Anda di halaman 1dari 84

STIKes KHARISMA KARAWANG

HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN MOTIVASI TERHADAP KEPATUHAN

MINUM OBAT PENDERITA TUBERCULOSIS DI PUSKESMAS

KECAMATAN PANGKALAN

PROPOSAL RISET

Sulaeman

0433131420116044

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU

KESEHATAN KHARISMA KARAWANG

2020
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar belakang masalah

Tuberculosis (TB) adalah salah satu dari 10 penyebab kematian di dunia.

Menurut WHO (2017) pada tahun 2016 diperkirakan ada 10,4 juta kasus

TB dan 1,3 juta orang meninggal akibat TB. Sebagian besar diperkirakan

terjadi di wilayah Asia Tenggara (45%), Afrika (25%), dan wilayah

Pasifik Barat (17%). Proporsi yang lebih kecil terjadi di wilayah

Mediterenia Timur (7%), Eropa (3%), dan Amerika (3%). Perkiraan kasus

TB terbesar terjadi di India, Indonesia, Cina, Filipina, dan Pakistan dengan

(56%) (Berliana dkk, 2020)

Di Indonesia jumlah kasus TB Paru pada tahun 2018 ditemukan sebanyak

566.623 kasus, meningkat bila dibandingkan semua kasus TB yang

ditemukan pada tahun 2017 yang sebesar 446.732 kasus. Jumlah kasus

tertinggi yang dilaporkan terdapat di provinsi dengan jumlah penduduk

yang besar yaitu Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah. Kasus TB di

tiga provinsi tersebut sebesar 44% dari jumlah seluruh kasus tuberkulosis

di Indonesia. Adapun kasus tuberkulosis pada laki-laki lebih tinggi dari

pada perempuan yaitu 1,3 kali dibandingkan pada perempuan. Jika di

kelompokan berdasarkan umur pada tahun 2018 kasus TB paling banyak

ditemukan pada kelompok umur 45-54 tahun yaitu sebesar 14,2% di ikuti
kelompok umur 25-34 tahun sebesar 13,8% dan pada kelompok umur 35-

44 tahun sebesar 13,4%. (Kemenkes RI, 2018)

Di Jawa Barat jumlah kasus TB pada tahun 2017 yang dilaporkan

sebanyak 82.063 kasus, meningkat dibandingkan tahun 2016 yaitu sebesar

72.558 kasus. Kasus TB tertinggi terdapat di tiga Kabupaten-Kota yaitu

Kota Bandung, Kabupaten Bogor dan Kabupaten Bandung, kasus TB di

tiga Kabupaten-Kota tersebut berkisar antara 9-12 % (Dinkes Jabar, 2017)

Di Karawang jumlah penderita TB sebanyak 2044 orang. Jumlah

terbanyak yaitu berada di Kecamatan Cikampek sebanyak 230 orang,

Rangasdengklok 189 orang dan Kota Baru 155 orang ( Dinkes kabupaten

karawang, 2019)

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksius yang terutama menyerang

parenkim paru. Tuberkulosis dapat juga di tularkan ke bagian tubuh

lainnya, termasuk meninges, ginjal, tulang dan nodus limfe. Agens

infeksius utama Mycobacterium Tuberculosis adalah batang aerobik tahan

asam yang tumbuh dengan lambat dan sensitif terhadap panas dan sinar

ultraviolet. (Smeltzer & Suzanne, 2013 )

Sumber utama penularan penyakit ini adalah seseorang menghirup

Mycobacterium Tuberculosis ketika pasien TB BTA positif batuk atau

bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak


(Droplet Nuclei). Umumnya, penularan terjadi dalam ruangan dimana

dahak berada dalam waktu yang lama. Percikan dapat bertahan selama

beberapa jam dalam keadaan gelap dan lembap (Wardani, 2011 dalam

Kardiyudiani dkk, 2019)

Kepatuhan minum obat adalah tindakan penderita untuk meminum obat

TB Paru secara teratur untuk kesembuhan terutama untuk memutuskan

rantai penularan. Keteraturan minum obat dikategorikan teratur minum

obat apabila tidak pernah lalai atau lupa minum obat anti tuberkulosis

selama 14 hari berturut-turut pada fase awal (2 bulan) dan 14 hari berturut-

turut pada fase lanjutan (4 bulan). Tidak teratur apabila penderita pernah

lalai atau lupa minum OAT selama 14 hari berturut-turut pada fase awal

dan pada fase lanjutan. ( Basra dkk, 2018 )

Berdasarkan hasil penelitian Gurning dkk, (2019) dari 105 responden

didapatkan bahwa ketidakpatuhan minum obat lebih banyak dari pada

kepatuhan yaitu dengan katagori tidak patuh sebanyak 56 orang dengan

persentase (53,3%) dan katogori patuh sebanyak 49 orang dengan

persentase (46,7%)

Salah satu penyebab ketidakpatuhan minum obat di akibatkan oleh efek

samping seperti, mual, gangguan pendengaran dan kelelahan (Pujiastutik

dkk, 2019)
Dampak ketidakpatuhan minum obat mengakibatkan terjadinya kegagalan

dalam pengobatan, hal ini sangat berpotensi meningkatkan kemungkinan

terjadinya resistensi obat atau yang di sebut dengan Multi Drugs Resistant

(MDR) TB. Apabila terjadi resistensi terhadap obat maka biaya yang

dikeluarkan untuk pengobatan akan lebih banyak dan juga waktu yang

diperlukan untuk kesembuhan akan lebih lama (Himawan dkk, 2015 dalam

Widianingrum, 2017)

Ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi tingkat kepatuhan seseorang

untuk meminum obat, yaitu antara lain: usia, pekerjaan, waktu luang,

pengawasan, jenis obat, dosis obat, dan penyuluhan dari petugas

kesehatan. Pengetahuan juga menjadi salah satu faktor kepatuhan

seseorang dalam minum obat, semakin baik pengetahuan maka semakin

patuh pasien untuk menum obat (Bagiada dkk, 2015 dalam Mamahit dkk,

2019)

Berdasarkan hasil penelitian Gurning dkk (2019) dari 105 responden

didapatkan bahwa pengetahuan pasien terhadap kepatuhan minum obat

pada kategori cukup lebih banyak dari pada kurang yaitu dengan katagori

cukup berjumlah 55 orang dengan fersentase (52,4%) dan kategori kurang

berjumlah 50 orang dengan persentase (47,6%)


Serta hasil penelitian Gurning dkk (2019) dengan judul “Hubungan

pengetahuan dan motivasi dengan kepatuhan minum obat pada pasien

TBC Paru di Poli TB RSUD scholoo keyen” di dapatkan kesimpulan

bahwa ada hubungan antara pengetahuan dengan kepatuhan minum obat

pada pasien TBC Paru di Poli TB RSUD Scholoo Keyen dengan nilai p

value (0,01 < 0,05)

Selain itu motivasi merupakan kunci menuju keberhasilan, semakin tinggi

motivasi maka akan semakin patuh pasien TB dalam minum obat dan

sebalinya, semakin rendah motivasi maka semakin tidak patuh pasien TB

dalam minum obat (Gurning, dkk 2019)

Berdasarkan hasil penelitian Gurning dkk, (2019) dari 105 responden

didapatkan bahwa motivasi pasien terhadap kepatuhan minum obat pada

kategori kurang lebih banyak dari pada cukup yaitu dengan katagori

kurang berjumlah 62 orang dengan fersentase (59,0%) dan kategori

cukup berjumlah 43 orang dengan persentase (41,0%)

Adapun hasil penelitian Gurning dkk, (2019) dengan judul “Hubungan

pengetahuan dan motivasi dengan kepatuhan minum obat pada pasien

TBC Paru di Poli TB RSUD scholoo keyen” di dapatkan kesimpulan

bahwa ada hubungan motivasi dengan kepatuhan minum obat pada

penderita TB Paru dengan nilai p (0.0001) < α (0.05 )


Peran perawat pada kasus ini yaitu untuk meningkatkan kepatuhan minum

obat anti tuberkulosis antara lain dengan cara memberikan edukasi kepada

pasien tentang pentingnya kepatuahan minum obat anti tuberkulosis pada

waktu yang telah di tentukan (Pujiastutik dkk, 2019)

Berdasarkan hasil studi pendahuluan populasi penyakit TBC di wilayah

Puskesmas Kecamatan Pangkalan didapatkan data sebanyak 58 jiwa, data

ini diambil 1 tahun terakhir. Dari januari-desember di tahun 2019. Survei

awal yang dilakukan oleh peneliti dengan mewawancarai 10 orang

penderita TB di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Pangkalan pada

tanggal 11 maret 2020 didapatkan hasil 4 dari 10 pasien TBC mengatakan

tidak tahu dampak ketika tidak minum obat anti tuberkulosis serta tidak

tahu efek samping ketika minum obat dan di dapatkan 7 dari 10 pasien

pendidikan mereka sampai dengan SMP serta 6 dari 10 pasien

mengatakan terkadang suka mengeluh karena harus minum obat secara

teratur minimal selama 6 bulan.

Berdasarkan uraian masalah di atas, maka peneliti tertarik untuk

melakukan penelitian tentang “Hubungan pengetahuan dan motivasi

terhadap kepatuhan minum obat penderita tuberkulosis di wilayah kerja

Puskesmas Kecamatan Pangkalan Kabupaten karawang”.


B. Rumusan masalah

Tuberculosis (TB) adalah salah satu dari 10 penyebab kematian di dunia.

Sumber utama penularan penyakit ini adalah pasien TB BTA positif. Pada

saat pasien batuk atau bersin pasien menyebarkan kuman ke udara dalam

bentuk percikan dahak (Droplet Nuclei). Kepatuhan minum obat

merupakan tindakan penderita untuk meminum obat TB secara teratur

untuk kesembuhan terutama untuk memutuskan rantai penularan. Dampak

ketidakpatuhan minum obat mengakibatkan terjadinya kegagalan dalam

pengobatan dan hal ini sangat berpotensi meningkatkan kemungkinan

terjadinya resistensi obat atau Multi Drugs Resistant. Berdasarkan data di

atas diketahui ketidakpatuhan pasien terhadap minum obat lebih banyak

dari pada patuh. Selain itu pengetahuan menjadi salah satu faktor

kepatuhan seseorang dalam minum obat, semakin baik pengetahuan maka

semakin patuh pasien untuk minum obat. Serta motivasi merupakan kunci

menuju keberhasilan, semakin tinggi motivasi maka akan semakin patuh

pasien TB dalam minum obat dan sebalinya, semakin rendah motivasi

maka semakin tidak patuh pasien TB dalam minum obat. Berdasarkan

hasil uraian latar belakang di atas maka dapat di simpulkan rumusan

masalah dari penelitian ini adalah “Hubungan pengetahuan dan motivasi

terhadap kepatuhan minum obat penderita tuberkulosis di wilayah kerja

Puskesmas Kecamatan Pangkalan Kabupaten Karawang”


C. Tujuan penelitian

1. Tujuan umum

Untuk mengetahui hubungan pengetahuan dan motivasi terhadap

kepatuhan minum obat penderita tuberkulosis di wilayah kerja

Puskesmas Kecamatan Pangkalan Kabupaten Karawang Tahun 2020.

