Anda di halaman 1dari 35

NAMA :SONIA AUFA SUDARMANTO

NIM : 2011201045

KAKIKU MATI RASA

Seorang perempuan berusia 43 tahun datang ke dokter dengan keluhan tukak di kaki

kanan. Pasien mengaku tukak tidak terasa nyeri dan mati rasa. Selain itu juga terdapat

bercak putih pada kaki kanan. Keluhan ini sudah terjadi sejak 3 minggu yang lalu. Pada

pemeriksaan fisik, keadaan umum tampak sakit ringan dan vital sign dalam batas normal.

Pada status dermatologis ditemukan ulkus pada telapak kaki kanan dan ibu jari kaki

kanan, serta makula hipopigmentasi di regio dorsum pedis. Pemeriksaan sensitivitas pada

area lesi menurun. Pemeriksaan cukit kulit pada daun telinga ditemukan BTA (+). Dokter

memberikan edukasi tentang penyakitnya dan memberikan obat paket untuk 1 bulan dan

meminta pasien untuk kontrol sebelum obat habis. Dokter juga menyampaikan bahwa

jika muncul reaksi setelah pengobatan, pasien diminta segera kontrol ke dokter. Apakah

yang terjadi pada Ibu ini dan apakah penyakit ini menular kepada anggota keluarga

lainnya ?

STEP 1 TERMINOLOGI

1. Dermatologis : (untuk dermatologi sndiri) Merupakan cabang ilmu kedokteran

yg mempelajari termasuk kulit, rambut, dan kuku.

2. Tukak : Adalah defect epidermis dan Sebagian dermis sehingga menimbulkan

sikatriks ketika sembuh.

3. Ulkus : ialah defect epidermis yang Sebagian dari dermis biasanya melibatkan

struktur penyokong epidermis dan dermis, sehingga menyebabkan sikatriks

Ketika sembuh.dalam memeriksa ulkus harus diperhatikan keadaan kulit disekitar


ulkus atau ukk lain, hingga keadaan hidrosis kulit dan pulsasi untuk memastikan

keterlibatan neurovascular.

4. Makula hipopigmentasi : Merupakan lesi kulit yang sama tinggi dengan

permukaan kulit berbatas tegas , dengan warna lebih pucat disbanding kulit

normal, tanpa merubah bentuk.

5. BTA + : (Bakteri tahan asam) Merupakan suatu bakteri yg pada dinding sel nya

terselubungi asam mycolat dan lilin(lipid) yg tahan/sukar terhadap pewarnaan

gram.

6. Pemeriksaan Cukit kulit : Merupakan pemeriksaan standar yg digunakan dalam

menegakan diagnosis kasus alergi yg diperantarai oleh immunoglobin E.

dianggap sebagai baku emas dlm diagnosis alergi dimana pemeriksaanya

dilakukan dengan mengambil kerokan kulit

Keyword :

 Seorang perempuan berusia 43 tahun

 keluhan tukak di kaki kanan

 tukak tidak terasa nyeri dan mati rasa

 ditemukan ulkus pada telapak kaki kanan dan ibu jari kaki kanan

 makula hipopigmentasi di regio dorsum pedis

 Pemeriksaan sensitivitas pada area lesi menurun

 Pemeriksaan cukit kulit pada daun telinga ditemukan BTA (+)

 Dokter memberikan obat paket untuk 1 bulaan


STEP 2 IDENTIFIKASI MASALAH DAN STEP 3 BRAIN STORMING

1. Mengapa pasien mengeluhkan gejala mati rasa pada kaki kanan? Bakteri

Mempengaruhi kulit dan syaraf tepi terkait patofisiologi kusta.

2. Mengapa dapat terbentuk tukak pada kaki kanan pasien ? terkait sirkulasi darah yg

tdk dapat mengalir dgn baik ke kaki/dorsum.

3. Apakah ada hubungan ulkus dengan makula hipopigmentasi ? kulit kering shingga

tampak macula hipopigmentasi pada lesi yg disebabkan transfer melanin

dikreatinosit nya (kelainan syaraf otonom).

