Anda di halaman 1dari 61

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Skabies merupakan penyakit kulit menular yang disebabkan oleh tungau

sarcoptes scabei, varhominis, filum arthropoda, orde akarina memiliki

ukuran 300 - 400 mikron, merupakan parasit obligat pada manusia

(Mayang & Nasrul, 2017). Skabies juga dikenal sebagai kudis dalam

bahasa indonesia dan gudik dalam bahasa jawa. Menurut WHO (World

Health Organitation, 2018), penyakit ini sering terjadi pada negara

beriklim panas dan tropis yang memiliki potensi endemik suatu penyakit

dengan tingkat kepadatan penduduk dan kemiskinan yang tinggi. Skabies

merupakan gangguan kulit yang tidak membahayakan tetapi sangat

mengganggu.

Tungau sarcoptes scabei aktif menggali terowongan di epidermis kulit dan

bertelur pada malam hari, hal tersebut menyebabkan penderita merasakan

rasa gatal yang mengganggu pada malam hari. Faktor yang mempengaruhi

perkembang biakan tungau skabies, salah satunya adalah faktor personal

hygiene. Menurut (Parman, dkk, 2017) kebersihan kulit yang kurang baik

dapat meningkatkan risiko menderita skabies lebih besar dibandingkan

dengan kulit yang terjaga kebersihannya, hal tersebut juga berlaku pada

kebersihan kuku, kebersihan handuk, kebersihan tempat tidur, dan

kebersihan sprei. Tungau sarcoptes scabei menyukai tempat yang lembab

1
dan memiliki kebersihan yang buruk. Menurut (Mading & Indriaty, 2015)

berpendapat bahwa skabies ditemukan dikampung - kampung, rumah,

penjara, asrama, dan panti asuhan yang memiliki tingkat sanitasi

lingkungan buruk.

Skabies disebabkan oleh tungau sarcoptes scabei yang bersembunyi

dibawah lapisan terluar kulit penjamu. Satu bulan atau lebih setelah tungau

memasuki tubuh, kulit pejamu akan terasa gatal secara intens, terutama

jika kulit sudah tetutupi banyak tungau. Akan muncul titik merah, dengan

sederetan bintik kehitaman yang panjangnya seperdelapan sampai

setengah inci dengan vesikel kecil dan area depresi. Skabies terutama

ditemukan diantara jari tangan. Kemungkinan area lain mencakup

pergelangan tangan, bagian depan siku tangan, titik siku tangan, lipatan

aksila, puting, umbilikus, abdomen bawah, genetalia, dan celah gluteal

(diantara bokong). Orang dewasa jarang mengalami skabies dibagian atas

leher, tetapi tungau dapat menyerang anak disetiap permukaan tubuh.

Tungau dapat hidup berbulan - bulan atau bertahun - tahun pada tubuh

individu yang tidak mendapatkan terapi atau yang memiliki hygiene yang

buruk (Caroline & Mary, 2017).

Sebanyak 300 juta orang pertahun di dunia dilaporkan terserang

skabies (WHO, 2017). Selain itu skabies juga ditemukan pada semua

negara dengan prevalensi yang bervariasi. Prevalensi skabies di

indonesia menurut Depkes RI berdasarkan data puskesmas seluruh

2
indonesia tahun 2016 adalah 7,4% - 12,9. Di Bantul tahun 2015

prevalensi skabies yaitu 7,5 % dan di Semarang mencapai 5,8%.

Skabies dapat menjangkit semua orang pada semua umur, ras dan level

sosial ekonomi. Kejadian skabies tidak hanya terjadi pada negara

berkembang maupun juga terjadi pada negara maju, seperti di Jerman

skabies terjadi secara sporadik atau dalam bentuk endemik yang panjang.

Angka kejadian skabies di India adalah 20,4% (Kurniawan & Prabowo,

2016). Australia dan negara di Oceania dengan prevalensi 30%, Malaysia

sebesar 31% (Ibadurrahmi, dkk, 2016). Menurut Guru pondok selama

tahun 2019 yang mengalami penyakit kulit diperkirakan 60% dari 70

penghuni.

Kejadian skabies di negara berkembang termasuk Indonesia terkait dengan

kontak fisik antar individu, kepadatan hunian, kemiskinan dengan tingkat

kebersihan yang rendah dan keterbatasan akses air bersih memudahkan

transmisi dan infentasi tungau skabies. Menurut Notoatmodjo, cara yang

tidak mendukung kesehatan, lingkungan yang tidak seniter, sosial ekonomi

yang rendah dan hygiene perorangan yang rendah merupakan faktor -

faktor yang dapat menyebarkan penyakit kulit seperti skabies (Mading dan

Sopi, 2015).

Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh investasi sarcoptes

scabies varietas hominis (Walton SF & Currie BJ, 2007) dan (Ko JC &

Elston DM, 2004). Penyakit tersebut termasuk dalam penyakit kulit

3
parasitik epidermal yang insidensi dan prevalensinya bervariasi sekitar 0,2

- 71,4% terkait lokasi dan populasi (Romani, dkk, 2015) dan (Gunning K,

dkk, 2012).

Pada daerah dengan insidensi yang tinggi diagnosis presumtif dapat

ditegakkan berdasarkan pada pruritus yang memberat saat malam hari,

distribusi dari papul inflamasi dan riwayat kontak dengan penderita.

Konfirmasi diagnosis dilakukan dengan kerokan kulit pada kanalikuli

menggunakan skalpel tumpul yang selanjutnya diberikan penetesan

potasium hidroksida 10%. Pemeriksaan tersebut dapat mengkonfirmasi

adanya kutu, telur, atau cangkang telur pada sedian tersebut (Kemkes RI,

2015).

Penyakit skabies merupakan penyakit kulit dengan insidensi dan

prevalensi yang tinggi di seluruh dunia, terutama di daerah beriklim tropis

dan subtropis (Hilma & Ghazali, 2014).

Menurut (Akmal SC, dkk, 2013) dan (Ratna I, dkk, 2015) mengemukakan

bahwa tempat - tempat yang memiliki kepadatan tinggi, berisiko tinggi

untuk terjadinya penularan skabies terutama asrama dan pesantren.

Beberapa faktor diketahui berperan sebagai faktor resiko terjadinya

skabies. Faktor tersebut antara lain usia muda (5 - 14 tahun), jumlah

penghuni rumah yang padat lebih dari 5 orang, penggunaan barang pribadi

secara bersama termasuk tempat tidur, personal higiene dan sanitasi

4
lingkungan yang buruk. Dari faktor tersebut, ditemukan bahwa personal

hygiene, sanitasi lingkungan, dan kepadatan yang tinggi merupakan faktor

resiko yang utama (Wulan, dkk, 2017).

Penyakit skabies yang dialami oleh santri ternyata dapat berdampak pada

prestasi belajarnya. Hal ini disebabkan manifestasi klinis dari skabies yang

dirasakan langsung oleh penderita adalah rasa gatal terutama pada malam

hari atau saat cuaca panas dan penderita berkeringat. Kondisi ini

menyebabkan penderita mengalami gangguan tidur sehingga pada pagi

harinya tampak dan lesu. Gangguan tidur yang berlangsung lama dapat

mempengaruhi konsentrasi belajar serta menurunnya prestasi di kelas

(Indrani, L.G, 2017).

Salah satu masalah kesehatan yang banyak dialami oleh sebagian besar

masyarakat di Indonesia adalah masalah kesehatan yang menyerang sistem

perlindungan tubuh paling luar, yaitu kulit. Kulit adalah organ tubuh yang

terletak paling luar dan membatasinya dari lingkungan hidup manusia dan

organ yang ensensial dari vital serta merupakan cermin kesehatan dan

kehidupan. Kulit juga sangat sensitif bergantung pada lokasi tubuh

(Harahap, 2018).

Penyakit kulit bisa disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya faktor

lingkungan dan kebiasaan hidup sehari - hari. Lingkungan yang sehat dan

bersih akan membawa efek yang baik pula bagi kulit. Demikian juga

5
sebaliknya, lingkungan yang kotor akan menjadi sumber munculnya

berbagai macam penyakit, selain itu kulit juga mempunyai nilai estetika.

Penyakit kulit dapat disebabkan oleh jamur, virus, kuman, parasit hewani

dan lain - lain. Salah satu penyakit kulit yang disebabkan oleh parasit

adalah skabies (Djuanda, 2010).

Pondok pesantren memiliki kegiatan yang sangat padat terdiri dari formal

dan non formal. Kepadatan jadwal kegiatan yang ada dalam pondok

pesantren dapat mempengaruhi tingkat kebersihan diri dan kebersihan

lingkungan serta hunian. Faktor inilah yang dapat menyebabkan terjadinya

penyakit skabies. Dengan demikian perlu adanya perhatian khusus untuk

memperbaiki tingkat kebersihan diri, lingkungan serta hunian santri di

pondok pesantren. Pesantren formal memiliki kegiatan tambahan dibidang

pendidikan formal, yaitu sekolah dasar, sekolah menengah pertama,

sekolah menengah atas dan perguruan tinggi. Sehingga dapat dikatakan

bahwa pesantren formal adalah sarana untuk meningkatkan pembangunan

pendidikan, kesehatan, ekonomi dan sosial. Pembangunan kesehatan

bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup

sehat bagi setiap orang, agar terwujud derajat kesehatan yang lebih tinggi.

Hal ini dapat dilakukan melalui pendekatan peningkatan pengetahuan

(promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit

(kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif) yang dilaksanakan secara

menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan (Kemenkes RI, 2012).

6
Penularan terjadi akibat kontak langsung dengan kulit pasien atau tidak

langsung dengan benda yang terkontaminasi tungau. Skabies dapat

mewabah pada daerah padat penduduk seperti daerah kumuh, penjara,

panti asuhan, panti jompo, dan sekolah asrama. Penyebab skabies antara

lain disebabkan oleh rendahnya faktor sosial ekonomi, kebersihan yang

buruk seperti mandi, pemakaian handuk, mengganti pakaian dan

melakukan hubungan seksual. Penyakit ini biasanya banyak ditemukan di

tempat seperti di asrama, panti asuhan, penjara, pondok pesantren yang

kurang terjaga personal hygienenya. Terdapat banyak faktor yang

menunjang perkembangan penyakit skabies antara lain turunnya imunitas

tubuh akibat HIV, sosial ekonomi yang rendah, higiene yang buruk,

hubungan seksual yang sifatnya promiskuitas. Skabies identik dengan

penyakit anak pondok. Penyebabnya adalah kondisi kebersihan yang

kurang terjaga, sanitasi yang buruk, kurang gizi, dan kondisi ruangan yang

terlalu lembab dan kurang mendapat sinar matahari secara langsung.