2. Tujuan khusus

a. Untuk mengetahui distribusi frekuensi pengetahuan penderita

tuberkulosis di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Pangkalan

Kabupaten Karawang Tahun 2020

b. Untuk mengetahui distribusi frekuensi motivasi penderita

tuberkulosis di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Pangkalan

Kabupaten Karawang Tahun 2020

c. Untuk mengetahui distribusi frekuensi kepatuhan minum obat

penderita tuberkulosis di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan

Pangkalan Kabupaten Karawang Tahun 2020

d. Untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan dengan kepatuhan

minum obat pada penderita tuberkulosis di wilayah Kerja

Puskesmas Kecamatan Pangkalan Kabupaten Karawang Tahun

2020

e. Untuk mengetahui hubungan antara motivasi dengan kepatuhan

minum obat pada penderita tuberkulosis di wilayah Kerja

Puskesmas Kecamatan Pangkalan Kabupaten Karawang Tahun

2020
D. Manfaat penelitian

1. Manfaat bagi pelayanan kesehatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu pelayanan kesehatan

memberikan informasi tentang kepatuan minum obat penderita

tuberkulosis

2. Bagi penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan bisa dijadikan bahan referensi bagi

peneliti dengan fokus kepatuhan minum obat penderita tuberkulosis

3. Bagi institusi pendidikan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan tambahan

pengetahuan dan sumber pembelajaran untuk mahasiswa serta dapat

dijadikan bahan referensi selanjutnya


BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Konsep Tuberkulosis

1. Definisi

Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi yang disebabkan

Mycobacterium Tuberculosis yaitu suatu zat tahan asam. Tuberkulosis

sering dianggap sebagai penyakit yang dapat dicegah dan

disembuhkan, tetapi TB adalah penyakit yang secara konstan menuntut

survelens dari masyarakat (Kardiyudiani dkk, 2019)

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksius yang terutama menyerang

parenkim paru. Tuberkulosis dapat juga di tularkan ke bagian tubuh

lainnya, termasuk meninges, ginjal, tulang dan nodus limfe. Agens

infeksius utama Mycobacterium Tuberculosis adalah batang aerobik

tahan asam yang tumbuh dengan lambat dan sensitif terhadap panas

dan sinar ultraviolet. (Smeltzer & Suzanne, 2013 )

2. Klasifikasi

a. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit:

1) Tuberkulosis paru. TB yang terjadi pada parenkim (jaringan)

paru. Milier TB dianggap sebagai TB paru karena ada lesi pada

jaringan paru. Limfadenitis TB di rongga dada (hilus dan atau


mediastinum) atau efusi pleura tanpa terdapat gambaran

radiologi yang mendukung TB pada paru, dinyatakan sebagai

TB ekstra paru. Pasien yang menderita TB paru dan sekaligus

juga menderita TB ekstra paru, diklasifikasikan sebagai pasien

TB paru.

2) Tuberkulosis ekstra paru. TB yang terjadi pada organ selain

paru, misalnya: pleura, kelenjar limfe, abdomen, saluran

kencing, kulit, sendi selaput otak, dan tulang. Diagnosis TB

ekstra paru dapat ditentukan berdasarkan hasil pemeriksaan

bakteriologi klinis. Diagnosis TB ekstra paru harus diupayakan

berdasarkan penemuan Mycobacterium Tuberculosis. Pasien TB

ekstra paru yang menderita TB pada beberapa organ

diklasifikasikan sebagai pasien TB ekstra paru pada organ yang

menunjukkan gambaran TB yang terberat

b. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya

1) Pasien baru TB: adalah pasien yang belum pernah mendapatkan

pengobatan TB sebelumnya atau sudah pernah mengonsumsi

OAT tetapi kurang dari 1 bulan (<dari 28 dosis)

2) Pasien yang pernah diobati TB: adalah pasien yang sebelumnya

pernah menelan OAT selama 1 bulan atau lebih (>28 dosis)

3) Pasien ini selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan pengobatan

TB yang terakhir, yaitu:


a) Pasien kambuh

Adalah pasien TB yang pernah dinyatakan sembuh setelah

menjalani perawatan lengkap dan saat ini didiagnosis TB

berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologi atau klinis (baik

karena benar-benar kambuh atau karena infeksi)

b) Pasien yang diobati kembali setelah gagal

Adalah pasien TB yang pernah diobati dan gagal pada

pengobatan terakhir.

c) Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat

Adalah pasien yang pernah diobati dan dinyatakan hilang

untuk ditindaklanjuti (klasifikasi ini sebelumnya dikenal

sebagai pengobatan pasien setelah putus berobat).

d) Lain-lain

Adalah pasien TB yang pernah diobati tapi hasil akhir

pengobatan sebelumnya tidak diketahui

c. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat.

Pengelompokan pasien TB berdasarkan hasil uji kepekaan, contoh

uji dari Mycobacterium Tuberculosis terhadap OAT dan dapat

berupa:

1) Mono resistan (TB MR): resistan terhadap salah satu jenis OAT

lini pertama saja.


2) Poli resistan (TB PR): resistan terhadap lebih dari satu jenis

OAT lini pertama selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara

bersamaan.

3) Multidrug resistan (TB MDR): resistan terhadap Isoniazid (H)

dan Rifampisin (R) secara bersamaan.

4) Exstensif Drag Resistansi (TB XDR): adalah TB MDR yang

sekaligus juga resistan terhadap salah satu OAT golongan

fluorokuinolon dan minimal salah satu dari OAT lini kedua jenis

suntikan (kanamisin, kapreomisin, dan amikasin)

5) Resistan Rifampisin (TB RR): resistan terhadap rifampisin

dengan atau tanpa resistensi terhadap OAT lain yang lain

terdeteksi menggunakan metoe genotip (tes cepat) atau metode

fenotip (konvensional)

d. Klasifikasi pasien TB berdasarkan status HIV

1) Pasien TB dengan HIV positif

pasien TB dengan hasil tes HIV positif sebelum atau sedang

mendapatkan ART atau hasil tes HIV positif pada saat

diagnosis TB.

2) Pasien TB dengan HIV negatif

pasien TB dengan hasil tes HIV negatif sebelumnya atau hasil

tes HIV negatif pada saat diagnosis TB.


3) Pasien TB dengan status HIV tidak diketahui

Pasien TB tanpa ada bukti pendukung hasil tes HIV saat

diagnosis ditetapkan (Kardiyudiani dkk, 2019)

3. Etiologi

Tuberkulosis (TBC) disebabkan oleh sejenis bakteri yang disebut

Mycobacterium Tuberculosis. Penyakit ini menyebar saat penderita TB

batuk atau bersin dan orang lain menghirup Droplet yang dikeluarkan

yang mengandung bakteri TB. Meskipun TB menyebar dengan cara

yang sama dengan flu, penyakit ini tidak menular dengan mudah,

dibutuhkan kontaks beberapa jam dengan penderita orang yang

terinfeksi. Misalnya, infeksi TBC biasanya menyebar antaranggota

keluarga yang tinggal di rumah yang sama (Kardiyudiani dkk, 2019)

4. Faktor Risiko

a. Kontak yang dekat dengan seseorang yang memiliki TB aktif.

b. Status imunocompromized (penurunan imunitas) (misalnya, lansia,

kanker, terapi kortikosteroid, dan HIV).

c. Penggunaan narkoba suntik dan alkoholisme.

d. Orang yang kurang mendapat perawatan kesehatan yang memadai

(misalnya, tunawisma atau miskin, minoritas, anak-anak, dan orang

dewasa muda).

e. Kondisi medis yang sudah ada sebelumnya, termasuk diabetes,

gagal ginjal kronis, silikosis, dan kekurangan gizi.


f. Imigran dari negara-negara dengan tuberkulosis yang tinggi

(misalnya, Haiti, Asia Tenggara).

g. Pelembagaan (misalnya, fasilitas perawatan jangka panjang,

penjara)

h. Tinggal di perumahan yang padat dan tidak sesuai standar.

i. Pekerjaan, misalnya, petugas kesehatan, sebagian besar yang

melakukan kegiatan berisiko tinggi (Kardiyudiani dkk, 2019)

5. Patofisiologi

Infeksi awal disebabkan oleh individu rentan yang menghirup basil

tuberkulosis. Bakteri dipindahkan melalui jalan napas ke alveoli

tempat dimana mereka terkumpul dan mulai untuk memperbanyak diri.

Basil juga dipindahkan melalui sistem limfe dan aliran darah ke bagian

tubuh lainnya (ginjal, tulang, korteks serebri), dan area paru-paru

lainnya (lobus atas). Sistem imun tubuh berespon dengan melakukan

reaksi inflamasi. Fagosit (neutrofil dan makrofag) menelan banyak

bakteri. limfosit spesifik tuberkulosis melisis (menghancurkan) basil

dan jaringan normal.(Smeltzer & Suzanne, 2013 )

Pada saat terjadi infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis, maka

proses inflamasi yang terjadi pada rongga alveoli akan menyebabkan

rongga alveoli menghasilkan banyak sputum yang menyebabkan

konsolidasi paru dan akan berdampak pada proses difusi dan juga

pertukaran gas yang tidak maksimal. Akibat adanya gangguan tersebut,


maka akan muncul masalah keperawatan Gangguan pertukaran gas.

Saat terjadi gangguan pertukaran gas maka suplai oksigen ke seluruh

tubuh juga akan mengalami penurunan, hal ini akan ditandai dengan

adanya peningkatan frekuensi pernapasan, penurunan saturasi oksigen,

sianosis pada bibir dan Clubbing finger (Irman Somantri, 2007 dalam

Widianingrum, 2017)

6. Pemeriksaan Diagnostik

Beberapa tes digunakan untuk mendiagnosis TB (TB), tergantung pada

jenis dugaan TB :

a. TB Paru

Diagnosis TB Paru, bisa sulit dan beberapa tes sulit diperlukan.

Pasien perlu melakukan pemeriksaan sinar-X dada untuk mencari

perubahan pada gambaran infiltrasi paru-paru yang menandakan

TB. Sampel dahak juga akan sering diperiksa untuk memastikan

keberadaan bakteri TB. Tes ini penting dalam membantu

menentukan pengobatan yang paling efektif.

b. TB Ekstrapulmoner

Beberapa tes dapat digunakan untuk mengdikonfirmasi diagnosis

TB ekstrapulmoner (TB yang terjadi di luar paru-paru). Tes ini

memuat:

1) CT scan, pemindaian MRI atau pemindaian ultra-sound pada

bagian tubuh yang terkena.


2) Pemeriksaan bagian dalam tubuh menggunakan endoskopi.

Endoskopi dapat dimasukkan melalui mulut atau melalui

sayatan kecil yang dibuat di kulit (laparoskopi), jika ada

kebutuhan untuk memperbarui bagian tubuh yang lain.

3) Tes urine dan darah.

4) Biopsi, sampel kecil jaringan atau cairan diambil dari daerah

yang terkena dan diuji untuk bakteri TB.

5) Pungsi lumbal, dengan mengambil sampel kecil cairan

serebrospinal (CSF) dari dasar tulang belakang.

c. Pengujian untuk TB Laten

Dalam beberapa keadaan, dokter perlu melakukan tes untuk TB

laten, antara lain:

1) Tes Mantoux

Tes Mantoux adalah tes yang banyak digunakan untuk TB

laten. Tes ini melibatkan zat kecil yang disebut tuberkulin PPD

ke kulit lengan bawah. Tes ini juga disebut tuberculin skin test

(TST). Jika seseorang memiliki infeksi TB laten, kulit akan

sensitif terhadap tuberkulin PPD dan akan muncul indurasi

terdiri dari pelebaran lingkaran dan berwarna kemerahan serta

terasa gatal, biasanya dalam 48 hingga 72 jam setelah tes. Jika

pasien mempunyai reaksi kulit yang sangat kuat, mungkin

memerlukan pemeriksaan CT scan dan untuk memastikan

apakah ia memiliki TB aktif. Jika pasien tidak memiliki infeksi

laten, kulit tidak akan bereaksi pada tes Mantoux.


2) Interferon Gamma Release Assay (IGRA)

Uji pelepasan gamma interferon (interferon gamma release

assay / IGRA) adalah tes darah untuk TB. IGRA dapat

digunakan untuk membantu diagnosis TB laten:

a) Jika pasien memiliki tes Mantoux yang positif.

b) Jika sebelumnya pasien telah mendapatkan vaksinasi BCG

c) Sebagai bagian dari skrining TB, jika pasien pindah dari

suatu negara.

d) jika pasien akan memiliki perawatan yang mempengaruhi

terhadap sistem kekebalan tubuh (Kardiyudiani, 2017)

7. Penatalaksanaan Medis.

a. Tujuan Pengobatan TB

Menyembuhkan pasien dan memperbaiki produktivitas serta

kualitas hidup, mencegah terjadinya kematian oleh TB atau

dampak buruk selanjutnya, mencegah terjadinya kekambuhan TB,

menurunkan risiko penularan TB, mencegah terjadinya dan

penularan TB resistan obat (Kemenkes RI, 2017)

1) Prinsip Pengobatan TB di pelayanan kesehatan

Obat Anti Tuberkulosis (OAT) adalah komponen terpenting

dalam pengobatan TB. Pengobatan TB merupakan salah satu

upaya paling efisien untuk mencegah penyebaran lebih lanjut

kuman TB. Pengobatan yang adekuat harus memenuhi prinsip:


- Pengobatan diberikan dalam bentuk paduan OAT yang tepat

mengandung minimal 4 macam obat untuk mencegah

terjadinya resistensi.

