Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

Drug Reaction with Eosinophilia and Systemic Symptoms (DRESS)


syndrome juga dikenal dengan nama Drug Induced Hypersensitivity Syndrome
(DIHS) dan Acute Generalized Exanthematous Pustulosis (AGEP).Drug Reaction
with Eosinophilia and Systemic Symptoms (DRESS) syndrome adalah reaksi obat
yang ditandaioleh ruam kulit, demam, pembesaran kelenjar getah bening dan
keterlibatan beberapa organ.1
Karakteristik Drug Reaction with Eosinophilia and Systemic Symptoms
(DRESS) syndrome pertama kali dideskripsikan oleh Chaiken et al pada tahun
1950 dengan karakteristik klinis berupa demam, ruam kulit, eosinophilia dan
kegagalan multi organ yang terjadi 1-8 minggu setelah pemberian antikonvulsan.
Kegagalan multi organ merupakan salah satu karakteristik yang
membedakanDrug Reaction with Eosinophilia and Systemic Symptoms (DRESS)
syndromedari reaksi efek samping obat lainnya seperti Steven Johnson Syndrome
(SJS) dan Toxic Epidermal Necrolitic (TEN).2
Setiap obat diduga dapat menimbulkan terjadinya Drug Reaction with
Eosinophilia and Systemic Symptoms (DRESS) syndrome. Antibiotik, obat anti
inflamasi non steroid, obat antiepilepsi dan obat anti HIV merupakan kelompok
obat yang umumnya bertanggung jawab terjadinya Drug Reaction with
Eosinophilia and Systemic Symptoms (DRESS) syndrome.3
Insiden Drug Reaction with Eosinophilia and Systemic Symptoms
(DRESS) syndrome memiliki insiden 1,2 – 6 kasus per 1.000.000 orang per
tahun.Orang dewasa lebih cenderung terkena dibandingkan anak-anak, dan angka
kejadian relatif sama antara pria maupun wanita. Sindrom ini sering terjadi dari
pada sindrom Stevens-Johnson, tingkat kematian sekitar 10% - 20% .4

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Drug Reaction with Eosinophilia and Systemic Symptoms (DRESS)
syndromeadalahsuatu adverse-drug reaction yang berat dan jarang terjadi,
berpotensi mengancam nyawa yang terjadi pada pemberian obat dalam dosis
terapi, yang ditandai adanya erupsi eritematus, demam, kelainan hematologi
terutama adanya eosinofilia dan adanya keterlibatan organ dalam seperti:
limfadenopati, hepatitis, pneumonitis, miokarditis, nefritis.5,6,7

B. EPIDEMIOLOGI
Insiden Drug Reaction with Eosinophilia and Systemic Symptoms
(DRESS) syndromememiliki insiden 1,2 – 6 kasus per 1.000.000 orang per tahun.
Orang dewasa lebih cenderung terkena dibandingkan anak-anak, dan angka
kejadian relatif sama antara pria maupun wanita. Sindrom ini sering terjadi dari
pada sindrom Stevens-Johnson, tingkat kematian sekitar 10% - 20% .

C. ETIOLOGI
Drug Reaction with Eosinophilia and Systemic Symptoms (DRESS)
syndrome terjadi sekitar 80% karena reaksi obat dan sebagian karena HHV-6.5,9
Sekitar 10 sampai 20 persen dari kasus yang memenuhi kriteria diagnostik untuk
DRESS berhubungan dengan obat.10
Obat antiepilepsi (misalnya: carbamazepine, lamotrigin, fenitoin,
fenobarbital) dan allopurinol adalah penyebab yang paling sering dilaporkan.
Sulfonamid (terutama sulfasalazine), dapson, minocycline, dan vankomisin dapat
juga menyebabkan DRESS.

