Seorang wanita berusia 57 tahun menderita DM hiperglikemia dan kadar gula darah sewaktu 450
mg/dL. Menderita hipertensi dan tekanan darah 170 / 110. Riwayat pengobatan Glokodex
2x1,Diltiazem 30 mg 3 x1, Kaptopril 25 mg 3x1, Aspirin 100 mg 1 x 1, pasien mengalami luka
basah yang busuk.
Penyelesaian :
a. Subjectif
Pasien wanita berumur 57 tahun.
Pasien mengalami luka basah yang busuk
Riwayat pengobatan : Glokodex 2x1, Diltiazem 30 mg 3 x1, Kaptopril 25 mg 3x1, Aspirin 100
mg 1 x 1
b. Objectif
kadar gula darah sewaktu 450 mg/dL
tekanan darah 170 / 110.
c. Assisment
Pasien menderita hipertensi stage 2, Diabetes melitus tipe 2. Terapi farmakologi untuk Hipertensi
yang kompikasi dengan penyakit DM ialah obat golongan ACE inhibitor Or ARB, dan Diuretik.
Rencana pemberian obat adalah Kaptopril, glukodex, HCT, dan Aspirin. Dokter meresepkan obat
diltiazem. Tapi kami tidak memakainya karena diltiazem masuk dalam golongan ARB, sedangkan
terapi obatnya adalah Golongan ACE inhibitor atau IRB, jadi boleh dipilih salah satunya. Sehingga
mencegah terjadinya polifarmasi (Dipiro. 2000: 183).
d. Planning
1. Tujuan terapi
a. Memperbaiki kualitas hidup pasien
b. Mengobati penyakit hipertensi
2. Sasaran terapi
a. Menurunkan gula darah sewaktu
b. Menormalkan tekanan darah
3. Terapi
v Terapi non farmakologi
a. pasien selalu harus mengawali diet dengan pembatasan kalori, terlebih-lebih pada pasien
dengan overweight (tipe-2).
b. Berolahraga
c. Berhenti merokok.
d. Pola hidup teratur.
e. Istirahat yang cukup.
(Tjay Tan Hoan. 2010: 743)
v Terapi farmakologi
a. Pemberian obat kaptopril sebagai obat hipertensi dengan dosis 25 mg diminum 3 x sehari. Dosis
yang diberikan sudah tepat (Drug Information Handbook_Captopril).
b. Pemberian obat Aspirin digunakan untuk mengobati luka basah yang membusuk sebagai obat
anti inflamasi. Diberikan dengan dosis 100 mg 1 x seharii.
c. Pemberian obat glukodex digunakan sebagai obat DM tipe 2. Glukodex mengandung gliclazide
80 mg. Pemberian dosis sudah tepat 2 x sehari (Drug Information Handbook_Gliclazide).
d. Pemberian obat HCT dengan dosis 12,5 mg diminum 1 x sehari. Digunakan sebagai obat diuretik
(Dipiro. 2000: 183).
Pemfigus vulgaris adalah salah satu penyakit autoimun yang menyerang kulit dan membrane
mukosa yang menyebabkan timbulnya bula atau lepuh biasanya terjadi di mulut, hidung,
tenggorokan, dan genital. Pada penyakit pemfigus vulgaris timbul bula di lapisan terluar dari
epidermis kulit dan membrane mukosa. Mukosa membran yang paling banyak terkena dampak
adalah pada rongga mulut, yang termasuk hampir pada semua penderita pemphigus vulgaris dan
kadang-kadang merupakan satu-satunya daerah yang terkena.
Gambaran klinis dari pemphigus vulgaris yaitu dicirikan oleh bullae intradermal yang terasa
nyeri dan vesikel superfisial yang tampak pada kulit dan mukosa. Bullae, yang terutama tampak
pada mukosa bukal dan/atau mukosa palatal, yang muncul secara khas dan dapat menyebar ke
batas merah terang, mengarah ke kulit yang menebal dan mengeras.43 Bullae yang utuh jarang
terdapat pada mulut. Lebih banyak terdapat yang berbentuk ill-defined, tidak beraturan, erosi
gingival, palatal, atau bukal, yang nyeri dan sembuhnya lama. Erosi akan melebar ke arah perifer
dengan penambahan epitelium. Seperti pada kasus penderita diatas, manifestasi klinis yang
terlihat adalah bula berupa lepuh-lepuh di mukosa mulut bagian bukal yang mudah pecah dan
meninggalkan ulser tidak teratur serta lepuh besar setelah jatuh.Pemfigus vulgaris adalah
autoimmune disorder yaitu sistem imun memproduksi antibody yang menyerang spesifik pada
protein kulit dan membrane mukosa. Antibodi ini menghasilkan reaksi yang menimbulkan
pemisahan pada lapisan sel epidermis satu sama lain karena kerusakan atau abnormalitas
substansi intrasel.