- Diberikan dalam dosis yang tepat.

- Ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO

(Pengawas Menelan Obat) sampai selesai pengobatan.

- Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup,

terbagi dalam dua (2) tahap yaitu tahap awal serta tahap

lanjutan, sebagai pengobatan yang adekuat untuk mencegah

kekambuhan (Kemenkes RI, 2017)

2) Jenis OAT

Obat Anti Tuberkulosis yang digunakan program pengendalian

TB saat ini adalah OAT lini pertama dan OAT lini kedua

disediakan di puskesmas yang telah ditunjuk guna memberikan

pelayanan pengobatan bagi pasien TB resistan obat. Terlampir

di bawah ini jenis OAT lini pertama dan OAT lini kedua

(Kemenkes RI, 2017)


Bagan 2.1 OAT Lini Pertama

Jenis OAT Sifat Dosis yang direkomendasikan

(mg/kg)
Harian 3x

seminggu
Isoniasid (H) Bakterisid 5 10

(4-6) (8-12)
Rifampisin (R) Bakterisid 10 10

(8-12) (8-12)
Pirazinamid Bakterisid 25 35

(Z) (20-30) (30-40)


Streptomisin Bakterisid 15

(S) (12-18)
Etambutol (E) Bakteriostatik 15 30

(15-20) (20-35)
(Kemenkes RI, 2017)

Bagan 2.2 Pengelompokan OAT Lini Kedua

Grup Golongan Jenis Obat


A Florokuinolon ▪ Levofloksasin (Lfx)

▪ Moksifloksasin (Mfx)
▪ Gatifloksasin (Gfx)
B OAT suntik lini ▪ Kanamisin

kedua ▪ (Km)

Amikasin

(Am)
▪ Kapreomisin (Cm)
Streptomisin (S)
C OAT oral lini ▪ Etionamid

Kedua (Eto)/Protionamid (Pto)

Sikloserin (Cs) /Terizidon

(Trd)
▪ Clofazimin (Cfz)
▪ Linezolid (Lzd)
D D1 ▪ OAT ▪ Pirazinamid

lini (Z)

pertama ▪ Etambutol

(E)

▪ Isoniazid

(H) dosis

tinggi
D2 ▪ OAT ▪ Bedaquiline

baru (Bdq)

▪ Delamanid

(Dlm)

▪ Pretonamid

(PA-824)*
D3 ▪ OAT ▪ Asam para

tamba aminosalisilat

han (PAS)

▪ Imipenem

silastatin

(Ipm)
▪ Meropenem

(Mpm)

▪ Amoksilin

clavulanat

(Amx-Clv)

▪ Thioasetazo

n (T)

3) Tahapan dan lama pengobatan

Pengobatan TB harus selalu meliputi pengobatan tahap awal

dan tahap lanjutan dengan maksud:

- Tahap Awal:

Pengobatan diberikan setiap hari. Paduan pengobatan pada

tahap ini adalah dimaksudkan untuk secara efektif

menurunkan jumlah kuman yang ada dalam tubuh pasien

dan meminimalisir pengaruh dari sebagian kecil kuman

yang mungkin sudah resistan sejak sebelum pasien

mendapatkan pengobatan.

- Tahap Lanjutan:

Pengobatan tahap lanjutan bertujuan membunuh sisa sisa

kuman yang masih ada dalam tubuh, khususnya kuman

persister sehingga pasien dapat sembuh dan mencegah

terjadinya kekambuhan (Kemenkes RI, 2017)


b. Pegobatan TB Dewasa

1) Pengobatan TB Sensitif Obat

Paduan OAT yang digunakan untuk pasien TB sensitif adalah

OAT Lini 1. OAT Lini 1 dibedakan menjadi kategori 1 dan

kategori 2 :

a) Kategori 1 yang digunakan di Indonesia adalah

2(HRZE)/4(HR)3 atau 2(HRZE)/4(HR). Paduan OAT ini

diberikan untuk pasien baru:

• Pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis

• Pasien TB paru terkonfirmasi klinis

• Pasien TB ekstra paru

Paduan OAT kategori 1 diberikan selama 6 bulan, dibagi

menjadi 2 tahapan yaitu 2 bulan tahap awal dan 4 bulan tahap

lanjutan. Paduan OAT Kategori 1 yang disediakan oleh program

adalah dalam bentuk kombinasi dosis tetap (KDT) dan obat

lepas (kombipak). Untuk saat ini paduan yang disediakan adalah

paduan dengan dosis intermiten. Sedangkan untuk dosis harian

yaitu 2(HRZE)/4(HR) sedang dalam proses pengadaan program

TB Nasional.

Bagan 2.3. Dosis panduan OAT KDT Katagori 1:2

(HRZE/4(HR)3
Berat Tahap Awal tiap Tahap Lanjutan 3 kali seminggu

Badan hari selama 56 hari selama 16 minggu RH (150/150)

RHZE (150/75/400/275)
30 – 37 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT

kg
38 – 54 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT

kg
55 – 70 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT

kg
≥ 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT

Bagan 2.4 Dosis paduan OAT Kombipak Kategori 1: 2 HRZE / 4H3R3

Tahap Lama Dosis per hari / kali Jumlah

Pengobata Pengobata Tablet Kaplet Tablet Tablet hari/ka

n n Isoniasi Rifampisi Pirazinami Etambut li

d n d ol menela

@ 300 @ 450 @ 500 mgr @ 250 n obat

mgr mgr mgr


Awal 2 Bulan 1 1 3 3 56
Lanjutan 4 Bulan 2 1 - - 48
(Kemenkes RI, 2017)

b) Kategori 2

• Pasien kambuh.

• Pasien gagal pada pengobatan Kategori I.

• Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (loss to follow-

up).
Paduan OAT kategori 2 diberikan selama 8 bulan, dibagi menjadi 2

tahapan yaitu 3 bulan tahap awal dan 5 bulan tahap lanjutan.

Paduan OAT Kategori 2 yang disediakan oleh program adalah dalam

bentuk kombinasi dosis tetap (KDT) dan obat lepas (kombipak).

Untuk saat ini paduan yang disediakan adalah paduan dengan dosis

intermiten. Sedangkan untuk dosis harian yaitu

2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)E sedang dalam proses pengadaan

program TB Nasional. Pemberian OAT dosis harian, dosis obat

mengacu kepada Tabel:

Bagan 2.5. Dosis paduan OAT KDT Kategori 2 :

(HRZE)S / (HRZE) /5(HR)3E3

Tahap Awal Tahap Lanjutan

tiap hari 3 kali seminggu


Berat
RHZE (150/75/400/275) + S RH (150/150) + E(400)
Badan
Selama 28
Selama 56 hari selama 20 minggu
hari
30-37 kg 2 tab 4KDT 2 tab 4KDT 2 tab 2KDT

+ 500 mg Streptomisin + 2 tab Etambutol

inj.
38-54 kg 3 tab 4KDT 3 tab 4KDT 3 tab 2KDT

+ 750 mg Streptomisin + 3 tab Etambutol

inj.
55-70 kg 4 tab 4KDT 4 tab 4KDT 4 tab 2KDT
+ 1000 mg Streptomisin + 4 tab Etambutol

inj.
≥71 kg 5 tab 4KDT 5 tab 4KDT 5 tab 2KDT

+ 1000mg Streptomisin + 5 tab Etambutol

inj.
(Kemenkes RI, 2017)

Bagan 2.6. Dosis paduan OAT Kombipak Kat 2:HRZES /

HRZE / 5H3R3E3

Kaplet Etambutol
Tablet Tablet Jumlah
Lama Rifam Strepto
Tablet Tablet
Tahap Isoniasid Pirazina hari/kali
Pengo p isin misin
Pengobatan @ 250 @ 400 menelan
@ 300 mid @
batan @ 450 injeksi
mgr mgr obat
mgr 500 mgr
mgr
Tahap Awal 2
0,75
(dosis harian) bulan 1 1 3 3 - 56
gr
1 1 1 3 3 - 28
-
bulan
TahapLanjuta
5
n (dosis 3x 2 1 - 1 2 - 60
bulan
semggu)
Catatan:

• Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus.

• Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan

menambahkan aquabidest sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml.

(1ml = 250mg).
• Berat badan pasien ditimbang setiap bulan dan dosis pengobatan

dimulai saat penimbangan pertama dan harus disesuaikan apabila

terjadi perubahan berat badan setiap bulan. (Kemenkes RI, 2017)

c. Penatalaksanaan TB Resistan Obat

Pada dasarnya pengobatan pasien TB RO mengacu kepada strategi

DOTS, terutama pada komponen penggunaan OAT yang berkualitas,

pengawasan pengobatan secara langsung dan pencatatan dan

pelaporan yang baku. (Kemenkes RI, 2017)

1) Prinsip pengobatan TB-RO:

- Semua pasien yang sudah terbukti sebagai TB RO, yaitu

pasien TB RR, TB MDR, TB pre XDR maupun TB XDR

berdasarkan pemeriksaan uji kepekaan M.Tb baik dengan

TCM TB maupun metode biakan konvensional dapat

mengakses pengobatan TB RO yang baku dan bermutu.

- Sebelum memulai pengobatan harus dilakukan persiapan awal

termasuk melakukan beberapa pemeriksaan penunjang.

Paduan OAT untuk pasien TB RO adalah paduan standar yang

mengandung OAT lini kedua dan lini pertama. Paduan OAT

tersebut dapat disesuaikan bila terjadi perubahan hasil uji

kepekaan M. tuberculosis dengan paduan baru

- Penetapan untuk mulai pengobatan pada pasien TB RR/TB

MDR serta perubahan dosis dan frekuensi pemberian OAT


MDR diputuskan oleh dokter dan atau TAK yang sudah

dilatih, dengan masukan dari tim terapik jika diperlukan.

- Inisiasi pengobatan TB RO dimulai di fasyankes TB-RO baik

di Rumah Sakit maupun Puskesmas yang telah terlatih.

Pemeriksaan Laboratorium penunjang dapat dilakukan dengan

melakukan jejaring rujukan ke RS Rujukan.

- Pada pasien TB MDR dengan penyulit yang tidak dapat

ditangani di Puskesmas, rujukan ke RS harus dilakukan

- Prinsip ambulatory, seperti halnya pengobatan TB non MDR.

Hanya pasien dengan kondisi dan atau komplikasi khusus yang

memerlukan rawat inap di RS atau fasyankes.

- Pengawasan menelan obat dilakukan oleh petugas kesehatan di

fasyankes. Jika pemberian OAT MDR dilakukan di rumah

pasien, maka pengawasan menelan obat dapat dilakukan oleh

petugas kesehatan/kader yang ditunjuk,atau oleh keluarga

pasien dengan sebelumnya sudah disepakati oleh petugas

kesehatan dan pasien.

- Pasien TB RO yang memulai pengobatan TB MDR di RS

Rujukan dapat dilanjutkan pengobatannya di

Puskesmas/fasyankes terdekat dengan tempat tinggal pasien.

Proses desentralisasi (perpindahan) pasien dari RS Rujukan ke

Puskesmas dilakukan dengan persiapan sebelumnya

(Kemenkes RI, 2017)


2) Tahap pengobatan

Pengobatan TB RO dibagi menjadi dua tahap, yaitu:

a) Tahap awal

Menggunakan paduan OAT yang terdiri dari OAT oral

dan OAT suntik lini kedua (kanamisin atau kapreomisin).

Lama pemberian tahap awal ditentukan oleh pada riwayat

pengobatan TB RO, jenis pengobatan yang diberikan dan

kapan bulan konversi pemeriksaan bakteriologis bisa

tercapai.

b) Tahap lanjutan

Adalah pengobatan setelah selesai tahap awal sampai

dinyatakan pengobatan telah selesai secara lengkap.

(1) Pasien baru dengan pengobatan OAT standar

konvensional Lama tahap lanjutan adalah 12-14

bulan.