2
Tabel 1 Kelompok obat yang sering menimbulkan DRESS 5
Kelompok Obat Contoh Obat
Antikonvulsan Phenytoin, carbamazepine,
phenobarbital, primidone, mexiletine,
lamotrigine, valproate, ethosuximide,
zonisamide
Antidepresant desipramine, amitriptyline, fluoxetine
Sulfonamide dan sulfa dapsone, sulfasalazine, trimethoprim-
sulfamethoxazole,
salozosulphopyridine
Obat antiinflamasi piroxicam, naproxen, diclofenac,
sundilac, phenylbutazone, ibuprofen
Antibiotik (abacavir, cidofovir, terbinafine,
nevirapine,
minocycline, linezolid, doxycycline,
telaprevir, nitrofurantoin,
zalcitabine, spiramycin,
metronidazole,
piperacillintazobactam,
ceftriaxone
Ace inhibitor captopril, enalapril
beta-blockers atenolol, celiprolol

Studi farmakogenetik telah menemukan hubungan antara HLA haplotype


dan kerentanan terhadap DRESS.10 Populasi Han keturunan Cina, HLA-B * 5801
sangat terkaitan dengan reaksi obat allopurinol yang menginduksi tingkat
keparahan kulit dimasukkan kedalam kelompok DRESS.11,12

3
D. PATOGENESIS
Hipersensitivitas terhadap obat dapat didefinisikan sebagai reaksi
immunologis yang tidak diharapkan terhadap obat-obatan yang dianggap aman
dan efektif. Berdasarkan onsetnya reaksi hipersensitivitas terhadap obat dapat
dibedakan menjadi immediate reaction dan non-immediate reaction. Immediate
reaction pada umumnya melibatkan sistem imun humoral (IgE spesifik),
sedangkan non-immediate reaction melibatkan Sel T. Semua obat dapat
menimbulkan reaksi hipersensitivitas, beberapa kelas obat yang sering dikaitkan
antara lain antibiotik, antiepilepsi, anti-HIV, NSAID, anestesi dan media zat
kontras merupakan kelas yang sering berkaitan dengan reaksi hipersensitivitas.3
DRESS, SJS dan TEN merupakan beberapa bentuk manifestasi klinis dari
non-immediate reaction yang pada umumnya melibatkan gejala pada kulit seperti
urtikaria, dermatosis, dermatitis, exantema dan eritroderma. Non-immediate
reaction dapa tterjadi 1jam hingga beberapa hari setelah pemberian obat.
Karenanya diperlukan anamnesis yang lengkap dan teliti serta pengenalan yang
cepat akan gejala klinis reaksi hipersensitivitas kelompok ini.MekanismeNon-
immediate reaction dapatdilihat pada gambar 1.3

Gambar 1. Mekanisme delayed drug hipersensitivity pada kulit.3

4
Kulit merupakan organ yang paling sering menjadi target dari sel T yang
teraktivasi oleh obat (drug-responsive T cells). Berat ringannya reaksi pada kulit
bervariasi antara individu yang satu dengan yang lainnya.Variasi ini terjadi
bahkan pada pemberian obat yang sama dengan dosis dan cara pemberian yang
identik. Secara immunologis, reaksi hipersensitivitas obat melibatkan sel
dendritik. Sel dendritik yang berada di kulit mengenali drug antigen, berikatan
dengannya dan mempresentasikannya pada Sel T yang berada pada kelenjar limfe
regional. Drug antigen ini diyakini berupa suatu complex drug-protein hapten.
Antigen-spesific T cells kemudian bermigrasi ke organ target, dalam hal ini
kulit, dan akan teraktivasi pada paparan ulang oleh obat yang sama. Bila
teraktivasi, sel T akan memproduksi cytokine dan cytotoxine seperti perforin,
granzymes dan granulysins. Hal ini selanjutnya menyebabkan kelainan klinis
yang beragam pada kulit. Bisa berupa erytema, exantema, eritroderma maupun
pembentukan bula.13
Antigen-spesific T cells yang bermigrasi ke kulit diketahui dapat memproduksi
IL-5 dan eotaxin (CCL-11). Keduanya diketahui merupakan faktor kunci pada
regulasi perkembangan, diferensiasi dan aktivasi eosinofil. Infiltrasi eosinofil ke
jaringan diyakini sebagai penyebab multiple organ failure pada DRESS.14
Umum diketahui bahwa non-immediate reaction dapat dicetuskan oleh adanya
interaksi obat dengan virus.14 Pada DRESS, studi terkini menunjukkan adanya
keterkaitan reaktivasi Human Herpes Virus 6 (HHV-6). Virus ini berada pada
tubuh manusia dalam kondisi dorman. Infeksi HHV-6 umumnya didapatkan pada
usia 2 tahun, yang diduga terjadi melalui saliva. HHV-6 DNA dapat terintegrasi
secara kromosomal pada DNA host sehingga dapat diturunkan secara
kromosomal. Reaktivasi HHV-6 menstimulasi sel T yang selanjutnya dapat
menimbulkan reaksi silang dengan obat.14Mekanisme terjadinya DRESS dari awal
exposure obat sampai timbulnya symptom dan replikasi virus ditunjukkan pada
gambar 2 .

