Anda di halaman 1dari 27

BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN 27 Desember 2018


UNIVERSITAS ALKAIRAAT
PALU

Ulcus Genital

DisusunOleh:

1. Nur Afni 13 17 777 14 202


2. Dwiki Gumelar 13 17 777 14 212

Pembimbing :
dr. Sukma Anjayani, M.Kes., Sp.KK

DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ALKHAIRAAT
PALU
2018

1
Daftar Isi
Pendahuluan Ulcus Genital……………………………………………………………………….……………..5

Definisi ulkus genital……………………………………………..…………………………………….……….….7

1. Sifilis………………………………………………………………………………………………………………....7
a. Definisi………………………………….………………………………….…………………………...7
b. Epidemiologi………………….…………………………………………………………………….…7
c. Klasifikasi…………..…..……………………………………………………………………………...8
d. Gambaran Klinis.…………………………………………………………………………………….9
e. Diagnostik sifilis..………………………………………….………………………………………..11
f. Pengobatan.…………………………………………………………………………………………..12
g. Evaluasi.…………………………………………………………………………………………………13
2. Ulkus Molle……………..……………………………………………………………………………………....13
a. Definisi……..……………………………………………………………….…………………………..13
b. Epidemiologi……..……………………………………………………………………………………14
c. Manifestasin Klinis…..…………..…………………………………………………………………14
d. Diagnosis………………………..…………………………….………………………………………..15
e. Komplikasi..…………….……………………………………………………………………………..16
f. Pengobatan………..…………………………………………………………………………………..17
g. Edukasi………..………………………………………………………………………………………….17
3. Herpes Genital…………………………………………………………………………………………………..18
a. Definisi……………………………………………………………………….……………………………18
b. Epidemiologi…………………………………………………………………………………………….18
c. Penularan…………..….………………………………………………………………………………..18
d. Tanda dan Gejala…..…………………………………………………………………………………18
e. Manifestasi Klinis………………………………………….………………………………………….19
f. Pemeriksaan Penunjang…………………………………………………………………………..21
g. Pengobatan……………………………………………………………………………………………..23

Daftar Pustaka………………………………………………………………………………………………………….25

2
Daftar Tabel
Tabel 1. Stage sifilis……………………………………………………………………………………………………..7

Tabel 2. Tanda dan gejala sifilis pada orang dewasa…………………………………………………….7

Tabel 3. Sensitivitas dan Spesifitas tes serologik pada sifilis………………………………………..10

Tabel 4. Etiologi penyakit Ulcus Genitalia di Asia dan Afrika……………………………………….13

Tabel 5. Regimen yang direkomendasikan oleh CDC, WHO, dan the European STD
Guidelines………………………………………………………………………………………………………………….16

3
Daftar Gambar

Gambar 1. Prevalensi sifilis pada waria, LSL, dan Penasun di Indonesia………………………6

Gambar 2. Chancre pada batang penis dan primary syphilis meats chancre…………………8

Gambar 3. Chancre indurate primer yang tidak terawatt selamat 2 hari pada labium…..9

Gambar 4. Chancre pada area perianal………………………………………………………………………..9

Gambar 5. Penapakan ulkus awal dan vulvar chanchroid…………………………………………..12

Gambar 6. Ulkus lunak pada permukaan internal dari preputium………………………………14

Gambar 7. Kissing ulcer……………………………………………………………………………………………..15

Gambar 8. Herpes genital primer dengan vesikel dan primer vulvitis herpetic…………..19

Gambar 9. Herpes genital infeksi berulang pada penis dan vulva………………………………20

Gambar 10. Herpe genital rekuren pada abdomen.....………………………………………………20

Gambar 11. Pemeriksan Tzank Smear………………………………………………………………………21

4
HALAMAN PENGESAHAN

Nama& No.Stambuk : Nur Afni, S.Ked (13 17 777 14 202)

Fakultas : Kedokteran

Program Studi : Pendidikan Dokter

Universitas : Alkhairaat

JudulLapsusBesar : Ulcus Genital

Bagian : IlmuKesehatanKulitdanKelamin

Bagian IlmuKesehatanKulit&Kelamin

RSU ANUTAPURA Palu

Program Studi Pendidikan Dokter

Fakultas Kedokteran Universitas Alkhairaat

Palu, 27 Desember2018

PembimbingKlinik DokterMuda

dr. NurRahmah S. Mathar, M.Kes,Sp.KK Nur Afni

KepalaBagian

dr. NurRahmah S. Mathar, M.Kes,Sp.KK

5
Ulkus Genital

PENDAHULUAN

Ulkus genital atau Genital Ulcer disease adalah salah satu gejala pada penyakit infeksi
menular seksual (IMS) dan morbiditas pada pasien yang selama perjalanan penyakitnya
ditemukan adanya lesi ulseratif/erosif/pustular atau lesi genital vesikular dapat dengan atau
tanpa limfadenopati.1

