Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

Anemia Defisiensi Besi adalah anemia yang disebabkan karena


kekurangan besi yang digunakan untuk sintesis hemoglobin (Hb). Defisiensi
besi merupakan defisiensi nutrisi umum di seluruh dunia dan merupakan
masalah kesehatan yang penting terutama di negara berkembang. Berdasarkan
data WHO, 30% anak usia 0-4 tahun dan 48% anak usia 5-14 tahun di negara-
negara berkembang menderita anemia.1
Di Indonesia, Anemia Defisiensi Besi (ADB) masih merupakan suatu
masalah kesehatan. Secara epidemiologi, prevalensi tertinggi ditemukan pada
akhir masa bayi dan awal masa kanak-kanak diantaranya karena terdapat
defisiensi besi saat kehamilan dan percepatan tumbuh masa kanak-kanak yang
disertai rendahnya asupan besi dari makanan, atau karena penggunaan susu
formula dengan kadar besi kurang. Selain itu Anemia Defesiensi Besi juga banyak
ditemukan pada masa remaja akibat percepatan tumbuh, asupan besi yang tidak
adekuat dan diperberat oleh kehilangan darah akibat menstruasi pada remaja
puteri. 2
Data Survei Kesehatan Rumah Tangga menunjukkan prevalensi ADB
(Anemia Defesiensi Besi). Angka kejadian Anemia Defisiensi Besi (ADB) pada
anak balita di Indonesia sekitar 40-45%. Survei Kesehatan Rumah Tangga
(SKRT) menunjukkan prevalens Anemia Defesiensi Besi pada bayi 0-6 bulan,
bayi 6-12 bulan, dan anak balita berturut-turut sebesar 61,3%, 64,8% dan 48,1. 3

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Anemia yang berasal dari bahasa Yunani kuno yaitu anaimia yang artinya
kurang darah didefinisikan sebagai berkurangnya jumlah total dari hemoglobin
atau berkurangnya jumlah sel darah merah. Anemia Defisiensi Besi (ADB) adalah
anemia yang disebabkan oleh kurangnya besi yang diperlukan untuk sintesis
hemoglobin.1

B. Epidemiologi
Prevalensi Anemia Defesiensi Besi tinggi pada bayi, hal yang sama juga
dijumpai pada anak usia sekolah dan anak praremaja. Angka kejadian Anemia
Defesiensi Besi pada anak usia sekolah (5-8 tahun) di kota sekitar 5,5%, anak
praremaja 2,6% dan gadis remaja yang hamil 26%. Apabila dipandang dari warna
kulit, prevalens Anemia Defesiensi Besi lebih tinggi pada anak kulit hitam
dibanding kulit putih. Keadaan ini mungkin berhubungan dengan status sosial
ekonomi anak kulit hitam yang lebih rendah. 2
Data SKRT menunjukkan prevalens ADB. Angka kejadian Anemia
Defisiensi Besi (ADB) pada anak balita di Indonesia sekitar 40-45%. Survei
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) menunjukkan prevalens ADB pada bayi 0-6
bulan, bayi 6-12 bulan, dan anak balita berturut-turut sebesar 61,3%, 64,8% dan
48,1. 2

C. Etiologi
Penyebab paling umum dari anemia defesiensi besi diamati pada anak-anak
termasuk kurangnya asupan bersama dengan pertumbuhan yang cepat, berat
badan lahir rendah serta gangguan pencernaan akibat konsumsi berlebihan susu

2
sapi. Pada periode intrauterine, satu-satunya sumber zat besi adalah besi yang
dialirkan melalui plasenta.
Penyebab anemia berdasarkan usia adalah :
a. Bayi dibawah umur 1 tahun
Persediaan besi yang kurang karena berat badan lahir rendah
b. Anak umur 1-2 tahun
1. Masukan (intake) besi yang kurang karena tidak mendapat makanan
tambahan (hanya minum susu)
2. Kebutuhan meningkat karena infeksi berulang
3. Malabsorbsi
4. Kehilangan berlebihan karena perdarahan antara lain karena infeksi
parasit dan divertikulum Meckeli
c. Anak berumur 2-5 tahun
1. Masukan besi berkurang karena jenis makanan kurang mengandung
Fe heme
2. Kebutuhan meningkat karena infeksi berulang/menahun
3. Kehilangan berlebihan karena perdarahan antara lain karena infestasi
parasit dan divertikulum Meckeli
d. Usia remaja – dewasa. Pada wanita antara lain karena menstruasi
berlebihan.