4. Apakah hubungan usia dengan kasus ? terkait faktor resiko

5. Apa sajakah jenis BTA (Bakteri tahan asam) ? Mycobacterium tuberculosis ,

Mycobacterium leprae, Mycobacterium africanon dll.

6. Apakah hubungan BTA +(Bakteri tahan asam positif) dengan kasus ?

7. Apa penyebab timbulnya BTA + Pada pemeriksaan cukit telinga? (dhani)

8. Bagaimana dapat terjadi Makula hipopigmentasi di regio dorsum pedis ?

9. Apakah diagnosis penyakit pada keluhan penyakit pasien pada kasus? Kusta

(Hansen)

10. Bagaimanakah pemeriksaan pada cukit kulit ?

11. Apakah penyakit pada kasus ini dapat menular ? droplet/dahak(disebabkan bakteri)

12. Apakah obat yg diberikan oleh dokter selama 1 bulan ? (antimikroba/antibiotic:

minocilin dkk)

13. Mengapa pemeriksaan cukit kulit diambil pada daun telinga dan apakah bisa

diambil pada bagian tubuh lain (selain telinga) ? butuh beberapa kerokan kulit utk
mengetahui ada tidaknya BTA pda lesi di mikroskop . bisa dari lesi dengan syarat

lesi yg sdng aktif / kemerahan.

