TUBERKULOSTATIK
DAN
LEPROSTATIK
TUBERKULOSTATIK DAN
LEPROSTATIK
1.
Tuberkulostatik
Streptomisin
Isoniazid
Rifampisin
Etambutol
Pirazinamid
Asam paraamino
salisilat
Sikloserin
Kanamisin
Kapreomisin
Etionamid
Pengobatan
Tuberkulosis
2. Leprostatik
2.1. Sulfon
2.2. Rifampisin
2.3. Klofazimin
2.4. Amitiozon
2.5. Obat-obat lain
2.6. Kemoterapi
lepra
3
TUBERKULOSTATIK DAN
LEPROSTATIK
TUBERKULOSTATIK
TUBERKULOSTATIK
STREPTOMISIN
TUBERKULOSTATIK
STREPTOMISIN
RESISTENSI.
Dalam populasi yg besar selalu terdpt kuman yg
resisten thd streptomisin. Resistensi ini mungkin
disebabkan oleh mutasi yg terjadi secara
kebetulan. Kemungkinan terjadi resistensi in vitro
dan in vivo sama besar. Secara umum dikatakan
bhw makin lama terapi dg streptomisin
berlangsung, makin meningkat resistensinya. Pd
beberapa penderita resistensi ini terjadi dlm satu
bulan. Setelah 4 bulan, 80% kuman tuberkulosis
tidak sensitif lagi. Bila kavitas tdk menutup atau
sputum tdk menjadi steril dlm wkt 2-3 bulan,
bakteri yg tertinggal telah resisten dan
pengobatan tdk efektif lagi. Penggunaan
streptomisin bersama antituberkulosis lain
7
menghambat terjadinya resistensi.
TUBERKULOSTATIK
STREPTOMISIN
FARMAKOKINETIK.
Setelah diserap dari tempat suntikan, hampir
semua streptomisin berada dalam plasma. Hanya
sedikit sekali yang masuk ke dalam eritrosit.
Streptomisin kemudian menyebar ke seluruh
cairan ekstrasel. Kira-kira sepertiga streptomisin
yang berada dalam plasma, terikat protein
plasma. Streptomisin dieksresi melalui filtrasi
glomerulus. Kira-kira 50-60% dosis streptomisin
yang diberikan secara parenteral diekskresi
dalam bentuk utuh dalam waktu 24 jam pertama.
Sebagian besar jumlah ini diekskresi dalam waktu
12 jam. Masa paruh obat ini pada orang dewasa
normal antara 2-3 jam, dan dapat sangat
memanjang pada gagal ginjal. Ototoksisitas lebih
sering terjadi pada penderita yang fungsi
ginjalnya terganggu.
8
TUBERKULOSTATIK
STREPTOMISIN
EFEK NONTERAPI.
Reaksi hipersensitivitas biasanya terjadi dalam mingguminggu pertama pengobatan. Streptomisin bersifat
neurotoksik pada saraf kranial ke VIII, bila diberikan dlm
dosis besar dan jangka lama. Walaupun dmk beberapa
penderita yg baru mendpt dosis total 10-12 gram dpt
mengalami gangguan tsb. Dianjurkan utk melakukan
pemeriksaan audiometri basal dan berkala pd mereka yg
mendpt streptomisin. Seperti aminoglikosida lainnya,
obat ini juga bersifat nefrotoksik. Ototoksisitas dan
nefrotoksisitas ini sangat tinggi kejadiannya pd
kelompok usia di atas 65 tahun, oleh karena itu obat tdk
boleh diberikan pd kelompok usia tsb. Efek samping lain
ialah reaksi anafilaktik, agranulositosis, anemia aplastik,
dan demam obat. Belum ada data tentang efek
teratogenik, tetapi pemberian obat pada trimester
pertama kehamilan tidak dianjurkan. Selain itu dosis
total tdk boleh melebihi 20 gram dlm 5 bulan terakhir
kehamilan untuk mencegah ketulian pada bayi.
9
TUBERKULOSTATIK
ISONIAZID
TUBERKULOSTATIK
ISONIAZID
MEKANISME KERJA.
Mekanisme kerja isoniazid belum diketahui, tetapi
ada beberapa hipotesis yang diajukan, di
antaranya efek pada lemak, biosintesis asam
nukleat, dan glikolisis.
Ada pendapat bahwa efek utamanya ialah
menghambat biosintesis asam mikolat (mycolic
acid) yang merupakan unsur penting dinding sel
mikobakterium.
Isoniazid kdr rendah mencegah perpanjangan
rantai as. lemak yg sangat panjang yg merupakan
btk awal molekul as. mikolat.