5
Gambar 2. DRESS (Drug Reaction with Eosinophilia and Systemic Symptoms): awal
exposure obat sampai timbulnya symptom dan replikasi virus.13

Mekanisme yang tepat dari DRESS / DIHS masih harus ditentukan. tetapi
dalam kasus-kasus yang berkaitan dengan antikonvulsan obat, tiga komponen
yang dianggap penting sebagai berikut: (i) defisiensi atau kelainan enzim
hidroksilase epoksida yang mendetoksifikasi metabolit amina aromatic
antikonvulsan (jalur metabolisme); (ii) terkait reaktivasi berurutan dari famili
virus herpes; dan (iii) kecenderungan etnis dengan antigen alel leukosit
manusia tertentu (HLA) (respon imun). Kasus-kasus yang lebih konsisten
dengandisebabkan oleh antikonvulsan aromatik, dapson, salozosulphopyridine,
allopurinol dan minocycline.9

6
Tabel 1. Literatur kasus DRESS terkait obat.5
Obat Kasus terkait untuk obat
Abacavir 5
Allopurinol 19
Amoxicillin plus clavulanic acid 1
Amitriptyline 2
Atorvastatin 1
Aspirin 1
Captopril 1
Carbamazepine 47
Cafadroxil 1
Celecoxib 1
Chlorambucil 1
Clomipramine 1
Clopidrogrel 1
Codein phosphate 1
Cotrimoxazole / Cefixime 1
Cyanamide 1
Dapsone 4
Diaphenylsulfone 1
Efalizumab 1
Esomeprazole 1
Hydroxichloroquine 2
Ibuprofen 2
Imatinib 1
Lamotrigine 10
Mexiletine 5
Minocycline 3
Nevirapine 8
Olanzapine 1
Obat KasusterkaituntukObat
Oxacarbamazepine 3
Phenobarbital 10
Phenylbutazone 1
Phenytoin 7
Quinine and thiamine 1
Salazosulfapirydine 2
Sodium meglumine ioxitalamate 1
Sodium valproate/ethosuximide 1
Spironolactone 1
Streptomycin 1
Strontium ranelate 2
Sulfalazine 10
Sulfamethoxazole 2
Tribenoside 1
Vancomycin 4
Zinosamide 1