(2) Pasien baru dengan pengobatan OAT standar jangka

pendek: Lama tahap lanjutan adalah 5 bulan

(3) Pasien pernah diobati TB RR/ MDR atau pasien TB

XDR:Lama tahap lanjutan adalah 12 bulan

(Kemenkes RI, 2017)

Bagan 2.7. Durasi pengobatan TB RO

Tipe pasien Bulan Lama tahap Lama Lama tahap


konversi awal (a) pengobatan lanjutan

(b) (b-a)
Baru Bulan 0-2 8 bulan 20 bulan 12 bulan

Bulan 3-4 8 bulan 21 – 22 bulan 13 – 14 bulan


Bulan 5-8 9 – 12 bulan 23 – 26 bulan 14 bulan

Baru Bulan 4 4 bulan 9 bulan 5 bulan

diobati OAT Bulan 6 6 bulan 11 bulan 5 bulan

standar jangka

pendek
Pernah diobati2 Bulan 0-2 12 bulan 24 bulan 12 bulan
Bulan 3-4 13 – 14 bulan 25 – 26 bulan 12 bulan
atau TB XDR

Bulan 5-8 15 – 18 bulan 27 – 30 bulan 12 bulan

Catatan:

• Satuan bulan yang dimaksud adalah bulan sesuai dosis yang

diberikan, bukan bulan kalender tetapi 1 bulan = 4 minggu = 28

hari.

• Pemberian obat oral selama periode pengobatan tahap awal dan

tahap lanjutan menganut prinsip DOT = Directly Observed

Treatment dengan PMO diutamakan adalah petugas kesehatan

atau kader kesehatan terlatih.

• Obat suntikan harus diberikan oleh petugas kesehatan.

(Kemenkes RI, 2017)


d. Pengobatan TB Anak

Prinsip pengobatan TB pada anak sama dengan TB dewasa.

Beberapa hal penting dalam tatalaksana TB Anak, obat TB

diberikan dalam paduan obat tidak boleh diberikan sebagai

monoterapi, pemberian gizi yang adekuat, mencari penyakit

penyerta, jika ada ditatalaksana secara bersamaan. (Kemenkes RI,

2017)

Bagan 2.8. Dosis OAT untuk anak

Dosis harian Dosis

Nama Obat (mg/kgBB/ hari) maksimal

(mg /hari)
Isoniazid (H) 10 (7-15) 300
Rifampisin (R) 15 (10-20) 600
Pirazinamid (Z) 35 (30-40) -
Etambutol (E) 20 (15–25) -

Bagan 2.9. Dosis OAT KDT pada TB anak

Berat badan Fase intensif (2 bulan) Fase lanjutan (4 bulan)

(kg) RHZ (75/50/150) (RH (75/50)


5–7 1 tablet 1 tablet
8 – 11 2 tablet 2 tablet
12 – 16 3 tablet 3 tablet
17 – 22 4 tablet 4 tablet
23 – 30 5 tablet 5 tablet
>30 OAT dewasa

Keterangan:

R: Rifampisin; H: Isoniasid; Z: Pirazinamid

1) Bayi di bawah 5 kg pemberian OAT secara terpisah, tidak dalam

bentuk KDT dan sebaiknya dirujuk ke RS

2) Apabila ada kenaikan BB maka dosis atau jumlah tablet yang

diberikan disesuaikan dengan berat badan saat itu

3) Untuk anak dengan obesitas, dosis KDT berdasarkan Berat Badan

ideal (sesuai umur). Tabel Berat Badan berdasarkan umur dapat dilihat

di lampiran

4) OAT KDT harus diberikan secara utuh (tidak boleh dibelah, dan tidak

boleh digerus)

5) Obat dapat diberikan dengan cara ditelan utuh, dikunyah/dikulum

(chewable), atau dimasukkan air dalam sendok (dispersable).

6) Obat diberikan pada saat perut kosong, atau paling cepat 1 jam setelah

makan

7) Bila INH dikombinasi dengan Rifampisin, dosis INH tidak boleh

melebihi 10 mg/kgBB/hari
8) Apabila OAT lepas diberikan dalam bentuk puyer, maka semua

obat tidak boleh digerus bersama dan dicampur dalam satu puyer

(Kemenkes RI, 2017)

e. Pengobatan pasien TB dengan keadaan khusus

Beberapa keadaan khusus tertentu dapat dialami oleh pasien setelah

dan selama mendapatkan pengobatan TB, sehingga pasien perlu

mendapatkan penanganan yang spesifik sesuai dengan kondisinya dan

pengobatan TB nya tetap dapat diteruskan sampai selesai. Beberapa

kondisi tersebut antara lain adalah :

1) Pengobatan TB pada ODHA

a) Tatalaksana pengobatan TB pada ODHA adalah sama seperti

pasien TB lainnya. Pada prinsipnya pengobatan TB diberikan

segera. Penting diperhatikan dari pengobatan TB pada ODHA

adalah apakah pasien tersebut sedang dalam pengobatan ARV

atau tidak.

b) Prioritas utama bagi pasien TB dengan HIV positif adalah

segera memberikan pengobatan OAT diikuti dengan

pemberian Kotrimoksasol dan ARV. Pengobatan ARV

sebaiknya dimulai segera dalam waktu 8 minggu pertama

setelah dimulainya pengobatan TB.

c) Paduan yang mengandung NVP hanya digunakan pada wanita

usia subur dengan pengobatan OAT (mengandung rifampisin)

yang perlu dimulai ART bila tidak ada alternatif lain.


d) Bila pasien sedang dalam pengobatan ARV, sebaiknya

pengobatan TB tidak dimulai di fasilitas pelayanan kesehatan

dasar (strata I), rujuk pasien tersebut ke RS rujukan

pengobatan ARV. Kerjasama yang erat dengan puskesmas

yang memberikan pelayanan pengobatan ARV sangat

diperlukan mengingat adanya kemungkinan harus dilakukan

penyesuaian ARV agar pengobatan dapat berhasil dengan

baik. (Kemenkes RI, 2017)

2) Pengobatan TB pada Diabetes Melitus

TB merupakan salah satu faktor risiko tersering pada seseorang

dengan Diabetes Mellitus.

Anjuran pengobatan TB pada pasien dengan Diabetes Melitus:

a) Paduan OAT yang diberikan pada prinsipnya sama dengan

paduan OAT bagi pasien TB tanpa DM dengan syarat kadar

gula darah terkontrol

b) Apabila kadar gula darah tidak terkontrol, maka lama

pengobatan dapat dilanjutkan sampai 9 bulan

c) Hati-hati efek samping dengan penggunaan Etambutol karena

pasien DM sering mengalami komplikasi kelainan pada mata

d) Perlu diperhatikan penggunaan Rifampisin karena akan

mengurangi efektifitasobat oral anti diabetes (sulfonil urea)

sehingga dosisnya perlu ditingkatkan


e) Perlu pengawasan sesudah pengobatan selesai untuk

mendeteksi dini bilaterjadi kekambuhan

f) Pilihan utama untuk pengobatan DM pada pasien TB adalah

insulin. Oleh karena OAT pada umumnya hepatotoksik yang

akan mempengaruhi metabolisme obat Hipoglikemik Oral

(OHO). OAT juga dapat menghambat penyerapan OHO

disaluran pencernaan, sehingga diperlukan dosis OHO yang

lebih tinggi.

g) Untuk kendali gula darah, pasien TB dengan DM di FKTP,

sebaiknya dirujuk ke FKRTL untuk menginisasi obat anti

diabetik.

h) Pada pasien TB RO, Diabetes mellitus dapat memperkuat efek

samping OAT terutama gangguan ginjal dan neuropati perifer.

Obat Anti Diabetika (OAD) tidak merupakan kontraindikasi

selama masa pengobatan TB tetapi biasanya memerlukan dosis

OAD yang lebih tinggi sehingga perlu penanganan khusus.

Apabila pasien minum etionamid maka kadar insulin darah

lebih sulit dikontrol, untuk itu perlu konsultasi dengan ahli

penyakit dalam. Kadar Kalium darah dan serum kreatinin

harus dipantau setiap minggu selama bulan pertama dan

selanjutnya minimal sekali dalam 1 bulan selama tahap awal.

(Kemenkes RI, 2017)


3) Pengobatan Pasien TB dengan kelainan hati

a) Pasien TB dengan Hepatitis akut

Pemberian OAT pada pasien TB dengan hepatitis akut dan atau

klinis ikterik,ditunda sampai hepatitis akutnya mengalami

penyembuhan. (Kemenkes RI, 2017)

4) Pengobatan TB pada ibu hamil, pengguna kontrasepsi dan wanita

pada usia subur

a) Kehamilan

Pada prinsipnya pengobatan TB pada kehamilan tidak berbeda

dengan pengobatan TB pada umumnya. Menurut WHO, hampir

semua OAT aman untuk kehamilan, kecuali golongan

Aminoglikosida seperti streptomisin atau kanamisin karena

dapat menimbulkan ototoksik pada bayi (permanent ototoxic)

dan dapat menembus barier placenta. Keadaan ini dapat

mengakibatkan terjadinya gangguan pendengaran dan

keseimbangan yang menetap pada bayi yang akan dilahirkan.

Perlu dijelaskan kepada ibu hamil bahwa keberhasilan

pengobatannya sangat penting artinya supaya proses kelahiran

dapat berjalan lancar dan bayi yang akan dilahirkan terhindar

dari kemungkinan tertular TB. Pemberian Piridoksin 50mg/hari

dianjurkan pada ibu hamil yang mendapatkan pengobatan TB,

sedangkan pemberian vitamin K 10mg/hari juga dianjurkan


apabila Rifampisin digunakan padatrimester 3 kehamilan

menjelang partus.

b) Ibu menyusui dan bayinya

Pada prinsipnya pengobatan TB pada ibu menyusui tidak

berbeda dengan pengobatan pada umumnya. Semua jenis OAT

lini 1 aman untuk ibu menyusui. Seorang ibu menyusui yang

menderita TB harus mendapat paduan OAT secara adekuat.

Pemberian OAT yang tepat merupakan cara terbaik untuk

mencegah penularan kuman TB kepada bayinya. Ibu dan bayi

tidak perlu dipisahkan dan bayi tersebut dapat terus diberikan

ASI. Pengobatan pencegahan dengan INH diberikan kepada

bayi tersebut sesuai dengan berat badannya.

c) Pasien TB pengguna kontrasepsi

Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal (pil KB,

suntikan KB, susuk KB) sehingga dapat menurunkan efektifitas

kontrasepsi tersebut. Seorang pasien TB sebaiknya

mengggunakan kontrasepsi non-hormonal

d) Pengobatan TB pada perempuan usia subur

Jika pasien menggunakan kontrasepsi, Rifampisin berinteraksi

dengan kontrasepsi hormonal (pil KB, suntikan KB, susuk KB)

sehingga dapat menurunkan efektifitas kontrasepsi tersebut.

Seorang pasien TB sebaiknya mengggunakan kontrasepsi non-

hormonal. Semua pasien TB RO usia subur yang akan mendapat

pengobatan dengan OAT RO, harus melakukan tes kehamilan


terlebih dahulu. Bila ternyata pasien tersebut tidak hamil, pasien

dianjurkan memakai kontrasepsi fisik selama masa pengobatan

untuk mencegah kehamilan.

