mempermudah terjadinya resiko penularan pada anak
yang cendrung sering berkontak dengan tanah pada saat bermain, sehingga
resiko penularan cacing ini secara transmisi fekal-oral sangat mudah terjadi
(Salatohy N, dkk, 2012).
Tingginya infeksi cacing karena rendahnya tingkat sanitasi pribadi
(perilaku hidup bersih sehat) seperti kebiasaan cuci tangan sebelum makan
dan setelah buang air besar (BAB), kebersihan kuku, perilaku jajan di
sembarang tempat yang kebersihannya tidak dapat dikontrol, perilaku BAB

14
tidak di WC yang menyebabkan pencemaran tanah dan lingkungan oleh
feses yang mengandung telur cacing serta ketersediaan sumber air bersih
(Winita R, Henny, & Astuty H, 2012).
4. Meningkatkan fasilitas kesehatan lingkungan sekolah
Penularan ascariasis dapat melalui makanan atau minuman yang
disimpan dengan tidak tertutup, dimungkinkan dihinggapi oleh lalat atau
tercemar debu di mana di dalam debu tersebut ada telur cacing. Kebiasaan
siswa dengan jajan sembarangan di sekolah dapat pula mendukung kejadian
kecacingan.
Sekolah merupakan lingkungan khusus, dimana sekelompok siswa-
siswa pada usia sekolah berkumpul pada jam-jam tertentu dan hari-hari
tertentu. Sekolah merupakan tempat siswa untuk tumbuh dan berkembang
baik secara fisik, kejiwaan maupun sosial.
Kesehatan lingkungan merupakan faktor penting dalam kehidupan
sosial kemasyarakatan, bahkan merupakan salah satu unsur penentu dalam
kesejahteraan penduduk, termasuk dalam ini lingkungan sekolah.
Peningkatan kualitas kesehatan lingkungan sekolah sangat diperlukan untuk
meningkatkan kesehatan murid, guru, dan pegawai sekolah sehingga
diharapkan dapat memutus rantai penularan penyakit terutama penyakit
Ascariasis. Salah satu usaha untuk peningkatan kualitas kesehatan di
sekolah melalui Usaha Kesehatan Sekolah (UKS). UKS merupakan program
kesehatan anak pada usia sekolah. Pembinaan lingkungan sekolah sehat
dilaksanakan melalui konsep 7K, yaitu : kebersihan, keindahan,
kenyamanan, ketertiban, keamanan, kerindangan, kekeluargaan.
Keberhasilan pelaksanaan UKS di sekolah sangat ditentukan oleh berapa
besar komitmen kepala sekolah serta masyarakat sekolah terhadap
pentingnya pelaksanaan UKS. Strata pelaksanaan UKS untuk pembinaan
lingkungan sekolah dasar menurut Depkes (Sumiyati, 2015), yaitu :
a. Strata minimal
1) Ada air bersih
2) Ada tempat cuci tangan
3) Ada WC/Jamban yang berfungsi

15
4) Ada tempat sampah
5) Ada saluran pembuangan air kotor yang berfungsi
6) Ada halaman/pekarangan/lapangan
7) Memiliki pojik UKS
8) Melakukan 3M Plus, 1 kali seminggu
b. Strata standar
1) Memenuhi strata minimal
2) Ada kantin/warung sekolah
3) Memiliki pagar
4) Ada penghijauan/perindangan
5) Ada air bersih di sekolah dengan jumlah yang cukup
6) Memiliki ruang UKS tersendiri, dengan peralatan sederhana
7) Memiliki tempat ibadah
8) Lingkungan sekolah bebas jentik
9) Jarak papan tulis dengan bangku terdepan 2,5 m
10) Melaksanakan pembinaan sekolah kawasan bebas asap rokok,
narkoba dan miras
c. Strata optimal
1) Memenuhi strata standar
2) Ada tempat cuci tangan di beberapa tempat dengan air mengalir/kran
3) Ada tempat cuci peralatan masak/makan di kantin/warung sekolah
4) Ada petugas kantin yang bersih dan sehat
5) Ada tempat sampah di tiap kelas dan tempat penampungan sampah
akhir di sekolah
6) Ada WC/jamban siswa dan guru yang memenuhi syarat kebersihan
dan kesehatan
7) Ada halaman yang cukup luas untuk upacara dan berolahraga
8) Ada pagar yang aman
9) Memiliki ruang UKS tersendiri dengan peralatan yang lengkap
10) Terciptanya sekolah kawasan bebas asap rokok, narkoba, dan miras
d. Strata paripurna
1) Memenuhi strata optimal