Insiden global penyakit ulkus genital diperkirakan lebih dari 20 juta kasus setiap
tahunnya. HSV tipe 1 dan 2 adalah penyebab paling umum dari ulkus genital di Amerika
Serikat, diikuti oleh sifilis dan chancroid. Satu dari lima wanita dan satu dari sembilan pria
berusia 14 hingga 49 tahun memiliki infeksi Herpes Simplex Virus (HSV tipe 2) genital. Pada
tahun 2009, tingkat sifilis tertinggi pada pria dan wanita 20 hingga 24 tahun (masing-masing
20,7 dan 5,6 kasus per 100.000 orang). Namun, tingkat sifilis meningkat pada orang berusia
15 hingga 19 tahun antara 2002 dan 2009 (1,3 banding 6,0 kasus per 100.000 laki-laki dan
1,5 banding 3,3 kasus per 100.000 perempuan). Insiden chancroid telah menurun di Amerika
Serikat, Hanya 28 kasus yang dilaporkan ke departemen kesehatan negara bagian pada tahun
2009. Namun, infeksi Haemophlus ducreyi tidak dikonfirmasikan, sehingga tidak ada kasus
yang dilaporkan dilaporkan. Sekitar 10 persen pasien dengan chancroid koinfeksi dengan
sifilis atau Herpes simplex virus (HSV) adalah koinfeksi yang lebih umum didapatkan pada
pasien chancroid yang berada di luar Amerika Serikat.2
Faktor risiko pada ulkus genital yaitu, riwayat penyakit inflamasi dan paparan trauma
atau obat-obatan seperti obat anti inflamasi nonsteroidal, antimalaria, penghambat enzim
pengubah angiotensin, beta blocker, lithium, salisilat, atau kortikosteroid, kurangnya sunat
pada laki-laki, banyak pasangan seks, baik yang seumur hidup atau saat ini, pasangan seks
serodiskordan (yaitu, satu pasangan dengan virus herpes simplex dan satu tanpa), tidak
menggunakan pelindung saat kontak seksual, tidak menggunakan pelindung diri saat kontak
kulit ke kulit dengan ulkus.1,2
Gejala klinis ulkus genitalia yaitu, Adanya lesi ulseratif/erosif/pustular atau lesi genital
vesikular dapat dengan atau tanpa limfadenopati.1,2
Penegakan diagnosisnya melalui anamnesis, riwayat lesi, riwayat medis: status Human
Immunodefficiency Virus (HIV), kondisi kulit, alergi obat, obat-obatan, riwayat seksual: jenis
kelamin pasangan, jumlah pasangan (baru, anonim, serodiskordan), riwayat perjalanan:
wilayah geografis tempat hubungan seksual terjadi.1,2

6
Pemeriksaan fisik, Lesi: Periksa permukaannya, distribusi, jumlah, ukuran, indurasi,
kedalaman, dan konsistensi, pemeriksaan genital: periksa daerah genital dan perianal untuk
lesi yang lain, kelenjar limfe : Catat jumlah dan lokasi kelenjar yang membesar, ukuran,
konsitensi, adanya bubo, pemeriksaan umum: pemeriksaan menyeluruh pada rongga mulut
dan kulit, telapak tangan dan telapak kaki. Pada pasien dengan sifilis termasuk pemeriksaan
sistem kardiovaskular dan neurologis.1,2
Pemeriksaan Laboratorium, diagnosis hanya berdasarkan pada riwayat medis pasien dan
pemeriksaan fisik sering tidak akurat. karena itu, semua pasien yang mengalami ulkus
kelamin harus dievaluasi dengan uji serologi dan skrining HSV, melakukan konsultasi dan
menghindari faktor pemicunya seperti berhubungan seks dengan banyak pasangan,
menggunakan condom karena dapat menurnkan risiko penularan melalui kontak seksual
ataupun melali kontak kulit ke kulit terhadap ulkus.1,2

7
DEFINIS
Ulkus genital atau Genital Ulcer disease adalah salah satu gejala pada penyakit infeksi
menular seksual (IMS) dan morbiditas pada pasien yang selama perjalanan penyakitnya
ditemukan adanya lesi ulseratif/erosif/pustular atau lesi genital vesikular dapat dengan atau
tanpa limfadenopati.1

Penyakit infeksi menular seksual utama yang dapat menyebabkan ulkus genital yaitu :1
a. Sifilis
b. Choncroid
c. Herpes Genitalia

1. Sifilis
a. Definisi

Sifilis adalah suatu penyakit infeksi pada manusia yang disebabkan oleh bakteri
Treponema pallidum yang transmisinya melalui seksual atau kontak langsung dengan lesi
selama tahap primer ataupun sekunder, pada masa kehamilan melalui tranplacenta.3,4

b. Epidemiologi

WHO memperkirakan bahwa insiden global tahunan sifilis sekitar 12,2 juta kasus,
sebagian besar terjadi di Negara berkembang dimana kasus ini menjadi penyebab prominen
pada penyakit ulkus genital pada pria dan wanita heteroseksual, dari lahir mati, dan
morbiditas dan mortalitas neonatal. Di United State America, semua kasus sifilis baik yang
primer maupun sekunder telah dilaporkan ke CDC sejak tahun 2009, 2% terjadi pada kasus
laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki di antaranya diperkirakan 30% -74%
adalah koinfeksi HIV. Pada kasus pasangan laki-laki yang berhubungan seks dengan wanita
rasio terhadapa infeksi sifilis primer ataupun sekunder diukur dengan sejauh mana adanya
transmisi dari laki-laki suka laki-laki adalah 5,6 pada tahun 2009, sebuah meningkat
dibandingkan dengan 1,2 pada tahun 1996 dan 5,1 pada tahun 2008.3,6
Integrated Behavioral and Biological Survey ( / Survey Terpadu Biologi dan Perilaku
(STBP) tahun 2011 di Indonesia melaporkan prevalensi sifilis pada populasi WPS yang
terinfeksi HIV sebesar 16,7%; sedangkan pada mereka yang tidak terinfeksi HIV 9,47%.
Prevalensi sifilis pada populasi LSL HIV positif 23,8% sedangkan pada mereka yang HIV
negatif 16,67%. Pada kedua populasi tersebut, secara statistik terbukti bahwa prevalensi
sifilis berkorelasi positif dengan prevalensi HIV. STBP 2011 di Indonesia juga melaporkan