Isoniazid menghilangkan sifat tahan asam dan
menurunkan jml lemak yg terekstraksi oleh
metanol dr mikobakterium.
Hanya kuman peka yang menyerap obat ke dlm
selnya, dan ambilan ini merupakan proses aktif. 11
TUBERKULOSTATIK
ISONIAZID
RESISTENSI.
Petunjuk yang ada memberikan kesan bahwa
mekanisme terjadinya resistensi berhubungan
dengan kegagalan obat mencapai kuman atau
kuman tidak menyerap obat.
Pengobatan dg INH ini juga dapat menyebabkan
timbulnya strain baru yang resisten. Perubahan
sifat dari sensitif menjadi resisten biasanya
terjadi dalam beberapa minggu setelah
pengobatan dimulai.
Waktu yang diperlukan untuk timbulnya resistensi
berbeda pada kasus yang berlainan.
12
TUBERKULOSTATIK
ISONIAZID
FARMAKOKINETIK.
Isoniazid mudah diabsorpsi pada pemberian oral
maupun parenteral. Kadar puncak dicapai dalam
waktu 1 -2 jam setelah pemberian oral. Di hati,
isoniazid terutama mengalami asetilasi, dan pada
manusia kecepatan metabolisme ini dipengaruhi
oleh faktor genetik yang secara bermakna
mempengaruhi kadar obat dalam plasma dan
masa paruhnya.
Isoniazid mudah berdifusi ke dalam sel dan semua
cairan tubuh. Obat terdapat dengan kadar yang
cukup dalam cairan pleura dan cairan asites.
Kadar dalam cairan serebrospinal kira-kira 20%
kadar dalam cairan plasma. Isoniazid mudah
mencapai material kaseosa. Kadar obat ini pada
mulanya lebih tinggi dalam plasma dan otot
daripada dalam jaringan yang terinfeksi, tetapi
13
kemudian obat tertinggal lama di jaringan yg
TUBERKULOSTATIK
ISONIAZID
EPEK NONTERAPI.
Reaksi hipersensitivitas mengakibatkan demam,
berbagai kelainan kulit berbentuk morbiliform,
makulopapular, dan urtikaria. Reaksi hematologik
dapat juga terjadi seperti agranulositosis,
trombositopenia, dan anemia. Vaskulitis yang
berhubungan dengan antibodi antinuklear dapat
terjadi selama pengobatan, tetapi menghilang bila
pemberian obat dihentikan. Gejala artritis seperti
sakit sendi juga dapat terjadi.
Neuritis perifer paling banyak terjadi dengan dosis
isoniazid 6 mg/kg BB/hari. Bila penderita tidak
diberi piridoksin frekuensinya mendekati 2%.
Isoniazid dapat mencetuskan terjadinya kejang
pada pasien dengan riwayat kejang. Neuritis optik
dengan atropi dapat juga terjadi.
14
TUBERKULOSTATIK
ISONIAZID
TUBERKULOSTATIK
RIFAMPISIN
AKTIVITAS ANTIBAKTERI.
Rifampisin menghambat pertumbuhan berbagai
kuman gram-positif dan gram-negatif. Thd kuman
gram-negatif kerjanya lbh lemah dp tetrasiklin,
kloramfenikol, kanamisin, dan kolistin.
Dpt menghhambat pertumbuhan beberapa jenis
virus.
In vitro, rifampisin dalam kadar 0,005-0,2 g/ml dpt
16
menghambat pertumbuhan M. tuberkulosis.
TUBERKULOSTATIK
ISONIAZID
Mekanisme kerja
Rifampisin terutama aktif thd sel yg sedang
bertumbuh.
Kerjanya menghambat DNA-dependent
RNA polymerase dr mikobakteria dan
mikroorganisme lain dg menekan mula
terbtknya (bukan pemanjangan) rantai dlm
sintesis RNA.
Inti RNA Polymerase dr berbagai sel
eukariotik tdk mengikat rifampisin dan
sintesis RNAnya tdk dipengaruhi.
Rifampisin dpt menghambat sintesis RNA
mitokondria mamalia tetapi diperlukan
kadar yg lbh tinggi dp kdr utk
17
penghambatan pd kuman.
TUBERKULOSTATIK
ISONIAZID
FARMAKOKINETIK.