5) Pengobatan pasien TB dengan gangguan fungsi ginjal

Pasien dengan penyakit ginjal sangat berisiko untuk terkena TB

khususnya pada pasien dengan penyakit ginjal kronis. Pemberian

OAT TB pada pasien dengan gangguan ginjal harus dilakukan

dengan hati–hati, sebaiknya pirazinamid dan etambutol tidak

diberikan karena diekskresi melalui ginjal. Perlu diberikan

tambahan Piridoksin (vit. B6) untuk mencegah terjadinya neuropati

perifer. Kerjasama dengan dokter yang ahli dalam penatalaksanaan

pasien dengan gangguan fungsi ginjal sangat diperlukan. Penilaian

tingkat kegagalan fungsi ginjal berdasarkan pada pemeriksaan

kreatinin. (Kemenkes RI, 2017)

8. Komplikasi

Tanpa Pengobatan, tuberkulosis bisa berakibat fatal. Penyakit aktif

yang tidak diobati biasanya menyerang paru-paru, tetapi dapat

menyebar ke bagian tubuh lain melalui aliran darah. Komplikasi

tuberkulosis meliputi:

a. Nyeri tulang belakang. Nyeri punggung dan kekakuan merupakan

gejala komplikasi yang umum terjadi pada setiap penderita

penyakit ini.
b. Kerusakan Sendi. Atritis tuberkulosis biasanya menyerang

pinggul dan lutut.

c. Infeksi pada meningen (meningitis). Hal ini dapat menyebabkan

sakit kepala yang terjadi lama atau intermiten yang terjadi selama

berminggu-minggu.

d. Masalah hati atau ginjal. Hati dan Ginjal membantu menyaring

limbah dan darah dari aliran darah fungsi ini jadi terganggu jika

hati dan ginjal terkena tuberkulosis.

e. Gangguan jantung. Meskipunng terjadi, tuberkulosis dapat

menginfeksi jaringan yang mengelilingi jantung, menyebabkan

pembengkakan dan tumpukan cairan yang dapat mengganggu

kemampuan jantung untuk memompa secara efektif (Kardiyudiani,

2017)

B. Konsep Pengetahuan

1. Definisi pengetahuan

Pengetahuan adalah suatu hasil yang terjadi setelah seseorang

melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu, dari

pengalaman yang didapat. Perilaku seseorang yang didasari oleh

pengetahuan akan lebih berkualitas daripada perilaku yang tidak

didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2012 dalam Widianingrum,

2017)
2. Proses terjadinya pengetahuan

a. Kesadaran (Awareness), dimana orang tersebut menyadari dalam

arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulasi (obyek).

b. Merasa (Interest), tertarik terhadap stimulasi atau obyek tersebut

disini sikap obyek mulai timbul.

c. Menimbang-nimbang (Evaluation), terhadap baik dan tidaknya

stimulasi tersebut bagi dirinya, hal ini berarti sikap responden

sudah lebih baik lagi.

d. Mencoba (Trial), dimana subyek mulai mencoba melakukan

sesuatu sesuai dengan apa yang dikehendaki.

Adaption, dimana subyek telah berperilaku baru sesuai dengan

pengetahuan, kesadaran dan sikap terhadap stimulasi.

(Notoatmodjo, 2012 dalam Widianingrum, 2017)

3. Tingkat pengetahuan

Menurut Notoatmodjo (2014) tingkatan pengetahuan dibagi menjadi

enam yaitu:

a. Tahu (know)

Pengetahuan yang dimiliki baru sebatas berupa mengingat kembali

apa yang telah dipelajari sebelumnya, sehingga tingkatan

pengetahuan pada tahap ini merupakan tingkatan yang paling

rendah. Kemampuan pengetahuan pada tingkatan ini adalah seperti

menguraikan, menyebutkan, mendefinisikan, menyatakan. Contoh

tahapan ini antara lain: menyebutkan definisi pengetahuan,


menyebutkan definisi rekam medis, atau menguraikan tanda dan

gejala suatu penyakit.

b. Memahami (comprehension)

Pengetahuan yang dimiliki pada tahap ini dapat diartikan sebagai

suatu kemampuan menjelaskan tentang objek atau sesuatu dengan

benar. Seseorang yang telah faham tentang pelajaran atau materi

yang telah diberikan dapat menjelaskan, menyimpulkan, dan

menginterpretasikan objek atau sesuatu yang telah dipelajarinya

tersebut. Contohnya dapat menjelaskan tentang pentingnya

dokumen rekam medis.

c. Aplikasi (Application) Aplikasi diartikan apabila orang yang telah

memahami objek yang dimaksud dapat menggunakan atau

mengaplikasikan prinsip yang diketahui tersebut pada situasi yang

lain. Pengetahuan yang dimiliki pada tahap ini yaitu dapat

mengaplikasikan atau menerapkan materi yang telah dipelajarinya

pada situasi kondisi nyata atau sebenarnya. Misalnya melakukan

assembling (merakit) dokumen rekam medis atau melakukan

kegiatan pelayanan pendaftaran.

d. Analisis (analysis)

Kemampuan menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam

komponen-komponen yang ada kaitannya satu sama lain.

Kemampuan analisis yang dimiliki seperti dapat menggambarkan

(membuat bagan), memisahkan dan mengelompokkan,

membedakan atau membandingkan. Contoh tahap ini adalah


menganalisis dan membandingkan kelengkapan dokumen rekam

medis menurut metode Huffman dan metode Hatta

e. Sintesis (synthesis)

Pengetahuan yang dimiliki adalah kemampuan seseorang dalam

mengaitkan berbagai elemen atau unsur pengetahuan yang ada

menjadi suatu pola baru yang lebih menyeluruh. Kemampuan

sintesis ini seperti menyusun, merencanakan, mengkategorikan,

mendesain, dan menciptakan. Contohnya membuat desain form

rekam medis dan menyusun alur rawat jalan atau rawat inap

f. Evaluasi (evalution)

Pengetahuan yang dimiliki pada tahap ini berupa kemampuan

untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi

atau objek. Evaluasi dapat digambarkan sebagai proses

merencanakan, memperoleh, dan menyediakan informasi yang

sangat diperlukan untuk membuat alternatif keputusan. Tahapan

pengetahuan tersebut menggambarkan tingkatan pengetahuan yang

dimiliki seseorang setelah melalui berbagai proses seperti mencari,

bertanya, mempelajari atau berdasarkan pengalaman (Masturoh &

Anggita, 2018)
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan

a. Faktor Internal

1) Pendidikan

Pendidikan diartikan sebagai bimbingan yang diberikan

seseorang terhadap perkembangan orang lain menuju ke arah

cita-cita tertentu yang menentukan manusia untuk berbuat dan

mengisi kehidupan untuk mencapai keselamatan dan

kebahagiaan. Pendidikan diperlukan untuk mendapatkan

informasi misalnya hal-hal yang menunjang kesehatan sehingga

dapat meningkatkan kualitas hidup, pendidikan dapat

mempengaruhi seseorang termasuk juga perilaku untuk sikap

berperan serta dalam pembangunan (Nursalam, 2003) pada

umumnya makin tinggi pendidikan seeorang maka akan mudah

dalam mereima informasi.

2) Pekerjaan

Menurut Thomas yang dikutip oleh Nursalam (2003), pekerjaan

adalah keburukan yang harus dilakukan terutama untuk

menunjang kehidupannya dan kehidupan keluarga. Pekerjan

bukanlah sumber kesenangan, tetapi lebih banyak merupakan

cara mencari nafkah yang membosankan, berulang dan banyak

tantangan. Sedangkan bekerja umumnya merupakan kegiatan

yang menyita waktu. Bekerja bagi ibu-ibu akan mempunyai

pengaruh terhadap kehidupan keluarga.


3) Umur

Umur mempengaruhi daya tangkap dan pola pikir seseorang.

Semakin bertambah usia akan semakin berkembang pula daya

tangkap dan pola pikirnya sehingga pengetahuan yang

diperolehnya semakin membaik. Pada usia madya, individu

akan lebih berperan aktif dalam masyarakat dan kehidupan

sosial, serta lebih banyak melakukan persiapan demi suksesnya

upaya menyesuaikan diri menuju usia tua. Kemampuan

intelektual, pemecahan masalah, dan kemampuan verbal

dilaporkan hampir tidak ada penurunan pada usia ini. Dua

sikap tradisional mengenai jalannya perkembangan selama

hidup adalah sebagai berikut:

a) Semakin tua semakin bijaksana, semakin banyak

informasi yang dijumpai semakin banyak hal yang

dikerjakan sehingga menambah pengetahuan.

b) Tidak dapat mengajarkan kepandaian baru kepada orang

yang sudah tua karena telah mengalami kemunduran baik

fisik maupun mental. Dapat diperkirakan IQ akan

menurun sejalan dengan bertambahnya usia, khususnya

pada beberapa kemampuan yang lain, seperti kosa kata

dan pengetahuan umum. Beberapa teori berpendapat

ternyata IQ seseorang akan menurun cukup cepat sejalan

dengan bertambahnya usia.


a. Faktor Eksternal

1) Faktor Lingkungan

Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar individu,

baik lingkungan fisik, biologis, maupun sosial. Lingkungan

berpengaruhterhadap proses masuknya pengetahuan kedalam

individu yang berada dalam lingkungan tersebut. Hal ini terjadi

karena adanya interaksi timbal balik ataupun tidak, yang akan

direspon sebagai pengetahuan oleh setiap individu.

2) Sosial Budaya dan Ekonomi

Kebiasaan dan tradisi yang biasa dilakukan orang-orang tidak

melalui penalaran apakah yang dilakukan baik atau buruk.

Dengan demikian, seseorang akan bertambah pengetahuannya

walaupun tidak melakukan. Status ekonomi seseorang juga

akan menentukan tersedianya suatu fasilitas yang diperlukan

untuk kegiatan tertentu sehingga status sosial ekonomi ini akan

mempengaruhi pengetahuan seseorang (Widianingrum, 2017)

5. Hasil penelitian terkait

Hasil penelitian Gurning dkk (2019) dengan judul “Hubungan

Pengetahuan dan Motivasi dengan Kepatuhan Minum Obat pada

Pasien TBC Paru Di Poli TB RSUD Scholoo Keyen” di dapatkan hasil

dari 105 responden bahwa pengetahuan pasien terhadap kepatuhan

minum obat pada kategori cukup lebih banyak dari pada kurang yaitu

dengan katagori cukup berjumlah 55 orang dengan fersentase (52,4%)


dan kategori kurang berjumlah 50 orang dengan persentase (47,6%)

serta didapatkan adanya hubungan antara pengetahuan dengan

kepatuhan minum obat pada pasien TBC dengan nilai p=0,001

C. Konsep Motivasi

1. Definisi motivasi

Motivasi merupakan daya penggerak yang akan menjadi aktif jika

disertai dengan kebutuhan yang akan dipenuhi dan merupakan

perubahan energi dalam diri seseorang berupa tindakan dalam

pencapaian tujuan (Setiawati, 2008 dalam Gurning dkk, 2019)

2. Tujuan motivasi

Secara umum dapat dikatakan bahwa tujuan motivasi adalah untuk

menggerakkan atau menggugah seseorang agar timbul keinginan

kemauannya untuk melakukan sesuatu sehingga dapat memperoleh

hasil atau tujuan (Lestari, 2015 dalam Widianingrum, 2017)

3. Sumber-sumber motivasi

Sumber-sumber motivasi dibagi menjadi tiga yaitu:

a. Motivasi ekstrinsik

yaitu motivasi yang datangnya dari luar individu, misalnya

dukungan verbal dan non verbal yang diberikan oleh teman dekat

atau keakraban sosial.


b. Motivasi terdesak

adalah motivasi yang muncul dalam kondisi terjepit dan munculnya

serentak serta menghentak dan cepat sekali (Lestari, 2015 dalam

Widianingrum, 2017).

4. Faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi

a Faktor fisik

Motivasi yang berada di dalam diri individu yang mendorong untuk

bertindak dalam rangka memenuhi kebutuhan fisik seperti

kebutuhan jasmani, raga, materi, benda atau berkaitan dengan alam.

Faktor fisik merupakan faktor yang berhubungan dengan kondisi

lingkungan dan kondisi seseorang, meliputi: kondisi fisik

lingkungan, keadaan atau kondisi kesehatan, umur dan sebagainya.

b. Faktor herediter

Motivasi yang didukung oleh lingkungan berdasarkan kematangan

atau usia seseorang

c. Faktor intrinsik seseorang

Motivasi yang berasal dari dalam dirinya sendiri yang biasanya

timbul dari perilaku yang dapat memenuhi kebutuhan sehingga

puas dengan apa yang sudah dilakukan.

d. Fasilitas (sarana dan prasarana)

Motivasi yang timbul karena adanya kenyamanan dan segala yang

memudahkan dengan tersedianya sarana-sarana yang dibutuhkan

untuk hal yang diinginkan.


e. Situasi dan kondisi

Motivasi yang timbul berdasarkan keadaan yang terjadi sehingga

mendorong memaksa seseorang untuk melakukan sesuatu.

f. Program dan aktivitas

Motivasi yang timbul atas dorongan dalam diri seseorang atau

pihak lain yang didasari dengan adanya kegiatan (program) rutin

dengan tujuan tertentu (Lestari, 2015 dalam Widianingrum, 2017)

5. Hasil penelitian terkait

Hasil penelitian Gurning dkk (2019) dengan judul “Hubungan

Pengetahuan dan Motivasi dengan Kepatuhan Minum Obat pada

Pasien TBC Paru Di Poli TB RSUD Scholoo Keyen” di dapatkan hasil

dari 105 responden bahwa motivasi pasien terhadap kepatuhan minum

obat pada kategori cukup lebih banyak dari pada kurang yaitu dengan

katagori cukup berjumlah 43 orang dengan fersentase (41,0%) dan

kategori kurang berjumlah 62 orang dengan persentase (69,0%) serta

didapatkan adanya hubungan antara motivasi dengan kepatuhan

minum obat pada pasien TBC dengan nilai p=0,001


D. Konsep Kepatuhan

1. kepatuhan didefinisikan sebagai upaya aktif, kolaboratif, dan sukarela

antara klien dengan penyedia kesehatan. (Kurniawan, 2016 dalam

Yuda, 2018).

