NIM : 2011201045
Seorang perempuan berusia 43 tahun datang ke dokter dengan keluhan tukak di kaki
kanan. Pasien mengaku tukak tidak terasa nyeri dan mati rasa. Selain itu juga terdapat
bercak putih pada kaki kanan. Keluhan ini sudah terjadi sejak 3 minggu yang lalu. Pada
pemeriksaan fisik, keadaan umum tampak sakit ringan dan vital sign dalam batas normal.
Pada status dermatologis ditemukan ulkus pada telapak kaki kanan dan ibu jari kaki
kanan, serta makula hipopigmentasi di regio dorsum pedis. Pemeriksaan sensitivitas pada
area lesi menurun. Pemeriksaan cukit kulit pada daun telinga ditemukan BTA (+). Dokter
memberikan edukasi tentang penyakitnya dan memberikan obat paket untuk 1 bulan dan
meminta pasien untuk kontrol sebelum obat habis. Dokter juga menyampaikan bahwa
jika muncul reaksi setelah pengobatan, pasien diminta segera kontrol ke dokter. Apakah
yang terjadi pada Ibu ini dan apakah penyakit ini menular kepada anggota keluarga
lainnya ?
STEP 1 TERMINOLOGI
3. Ulkus : ialah defect epidermis yang Sebagian dari dermis biasanya melibatkan
keterlibatan neurovascular.
permukaan kulit berbatas tegas , dengan warna lebih pucat disbanding kulit
5. BTA + : (Bakteri tahan asam) Merupakan suatu bakteri yg pada dinding sel nya
gram.
Keyword :
ditemukan ulkus pada telapak kaki kanan dan ibu jari kaki kanan
1. Mengapa pasien mengeluhkan gejala mati rasa pada kaki kanan? Bakteri
2. Mengapa dapat terbentuk tukak pada kaki kanan pasien ? terkait sirkulasi darah yg
3. Apakah ada hubungan ulkus dengan makula hipopigmentasi ? kulit kering shingga
9. Apakah diagnosis penyakit pada keluhan penyakit pasien pada kasus? Kusta
(Hansen)
11. Apakah penyakit pada kasus ini dapat menular ? droplet/dahak(disebabkan bakteri)
minocilin dkk)
13. Mengapa pemeriksaan cukit kulit diambil pada daun telinga dan apakah bisa
diambil pada bagian tubuh lain (selain telinga) ? butuh beberapa kerokan kulit utk
mengetahui ada tidaknya BTA pda lesi di mikroskop . bisa dari lesi dengan syarat
14. Mengapa dokter meminta pasien untuk kontrol sebelum obat habis?
Definisi dan
Patofisiologi etiologi
Tatalaksana
Klasifikasi
Kusta Lainnya
1. Kusta neural
Kusta tipe neural murni atau disebut juga pure neural
leprosy atau primary neuritic leprosy merupakan infeksi M.
leprae yang menyerang saraf perifer disertai hilangnya fungsi
saraf sensoris pada area distribusi dermatomal saraf tersebut,
dengan atau tanpa keterlibatan fungsi motoris, dan tidak
ditemukan lesi pada kulit.
2. Kusta histoid
Merupakan bentuk kusta lepromatosa dengan
karakteristik klinis, histopatologis, bakterioskopis, dan
imunologis yang berbeda. Faktor yang berpengaruh antara
lain: pengobatan ireguler dan inadekuat, resistensi dapson,
relaps setelah release from treatment (RFT), atau adanya
organisme mutan Histoid bacillus serta dapat juga meripakan
kasus denovo.
3. Lucio Kusta
Lucio leprosy (LuLp) adalah bentuk murni, primitif
dan menyebar LL, umumnya terlihat di Meksiko (23%) dan
Kosta Rika, tidak jarang terjadi di pantai Teluk, tetapi cukup
jarang di daerah lain Dunia. Belum ada definisi yang tepat,
dan status nosologis, patomekanisme yang mendasari, dan
alasan untuk distribusi globalnya yang terbatas masih jauh
dari jelas.
4. Kusta Lazarine
Ekspresi kusta BT yang tidak biasa adalah spontan
ulserasi lesi kulit. Ini mungkin hasil dari hipersensitivitas
berlebihan pada reaksi tipe 1.