14. Mengapa dokter meminta pasien untuk kontrol sebelum obat habis?

STEP 4 SPIDER WEB

Histopatologi Faktor resiko

Definisi dan
Patofisiologi etiologi

KUSTA Penegakan diagnosis

Tatalaksana
Klasifikasi

Komplikasi Edukasi dan pencegahan


KUSTA KLASIFIKASI
Variasi yang luas yang ditunjukkan penyakit ini, serta prognosis
dan komplikasinya menyebabkan peneliti harus mempertimbangkan varian
yang luas ini menjadi suatu entitas yang berbeda. Maka dari itu
dibentuklah klasifikasi dari penyakit ini. Dengan panduan dari WHO untuk
pengendalian program kusta, klasifikasi dianggap sangat penting untuk
memutuskan pengobatan mana yang harus dilaksanakan.
Klasifikasi yang benar tidak hanya membantu dalam menegakkan
pengobatan mana yang harus dilakukan, namun juga memberi gambaran
pada pemeriksa untuk memvisualisasikan stase yang akan terjadi diwaktu
mendatang. Selain itu pemeriksa dapat memikirkan prognosis dan progress
yang akan terjadi diwaktu mendatang serta mengedukasi pasien terkait hal-
hal yang harus dihindari.
Adanya perbandingan gambaran klinis, histopatologi,
bakterioskopis dan parameter imunologi dari masing-masing tipe
klasifikasi dapat memahami penyakit ini lebih dalam lagi. Saat ini
klasifikasi yang paling umum digunakan diseluruh dunia adalah klasifikasi
WHO untuk kepentingan pengobatan dan klasifikasi Ridley-Jopling untuk
kepentingan studi dan riset.
Klasifikasi kusta dapat didasari parameter bakterioskopis,
imunologi, klinis ataupun histopatologi dan bisa juga menggunakan
kombinasi dari ini semua. Klasifikasi berdasarkan kriteria klinis paling
mudah digunakan karena pemeriksa langsung melihat pasien tanpa harus
meneliti spesimen. Klasifikasi WHO yang saat ini duganakan untuk
pengendalian kusta seluruhnya didasarkan pada gambaran klinis.
Klasifikasi lain yang dipraktekkan juga menggunakan kombinasi
parameter tersebut. Klasifikasi yang diterima dengan baik adalah Madrid,
Indian, Ridley-Jopling dan tentunya WHO.
Bila M. leprae masuk ke dalam tubuh seseorang, dapat timbul
gejala klinis sesuai dengan kerentanan orang tersebut. Bentuk tipe klinis
bergantung pada sistem imunitas selular (SIS) penderita.
Klasifikasi Ridley-Jopling
Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah spektrum
determinate pada penyakit kusta yang terdiri atas berbagai tipe atau
bentuk, yaitu:
 TT : Tuberkuloid polar, bentuk yang stabil
 Tuberkuloid indefinite
 BT : Borderline tuberculoid
 BB : Mid borderline
 BL : Borderline lepromatous
 Li : Lepromatosa indefinite
 LL : Lepromatosa polar, bentuk yang stabil Penjelasan :
 Tipe I (indeterminate) tidak termasuk dalam spektrum.
 TT adalah tipe tuberkuloid polar, yakni tuberkuloid 100%,
merupakan tipe yang stabil, jadi berarti tidak mungkin berubah
tipe.
 LL adalah tipe lepromatosa polar, yakni lepromatosa 100%,
juga merupakan tipe yang stabil yang tidak mungkin berubah
lagi.
 BB adalah tipe campuran yang terdiri atas 50% tuberkuloid
dan 50% lepromatosa.
 BT dan Ti lebih banyak tuberkuloidnya,
 BL dan Li lebih banyak lepromatosanya.
Tipe antara Ti dan Li disebut tipe borderline atau campuran,
berarti campuran antara tuberkuloid dan lepromatosa.Tipe-tipe
campuran ini adalah tipe yang labil, berarti dapat bebas beralih tipe,
baik ke arah TT maupun ke arah LL.
Klasifikasi WHO
Menurut WHO pada tahun 1981, kusta dibagi menjadi
multibasilar dan pausibasilar. Termasuk dalam multibasilar adalah
tipe LL, BL, dan BB pada klasifikasi Ridley-Jopling dengan indeks
bakteri (IB) lebih dari +2.Sedangkan pausibasilar adalah tipe I, TT
dan BT dengan IB kurang dari +2.
Untuk kepentingan pengobatan pada tahun 1987 telah terjadi
perubahan. Dimaksud dengan kusta PB adalah kusta dengan BTA
negatif pada pemeriksaan kerokan jaringan kulit, yaitu tipe I, TT,
dan BT menurut klasifikasiRidley-Jopling. Bila pada tipe-tipe
tersebut disertai BTA positif, maka akan dimasukkan ke dalam kusta
MB. Sedangkan kusta MB adalah semua penderita kusta tipe BB, BL
dan LL atau apapun klasifikasi klinisnya dengan BTA positif, harus
diobati dengan rejimen MDT-MB.

Kusta Lainnya
1. Kusta neural
Kusta tipe neural murni atau disebut juga pure neural
leprosy atau primary neuritic leprosy merupakan infeksi M.
leprae yang menyerang saraf perifer disertai hilangnya fungsi
saraf sensoris pada area distribusi dermatomal saraf tersebut,
dengan atau tanpa keterlibatan fungsi motoris, dan tidak
ditemukan lesi pada kulit.
2. Kusta histoid
Merupakan bentuk kusta lepromatosa dengan
karakteristik klinis, histopatologis, bakterioskopis, dan
imunologis yang berbeda. Faktor yang berpengaruh antara
lain: pengobatan ireguler dan inadekuat, resistensi dapson,
relaps setelah release from treatment (RFT), atau adanya
organisme mutan Histoid bacillus serta dapat juga meripakan
kasus denovo.
3. Lucio Kusta
Lucio leprosy (LuLp) adalah bentuk murni, primitif
dan menyebar LL, umumnya terlihat di Meksiko (23%) dan
Kosta Rika, tidak jarang terjadi di pantai Teluk, tetapi cukup
jarang di daerah lain Dunia. Belum ada definisi yang tepat,
dan status nosologis, patomekanisme yang mendasari, dan
alasan untuk distribusi globalnya yang terbatas masih jauh
dari jelas.
4. Kusta Lazarine
Ekspresi kusta BT yang tidak biasa adalah spontan
ulserasi lesi kulit. Ini mungkin hasil dari hipersensitivitas
berlebihan pada reaksi tipe 1.