Pemberian rifampisin per oral menghasilkan kdr puncak
dlm plasma setelah 2-4 jam; dosis tunggal sebesar 600 mg
menghasilkan kdr sekitar 7 g/ml. Asam para-amino salisilat
dpt memperlambat absorpsi rifampisin, shg kadar terapi
rifampisin dlm plasma tdk tercapai. Bila rifampisin harus
digunakan bersama asam para amino salisilat, maka
pemberian kedua sediaan harus berjarak waktu 8-12 jam.
Setelah diserap dari saluran cerna, obat ini cepat
diekskresi melalui empedu dan kmd mengalami sirkulasi
enterohepatik.
Obat ini cepat mengalami deasetilasi, shg dlm waktu 6 jam
hampir semua obat yg berada dlm empedu berbtk deasetil
rifampisin, yg mempunyai aktivitas antibakteri penuh.
Rifampisin menyebabkan induksi metabolisme, shg
walaupun bioavailabilitasnya tinggi, eliminasinya
meningkat pd pemberian berulang.
Rifampisin didistribusi ke seluruh tubuh.
18
TUBERKULOSTATIK
ISONIAZID
INTERAKSI OBAT.
Pemberian PAS bersama rifampisin akan
menghambat absorpsi rifampisin sehingga
kadarnya dalam darah tidak cukup. Rifampisin
merupakan pemacu metabolisme obat yang cukup
kuat, sehingga berbagai obat hipoglikemik oral,
kortikosteroid, dan kontrasepsi oral akan
berkurang efektivitasnya bila diberikan bersama
rifampisin.
Mungkin dapat terjadi kehamilan pada pemberian
bersama kontrasepsi oral, Rifampisin mungkin
juga menganggu metabolisme vitamin D sehingga
dapat menimbulkan kelainan tulang berupa
osteomalasia.
STATUS DALAM PENGOBATAN.
Rifampisin merupakan obat yang sangat efektif
19
TUBERKULOSTATIK
ETAMBUTOL
AKTIVITAS ANTIBAKTERI.
Hampir semua galur M. tuberculosis dan M.
kansasii sensitif thd etambutol. Etambutol
tidak efektif untuk kuman lain. Obat ini
tetap menekan pertumbuhan kuman
tuberkulosis yang telah resisten terhadap
isoniazid dan streptomisin. Kerjanya
menghambat sintesis metabolit sel
sehingga metabolisme sel terhambat dan
sel mati. Karena itu obat ini hanya aktif
terhadap sel yang bertumbuh dengan
khasiat tuberkulostatik.
Efektivitas pada hewan coba sama dengan
isoniazid. In vivo, sukar menciptakan
20
resistensi thd etambutol dan timbulnya pun
TUBERKULOSTATIK
ETAMBUTOL
FARMAKOKINETIK.
Pada pemberian oral sekitar 75-80% etambutol
diserap dari saluran cerna. Kadar puncak dlm
plasma dicapai dlm wkt 2-4 jam setelah
pemberian. Dosis tunggal 15 mg/kg BB
menghasilkan kdr dlm plasma sekitar 5 mg/ml pd
2-4 jam.
Masa paruh eliminasinya 3-4 jam. Kadar
etambutol dalam eritrosit 1-2 kali kadar dalam
plasma. Oleh karena itu eritrosit dapat berperan
sebagai depot etambutol yg kmd melepaskannya
sedikit demi sedikit ke dalam plasma.
Dlm wkt 24 jam, 50% etambutol yg diberikan
diekskresi dlm btk asal melalui urin, 10% sbg
metabolit, berupa derivat aldehid dan asam
karboksilat. Bersihan ginjal utk etambutol kira-kira
8,6 ml/menit/kg menandakan bhw obat ini selain 21
mengalami filtrasi glomerulus juga disekresi
TUBERKULOSTATIK
ETAMBUTOL
TUBERKULOSTATIK
PIRAZINAMID
AKTIVITAS ANTIBAKTERI.
Pirazinamid di dalam tubuh dihidrolisis oleh enzim
pirazinamidase menjadi asam pirazinoat yang
aktif sebagai tuberkulostatik hanya pada media
yang bersifat asam.
In vitro, pertumbuhan kuman tuberkulosis dalam
monosit dihambat sempurna pada kadar
pirazinamid 12,5 g/ml.
23
TUBERKULOSTATIK
PIRAZINAMID
FARMAKOKINETIK.
Pirazinamid mudah diserap di usus dan tersebar
luas ke seluruh tubuh.
Dosis 1 gram menghasilkan kadar plasma sekitar
45 g/ml pada dua jam setelah pemberian obat.
Ekskresinya terutama melalui filtrasi glomerulus.
Asam pirazinoat yang aktif kemudian mengalami
hidroksilasi menjadi asam hidropirazinoatyang
merupakan metabolit utama.
