Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Skabies adalah penyakit kulit menular akibat infestasi dan sensitisasi

tungau Sarcoptes scabiei var hominis dan produknya (Boediardja, 2015). Insiden

skabies di negara berkembang menunjukkan siklus fluktuasi ( Harahap,2000).

Tungau skabies melakukan penetrasi parasit ke lapisan epidermis kulit (Habif,

2008). Hal ini menimbulkan gatal di malam hari (pruritus nokturna) sehingga

membuat penderita skabies tidak nyaman. Akibatnya, penderita sering menggaruk

lesi tersebut. Luka bekas garukkan dapat mempermudah masuknya bakteri seperti

Staphylococcus aureus dan Streptococcus pyogenes ke dalam kulit yang dapat

mengakibatkan infeksi sekunder (WHO, 2009). S. scabiei dapat menyerang orang

dewasa maupun anak-anak (Nufika, 2012). Skabies merupakan penyakit yang

berkaitan dengan kebersihan diri ( Widodo, 2004 ).

Menurut World Health Organization (WHO), skabies merupakan salah

satu kondisi dermatologis yang paling umum dan sebagian besar dapat terjadi di

negara berkembang. Secara global, skabies dapat mengenai lebih dari 130 juta

orang setiap saat dengan tingkat kejadian skabies bervariasi dari 0,3 % sampai 46

%. Kejadian skabies masih cukup tinggi di beberapa negara, terutama sekali di

negara berkembang. Tahun 2010, dilakukan studi di rumah kesejahteraan

Malaysia dan didapatkan prevalensi skabies sebanyak 30%. Selain itu, pada

daerah kumuh Banglades ditemukan prevalensi skabies pada anak usia enam

tahun sebanyak 23-29% (Ratnasari, 2014). Skabies termasuk penyakit kulit yang
endemis di wilayah beriklim tropis dan subtropis, seperti Afrika, Mesir, Amerika

tengah, Amerika selatan, Australia utara, Australia tengah, Kepulauan Karibia,

India, dan Asia tenggara (Walton, 2007). ditemukan prevalensi skabies pada anak

usia enam tahun sebanyak 23-29% (Ratnasari, 2014). Angka kejadian skabies

meningkat pada kelompok masyarakat yang hidup dengan kondisi kebersihan diri

dan lingkungan di bawah standar ( Andayani, 2005 ). Prevalensi skabies di

puskesmas seluruh Indonesia menurut Depkes RI tahun 2008 adalah 5,6%-

12,95% (Haeri, 2013). Skabies menduduki peringkat ketiga dari dua belas

penyakit kulit tersering (Audhah, 2012). Hal ini dikarenakan iklim tropis

Indonesia yang sangat mendukung perkembangan agen penyebab skabies. Faktor-

faktor lainnya yang mendukung perkembangan skabies di Indonesia adalah faktor

lingkungan terutama penyediaan air bersih dan sanitasi yang tidak baik (Nufika,

2012). Selain itu rendahnya pengetahuan masyarakat tentang cara penyebaran dan

pencegahan skabies menyebabkan angka kejadian skabies tinggi pada kelompok

masyarakat (Heukelbach J, Wilcke T, Winter B & Feldmeier, 2015). Kelompok

Studi Dermatologi Anak Indonesia (KSDAI) pada tahun 2001 melakukan

pengumpulan data dari sembilan rumah sakit di tujuh kota besar di Indonesia.

Studi ini memperoleh 892 penderita skabies dengan insiden tertinggi terdapat

pada kelompok usia anak sekolah (5-14 tahun) sebanyak 54,6% dan 63%

penderitanya berjenis kelamin laki-laki (Tabri, 2003).

Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat tahun 2010 melaporkan

penyakit kulit infeksi termasuk sepuluh penyakit terbanyak di Sumatera Barat

dengan kejadian 106.568 kasus. Laporan tahunan Dinas Kesehatan Kota Padang

tahun 2014 menunjukkan dari sepuluh penyakit terbanyak yang berkunjung di


puskesmas, penyakit kulit infeksi menduduki peringkat ketiga, setelah ISPA

diurutan pertama dan gastritis diurutan kedua. Kejadian skabies pada tahun 2014

didapatkan sebanyak 1.926 kasus. Kejadian skabies terbanyak ditemukan di

Puskesmas Lubuk Buaya dengan jumlah 255 kasus dari 22 puskesmas yang ada di

Kota Padang. Kasus skabies terbanyak berikutnya terdapat di Puskesmas Lubuk

Begalung dengan kejadian 183 kasus. Kurangnya pengetahuan tentang faktor

penyebab dan bahaya penyakit skabies membuat penyakit ini dianggap sebagai

penyakit yang biasa saja karena tidak membahayakan jiwa, namun sebenarnya

skabies kronis dan berat dapat menimbulkan komplikasi yang berbahaya seperti

infeksi sekunder. Hal ini lah yang harus segera dicegah dalam pola perilaku

masyarakat yang menanggap mudah suatu penyakit sehinga berpotensi menjadi

penyakit yang lebih berat.

Chairiya Akmal (2013) menyimpulkan bahwa terdapat hubungan antara

personal hygine dengan kejadian skabies di Pondok Pendidikan Islam Darul Ulum

, palarik air pacah. Didapatkan 34 orang dari 138 orang santri yang menjadi

sampel mengalami skabies. Serta lebih dari setengah responden memiliki personal

hygiene yang baik dan gambaran masing-masing personal hygiene santri baik.

Pada tahun 2001, WHO menetapkan skabies sebagai penyakit yang berhubungan

dengan air (water-related disease). Oleh karena itu, penyediaan air bersih yang

cukup untuk masyarakat merupakan salah satu upaya pencegahan terhadap water-

related disease. Oleh karena itu, penyediaan air bersih yang cukup untuk

masyarakat merupakan salah satu upaya pencegahan terhadap water-related

disease. Prevalensi kejadian skabies tertinggi di kota padang yaitu Puskesmas

dengan wilayah kerja Lubuk Buaya telah diteliti oleh Yunita ( 2015 )dan sebagai
perbandingan penulis tertarik untuk mengetahui faktor resiko skabies di wilayah

kerja Puskesmas Air Dingin sebagai Puskesmas dengan prevalensi nomor dua

kejadian skabies di kota padang pada tahun 2016.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka perumusan masalah pada penelitian ini

adalah : “Faktor resiko yang Kejadian Skabies di Wilayah Kerja Puskesmas Air

Dingin Kota Padang Tahun 2016”.

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah mengetahui Faktor-faktor yang

Berhubungan dengan Kejadian Skabies di Wilayah Kerja Puskesmas Air Dingin

Kota Padang Tahun 2016.

1.3.2 Tujuan Khusus


1. Mengetahui distribusi frekuensi kejadian skabies di wilayah kerja

Puskesmas Air Dingin Kota Padang berdasarkan usia, jenis kelamin, dan

tingkat pendidikan

2. Mengetahui hubungan personal hygiene dengan kejadian skabies di

wilayah kerja Puskesmas Lubuk Buaya Kota Padang

3. Mengetahui hubungan ketersediaan air bersih dengan kejadian skabies di

wilayah kerja Puskesmas Lubuk Buaya Kota Padang

4. Mengetahui hubungan status gizi dengan kejadian skabies di wilayah kerja

Puskesmas Lubuk Buaya Kota Padang

1.4 Manfaat Penelitian

1. Bagi pengembangan ilmu pengetahuan

Hasil penelitian diharapkan dapat digunakan sebagai bahan

pengembangan ilmu pengetahuan tentang faktor-faktor yang berhubungan

dengan kejadian skabies.

2. Bagi tenaga kesehatan

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi tenaga

kesehatan dalam melakukan pendekatan diagnostik dan tatalaksana

skabies. Selain itu, dapat dilakukan upaya promosi kesehatan dan preventif

terhadap penyakit skabies. Manfaat lainnya adalah penelitian ini dapat

dijadikan sebagai dasar bagi ilmuan lainnya untuk melakukan penelitian

yang berkaitan dengan bidang ini.

3. Bagi masyarakat
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada

masyarakat mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian

skabies, sehingga masyarakat memiliki kesadaran untuk mengubah gaya

hidup ke arah yang lebih baik. Hal ini berhubungan dengan upaya

pencegahan kejadian skabies.

Anda mungkin juga menyukai