5. Kusta Inokulasi
Istilah “kusta inokulasi” termasuk kusta berikut
skarifikasi / tato, vaksinasi, cedera tertusuk jarum atau
trauma.

ETIOLOGI
Kusta disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae. Bakteri ini
tumbuh pesat pada bagian tubuh yang bersuhu lebih dingin seperti tangan,
wajah, kaki, dan lutut. M. leprae termasuk jenis bakteri yang hanya bisa
berkembang di dalam beberapa sel manusia dan hewan tertentu. Basil ini
bersifat tahan asam, bentuk pleomurf lurus, batang ramping dan sisanya
berbetuk paralel dengan kedua ujung-ujungnya bulat dengan panjang 1-8
um dan diameter 0,25-0,3 um. Basil ini menyerupai kuman berbentuk
batang yang gram positif, tidak bergerak dan tidak berspora. Dengan
pewarnaan Ziehl-Nielsen hasil yang hidup dapat berbentuk batang yang
utuh, berwarna merah muda/merah terang, dengan ujung bulat (solid),
sedangkan basil yang mati bentuknya terpecah-pecah (fragmented) atau
granular. Basil ini hidup dalam sel terutama jaringan yang bersuhu rendah
dan tidak dapat dikultur dalam media buatan.
M. leprae adalah gram positif, basil tahan asam kompleks
Mycobacterium leprae, yang terdiri dari M. leprae dan M. lepromatosis.
Yang pertama dari dua ini berkembang biak perlahan dibandingkan dengan
yang terakhir, dengan perkiraan waktu generasi 12 hingga 13 hari.
Organisme intraseluler obligat ini tidak dapat dibiakkan dengan media
buatan dan mengandung kurang dari setengah gen fungsional TB.
Tes laboratorium menunjukkan bahwa M. leprae tumbuh optimal
pada suhu sekitar 27 hingga 33⁰C. Hal ini memperkuat teori awal tentang
kecenderungan M. leprae untuk menyebar lebih efisien di daerah tubuh
yang lebih dingin. Ini termasuk kulit, saraf yang dekat dengan permukaan
kulit dan selaput di saluran pernapasan bagian atas. Strain ini juga tumbuh
kuat dalam armadillo berpita sembilan, yang secara alami memiliki suhu
inti 34⁰C dan sebagian besar ditemukan di Amerika Serikat bagian
selatan-tengah. Selain
armadillo, simpanse, monyet mangabey, dan kera cynomolgus juga
menyimpan M. leprae.
Genom untuk M. leprae dan M. lepromatosis telah ditentukan dan
menunjukkan bahwa susunan genetik untuk kedua galur mengandung
sejumlah besar pseudogen. Juga, ada beberapa gen yang hilang untuk
digunakan sebagai enzim kunci untuk jalur metabolisme. Kelebihan jumlah
pseudogen telah memungkinkan mikobakteri untuk berkembang dengan
kuat dalam klasifikasi sebagai organisme intraseluler obligat.
Urutan de novo M. lepromatosis telah menunjukkan polimorfisme
nukleotida yang berbeda. Hal ini memungkinkan para ilmuwan untuk
mengembangkan hipotesis bahwa M. leprae dan M. lepromatosis
menyimpang dari nenek moyang yang sama lebih dari 13 juta tahun yang
lalu. (ncbi.nlm.nih.gov)

FAKTOR RESIKO
Faktor resiko kusta antara lain : (Blake A. Robbins, 2021)