Penyakit kulit skabies menular dengan cepat pada suatu komunitas yang

tinggal bersama sehingga dalam pengobatannya harus dilakukan secara

serentak dan menyeluruh pada semua orang dan lingkungan pada

komunitas yang terserang skabies. Hal ini disebabkan apabila dilakukan

secara individual maka akan mudah tertular kembali penyakit skabies

(Mayrona, dkk, 2018).

Pencegahan skabies pada manusia dapat dilakukan dengan cara

menghindari kontak langsung dengan penderita dan mencegah

7
penggunaan barang - barang penderita secara bersama - sama. Pakaian,

handuk, dan barang - barang lainnya yang pernah digunakan penderita

harus diisolasi dan dicuci dengan air panas. Pakaian dan barang-barang

asal kain dianjurkan untuk disetrika sebelum digunakan, sprai penderita

harus sering diganti dengan yang baru maksimal tiga hari sekali. Benda -

benda yang tidak dapat dicuci dengan air (bantal, guling, selimut)

disarankan dimasukan kedalam kantung plastik selama tujuh hari,

selanjutnya dicuci kering atau dijemur dibawah sinar matahari sambil

dibolak - balik minimal 20 menit sekali. Intervensi yang dilakukan

terhadap lingkungan adalah memberi penyuluhan mengenai skabies

(gejala, penatalaksanaan, penyebaran penyakit, dan pencegahannya)

terhadap warga masyarakat dalam satu rukun warga (Mading dan Sopi,

2015).

Tingkat pengetahuan yang rendah cenderung memiliki prevalensi skabies

lebih tinggi secara signifikan dibandingan dengan orang dengan tingkat

pengetahuan yang lebih tinggi. Tingkat pengetahuan seseorang merupakan

hal yang sangat penting yang berperan dalam terbentuknya tindakan

seseorang mengenai suatu penyakit baik berupa deteksi dini hingga upaya

terhadap pencegahan penyakit. Pengetahuan memegang peranan penting

dalam upaya pencegahan penularan skabies yaitu melalui praktik

kebersihan diri yang baik (Ibadurrahmi, 2016).

8
Hal ini dikarenakan masyarakat tidak mengetahui bahwa kejadian skabies

dipengaruhi oleh kontak langsung yaitu dari faktor kebersihan kulit,

tangan dan kuku, rambut, dan juga badan serta dipengaruhi pula oleh

kontak tidak langsung yaitu kelembaban, suhu, penyediaan air, dan

pajanan sinar matahari. Pengetahuan dapat diketahui jika seseorang telah

berhubungan dengan objek tersebut yang mana sebagian besar

pengetahuan dapat diperoleh dari melihat dan mendengar. Pengetahuan

merupakan awal pengenalan terhadap suatu objek yang diamati, sehingga

jika pengetahuan kurang baik terhadap suatu objek maka akan

memengaruhi perilaku yang akan dilakukan (Ibadurrahmi, 2016).

Perilaku merupakan perbuatan atau tindakan dan perkataan seseorang yang

sifatnya dapat diamati, digambarkan dan dicatat oleh orang lain ataupun

orang yang melakukannya. Perilaku sehat adalah pengetahuan, sikap dan

tindakan proaktif, Melidungi diri dan ancaman penyakit serta berperan

aktif dalam gerakan kesehatan masyarakat (Maryunani, 2013).

Sedangkan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) adalah semua perilaku

yang dilakukan atas kesadaran sehingga anggota keluarga atau keluarga

dapat menolong dirinya sendiri di bidang kesehatan dan berperan aktif

dalam kegiatan - kegiatan keseharian di masyarakat (Pusat Promkes

Depkes RI, 2008).

Perilaku hidup bersih dan sehat mempunyai banyak manfaat bagi sekolah

atau pesantren yaitu terciptanya sekolah yang bersih dan sehat sehingga

9
terlindungi dari penyakit, meningkatkan semangat belajar, citra sekolah

makin meningkat sehingga menarik minat orang tua (Maryunani, 2013).

Perilaku hidup bersih dan sehat terutama kebersihan perseorangan

umumnya kurang diperhatikan oleh para santri, penyakit skabies dapat

menular apabila penderita melakukan kontak langsung dengan orang lain

misalnya tinggal bersama sekelompok orang ketika dipondok pesantren

(Kasanah, dkk, 2019).

Berdasarkan studi pendahuluan observasi dan wawancara awal yang

dilakukan oleh penulis terhadap 10 santri Pondok Pesantren Asshiddiqiyah

3 Karawang Desa Sukatani Kec. Cilamaya Wetan, disimpulkan : mereka

tidak mengetahui apa itu penyakit skabies, penyebab penyakit skabies,

cara penyebaran penyakit skabies, tanda dan gejala penyakit skabies, dan

bagaimana cara pencegahan penyakit skabies, mereka mandi rata - rata 1

kali setiap harinya, yang sehat maupun yang sakit mereka tidur dalam satu

kamar, satu kamar ukuran 4 x 4 dihuni 15 - 20 orang, dan penggunaan

handuk sering bersama - sama. Ada beberapa santri yang mengeluh gejala

atau tanda - tanda penyakit skabies di Pondok Pesantren Asshiddiqiyah 3

Karawang Desa Sukatani Kec. Cilamaya Wetan, dapat disimpulkan :

mereka mengatakan rasa gatal pada seluruh tubuh biasanya terjadi pada

malam hari, cuaca panas, atau ketika berkeringat. Gatal terasa di sekitar

leher, ketiak, siku, pergelangan tangan, sekitar payudara, pinggang, diarea

kelamin, lutut, telapak kaki. Dan jika mencuci pakaian tidak menggunakan

10
air yang mengalir, tidur berdesak - desakan, mandi 1 kali setiap harinya,

mencuci tangan tidak menggunakan sabun, memakai handuk sering

bersama - sama, sering tukar menukar pakaian dengan orang lain, tidak

pernah menjemur kasur, tidak menjaga kebersihan tangan, kaki, kuku, dan

rambut. Menurut Guru pondok yang mengalami penyakit kulit

diperkirakan 60% dari 70 penghuni.

Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk melakukan penelitian

dengan judul “Hubungan pengetahuan dengan perilaku pencegahan

penyakit skabies di Pondok Pesantren Asshiddiqiyah 3 Karawang”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan fakta - fakta diatas, maka rumusan

masalah dalam penelitian ini adalah adanya hubungan pengetahuan dengan

perilaku pencegahan penyakit skabies di Pondok Pesantren Asshiddiqiyah

3 Karawang.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengidentifikasi hubungan pengetahuan dengan perilaku pencegahan

penyakit skabies pada santri di Pondok Pesantren Asshiddiqiyah 3

Karawang.

2. Tujuan Khusus

11
a. Mengetahui distribusi frekuensi pengetahuan tentang pencegahan

penyakit skabies pada santri Pondok Pesantren Asshiddiqiyah 3

Karawang.

b. Mengetahui distribusi frekuensi perilaku pencegahan penyakit

skabies pada santri Pondok Pesantren Asshiddiqiyah 3 Karawang.

c. Mengetahui hubungan pengetahuan dengan perilaku pencegahan

penyakit skabies pada santri Pondok Pesantren Asshiddiqiyah 3

Karawang.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat :

1. Bagi peneliti

Dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan tentang beberapa upaya

atau langkah dalam upaya penecegahan kejadian penyakit kulit

terutama pada kelompok khusus yaitu para santri pondok pesantren dan

sebagai pengalaman yang berharga dalam penerapan teori yang didapat

dilembaga pendidikan.

2. Bagi pendidikan

Dapat menjadi referensi bagi mahasiswa lain dalam menunjang

kemajuan pendidikan, khususnya tentang materi yang terkait dengan

penyakit kulit pada kelompok khusus yaitu santri pondok pesantren.

3. Bagi pelayanan kesehatan

12
Sebagai bahan masukan dalam rangka perbaikan pelayanan kesehatan,

khususnya tentang upaya pencegahan penyakit kulit pada santri pondok

pesantren.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Skabies

1. Pengertian Skabies

Skabies disebabkan oleh tungau (Sarcoptes scabiei) yang bersembunyi

dibawah lapisan terluar kulit penjamu. Satu bulan atau lebih setelah

tungau memasuki tubuh, kulit pejamu akan terasa gatal secara intens,

terutama jika kulit sudah tertutupi banyak tungau. Akan muncul titik

merah, dengan sederetan bintik kehitaman yang panjangnya

seperdelapan sampai setengah inci dengan vesikel kecil dan area

depresi. Skabies terutama ditemukan diantara jari tangan.

Kemungkinan area lain mencakup pergelangan tangan, bagian depan

siku tangan, titik siku tangan, lipatan aksila, puting, umbilikus,

abdomen bawah, genetalia, dan celah gluteal (diantara bokong). Orang

dewasa jarang mengalami skabies dibagian atas leher, tetapi tungau

dapat menyerang anak disetiap permukaan tubuh. Tungau dapat hidup

berbulan - bulan atau bertahun - tahun pada tubuh individu yang tidak

mendapatkan terapi atau yang memiliki hygiene yang buruk.

13
Secara khas, individu mengalami skabies terutama melalui kontak

personal yang dekat. Namun, infeksi dapat ditulatkan melalui pakaian,

seprai, atau handuk. Gunakan tindakan kawaspadaan khusus untuk

mencegah penyebaran skabies karena ;parasite dapat hidup dalam

waktu yang lama tanpa pejamu dan biasanya aka nada di seprai dan

pakaian personal. Jika memungkinkan, periksa dan beri terapi skabies

pada semua anggota keluarga secara simultan. Awali terapi dengan

mandi dan mengeringakan klien untuk membuang kerak kulit dan

membuka bintik yang terinfeksi. Mengoleskan obat yang

diprogramkan keseluruh bagian tubuh dari leher ke bawah adalah

terapi pilihan untuk anak berusia diatas 2 bulan dan orang dewasa yang

tidak hamil. Instruksikan klien untuk melapisi semua permukaan

tubuhnya, termasuk disekitar abntalan kuku, dianatara jari tangan dan

kaki, area genital, dan celah antara bokong. Informasikan klien untuk

membiarkan obat selama 8 hingga 24 jam, bergantung pada jenis

produk yang digunakan, dan kemudian mandi secara menyeluruh.

Klien akan diinstruksikan untuk mengulang terapi dalam 1 minggu

(Caroline & Mary, 2017).