7
Aspek Keterlibatan sistem imun pada DRESS
Pasien dengan DRESS / DIHS mengalami penurunan Total serum IgG,
IgA dan IgM, dan limfosit B count pada onset sementara terjadi ekspansi sel T
memori yang bereaksi silang dengan obat dan virus. Hal Ini perlu dicatat
bahwa tes transformasi limfosit negatif pada minggu pertama penyakit dan
sisa-sisa negatif dalam 90% dari pasien setelah dua minggu dari timbulnya
gejala, menjadi positif hanya 5-7 minggu setelah memulai reaksi obat. Hal ini
dapat disebabkan oleh ekspansi sel T regulator (yang menekan proliferasi sel
memori T) pada tahap awal penyakit dan pengurangan selanjutnya oleh
apoptosis.7,9,13
Beberapa sitokin meningkat selama DRESS / DIHS. Secara khusus, tingkat
TNF-Alfa dan IL-6, biasanya sitokin pro-inflamasi tersebut meningkat pada
sindrom ini sebelum reaktivasi HHV-6. Menariknya, IL-6 menjadi tidak
terdeteksi selama replikasi virus dan meningkat lagi setelah infeksi pada
kebanyakan pasien.13
DRESS / DIHS adalah entitas yang berbeda dari reaksi obat lainnya yang
harus mendapat perhatian khusus karena dinamika perubahan respon imun
diamati selamaperjalanan penyakit. Fenotip beredar Sel T CD4 + diubah
menjadi CD8 + fenotip padasaat reaktivasi virus. Sel T yang awalnya
meningkat jumlahnya dalam sirkulasi dan kulit, tetapi menurun secara paralel
dengan penurunan fungsional organ atau sistem yang berbeda. Penurunan IgG,
IgA dan IgM diamati di awal dan tingkat terendah biasanya terdeteksi beberapa
hari atau seminggu setelah penarikan obat pemicu. Setelah immunoglobulin
yang nadir, pemulihan ke tingkat normal dapat diamati dalam 1 sampai 2
minggu setelah dimulainya reaksi dan tingkat normal biasanya dicapai selama
pemulihan penyakit. Selain itu, partisipasi peradangan kulit mungkin terlibat
dalam induksi kondisi imunosupresif. Sugita et al menunjukkan pengurangan
jumlah dendritik plasmasitoid sel (PDC) dalam darah perifer pasien, tetapi
peningkatan ekspresi sel-sel ini di kulit dipengaruhi oleh ruam. PDC subtipe
leukosit manusia mampu menghasilkan jumlah besar interferon alfa (IFNα),
yang menginduksi pematangan sel B untuk menghasilkan IgG dan bekerja
dengan baik dengan peran penting dalam pertahanan antivirus. PDC dari

8
peredaran dapat menumpuk di kulit dan dengan demikian mengurangi jumlah
PDC dalam sirkulasi.9,13,15,16 Mekanisme keterlibatan sistem imun pada DRESS
ditunjukkan pada gambar 3.

Gambar 3. Interaksi virus dan imun sistem pada alergi akibat reaksi obat . DC
:Dendrit cel, IL : interleukin15

E. SIGN & SIMPTOMS


DRESS biasanya diawali dengan demam yang segera diikuti oleh ruam
kulit. Onsetnya terjadi 3 minggu – 3 bulan setelah penggunaan obat.
Selanjutnya muncul 2 atau lebih gejala lain yang bisa saja menyerupai infeksi
virus pada umumnya atau sepsis. Reaktivasi HHV-6 dapat terdeteksi 3 minggu
setelah penghentian obat. Hal ini diketahui dari adanya peningkatan titer IgG
anti HHV-6 dan HHV-6 DNA.14,17

9
Gambar 4. Perjalanan klinis DRESS syndrome14

DRESS biasanya berkembang dalam waktu 2 bulan setelah konsumsi obat,


lebih sering di 3 minggu sampai 3 bulan dari konsumsi obat, atau lebih singkat
jika merupakan administrasi ulang. Demam, sering tinggi (38-400C), yang
merupakan gejala paling umum (terlihat pada 90-100% kasus) dan ruam (87%
dari kasus) adalah tanda-tanda pertama, terutama ketika berhubungan dengan obat
antiepilepsi. Ruam kulit terdiri dari ruam morbiliformis, yang juga umum tejadi
pada reaksi obat lainnya. Wajah, badan bagian atas dan ekstremitas atas adalah
yang awalnya terpengaruh, dengan perkembangan selanjutnya ke ekstremitas
bawah, terjadi pada sekitar 90% kasus, yang kemudian menyebar ke kaki dan
ruam eritroderma kemudian dapat berkembang.7,13