5. Kusta Inokulasi
Istilah “kusta inokulasi” termasuk kusta berikut
skarifikasi / tato, vaksinasi, cedera tertusuk jarum atau
trauma.
ETIOLOGI
Kusta disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae. Bakteri ini
tumbuh pesat pada bagian tubuh yang bersuhu lebih dingin seperti tangan,
wajah, kaki, dan lutut. M. leprae termasuk jenis bakteri yang hanya bisa
berkembang di dalam beberapa sel manusia dan hewan tertentu. Basil ini
bersifat tahan asam, bentuk pleomurf lurus, batang ramping dan sisanya
berbetuk paralel dengan kedua ujung-ujungnya bulat dengan panjang 1-8
um dan diameter 0,25-0,3 um. Basil ini menyerupai kuman berbentuk
batang yang gram positif, tidak bergerak dan tidak berspora. Dengan
pewarnaan Ziehl-Nielsen hasil yang hidup dapat berbentuk batang yang
utuh, berwarna merah muda/merah terang, dengan ujung bulat (solid),
sedangkan basil yang mati bentuknya terpecah-pecah (fragmented) atau
granular. Basil ini hidup dalam sel terutama jaringan yang bersuhu rendah
dan tidak dapat dikultur dalam media buatan.
M. leprae adalah gram positif, basil tahan asam kompleks
Mycobacterium leprae, yang terdiri dari M. leprae dan M. lepromatosis.
Yang pertama dari dua ini berkembang biak perlahan dibandingkan dengan
yang terakhir, dengan perkiraan waktu generasi 12 hingga 13 hari.
Organisme intraseluler obligat ini tidak dapat dibiakkan dengan media
buatan dan mengandung kurang dari setengah gen fungsional TB.
Tes laboratorium menunjukkan bahwa M. leprae tumbuh optimal
pada suhu sekitar 27 hingga 33⁰C. Hal ini memperkuat teori awal tentang
kecenderungan M. leprae untuk menyebar lebih efisien di daerah tubuh
yang lebih dingin. Ini termasuk kulit, saraf yang dekat dengan permukaan
kulit dan selaput di saluran pernapasan bagian atas. Strain ini juga tumbuh
kuat dalam armadillo berpita sembilan, yang secara alami memiliki suhu
inti 34⁰C dan sebagian besar ditemukan di Amerika Serikat bagian
selatan-tengah. Selain
armadillo, simpanse, monyet mangabey, dan kera cynomolgus juga
menyimpan M. leprae.
Genom untuk M. leprae dan M. lepromatosis telah ditentukan dan
menunjukkan bahwa susunan genetik untuk kedua galur mengandung
sejumlah besar pseudogen. Juga, ada beberapa gen yang hilang untuk
digunakan sebagai enzim kunci untuk jalur metabolisme. Kelebihan jumlah
pseudogen telah memungkinkan mikobakteri untuk berkembang dengan
kuat dalam klasifikasi sebagai organisme intraseluler obligat.
Urutan de novo M. lepromatosis telah menunjukkan polimorfisme
nukleotida yang berbeda. Hal ini memungkinkan para ilmuwan untuk
mengembangkan hipotesis bahwa M. leprae dan M. lepromatosis
menyimpang dari nenek moyang yang sama lebih dari 13 juta tahun yang
lalu. (ncbi.nlm.nih.gov)
FAKTOR RESIKO
Faktor resiko kusta antara lain : (Blake A. Robbins, 2021)
Tuberkuloid
leprosy
Lepromatous
leprosy
PATHOGENESIS
M. leprae mempunyai patogenisitas dan daya invasi yang rendah.
Bakteri ini masuk ke dalam tubuh biasanya melalui sistem pernafasan.
Patogenisitas yang rendah menyebabkan hanya sebagian kecil orang yang
terinfeksi yang menimbulkan tanda-tanda penyakit. Setelah memasuki
tubuh, bakteri bermigrasi ke jaringan saraf dan masuk ke dalam sel
Schwann. Bakteri juga dapat ditemukan dalam makrofag, sel-sel otot, dan
sel-sel endotel pembuluh darah.