2. Etiologi

Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi sarcoptes

scabiei varietas hominis. Parasit tersebut termasuk kelas arachnida,

subkelas acarina, ordo astigmata, dan famili sarcoptidae. Selain

varietas hominis, sarcoptes scabiei memiliki varietas binatang namun

14
varietas itu hanya menimbulkan dermatitis sementara, tidak menular,

dan tidak dapat melanjutkan siklus hidupnya di manusia.

Sarcoptes scabiei berbentuk lonjong dan gepeng, berwarna putih kotor,

punggungnya cembung, bagian dadanya rata, dan tidak memiliki mata.

Tungau betina berukuran lebih besar dibandingkan tungau jantan,

yakni 0,3 - 0,45mm sedangkan tungau jantan berukuran 0,2 - 0,25mm.

Sarcoptes scabiei memiliki dua segmen tubuh yaitu bagian anterior

yang disebut nototoraks dan bagian posterior yang disebut notogaster.

Larva mempunyai tiga pasang kaki sedangkan nimfa memiliki empat

pasang kaki. Tungau dewasa mempunyai empat pasang kaki, dua

pasang kaki di bagian depan dan dua pasang kaki di bagian belakang.

Dua pasang kaki bagian belakang tungau betina dilengkapi dengan

rambut dan pada tungau jantan hanya pasangan kaki ketiga saja yang

berakhir dengan rambut sedangkan pasangan kaki keempatnya

dilengkapi dengan ambulakral (perekat). Alat reproduksi tungau betina

berbentuk celah di bagian ventral sedangkan pada tungau jantan

berbentuk huruf (Y) yang terletak di antara pasangan kaki keempat.

3. Patogenesis

Sarcoptes scabiei hidup di stratum korneum epidermis manusia dan

mamalia lainnya. Seluruh tahapan hidup tungau, yaitu larva,

protonimfa, tritonimfa dan tungau dewasa adalah parasit permanen

15
obligat yang membutuhkan cairan ekstraselular hospes yang merembes

ke dalam terowongan untuk bertahan hidup.

Sarcoptes scabiei telah lama hidup bersama manusia dan mamalia lain

serta berevolusi dan beradaptasi dengan berbagai mekanisme untuk

menghindari respons imun hospes baik bawaan maupun didapat.

Hospes menunjukkan respons imun tipe lambat terhadap skabies. Pada

manusia, gejala klinis berupa inflamasi kulit baru timbul 4 - 8 minggu

setelah terinfestasi. Respons imun yang lambat tersebut merupakan

dampak dari kemampuan tungau dalam memodulasi berbagai aspek

respons imun dan inflamasi hospes.

Sel epidermis seperti keratinosit dan sel langerhans merupakan sel

pertama yang menghadapi tungau skabies dan produknya. Respons

inflamasi bawaan dan didapat dari kulit hospes berperan sebagai

pertahanan lini pertama terhadap invasi, kelangsungan hidup dan

reproduksi tungau di dalam kulit. Tungau merangsang keratinosit dan

sel dendritik melalui molekul yang terdapat di dalam telur, feses,

ekskreta, saliva, dan cairan sekresi lain seperti enzim dan hormon,

serta aktivitas organ tubuh seperti chelicerae, pedipalps dan kaki

selama proses penggalian terowongan. Tubuh tungau mati yang

membusuk juga merangsang respons imun.

16
Sarcoptes scabiei memproduksi banyak saliva saat membentuk

terowongan dan merupakan sumber molekul yang dapat memodulasi

inflamasi atau respons imun hospes. Produk tungau yang menembus

dermis merangsang sel-sel seperti fibroblas, sel endotel mikrovaskular

serta sel imun seperti sel langerhans, makrofag, sel mast dan limfosit.

Diduga sel langerhans dan sel dendritik lain memproses antigen tungau

dan membawa antigen tersebut ke jaringan limfe regional yaitu tempat

respons imun didapat diinisiasi melalui aktivasi sel limfosit T dan

limfosit B.

4. Cara Penularan

Skabies dapat ditularkan melalui perpindahan telur, larva, nimfa, atau

tungau dewasa dari kulit penderita ke kulit orang lain namun dari

semua bentuk infektif tersebut tungau dewasalah yang paling sering

menyebabkan penularan. Sekitar 90% penularan skabies dilakukan

oleh tungau dewasa betina terutama yang gravid. Tungau tidak dapat

melompat atau terbang melainkan berpindah dengan merayap.

Kemampuan tungau untuk menginfestasi akan menurun seiring dengan

lamanya tungau berada di luar tubuh hospes.

Skabies dapat ditularkan secara langsung atau tidak langsung namun

cara penularan skabies yang paling sering adalah melalui kontak

langsung antar individu saat tungau sedang berjalan di permukaan

kulit. Kontak langsung adalah kontak kulit ke kulit yang cukup lama

17
misalnya pada saat tidur bersama. Kontak langsung jangka pendek

misalnya berjabat tangan dan berpelukan singkat tidak menularkan

tungau. Skabies lebih mudah menular secara kontak langsung dari

orang ke orang yang tinggal di lingkungan padat dan berdekatan

seperti di panti jompo, panti asuhan, pesantren dan institusi lain

dimana penghuninya tinggal dalam jangka waktu lama.

Tungau pindah dari penderita skabies ke hospes baru karena stimulus

aroma tubuh dan termotaksis dari hospes baru. Untuk menularkan

skabies, kedua stimulus tersebut harus adekuat dan cukup lama yaitu

sekitar 15 - 20 menit kontak langsung kulit ke kulit pada saat orang

tidur di kasur yang sama dengan penderita skabies atau pada saat

hubungan seksual. Pada orang dewasa, cara penularan tersering adalah

melalui hubungan seksual, sedangkan pada anak-anak penularan

didapat dari orang tua atau temannya. Anak - anak berpeluang lebih

besar menularkan skabies karena tingginya kontak interpersonal

terutama dengan saudara - saudaranya yang tinggal di tempat yang

sama dan dengan orang tuanya saat kontak fisik normal seperti ketika

berpelukan atau tidur bersama.

Tungau betina membuat terowongan di stratum korneum dan

meletakkan sekitar 4 - 5 butir telur setiap hari sampai enam minggu

sebelum mati. Perkembangan siklus hidup sarcoptes scabiei dari telur -

larva - nimfa sampai dewasa membutuhkan waktu dua minggu.

18
Penyakit skabies sering ditularkan melalui kontak langsung dari kulit

penderita yang berlangsung lama berkepanjangan. Transmisi skabies

dari penderita keorang lain dibutuhkan 15 - 20 menit dari kontak

langsung. Biasanya terjadi antara teman dekatnya atau anggota

keluarga. Skabies dapat ditularkan secara langsung (kontak kulit

dengan kulit) misalnya berjabat tangan, tidur bersama dan melalui

hubungan seksual. Penularan secara tidak langsung (melalui benda),

misalnya menggunakan pakaian, handuk, sprey, bantal dan selimut

ysng dipakai secara bersamaan. Penyakit ini sangat erat kaitannya

dengan kebersihan perseorangan dan lingkungan, atau apabila banyak

orang yang tinggal bersama – sama disatu tempat yang relatif sempit

(Nugraheni, 2016)

5. Gejala Klinis Skabies

Gatal merupakan gejala klinis utama pada skabies. Rasa gatal pada

masa awal infestasi tungau biasanya terjadi pada malam hari (pruritus

nokturna), cuaca panas, atau ketika berkeringat. Gatal terasa di sekitar

lesi, namun pada skabies kronik gatal dapat dirasakan hingga ke

seluruh tubuh. Gatal disebabkan oleh sensitisasi kulit terhadap ekskret

dan sekret tungau yang dikeluarkan pada waktu membuat terowongan.

Masa inkubasi dari infestasi tungau hingga muncul gejala gatal sekitar

14 hari.

19
Sarcoptes scabiei biasanya memilih lokasi epidermis yang tipis untuk

menggali terowongan misalnya di sela - sela jari tangan, pergelangan

tangan, penis, areola mammae, peri - umbilikalis, lipat payudara,

pinggang, bokong bagian bawah intergluteal, paha serta lipatan aksila

anterior dan posterior. Terowongan yang digali tungau tampak sebagai

lesi berupa garis halus yang berwarna putih keabu - abuan sepanjang 2

- 15mm, berkelok - kelok dan sedikit meninggi dibandingkan

sekitarnya. Di ujung terowongan terdapat papul atau vesikel kecil

berukuran <5mm tempat tungau berada. Di daerah beriklim tropis,

jarang ditemukan lesi terowongan, walaupun ada terowongan hanya

berukuran pendek sekitar 1 - 2mm. Lesi tersebut sulit ditemukan

karena sering disertai ekskoriasi akibat garukan dan infeksi sekunder

oleh bakteri. Meskipun demikian, terowongan dapat berada di tangan,

sela - sela jari tangan, pergelangan tangan dan pergelangan kaki. Pustul

tanpa lesi terowongan sering terdapat di genitalia eksterna. Pada

infestasi ringan, lokasi yang harus diperiksa adalah sela jari tangan dan

genitalia eksterna.

Pada orang dewasa, lesi skabies jarang ditemukan di leher, wajah, kulit

kepala yang berambut, punggung bagian atas, telapak kaki dan tangan;

namun pada bayi daerah tersebut sering terinfestasi bahkan lesi dapat

ditemukan di seluruh tubuh. Lesi skabies biasanya tidak terdapat di

kepala namun pada anak kecil dan bayi dapat ditemukan pustul yang

gatal. Gejala skabies pada anak biasanya berupa vesikel, pustul, dan

20
nodus, anak menjadi gelisah dan nafsu makan berkurang. Gambaran

klinis skabies pada anak - anak sering sulit dibedakan dengan infantile

acropustulosis dan dermatitis vesiko bulosa. Lesi terowongan jarang

atau bahkan tidak ditemukan.

Skabies menimbulkan rasa gatal hebat sehingga penderita sering

menggaruk dan timbul luka lecet yang diikuti dengan infeksi sekunder

oleh bakteri Group A Streptococci (GAS) serta Staphylococcus

Aureus. Infeksi tersebut menimbulkan pustul, ekskoriasi dan

pembesaran kelenjar getah bening. Pada infeksi sekunder oleh

staphylococcus aureus dapat timbul bula sehingga disebut skabies

bulosa. Di negara tropis sering terjadi infeksi bakteri sekunder dengan

lesi pustular atau krusta di daerah predileksi skabies dan pada anak -

anak lesi terdapat di wajah. Lesi infeksi sekunder tersebut mirip

dengan impetigo. Skabies dengan infeksi sekunder harus segera

ditatalaksana terlebih dahulu sebelum memberikan skabisida.

