Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

Penis terdiri dari corpus penis, glans penis, sulcus coronal glans penis, dan
preputium. Preputium penis merupakan lipatan kulit seperti kerudung yang
menutupi glans penis. Normalnya, kulit preputium selalu melekat erat pada glans
penis dan tidak dapat ditarik ke belakang pada saat lahir, namun seiring
bertambahnya usia serta diproduksinya hormon dan faktor pertumbuhan, terjadi
proses keratinisasi lapisan epitel dan deskuamasi antara glans penis dan lapis
bagian dalam preputium sehingga akhirnya kulit preputium terpisah dari glans
penis
Fimosis merupakan suatu kelainan pada penis, dimana kulit yang menutupi
gland penis, atau prepusium sangat sulit untuk diretraksi melalui gland penis.1
Fimosis merupakan kondisi dimana prepusium tidak dapat diretraksi ke bagian
proksimal dari gland penis..1,2
Secara epidemiologi, angka kejadian fimosis di Indonesia masih belum
diketahui. Untuk fimosis, di Taiwan, diperiksa dari 2.149 anak laki-laki yang
bersekolah, menunjukkan bahwa 50% pada anak laki-laki berumur 7 tahun
mengalami fimosis, namun angka kejadiannya menurun menjadi 8% pada anak
laki-laki usia 13 tahun.2 Fimosis menjadi masalah kesehatan dan masalah sosial
yang cukup serius, karena dapat mempengaruhi kualitas hidup penderita, baik
pendidikan, aktivitas harian, dan kenyaman. Yang menjadi dasar serius dalam hal
medis bahwa fimosis akan menyebabkan infeksi saluran kemih di masa
mendatang, dan nantinya akan dapat berkembang menjadi pyelonefritis kronis,
dan dapat berujung pada gagal ginjal kronik.3 Mengingat angka morbiditas yang
meningkat akibat dari fimosis dan parafimosis, dan dapat berkembang menjadi
masalah kesehatan yang lebih serius, untuk itu diperlukan pemahaman yang lebih
dalam tentang fimosis mulai dari definisi, penyebab, perjalanan penyakit,
diagnosis hingga penatalaksanaan.

1
Sebagai pilihan terapi konservatif pada kasus fimosis dapat diberikan salep
kortikoid (0,05-0,1%) dua kali sehari selama 20-30 hari. Terapi ini tidak
dianjurkan untuk bayi dan anak-anak yang masih memakai popok, tetapi dapat
dipertimbangkan untuk usia sekitar tiga tahun. Indikasi medis utama dilakukannya
tindakan sirkumsisi pada anak-anak adalah fimosis patologik. Pada kasus dengan
komplikasi, seperti infeksi saluran kemih berulang atau balloning kulit prepusium
saat miksi, sirkumsisi harus segera dilakukan tanpa memperhitungkan usia pasien

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Dan Fisiologi Penis

Gambar 1. Anatomi penis

Penis terdiri dari corpus penis, glans penis, sulcus coronal glans penis,
dan preputium. Preputium penis merupakan lipatan kulit seperti kerudung yang
menutupi glans penis. Normalnya, kulit preputium selalu melekat erat pada glans
penis dan tidak dapat ditarik ke belakang pada saat lahir, namun seiring
bertambahnya usia serta diproduksinya hormon dan faktor pertumbuhan, terjadi
proses keratinisasi lapisan epitel dan deskuamasi antara glans penis dan lapis
bagian dalam preputium sehingga akhirnya kulit preputium terpisah dari glans
penis.3,6

Bila dilihat dari penampang horizontal, penis terdiri dari 3 rongga yakni 2
batang korpus kavernosa di kiri dan kanan atas, sedangkan di tengah bawah
disebut korpus spongiosa. Kedua korpus kara kavernosa ini diliputi oleh jaringan
ikat yang disebut tunica albuginea, satu lapisan jaringan kolagen yang padat dan
di luarnya ada jaringan yang kurang padat yang disebut fascia buck.1,7