16
2) Ada tempat cuci tangan setiap kelas dengan air mengalir/kran dan
dilengkapi sabun
3) Ada kantin dengan menu gizi seimbang dengan petugas kantin yang
terlatih
4) Ada air bersih yang memenuhi syarat kesehatan
5) Sampah langsung dibuang diluar sekolah/umum
6) Ratio WC : siswa 1 : 20
7) Saluran pembuangan air tertutup
8) Ada pagar yang aman dan indah
9) Ada taman/kebun sekolah yang dimanfaatkan dan diberi label
( untuk sarana belajar) dan pengolahan hasil kebun sekolah
10) Ruang kelas memenuhi syarat kesehatan ( ventilasi dan pencahayaan
cukup)
11) Ratio kepadatan siswa 1 : 1,5/1,75 m2
12) Memiliki ruang dan peralatan UKS yang ideal.

17
BAB III
RENCANA PROGRAM

A. Rencana Penyelesaian Masalah


Sebagaimana telah diuraikan dalam pembahasan bahwa untuk
menanggulangi tingginya prevalensi Ascariasis di Desa Asih............ dapat
dilakukan melalui kegiatan-kegiatan sebagai berikut:
1. Penatalaksanaan penderita
2. Promosi kesehatan
3. Perbaikan fasilitas sanitasi
4. Meningkatkan kesehatan lingkungan sekolah
Dengan adanya berbagai keterbatasan, untuk mengatasi masalah
Ascariasis di Desa Asih...... tersebut perlu dipilih prioritas yang paling
mungkin untuk bisa dilaksanakan secara efektif sehingga perlu disusun urutan
prioritas menggunakan teknik skoring sebagai berikut. Hal ini dilakukan untuk
mengetahui urutan prioritas dari skala yang tertinggi sampai terendah, sehingga
mempermudah untuk menentukan masalah mana yang akan diselesaikan lebih
dulu.

Tabel III.1 Penentuan Prioritas Penyelesaian Masalah

No Kegiatan M I V C
Penatalaksanaan
1 (pengobatan)
4 3 3 3 12
2 Promosi Kesehatan 3 3 3 3 9
3 Perbaikian fasilitas sanitasi 5 4 4 4 20
Meningkatkan kesehatan
4 5 3 3 3 15
Lingkungan Sekolah

Keterangan :
P : Prioritas penyeselaian masalah
M : Magnitude, besarnya masalah yang bisa diatasi apabila solusi ini
dilaksanakan (turunnya prevalensi dan besarnya masalah lain)
I : Implementasi, kelanggengan selesai masalah

18
V : Vulnerability, sensitifnya dalam mengatasi masalah
C : Cost, Biaya yang diperlukan
Berdasarkan tabel prioritas masalah yang dilakukan dengan metode
scorring, maka alternatif penyelesaian masalah yang kami lakukan terlebih
dahulu adalah mengadakan kegiatan untuk memperbaiki fasilitas sanitasi.

B. Rencana Program
Dari urutan pada skala prioritas diperoleh perbaikan fasilitas sanitasi
memperoleh skor tertinggi, artinya kegiatan itu yang dipilih menjadi Rencana
Program. Namun karena demikian luasnya ruang lingkup sanitasi, maka
kelompok memandang pembangunan jamban / WC umum sebagai langkah
utama yang segera dilakukan dalam mengatasi Ascariasis.
Rencana kegiatan perbaikan fasilitas sanitasi khususnya pembangunan
sarana WC umum dapat dilihat pada tabel III.2 berikut.

Catatan:
Tolong disusun kegiatan dirinci secara rasional. – yang lain disesuaikan.