 Kontak Langsung : Kontak langsung dengan pasien kusta sangat


meningkatkan kemungkinan untuk terkena penyakit ini
dibandingkan dengan populasi lainnya. Dalam kebanyakan kasus,
bakteri tersebut tersebar melalui kontak jangka panjang antara
orang yang rentan dengan seseorang yang memiliki penyakit kusta
tetapi belum diobati. Penularannya biasanya melalui pernafasan
(percikan droplet atau air liur)
 Usia : Anggota masyarakat yang lebih tua lebih rentan terhadap
risiko tertularnya kusta.
 Pengaruh Genetik : Genetika ini memainkan peran dalam respon
imunologi. Sebuah penelitian yang melibatkan lebih dari 1000
pasien dengan diagnosis kusta baru-baru ini dikombinasikan dengan
21.000 kontak menunjukkan bahwa hubungan genetik itu penting.
Hubungan ini menegaskan genetika sebagai faktor risiko yang
relevan, terlepas dari jarak kontak.
 Imunosupresi : Setelah penekanan sistem kekebalan, ada
peningkatan kemungkinan tertular infeksi ini. Perkembangan kusta
biasanya terjadi setelah transplantasi organ padat, kemoterapi,
infeksi HIV, atau setelah pemberian agen untuk gejala rematik.
PATOFISIOLOGI
Mycobacterium leprae merupakan bakteri berbentuk basil yang
pathogen (terutama pada manusia) yang berkembang lambat dengan waktu
replikasi 20-30 hari. Bakteri ini menjadikan sel schwann sebagai target
utama, yang nantinya menyebabkan kerusakan saraf, hilangnya axon,
demielinisasi, dan kecacatan. (Ilona & Mulianto, 2017)
M. leprae masuk ke tubuh melalui saluran pernapasan atas dan
kulit.
M. leprae masuk ke sel schwann melalui beberapa cara, antara lain:
a. Filamen saraf yang terbuka di epidermis
b. Epidermis yang nantinya menuju sel schwann
c. Fagositosis M. leprae oleh makrofag dermal, kemudian menuju
perineum, yang selanjutnya membebaskan bakteri untuk memasuki
sel schwann
d. Melalui darah, dimana M. leprae memperoleh akses ke saraf oleh
kapiler intraneural (Kang, 2019)
M. leprae di dalam saraf dan sel schwann kemudian melakukan
multipikasi dan diseminasi, memulai siklus baru yang invasif dan
membentuk granuloma perineural setelah meninggalkan sel saraf. Sel
schwann tidak memiliki enzim lisosom yang mampu menghancurkan
bakteri ini, sehingga
M. leprae dapat bertahan hidup lama di dalam saraf. (Ilona & Mulianto,
2017)
Selama bakteremia (setelah M. leprae mencapai matriks
ekstraseluler),
M. leprae memiliki 21kDa spesifik laminin binding protein dan phenolic
glycolipid I (PGL-1), yang merupakan suatu glikokonjugat unik pada
permukaan sel bakteri. Glikokonjugat ini memungkinkan M. leprae
menembus perineural dan masuk ke dalam saraf. (Ilona & Mulianto, 2017)
Di dalam sel saraf awalnya, M. leprae difagosit oleh neutrofil,
sehingga terjadi lisis parsial dan terbentuk vakuola fagositosis
(phagosomes), namun M. leprae tetap bisa hidup dan bereplikasi.
Kemudian bakteri ini bermigrasi ke jaringan ikat perivaskular dan
ditangkap oleh makrofag yang kaya enzim lisosom yang mampu
membunuh organisme. Pada pasien dengan hasil pemeriksaan Mitsuda-
positif, makrofag dapat menghancurkan semua bakteri dan mendapatkan
sinyal antigenik untuk bertindak sebagai antigen presenting cell (APC),
merangsang cell mediated immunity (CMI), dan akhirnya membentuk
granuloma epiteloid. Sedangkan pada pasien dengan hasil pemeriksaan
Mitsuda negatif, hanya terjadi lisis parsial dan fosfolipid bakteri tetap
bertahan.Sel lepra atau virchowcytes mungkin muncul, tetapi sinyal
antigeniknya tidak lengkap dan sel-sel tidak dapat bertindak sebagai APC.
(Ilona & Mulianto, 2017)
Ujung spektrum tuberculoid memiliki respon yang diperantarai sel
Th1 sedangkan ujung spektrum lepromatosa/lepromatous memiliki respon
Th2 yang miring dengan ada energi dari sel T. kasus kusta tuberculoid
memiliki respon Th1 yang kuat, dengan IL-2, TNF, IFN, dan produksi
sitokin IL-12, sedangkan kusta lepromatosa memiliki respon Th2, dengan
IL-4, IL-5, IL-10 dan produksi antibodi tingkat tinggi. (Kang, 2019)
Pasien dengan kusta tuberculoid hadir dengan granuloma
terorganisir dengan baik yang mengandung sel epitel, sel T CD4+, imunitas
yang diperantarai sel yang baik, hampir tidak ada produksi antibodi, dan
tidak ditemukan bakteri dengan slit-skin smear bacilloscopy. Pasien dengan
kusta lepromatosa menunjukkan infiltrasi makrofag berbusa yang diisi
dengan jumlah bakteri, dengan sedikit limfosit, Sebagian besar sel T CD8+,
dan imunitas yang diperantarai sel yang rusak dengan antibodi yang tinggi
terhadap antigen M. leprae termasuk ke PGL-1. (Kang, 2019)