D. Patogenesis
Keadaan anemia defisiensi besi ditandai dengan saturasi transferin
menurun, dan kadar feritin atau hemosiderin sumsum tulang berkurang. Menurut
Walmsley et al, Secara berurutan perubahan laboratoris pada defisiensi besi
sebagai berikut:
(1) penurunan simpanan besi
(2) penurunan feritin serum
(3) penurunan besi serum disertai meningkatnya transferin serum, (4)
peningkatan Red cell Distribution Width (RDW),

3
(4) penurunan Mean Corpuscular Volume (MCV), dan terakhir (6) penurunan
hemoglobin.
Didasari keadaan cadangan besi, akan timbul defisiensi besi yang
terdiri atas tiga tahap yaitu :
1) Tahap pralaten (iron depletion)
Pada tahap pertama terjadi penurunan feritin serum kurang dari
12μg/L dan besi di sumsum tulang kosong atau positif satu, sedangkan
komponen yang lain seperti kapasitas ikat besi total/total iron binding
capacity (TIBC), besi serum/serum iron (SI), saturasi transferin, RDW,
MCV, hemoglobin dan morfologi sel darah masih dalam batas normal,
dan disebut tahap deplesi besi.
2) Tahap laten (iron deficient erythropoesis)
Pada tahap kedua terjadi penurunan feritin serum, besi serum,
saturasi transferin dan besi di sumsum tulang yang kosong, tetapi TIBC
meningkat >390 μg/dl. Komponen lainnya masih normal, dan disebut
eritropoesis defisiensi besi.

3) Tahap anemia defisiensi besi (iron deficiency anemia)


Anemia defisiensi besi ialah tahap defisiensi besi yang berat dari
dan ditandai selain kadar feritin serum serta hemoglobin yang turun.
Semua komponen lain juga akan mengalami perubahan seperti gambaran
morfologi sel darah mikrositik hipokromik, sedangkan RDW dan TIBC
meningkat >410 μg/dl. 4

4
E. Manifestasi Klinis
a) Gejala Klinis
Gejala klinis Anemia Defesiensi Besi sering terjadi perlahan dan tidak begitu
diperhatikan oleh penderita dan keluarganya. Gejala-gejala klinis yang dapat
timbul pada anemia defisiensi besi antara lain:
1. Pucat yang berlangsung lama tanpa manifestasi perdarahan
2. Kelemahan dalam melakukan aktivitas sehari-hari
3. Pica, yaitu keinginan untuk memakan makanan yang tidak biasa seperti
kertas, tanah atau rambut4.
4. Pagophagia, keinginan untuk memakan es batu.3
Ketika hemoglobin berada pada level <5g/dL, gejala yang timbul biasanya:
1. Iritabilitas
2. Anorexia
3. Lethargy
4. Murmur sistolik (anemic murmur)2
b) Tanda Klinis
Tanda-tanda yang dapat ditemukan pada penderita anemia defisiensi besi
ialah sebagai berikut:9

5
1. Pucat. Muka pucat merupakan tanda klinisi yang paling penting, namun
biasanya tidak kelihatan sampaikadar hemoglobin turun hingga 7-8 g/dL.
Pucat biasanya dapat dilihat di telapak tangan.
2. nail beds atau konjungtiva mata. Biasanya orangtua gagal untuk melihat bahwa
anaknya pucat, biasanya yang pertama kali melihat pucat ialah teman yang
berkunjung.3
2. Cheilosis. Cheilosis merupakan fissura yang terbentuk di sudut mulut2

3. Koilonichia. Koilonichia ialah bentuk jari tangan yang menyerupai sendok3

4. Splenomegali. Splenomegali timbul ketika anemia defisiensi besi yang terjadi


sudah sangat berat, persisten dan tidak diobati.6

Pada Anemia Defesiensi Besi gejala klinis terjadi secara bertahap.