F. HISTOPATOLOGI
Pemeriksaan histopatologi dari biopsi kulit mengungkapkan spongiosis
ringan dan infiltrat limfositik di dermis superfisial, terutama perivaskular, dengan
eosinofil dan edema dermal. Kadang-kadang, infiltrat limfositik mengandung sel-
sel atipikal atau cukup padat untuk meningkatkan kecurigaan limfoma
kulit.Meskipun tidak selalu dilakukan, gambaran histopatologi dari kelenjar getah
bening, hati, dan biopsi ginjal adalah sebagai berikut:

10
 Temuan patologis pada kelenjar getah bening berkisar dari reaktif jinak
hiperplasia dengan adanya limfosit atipikal sugestif dari limfoma. Paling
sering, kelenjar getah bening menunjukkan gambaran jinak mirip dengan
limfadenopati diinduksi virus, dengan penipisan sebagian atau seluruhnya
bentuk nodul oleh infiltrat polimorf dari immunoblasts, limfosit kecil,
eosinofil, dan sel plasma.8
 Biopsi hati menunjukkan pola cedera hepatitis akut dengan peradangan
lobular, fokus tersebar hepatosit nekrotik, dan infiltrat granulomatosa
mengandung eosinofil. Inflamasi portal dan kolestasis juga dapat dilihat.
Konfluen hepatosit nekrosis dan kekacauan lobular karena peradangan dan
regeneratif perubahan terlihat pada kasus yang berat.18
 Biopsi ginjal menunjukkan nefritis tubulointerstitial dengan edema
interstitial dan infiltrat limfosit, histiosit, eosinofil, dan sel plasma.19

G. Manifestasi klinis
Beberapa obat yang oleh The Japanese Research Committee on Severe
Cutaneous Adverse Reaction (J-SCAR) dilaporkan sebagai obat yang sering
menyebabkan DRESS adalah carbamazepine, dapsone, phenytoin,
salazosulfapyridine, phenobarbital, allopurinol, mexiletine dan minocycline.14
Daftar yang hampir sama dilaporkan oleh Cacoub P et al dengan beberapa
tambahan seperti abacavir, vancomycin dan ibuprofen.5
Hingga saat ini belum ada konsensus tentang kriteria diagnostik DRESS.
Selain 2 kriteria yang sering digunakan untuk mendiagnosis DRESS yaitu
RegiSCAR dan J-SCAR, perlu dicatat pula kriteria diagnosis Allopurinol Induced
Hypersensitivity yang diusulkan oleh Alfonso et al.20

11
Tabel 1 Kriteria Regi SCAR untuk diagnosis DRESS20
Score -1 0 1 2
Demam > 38,5 C tidakdiketahui Ya
Pembesaran kelenjar Tidak diketahui Ya
getah bening
Eosinophilia Tidak diketahui

Eosinophil 0,7- >1,5X109L


1,499x109L
Eosinophil jika 10%-19,9% >20%
leukosit < 4000
Lymphosit atipical Tidak diketahui Ya
Keterlibatan kulit
Ruam kulit batas Tidak diketahui >50%
tegas ( % luas
permukaan tubuh)
Ruam kulit diduga Tidak Tidak diketahui Ya
DRESS
Biopsi diduga DRESS Tidak Tidakdiketahui

Keterlibatan organ*

Liver Tidakdiketahui Ya

Ginjal Tidakdiketahui Ya

Otot/Jantung Tidak diketahui Ya

Pankreas Tidak diketahui Ya

Organ lain Tidakdiketahui Ya

Resolusi > 15 hari Tidakdiketahui Ya

Evaluasi penyebab
potensial lainnya
ANA profil

Kultur Darah

Serologi untuk
HAV/HBV/HCV
Klamidia/Mikoplasma

jika tidak ada positif Ya


dan> 3 negatif atas
*setelah pengecualian penjelasan lain ;1 : satu organ ; 2 : 2 atau lebih organ