Patofisiologi berkaitan dengan saraf (sensorik, motorik dan otonom)


Infiltrasi M. leprae ke dalam sel saraf menyebabkan inflamasi yang
menimbulkan kompresi pada sel saraf, dan kemudian terjadi kerusakan
saraf sensorik dan saraf otonom. Selama proses ini, akhirnya akan
mengenai saraf motorik. Inflamasi yang berat akan menyebab kan nekrosis.
(Ilona & Mulianto, 2017)
Saraf-saraf tepi yang sering terlibat baik secara simetris maupun
asimetris adalah:
a. Nervus ulnaris
b. Nervus medianus
c. Nervus radialis
d. Nervus tibialis posterior
e. Nervus fasialis
Kelainan sensorik akan terjadi lebih dulu daripada kelainan motorik,
dimana rasa raba halus dan raba suhu akan hilang terlebih dahulu daripada
rasa sakit dan tekanan. Kerusakan saraf otonom akan mengakibatkan kulit
kering, atau hilangnya produksi kelenjar keringat. (Ilona & Mulianto, 2017)
Deformitas atau cacat kusta dapat dibagi dalam deformitas primer
dan sekunder. Deformitas primer sebagai akibat langsung oleh granuloma
yang terbentuk sebagai reaksi terhadap M. leprae, yang mendesak dan
merusak jaringan di sekitarnya, yaitu kulit, mukosa tractus respiratorius
atas, tulang- tulang jari, dan wajah. Deformitas sekunder terjadi sebagai
akibat adanya deformitas primer, terutama kerusakan pada saraf (sensorik,
motorik, otonom), antara lain kontraktur sendi, mutilasi tangan dan kaki.
Gejala-gejala kerusakan saraf :
1) N. ulnaris:
 anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis
 clawing kelingking dan jari manis
 atrofi hipotenar dan otot interoseus serta kedua otot lumbrikalis medial.
2) N. medianus:
 anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan jari tengah
 tidak mampu aduksi ibu jari
 clawing ibu jari, telunjuk, dan jari tengah
 ibu jari kontraktur
 atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral
3) N. radialis:
 anestesia dorsum manus, serta ujung proksimal jari telunjuk
 tangan gantung (wrist drop)
 tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan.
4) N. poplitea lateralis:
 anestesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis
 kaki gantung (foot drop)
 kelemahan otot peroneus
5) N. tibialis posterior:
 anestesia telapak kaki
 claw toes
 paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps arkus pedis
6) N. fasialis:
 cabang temporal dan zigomatik menyebabkan lagoftalmus
 cabang bukal, mandibular dan servikal menyebabkan kehilangan ekspresi
wajah dan kegagalan mengatupkan bibir
7) N. trigeminus:
 anestesia kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata
 atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral (Soepardi & Iskandar,
2012)
UKK (Ujud Kelainan Kulit)

(Menaldi, Bramono, & Indriatmi, 2016)