Setelah memasuki sel Schwann atau makrofag, keadaan bakteri
tergantung pada perlawanan dari individu yang terinfeksi. Peningkatan
jumlah bakteri dalam tubuh dan infeksi akan memicu sistem imun berupa
limfosit dan histiosit (makrofag) untuk menyerang jaringan yang terinfeksi.
Pada tahap ini, manifestasi klinis mungkin muncul sebagai keterlibatan
saraf disertai dengan penurunan sensasi. Apabila tidak didiagnosis dan
diobati pada tahap awal, keadaan lebih lanjut akan ditentukan oleh
kekuatan respon imun pasien.
Sistem imun seluler (SIS) memberikan perlindungan terhadap
penderita kusta. Ketika SIS spesifik efektif dalam mengontrol infeksi
dalam tubuh, lesi akan menghilang secara spontan atau menimbulkan kusta
dengan tipe pausibasiler (PB). Apabila SIS rendah, infeksi menyebar tidak
terkendali dan menimbulkan kusta dengan tipe multibasiler (MB). Dalam
perjalanan kronis penyakit dapat timbul peningkatan respon imun secara
tiba-tiba karena efek pengobatan atau perubahan status imunitas sehingga
menghasilkan peradangan kulit dan atau saraf serta jaringan lainnya. Hal
ini disebut sebagai reaksi kusta (tipe 1 dan 2).
Respon imunologi terhadap M. leprae tidak hanya menentukan
perjalanan penyakit, tetapi juga menentukan tipe kusta yang akan
bermanifestasi. Pasien-pasien kusta tuberkuloid mampu membatasi
pertumbuhan patogen dan memiliki respon sel T yang kuat terhadap M.
leprae. Hal ini ditandai dengan produksi sitokin-sitokin sel Th 1 yang
membentuk granuloma tuberkuloid terkait dengan imunitas protektif dan
destruktif M. leprae. Sebaliknya, pasien-pasien kusta lepromatosa
menunjukkan respons sel T yang lemah terhadap M. leprae. Lesi-lesi pada
kusta lepromatosa mengekspresikan sitokin- sitokin sel Th 2 (IL-4, IL-5,
IL- 6, IL-9, dan IL-10), yang berperan untuk produksi antibodi, inhibisi
fungsi makrofag (terbentuk granuloma makrofag), dan supresi SIS,
sehingga memungkinkan bakteri intraseluler bermultiplikasi.
Dinamika respon imun alamiah pada kusta dapat dipahami dengan
mengetahui hubungan antibodi spesifik M. leprae dan sekresi berbagai
sitokin (IFN-ϒ, IL-2, IL-5, IL-10, IL-6, TNF-α, dan granulocyte
macrophage colony-stimulating factor [GM-CSF]) pada pasien
kusta.Sitokin IFN-γ dan
TNF-α bersifat imunoprotektif, sedangkan IL-2 dan IL-10 bersifat
imunosupresif terhadap M. leprae.
Pada tahap proteksi awal, mekanisme nonspesifik terutama
dilakukan oleh monosit yang berperan sebagai sel fagosit. Selain monosit,
respon terhadap infeksi juga meningkatkan produksi neutrofil dari sumsum
tulang. Produksi neutrofil diinduksi oleh sitokin CSF. Neutrofil memfagosit
mikroba yang ada di dalam sirkulasi maupun mikroba di dalam jaringan
ekstravaskular dan menghasilkan lisis parsial. Neutrofil hanya bertahan
beberapa jam, sementara monosit dalam sirkulasi bertahan hingga lima
hari. Namun, sel- sel monosit dapat bermigrasi ke jaringan ikat dan
bertahan selama beberapa bulan sebagai histiosit.
Sebagian bakteri yang lolos akan ikut bersama monosit di dalam
aliran darah. Selama berada dalam monosit, bakteri tersebut bahkan dapat
bereplikasi (Troyan horse phenomenon) dan masuk ke berbagai organ.
Monosit yang terstimulasi ini berdiferensiasi menjadi makrofag dengan
aktifitas energetik yang tinggi, dan mampu membentuk selsel epiteloid
pada kusta tipe TT dan sel-sel lepra (sel Virchow) pada kusta tipe LL.