Menurut Ali (1999) yang di kutip oleh Dewi (2011) dalam Yuda

(2018) patuh adalah suka menurut perintah, taat pada perintah atau

aturan. Sedangkan kepatuhan adalah perilaku sesuai aturan dan

berdisiplin. Seseorang dikatakan patuh berobat bila mau datang ke

petugas kesehatan yang telah ditentukan sesuai dengan jadwal yang

telah ditetapkan serta mau melaksanakan apa yang dianjurkan oleh

petugas

2. Pentingnya kepatuhan

Kepatuhan dalam menjalankan pengobatan merupakan salah satu

faktor penentu utama dalam keberhasilan sebuah terapi. Setiap saat

pasien bisa menjadi tidak patuh berobat selama masa terapi , justru

kecenderungan tidak patuh pada awal pengobatan menjadi suatu hal

yang perlu diperhatikan. Penderita menjai tidak patuh biasanya karena

efek samping obat dan rasa tidak percaya diri pasien karena mereka

menderita penyakit tersebut (Afandi, 2017 dalam Yuda, 2018).


Pengobatan TB Paru memerlukan jangka waktu yang lama dan rutin

minimal 6 – 8 bulan. Oleh karena itu, apabila penderita mengonsumsi

atau melakukan tindakan pengobatan tidak teratur, justru akan

mengakibatkan kekebalan ganda kuman TB Paru terhadap OAT, dan

akhirnya penderita harus melakukan tindakan pengobatan yang relatif

lebih lama (Supriyono, 2011 dalam Yuda, 2018).

3. Faktor – faktor yang mempengaruhi kepatuhan

Menurut teori Feuerstein (1986) dikutif oleh Niven (2002) dalam Yuda

(2018) terdapat 5 faktor yang mendukung kepatuhan klien antara lain:

a. Pendidikan klien

Pendidikan klien dapat meningkatkan kepatuhan. Hal ini karena

pendidikan tersebut merupakan kegiatan penggunaan referensi

berupa buku dan riset oleh klien secara mandiri.

b. Akomodasi Usaha

Akomodasi Usaha yang harus dilakukan untuk memahami ciri

kepribadian klien agar dapat mempengaruhi kepatuhan, sehingga

klien harus bisa merasakan bahwa dirinya aktif dalam pengobatan.

Klien yang mengalami ansietas harus diturunkan dengan beberapa

teknik yang efektif sehingga mereka akan termotivasi untuk

mengikuti anjuran pengobatan.


c. Modifikasi faktor lingkungan dan sosial

Dukungan sosial berasal dari keluarga dan teman-teman atau

kelompok pendukung yang dapat dibentuk untuk membantu

kepatuhan terhadap program pengobatan penyakit.

d. Perubahan model terapi

Program pengobatan dapat dibuat sesederhana mungkin, dan klien

dapat terlibat aktif dalam pembuatannya.

e. Meningkatkan interaksi profesional kesehatan dengan klien

Hal terpenting dalam memberikan feedback pada klien setelah

memperoleh informasi tentang diagnosis suatu penyakit adalah

penjelasan tentang diagnosanya saat ini, penyebabnya dan tindakan

yang bisa dilakukan dengan kondisi tersebut (Kurniawan, 2016

dalam Yuda, 2018).

4. Perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus

(rangsangan dari luar). Oleh karena perilaku ini terjadi melalui proses

adanya stimulus terhadap organisme dan kemudian organisme tersebut

merespons (Notoatmodjo, 2007 dalam Yuda, 2018).

5. Faktor – faktor yang mempengaruhi prilaku

a. Faktor predisposisi (predisposing factors)

faktor yang mendahului perilaku seseorang yang akan mendorong

untuk berperilaku yaitu pengetahuan, sikap, kepercayaan,


keyakinan, nilai dan persepsi yang mendorong seseorang atau

kelompok untuk melakukan tindakan.

b. Faktor pendukung atau pendorong (enabling factors)

faktor yang memotivasi individu atau kelompok untuk melakukan

tindakan yang berwujud lingkungan fisik, tersedianya fasilitas dan

sarana kesehatan, kemudahan mencapai sarana kesehatan, waktu

pelayanan, dan kemudahan transportasi.

c. Faktor penguat (reinforce factors)

mencakup sikap dan dukungan keluarga, teman, guru, majikan,

penyedia layanan kesehatan, pemimpin serta pengambil keputusan

(Sacket & Niven, 2000 dalam Wulandari, 2015 )

6. Hasil penelitian terkait

Berdasarkan hasil penelitian Gurning dkk (2019) dengan judul

“Hubungan Pengetahuan dan Motivasi dengan Kepatuhan Minum

Obat pada Pasien TBC Paru Di Poli TB RSUD Scholoo Keyen”

dengan menggunakan jenis penelitian deskriptif analitik dengan

metode Cross Sectional di dapatkan hasil penelitian dari 105

responden dengan kepatuhan pasien dalam minum obat OAT pada

kategori tidak patuh lebih banyak dari pada patuh yaitu dengan

katagori tidak patuh berjumlah 56 orang dengan fersentase (53,3%)

dan kategori patuh berjumlah 49 orang dengan persentase (46,7%)


E. Kerangka Teori

Bagan 2.10

Faktor faktor yang

mempengaruhi kepatuhan

minum obat penderita

tuberkulosis

1. pengetahuan Kepatuhan minum obat


penderita tuberkulosis
2. Sikap

3. Motivasi

4. Dukungan keluarga

Sumber: (Widianingrum, 2017) (Masturoh & Anggita, 2018)

(Wulandari, 2015) (Yuda, 2018)


BAB III

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

A. Kerangka konsep

Kerangka konsep merupakan alur kaitan konsep penelitian yang akan

dilakukan, dimana konsep ini belum dapat diukur dan diamati secara

langsung, sehingga perlu penjelasan-penjelasan dari variabel dalam

konsep penelitian yang akan dilakukan melalui penjelasan di dalam

definisi operasional (Masturoh & Anggita, 2018). Variabel yang akan

diteliti meliputi variabel independen yaitu pengetahuan dan motivasi

dan variabel dependen yaitu kepatuhan minum obat penderita

tuberkulosis. Untuk lebih jelasnya dapat di gambarkan sebagai berikut:

Bagan 3.1

Kerangka konsep penelitian

Hubungan pengetahuan dan motivasi terhadap kepatuhan minum obat

penderita tuberkulosis di wilayah kerja puskesmas kecamatan

pangkalan

Variabel independen variabel dependen

Kepatuhan minum
1. Pengetahuan
obat penderita
2. Motivasi
tuberkulosis
B. Variabel penelitian

1. Variabel Independen (variabel bebas) Variabel independen adalah

variabel yang dapat mempengaruhi variabel lain, apabila variabel

independen berubah maka dapat menyebabkan variabel lain

berubah.Variabel independen dalam penelitian ini yaitu:

pengetahuan dan motivasi

2. Variabel Dependen (variabel terikat/variabel tergantung)

Variabel dependen adalah variabel yang dipengaruhi oleh variabel

independen, artinya variabel dependen berubah karena disebabkan

oleh perubahan pada variabel independen.Variabel dependen dalam

penelitian ini yaitu: kepatuhan minum obat penderita tuberkulosis

C. Hipotesis

1. Hipotesis merupakan jawaban sementara berdasarkan pada teori

yang belum dibuktikan dengan data atau fakta. Dalam hal ini

hipotesis menjadi panduan dalam menganalisis hasil penelitian,

sementara hasil penelitian harus dapat menjawab tujuan penelitian

terutama tujuan khusus, jadi sebelum merumuskan hipotesis harus

dilihat dulu tujuan penelitiannya.Hasil pengujian yang diperoleh

dapat disimpulkan benar atau salah, berhubungan atau tidak,

diterima atau ditolak. Hasil akhir penelitian tersebut merupakan

kesimpulan penelitian sebagai generalisasi dan representasi dari

populasi secara keseluruhan.


Hipotesis pada umumnya dinyatakan dalam bentuk hipotesis

alternatif (Ha) dan hipotesis nol(H0). H0 dinyatakan tidak ada

hubungan antara variabel yang satu dengan variabel yang lainnya

atau hipotesis yang menyatakan tidak ada perbedaan antara variabel

yang satu dengan yang lainnya. Sedangkan Ha dinyatakan ada

hubungan antara variabel yang satu dengan variabel yang lainnya

atau hipotesis yang menyatakan ada perbedaan antara variabel yang

satu dengan yang lainnya (Masturoh & Anggita, 2018)

Hipotesis pada penelitian ini:

a. Adanya hubungan antara pengetahuan dengan kepatuhan minum

obat penderita tuberkulosis di wilayah kerja puskesmas

kecamatan pangkalan kabupaten karawang Tahun 2020

b. Adanya hubungan antara motivasi dengan kepatuhan minum

obat penderita tuberkulosis di wilayah kerja puskesmas

kecamatan pangkalan kabupaten karawang Tahun 2020.

D. Definisi operasional

Definisi operasional adalah definisi variabel-variabel yang akan diteliti

secara operasional di lapangan. Definisi operasional dibuat untuk

memudahkan pada pelaksanaan pengumpulan data dan pengolahan

serta analisis data. Pada saat akan melakukan pengumpulan data,

definisi operasional yang dibuat mengarahkan dalam pembuatan dan

pengembangan instrumen penelitian. Sementara pada saat pengolahan


dan analisis data, definisi operasional dapat memudahkan karena data

yang dihasilkan sudah terukur dan siap untuk diolah dan dianalisis.

Dengan definisi operasional yang tepat maka batasan ruang lingkup

penelitian atau pengertian variabel-variabel yang akan diteliti akan

lebih fokus (Masturoh & Anggita, 2018). Definisi operasional

variabel-variabel dalam penelitian ini dijelaskan dalam tabel 3.2

Bagan 3.2

Definisi operasional

N Variabel Definisi Alat ukur Cara ukur Hasil ukur Skala

O Operasional ukur
1 (Independen Kemampuan Kuesioner Mengisi kuisioner 1. Baik: Ordinal

) pasien dalam sesuai dengan persentase

pengetahuan menjawab pertanyaan dengan 76%

pertanyaan cara memberikan -100%

tentang: chek list () pada 2. Cukup:

1. pengertian kolom pilihan yang 56% -75%

TB sesuai. 3. Kurang :

2. tanda dan <56%

gejala TB Arikunto,(2006)

3. efek

samping

obat

4. lamanya
pengobata

5. dampak

ketika

tidak

minum

OAT

secara

teratur
2 (independen) Tingkat Kuesioner Mengisi kuisioner 1. Baik: Ordinal

Motivasi antusiasme pasien sesuai dengan persentase

TB dalam pertanyaan dengan 76%

melakukan cara memberikan -100%

program chek list () pada 2. Cukup:

pengobatan dan kolom pilihan yang 56% -75%

harapan dalam sesuai. 3. Kurang :

mencapai <56%

kesembuhan Arikunto,(2006)
3 (dependen) kepatuhan paien Wawancar Mewawancarai dan 1. Patuh : jika nominal

Kepatuhan dalam minum obat a dan cross check form tb pasien tidak

minum obat OAT sejak awal cross 01 pernah lupa

penderita pasien di diagnosa check minum obat

tuberkulosis TB sampai pada form OAT sesuai

penelitian di TB 01 jadwal yang

lakukan pasien di anjurkan


tidak pernah lupa tenaga

minum obat sesuai kesehatan

jadwal yang di 2. Tidah patuh :

anjurkan tenaga jika pasien

kesehatan pernah tidak

minum obat

OAT sesuai

jadwal yang

di anjurkan

tenaga

kesehatan

BAB IV
METODE PENELITIAN

A. Desain penelitian

jenis penelitian ini bersifat deskriptif analitik kuantitatif dengan

pendekatan cross sectional. Desain penelitian cross sectional merupakan

suatu penelitian yang mempelajari korelasi antara paparan atau faktor

risiko (independen) dengan akibat atau efek (dependen), dengan

pengumpulan data dilakukan bersamaan secara serentak dalam satu waktu

antara faktor risiko dengan efeknya (point time approach), artinya semua

variabel baik variabel independen maupun variabel dependen diobservasi

pada waktu yang sama. (Masturoh & Anggita, 2018)