8
prevalensi sifilis masih cukup tinggi. Pada populasi waria, prevalensi sifilis sebesar 25%,
WPSL (wanita penjaja seks langsung) 10%, LSL (lelaki yang berhubungan seks dengan
lelaki) 9%, warga binaan lembaga pemasyarakatan 5%, pria berisiko tinggi 4%, WPSTL
(wanita penjaja seks tidak langsung) 3% dan penasun (pengguna narkoba suntik) 3%. Jika
dibandingkan dengan laporan STBP tahun 2007, prevalensi sifilis pada populasi waria tetap
tinggi. Pada populasi LSL dan penasun, prevalensi sifilis bahkan meningkat 3 kali lipat.3,6

Gambar 1. Prevalensi Sifilis pada waria, LSL, dan Penasun di Indonesia 3

c. Klasifikasi5

1. Sifilis kongenital
a. Sifilis kongenital dini (muncul sebelum umur 2 tahun)
b. Sifilis kongenital lanjut (muncul setelah umur 2 tahun)
2. Sifilis akuisita (klasifikasi epidemiologis)
a. Sifilis dini (sifilis yang terjadi dalam 1 tahun setelah terinfeksi)
i. Sifilis primer (S I)
ii. Sifilis sekunder (S II)
iii. Sifilis laten dini (early latent syphilis)
b. Sifilis lanjut (sifilis yang terjadi lebih dari 1 tahun setelah infeksi)
i. Sifilis laten lanjut (late latent syphilis)
ii. Sifilis tersier (S III)

9
d. Gambaran Klinis

Tabel 1. Stage Sifilis

Tabel 2. Tanda dan gejala sifilis pada orang dewasa

Sifilis primer
Sifilis ditularkan melalui kontak langsung dari lesi infeksius. Treponema masuk melalui
selaput lendir yang utuh atau kulit yang mengalami abrasi, menuju kelenjar limfe, kemudian
masuk ke pembuluh darah dan diedarkan ke seluruh tubuh. Pada saat ini tanda-tanda klinis

10
dan serologis belum jelas. Tanda klinis yang pertama kali muncul adalah timbul lesi primer
berupa ulkus di tempat inokulasi, sekitar 3 minggu (10-90 hari) setelah periode inkubasi. 3

Chancre dimulai sebagai makula merah kehitaman yang berkembang menjadi papul serta
erosi superficial yang berkerak dan kemudian ulkus bulat-ke-oval. Ulkus ini disebut ulkus
durum atau chancre (syphilitic ulcer), dapat di genital maupun ekstra genital. Chancre khas,
juga disebut Hunterian chancre atau "ulcus durum" (ulkus keras), diameter berkisar beberapa
milimeter sampai 2 cm dan berbatas tegas dengan teratur, batas yang melengkung,
memberikan lesi pada tulang rawan. Dasarnya biasanya bersih, dan chancre tidak
menyakitkan.3,7

Gambaran klinis yang biasa didapatkan pada ulkus durum yaitu, biasanya soliter, tidak
nyeri (indolen), bagian tepi lesi meninggi dan keras (indurasi), dasar bersih, tanpa eksudat,
ukuran bervariasi dari beberapa mm sampai 1-2 mm. Pada laki-laki biasanya chancre berada
disekitar glans penis dekat dengan frenulum atau berada dibawah frenulum. Pada pasangan
homoseksual biasanya pada anus atau rectum, sedangkan pada wanita chancre tampak pada
sifilis sekunder tetapi biasanya pada stage sifilis primer terdapat pada cervix atau pada labia
minora, majora, sekitar orificium urethrae dan clitoris. Terdapat limfadenopati inguinal
medial,unilateral/bilateral, tidak terdapat gejala konstitusi. Adanya ulkus disertai pembesaran
kelenjar getah bening disebut kompleks primer. Bila tidak diobati, ulkus akan menetap selama
3 bulan kemudian sembuh spontan dalam 3-8 minggu. Pada ulkus dapat ditemukan gerakan T.
pallidum. Tes serologis untuk sifilis: non reaktif, namun makin lama lesi terjadi kemungkinan
tes menjadi reaktif ( > 4 minggu).6

A B
Gambar 2.A Chancre pada batang penis, menunjukkan dasar yang bersih dan batas yang tegasi pada batang
penis.1 B. primary syphilis meatal chancre.6

11
Gambar 3. Chancre indurate primer yang tidak terawat selama 2 hari pada labium.6

Gambar 4. Chancre pada area perianal, fecal biasanya ikut terlihat pada area ini.3

e. Diagnostik Sifilis
1. Pemeriksaan langsung

 Dark Field Microscopic Examination


Pemeriksaan mikroskop lapangan gelap merupakan tes diagnostic pilihan untuk
chancre dan lesi yang lembab pada sifilis sekunder. Pemerikaan lapangan gelap sering
dikatakan positif atau merupakan pilihan sebelum tes serologik reaktive. Sensitivitas tes
adalah 74%-79%.3
 PCR (Polymerase Chain Reaction)
Pada beberapa penilitian dasr metode dari PCR yaitu untuk menilai DNA T. pallidum
yang didapatkan dari lesi.3

2. Pemeriksaan tidak langsung: tes serologis untuk sifilis (TSS)


a) Tes non Treponema
Termasuk dalam kategori tes ini adalah tes VDRL (Venereal Diseases Research
Laboratory), dan RPR (Rapid Plasma Reagin). Tes serologi ini digunakan untuk mendeteksi
immunoglobulin yang merupakan antibody terhadap bahan-bahan lipid sel-sel T. pallidum
yang hancur. Antibody ini dapat timbul sebagai reaksi terhadap infeksi sifilis. Namun