Makrofag- makrofag yang teraktivasi pada kusta tipe TT juga mampu
memfagositosis basil intraneural. Makrofag juga berperan sebagai antigen
presenting cell (APC) baik pada respon imunitas selular maupun humoral.
Bakteri yang keluar dari monosit yang mati dan pecah akan
menginvasi sel-sel Schwann dan masuk ke dalam vakuola-vakuola
fagositik (fagosom), sehingga dapat bermultiplikasi dan terlindungi dari
antibodi maupun makrofag. Namun, M. leprae juga dapat meninggalkan
tempat persembunyiannya dan masuk ke jaringan perineural, sehingga
akhirnya terbentuk granuloma epiteloid. Sel-sel Schwann tidak memiliki
enzim lisosomal untuk menghancurkan bakteri, sehingga basil M. leprae
dapat bertahan untuk waktu yang lama.
Jalur penularan penyakit kusta ini masih tidak pasti, dan rute
transmisi sebenarnya mungkin banyak. Infeksi droplet, kontak dengan
tanah yang terinfeksi, dan bahkan serangga telah dianggap sebagai kandidat
utama. Beberapa bukti menunjukkan adanya transmisi tanah. (1) Di negara
endemik seperti India, penyakit kusta terutama terjadi di pedesaan dan
bukan penyakit perkotaan. (2) Produk m.leprae berada di tanah di daerah
endemik. (3) Inokulasi langsung ke kulit (misalnya selama tato) dapat
menularkan M. leprae, dan tempat umum keberadaan kusta pada tubuh
anak-anak adalah pantat dan paha, menunjukkan bahwa mikroinokulasi
tanah yang terinfeksi dapat menularkan penyakit.
PENEGAKAN DIAGNOSIS
Syarat perhitungan:
Jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA
IB 1 + tidak perlu dibuat IM-nya, karena untuk mendapat 100
BTA harus mencari dalam 1000 sampai 10.000 lapangan.
Mulai dari IB 3 + harus dihitung IM-nya, sebab dengan IB 3
+ maksimum harus dicari dalam 100
lapangan.
Ada pendapat, bahwa jika jumlah BTA kurang dari 100, dapat
pula dihitung IM-nya tetapi tidak dinyatakan dalam %, tetap dalam
pecahan yang tidak boleh diperkecil atau diperbesar. Sebagai contoh
umpamanya solid ada 4, nonsolid ada 44, maka IM 4:48.
Sebaiknya diadakan standarisasi pembuatan sediaan dan
pengamatan sediaan antar laboratorium, nasional, maupun
internasional. Pada tindak lanjut sediaan bakterioskopik sebaiknya
dilakukan oleh laboratorium dan tenaga laboratorium yang sama pula,
agar obyektivitas dapat dipertahankan. Standarisasi IB masih dapat
dilaksanakan, tetapi untuk IM sangat sulit, bahkan ada yang
berpendapat tidak mungkin.
Pemeriksaan histopatologik
Makrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di dalam
darah ada yang mempunyai nama khusus, antara lain sel Kupffer dari
hati, sel alveolar dari paru, sel glia dari otak, dan yang dari kulit disebut
histiosit. Salah satu tugas makrofag adalah melakukan fagositosis.
Kalau ada kuman (M. /eprae) masuk, akibatnya akan bergantung pada
Sistem lmunitas Selular (SIS) orang itu. Apabila SIS-nya tinggi,
makrofag akan mampu memfagosit M. leprae. Datangnya histiosit ke
tempat kuman disebabkan karena proses imunologik dengan adanya
faktor kemotaktik. Kalau berlebihan dan tidak ada lagi yang harus
difagosit, makrofag akan berubah bentuk menjadi sel epiteloid yang
tidak dapat bergerak dan kemudian akan dapat berubah menjadi sel
datia Langhans. Adanya massa epiteloid yang berlebihan dikelilingi
oleh limfosit yang disebut tuberkel akan menjadi penyebab utama
kerusakan jaringan dan cacat. Pada penderita dengan SIS rendah atau
lumpuh, histiosit tidak dapat menghancurkan M. leprae yang sudah ada
didalamnya, bahkan dijadikan tempat berkembang biak dan disebut sel
Virchow atau sel lepra atau sel busa dan sebagai alat
pengangkutpenyebarluasan.