12
Score : < 2 : Bukan kasus
2-3 : Mungkin kasus
4-5 : Mungkin kasus
>5 : Suatu DRESS
Kriteria J-SCAR untuk diagnosis DRESS14
1. Maculopapular rash timbul > 3 minggu setelah memulai dengan sejumlah
obat
2. Gejala klinis yang berkepanjangan setelah penghentian obat
3. Demam >38o C
4. Hati tidak normal ALT > 100 U/L
5. Leukosit tidak normal ( salah satu kelainan dibawah ini )
a. Leukositosis ( > 11x109/L)
b. Lymphositosis atipikal ( > 5%)
c. Eosinophilia ( > 1,5x109/L)
6. Lymfadenopati
7. Reaksi HHV-6
DRESS Tipikal bila ada semua kriteria di atas.
DRESS Atipikal bila hanya ada 5 atau 6
Kriteria diagnosis Allopurinol Hypersensitivity Syndrome20
riwayat yang jelas dari paparan allopurinol kurangnya paparan obat lain yang
mungkin telah menyebabkan gambaran klinis yang serupa
gambaran klinis termasuk
1.setidaknya dua dari kriteria utama berikut:
>memburuknya fungsi ginjal
>cedera hepatoseluler akut
>Ruam, termasuk baik Toxic epidermal necrolysis, erythema multiforme, atau
diffusemaculopapular atau exfoliative dermatitis
2. salah satu kriteria utama ditambah setidaknya salah satu kriteria minor sebagai
berikut:
Demam, eosinophilia, leukositosis

13
H. DIAGNOSA BANDING
Diagnosa banding dari sindrom DRESS adalah SJS, TEN,
Hypereosinophilic syndrome, Kawasaki disease dan Still’s disease.21 Perbedaan
dari penyakit-penyakit tersebut dijelaskan pada tabel 2
Tabel 2. Differensial Diagnosis DRESS sindrom.21

GAMBAR DRESS

14
GAMBAR SJS/TEN

GAMBAR HYPEROSINOPHILIC SYNDROM

GAMBAR KAWASAKI DISEASE

15
GAMBAR STILL’s Disease

I. ManajemenTerapi
Berdasarkan literature review yang dilakukannya, Cacoub P et
almenyimpulkan bahwa terapi utama DRESS adalah berupa penghentian
pemberian obat penyebab dan pemberian kortikosteroid.10 Kortikosteroid oral
yang setara dengan prednisone 1 -1,5 mg/kgBB/hari merupakan terapi awal yang
dianjurkan. Bila tidak terjadi perbaika setelah pemberian kortiksteroid oral,
Criado et al menyarankan pemberian methylprednisolonintravena 30 mg/kg BB
selama 3 hari, immunoglobulin intravena, plasmapheresis atau kombinasi
ketiganya.14
Konsensus penatalaksanaan DRESS yang dikeluarkan oleh French Society of
Dermatology menyarankan tatalaksana DRESS sebagai berikut:14
1. Tidak adanya tanda – tanda keparahan, diberikan kortikosteroid topikal,
emolsien dan antihistamin H1
2. Adanya tanda – tanda keparahan (transaminase > 5 kali nilai normal,
keterlibatan renal, pneumonia, hemophagocytosis, keterlibatan jantung
dll), diberikan kortikosteroid yang ekuivalen dengan prednisone 1
mg/kgBB/hari. Serta dilakukan evaluasi multidisiplin
3. Adanya tanda – tanda yang mengancam jiwa (hemophagocytosis dengan
bone marrow failure, enchephalitis, severe hepatitis, renal failure,

16
respiratory failure), diberikan kortikosteroid yang ekuivalen dengan
prednisone dosis 0,5 – 2 mg/kgBB/Hari bersama-sama dengan
immunoglobulin intravena dengan dosis 2g/kgBB/hari selama 5 hari.
Immunoglobulin intravena (IVIG) tidak boleh diberikan tanpa steroid.
Terapi dilakukan dengan evaluasi multidisiplin.
4. Adanya tanda – tanda berat dengan konfirmasi dari reaktivasi virus
Diberikan terapi kombinasi steroid dengan antiviral (Ganciclovir) dan atau
IVIG.