12
antibodi ini dapat timul dalam berbagai kondisi seperti, infeksi akut (infeksi virus aktut) dan
penyakit kronis ( penyakit autoimun kronis). Oleh karena itu tes ini bersifat non spesifiki
karena bisa memberikan asil postif palsu. Tes non spesifik ini dipakai untuk mendeteksi
infeksi dan reinfeksi yang bersifat aktif, serta memantau keberhasilan terapi. Hasil postifi
pada tes ini tidak selalu menunjukkan bahwa pasien tersebut terinfeksi sifilis atau pernah
terinfeksi sifilis sehingga hasil tes ini perlu dikonfirmasi denga tes tes spesifik treponema.5
b) Tes Spesifik Treponema
Tes serologi yang termasuk dalam kategori ini adalah tes TP-PA (Treponema Pallidum
Particle Agglutination Assay), TP-Rapid ( Treponema Pallidum Rapid), FTA-ABS
(Fluorescent Antibody Absoption Test), TPHA (Treponema Pallidum Haemagglutination
Assay). Tes serologis ini termasuk dalam kelompok medeteksi antibody yang bersifat sepsifik
terhadap treponema. Oleh karena itu, tes ini jarang memberikan hasil positif palsu. Tes ini
dapat menunjukkan hasil positif/reaktif seumur hidup walaupun terapi sifilis telah berhasil.
Tes jenis ini tidak dpat digunakan untuk membedakan antara infeksi aktif dan infeksi yang
telah diterapi secara adekuat.3,5

Tabel 3. Sensivitas dan Spesifitas tes Serologic pada Sifilis3

f. Pengobatan

1. Sifilis dini (primer, sekunder, laten dini)6


- Benzatin benzilpenisilin G 2,4 juta IU intra muskuler, dosis tunggal atau
- Prokain benzilpenisilin 0,6 juta IU/ hari, intramuskuler selama 10 hari berturut-turut.
- Untuk penderita yang alergi penisilin:
i. Doksisiklin 2 x 100 mg/ hari per oral, selama 14 hari
ii. Azitromycin 1 x 500 mg/ hari, selama 10 hari
iii. Eritromisin 4 x 500 mg/ hari selama 14 hari
iv. Ceftriakson 1 x 500 mg I.m selama 10 hari

13
g. Evaluasi Pengobatan sifilis

Pasien dengan sifilis dini dan telah diterapi dengan adekuat harus dievaluasi secara klinis
dan serologis tiap 3 bulan selama satu tahun pertama (bulan ke 3, 6, 9, 12) dan setiap 6 bulan
di tahun kedua (bulan ke 18 dan 24).5
1. Tes TPHA dan titer RPR harus dilakukan pada:
 Tiga bulan setelah terapi untuk sifilis primer dan sekunder, titer RPR diperlukan untuk
mengevaluasi keberhasilan terapi dan mendeteksi infeksi ulang (reinfeksi). Terapi
dianggap berhasil jika titer RPR turun. Jika titer tidak turun atau malah naik,
kemungkinan terjadi reinfeksi dan ulangi terapi.3,5
 3, 6, 9, 12, 18 dan 24 bulan setelah terapi: Jika titer RPR tetap sama atau bahkan
turun, terapi dianggap berhasil dan pasien cukup diobservasi.
Jika titer RPR meningkat, obati pasien sebagai infeksi baru dan ulangi terapi. 3,5
 Jika RPR non reaktif atau reaktif lemah(serofast) maka pasien dianggap sembuh
Pada semua stadium, ulangi terapi jika:
 Terdapat gejala klinis sifilis;
 Terdapat peningkatan titer RPR (misal dari 1:4 menjadi 1:8).5
2. Ulkus Molle

a. Definisi

Chancroid (ulcus molle; soft chancre; Ducrey’s disease) adalah suatu penyakit
ulseratif akut yang ditularkan secara seksual yang disebabkan oleh bakteri Haemophylus
ducryei bakteri gram negative anaerobik coccobacillus fakultatif yang terlokalisir di
anogenital daerah dan sering dikaitkan dengan inguinal adenitis atau bubo dengan masa
inkubasi 1-2 minggu.3,6

A B

Gambar.5 A. penampakan ulkus awal yang terbatas pada sulcus coronaria. B. Vulvar chancroid dengan ujung-
ujungnya yang tidak rata.3

14
b. Epidemiologi

Chancroid kebanyakan didapatkan di Negara yang sedang berkembang seperti di Asia


dan Afrika dan kasus ulcer genital yang sudah teridentifikasi sekitar 38% dan 56%. Kasus
chancroid menurun secara keseluruhan dengan pengecualian seperti Malawi dengan 15%
GUD (genital ulcer disease) dan India Utara dengan 24% GUD (genital ulcer disease) . Studi
dari Malawi diterbitkan pada 2013, meskipun menggunakan data dari 2004 hingga 2006.
Sebuah tinjauan sistematis baru-baru ini menganalisis 49 studi tentang chancroid; 35
diterbitkan selama 1980-1999 dan 14 selama 2000-2014. Proporsi ulkus genital yang
disebabkan oleh H. ducreyi berkisar pada periode sebelumnya dari 0% di Thailand dan Cina
hingga 68,9% di Afrika Selatan.9

Kasus chancroid sekarang hanya didiagnosis secara sporadik bahkan di negara-negara di


mana ada prevalensi yang signifikan. Di Durban pada tahun 2004, Lusaka pada tahun 2010
dan Mozambique pada tahun 2005, prevalensi infeksi chancroid adalah masing-masing 1%,
0% dan 4%. Penurunan chancroid terjadi setelah GUD diidentifikasi sebagai faktor risiko
penting untuk penularan HIV dari perempuan ke laki-laki pada akhir 1980-an.10