3
Korpus kavernosa terdiri dari gelembung-gelembung yang disebut
sinusoid. Dinding dalam atau endotel sangat berperan untuk bereaksi kimiawi
untuk menghasilkan ereksi. Ini diperdarahi oleh arteriol yang disebut arteria
helicina.Seluruh sinusoid diliputi otot polos yang disebut trabekel. Selanjutnya
sinusoid berhubungan dengan venula (sistem pembuluh balik) yang
mengumpulkan darah menjadi suatu pleksus vena lalu akhirnya mengalirkan
darah kembali melalui vena dorsalis profunda dan kembali ke tubuh.4,5

Vaskularisasi untuk penis berasal dari arteri pudenda interna lalu


menjadi arteria penis communis yang bercabang 3 yakni 2 cabang ke masing-
masing yakni ke korpus kavernosa kiri dan kanan yang kemudian menjadi arteria
kavernosa atau arteria penis profundus yang ketiga ialah arteria bulbourethralis
untuk korpus spongiosum. Arteria memasuki korpus kavernosa lalu bercabang-
cabang menjadi arteriol-arteriol helicinae yang bentuknya berkelok-kelok pada
saat penis lembek atau tidak ereksi. Vena-vena di bawah tunica albuginea ini
bergabung membentuk vena dorsalis profunda lalu ke luar dari Corpora
Cavernosa pada rongga penis ke sistem vena yang besar.1-7

B. Fimosis

Definisi Fimosis
Fimosis adalah suatu kelainan dimana preputium penis yang tidak dapat di
retraksi (ditarik) ke proksimal sampai ke korona glandis. Pada fimosis, preputium
melekat pada bagian glans dan mengakibatkan tersumbatnya lubang saluran
kencing, sehingga bayi dan anak menjadi kesulitan dan rasa kesakitan pada saat
buang air kecil. 1,5.

C. Epidemiologi
Secara epidemiologi, angka kejadian fimosis di Indonesia masih belum diketahui.
Untuk fimosis, di Taiwan, diperiksa dari 2.149 anak laki-laki yang bersekolah,
menunjukkan bahwa 50% pada anak laki-laki berumur 7 tahun mengalami
fimosis, namun angka kejadiannya menurun menjadi 8% pada anak laki-laki usia

4
13 tahun.2 Fimosis menjadi masalah kesehatan dan masalah sosial yang cukup
serius, karena dapat mempengaruhi kualitas hidup penderita, baik pendidikan,
aktivitas harian, dan kenyaman. Yang menjadi dasar serius dalam hal medis
bahwa fimosis akan menyebabkan infeksi saluran kemih di masa mendatang, dan
nantinya akan dapat berkembang menjadi pyelonefritis kronis, dan dapat berujung
pada gagal ginjal kronik.3 Mengingat angka morbiditas yang meningkat akibat
dari fimosis dan parafimosis, dan dapat berkembang menjadi masalah kesehatan
yang lebih serius, untuk itu diperlukan pemahaman yang lebih dalam tentang
fimosis mulai dari definisi, penyebab, perjalanan penyakit, diagnosis hingga
penatalaksanaan

D. Klasifikasi Fimosis
a. Fimosis kongenital : Fimosis ini bukan disebabkan oleh kelainan anatomi
melainkan karena adanya faktor perlengketan antara kulit pada penis bagian depan
dengan glans penis sehingga muara pada ujung kulit kemaluan seakan-akan
terlihat sempit. Sebenarnya merupakan kondisi normal pada anak-anak, bahkan
sampai masa remaja. Kulit preputium selalu melekat erat pada glans penis dan
tidak dapat ditarik ke belakang pada saat lahir, namun seiring bertambahnya usia
serta diproduksinya hormon dan faktor pertumbuhan, terjadi proses keratinisasi
lapisan epitel dan deskuamasi antara glans penis dan lapis bagian dalam
preputium sehingga akhirnya kulit preputium terpisah dari glans penis.2,4