Tuberkuloid
leprosy
Lepromatous
leprosy

PATHOGENESIS
M. leprae mempunyai patogenisitas dan daya invasi yang rendah.
Bakteri ini masuk ke dalam tubuh biasanya melalui sistem pernafasan.
Patogenisitas yang rendah menyebabkan hanya sebagian kecil orang yang
terinfeksi yang menimbulkan tanda-tanda penyakit. Setelah memasuki
tubuh, bakteri bermigrasi ke jaringan saraf dan masuk ke dalam sel
Schwann. Bakteri juga dapat ditemukan dalam makrofag, sel-sel otot, dan
sel-sel endotel pembuluh darah.
Setelah memasuki sel Schwann atau makrofag, keadaan bakteri
tergantung pada perlawanan dari individu yang terinfeksi. Peningkatan
jumlah bakteri dalam tubuh dan infeksi akan memicu sistem imun berupa
limfosit dan histiosit (makrofag) untuk menyerang jaringan yang terinfeksi.
Pada tahap ini, manifestasi klinis mungkin muncul sebagai keterlibatan
saraf disertai dengan penurunan sensasi. Apabila tidak didiagnosis dan
diobati pada tahap awal, keadaan lebih lanjut akan ditentukan oleh
kekuatan respon imun pasien.
Sistem imun seluler (SIS) memberikan perlindungan terhadap
penderita kusta. Ketika SIS spesifik efektif dalam mengontrol infeksi
dalam tubuh, lesi akan menghilang secara spontan atau menimbulkan kusta
dengan tipe pausibasiler (PB). Apabila SIS rendah, infeksi menyebar tidak
terkendali dan menimbulkan kusta dengan tipe multibasiler (MB). Dalam
perjalanan kronis penyakit dapat timbul peningkatan respon imun secara
tiba-tiba karena efek pengobatan atau perubahan status imunitas sehingga
menghasilkan peradangan kulit dan atau saraf serta jaringan lainnya. Hal
ini disebut sebagai reaksi kusta (tipe 1 dan 2).
Respon imunologi terhadap M. leprae tidak hanya menentukan
perjalanan penyakit, tetapi juga menentukan tipe kusta yang akan
bermanifestasi. Pasien-pasien kusta tuberkuloid mampu membatasi
pertumbuhan patogen dan memiliki respon sel T yang kuat terhadap M.
leprae. Hal ini ditandai dengan produksi sitokin-sitokin sel Th 1 yang
membentuk granuloma tuberkuloid terkait dengan imunitas protektif dan
destruktif M. leprae. Sebaliknya, pasien-pasien kusta lepromatosa
menunjukkan respons sel T yang lemah terhadap M. leprae. Lesi-lesi pada
kusta lepromatosa mengekspresikan sitokin- sitokin sel Th 2 (IL-4, IL-5,
IL- 6, IL-9, dan IL-10), yang berperan untuk produksi antibodi, inhibisi
fungsi makrofag (terbentuk granuloma makrofag), dan supresi SIS,
sehingga memungkinkan bakteri intraseluler bermultiplikasi.
Dinamika respon imun alamiah pada kusta dapat dipahami dengan
mengetahui hubungan antibodi spesifik M. leprae dan sekresi berbagai
sitokin (IFN-ϒ, IL-2, IL-5, IL-10, IL-6, TNF-α, dan granulocyte
macrophage colony-stimulating factor [GM-CSF]) pada pasien
kusta.Sitokin IFN-γ dan
TNF-α bersifat imunoprotektif, sedangkan IL-2 dan IL-10 bersifat
imunosupresif terhadap M. leprae.
Pada tahap proteksi awal, mekanisme nonspesifik terutama
dilakukan oleh monosit yang berperan sebagai sel fagosit. Selain monosit,
respon terhadap infeksi juga meningkatkan produksi neutrofil dari sumsum
tulang. Produksi neutrofil diinduksi oleh sitokin CSF. Neutrofil memfagosit
mikroba yang ada di dalam sirkulasi maupun mikroba di dalam jaringan
ekstravaskular dan menghasilkan lisis parsial. Neutrofil hanya bertahan
beberapa jam, sementara monosit dalam sirkulasi bertahan hingga lima
hari. Namun, sel- sel monosit dapat bermigrasi ke jaringan ikat dan
bertahan selama beberapa bulan sebagai histiosit.
Sebagian bakteri yang lolos akan ikut bersama monosit di dalam
aliran darah. Selama berada dalam monosit, bakteri tersebut bahkan dapat
bereplikasi (Troyan horse phenomenon) dan masuk ke berbagai organ.
Monosit yang terstimulasi ini berdiferensiasi menjadi makrofag dengan
aktifitas energetik yang tinggi, dan mampu membentuk selsel epiteloid
pada kusta tipe TT dan sel-sel lepra (sel Virchow) pada kusta tipe LL.
Makrofag- makrofag yang teraktivasi pada kusta tipe TT juga mampu
memfagositosis basil intraneural. Makrofag juga berperan sebagai antigen
presenting cell (APC) baik pada respon imunitas selular maupun humoral.
Bakteri yang keluar dari monosit yang mati dan pecah akan
menginvasi sel-sel Schwann dan masuk ke dalam vakuola-vakuola
fagositik (fagosom), sehingga dapat bermultiplikasi dan terlindungi dari
antibodi maupun makrofag. Namun, M. leprae juga dapat meninggalkan
tempat persembunyiannya dan masuk ke jaringan perineural, sehingga
akhirnya terbentuk granuloma epiteloid. Sel-sel Schwann tidak memiliki
enzim lisosomal untuk menghancurkan bakteri, sehingga basil M. leprae
dapat bertahan untuk waktu yang lama.
Jalur penularan penyakit kusta ini masih tidak pasti, dan rute
transmisi sebenarnya mungkin banyak. Infeksi droplet, kontak dengan
tanah yang terinfeksi, dan bahkan serangga telah dianggap sebagai kandidat
utama. Beberapa bukti menunjukkan adanya transmisi tanah. (1) Di negara
endemik seperti India, penyakit kusta terutama terjadi di pedesaan dan
bukan penyakit perkotaan. (2) Produk m.leprae berada di tanah di daerah
endemik. (3) Inokulasi langsung ke kulit (misalnya selama tato) dapat
menularkan M. leprae, dan tempat umum keberadaan kusta pada tubuh
anak-anak adalah pantat dan paha, menunjukkan bahwa mikroinokulasi
tanah yang terinfeksi dapat menularkan penyakit.
PENEGAKAN DIAGNOSIS