Tingkat keparahan skabies bergantung jumlah tungau dan

penatalaksanaannya. Jika diagnosis dan pengobatan tertunda, maka

jumlah tungau meningkat dan gejala menjadi lebih berat. Berat

ringannya kerusakan kulit tergantung pada derajat sensitisasi, lama

infeksi, kebersihan individu, dan riwayat pengobatan sebelumnya.

Pada stadium kronik, skabies mengakibatkan penebalan kulit

21
likenifikasi dan berwarna lebih gelap hiperpigmentasi (Prof. dr. Saleha

Sungkar, 2016).

6. Klasifikasi Skabies

Skabies dibedakan menjadi beberapa tipe (Harahap, 2000 dalam buku

Scholastica, 2018) :

a. Skabies cultivated

Skabies cultivated ditandai dengan lesi berupa papul dan

terowongan yang sedikit jumlahnya sehingga sangat sukar

ditemukan. Kutu biasanya hilang dengan mandi secara teratur.

b. Skabies nodular

Pada bentuk ini lesi berupa nodus cokelat kemerahan yang gatal.

Nodus ini timbul akibat reaksi hipersensitivitas terhadap tungau

skabies. Biasanya terdapat didaerah tertutup, terutama pada

genetalia laki - laki, inguninal, dan aksila. Nodus ini dapat menetap

beberapa minggu hingga lebih dari satu bulan bahkan satu tahun,

meskipun telah diberi pengobatan anti - skabies dan kortikosteroid.

c. Skabies pada bayi dan anak

Lesi skabies pada anak dapat mengenai seluruh tubuh, termasuk

seluruh kepala, leher, telapak tangan, dan telapak kaki. Akan tetapi,

torowongan jarang ditemukan karena sering terjadi infeksi

22
sekunder berupa impetigo atau eksim. Pada bayi, lesi terdapat di

muka.

d. Skabies pada klien bedrest

Penderita penyakit kronis dan orang tua yang terpaksa harus tinggal

di tempat tidur dapat menderita skabies yang lesinya terbatas.

e. Skabies incognito

Skabies incognito sering ditunjukan dengan gejala klinis yang tidak

biasa, distribusi atopic, dan lesi yang luas. Pemakaian obat steroid

topical atau sistemik dapat menyamarkan gejala dan tanda skabies,

tetapi tanda - gejala tetap ada dan dapat pula menyebabkan lesi

bertambah hebat. Hal ini mungkin disebabkan oleh penurunan

respons imun seluler.

f. Skabies yang ditularkan oleh hewan

Sarcoptes scabiei varian canis dapat menyerang manusia melalui

hewan. Misalnya peternak dan gembala. Gejala yang ditimbulkan

ringan, sedikit rasa gatal, tidak timbul terowongan, dan lesi timbul

pada tempat - tempat kontak. Skabies ini akan sembuh sendiri bila

menjauhi hewan tersebut dan mandi.

g. Skabies norwegia atau skabies krustosa

Skabies norwegia terjadi akibat difisiensi imunologik sehingga

sistem imun tubuh gagal membatasi proliferasi tungau sehingga

tungau dengan mudah berkembang biak. Skabies ini ditandai oleh

lesi yang luas dengan krusta, distrofi kuku, skuama generalisata,

23
dan hyperkeratosis yang tebal. Biasanya terdapat pada kulit kepala

yang berambut, telinga, bokong, siku, lutut, telapak tangan, dan

kaki. Lain halnya dengan skabies biasa, rasa gatal pada penderita

skabies norwegia tidak menonjol.

7. Diagnosa Skabies

Skabies dapat memberikan gejala khas sehingga mudah didiagnosis,

namun jika gejala klinisnya tidak khas, maka diagnosis skabies

menjadi sulit ditegakkan. Gejala klinis yang khas adalah keluhan gatal

hebat pada malam hari (pruritus nokturna) atau saat udara panas dan

penderita berkeringat. Erupsi kulit yang khas berupa terowongan,

papul, vesikel, dan pustul di tempat predileksi. Meskipun gejala

skabies khas, penderita biasanya datang berobat ketika sudah dalam

stadium lanjut dan tidak memiliki gejala klinis khas lagi karena telah

timbul ekskoriasi, infeksi sekunder oleh bakteri dan likenifikasi.

Masalah lain dalam diagnosis skabies adalah gejala klinis skabies

dapat menyerupai gejala penyakit kulit lain atau tertutup oleh penyakit

lain seperti ekzema dan impetigo sehingga diagnosis menjadi sulit.

Diagnosis mengandalkan gejala klinis kurang efisien dan hanya

memiliki sensitivitas kurang dari 50% karena sulit membedakan

infestasi aktif, reaksi kulit residual, atau reinfestasi. Deteksi

terowongan dengan tinta India sudah lama dilakukan, namun tes

24
tersebut tidak praktis sehingga jarang digunakan. Kesalahan diagnosis

mengakibatkan salah pengobatan dan menyebabkan penderita tidak

sembuh serta terus menerus menjadi sumber infeksi bagi

lingkungannya.

Diagnosis pasti skabies ditetapkan dengan menemukan tungau atau

telurnya dipemeriksaan laboratorium namun tungau sulit ditemukan

karena tungau yang menginfestasi penderita hanya sedikit. Menurut

Mellan dari 900 penderita skabies rata - rata hanya ditemukan 11

tungau per penderita dan pada sebagian besar penderita hanya

ditemukan 1 - 5 tungau per penderita. Pada penelitian di sebuah

pesantren di Jakarta ditemukan prevalensi skabies sebesar 72,6% tetapi

hanya ditemukan 8 tungau dari seluruh penderita.

Jika pada pemeriksaan laboratorium tidak ditemukan tungau atau

produknya, keadaan tersebut belum dapat menyingkirkan skabies

karena tungau mungkin berada di suatu lokasi yang tidak terjangkau

pada saat pengambilan sampel. Oleh karena itu, diagnosis skabies

perlu dipertimbangkan pada setiap penderita dengan keluhan gatal

yang menetap dan apabila diagnosis klinis telah ditegakkan maka dapat

diberikan terapi presumtif lalu dilihat responsnya. Penderita

dinyatakan positif menderita skabies apabila memberikan respons yang

baik terhadap skabisida. Meskipun demikian perlu diperhatikan bahwa

respons positif terhadap pengobatan skabies belum dapat

25
menyingkirkan penyakit kulit lain yang bukan skabies dan respons

negatif belum dapat menyingkirkan skabies karena mungkin terdapat

resistensi tungau terhadap skabisida. Karena sulit menemukan tungau

dan produknya pada pemeriksaan laboratorium maka diagnosis klinis

dapat ditetapkan apabila pada penderita terdapat dua dari empat tanda

kardinal skabies yaitu:

a. Pruritus nokturna.

b. Terdapat sekelompok orang yang menderita penyakit yang sama,

misalnya dalam satu keluarga atau di pemukiman atau di asrama.

c. Terdapat terowongan, papul, vesikel atau pustul di tempat

predileksi yaitu sela - sela jari tangan, pergelangan tangan, siku

bagian luar, lipat ketiak bagian depan, areola mamae (perempuan),

umbilikus, bokong, genitalia eksterna (lakilaki), dan perut bagian

bawah. Perlu diingat bahwa pada bayi, skabies dapat menginfestasi

telapak tangan dan telapak kaki bahkan seluruh badan.

d. Menemukan tungau pada pemeriksaan laboratorium.

8. Pengobatan Skabies

Prinsip pengobatan skabies adalah menggunakan skabisida topikal

diikuti dengan perilaku hidup bersih dan sehat baik pada penderita

maupun lingkungannya. Syarat skabisida ideal adalah efektif terhadap

semua stadium tungau, tidak toksik atau menimbulkan iritasi, tidak

berbau, serta tidak menimbulkan kerusakan atau mewarnai pakaian,

dan mudah diperoleh. Syarat lainnya adalah harga skabisida cukup

26
murah karena penderita skabies umumnya dari golongan ekonomi

lemah.

Pengolesan obat topikal umumnya selama 8 - 12 jam namun ada yang

perlu digunakan sampai lima hari berturut-turut, bergantung pada jenis

skabisida. Pada bayi dan anak kecil absorbsi obat lebih tinggi sehingga

pengolesan tidak dianjurkan saat kulit dalam keadaan hangat atau

basah setelah mandi. Apabila terdapat infeksi sekunder oleh bakteri,

perlu diberikan antibiotik topikal atau oral terlebih dahulu sesuai

indikasi dengan memerhatikan interaksi antar obat.

Pada umumnya, satu kali pengolesan skabisida topikal cukup untuk

menyembuhkan skabies. Meskipun demikian, untuk menentukan

apakah terapi skabies harus diulang perlu diperhatikan apakah obat

yang digunakan bersifat ovisida (membunuh telur) dan skabisida

(membunuh tungau) atau hanya bersifat skabisida. Selain itu, perlu

diperhatikan waktu dimulainya terapi awal, kemajuan kesembuhan

selama terapi, dan menghubungkannya dengan siklus hidup tungau.

Telur tungau menetas pada hari ketiga dan memerlukan waktu sekitar

delapan hari untuk menjadi tungau dewasa yang akan bertelur lagi.

Bila terapi hanya bersifat skabisida dan tidak ovisida maka telur yang

sempat diproduksi sebelum terapi dimulai, akan menetas dan

menginfestasi kembali setelah hari ketiga. Jika terapi bersifat skabisida

27
dan ovisida, maka terapi akan efektif membunuh semua stadium

tungau baik telur, larva, nimfa maupun tungau dewasa. Meskipun

demikian, karena terdapat periode laten klinis pengolesan skabisida

perlu diulang pada hari ketiga atau keempat sehingga dapat membunuh

tungau dari telur yang baru menetas dan belum sempat terbasmi pada

terapi pertama.

Semua skabisida topikal memiliki prinsip penggunaan yang sama dan

harus dipatuhi oleh penderita, tenaga kesehatan, atau orang lain yang

membantu mengoleskan skabisida. Oleh karena itu, penderita skabies

perlu diingatkan untuk membaca pedoman penggunaan skabisida

sebelum menggunakannya. Prinsip tersebut adalah pengolesan obat

sebaiknya dilakukan oleh penderita sendiri, namun boleh dibantu

orang lain bila lokasi lesi sulit dijangkau misalnya di punggung atau

bokong. Apabila pengolesan skabisida dibantu orang lain, misalnya

perawat atau anggota keluarga maka orang tersebut harus

menggunakan sarung tangan dan mencuci tangan dengan sabun setelah

membantu mengoleskan.

Sebelum mengoleskan skabisida, penderita skabies harus mandi

menggunakan sabun. Sabun dipakai ke seluruh bagian tubuh, bukan

hanya tangan, wajah, ketiak dan alat kelamin; lalu dibilas dengan

bersih. Setelah badan kering, skabisida dioleskan ke seluruh

permukaan kulit dari leher sampai ujung jari kaki. Perhatian khusus

28
diberikan ke lesi di tempat predileksi misalnya sela-sela jari tangan,

telapak tangan, pergelangan tangan, bokong, dan alat kelamin. Apabila

terhapus sebelum waktunya misalnya karena berwudhu atau mencuci

tangan maka obat harus dioleskan lagi. Setelah mencapai waktu yang

ditentukan, obat dibersihkan dari seluruh tubuh dengan mandi

memakai sabun. Selesai mandi, badan dikeringkan dengan handuk

bersih dan kering lalu handuk dijemur di bawah terik sinar matahari.

Pada bayi, anak di bawah lima tahun, orang berusia lanjut, dan

immunocompromised host, pengolesan skabisida di kepala harus

mencakup dahi, alis, kulit kepala, dan area belakang telinga. Kulit

kepala memang tidak selalu diinstruksikan untuk dioleskan skabisida

pada kasus skabies klasik karena di daerah tersebut jarang ditemukan

tungau. Meskipun demikian, kulit kepala tidak boleh dilupakan

terutama bila terapi awal gagal atau pada kasus skabies krustosa.

Skabisida dioleskan ke kulit di bawah kuku yang telah dipotong.

Pakaian dan perlengkapan tidur harus diganti selama dan setelah

terapi, serta dilakukan dekontaminasi. Skabisida topikal biasanya

berbentuk krim yang dikemas dalam tube berisi 30gram dan 60gram.

Untuk mengoleskan skabisida, perlu dihitung kebutuhan krim yang

akan dioleskan. Luas permukaan kulit orang dewasa diperkirakan

dengan prinsip satu telapak tangan sama dengan 1% luas permukaan

tubuh. Krim skabisida sebanyak satu ruas jari tangan diperkirakan

29
sama dengan 0,5 gram dan dapat digunakan untuk area kulit seluas dua

telapak tangan. Pada bayi dan balita, proporsi tubuhnya tidak seperti

orang dewasa sehingga perlu disesuaikan namun prinsipnya tetap

sama. Dengan menghitung luas permukaan kulit dan banyaknya krim

yang dibutuhkan untuk satu kali pengolesan, dapat dihitung berapa

banyak kemasan krim yang diresepkan untuk satu kali pengobatan ke

seluruh permukaan tubuh.

Kekurangan obat topikal adalah tidak nyaman digunakan karena terasa

lengket di kulit dan memiliki efek samping (misalnya rasa panas atau

rasa terbakar) sehingga dapat menurunkan kepatuhan menggunakan

obat. Pada skabies klasik target terapi adalah penderita dan semua

orang yang kontak erat dengan penderita meskipun tidak memiliki

gejala. Terapi untuk penderita skabies perlu dilakukan bersamaan

dengan anggota keluarga lain karena pada skabies terdapat periode

laten klinis yang dapat berlangsung hingga 6 minggu.

Penderita skabies yang sedang menjalani terapi dengan obat topikal

harus menerapkan gaya hidup bersih dan sehat terutama mandi dua

kali sehari memakai sabun, baik dengan sabun biasa atau antiseptik.

Mandi menggunakan sabun membantu menghilangkan tungau skabies

dan telur yang tersisa di permukaan kulit penderita. Sabun biasa dapat

membuang patogen yang menempel di kulit secara mekanik namun

tidak dapat membunuhnya. Sabun antiseptik biasanya memiliki zat

30
aktif triklosan dengan konsentrasi 0,1% dan 0,45% berat/volume.

Triklosan efektif terhadap bakteri dan jamur tetapi tidak efektif

terhadap virus. Pada percobaan laboratorium penggunaan triklosan

dalam konsentrasi tinggi dapat menurunkan jumlah bakteri

dibandingkan sabun biasa. Zat yang mirip dengan triklosan yaitu

triklokarban dipakai untuk sabun antiseptik berbentuk batang.

Tempat perawatan kesehatan sering memakai sabun cuci tangan

antimikroba atau antiseptik seperti klorheksidin atau triklosan

konsentrasi tinggi. Produk tersebut efektif membunuh bakteri, jamur,

dan virus. Selain itu antiseptik tersebut seringkali memiliki aktivitas

antimikroba residu di kulit yang akan bertahan untuk waktu cukup

lama setelah mencuci tangan. Sabun antiseptik diharapkan dapat

mengurangi infeksi sekunder di lesi skabies, namun perlu diperhatikan

bahwa sabun antiseptik dapat berinteraksi dengan permetrin dan

mengurangi penetrasi permetrin ke dalam kulit (Prof. dr. Saleha

Sungkar, 2016).

9. Prognosis

Dengan memperhatikan pemilihan dan cara pemakaian obat serta

syarat pengobatan dan menghilangkan faktor predisposisi, penyakit ini

dapat diberantas dan memberikan prognosis yang baik (Harahap, 2001

dalam buku Scholastica, 2018).

31
B. Konsep Pengetahuan

1. Pengetahuan/Kognitif (Knowledge)

Pengetahuan adalah hasil yang didapat setelah orang melalukan

penginderaan objek tertentu. Sebagian besar pengetahuan diperoleh

melalui mata dan telinga. Pengetahuan merupakan pedoman dalam

membentuk tindakan seseorang. Berdasarkan pengalaman, dapat

diperoleh bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan lebih

langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari pengetahuan.

Terkait proses adopsi perilaku (Rogert, dalam Maulana, 2009)

menyatakan bahwa sebelum individu mengadopsi perilaku baru

sehingga terjadi proses berurutan dalam dirinya. Proses tersebut

disebut AIETA atau awareness, interest, evaluation, trial, dan

adaption. Awareness adalah individu menyadari atau mengetahui

adanya stimulus/objek. Interest maksudnya seseorang mulai tertarik

pada stimulus. Evaluation yaitu menimbang baik dan buruknya

stimulus bagi dirinya. Trial adalah tahap saat seseorang mulai tertarik

pada stimulus. Terakhir, adaption ialah tahap saat seseorang telah

berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya

terhadap stimulus. Di penelitian berikutnya (menurut Rogert)

32
menyimpulkan bahwa proses adopsi atau perubahan perilaku tidak

selalu melalui tahap - tahap tersebut.

Pengetahuan diperoleh dari pengalaman sendiri atau pengalaman orang

lain. Seseorang memperoleh pengetahuan bahwa itu panas setelah

memperoleh pengalaman tangan atau kakinya kena api dan terasa

panas.

Ketegori pengetahuan yang dapat dipakai adalah :

1) Baik, bila > nilai rata - rata

2) Tidak baik, bila < nilai rata - rata (Mizal Tawi, 2008)

Berkaitan dengan tingkat pengetahuan dalam domain kognitif, ada

enam tingkatan didalamnya, yaitu tahu, memahami, aplikasi, analisis,

dan evaluasi.

1) Tahu (Know)

Tahu yang artinya adalah mengingat suatu materi yang telah

dipelajari atau rangsangan yang telah diterima sebelumnya. Tahu

menjadi tingkat pengethuan yang paling rendah. Kata kerja untuk

mengukur bahwa seseorang itu tahu adalah ia dapat menyebutkan,

menguraikan, mendefinisikan, dan menyatakan.

2) Memahami (Comprehension)

Memahami maksudnya adalah kemampuan untuk menjelaskan

secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat

menginterprestasikan materi tersebut secara benar. Orang yang

paham harus dapat menjelaskan, menyebutkan contohnya,

memyimpulkan dan meramalkan atau memprediksi.

33
3) Aplikasi (Aplication)

Aplikasi ini artinya adalah kemampuan menggunakan materi yang

telah dipelajari pada situasi atau kondisi rill atau sebenarnya.

Aplikasi disini dapat diartikan sebagai penggunaan hukum -

hukum, rumus, metode, dan prinsip dalam konteks atau situasi

nyata.

4) Analisis (Analysis)

Analisis yang memiliki arti kemampuan menjabarkan materi atau

objek kedalam bagian - bagian yang lebih tetapi masih dalam satu

struktur organisasi da nada kaitannya satu sama lain. Kemampuan

analisis dapat dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti dapat

menggambarkan, membuat bagan, membedakan, memisahkan, dan

mengelompokkan.

5) Sintesis (Synthesis)

Sintesis yaitu kemampuan meletakan atau menghubungkan bagian

- bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang baru atau

kemampuan menyusun formulasi baru dari formulasi yang sudah

ada. Contohnya antara lain dapat menyusun, merencanakan,

meringkas, dan menyesuaikan terhadap suatu teori atau rumusan

yang telah ada.

6) Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi yang berarti kemampuan untuk melakukan justifikasi atau

penilaian terhadap suatu materi atau objek. Evaluasi dilakukan

34
dengan menggunakan kriteria sendiri atau kriteria yang telah ada

(Induniasih & Wahyu Ratna, 2017).

2. Faktor Yang Mempengaruhi Pengetahuan

Menurut (Andayani, 2005), pengetahuan seseorang dapat dipengaruhi

oleh :

1) Pendidikan

Pendidikan adalah proses pengubahan sikap seseorang atau

kelompok, dan juga usaha mendewasakan seseorang melalui upaya

pengajaran dan pelatihan baik disekolah atau di luar sekolah.

Semakin tinggi pendidikan, maka semakin mudah seseorang

menerima pengetahuan.

2) Usia

Semakin banyak usia seseorang maka semakin bijaksana dan

banyak pengalaman.

3) Sumber Informasi

Seseorang yang mempunyai sumber informasi lebih banyak

mempunyai pengetahuan yang lebih luas.

4) Sumber Pengetahuan

Berbagai upaya yang dapat dilakukan oleh manusia untuk

memperoleh pengetahuan. Menurut (Irmayanti, 2007), upaya -

35
upaya serta cara - cara tersebut yang dipergunakan dalam

memperoleh pengetahuan yaitu :

a. Orang yang memiliki otoritas

Salah satu upaya seseorang mendapatkan pengetahuan yaitu

dengan bertanya pada orang yang memiliki otoritas atau yang

dianggap lebih tahu.

b. Indra

Indra adalah peralatan pada diri manusia sebagai salah satu

sumber internal pengetahuan.

c. Akal

Pengetahuan dapat diketahui secara pasti dan dengan sendirinya

karena potensi akal.

d. Intuisi

Salah satu sumber pengetahuan yang mungkin adalah intuisi

atau pemahaman yang langsung tentang pengetahuan yang

tidak merupakan hasil pemikiran yang sadar atau persepsirasa

yang langsung. Intuisi dapat berarti kesadaran tentang data -

data yang langsung dirasakan.