5
b. Fimosis patologis timbul kemudian setelah lahir. Fimosis Patologis
didefinisikan sebagai ketidakmampuan untuk menarik preputim setelah
sebelumnya yang dapat ditarik. Hal ini berkaitan dengan kebersihan (higiene)
yang buruk, peradangan kronik glans penis dan kulit preputium (balanoposthitis
kronik), atau penarikan berlebihan kulit preputium (forceful retraction) pada
fimosis kongenital yang akan menyebabkan pembentukkan jaringan ikat (fibrosis)
dekat bagian kulit preputium yang membuka.5

Fimosis Fisiologis Fimosis Patologis

6
E. Patofisiologi
Fimosis yang fisiologis merupakan hasil dari adhesi lapisan-lapisan epitel
antara preputium bagian dalam dengan glans penis. Adhesi ini secara spontan
akan hilang pada saat ereksi dan retraksi preputium secara intermiten, jadi seiring
dengan bertambahnya usia (masa puber) phimosis fisiologis akan hilang.
Higienitas yang buruk pada daerah sekitar penis dan adanya balanitis atau
balanophostitis berulang yang mengarah terbentuknya scar pada orificium
preputium, dapat mengakibatkan fimosis patologis. Retraksi preputium secara
paksa juga dapat mengakibatkan luka kecil pada orificio preputium yang dapat
mengarah ke scar dan berlanjut phimosis. Pada orang dewasa yang belum
berkhitan memiliki resiko fimosis secara sekunder karena kehilangan elastisitas
kulit.3,7
Pada kasus fimosis lubang yang terdapat di prepusium sempit sehingga
tidak bisa ditarik mundur dan glans penis sama sekali tidak bisa dilihat. Kadang
hanya tersisa lubang yang sangat kecil di ujung prepusium. Pada kondisi ini, akan
terjadi fenomena “balloning” dimana preputium mengembang saat berkemih
karena desakan pancaran urine yang tidak diimbangi besarnya lubang di ujung
prepusium. Bila fimosis menghambat kelancaran berkemih, seperti pada balloning
maka sisa-sisa urin mudah terjebak di dalam preputium. Hal ini bisa menyebabkan
terjadinya infeksi.3,6
Fimosis juga terjadi jika tingkat higienitas rendah pada waktu BAK yang
akan mengakibatkan terjadinya penumpukan kotoran-kotoran pada glans penis
sehingga memungkinkan terjadinya infeksi pada daerah glans penis dan
prepusium (balanitis) yang meninggalkan jaringan parut sehingga prepusium tidak
dapat ditarik kebelakang.1,7
Pada lapisan dalam prepusium terdapat kelenjar sebacea yang memproduksi
smegma.Cairan ini berguna untuk melumasi permukaan prepusium.Letak kelenjar
ini di dekat pertemuan prepusium dan glans penis yang membentuk semacam
“lembah” di bawah korona glans penis (bagian kepala penis yang berdiameter
paling lebar).Di tempat ini terkumpul keringat, debris/kotoran, sel mati dan
bakteri. Bila tidak terjadi fimosis, kotoran ini mudah dibersihkan. Namun pada

7
kondisi fimosis, pembersihan tersebut sulit dilakukan karena prepusium tidak bisa
ditarik penuh ke belakang. Bila yang terjadi adalah perlekatan prepusium dengan
glans penis, debris dan sel mati yang terkumpul tersebut tidak bisa dibersihkan.4

F. Manisfestasi Klinis
a) Penis membesar dan menggelembung akibat tumpukan urin
(“balloning” )
b) Kadang-kadang keluhan dapat berupa ujung kemaluan menggembung
saat mulai buang air kecil yang kemudian menghilang setelah
berkemih.
c) Biasanya bayi menangis dan mengejan saat buang air kecil karena
timbul rasa sakit.
d) Kulit penis tak bisa ditarik kearah pangkal ketika akan dibersihkan
e) BAK keluar tidak lancar. Kadang-kadang menetes dan kadang-
kadang memancar dengan arah yang tidakdapat diduga
f) Demam5