Table.5 Etiologi penyakit ulcus genitalia di Asia dan Afrika11

c. Manifestasi Klinis

Karakteristik pada chancroid atau ulkus molle yaitu, ulkus multipel, nyeri pada > 50%
kasus, indurasi (-). Chancroid ditandai dengan ulserasi ano-genital dan limfadenitis dengan
perkembangan menuju pembentukan bubo. Lesi dimulai sebagai papul yang berkembang
menjadi pustul dan kemudian ulkus atau sakit ringan. Secara klasik, ulcer memiliki tepi yang
tidak rata dengan dasar abu-abu atau kuning yang berdarah ketika disentuh. Lesi terasa
menyakitkan dan bisa tunggal atau banyak. Dasar ulkus kotor, nekrotik, kulit sekitar ulkus
kemerahan, bentuk bulat / lonjong, kecil, dikelilingi halo eritematosa & edematus , berbentuk
seperti cawan, dinding bergaung. Lokasi infeksi yaitu, sulcus coronal, frenulum, dan kelenjar

15
pada wanita, labia minora dan fourchette. Ulkus pada dinding vagina dan serviks jarang
terjadi. Lesi ekstragenital jarang terjadi tetapi telah dilaporkan pada jari-jari, payudara dan
bagian dalam paha. H. ducreyi tidak menyebar secara sistemik.3,10

d. Diagnosis

Menurut CDC, diagnosis kemungkinan chancroid, baik untuk tujuan klinis dan
surveilans, dapat dilakukan jika semua kriteria terpenuhi yaitu, pasien memiliki satu atau
lebih borok kelamin yang menyakitkan, presentasi klinis, penampilan ulkus kelamin dan, jika
ada, limfadenopati regional adalah khas untuk chancroid, pasien tidak memiliki bukti infeksi
Treponema pallidum dari pemeriksaan lapangan gelap atau nucleid acid amplification test
(NAAT) dari eksudat ulkus atau tes serologi untuk sifilis dilakukan setidaknya tujuh hari
setelah onset ulkus dan NAAT untuk HSV memperlihatkn ulkus eksudat negative.9

 Pemeriksaan laboratorium:
a. Pewarnaan Gram dari ulkus
Basil kecil Gram negatif, yang berderet coccobacili, yang berderet berpasangan seperti
kumpulan ikan (schoal’s fish). Tes ini memiliki sensitivits rendah (50%) sehingga tidak
disarankan untuk tes diagnostik.1,10
b. Kultur
Kultur memiliki sensitivitas 60-80%. Haemophylus ducryei merupakan bakteri yang
sangat pemilih dan bakteri yang selektif sehingga dibutuhkan beberapa media kultur yang
berbeda untuk isolasi. Baketri ini memiliki strain yang berbeda untuk tumbuh sehingga
dibutuhkan setidaknya dua kombinasi media kultur untuk mengoptimalkan hasil isolasi.
Sampel harus diambil menggunkaan cotton swab dari dasar tepi lesi yang rusak setelah
dibersihkan dengan larutan salin. Bakteri ini hanya bertahan beberapa jam setelah diambil
dengan apusan ditempat inokulasi sehingga harus segera dilakukan pemeriksaan agar
meminimalkan hilangnya bakteri selama proses transport dan harus menggunakan media
transport medium Amies atau stuart untuk dikirim ke laboratorium.9
c. PCR
PCR adalah teknik yang paling sensitif, dan telah terbukti 95% sensitif dibandingkan
dengan kultur sebaliknya kultur mungkin hanya 75% sensitif terhadap PCR. Namun, PCR
mungkin negatif dalam sejumlah kasus chancroid dan kultur terbukti karena adanya inhibitor
polimerase Taq dalam DNA ekstraksi dari spesimen ulkus genital. Beberapa tes PCR juga

16
telah dikembangkan untuk simultan amplifikasi dari target DNA terhadap H. ducreyi, T.
pallidum dan HSV tipe 1 dan 2.10

e.Komplikasi3
1. Nyeri Adenitis inguinal (hingga 50%)

Gambar 6. Ulkus lunak kecil pada permukaan internal dari preputium dengan adenitis inguinal yang
menyakitkan dan berfluktuasi.3

2. Ruptur spontan dari kanal inguinal dengan terjadinya abses besar dan pembentukan
fistula (langka)
3. Penyebaran Haemophilus ducreyi ke tempat yang jauh (kissing-Ulcer dan / atau lesi
ekstragenital karena autoinoculation) (pada 50% pasien pria)

Gambar 7 Kissing-Ulcer3

4. Lesi esophagus pada pasien HIV


5. Konjungtivitis akut (sangat jarang)
6. Superinfeksi bakteri (termasuk anaerob) yang menyebabkan kerusakan luas (jarang)
7. Bekas luka yang menyebabkan phimosis (jarang)
8. Eritema nodosum (sangat jarang)
9. Peningkatan transmisi HIV (3–10 kali lipat peningkatan risiko)

17
f. Pengobatan
Medikamentosa9
1. Lini Pertama
Ceftriaxone 1x 250 mg injeksi intramuscular dan Azithromycin, 1x 1 g oral
2. Lini Kedua
Ciprofloxacin 500 mg oral 2x1 selama 3 hari dan Erythromycin oral 500 mg 4x1
selama 7 hari.

g.Eduksai
1. Informasi, penjelasan, dan saran harus diberikan kepada pasien. Pasien harus diberitahu
bahwa chancroid adalah infeksi bakteri yang ditularkan secara seksual tetapi dapat
disembuhkan dengan antibiotik dan bahwa itu adalah kofaktor untuk penularan HIV,
seperti herpes genital dan sifilis.
2. Gejala harus sembuh dalam satu hingga dua minggu setelah memulai terapi antibiotik
(III, B). Pasien harus menjauhkan diri dari kontak seksual sampai mereka dan
pasangannya telah menyelesaikan terapi.
3. Pengujian untuk sifilis dan virus herpes simplex harus selalu dilakukan pada pasien yang
diduga menderita chancroid, karena penyakit-penyakit secara klinis sulit dibedakan.