Kekurangan zat besi di dalam otot jantung menyebabkan terjadinya gangguan
kontraktilitas otot organ tersebut. Pasien Anemia Defesiensi Besi akan
menunjukkan peninggian ekskresi norepinefrin; biasanya disertai dengan
gangguan konversi tiroksin menjadi triodotiroksin. Penemuan ini dapat

6
menerangkan terjadinya iritabilitas, daya persepsi dan perhatian yang berkurang,
sehingga menurunkan prestasi belajar kasus Anemia Defesiensi Besi.3
Anak yang menderita Anemia Defesiensi Besi lebih mudah terserang infeksi
karena defisiensi besi dapat menyebabkan gangguan fungsi neutrofil dan
berkurangnya sel limfosit T yang penting untuk pertahanan tubuh terhadap
infeksi. Perilaku yang aneh berupa pika, yaitu gemar makan atau mengunyah
benda tertentu antara lain kertas, kotoran, alat tulis, pasta gigi, es dan lain lain,
timbul sebagai akibat adanya rasa kurang nyaman di mulut. Rasa kurang nyaman
ini disebabkan karena enzim sitokrom oksidase yang terdapat pada mukosa mulut
yang mengandung besi berkurang. 3
Dampak kekurangan besi tampak pula pada kuku berupa permukaan yang
kasar, mudah terkelupas dan mudah patah. Bentuk kuku seperti sendok
(spoonshaped nails) yang juga disebut sebagai kolonikia terdapat pada 5,5%
kasus Anemia Defesiensi Besi. Pada saluran pencernaan, kekurangan zat besi
dapat menyebabkan gangguan dalam proses epitialisasi.Papil lidah mengalami
atropi. Pada keadaan Anemia Defesiensi Besi berat, lidah akan memperlihatkan
permukaan yang rata karena hilangnya papil lidah. Mulut memperlihatkan
stomatitis angularis dan ditemui gastritis pada 75% kasus ADB (Anemia
Defesiensi Besi).3

F. Penegakkan Diagnosis
Diagnosis Anemia Defesiensi Besi ditegakkan berdasarkan hasil temuan
dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorium yang dapat mendukung
sehubungan dengan gejala klinis yang sering tidak khas.

Pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan untuk mendiagnosis perkembangan


penyakit anemia defisiensi besi ialah:
1. Serum ferritin
2. Serum besi
3. Free erythrocite protoporphyrin (FEPs)
4. Saturasi transferin

7
5. Hitung jumlah eritrosit
6. Hitung jumlah reticulocyte
7. Hemoglobin
8. Indeks eritrosit (MCV, MCH, MCHC)
9. RBC (Red Blood Cell) Distribution Width
10. Pemeriksaan darah tepi2

Ada beberapa kriteria diagnosis yang dipakai untuk menentukan Anemia


Defesiensi Besi:
Kriteria diagnosis menurut WHO:
1. Kadar Hb kurang dari normal sesuai usia
2. Konsentrasi Hb eritrosit rata-rata<31% (N: 32-35%)
3. Kadar Fe serum <50 ug/dL (N:80-180ug/dL)
4. Saturasi Transferin <15% (N: 20-50%)2
Bila sarana terbatas, diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan:
1. Anemia tanpa perdarahan
2. Tanpa organomegali
3. Gambaran darah tepi: mikrositik, hipokrom, anisositosis, sel target
4. Respon terhadap pemberian terapi besi4

G. Diagnosis Banding
Penyakit-penyakit yang hampir mirip dengan anemia defisiensi besi ialah
thalasemia alfa atau thalasemia beta dan anemia karena penyakit kronik. 2
Tabel dibawah ini yang dapat perlihatkan perbedaan diantara penyakit-
penyakit di atas.2