Faktor-faktor yang dapat memicu terjadinya pemfigus vulgaris adalah obat-obatan yang
mengandung sulfhidril radikal serta obat nothiol, virus, genetis, usia yang terbanyak antara 50-60
tahun, hubungan dengan penyakit kelainan imun lainnya seperti rheumatoid arthritis, myasthenia
gravis, lupus erythematosus, atau pernicious anemia serta faktor lain seperti konsumsi rokok,
ekspose tinggi terhadap pestisida, dan kontribusi estrogen pada ibu hamil.
Pada penderita pemfigus vulgaris dimungkinkan terjadiya komplikasi, antara lain:
1. Secondary infection
Salah satunya mungkin disebabkan oleh sistemik atau local pada kulit. Mungkin terjadi karena
penggunaan immunosupresant dan adanya multiple erosion. Infeksi cutaneus memperlambat
penyembuhan luka dan meningkatkan resiko timbulnya scar.
2. Malignansi dari penggunaan imunosupresif
Biasanya ditemukan pada pasien yang mendapat terapi immunosupresif.
3. Growth retardation
Ditemukan pada anak yang menggunakan immunosupresan dan kortikosteroid.
4. Supresi sumsum tulang
Dilaporkan pada pasien yang menerima imunosupresant. Insiden leukemia dan lymphoma
meningkat pada penggunaan imunosupresif jangka lama.
5. Osteoporosis
Terjadi dengan penggunaan kortikosteroid sistemik
6. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
Erosi kulit yang luas, kehilangan cairan serta protein ketika bulla mengalami rupture akan
menyebabkan gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. Kehilangan cairan dan natrium
klorida ini merupakan penyebab terbanyak gejala sistemik yang berkaitan dengan penyakit dan
harus diatasi dengan pemberian infuse larutan salin. Hipoalbuminemia lazim dijumpai kalau
proses mencapai kulit tubuh dan membrane mukosa yang luas.
Dari kasus penderita diatas komplikasi yang dialami adalah secondary infection, yang
memperlambat penyembuhan bula, sehingga menyebabkan timbulnya ulser yang tidak teratur.
Penatalaksanaan pemfigus vulgaris:
1. Secara topikal
Lesi kering : framisitin 1 %
Lesi basah : kompres garam faali, NaCl 0,9%
2. Secara oral
Pemberian kortikosteroid yang dosisnya disesuaikan dengan tingkat keparahan penyakit.
Pemberian imunosupresan untuk mengurangi dosis kortikosteroid.
Pemberian antibiotik bila terjadi infeksi yang menyertai.
Daftar pustaka:
1. Jusuf, Hari, Saut, dkk. Pedoman Diagnosis dan Terapi BAG/AMF Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. 2005. Edisi 3. Surabaya: RSUD dr.Soetomo.
2. Brunner& Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8. Volume 3. EGC: Jakarta.
Seorang Ibu bersama dengan anaknya bernama DD, berusia 8 tahun, BB 15 kg, dan TB
120 cm datang ke Rumah Sakit Sejahtera. Si Ibu bercerita kepada sang Dokter bahwa seminggu
yang lalu anaknya menderita batuk, cepat lelah, dan kurang konsentrasi saat belajar. Dengan saran
dari seorang teman dan melihat iklan di TV, maka Ibu tersebut memberikan obat Konidin dan
Sangobion syrup masing-masing 3 x sehari kepada si anak, namun belum juga sembuh. Dan 2 hari
yang lalu perut anaknya menjadi buncit dan sering sakit, diare, dan anorexia.
Berdasarkan pemeriksaan laboratorium bahwa pada feses: positif (+) ditemukan telur
cacing Ascariasis lumbricoides, kadar Hb < 10 gr/dl. Setelah ditelusuri, ternyata pasien bertempat
tinggal di daerah perkebunan, sering tidak memakai alas kaki, dan suka bermain tanah. Dokter
meresepkan obat oralit, Curcuma Plus syrup, dan Levamisol 50 mg 2 x sehari. Apa saran Anda
sebagai seorang farmasis?
Penyelesaian
Subjective:
1. Nama pasien DD
2. Usia 8 tahun
3. TB 120 cm
4. BB 17 kg
5. Keluhan: batuk, cepat lelah, kurang konsentrasi, perut buncit dan sering sakit, diare,
anorexia
Objective: