Anda di halaman 1dari 5

IRFANSYAH HULU

NUR ASTARI
ULFA

5. PENATALAKSANAAN DAN PENCEGAHAN SINDROM STEVEN-JOHNSON

A. PENATALAKSANAAN SINDROM STEVEN-JOHNSON

Penatalaksanaan sindrom Stevens-Johnson didasarkan atas tingkat keparahan penyakit yang


secara umum meliputi:
1. Rawat inap
Rawat inap bertujuan agar dokter dapat memantau dan mengontrol setiap hari keadaan
penderita.

2. Menghentikan obat yang dianggap sebagai kausa sindrom steven Johnson.

3. Preparat Kortikosteroid
Jika keadaan umum pasien SSJ baik dan lesi tidak menyeluruh cukup diobati dengan
prednisone 30-40 mg per hari. Jika keadaan umumnya buruk dan lesi menyeluruh maka harus
diobati secara tepat dan cepat dan pasien harus di rawat inap.
Penggunaan preparat kortikosteroid merupakan tindakan life saving. Kortikosteroid yang
biasa digunakan berupa deksametason secara intravena dengan dosis permulaan 4-6 x 5mg
sehari. Masa kritis biasanya dapat segera diatasi dalam 2-3 hari, dan apabila keadaan umum
membaik dan tidak timbul lesi baru, sedangkan lesi lama mengalami involusi, maka dosis segera
diturunkan 5mg secara cepat setiap hari. Setelah dosis mencapai 5mg sehari kemudian diganti
dengan tablet kortikosteroid, misalnya prednisone, yang diberikan dengan dosis 20 mg sehari,
kemudian diturunkan menjadi 10mg pada hari berikutnya selanjutnya pemberian obat
dihentikan. Lama pengobatan preparat kortikosteroid kira-kira berlangsung selama 10 hari.
Bila tapering off tidak lancar, mungkin antibiotik yang sekarang menyebabkan alergi
sehingga masih timbul lesi baru. Kalau demikian harus diganti dengan antibiotik yang lain.
Kemungkinan kausanya bukan alergi obat, tetapi infeksi (pada sebagian kecil kasus) sehingga
diperlukan kultur darah nya. Pada waktu penurunan dosis kortikosteroid sistemik dapat timbul
miliaria kristalina yang sering disangka lesi baru dan dosis kortikosteroid dinaikkan lagi, yang
seharusnya tetap diturunkan. Penggunaan preparat kortikosteroid harus di bawah pengawasan
seorang ahli, mengingat kortikosteroid memiliki efek samping berupa supresi daya tahan tubuh
dan menekan aktivitas korteks adrenal. Kortikosteroid hanya mengurangi gejala,
memperpendek durasi penyakit, dan tidak menyembuhkan penyakit secara total.
Selain deksamethason dapat pula digunakan metilprednisolon dengan dosis setara.
Kelebihan metilprednisolon adalah efek sampingnya lebih sedikit dibandingkan dengan
deksamethason karena termaksud golongan kerja sedang, sedangkan deksamethason
termaksud golongan kerja lama, namun harganya lebih mahal.

4. Antibiotik
Penggunaan preparat kortikosteroid dengan dosis tinggi menyebabkan imunitas penderita
menurun, maka antibiotic harus diberikan untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder,
misalnya bronco-pneneumonia yang dapat menyebabkan kematian. Antibiotik yang diberikan
hendaknya yang jarang menyebabkan alergi, berspektrum luas, bersifat bakterisidal, dan tidak
nefrotoksik. Hendaknya antibiotic yang akan diberikan jangan segolongan atau yang rumusnya
mirip dengan antibiotic yang diduga menyebabkan alergi untuk mencegah terjadinya sensitisasi
silang.
Antibiotik yang memenuhi syarat tersebut antara lain siprofloksasin dengan dosis 2 x 400mg
intravena, klindamisin dengan dosis 2 x 600mg intravena dan gentamisin dengan dosis 2 x 80
mg. Obat lain yang dapat digunakan yaitu seftriakson dengan dosis 2g IV perhari. Hendaknya
diingat obat tersebut akan memberikan sensitisasi silang dengan amoksisilin karena keduanya
termaksud antibiotic beta lactam.

5. Infuse dan Transfusi Darah


Hal yang perlu diperhatikan kepada penderita adalah mengatur keseimbangan cairan atau
elektrolit tubuh, karena penderita sukar atau tidak dapat menelan makanan atau minuman
akibat adanya lesi oral dan tenggorokan serta kesadaran penderita yang menurun. Infuse yang
diberikan berupa glukosa 5%, NaCl 0,9% dan RL dalam 1 labu yang diberikan 8 jam sekali.
Jika pasien mengalami hipovolemik, maka dapat digunakan rumus gabungan Baxter-
Parkland yaitu : luas area kulit yang terlibat x kgBB x 3.Ini berarti sekitar 2/3 dari total
kebutuhan pada luka bakar dan diberikan dalam 24 jam pertama.
Apabila terapi yang telah diberikan dan penderita belum menampakkan perbaikan dalam
waktu 2-3 hari, maka penderita dapat diberikan transfuse darah sebanyak 300 cc selama 2 hari
berturut-turut, khususnya pada kasus yang disertai purpura yang luas, leucopenia dan bila telah
diobati dengan kortikosteroid dengan dosis adekuat setelah 2 hari belum ada perbaikan.

6. IVIG (Intravenous Immunoglobulin)


Pemberian IVIG masih kontroversi, dengan sedikit bukti yang menyatakan bahwa
pemberiannya bermanfaat, yang lain tidak. Dosis awal adalah 0,5mg/kgBB pada hari 1, 2, 3, 4
dan 6 masuk rumah sakit. Pemberian IVIG akan menghambat reseptor FAS dalam proses
kematian keratinosit yang dimediasi FAS.
7. KCl
Penderita yang menggunakan kortikosteroid umumnya mengalami penurunan kalium atau
hipokalemia, maka diberikan KCl dengan dosis 3 x 500 mg sehari peroral.

8. Adenocorticotropichormon (ACTH)
Penderita perlu diberikan ACTH untuk menghindari terjadinya supresi korteks adrenal
akibat pemberian kortikosteroid. ACTH yang diberikan berupa ACTH sintetik dengan dosis 1 mg.

9. Agen Hemostatik
Agen hemostatik terutama diberikan pada penderita disertai purpura yang luas. Agen
hemostatik yang sering digunakan adalah vitamin K.

10. Diet
Diet rendah garam dan tinggi protein merupakan pola diet yang dianjurkan kepada
penderita. Akibat penggunaan preparat kortikosteroid dalam jangka waktu lama, penderita
mengalami retensi natrium dan kehilangan protein, dengan diet rendah garam dan tinggi
protein diharapkan konsentrasi garam dan protein penderita dapat kembali normal. Penderita
selain menjalani diet rendah garam dan tinggi protein, dapat juga diberikan makanan yang
lunak atau cair, terutama pada penderita yang sukar menelan.

11. Vitamin
Vitamin yang diberikan berupa vitamin B kompleks dan vitamin C. Vitamin B kompleks
diduga dapat memperpendek durasi penyakit. Vitamin C diberikan dengan dosis 500 mg atau
1000 mg sehari dan ditujukan terutama pada penderita dengan kasus purpura yang luas
sehingga pemberian vitamin dapat membantu mengurangi per-meabilitas kapiler.

12. Perawatan pada Kulit


Lesi kulit tidak memerlukan pengobatan spesifik, kebanyakan penderita merasa lebih
nyaman jika lesi kulit diolesi dengan ointment berupa vaselin, polisporin, basitrasin. Rasa nyeri
seringkali timbul pada lesi kulit dikarenakan lesi seringkali melekat pada tempat tidur. Lesi kulit
yang erosive dapat diatasi dengan memberikan sofratulle atau krim sulfadiazine perak, larutan
salin 0,9% atau burow. Kompres dengan asam salisilat 0,1% dapat diberikan untuk perawatan
lesi pada kulit. Kerjasama antara dokter gigi dan dokter spesialis ilmu penyakit kulit dan kelamin
sangat diperlukan.

13. Perawatan pada Mata


Perawatan pada mata memerlukan kebersihan mata yang baik,kompres dengan larutan
salin serta lubrikasi mata dengan air mata artificial dan ointment. Pada kasus yang
kronis,suplemen air mata seringkali digunakan untuk mencegah terjadinya corneal epithelial
breakdown. Antibiotik topikal dapat digunakan untuk menghindari terjadinya infeksi sekunder.