Tabel 6. Regimen yang direkomendasikan oleh CDC, WHO dan the European STD
Guidelines (2011)3

18
3. HERPES GENITALIS
a. Definisi

Herpes genital adalah presentasi klinis utama infeksi HSV-2, tetapi juga dapat
disebabkan oleh HSV-1 pada 10% -40% kasus, terutama setelah kontak genital oral. Pasien
dengan infeksi genital HSV-1 yang diketahui sebelumnya yang mengalami kekambuhan
herpes genital harus diuji untuk infeksi HSV-2. Viremia terjadi pada sekitar 25% orang
selama herpes genital primer.12

b. Epidemiologi

Penyakit ini tersebar kosmopolit dan menyerang baik pria maupun wanita dengan
frekuensi yang tidak berbeda. Infeksi primer oleh virus herpes simpleks (HSV) tipe I
biasanya dimulai pada usia anak-anak, sedangkan infeksi HSV tipe II biasanya terjadi pada
dekade II atau III, dan berhubungan dengan peningkatan aktivitas seksual.14

HSV-1 dan HSV-2 termasuk di antara infeksi virus manusia yang paling luas. HSV-2
adalah salah satu penyebab paling umum dari penyakit kelamin, sementara HSV-1 terutama
berhubungan dengan ulserasi orolabial; Namun, baru-baru ini peningkatan herpes genital dan
neonatal yang disebabkan oleh HSV-1 telah dilaporkan. Di Italia, seroepidemiologi infeksi
HSV telah diteliti pada populasi yang terkait dengan beberapa faktor risiko, seperti infeksi
HIV atau lainnya, atau mempertimbangkan serotipe tunggal14,16

c. Penularan12

Infeksi herpes genitalis ditularkan melalui kontak langsung dari lesi atau sekret genital
yang infeksius. Transmisi terjadi pada saat viral shedding. Gejala yang timbul dapat berat,
tetapi dapat pula asimtomatis. Pada penelitian retrospektif 50-70% infeksi HSV tipe 2 adalah
asimtomatis.

Pada penderita dengan imunodefisiensi, gejala akan lebih berat, lebih lama, rekurensi
lebih sering dengan penyembuhan yang lebih lama.

d. Tanda dan Gejala

Sebagian besar orang yang terinfeksi virus HSV-1 atau HSV-2 tidak menunjukkan gejala
atau memiliki gejala ringan. Lebih dari 80% pasien ditemukan seropositif belum pernah
didiagnosis dengan herpes genital. Pasien simtomatik memiliki satu atau lebih lesi vesikuler

19
di sekitar alat kelamin, dubur, atau mulut. Lesi ini umumnya tidak nyeri tetapi bisa pecah,
menjadi sakit, ulkus dangkal yang membutuhkan waktu 2 hingga 4 minggu untuk sembuh.
Terjadinya gejala ini biasa disebut sebagai wabah.15

Sebelum ulserasi, hingga 20% pasien mengalami gejala prodromal, yang mungkin
termasuk gejala mirip seperti demam, pembengkakan kelenjar getah bening, sakit kepala, dan
nyeri tubuh. Pasien mungkin juga mengalami kesemutan ringan hingga 48 jam sebelum lesi
penampilan atau nyeri penembakan di bokong, kaki, atau pinggul hingga 5 hari sebelumnya.
Selama episode klinis ini, lesi genital atau ulkus berkembang setelah pelepasan virus dari
ujung saraf ke epitelium. Periode inkubasi rata-rata setelah terpapar adalah 4 hari (kisaran, 2-
12 hari). Hingga 60% orang yang terinfeksi akan secara asimtomatik melepaskan virus.15

Gejala berbeda antara wabah awal dan wabah berikutnya. Umumnya, wabah awal
melibatkan durasi lesi yang lebih lama, peningkatan viral shedding, gejala lokal yang lebih
parah, dan gejala sistemik. Risiko penularan HSV-2 berkorelasi dengan meningkatnya viral
shedding. Wabah rekuren biasanya lebih singkat dan melibatkan gejala yang lebih ringan.
Namun, mereka lebih mungkin terjadi selama tahun pertama infeksi. Meskipun virus tetap
aktif tidak terbatas, jumlah wabah biasanya menurun seiring waktu. Kekambuhan dan
peluruhan virus asimptomatik kurang umum pada infeksi HSV-1 genital daripada infeksi
HSV-2 genital.15

e. Manifestasi klinis

Manifestasi klinis pada penyakit herpes genitalis memiliki 4 tahap yaitu, Episode
pertama (primer), episode pertama (bukan primer), episode rekuren, asimtomatik.

1. Episode pertama primer

Merupakan infeksi primer sejati, mengenai seseorang yang belum pernah terpajan HSV
sebelumnya (seronegatif terhadap antibodi HSV) memiliki masa inkubasi 1 minggu (2-12
hari) setelah coitus suspectus. Pada episode ini gejala lebih berat, seringkali disertai gejala
sistemik dan dapat mengenai banyak tempat. Kelenjar limfe regional dapat membesar dan
nyeri pada perabaan. Vesikel berkelompok pada dasar eritem, yang terasa nyeri  pustula 
erosi  ulkus  krusta keabu-abuan. Lesi baru masih muncul sampai hari ke-10, reepitelisasi
terjadi setelah 15-20 hari. Lokasinya pada wanita yaitu lesi dapat melibatkan vulva,
perineum, gluteus, vagina, atau serviks. Lokasi lesi pada laki-laki yaitu, lesi sering terjadi

20
pada glans penis atau corpus penis dan jarang pada perineum,gluteus, femur, perianal,
skrotum, mons are. Gejala lainnya yaitu nyeri, gatal, disuria, cairan vagina dan uretra, dan
limfadenopati inguinal lunak. Tanda-tanda dan gejala sistemik umum terjadi dan termasuk
demam, sakit kepala, malaise, dan mialgia. Herpetic sacral radiculomyelitis, dengan retensi
urin, neuralgia, dan konstipasi, dapat terjadi.3

 Komplikasi:
1. Neurologis (13-35%) : aseptic meningitis, transverse meningitis, sacral
radiculitis (retensi urin)
2. Pada kehamilan: abortus, malformasi kongenital, lahir mati.