19
Tabel III.2 Rencana Kerja Upaya Perbaikan Fasilitas Sanitasi dalam Bentuk Pembangunan WC Umum di Desa Asih di wilayah
Kecamatan Bandara Kabupaten Cendana

No Kegiatan Sasaran/ Target Volume Rincian Lokasi Tenaga Jadwal Kebutuhan


Tujuan Kegiatan Kegiatan Pelaksana pelaksan pelaksanaan
an a
1 Pembangunan 20 3 WC Umum 1 x setahun 1. Melakukan Di Desa 1. Kepala 1. Minggu I 1. Fasilitas
WC Umum Rukun dimana 1 WC pendekatan dengan Asih desa Melakukan pendekatan pertemuan
Tetangga umum tiap RT kepala desa dan dan dengan kepala desa dan 2. Alat
di Desa di Desa Asih jajarannya serta jajaran jajarannya serta warga desa transportasi
Asih warga desa nya 2. Minggu II dan
2. Membicarakan 2. Peranc Membicarakan komunikasi
perencanaan ang perencanaan pembangunan 3. ATK
pembangunan WC pemba WC umum 4. Alat dan
umum ngunan 3. Minggu III Menentukan Bahan
3. Menentukan lokasi 3. lokasi yang tepat Bangunan
yang tepat pekerja 4. Minggu IV Menentukan
1 Pendekatan ke 4. Menentukan jumlah bangun jumlah WC Umum yang
Kepala Desa WC Umum yang an akan dibangun
untuk akan dibangun dibantu
menyusun 5. Menentukan anggaran warga 5. Minggu V-VII
rencana dana pembangunan sekitar Menentukan anggaran dana
pembangunan 6. Merencanakan dan pembangunan
WC umum melakukan 6. Minggu VIII-XV
dalam penggalangan dana Merencanakan dan
program 7. Pelaksanaan dan melakukan penggalangan
pembangunan
desa
(anggaran
tersedia)
2 Menentukan
lokasi dan
jumlah WC
umum

20
3 Pelaksanaan 8. pengawasan 7. dana
pembangunan pembangunan 8. Minggu XVI-XX
9. Evaluasi Pelaksanaan dan
pengawasan pembangunan
9. Evaluasi
4 Sosialisasi 10. 10.
pemanfaatan
WC umum

21
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Tingginya prevalensi Ascariasi di SDN Asih dipicu oleh beberapa faktor
risiko sebagai berikut:
1. Kepala keluarga yang memiliki fasilitas penyediaan air bersih masih
kurang;
2. Tempat penyimpanan sampah baru dimiliki sebagian warga;
3. Membuang air besar di tempat terbuka;
4. Sebagian besar masyarakat bekerja sebagai petani atau buruh tani;
5. Tingkat pendidikan rendah;
6. Siswa dibebaskan jajan di pedagang kaki lima.
B. Saran
Dengan ditemukannya kejadian infeksi cacing Ascaris lumbricoides pada
anak sekolah menunjukkan bahwa infeksi kecacingan secara riil memang
benar-benar masih banyak terjadi pada masyarakat, sementara perhatian
terhadap penyakit ini masih sangat kurang sehingga direkomendasikan saran
berikut :
1. Penatalaksanaan pasien penyakit Ascariasis di Desa Asih dapat berupa
pengobatan, serta pendistribusian obat didampingi oleh petugas
puskesmas sebagai supervisor puskesmas, pemberian obat pada
penduduk yang tidak hadir (sweeping), monitoring reaksi obat,
puskesmas sebagai pusat pelayanan kesehatan siap 24 jam, rujukan efek
samping ke RS, dan penguatan sistim rujukan berjenjang.
2. Penduduk Desa Asih sebagian besar berpendidikan rendah dimana
pengetahuan tentang perilaku hidup sehat masih kurang dibuktikan
dengan tingginya angka kejadian Ascariasis sehingga perlu dilakukan
promosi kesehatan berupa upaya menjaga kebersihan baik perorangan
maupun lingkungan secara umum dan tentang cara penularan penyakit
Ascariasis serta pencegahannya.

22
3. Melakukan upaya perbaikan fasilitas sanitasi di Desa Asih yang bertujuan
untuk mengendalikan penyebaran cacing yang penularannya melalui tanah
atau Soil Transmitted Helminth (STH) dengan cara menurunkan
kontaminasi air dan tanah.
4. Melakukan upaya untuk meningkatkan kesehatan lingkungan sekolah di
Desa Asih untuk meningkatkan kesehatan murid, guru, dan pegawai
sekolah sehingga diharapkan dapat memutus rantai penularan penyakit
terutama penyakit Ascariasis.