8
H. Penatalaksanaan
a) Farmakologi
Respon umum pada anemia defisiensi besi terhadap terapi besi yang adekuat
merupakan suatu diagnostik kunci yang mempertegas bahwa pasien tersebut
menderita anemia jenis ini. Pemberian tablet besi oral merupakan terapi yang
tidak mahal dan sangat efektif. Tidak ada bukti yang kuat bahwa penambahan
elemen metal lain atau vitamin dapat meningkatkan respon terhadap terapi garam
besi. Disamping rasa yang tidak enak dari tablet besi, intoleransi terhadap tablet
besi pada anak jarang dibanding dengan anak yang lebih tua dan remaja.8 ,1,2
Dosis terapi untuk elemen besi yang harus diberikan ialah 3-6 mg/kg yang
dibagi dalam 3 waktu sehari. Ferrous sulfate memiliki jumlah elemen besi
sebanyak 20% dan idealnya diberikan bersamaan diantara makanan. Pemberian
dalam bentuk parenteal hanya digunakan apabila terdapat malabsorbsi. Garam
ferous sekitar 3 kali lebih baik penyerapannya dibandingkan garam feri, maka
preparat yang tersedia adalah ferro sulfat, ferro glukonat, ferro fumarat.2, 8
Dosis obat yang terlalu besar akan memberikan efek samping pada saluran
pencernaan dan tidak memberikan efek penyembuhan yang cepat. Absorbsi besi

9
yang terbaik adalah pada saat lambung kosong, diantara dua waktu makan, akan
tetapi dapat menimbulkan efek samping pada aluran cerna. Untuk mengatasi hal
tersebut pemberian besi dapat dilakukan pada saaat makan atau segera setelah
makan meskipun akan mengurangi absorbsi obat sekitar 40-50%. Preparat besi ini
harus terus diberikan
selama 2 bulan setelah anemia pada penderita teratasi.2 Jika anemianya
ringan, pemeriksaan darah dilakukan kembali dalam waktu 4 minggu setelah
terapi awal. Pada titik ini setidaknya sudah terdapat peningkatan kadar
hemoglobin sebanyak 1-2 g/dL dan biasanya menjadi baik kembali. Jika anemia
lebih berat lagi, konfirmasi yang lebih cepat dari diagnosis dapat dibuat dengan
melihat adanya retikulosit dalam 48-96 jam setelah terapi awal. Hemoglobin akan
meningkat sebanyak 0.1-0.4 g/dL per hari tergantung dari beratnya anemia.
Pemberian terapi zat besi harus dilanjut sampai 8 minggu setelah kadar
hemoglobin normal.2
Untuk pemberian intramuscular atau intravena, kemampuan untuk
menaikkan kadar Hb tidak lebih baik dibanding peroral.
Terapi berupa transfusi darah hanya diberikan pada keadaan anemia yang
sangat berat dengan kadar Hb <4 g/dL. Transfusi pada pasien dalam keadaan ini
dapat diberikan berupa suspense eritrosit PRC dengan dosis 2-3 mL/kgBB/ kali
pemberian atau secara serial dengan teteasan lambat.

b. Tatalaksana non farmakologi


Pencegahan primer:
 Mempertahankan ASI eksklusif hingga 6 bulan
 Menunda pemakaian susu sapi sampai usia 1 tahun
 Menggunakan sereal/makanan tambahan yang difortifikasi tepat
pada waktunya, yaitu sejak usia 6 bulan sampai 1 tahun
 Pemberian vitamin C seperti jeruk untuk meningkatkan absorbsi
besi, serta menghindari bahan yang menghambat absorbsi besi
seperti the, fosfat dan phytat pada makanan
 Pendidikan kebersihan lingkungan