Gambar 8. A. Herpes genital primer dengan vesikula. B. Primervulvitis herpetik

2. Episode pertama bukan primer

Pada orang yang pertama kali timbul gejala klinis, namun telah seropositif terhadap
antibodi HSV dan gejala lebih ringan dari episode primer, tetapi lebih berat dari episode
rekuren.3

3. Episode Berulang3

Gejala yang timbul biasanya lebih ringan, dapat diawali gejala prodromal seperti gatal,
rasa terbakar, disuria. faktor pencetus : trauma, stress emosi, kelelahan, koitus yang
berlebihan, demam, menstruasi, obat-obatan (imunosupresif, kortikosteroid), alkohol. Tanpa
pengobatan, lesi biasanya sembuh dalam 6-10 hari. Rekurensi HSV-2 lebih sering
dibandingkan HSV-1. Infeksi HSV-2 berulang termasuk lesi vesikular yang kecil namun
berkelompok di daerah genital (Gambar 2.), tetapi dapat terjadi di mana saja di daerah
perigenital, termasuk perut, selangkangan, bokong, dan paha (Gambar 3.), dan lesi dapat
3
muncul kembali di tempat yang sama atau pada tempat yang lain.

21
Gambar 9. A. Herpes genital: infeksi berulang pada penis. B. Herpes genital: infeksi vulva berulang

Gambar 10. Herpes genital rekuren pada abdomen

f. Pemeriksaan Penunjang3,17

Terdapat beberapa metode pemeriksaan laboratorium yang dapat digunakan untuk


menunjang penegakan diagnosis infeksi HSV, tentunya dengan spesifisitas dan sensitivitas
yang beragam. Metode-metode tersebut antara lain:
a) Pemeriksaan sitologi
Pemeriksaan sitologi dilakukan dengan Tzanck smears, pewarnaan Papanicolaou atau
Romanovsky, dan imunofluoresens. Tzanck smearsdengan pewarnaan Giemsa menggunakan
bahan dari kerokan lesi kulit atau mukosa. Dapat ditemukan sel datia berinti banyak dan
badan inklusi intranuklear.(1)Ini merupakan pemeriksaan yang murah, namun spesifisitas dan
sensitivitas nya rendah.

22
Gambar 11. Pemeriksaan Tzanck Smears positif dengan pewarnaan Giemsa, sampel diambil dari dasar vesikel.
Terlihat keratinosit berukuran besar dan multinuklear. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 7th ed.

Pewarnaan Papanicolaou atau Romanovsky menggunakan bahan dari hasil biopsi,


sedangkan deteksi sel yang terinfeksi dengan imunofluoresens menggunakan hasil kerokan
dasar vesikel. Pemeriksaan ini murah dan cepat, spesifisitas dan sensitivitas nya lebih tinggi
daripada Tzanck smears.3,17
b) Pemeriksaaan biologi molekular
Akhir-akhir ini, deteksi DNA HSV berdasarkan amplifikasi asam nukleat dan
polymerase chain reaction (PCR) sudah menjadi metode alternatif karena pemeriksaan ini
empat kali lebih sensitif, hasilnya tidak dipengaruhi oleh cara pengumpuan sampel dan proses
transportasi, serta pengerjaannya lebih cepat daripada kultur virus. Sampel pemeriksaan
didapatkan dari swab, kerokan lesi kulit, cairan dari vesikel, eksudat dari dasar vesikel, atau
sampel dari mukosa yang tidak terdapat lesi. Keuntungan dari pemeriksaan ini adalah
sensitivitas dan spesifisitas nya paling tinggi daripada pemeriksaan yang lain. Namun
pemeriksaan ini hanya bisa dilakukan di laboratorium tertentu yang memiliki fasilitas yang
mendukung pemeriksaan tersebut.17
c) Kultur virus
Kultur virus digunakan untuk menentukan tipe virus, sudah lama menjadi landasan untuk
penegakan diagnosis infeksi HSV selama dua dekade terakgir dan sudah ditentukan sebagai
gold standard diagnosis laboratoris untuk infeksi HSV. Sampel diambil dari swab, kerokan

23
lesi kulit, cairan dari vesikel, eksudat dari dasar vesikel, atau dari mukosa yang tanpa lesi.
Pemeriksaan ini cukup mahal, tidak lebih sensitif dari PCR, sensitivitasnya bervariasi dari
rendah ke tinggi tergantung keadaan klinis pasien dan spesifisitasnya cukuo tinggi.17
d) Deteksi antigen virus
Antigen virus dapat dideteksi oleh direct immunofluorescence (IF) assay dengan
menggunakan antibodi monoklonal spesifik yang sudah diberi label fluorescein, atau oleh
enzyme immunoassay (EIA) pada swab. Sampel diambil dari swab, kerokan dari lesi, cairan
dari vesikel, dan eksudat dari dasar vesikel. Spesifisitas kedua pemeriksaan tersebut cukup
tinggi, yaitu berkisar antara 62-100% untuk pemeriksaan ELISA, dan pada
immunoperoxidase staining dapat mencapai 90%. Sensitivitas kedua pemeriksaan tersebut
cukup tinggi, yaitu berkisar antara 85-90%.17

g. Pengobatan
Obat antivirus sistemik dapat mengontrol sebagian tanda dan gejala episode herpes bila
digunakan untuk mengobati episode klinis dan berulang yang pertama, atau bila digunakan
sebagai terapi supresif harian. Namun, obat-obatan ini tidak membasmi virus laten atau
mempengaruhi risiko, frekuensi, atau keparahan kekambuhan setelah obat dihentikan.12,17