B. Tempat dan waktu penelitian

Tempat penelitian ini di laksanakan di wilayah kerja Puskesmas

Kecamatan Pangkalan Kabupaten Karawang pada tahun 2020

C. Populasi dan sampel

1. Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau

subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang

ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik

kesimpulannya (Sugiyono, 2005 dalam Masturoh & Anggita, 2018)

Populasi dalam penelitian ini adalah pasien TB di wilayah kerja

Puskemas Kecamatan Pangkalan Kabupaten Karawang sebanyak 58

pasien
2. Sampel

Sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki

oleh populasi yang secara nyata diteliti dan ditarik kesimpulan. Teknik

pengambilan sampel yang digunakan dalam peneltian ini adalah

probability sampling dengan cara Sample Random Sampling cara ini

merupakan pengambilan sampel acak sederhana. Cara ini memberikan

kesempatan yang sama bagi setiap anggota populasi untuk mejadi

sampel penelitian Dalam penentuan sampel ini, peneliti menggunakan

kriteria sampel baik inklusi maupun eksklusi yang bertujuan

membantu mengurangi bias hasil penelitian

a. Kriteria inklusi

Kriteria inklusi adalah kriteria yang akan menyaring anggota

populasi menjadi sampel yang memenuhi kriteria secara teori yang

sesuai dan terkait dengan topik dan kondisi penelitian. Atau

dengan kata lain, kriteria inklusi merupakan ciri-ciri yang perlu

dipenuhi oleh setiap anggota populasi yang dapat di ambil sebagai

sampel (Masturoh & Anggita, 2018). Kriteria inklusi dalam

penelitian ini adalah:

1) Pasien TB yang sedang menjalani pengobatan dari fase awal

sampai dengan fase lanjutan

2) Pasien TB laki-laki dan perempuan

3) Pasien TB yang ada pada saat penelitian


4) Pasien TB yang bersedia menjadi responden

5) Pasien TB yang dapat membaca dan menulis

b. Kriteria eksklusi

kriteria ekslusi adalah kriteria yang dapat digunakan untuk

mengeluarkan anggota sampel dari kriteria inklusi atau dengan

kata lain ciri-ciri populasi yang tidak bisa dijadikan menjadi

sampel (Masturoh & Anggita, 2018). Kriteria eksklusi dalam

penelitian ini adalah:

1) Pasien TB yang mempunyai penyakit penyerta

2) Pasien TB pada anak

3) Pasien TB dengan resisten obat

Untuk menentukan sample dalam penelitian ini dengan rumus Slovin:

N
n=
1+ N 2

Keterangan:

n = jumlah sample

N = jumlah total populasi

e = batasan tolerasi error tolerance batasan toleransi kesalahan ini

dinyatakan dengan persentase, semakin kecil toleransi kesalahan


semakin akurat sample menggambarkan populasi (misalnya 1% 5%

10%)

N
n=
1+ N 2

58
n= 2
1+58( 0,1)

58
n=
1+58( 0,01)

58
n=
1+0,58

58
n= =36
1,58

Jumlah sample yang dibutuhkan 36 orang

D. Etika penelitian

Penelitian ini dilakukan setelah mendapatkan rekomendasi dari institusi

pendidikan mengajukan izin kepada lembaga tempat penelitian. Setelah

mendapatkan persetujuan dilakukan penelitian dengan menekankan etika

yang meliputi:

1. Menghormati atau Menghargai Subjek (Respect For Person).

Menghormati atau menghargai orang perlu memperhatikan beberapa

hal, diantaranya:

a. Peneliti harus mempertimbangkan secara mendalam terhadap

kemungkinan bahaya dan penyalahgunaan penelitian.

b. Terhadap subjek penelitian yang rentan terhadap bahaya

penelitian maka diperlukan


2. Manfaat (Beneficence)

Dalam penelitian diharapkan dapat menghasilkan manfaat yang

sebesar-besarnya dan mengurangi kerugian atau risiko bagi subjek

penelitian. Oleh karenanya desain penelitian harus memperhatikan

keselamatan dan kesehatan dari subjek peneliti.

3. Tidak Membahayakan Subjek Penelitian (Non Maleficence)

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa penelitian harus

mengurangi kerugian atau risiko bagi subjek penelitian. Sangatlah

penting bagi peneliti memperkirakan kemungkinan-kemungkinan apa

yang akan terjadi dalam penelitian sehingga dapat mencegah risiko

yang membahayakan bagi subjek penelitian.

4. Keadilan (Justice)

Makna keadilan dalam hal ini adalah tidak membedakan subjek. Perlu

diperhatikan bahwa penelitian seimbang antara manfaat dan

risikonya. Risiko yang dihadapi sesuai dengan pengertian sehat, yang

mencakup: fisik, mental, dan sosial. (Masturoh & Anggita, 2018)

E. Teknik Pengumpulan Data

Setelah perijinan dari pihak puskesmas mendapatkan jawaban dan telah

diijinkan untuk melakukan penelitian maka di lakukan prosedur teknik

pengumpulan data sebagai berikut:

1. Membuat surat permohonan izin penelitian dari bagian coordinator

riset keperawatan yang ditujukan kepada kepala puskesmas pangkalan.


2. Setelah mendapatkan izin dari kepala puskesmas pangkalan peneliti

menyerahkan surat izin kepada perawat yang bertugas untuk

melakukan penelitian

3. Setelah itu peneliti mengidentifikasi responden yang memenuhi

kriteria.

4. setelah mendapatkan responden memenuhi kriteria peneliti meminta

responden untuk mengisi lembar persetujan menjadi responden setelah

pendekatan dan memberi penjelasan tentang tujuan dan prosedur

penelitian serta hak dan kewajiban selama menjadi responden dan

menandatangani informed consent.

5. Setelah responden setuju untuk menjadi responden peneliti meminta

untuk mengisi kuisioner yang diberikan dan meminta keluarga untuk

membantu responden dalam mengisi kuisioner.

6. Setelah kuisioner terisi, kemudian mengumpulkan data yang telah

didapatkan dari responden dan peneliti mengucapkan terima kasih.

F. Instrumen penelitian
mengumpulkan data variabel-variabel tertentu. Alat pengumpulan

kuisioner penelitian ini di bagi menjadi 2 bagian :

1. Bagian A : untuk mengetahui variable tingkat pengetahuan.Dengan

jumlah solal 20 butir menggunakan skala gutman.

2. Bagian B : untuk mengetahui variable motivasi dengan jumlah soal

20 butir menggunakan menggunakan menggunakan skala likert.

G. Uji validitas dan Realibilitas

1. Uji Validitas

Validitas adalah suatu indeks yang menunjukan alat ukur itu bener-

bener mengukur apa yang diukur, maka perlu diuji dengan uji korelasi

antara skors (nilai) tiap-tiap item (pertanyaan) dengan skors total

kuisioner tersebut. Atau untuk menguji sejauh mana item kuisioner

yang valid dan tidak valid, dengan menggunakan rumus Pearson

Product Moment (nursalam, 2017) sebagai berikut:

Rumus :

n ∑ XY −(∑ X)(∑Y )
R=
√{¿ ¿ ¿

Keterangan:

r : koefisien validitas item yang dicari


n : banyaknya subjek

x : skor jawaban masing-masing

y : skor yang diperoleh oleh setiap item

∑x : jumlah skor dalam variabrl X

∑y : jumlah skor dalam variabel Y

∑x2 : jumlah kuadran masing-masing skor variabel X

∑y2 : jumlah kuadran masing-masing skor variabel Y

∑xy : Jumlah perkalian variabel X dan Y

Berdasarkan uji validitas yang di lakukan peneliti Widianingrum

(2017) dengan judul skripsi ‘Hubungan pengetahuan dan motivasi

dengan kepatuahan minum obat anti tuberkulosis pada pasien TB di

wilayah kerja di puskesmas perak timur surabaya” yang tidak

menjadi sampel penelitian pada 10 orang dengan karakteristik yang

sama. Dan hasil uji validitas kuesioner pengetahuan pasien TB

didapatkan 20 item soal yang mempunyai nilai lebih dari 0,361 (r

tabel dengan 10 responden) yaitu 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13,

14, 15, 16, 17, 18, 19 dan 20.

Bagan 4.1

Uji valisidas pengetahuan pasien TB


Pertanyaan r-hitung Perbandingan r-product Ket

momen(r-tabel)
Pertanyaan 1 0,869 ≥ 0,361 Valid
Pertanyaan 2 0,947 ≥ 0,361 Valid
Pertanyaan 3 0,909 ≥ 0,361 Valid
Pertanyaan 4 0,879 ≥ 0,361 Valid
Pertanyaan 5 0,947 ≥ 0,361 Valid
Pertanyaan 6 0,947 ≥ 0,361 Valid
Pertanyaan 7 0,909 ≥ 0,361 Valid
Pertanyaan 8 0,870 ≥ 0,361 Valid
Pertanyaan 9 0,839 ≥ 0,361 Valid
Pertanyaan 10 0,860 ≥ 0,361 Valid
Pertanyaan 11 0,909 ≥ 0,361 Valid
Pertanyaan 12 0,879 ≥ 0,361 Valid
Pertanyaan 13 0,869 ≥ 0,361 Valid
Pertanyaan 14 0,909 ≥ 0,361 Valid
Pertanyaan 15 0,879 ≥ 0,361 Valid
Pertanyaan 16 0,947 ≥ 0,361 Valid
Pertanyaan 17 0,909 ≥ 0,361 Valid
Pertanyaan 18 0,879 ≥ 0,361 Valid
Pertanyaan 19 0,869 ≥ 0,361 Valid
Pertanyaan 20 0,909 ≥ 0,361 Valid
(Widianingrum, 2017)

Berdasarkan uji validasi yang dilakukan oleh peneliti Widianingrum

(2017) dengan judul skripsi ‘Hubungan pengetahuan dan motivasi

dengan kepatuahan minum obat anti tuberkulosis pada pasien TB di

wilayah kerja di puskesmas perak timur surabaya” yang tidak

menjadi sampel penelitian pada 10 orang dengan karakteristik yang

sama dengan taraf signifikan 5% maka r di peroleh sebesar 0,36. Dan

hasil uji validitas kuesioner motivasi pasien TB didapatkan 20 item

soal yang mempunyai nilai lebih dari 0,361 (r tabel dengan 10

responden) yaitu 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17,

18, 19 dan 20 .
Bagan 4.1

Uji valisidas motivasi pasien TB

Pertanyaan r-hitung Perbandingan r-product Ket

momen(r-tabel)
Pertanyaan 1 0,927 ≥ 0,361 Valid
Pertanyaan 2 0,756 ≥ 0,361 Valid
Pertanyaan 3 0,678 ≥ 0,361 Valid
Pertanyaan 4 0,621 ≥ 0,361 Valid
Pertanyaan 5 0,696 ≥ 0,361 Valid
Pertanyaan 6 0,927 ≥ 0,361 Valid
Pertanyaan 7 0,696 ≥ 0,361 Valid
Pertanyaan 8 0,756 ≥ 0,361 Valid
Pertanyaan 9 0,817 ≥ 0,361 Valid
Pertanyaan 10 0,742 ≥ 0,361 Valid
Pertanyaan 11 0,863 ≥ 0,361 Valid
Pertanyaan 12 0,742 ≥ 0,361 Valid
Pertanyaan 13 0,927 ≥ 0,361 Valid
Pertanyaan 14 0,696 ≥ 0,361 Valid
Pertanyaan 15 0,651 ≥ 0,361 Valid
Pertanyaan 16 0,555 ≥ 0,361 Valid
Pertanyaan 17 0,756 ≥ 0,361 Valid
Pertanyaan 18 0,631 ≥ 0,361 Valid
Pertanyaan 19 0,555 ≥ 0,361 Valid
Pertanyaan 20 0,555 ≥ 0,361 Valid
(Widianingrum, 2017)

2. Uji Reliabilitas

Reliabilitas adalah indeks yang menunjukan sejauh mana suatu alat

pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan (Notoatmodjo, 2018).