3. Hasil riset

Berdasarkan hasil riset dari Taufianie Rossita pada 2 Oktober 2019

dalam jurnal Hubungan Pengetahuan, Sumber Informasi dan Peran

Nakes Terhadap Perilaku Pencegahan Skabies Di Pesantren Pancasila

36
Kota Bengkulu. Distribusi frekuensi pengetahuan santri dapat

dijelaskan dibawah ini :

Diketahui bahwa dari 76 responden di Pesantren Pancasila Kota

Bengkulu pada tahun 2019, pengetahuan dibagi menjadi dua kategori

yaitu pengetahuan kurang baik dan pengetahuan baik, dengan hasil

santri yang memiliki pengetahuan kurang sebanyak 46 santri dengan

persentase 60,5%, sisanya 30 santri memiliki pengetahuan baik dengan

persentase 39,5%. Pengetahuan dalam penelitian ini dapat diukur

dengan menggunakan alat ukur yaitu kuesioner untuk menjawab

semua pertanyaan sebanyak 15 pertanyaan.

Tabel 2.1

Distribusi frekuensi pengetahuan santri

Variabel Frekuensi (f) Persentase (%)


Pengetahuan :
Kurang 46 60,5

Baik 30 39,5

C. Konsep Perilaku

Perilaku adalah faktor terbesar kedua setelah faktor lingkungan yang

mempengaruhi kesehatan individu, kelompok, dan masyarakat. Oleh

karena itu, untuk membina dan meningkatkan kesehatan masyarakat,

intervensi atau upaya yang ditunjukan kepada faktor perilaku sangatlah

penting dan strategis karena pengaruh yang dapat ditimbulkannya.

Berdasarkan beberapa hasil penelitian dan literatur, didapatkan bahwa

perilaku masyarakat yang erat kaitannya dengan upaya peningkatan

37
pengetahuan masyarakat melalui kegiatan yang disebut pendidikan

kesehatan.

Menurut (Green, dalam Maulana 2009;186) menyatakan bahwa

pendidikan kesehatan memiliki peran penting untuk mengubah dan

menguatkan faktor perilaku, mulai dari predisposisi, pendukung hingga

pendorong sehingga dapat menimbulkan perilaku positif dari masyarakat.

Hal tersebut menunjukan bahwa perilaku, pendidikan kesehatan, dan status

kesehatan masyarakat berada dalam suatu pola hubungan yang saling

mempengaruhi.

1. Pengertian perilaku

Dilihat dari sisi biologis, perilaku adalah suatu kegiatan atau aktifitas

organisme (makhluk hidup) yang bersangkutan. Dari sudut pandang

biologis, semua mahluk hidup, mulai dari tumbuhan, hewan, hingga

manusia, memiliki perilaku karena memiliki aktifitas masing - masing.

Perilaku manusia adalah semua tindakan atau aktifitas manusia, baik

yang dapat diamati langsung maupun yang tidak dapat diamati oleh

pihak luar.

Dilihat dari sisi psikologis, menurut (Skinner, dalam Maulana, 2009)

perilaku adalah respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus atau

rangsangan dari luar. Pengertian itu dikenal dengan teori S-O-R atau

stimulus-organisme-respons. Menurut Skinner membedakan respons

38
menjadi dua jenis, yaitu respondent response (reflektif) dan operant

response (instrumental response).

1) Respondent response atau reflektif

Respons ini adalah tanggapan yang ditimbulkan oleh rangsangan

stimulus tertentu. Stimulus macam ini disebut eliciting

stimulation yang menimbulkan respons atau tanggapan yang

relative tetap. Misalnya adalah keinginan untuk makan karena

melihat makanan yang lezat dan cahaya yang menyilaukan

menyebabkan mata tertutup. Respons ini juga termasuk respons

emosi atau perilaku emosional, seperti mendengar musibah

menjadi sedih dan menangis, gembira karena lulus ujian, dan

wajah berseri karena bertemu orang yang disukai. Jenis respons

ini keberadaannya sangat terbatas dan kemungkinan dimodifikasi

sangatlah kecil.

2) Operant response atau instrumental response

Respons atau tanggapan yang timbul dan berkembang kemudian

diikuti oleh stimulus atau perangsang tertentu. Contohnya adalah

seorang mehasiswa karena ketekunan dalam belajar (sebagai

respons terhadap tugas) akhirn ya memperoleh nilai sangat

memuaskan (sebagai stimulus baru), sehingga ia memperoleh

beasiswa kerena prestasinya baik dan ia akan lebih giat lagi

belajar agar terus mendapat beasiswa. Sebagian besar perilaku

manusia adalah operant respons.

39
Oleh sebab itulah, untuk membentuk jenis respons atau perilaku

perlu diciptakan suatu kondisi yang disebut operant conditioning,

yaitu dengan menggunakan urutan - urutan komponen penguat

berupa hadiah atau penghargaan.

Prosedur pembentukan perilaku dalam operant conditioning

menurut Skinner (Notoatmodjo, 2003) antara lain ada beberapa,

yaitu:

a. Melakukan pengenalan terhadap sesuatu sebagai penguat

berupa hadiah atau reward

b. Melakukan analisis untuk mengidentifikasi bagian - bagian

kecil pembentuk perilaku yang diinginkan dan selanjutnya

disusun dalam urutan yang tepat menuju terbentuknya perilaku

yang diinginkan

c. Menggunakan bagian - bagian kecil perilaku, seperti : bagian -

bagian perilaku disusun secara urut dan dipakai sebagai tujuan

sementara, mengenal penguat atau hadiah untuk tindakan

masing - masing bagian, membentuk perilaku dengan bagian -

bagian yang telah tersusun tersebut

d. Jika bagian perilaku pertama telah dilakukan, hadiah akan

diberikan sehingga tindakan tersebut sering dilakukan

e. Akhirnya, akan dibentuk perilaku kedua dan seterusnya sampai

terbentuk perilaku yang diharapkan

40
Pembagian perilaku jika dilihat dari bentuk respons terhadap stimulus

ada dua, yaitu perilaku tertutup dan perilaku terbuka. Perilaku tertutup

adalah respons seseorang terhadap stimulus sifatnya masih tertutup.

Respons ini masih sebatas perhatian, persepsi, pengetahuan atau

kesadaran, dan sikap yang terjadi pada oaring yang menerima stimulus

tersebut, seperti mengetahui bahaya rokok tetapi masih merokok,

mengetahui pentingnya belajar untuk keberhasilan kuliahnya, dan lain

- lain.

2. Klasifikasi perilaku kesehatan

Becker (1979) seperti yang dikutip oleh Notoatmodjo (2003)

menyebutkan bahwa perilaku yang berhubungan dengan kesehatan

dapat diklasifikasikan menjadi perilaku hidup sehat, perilaku sakit,

dan perilaku peran sakit perilaku hidup sehat adalah perilaku yang

berkaitan dengan uapaya mempertahankan dan meningkatkan

kesehatannya. Hal tersebut mencakup makan dengan menu seimbang,

olahraga teratur, tidak merokok, tidak minum - minuman keras, tidak

mengkonsumsi narkoba, istirahat cukup, dan mengendalikan stress.

Selain itu, perilaku atau gaya hidup lain yang positif bagi kesehatan

seperti tidak berganti - ganti pasangan seks dan adaptasi dengan

lingkungan.

Perilaku sakit adalah respons seseorang terhadap sakit dan penyakit,

persepsi terhadap sakit, pengetahuan tentang penyebab dan gejala

41
penyakit, pengobatan penyakit, dan usaha - usaha untuk mencegah

penyakit. Perilaku peran sakit adalah segala aktivitas individu yang

menderita sakit untuk memperoleh kesembuhan. Dari sisi sosiologi,

orang sakit mempunyai peran yang meliputi hak dan kewajiban orang

sakit.

Perilaku peran sakit meliputi beberapa hal. Pertama tindakan untuk

memperoleh kesembuhan. Kedua, mengenal atau mengetahui fasilitas

atau sarana pelayanan atau penyembuhan penyakit yang layak.

Ketiga, mengetahui hak, contohnya memperoleh perawatan dan

mendapat pelayanan kesehatan, dan kewajiban orang sakit, seperti

memberitahu penyakitnya pada oaring lain terutama petugas

kesehatan dan tidak menularkan penyakitnya pada orang lain.

3. Domain perilaku

Meskipun perilaku adalah bentuk respons atau reaksi terhadap

stimulus atau rangsangan dari luar organisme atau orang, tetapi dalam

memberikan respons sangat bergantung pada karakteristik atau faktor

- faktor lain dari oarng yang bersangkutan. Hal tersebut berarti bahwa

meskipun stimulusnya sama, tetapi respons setiap orang akan berbeda.

Faktor yang membedakan respons terhadap stimulus ini disebut

determinan perilaku.

42
Determinan perilaku dapat dibedakan menjadikan dua macam, yaitu

faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah

karakteristik dari orang yang bersangkutan yang bersifat bawaan,

seperti ras, sifat fisik, sifat kepribadian (pemalu, pemarah, penakut,

dan lain - lain), bakat bawaan, tingkat kecerdasan, dan jenis kelamin.

Faktor eksternal meliputi lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi,

dan politik. Faktor lingkungan sering dijadikan sebagai faktor yang

dominan terhadap perilaku seseorang. Hal itu menunjukan bahwa

perilaku manusia sangat kompleks dan unik. Perilaku merupakan hasil

bersama atau resultan antara faktor internal dan eksternal.

Benjamin bloom (dalam Notoatmodjo, 2003) membagi perilaku

manusia dalam tiga domain (ranah/kawasan), yaitu kognitif, afektif,

dan psikomotor. Urutan pembentukan perilaku baru khususnya pada

orang dewasa diawali oleh domain kognitif. Individu terlebih dahulu

mengetahui stimulus untuk menimbulkan pengetahuan, selanjutnya

timbul domain afektif dalam bentuk sikap terhadap objek yang

diketahuinya. Hingga akhirnya, setelah objek diketahui dan didasari

sepenuhnya, timbul respons berupa tindakan atau keterampilan

(domain psikomotor) (Induniasih & Wahyu Ratna, 2017).

4. Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku

43
Perilaku seseorang atau subjek dipengaruhi atau ditentukan oleh faktor

- faktor baik dari dalam maupun dari luar subjek. Menurut (Green,

1980 dalam Notoatmodjo, 2010), perilaku kesehatan terbagi tiga teori

penyebab masalah kesehatan yang meliputi :

1) Faktor predisposisi (predisposing factors)

Merupakan faktor yang mempermudah atau mempredisposisi

terjadinya perilaku seseorang, antara lain pengetahuan, sikap,

keyakinan, kepercayaan, nilai - nilai, tradisi. Pada seseorang

dengan pengetahuan rendah dan berdampak pada perilaku

perawatan dan penderitaan skabies. Seseorang dengan pengetahuan

yang cukup tentang perilaku kebersihan diri dan perawatan skabies

maka secara langsung akan bersikap positif dan menuruti aturan

kesehatan, disertai munculnya kenyakinan untuk sembuh, tetapi

terkadang masih ada yang percaya dengan pengobatan alternatif

bukan medis yang dipengaruhi oleh kebiasaan masyarakat yang

sudah membudaya.

2) Faktor pemungkin (Enabling factors)

Merupakan faktor yang memungkinkan atau memfasilitasi perilaku

atau tindakan artinya bahwa faktor pemungkin adalah sarana dan

prasarana atau fasilitas untuk terjadinya perilaku kesehatan, dimana

lingkungan yang jatuh atau jarak darin pelayanan kesehatan yang

memberikan kontribusi rendahnya perilaku perawatan pada

penderita skabies.

3) Faktor penguat (Reinforcing factors)

44
Adalah faktor - faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya

perilaku antara lain :

a. Dukungan petugas kesehatan

Dukungan petugas sangat membantu, dimana dengan adanya

dukungan petugas dari petugas sangatlah besar artinya bagi

seseorang dalam melalukukan perawatan kebersihan diri, sebab

petugas adalah yang mengontrol dan sering berinteraksi,

sehingga pemahaman terhadap kebersihan diri dan lingkungan

lebih baik (Purwanto, 1999).

b. Dukungan keluarga

Dukungan keluarga sangatlah penting karena keluarga

merupakan unit terkecil dalam masyarakat dan sebagai penerima

asuhan keperwatan. Oleh karena itu keluarga sangat berperan

dalam menentukan cara asuhan yang diperlukan oleh anggota

keluarga dalam memahami dan membiasakan perilaku

lebersihan diri yang baik, apabila dalam keluarga tersebut salah

satu anggota keluarganya ada yang sedang mengalami masalah

kesehatan maka sistem dalam keluarga akan terpengaruhi

(Friedman, 1998).

5. Hasil riset

Berdasarkan hasil riset dari Taufianie Rossita pada 2 Oktober 2019

dalam jurnal Hubungan Pengetahuan, Sumber Informasi dan Peran

Nakes Terhadap Perilaku Pencegahan Skabies Di Pesantren Pancasila

45
Kota Bengkulu. Distribusi frekuensi perilaku pencegahan penyakit

skabies santri dapat dijelaskan dibawah ini :

Diketahui bahwa dari 76 responden di Pesantren Pancasila Kota

Bengkulu pada tahun 2019, perilaku pencegahan penyakit skabies

dibagi menjadi dua kategori yaitu perilaku pencegahan penyakit

skabies kurang baik dan perilaku pencegahan penyakit skabies baik,

dengan hasil perilaku pencegahan penyakit skabies kurang baik

sebanyak 45 santri dengan persentase 59,2% dan sisanya 31 santri lain

memiliki perilaku pencegahan penyakit skabies yang baik dengan

persentase 40,8%. Perilaku pencegahan penyakit skabies dapat diukur

dengan menggunakan alat ukur kuesioner yaitu menjawab pertanyaan

sebanyak 15 pertanyaan. Hasil keseluruhan kuesioner di akumulasikan

dan dibagikan dengan jumlah responden sehingga didapatkan nilai

rata - ratanya.

Tabel 2.2

Distribusi frekuensi perilaku pencegahan penyakit skabies santri

Variabel Frekuensi (f) Persentase (%)


Perilaku :
Kurang 45 59,2

Baik 31 40,8

D. Hubungan Pengetahuan dengan Perilaku Pencegahan Penyakit

Skabies

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu yang terjadi setelah orang

melakukan penginderaan terhadap suatu objek. Penginderaan ini terjadi

melalui panca indera manusia yaitu indera penglihatan, pendengaran,

46
penciuman, perasa dan peraba. Sebagian besar pengetahuan manusia

diperoleh melalui mata dan telinga. Sebagian besar perilaku manusia

ditentukan oleh kemampuan berfikirnya. Semakin intelegent dan

berpendidikan, otomatis seseorang akan semakin baik perilakunya untuk

memenuhi keinginan atau kebutuhan dalam tindakan pencegahan penyakit

skabies.

Santri yang mempunyai pengetahuan yang baik tentang penyakit skabies

dan pencegahannya diharapkan dapat berpengaruh terhadap perilaku santri

dalam upaya pencegahan penyakit skabies di pondok pesantren tersebut.

E. Kerangka Teori

Kerangka teori menjelaskan secara singkat konsep teori yang mendasari

penelitian. Kerangka teori merupakan struktur logis pemahaman yang

mengarahkan peneliti pada konsep teori yang mendasari penelitian (Bruns

& Grove, 2009).

Berdasarkan teori diatas, maka dapat digambarkan skema kerangka teori

sebagai berikut :

47
Kerangka Teori

Bagan 2.1

Hubungan Pengetahuan Dengan Perilaku Pencegahan Penyakit Skabies

Faktor Predisposisi
(Predisposing factor)
- Pengetahuan
- Tingkat Pendidikan
- Sikap
- Kepercayaan
- Persepsi

Faktor Pemungkin
(Enabiling Factor) Perilaku
Pencegahan
- Ketersediaan fasilitas Penyakit Skabies
- Ketersediaan sarana
kesehatan

Faktor Penguat (Reinforcing


Facfor)
- Sikap dan perilaku
petugas kesehatan
- Sikap dan perilaku
pengurus pesantren

Sumber : Lawrence Green (1980) dalam Notoatmodjo 2010

48
BAB III

KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS DAN DEFINISI OPERASIONAL

A. Kerangka Konsep

Menurut (Nursalam, 2017) kerangka konsep penelitian merupakan abstraksi

dari suatu realitas sehingga dapat dikomunikasikan dan membentuk teori

yang menjelaskan keterkaitan antara variabel yang diteliti. Dalam penelitian

ini terdapat dua variabel yaitu : variabel independen (bebas) dan variabel

dependent (terikat).

1. Variabel bebas (independen variabel) adalah : variabel yang

mempengaruhi atau nilainya menentukan variabel lain (Nursalam, 2017).

Adapun variabel pada penelitian ini yaitu pengetahuan.

2. Variabel terikat (dependent variabel) adalah : variabel yang nilainya

ditentukan atau dipengaruhi oleh variabel lain (Nursalam, 2017). Adapun

variabel dalam penelitian ini yaitu perilaku pencegahan penyakit skabies.

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada bagan 3.1 dibawah ini :

Bagan 3.1 Kerangka Konsep

Hubungan Pengetahuan Dengan Perilaku Pencegahan Penyakit Skabies

Variabel Independen Variabel Dependen

Perilaku
Pencegahan
49 Penyakit Skabies
Pengetahuan

B. Hipotesis

Adanya hubungan pengetahuan terhadap perilaku pencegahan penyakit

skabies pada santri Pondok Pesantren Asshiddiqiyah 3 Karawang di Desa

Sukatani Kecamatan Cilamaya Wetan.

C. Definisi Operasional

Tabel 3.1. Definisi Operasional

Variabel Definisi Alat Cara Hasil Ukur Skala


Operasional Ukur Ukur Ukur

Variabel Dependen
Pengetahuan Pemahaman Kuesioner Angket 1 = Kurang Ordinal
responden Baik, jika
terhadap skor < rata -
penyakit rata (70,3)
skabies yang
meliputi : 2 = Baik, jika
- Pengertian skor > rata -
skabies rata (70,3)
- Penyebab
- Cara
penyebaran
- Tanda dan
gejala
- Cara
pencegahan
Variabel Independen

50
Perilaku Aktivitas para Kuesioner Angket 1 = Kurang Ordinal
Pencegahan santri dalam Baik, jika
Penyakit menjaga skor < rata -
Skabies kebersihan diri, rata (38,76)
yang meliputi :
- Kebersihan 2 = Baik, jika
kulit skor > rata -
- Kebersihan rata (38,76)
tangan dan
kuku
- Kebersihan
kaki
- Kebersihan
genetalia

51
BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

Bab ini menguraikan tentang metode penelitian atau cara yang akan digunakan

dalam penelitian berupa langkah - langkah teknis dan operasional pada penelitian

yang akan dilaksanakan. Metode penelitian tersebut meliputi desain penelitian,

populasi dam sampel, tempat dan waktu penelitian, etika penelitian, alat

pengumpulan data, uji validitas dan reliabilitas instrument, pengumpulan data dan

analisa data.

A. Desain Penelitian

Istilah rancangan penelitian digunakan dalam dua hal : pertama, rancangan

penelitian merupakan suatu strategi penelitian dalam mengidentifikasi

permasalahan sebelum perencanaan akhir pengumpulan data dan kedua,

rancangan penelitian digunakan untuk mendefinisikan struktur penelitian

yang akan dilaksanakan (Nursalam, 2017).

Desain penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitik dengan pendekatan

Cross Sectional yaitu peneliti melakukan pengukuran atau penelitian dalam

satu waktu. Peneliti menggunakan desain Cross Sectional karena peneliti

bermaksud mengidentifikasi ada atau tidaknya hubungan antara variabel

independen dengan variabel dependen dalam satu kali pengukuran

menggunakan alat ukur kuesioner. Jenis penelitian ini adalah korelasi atau

asosiasi, yaitu mengkaji hubungan antar variabel dan bertujuan untuk

52
mencari, menjelaskan suatu hubungan, memperkirakan dan menguji

berdasarkan teori yang ada (Nursalam, 2017).

Adapun variabel - variabel yang diteliti meliputi variabel independen yaitu

pengetahuan, sedangkan variabel dependennya adalah perilaku pencegahan

penyakit skabies.

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Tempat penelitian ini dilaksanakan di Pondok Pesantren Asshiddiqiyah 3

Karawang di Desa Sukatani Kecamatan Cilamaya Wetan, pada waktu akhir

bulan Februari 2020.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah subyek yang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan oleh

peneliti (Nursalam, 2017). Populasi dari penelitian ini adalah seluruh

santri Pondok Pesantren Asshiddiqiyah 3 Karawang di Desa Sukatani

Kecamatan Cilamaya Wetan tahun 2020 sebanyak 70 santri.