1. Obat yang direkomendasikan


Untuk episode pertama herpes genitalia diberikan acyclovir 400mg oral selama 7 – 10
hari, Valacyclovir 1g oral selama 7 - 10 hari, atau Famciclovir 250mg oral selama 7 - 10
hari.12,17
Untuk manfaat optimal, perawatan harus dimulai dalam 48 sampai 72 jam onset lesi,
ketika lesi baru terus terbentuk atau ketika gejala dan tanda-tanda parah. Pengobatan dapat
12.17
diperpanjang jika penyembuhan tidak lengkap setelah 10 hari terapi.

2. Herpes Genital Berulang


Serangan berulang paling ringan dan dapat dikelola dengan langkah-langkah umum saja.
Penggunaan rutin pengobatan khusus tidak diperlukan. Manajemen harus diputuskan bersama
dengan pasien.12,17

Pengobatan episodik yang efektif untuk herpes berulang membutuhkan inisiasi terapi
dalam 1 hari onset lesi atau selama prodrom yang mendahului beberapa wabah. pasien harus
diberikan suplai obat atau resep obat dengan instruksi untuk memulai pengobatan segera
ketika gejala dimulai.12,17

24
a.Terapi Episodik
Rekomendasi obat pada terapi episodic yaitu acyclovir 400mg oral 5 hari, acyclovir
800mg oral 5 x sehari, acyclovir 800mg 2 x sehari, valacyclovir 500mg oral 3 x sehari,
valacyclovir 1g orally 1 x sehari selama 5 hari, famciclovir 125mg oral selama 5 hariatau
famciclovir 1g 1 hari.12,17

b.Terapi Supresif

Terapi supresif mengurangi frekuensi kekambuhan herpes genital dan dapat


dipertimbangkan pada pasien yang sering kambuh (yaitu 6 atau lebih rekuren per tahun).
Terapi supresif memiliki keuntungan tambahan untuk mengurangi risiko penularan HSV-2
genital ke pasangan yang rentan. Acyclovir 400 mg oral, Valacyclovir 500mg oral,
Valacyclovir 1000 mg oral (untuk yang berulang ≥ 10 kali dalam setahun) atau Famciclovir
250mg oral.12,17

25
Daftar Pustaka

1. Sen.Priya., A syndromic Approuch to the Management of Genital Ulcers,The Singapore


Family Physician. Vol 39 (1). Senior Consultant Dermatologist: National Skin Centre
Singapore. 2013
2. Roett, M. A., Diagnosis and Management of Genital Ulcers,Indian Journal of
ClinicalPractice. Vol 24 (6). 2014
3. Edwards.L., Syphilis, Choncroid, Herpes simplek, In: Fitzpatrick's T. Dermatology in
General Medicine. Ed 8. United States of America: McGraw Hill; 2012. p:2369-2371,
2471-2491, 2501-2504.
4. Thomas P. Habif., Syphilis, In Clinial Dermatology. A Color Guide to diagnose and
Therapy. Ed 8.United States of America:Dartmouth Medical School. 2004.p:. 315-324.
5. Kemenkes. Pedoman Tatalaksana Sifilis Untuk Pengendalian Sifilis Di Layanan
Kesehatan Dasar. Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan
Lingkungan. Jakarta. 2013.
6. Burns, Burns., Syphilis and Bacterial Sexual Transmitted Infection. Rook’s Book. Text
Book of Dermatology. Ed 8.Garsington, Oxford, Untited State of America: Wiley-
Balck Well. 2010. Chapter 34.34-34.5.
7. Jems, D.W.,Syphilis. Andrew’s Disease of The Skin: Clinical Dermatology.Ed
10.United State Of America. Sunders Company. 2010.p: 353-358.
8. Romawawi, Rosmia. Sifilis Laten: Diagnosis dan Pengobatan, Departemen Ilmu
Kesehatan Kulit Kelamin: Fak. Kedokteran. Univ. Padjajaran Indonesia.Divisi Infeksi
Menular. 2013.
9. Lautenschlager. S.,European Guidlines for the management of choncroid, International
journal STD dan AIDS. 2017.
10. O’Farrell.N., UK National Guidline For The Management Of Chancroid,International
Journal STD Dan AIDS.United State Of America: UK.2014
11. Morse, S.A.,Chancroid and Haemophilus durcreyi,Clinical Microbiology, Review
1989. America. 2014.
12. Patel R., 2017 European guidelines for the management of genital herpes, International
journal of STD and AIDS. Europa. 2017
13. Djuanda.A. Dkk. Herpes simpleks,IlmuPenyakit Kulit dan Kelamin. Ed 7. Jakarta
Balaipenerbit FKUI, 2016.p:478
14. Anonym. Prevention and management of genital herpes.2013.
26
15. Epidemiology of herpes simplex virus type 1 and 2 in Italy: A seroprevalence study
from 2000 to 2014.
16. Legoff J, Pere H, Belec L., Diagnosis of Genital Herpes Simplex Virus Infection in the
Clinical Laboratory,Virology Journal 2014; 11: 1-17. doi:10.1186/1743-422X-11-83.
17. Sen P, Barton SE.,A Syndromic Approach to the Management of Genital Ulcer. The
Singapore Family Physician. 2013

27

Anda mungkin juga menyukai