Masa paruh eliminasi obat ini antara 10-16 jam.
24
TUBERKULOSTATIK
PIRAZINAMID
TUBERKULOSTATIK
ASAM PARA AMINOSALISILAT
TUBERKULOSTATIK
SIKLOSERIN
TUBERKULOSTATIK
ASAM PARA AMINOSALISILAT
FARMAKOKINETIK.
Setelah pemberian oral absorpsinya baik: kadar
puncak dalam darah dicapai 4-8 jam setelah
pemberian obat. Dengan dosis 20 mg/kg BB
diperoleh kadar dalam darah sebesar 20-35 ng/ml
pada anak-anak. Dengan dosis 750 mg tiap 6 jam
pada orang dewasa akan diperoleh kadar lebih
dan 50 ug/ml.
Distribus! dan difusi ke seluruh cairan dan jaringan
tubuh baik sekali. Sawar darah otak dapat dilintasi
dengan baik. Karena obat ini terkonsentrasi di
urin, tidak diperlukan dosis besar untuk mengobati
tuberkulosis saluran kemih.
Ekskresi maksimal tercapai dalam 2-6 jam setelah
pemberian obat dan 50% diekskresi melalui urin
dalam bentuk utuh selama 12 jam pertama. Bila
ada insufisiensi ginjal, terjadi akumulasi obat
28
dalam tubuh sehingga memperbesar
TUBERKULOSTATIK
KANAMISIN
TUBERKULOSTATIK
KAPREOMISIN
TUBERKULOSTATIK
ETIONAMID
AKTIVITAS ANTIBAKTERI.
In vitro, etionamid menghambat pertumbuhan M.
tuberculosis jenis human pada kadar 0,6-2,5 ng/ml. Basil
yang sudah resisten thd tuberkulostatik lain masih sensitif
thd etionamid.
FARMAKOKINETIK.
Pada pemberian per oral etionamid mudah diabsorpsi.
Kadar puncak tercapai dalam 3 jam dan kadar terapi
bertahan selama 12 jam. Distribusi cepat, luas, dan
merata ke seluruh cairan dan jaringan tubuh. Ekskresi
berlangsung cepat dan terutama dalam bentuk
metabotitnya, hanya 1 % dalam bentuk aktif.
STATUS DALAM PENGOBATAN.
Etionamid merupakan antituberkulosis sekunder yang
harus dikombinasi dg antituberkulosis lain bila obat primer
tdk efektif lagi atau dikontraindikasikan.
31
TUBERKULOSTATIK
PENGOBATAN TUBERKULOSIS
TUBERKULOSTATIK
PENGOBATAN TUBERKULOSIS
PEMILIHAN OBAT.
Ada dua prinsip pengobatan tuberkulosis, yaitu
paling sedikit menggunakan dua obat, dan
pengobatan harus berlangsung setidaknya 3-6
bulan setelah sputum negatif untuk tujuan
sterilisasi lesi dan mencegah kambuh.
Hanya basil yang sedang membelah yang dapat
dibunuh oleh antituberkulosis. Mycobacterium
tuberculosis bersifat aerob obligat, karenanya
frekuensi pembelahan dan aktivitas
metabolismenya bervariasi tergantung kadar
oksigen di tempat hidupnya. Selain itu, basil ini
juga dipengaruhi oleh pH hngkungan sekitarnya.
33
TUBERKULOSTATIK
PENGOBATAN TUBERKULOSIS
TUBERKULOSTATIK
PENGOBATAN TUBERKULOSIS
35
LEPROSTATIK
LEPROSTATIK
2. RIFAMPISIN
Farmakologi obat ini telah ditinjau sebagai
antitlJberkulosis. Pada hewan coba, antibiotik ini
cepat mengadakan sterilisasi kaki mencit yang
diinfeksi dengan M. leprae dan tampaknya
mempunyai efek bakterisid. Walaupun obat ini
mampu menembus sel dan saraf, dalam
pengobatan yang berlangsung lama masih saja
diternukan kuman hidup.
Beberapa pasien yang makan obat ini selama 10
tahun tidak timbul masalah, tetapi resistensi
timbul dalam waktu 34 tahun. Atas dasar inilah
penggunaan rifampisin pada penyakit lepra hanya
dianjurkan dalam kombinasi dengan obat lain. Kini
di beberapa negara sedang dicoba penggunaan
rifampisin bersama dapson untuk M. leprae yang
sensitif terhadap dapson, serta kombinasi
37
rifampisin dengan klofazimin atau etionamid untuk
LEPROSTATIK
3. KLOFAZIMIN
Klofazimin merupakan turunan fenazin yang
efektif terhadap basil lepra. Kedudukan obat ini
sekarang ialah sebagai pengganti dalam
kombinasi dengan rifampisin bila basil lepra sudah
resisten terhadap dapson.