14. Perawatan pada genital


Larutan salin dan petroleum berbentuk gel sering digunakan pada area genital penderita.
Penderita sindrom Stevens-Johnson yang seringkali mengalami gangguan buang air kecil akibat
uretritis, balanitis, atau vulvovaginitis, maka kateterisasi sangat diperlukan untuk
memperlancar buang air kecil.

15. Perawatan pada Oral


Rasa nyeri yang disebabkan lesi oral dapat dihilangkan dengan pemberian anastetik topical
dalam bentuk larutan atau salep yang mengandung lidokain 2%. Campuran 50% air dan
hydrogen peroksida dapat digunakan untuk menyembuhkan jaringan nekrosis pada mukosa
pipi. Antijamur dan antibiotik dapat digunakan untuk mencegah superinfeksi. Lesi pada mukosa
bibir yang parah dapat diberikan perawatan berupa kompres asam borat 3%. Lesi oral pada
bibir diobati dengan boraks-gliserin atau penggunaan triamsinolon asetonid. Triamsinolon
asetonid merupakan preparat kortikosteroid topical. Kortikosteroid yang biasa digunakan pada
lesi oral adalah bentuk pasta. Pemakaian pasta dianjurkan saat sebelum tidur karena lebih
efektif. Sebelum dioleskan, daerah sekitar lesi harus dibersihkan terlebih dahulu kemudian
dikeringkan menggunakan spons steril untuk mencegah melarutnya pasta oleh saliva. Apabila
pasta larut oleh saliva, obat tidak dapat bekerja dengan optimum sehingga tidak akan diperoleh
efek terapi yang diharapkan.

16. Konsultasi
Konsultasi ke bagian oftalmologi untuk kelainan pada mata. Biasdanya dokter mata
memberikan airmata artifisial, atau gentamisin tetes mata bila ada dugaan infeksi sekunder.
Secara rutin pasien juga dikonsul ke bagian kulit dan kelamin untuk perawatan yang
komprehensif. Konsultasi ke bagian bedah plastic sehubungan dengan perawatan lesi kulit
terbuka yang biasanya dirawat sebagaimana luka bakar.
B. PENCEGAHAN SINDROM STEVEN-JOHNSON

Sebagian besar kasus sindrom Steven-Johnson dipicu oleh penggunan obat, karena itu langkah
pencegahan adalah dengan penggunaan obat yang rasional. Penggunaan obat yang rasional meliputi
upaya untuk menggunakan obat sesuai indikasi, dosis, jangka waktu, dan biaya termurah bagi pasien dan
lingkungan.
Obat tetaplah bahan kimia yang dapat menimbulkan efek yang tidak diinginkan dari yang ringan
sampai berat. Karena pemakaian obat walaupun sesuai dosis tetap dapat menimbulkan efek yang tidak
diinginkan maka harus bijaksana dalam pemakaian obat. Pastikan benar-benar bahwa anda memerlukan
obat dalam tatalaksana keadaannya, dan bila meminum obat pastikan membaca petunjuk dalam kemasan
obat, observasi tanda-tanda yang muncul setelah meminum obat.
Jangan minum obat bila tidak sesuai indikasi. Selalu tanyakan diagnosis penyakit, periksa
kembali apakah memang obat yang dikonsumsi sudah sesuai indikasi penyakit yang diderita. Cara-cara
ini untuk menghindari dari efek yang tidak diinginkan dari obat yang diminum. Mencegah lebih baik dari
mengobati.

DAFTAR PUSTAKA
1. Foster CS. Stevens-Johnson Syndrome Treatment & Management. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1197450-treatment.
2. Laskaris G. Color Atlas of Oral Disease. New York: Thieme Medical Publisher; 1994.
3. Hamzah M. Erupsi Obat Alergik. In: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th edition. Jakarta:
Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007.
4. Perdoski. Standar Pelayanan Medik Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin. Jakarta: Perdoski;
2003.
5. Landow RK. Kapita Selekta terapi Dermatologik. Jakarta: CV EGC; 1983.

Anda mungkin juga menyukai