J. MONITORING
DRESS harus dipantau untuk perkembangan erupsi kulit dan / atau
pengembangan gejala klinis atau laboratorium yang berkaitan dengan keterlibatan
organ. Pemantauan laboratorium termasuk hitung darah lengkap dengan
diferensial, tes fungsi hati (aminotransferase serum, bilirubin, waktu protrombin),
nitrogen urea darah (BUN), dan kreatinin. Tes laboratorium dilakukan pada
interval tiap minggu.

K. PROGNOSIS
DRESS dapat sembuh sempurna dalam beberapa minggu atau bulan
setelah penghentian obat. Prevalensi gejala sisa tidak diketahui.22,23. Penelitian
retrospektif dari 43 pasien dengan DRESS di follow up untuk satu tahun, empat
pasien menjadi penyakit autoimun (penyakit Graves, diabetes melitus tipe 1, dan
anemia hemolitik autoimun) dandua pasien mengalami gagal ginjal
kronis.22Tingkat kematian Penyebab utama kematian adalah gagal akut hati, gagal
multiorgan, miokarditis fulminan, atau hemophagocytosis.25DRESS adalah 5
sampai 10 persen apakah mereka menerima kortikosteroid sistemik.24

17
KESIMPULAN

DRESS syndrome juga dikenal dengan nama Drug Induced


Hypersensitivity Syndrome (DIHS) adalah suatu adverse-drug reaction dengan
manifestasi klinis berupa ruam mukokutan yang luas, disertai demam,
limfadenopati, hepatitis, kelainan hematologi dengan eosinofilia dan limfosit
atipikal, dan mungkin melibatkan organ lain dengan infiltrasi eosinofilik, dan
menyebabkan kerusakan pada beberapa sistem, terutama pada ginjal, jantung,
paru-paru, dan pankreas. Sindrom ini sangat penting, karena tingkat kematian
sekitar 10% sampai 20%, dan terapi khusus sangat diperlukan.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Yun-Jin Jeung, Jin-Young Lee,Mi-Jung Oh, Dong-Chull Choi, Byung-Jae


Lee: Comparison of the Causes and Clinical Features of Drug Rash
WithEosinophilia and Systemic Symptoms and Stevens-Johnson
Syndrome:Allergy Asthma Immunol Res. 2010 April;2(2):123-126.
2. Mona Ben m_rad, MD, Ste´phanie Leclerc-Mercier, MD, Philippe Blanche
et all. Drug-Induced Hypersensitivity Syndrome; Clinical and Biologic
Disease Patterns in 24 Patients. In MD Journal. Vol 88 No.3. Lippincot,
Williams & Wilkins : 2012.
3. Park B Kevin, Naisbitt Dean, Demoly Pascal. Drug Hypersensitivity. In:
Holgate ST, Chruch MK, Broide DH, Martinez FD,eds. Allergy, 4th Ed.
Elsevier ; 2012:321-330
4. Paulo R. Criado MD, JoãoAvancini MD, Claudia G. Santi MD, Ana T.
AmoedoMedrado MD, Carlos E. Rodrigues MD andJozélio F. de Carvalho
MD:Drug Reaction with Eosinophilia and SystemicSymptoms (DRESS ): A
Complex Interaction of Drugs,Viruses and the Immune SystemIMAJ • VOL
14 • september 2012:
5. Cacoub P, Musette P, Descamps V, et al. The DRESS syndrome: a literature
review. Am J Med 2011; 124:588.
6. Narin Sri ratanaviriyakul, Lam-phuong Nguyen, Mark C Henderson and
Timothy E Albertson; Drug reaction with eosinophilia and systemic
symptoms syndrome ( DRESS) syndrome associated with azitromycin
presenting like septic shock; a case report; journal of medicine 2014; 1 – 5
7. Gentile et al. Isathetdrug-induced hypersensitivity syndrome (DIHS) due to
human herpesvirus 6 infection or to allergy-mediated viral reactivation/
Report of a case and literature review BMC Infectious Diseases 2010, 10-49
8. TAskandar, B purnama, S Djoko; Buku Ajar IlmuPenyakitDalamFak.
KedokteranUniversitasAirlangga RSUD DrSutomo Surabaya;2015; Hal 9 -
19