Obat ini tidak saja efektif untuk lepra jenis
lepromatosis, tetapi juga memiliki efek antiradang
sehingga dapat mencegah timbulnya eritema
nodosum.
Pada pemberian oral, obat ini diserap dan
ditimbun dalam jaringan tubuh. Keadaan ini
memungkinkan pemberian obat secara berkala
dengan jarak waktu antar dosis 2 minggu atau
lebih. Efek bakterisid klofazimin baru terlihat
setelah 50 hari terapi. Dosis klofazimin untuk
segala bentuk lepra ialah 100 mg sehari.
38
LEPROSTATIK
4. AMITIOZON
Obat turunan tiosemikarbazon ini lebih efektif terhadap
lepra jenis tuberkuloid dibandingkan terhadap jenis
lepromatosis. Resistensi dapat terjadi selama pengobatan
sehingga pada tahun kedua pengobatan perbaikan
melambat dan pada tahun ketiga penyakit mungkin
kambuh. Karena itu amitiozon dianjurkan penggunaannya
bila dapson tidak dapat diterima penderita.
Efek samping yang paling sering terjadi ialah anoreksia,
mual, dan muntah. Anemia karena depresi sumsum
tulang terlihat pada sebagian besar pasien. Leukopenia
dan agranulositosis dapat terjadi, tetapi yang berat
keadaannya terdapat pada 0,5% pasien. Anemia
hemolitik akut dapat terjadi dengan dosis tinggi. Ruam
kulit dan albuminuria tidak jarang pula terlihat. Kejadian
ikterus cukup tinggi dan gejala ini menandakan obat
bersifat hepatotoksik tetapi sifatnya rreversibel.
Amitiozon mudah diserap melalui saluran cerna dan
ekskresinya melalui urin.
39
LEPROSTATIK
6. PENGOBATAN LEPRA
Pengobatan lepra juga mengalami perubahan
mengikuti suksesnya pengobatan tuberkulosis
dengan paduan terapi jangka pendek.
Di masa lalu pengobatan lepra biasanya dengan
obat tunggal, kini banyak diusahakan pengobatan
minimal dengan dua obat, dan rifampisin juga
merupakan komponen yang penting.
Untuk mengerti pengobatan lepra, perlu dipahami
bentuk klinik penyakit tersebut.
Dikenal dua macam pembagian penyakit lepra
menurut bentuk kliniknya.
40
LEPROSTATIK
KLASIFIKASI.
Madrid membagi penyakit ini menjadi 4 tipe yaitu
tipe indeterminate, tuberkuloid, borderline, dan
lepromatosa, sedangkan Ridley dan Jopling
membaginya menjadi 6 tipe yaitu tipe
indeterminate (tipe 1), tuberkuloid (tipe TT),
borderline tuberculoid (tipe BT), borderline atau
midborderline (tipe BB), borderline lepromatosa
(tipe BL), dan lepromatosa (tipe LL). Lepra tipe
indeterminate merupakan bentuk permulaan
penyakit lepra yang memperlihatkan bermacam
bentuk makula hipopigmentasi. Sekitar 75% lesi
ini sembuh spontan, yang lain mungkin menetap
sebagai tipe indeterminate atau berkembang
menjadi bentuk-bentuk tuberkuloid, borderline
untuk seterusnya menjadi bentuk lepromatosa.
41
LEPROSTATIK
PEMILIHAN OBAT.
Dapson atau DDS merupakan obat terpilih untuk
semua tipe penyakit lepra. Obat ini digunakan
baik pada terapi obat tunggal maupun kombinasi.
Bila terjadi resistensi terhadap DDS, atau reaksi
alergi, baru digunakan obat lain. Klofazimin yang
beberapa tahun lalu hanya digunakan untuk
menggantikan DDS, kini digunakan bersama DDS
untuk lepra tipe multibasiler dan rifampisin
merupakan komponen penting dalam terapi
kombinasi baik pada lepra tipe pausibasiler
maupun multibasiler.
Selain itu pada reaksi lepra juga digunakan
kortikosteroid untuk efek anti inflamasinya, juga
digunakan klorokuin untuk efek anti inflamasinya.
Talidomid digunakan untuk reaksi eritema
nodosum leprosum, untuk reaksi reversal obat ini42
Selanjtnya
43