23
DAFTAR PUSTAKA

Azrul, Azwar (1995). Menjaga Mutu Pelayanan Kesehatan. Jakarta : Pustaka


Sinar Harapan

CDC, 2013. USA DPDx Laboratory Identification of Parasitic Disease of Public


Health Concern, Centers for Disease Control and Prevention. Available
at: http//:www.cdc.gov/parasites/whipworm/biology/html.

Chandra, budiman. 2007. Pengantar kesehatan lingkungan. Jakarta: Penerbit buku


kedokteran EGC

Departemen Pendidikan Nasional, 2003. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003,


Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta: Depdiknas.

Depkes RI, 2006. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor


424/MENKES/PER/VI/2006 tentang Pedoman Pengendalian Cacingan.,
Jakarta: Depkes RI

Ditjen PP dan PL, 2011. Profil Pengendalian Penyakit dan Penyehatan


Lingkungan, Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.

Djaenudin Natadisastra.2009. Parasitologi Klinik di Indonesia. Dalam:


Parasitologi Kedokteran Ditinjau dari Organ Tubuh yang Diserang. Edisi
1. Jakarta: EGC. Halaman: 60-61

Hadiwartomo. Seminar Tentang Pencegahan dan Pengobatan Penyakit


Cacing. Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
1994

Jaya IKS, Romadilah. 2013. Hubungan Infeksi Kecacingan dan Personal Hygiene
dengan Kadar Hemoglobin(hb) Siswa SDN 51 Cakranegara Kota
Mataram. Media Bina Ilmiah 7

Kementrian Kesehatan, Dirjen PP dan PL. Pedoman Pengendalian Kecacingan.


Jakarta; 2012.

Lengkong, B. R, Joseph, W.B.S & Pijok, V.D., 2013. Hubungan antara Higiene
Perorangan dengan Infeksi Cacing pada Pelajar Sekolah Dasar Negeri 47
Kota manado. bidang Minat Kesling Kesmas Universitas Sam Ratulangi

Mardiana, L. Agustina, N. Riris, Djarismawati dan Sukijo. 2008. Telur cacing


Ascaris lumbricoides pada tinja dan kuku anak Balita serta pada tanah di
Kecamatan Paseh, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Maj. Parasitol, Ind.
13 (1-2). 28-32

24
Salatalohy, N., dkk. Pengetahuan Ibu Tentang Infeksi Cacing Ascaris
lumbricoides Pada Anak Usia Pra Sekolah di Desa Batu Merah Kota
Ambon. Program Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas
Pattimura Ambon. Indonesia. 2012.

Sandy, Semuel, 2014. Analysis of risk factors for infection models roundworm
(Ascaris lumbricoides) on elementary school students in Arso District of
The Keerom Regency, Papua

Slamet J.S. 2009. Kesehatan Lingkungan. Yogyakarta: Gajah Mada University


Press.

Soeparman dan Suparmin. 2001.Pembuangan Tinja dan Limbah Cair : Suatu


Pengantar. Jakarta : EGC.

Sumiyati, Rr. 2015. Tingkat Pemahaman Tentang Kesehatan Lingkungan Sekolah


pada Siswa Kelas IV dan V SD Negeri Kembang Malang, Panjatan
Kulon Progo DIY. Universitas Negeri Yogyakarta.

Suripastuti. 2006. Infeksi Soil-transmitted helminth : Ascariasis, trichiuriasis dan


cacing tambahng. Universa Medicina Vol. 25 No. 2. Hal. 84-93.

Susanto I, Ismid IS, Sjarifudin PK, Sungkar S. 2008. Buku ajar parasitologi
kedokteran. Jakarta: Balai penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.

WHO, 2012. Deworming to Combat the Health and Nutritional Impact of


soiltransmitted helminths (Biological, behavioural and contextual
rationale).

Winita R, Henny, & Astuty H. 2012. Upaya pemberantasan Kecacingan Di


Sekolah Dasar. Makara, Kesehatan Vol. 16 No. 2. Hal. 65-71.

25

Anda mungkin juga menyukai