Granuloma adalah akumulasi makrofag dan atau derivat-
derivatnya. Gambaran histopatologik tipe tuberkuloid adalah tuberkel
dan kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada kuman atau hanya
sedikit dan non-solid. Pada tipe lepromatosa terdapat kelim sunyi
subepidermal (subepidermal clear zone), yaitu suatu daerah langsung di
bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik. Didapati sel
Virchow dengan banyak kuman. Pada tipe borderline, terdapat
campuran unsur-unsur tersebut (Tabel 11- 5).
Pemeriksaan serologic
Pemeriksaan serologik kusta didasarkan atas terbentuknya
antibodi pada tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M. leprae. Antibodi
yang terbentuk dapat bersifat spesifik terhadap M. leprae, yaitu antibodi
anti phenolic glycolipid-1 (PGL-1) dan antibodi antiprotein 16 kD
serta 35 kD. Sedangkan antibodi yang tidak spesifik antara lain
antibodi anti- lipoarabinomanan (LAM), yang juga dihasilkan oleh
kuman M. tuberculosis.
Kegunaan pemeriksaan serologik ini ialah dapat membantu
diagnosis kusta yang meragukan, karena tanda klinis dan bakteriologik
tidak jelas. Di samping itu dapat membantu menentukan kusta
subklinis, karena tidak didapati lesi kulit, misalnya pada narakontak
serumah. Macammacam pemeriksaan serologik kusta ialah: - Uji
MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination) Uji ELISA
(Enzyme Linked lmmunosorbent Assay) ML dipstick test
(Mycobacterium leprae dipstick) ML flow test (Mycobacterium leprae
flow test). (ilmu penyakit kulit dan kelamin UI 2016)
TATALAKSANA
Tatalaksana farmakologi
Pengobatan dengan multidrug therapy (MDT) WHO (1998, 2012)
Pengobatan dengan MDT disesuaikan dengan indikasi sebagai berikut:
1. Tipe Pausibasilar
Merupakan tipe yang mengandung sedikit kuman dan kusta kering,
dengan kusta PB adalah kusta dengan BTA negative pada kerokan jaringan
kulit. Pada pausibasilar terdapat tipe-tipe I, yaitu TT (tuberculoid), BT
(borderline tuberculoid), dan I (indeterminate).
2. Tipe Multibasilar
Merupakan tipe yang mengandung banyak kuman dan kusta basah,
dengan kusta MB adalah kusta BTA positif, harus diobati dengan rejimen
MDT-MB. Pada Multibasilar terdapat tipe-tipe, yaitu LL (lepromatosa), BL
(borderline lepromatosa) dan BB (mid borderline).
Tabel 1. MDT tipe pausibasilar (PB)
Jenis obat <10 tahun 10-15 tahun >15 tahun Keterangan
Rifampisin 300 450 600 Minum di
mg/bulan mg/bulan mg/bulan depan petugas
Dapson 25 mg/bulan 50 mg/bulan 100 Minum di
mg/bulan depan petugas
KOMPLIKASI
Berikut ini komplikasi yang dialami penderita kusta yaitu :
1. Menyerang ekstremitas
Yang paling diserang yaitu pada saraf ulnaris dan
mengakibatkan jari keempat dan kelima seperti mencakar yang
diakibatkan oleh kehilangan dari fungsi otot. Pada saraf medianus
apabila terinfeksi maka akan menyebabkan kelumpuhan pada jari
tangan.
2. Hidung
Apabila pada hidung terinfeksi oleh bakteri maka akan
menyebabkan perdarahan, dan apabila tidak segera diobati akan
merusak tulang rawan dan sampai kehilangan hidungnya.
3. Indera penglihatan
Apabila penglihatan terinfeksi akan mengalami gangguan
penglihatan seperti buram dan terjadi keruh pada cairan mata, juga
dapat menyerang bagian saraf penglihatan dan dapat mengalami
kebutaan.
4. Testis
Apabila testis diserang maka dapat menyebabkan
terjadinya infeksi pada salurannya, dan jika tidak dilakukan terapi
maka akan terjadi kerusakan yang permanen
KESIMPULAN