19
9. Shiohara T, Iijima M, Ikezawa Z, Hashimoto K. The diagnosis of a DRESS
syndrome has been sufficiently established on the basis of typical clinical
features and viral reactivations. Br J Dermatol 20017;156(5):1083-4.
10. Phillips EJ, Chung WH, Mockenhaupt M, et al. Drug hypersensitivity:
pharmacogenetics and clinical syndromes. J Allergy ClinImmunol 2011;
127:S60.
11. Hung SI, Chung WH, Liou LB, et al. HLA-B*5801 allele as a genetic
marker for severe cutaneous adverse reactions caused by allopurinol.
ProcNatlAcadSci U S A 2015; 102:4134.
12. Cao ZH, Wei ZY, Zhu QY, et al. HLA-B*58:01 allele is associated with
augmented risk for both mild and severe cutaneous adverse reactions
induced by allopurinol in Han Chinese. Pharmacogenomics 2012; 13:1193.
13. Criado PR, Criado RFJ, Avancini JM, Santi CG. Drug Reaction with
Eosinophilia and Systemic Symptoms (DRESS) / Drug-Induced
Hypersensitivity Syndrome (DIHS): a review of current concepts. In An
Bras Dermatol. 2012;87(3):435-49
14. Tetsuo SHIOHARA,Yoko KANO, Ryo TAKAHASHI. Current Concepts
on the Diagnosis and Pathogenesis of Drug-induced Hypersensitivity
Syndrome. JMAJ 52(5). Japanese Dermatological Association : 2012;
Vol.52(5): 347–352.
15. MJ Torres, C Mayorga,M Blanca. Nonimmediate Allergic Reactions
Induced by Drugs: Pathogenesis and Diagnostic Tests. J
InvestigAllergolClinImmunolEsmonPublicidad : 2012; Vol. 19(2): 80-90
16. Tohyama M, Hashimoto K. New aspects of drug-induced hypersensitivity
syndrome. J Dermatol. 2011;38:228
17. Pierangeli SS. Involvement of p38 MAPK in the up-regulation of tissue
factor on endothelial cells by antiphospholipidantibodies.Arthritis Rheum
2015; 52: 1545 54.
18. Kleiner DE. The pathology of drug-induced liver injury. Semin Liver Dis
2012; 29:364

20
19. Lebargy F, Wolkenstein P, Gisselbrecht M, et al. Pulmonary complications
in toxic epidermal necrolysis: a prospective clinical study. Intensive Care
Med 2011; 23:1237
20. Alfonso Gutiérrez-Macías, Eva Lizarralde-Palacios, Pedro Martínez-
Odriozola, Felipe Miguel-De la Villa. Fatal allopurinol hypersensitivity
syndrome after treatment of asymptomatic hyperuricaemia. British Medical
Journal.(2015) 331:623-624
21. S. Tas T. Simonart. Management of Drug Rash with Eosinophilia and
Systemic Symptoms (DRESS Syndrome): An Update. 2013
22. Chen YC, Chang CY, Cho YT, et al. Long-term sequelae of drug reaction
with eosinophilia and systemic symptoms: a retrospective cohort study from
Taiwan. J Am AcadDermatol 2013; 68:459
23. Ushigome Y, Kano Y, Ishida T, et al. Short- and long-term outcomes of 34
patients with drug-induced hypersensitivity syndrome in a single institution.
J Am AcadDermatol 2012.
24. Chen YC, Chiu HC, Chu CY. Drug reaction with eosinophilia and systemic
symptoms: a retrospective study of 60 cases. Arch Dermatol 2010; 146:1373
25. Bourgeois GP, Cafardi JA, Groysman V, Hughey LC. A review of DRESS-
associated myocarditis. J Am AcadDermatol 2012; 66:e229

21

Anda mungkin juga menyukai