G. Diagnosis

Untuk menegakkan diagnosis didapatkan dari anamnesis dan pemeriksaan


fisik.Pada anamnesis didapatkan keluhan berupa ujung kemaluan menggembung
saat mulai buang air kecil yang kemudian menghilang setelah berkemih dan
Biasanya bayi menangis dan mengejan saat buang air kecil karena timbul rasa
sakit. Pada pemeriksaan fisik kasus fimosis, dapat ditemukan kulit yang tidak
dapat diretraksi melewati gland penis.1,7

8
H. Penatalaksanaan 4-6
Sebagai pilihan terapi konservatif dapat diberikan salep kortikoid (0,05-
0,1%) dua kali sehari selama 20-30 hari. Terapi ini tidak dianjurkan untuk bayi
dan anak-anak yang masih memakai popok, tetapi dapat dipertimbangkan untuk
usia sekitar tiga tahun. Indikasi medis utama dilakukannya tindakan sirkumsisi
pada anak-anak adalah fimosis patologik. Pada kasus dengan komplikasi, seperti
infeksi saluran kemih berulang atau balloning kulit prepusium saat miksi,
sirkumsisi harus segera dilakukan tanpa memperhitungkan usia pasien.

Fimosis yang di sertai balanitis xerotika obliterans dapat di diberikan salep


dexametason 0,1% yang di oleskan 3 atau 4 kali sehari. Diharapkan setelah
pemberian selama 6 minggu, preposium dapat di retraksi spontan.7,8
Pada fimosis yang menimbulkan keluhan miksi, menggelembungnya ujung
prepusium pada saat miksi, atau fimosis yang disertai dengan infeksi postitis
merupakan indikasi untuk dilakukan sirkumsisi. Tentunya pada balinitis atau
postitis harus diberikan antibiotika dahulu sebelum sirkumsi

I. Komplikasi
a) Disuria
b) Terdapat akumulasi sekret dan smegma di bawah preputium yang
kemudian terkena infeksi sekunder dan akhirnya terbentuk jaringan
parut.
c) Pembengkakan/radang pada ujung kemaluan yang disebut ballonitis.
d) Infeksi saluran kemih7

J. Prognosis

Prognosis dari fimosis akan semakin baik bila cepat didiagnosis dan ditangani.8

9
DAFTAR PUSTAKA

1. Qadrijati, I. Anatomi dan Fisiologi Sistem Reproduksi Manusia. 2011.


Simposium Reproductive Health Women During the Life Cycle

2. Santoso, A,.Fimosis danParafimosis. 2005. Tim Penyusun Panduan


Penatalaksanaan Pediatric Urologi di Indonesia. Jakarta: Ikatan Ahli
Urologi Indonesia

3. Tanagho, EA and McAninch, JW. Smith’s General Urology. Sixteen


edition. 2004. USA: Appleton and Lange.

4. Purnomo, Basuki B. Kelainan Penis dan Urethra.Dasar-dasar Urologi.


Ed.2. Jakarta : CV. Infomedika. 2003. p: 240

5. Wein. Penetrating Trauma to Penis. 2007. Wein: Campbell-Walsh


Urology, 9th ed. Sauders, An Imprint of Elsevier

6. Ghory, Hina Z. 2010. Phimosis and Paraphimosis. Available from


:www.medscape.com. (Accessed: May, 12th 2012)

7. Anonimous, Paraphimosis. 2011. Available from www. nlm.nih.gov.


Accessed: May, 12th 2012)

8. Sjamsuhidajat, R , Wim de Jong. Saluran kemih dan Alat Kelamin Lelaki.


Buku-Ajar Ilmu Bedah.Ed.2. Jakarta : EGC, 2004. p 801

10

Anda mungkin juga menyukai