10
Pencegahan sekunder:
 Skrining ADB
Periksa Hb atau Ht. American Academy of Pediatrics (AAP)
menganjurkan skrining antara usia 9-12 bulan,6 bulan kemudian14
dan usia 24 bulan. Pada daerah resiko tinggi sejak usia 1 tahun
sampai 5 tahun.
 Suplementasi besi
Cara yang paling tepat untuk mencegah Anemia Defesiensi Besi di daerah
prevalens tinggi. Dosis elemental yang dianjurkan:
- BBL normal dimulai sejak usia 6 bulan dianjurkan 1 mg/kgBB/hari
- BBL 1,5-2,0 kg : 2 mg/kgBB/ hari diberikan sejak usia 2 minggu
- BBL 1,0-1,5 kg : 3 mg/kgBB/ hari diberikan sejak usia 2 minggu
- BBL <1 kg : 2 mg/kgBB/ hari diberikan sejak usia 2 minggu4

I . Komplikasi
Beberapa komplikasi yang dapat timbul akibat anemia defisiensi besi
ialah:
1. Jari kuku yang menjadi lebih rapuh dan membentuk kuku seperti sendok
2. Lidah memperlihatkan suatu atrofi dari papilla lingua dan membentuk
tampakan yang glossy
3. Tingkat intelegensia dari anak menjadi berkurang di sekolah
4. Pertumbuhan anak terhambat7

J. Prognosis
Prognosis dari penyakit anemia defisiensi besi pada umumnya baik (dubia et
bonam) asalkan terapi besi dan nutrisi yang kaya zat besi di konsumsi dengan
tepat. Pengawasan ketat harus dilakukan pada anak agar tidak terjadi kelebihan
besi yang dapat mengakibatkan keracunan.9
Pada anak, pertumbuhan akan menjadi lambat dan penurunan kapabilitas
untuk belajar sering ditemukan. Pada anak yang lebih muda, anemia defisiensi

11
yang berat berhubungan dengan tingkat intelegensia (IQ) yang rendah,
berkurangnya kemampuan untuk belajar hal baru dan pertumbuhan yang
suboptimal.7

12
BAB III
KESIMPULAN

Anemia Defisiensi Besi merupakan penyakit yang sangat banyak dijumpai


ditengah-tengah masyarakat. Sebagai dokter umum kita dituntut untuk mampu
membuat diagnosis klinis dan melakukan penatalaksanaan penyakit tersebut
secara mandiri dan tuntas. Namun tugas kita di pelayanan primer bukan saja
hanya mengobati namun yang terpenting ialah kita harus meningkatkan
pendidikan kesehatan masyarakat awam dan melakukan kegiatan-kegiatan yang
dapat mencegah timbulnya anemia defisiensi besi.

13
DAFTAR PUSTAKA

1. Johnson TD, Graham DY. Diagnosis and management of iron deficiency


anemia in the 21st century. Ther Adv Gastroenterol, 2011. 4(3): 177-184
2. Permono HB et al. BUKU AJAR HEMATOLOGI-ONKOLOGI ANAK. Badan
penerbit IDAI; 2012.
3. Kliegman RM, et al. Nelson Textbook of Pediatrics, 19th Edition. Philadelphia:
Elseiver Saunders, 2011
4. Pudjiadi AH, et al. PEDOMAN PELAYANAN MEDIS IKATAN DOKTER
ANAK INDONESIA. Badan penerbit IDAI
5. Dinaz Z, Jinelle AW, Urs G. Iron deficiency Anemia. Can Vet, 2012. 53: 250-
256
6. Mayo Clinic[Internet]. Disease and Conditions Iron deficiency anemia;
[cited Jan 02, 2014]. Available from: http://www.mayoclinic.org/diseases-
conditions/irondeficiency- anemia/basics/risk-factors/con.
7. Harper JL. Medscape[Internet]. Iron Deficiency Anemia; 2015 [Updated on
Nov 7,2015]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/202333-
overview#a6.
8. Chattri GL. PEDIATRIC DRUG DOSES Second Edition. India: Jaypee
Brothers Medical Publishers, 2012
9. Nanda R. MedlinePlus [Internet]. Iron Deficiency Anemia; 2015 [updated on
Feb 13, 2015]. Available from:
https://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000584.htm.

14

Anda mungkin juga menyukai