Uji reliabilitas dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan

alat bantu software yaitu program SPSS. Untuk menguji reliabilitas


dapat menggunakan metode Alpha-Cronbach yang hanya dapat dibaca

dengan menggunakan aplikasi computer. Dengan menggunakan rumus

sebagai berikut:

2(rb )
r 11=
1+rb

Keterangan :

r11 : koefisien reliabilitas seluruh item

rb : koefisien Product Moment antar belahan

H. Pengolahan data

1. Editing

Pengeditan adalah pemeriksaan data yang telah dikumpulkan.

Pengeditan dilakukan karena kemungkinan data yang masuk (raw

data) tidak memenuhi syarat atau tidak sesuai dengan kebutuhan.

Pengeditan data dilakukan untuk melengkapi kekurangan atau

menghilangkan kesalahan yang terdapat pada data mentah.

Kekurangan dapat dilengkapi dengan mengulangi pengumpulan data.

Kesalahan data dapat dihilangkan dengan membuang data yang tidak

memenuhi syarat untuk dianalisis. Kritea yang harus ditekankan dalam

tahap penyuntingan adalah:


Lengkap: semua jawaban responden pada kuesioner sudah terjawab.

a. Keterbacaan tulisan: apakah tulisannya cukup terbaca jelas.

b. Relevan: apakah ada kesesuaian antara pertanyaan dan jawaban.

c. Konsistensi jawaban: apakah tidak ada hal-hal yang saling

bertentangan antara pertanyaan yang saling berhubungan.

2. Coding

Coding adalah kegiatan merubah data dalam bentuk huruf menjadi

data dalam bentuk angka/bilangan. Kode adalah simbol tertertu dalam

bentuk huruf atau angka untuk memberikan identitas data. Kode yang

diberikan dapat memiliki arti sebagai data kuantitatif (berbentuk skor)

3. Processing

Processing adalah proses setelah semua kuesioner terisi penuh dan

benar serta telah dikode jawaban responden pada kuesioner ke dalam

aplikasi pengolahan data di komputer. Terdapat bermacam-macam

aplikasi yang dapat digunakan untuk pemrosesan data, antara lain:

SPSS, STATA, EPI-INPO, dan lain-lain. Salah satu program yang

banyak dikenal dan relatif mudah dalam penggunaannya adalah

program SPSS (Statistical Package for Social Sciences).

4. Cleaning Data

Cleaning data adalah pengecekan kembali data yang sudah dientri

apakah sudah betul atau ada kesalahan pada saat memasukan data.

(Masturoh & Anggita, 2018)


I. Analasis data

1. Analisis Univariat

Analisis univariat merupakan analisis tiap variabel yang dinyatakan

dengan menggambarkan dan meringkas data dengan cara ilmiah dalam

bentuk tabel atau grafik (Setiadi, 2007 dalam Widianingrum, 2017).

Variabel pada penelitian ini meliputi variabel independen yaitu

pengetahuan dan motivasi. Sedangkan variabel dependennya adalah

kepatuhan minum obat pada penderita TB.

a. Variabel pengetahuan menggunakan kuesioner yang terdiri dari 20

pernyataan yang jawabannya ditentukan menggunakan skala

Guttman dengan skor 0 apabila jawaban itu salah dan skor 1

apabila jawaban benar.

b. Variabel motivasi menggunakan Likert dengan pertanyaan negatif

rentang nilai SS (1), S (2), TS (3), STS (4) dan pertanyaan positif

dengan rentan nilai SS (4), S (3), TS(2), STS (1). Hasil nilai dari

setiap responden dinilai dengan rumus:.

n
p= x 100 %
N

P = Presentase

N = Jumlah seluruh nilai

n = Nilai yang diperoleh

Nilai dari pertanyaan tadi dijumlahkan, kemudian diinterpretasikan

sebagai berikut:
1) Baik jika nilai lebih dari (> 75%)

2) Cukup jika nilai dalam rentangan 56-75%

3) kurang jika nilai kurang dari (<55%)

c. Kepatuhan minum obat anti tuberkulosis dinilai berdasarkan pada

lembar TB 01. Responden dinyatakan patuh apabila tidak pernah

sekali pun berhenti atau tidak minum obat dalam jangka waktu

sejak responden didiagnosa TB sampai dilakukan penelitian.

Responden dinyatakan tidak patuh apabila pernah tidak minum

obat walaupun hanya satu kali.

2. Analisis Bivariat

analisis ini digunakan untuk melihat hubungan dua variabel. Kedua

variabel tersebut merupakan variabel pokok, yaitu variabel pengaruh

(bebas) dan variabel terpengaruh (tidak bebas). Analisa bivariat dapat

dilakukan dengan analisa total 2X2 terhadap variabel independen

(bebas) pengetahuan dan motivasi. Untuk menentukan yang bermakna

dari variabel tersebut maka digunakan analisa statistik dengan chi-

square (X2), dengan confidenceinterval (i) 95 % kemaknaan alpa

0,005

Rumus :

X 2 =∑ ¿ ¿
Keterangan :

O : nilai observasi (pengamatan)

E : nilai expected (harapan)

X2 : distribusi kuantitatif

Adapun prosedur pengujian X2 dimulai dengan langkah langkah

sebagai berikut :

a. Memasukan formasi hipotesisnya (Ho dan Ha)

b. Menghitung frekuensi observasi (O) dalam table silang

c. Menghitung frekuensi harapan € masing-masing sel

d. Menghitung X2 sesuai aturan yang berlaku

e. Menghitung p value dengan membandingkan nilai X2 dengan nilai

table kai kuadrat


LAMPIRAN

KUSIONER PENGETAHUAN PASIEN TB PARU

Bacalah setiap pernyataan dengan cermat sebelum menjawab, kemudian

pilihlah jawaban yang anda rasa paling sesuai dengan keadaan diri anda

pada lembar jawaban yang tersedia. Saya sangat menghargai kejujuran dan

keterbukaan anda

Terimakasih

No Kuesioner................................................(diisi oleh peneliti)

Kode Responden...........................................(diisi oleh peneliti)

Tanggal :

A. Petunjuk

1. Silahkan bapak/ibu jawab pertanyaan dengan jujur.

2. Jawaban tidak mempengaruhi profesi bapak/ibu.

3. Jawaban akan dijaga kerahasiaannya dan hanya dipergunakan untuk

penelitian
B. IDENTITAS PRIBADI

Petunjuk pengisian

Isilah nomor 2 sampai dengan 5 dengan mengisi tanda

silang (X) pada huruf yang sesuai!

1. Umur :

2. Jenis Kelamin

a. Laki-laki

b. Perempuan

3. Status Perkawinan

a. Belum menikah c. Janda

b. Menikah d. Duda

4. Pendidikan Terakhir

b. Tidak sekolah d. Lulus SMA

c. Lulus SD e. Perguruan Tinggi

d. Lulus SMP

5. Pekerjaan

a. Tidak bekerja f. Petani


b. Pedagang g. Buruh
c. Swasta h. Wiraswasta
d. PNS i. Lain-lain
e. Pensiunan

C. Tabel pertanyaan
Isilah tabel di bawah ini dengan tanda centang (V)

Benar : Bila pernyataan tersebut sesuai dengan diri anda Salah : Bila

pernyataan tersebut tidak sesuai dengan diri anda

No Pernyataan Benar Salah

1. Penyakit TB dapat

disembuhkan
2. Dengan minum obat secara teratur dan rutin penyakit

TB ini dapat disembuhkan


3. Kebiasaan merokok yang berlebihan dapat

memperparah penyakit TB
4. Berbicara dan batuk tidak ditutupi dapat

menyebarkan kuman penyakit TB


5. Daya tahan tubuh yang baik akan mempercepat

proses pertumbuhan penyakit TB


6. Menyendirikan alat mandi dan makan dapat

mencegah penularan penyakit TB


7. Efek samping dari pengobatan TB dapat

menyebabkan gangguan

8. Jika pernah terkena penyakit TB dan kambuh lagi

maka penyakit ini sulit untuk disembuhkan


9. Penyakit TB membuat kondisi fisik menjadi menurun

dan buruk
10. Penyakit TB membuat badan menjadi semakin kurus

11. Penyakit TB ini mudah proses penularannya karena


bisa lewat udara misalnya bersin, batuk, air ludah dll
12. Kuman TB tidak hanya mengenai paru, tetapi dapat

mengenai organ lain


13. Penyakit TB hanya disebabkan oleh kuman

Mycobacterium saja
14. Penyakit TB paling mudah menyerang orang tua dan

dewasa saja karena terjadi penurunan daya tahan

tubuh
15. Orang terkena TB karena tidak mendapatkan

imunisasi BCG
16. Penyakit TB hanya berkembang pada pemukiman

yang kumuh dan padat saja


17. Proses penyembuhan penyakit TB selain pengobatan

yang rutin perlu juga makanan yang bergizi


18. Dengan mengonsumsi minuman beralkohol dapat

memperparah penyakit TB
19. Jika mengalami keluhan seperti sakit dada, sesak,

batuk berdarah, demam, lemah, tidak nafsu makan

merupakan gejala terkena TB


20. Terinfeksi TB bisa diketahui dengan pemeriksaan

sputum/dahak di laboratorium dan foto dada atau

Rontgen
Sumber: (Widianingrum, 2017)
KUESIONER MOTIVASI PASIEN TB PARU

Isilah tabel di bawah ini dengan memberi tanda centang (V)

dalam salah satu opsi jawaban di sampingnya!

Keterangan

SS: Sangat Setuju

S: Setuju

TS : Tidak Setuju

STS : Sangat Tidak Setuju

No Pernyataan SS S TS STS
1. Minum obat secara terus menerus dengan

membutuhkan waktu yang lama membuat

saya merasa bosan dan malas untuk minum

Obat
2. Kondisi saya menjadi lebih baik dengan

minum obat secara teratur


3. Saya merasa sudah sembuh apabila sudah

tidak merasakan batuk


4. Minum obat anti tuberkulosis berfungsi

untuk meredakan batuk saja


5. Memeriksakan kesehatan secara rutin adalah

hal yang penting


6. Melakukan kunjungan ke puskesmas hanya

bertujuan untuk mengambil obat apabila

obat akan habis


7. Apabila sudah tidak batuk maka minum obat

Dihentikan
8. Penyakit TB adalah penyakit yang dapat

Disembuhkan
9. Memeriksakan kesehatan secara rutin adalah

hal yang tetap perlu dilakukan walaupun

sudah dinyatakan sembuh


10. Efek samping dari obat membuat malas

untuk minum obat

11. Apabila sudah menjalankan program

pengobatan secara rutin namun masih


dinyatakan belum sembuh maka minum obat

harus dihentikan
12. Penyakit TB harus dihilangkan dari tubuh

saya agar saya bisa sembuh


13. Pengobatan TB apabila dijalankan secara

rutin akan memberikan kesembuhan


14. Pengobatan yang dilakukan selama ini tidak

memberikan hasil apapun


15. Saya merasa tidak nyaman minum obat

setiap hari
16. Saya menyadari bahwa untuk mencapai

kesembuhan saya harus minum obat dengan

Rutin
17. Minum obat secara rutin tidak hanya

menyembuhkan tetapi juga meningkatkan

kesehatan
18. Saya tidak akan berhenti minum obat sesuai

aturan sampai dokter menyatakan saya

sembuh
19. Setelah diberi penjelasan tentang lama

pengobatan, saya tidak yakin kalau saya

mampu berbobat sampai 6 bulan


20. Saya harus berusaha untuk makan makanan

yang bergizi secara teratur agar membantu

proses penyembuhan saya


Sumber: (Widianingrum, 2017)
PANDUAN WAWANCARA

1. Apakah anda selalu mengawasi Bapak/Ibu/Saudara/i (penderita TB)

dalam pelaksaan minum obat?

2. Apakah Bapak/Ibu/Saudara/i (penderita TB) selalu minum obat dengan

rutin?

3. Apakah Bapak/Ibu/Saudara/i (penderita TB) pernah terlambat dalam

minum obat walaupun satu kali?

4. Apakah Bapak/Ibu/Saudara/i (penderita TB) harus selalu diingatkan untuk

minum obat?
5. Apakah Bapak/Ibu/Saudara/i (penderita TB) pernah lupa dan tidak minum

obat?

Anda mungkin juga menyukai