2. Sampel

Sampel terdiri atas bagian populasi terjangkau yang dapat dipergunakan

sebagai subjek penelitian melalui sampling (Nursalam, 2017). Sampel dari

penelitian ini adalah santri Pondok Pesantren Asshiddiqiyah 3 Karawang

di Desa Sukatani Kecamatan Cilamaya Wetan.

53
a. Teknik pengambilan sampel

Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini dengan menggunakan

teknik Total Sampling. Alasan menggunakan teknik Total Sampling

karena penelitian ini tidak menggunakan batasan karakteristik dan

mengambil seluruh populasi (Nursalam, 2017). Pengambilan sampel

dilakukan secara keseluruhan (Total sampling).

b. Besar sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah 70 responden. Dengan kriteria

inklusi :

1) Usia >12 tahun

2) Jenis Kelamin (P/L)

3) Bersedia menjadi responden

4) Responden berada ditempat

D. Etika Penelitian

Secara umum prinsip etika dalam penelitian atau pengumpulan data dapat

dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu prinsip manfaat, prinsip menghargai hak

subjek, dan prinsip keadilan (Nursalam, 2017).

Responden memperoleh penjelasan tentang maksud dan tujuan penelitian.

Responden diberikan surat pernyataan ketersediaan untuk berpartisipasi

dalam penelitian ini. Responden berhak untuk menolak menjadi peserta

penelitian, dan penolakan ini tidak mempengaruhi mutu pelayanan kesehatan

yang diterimanya atau hubungan dengan Pondok Pesantren Asshiddiqiyah 3

54
Karawang. Responden diperkenankan membatalkan persetujuan kapan saja

dalam pelaksanaan penelitian, dan data dari responden yang bersangkutan

tidak akan digunakan dalam penelitian ini. Identitas responden dijamin

kerahasiaannya dalam segala bentuk laporan penelitian.

1. Prinsip manfaat

1) Bebas dari penderitaan

Peneliti harus dilaksanakan tanpa mengakibatkan penderitaan kepada

subjek, khususnya jika menggunakan tindakan khusus.

2) Bebas dari eksploitasi

Partisipasi subjek dalam penelitian harus dihindarkan dari keadaan yang

tidak menguntungkan. Subjek harus diyakinkan bahwa partisipasinya

dalam penelitian atau informasi yang telah diberikan, tidak akan

dipergunakan dalam hal-hal yang dapat merugikan subjek dalam bentuk

apapun.

3) Risiko (benefits ratio)

Peneliti harus hati - hati mempertimbangkan risiko dan keuntungan

yang akan berakibat kepada subjek pada setiap tindakan.

2. Prinsip menghargai hak asasi manusia

1) Hak untuk ikut/ tidak menjadi responden (right to self determination)

Subjek harus diperlakukan secara manusiawi. Subjek mempunyai hak

memutuskan apakah mereka bersedia menjadi subjek ataupun tidak.

Tanpa adanya sangsi apapun atau akan berakibat terhadap

kesembuhanya, jika mereka seorang klien.

55
2) Hak untuk mendapatkan jaminan dari perlakuan yang di berikan (right

to full disclosure)

Seorang peneliti harus memberikan penjelasan secara terperinci serta

bertanggung jawab jika ada sesuatu yang terjadi kepada subjek.

3) Informed consent

Subjek harus mendapatkan informasi secara lengkap tentang tujuan

penelitian yang akan dilaksanakan, mempunyai hak bebas berpartisipasi

atau menolak menjadi responden. Pada inform consent juga perlu

dicantumkan bahwa data yang diperoleh hanya akan dipergunakan

untuk pengembangan ilmu.

3. Prinsip keadilan (right to justice)

1) Hak dijaga kerahasianya (right to privacy)

Subjek mempunyai hak untuk meminta bahwa data yang diberikan

harus dirahasiakan, untuk itu perlu adanya tanpa nama (Anonymity)

dan rahasia (confidentiality) (Nursalam, 2017).

2) Hak untuk mendapatkan pengobatan yang adil (right in fair treatment)

Subjek harus diperlukan secara adil baik sebelum, selama, sesudah

keikutsertaannya data penelitian tanpa adanya diskriminasi apabila

ternyata mereka tidak bersedia atau dikeluarkan dari penelitian.

56
E. Prosedur Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini proses pengumpulan data diperoleh setelah sebelumnya

mendapatkan izin dari pihak Pondok Pesantren Asshiddiqiyah 3 Karawang

untuk mengadakan penelitian. Sebagai langkah awal penelitian, peneliti akan

menyeleksi responden dengan berpedoman pada kriteria inklusi yang sudah

ditentukan dan menghitung besar sampelnya dengan menggunakan rumus.

Setelah mendapatkan responden yang dikehendaki maka langkah selanjutnya

adalah meminta persetujuan dari responden penelitian (santri) dengan

memberikan surat persetujuan menjadi responden (informed consent).

Setelah mendapatkan persetujuan dari responden, dilakukan observasi awal

dengan wawancara terstruktur dan memberikan kuesioner kepada responden

berkaitan dengan pengetahuan dengan perilaku pencegahan penyakit skabies.

1. Jenis Data

Jenis data dalam penelitian ini berupa data kualitatif, yang diperoleh dari

wawancara menggunakan kuesioner dan observasi secara langsung

mengenai pengetahuan dan perilaku pencegahan penyakit skabies.

Penelitian ini berdasarkan dara primer yaitu data yang langsung

dikumpulkan berasal langsung dari responden. Untuk mengetahui

validitas dan reabilitas dari variabel pengetahuan dan perilaku pencegahan

penyakit skabies maka dilakukan uji validitas dan reabilitas dengan

jumlah sampel sebesar 30 orang pada kelompok responden yang memiliki

sama karakteristiknya. Adapun rumus yang digunakan adalah :

57
r =N ¿ ¿

Untuk mengetahui apakah nilai korelasi signifikan, maka nilai korelasi

hitung (r hitung) dibandingkan dengan nilai r pada tabel. Jika nilai r

hitung > dari r tabel maka item tersebut adalah valid.

a. Uji Validitas

Menurut Sugiyono (2016) menunjukan derajat ketepatan antara data

yang sesungguhnya terjadi pada objek dengan data yang dikumpulkan

oleh peneliti untuk mencari validitas sebuah item, kita

mengkorelasikan skor item dengan total item - item tersebut

b. Uji Reliabilitas

Uji Reliabilitas adalah sejauh mana hasil pengukuran dengan

menggunakan objek yang sama akan menghasilkan data yang sama

(Sugiyono, 2012).

2. Cara Pengumpulan Data

Pengumpulan data adalah suatu proses pendekatan kepada subjek dan

proses pengumpulan karakteristik subjek yang diperlukan dalam suatu

penelitian. Langkah - langkah dalam pengumpulan data tergantung pada

rancangan penelitian dan teknik instrumen yang digunakan (Nursalam,

2017).

58
Observasi langsung yaitu dengan melihat langsung keadaan dan

kebersihan tidur, kamar mandi, bak mandi saluran air limbah, dan tempat

sampah.

Responden dibagi menjadi dua kelas, peneliti dibantu oleh staf Pondok

Pesantren yang sebelumnya dijelaskan tentang cara pengisian kuesioner,

kuesioner disebar kepada responden dengan waktu yang bersamaan,

dimana kuesioner tersebut tentang pengetahuan dan perilaku pencegahan

penyakit skabies, sebelumnya responden diberikan penjelasan terlebih

dahulu tentang maksud dan tujuan serta cara pengisian kuesioner. Dan

melakukan observasi langsung yaitu dengan melihat langsung keadaan

dan kebersihan tidur, kamar mandi, bak mandi saluran air limbah, dan

tempat sampah.

F. Pengolahan Data

Pengolahan data yang diperoleh dari kuesioner yang terstruktur atau tertutup

melalui 4 tahapan (Nursalam, 2016) :

1. Editing

Adalah memeriksa dan menyesuaikan data dengan rencana semula seperti

yang diinginkan. Langkah dalam penelitian ini dilakukan untuk

mengantisipasi kesalahan - kesalahan dari data yang telah dikumpulkan,

juga untuk memonitoring jangan sampai terjadi kekosongan dari data

yang dibutuhkan.

59
2. Coding

Adalah mengklasifikasi jawaban dari responden menurut kriteria tertentu.

Klasifikasi pada umumnya ditandai dengan kode tertentu yang biasanya

berupa angka.

3. Scoring

Adalah penentuan jumlah skor berdasarkan jawaban dari responden pada

lembar kuesioner.

4. Tabulasi

Adalah proses penyusunan data ke dalam tabel. Pada tahap ini data

dianggap telah selesai diproses sehingga harus segera disusun dalam satu

format yang telah dirancang.

G. Analisa Data

Analisis data merupakan bagian yang penting untuk mencapai tujuan dari

penelitian dalam menjawab pertanyaan - pertanyaan penelitian yang

berdasarkan data yang diperlukan (Nursalam, 2017).

1. Analisa Univariat

Definisi Analisa Univariat adalah analisa yang dilakukan terhadap tiap

variabel dari hasil penelitian. Analisis data dengan menggunakan analisa

univariat, yaitu analisa data satu variabel dengan menghasilkan distribusi

frekuensi dan presentase dari tiap variabel.

2. Analisa Bivariat

Rumus Uji Chi Square :

x 2=¿

60
Keterangan :

x2 : Nilai chi - kuadrat

fe : Frekuensi yang diharapkan

f0 : Frekuensi yang diperoleh/diamati

Definisi Analisa Bivariat adalah analisa yang dilakukan terhadap dua

variabel yang diduga berhubungan atau berkolerasi. Dalam penelitian ini

kedua variabel yang diuji menggunakan uji Chi Square. Analisa yang

dilakukan adalah analisis bivariat, yaitu dengan mengetahui adanya

pengaruh variabel dependent dan variabel independent menggunakan

tabel silang, serta untuk melakukan identifikasi variabel yang bermakna

menggunakan uji statistik Chi Square dengan derajat kemaknaan 95%,

artinya apabila nilai P.value kurang dari 0.05 (P≤0.05) berarti secara

signifikan ada pengaruh antara variabel independent dan variabel

dependent, dan apabila P.value lebih dari 0.05 (P≥0.05) berarti tidak ada

pengaruh dengan variabel independent.

61

Anda mungkin juga menyukai