Pemeriksaan bakterioskopik (kerokan jaringan kulit)


Pemeriksaan bakterioskopik digunakan untuk membantu
menegakkan diagnosis dan pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat dari
kerokan jaringan kulit atau usapan dan kerokan mukosa hidung
yang diwamai dengan pewarnaan terhadap basil tahan asam (STA),
antara lain dengan ZIEHL-NEELSEN. Bakterioskopik negatif pada
seorang penderita, bukan berarti orang tersebut tidak mengandung
kuman M. leprae.
Pertama-tama harus ditentukan lesi di kulit yang diharapkan
paling padat oleh kuman, setelah terlebih dahulu menentukan jumlah
tempat yang akan diambil. Mengenai jumlah lesi juga ditentukan oleh
tujuannya, yaitu untuk riset atau rutin . Untuk riset dapat diperiksa 10
tempat dan untuk rutin sebaiknya minimal 4-6 tempat, yaitu kedua
cuping telinga bagian bawah dan 2-4 lesi lain yang paling aktif, berarti
yang paling eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan kedua cuping
telinga tersebut tanpa menghiraukan ada tidaknya lesi di tempat
tersebut, oleh karena atas dasar pengalaman tempat tersebut diharapkan
mengandung kuman paling banyak. Perlu diingat bahwa setiap tempat
pengambilan harus dicatat, guna pengambilan ditempat yang sama pada
pengamatan pengobatan untuk dibandingkan hasilnya.
Cara pengambilan bahan dengan menggunakan skalpel steril.
Setelah lesi tersebut didesinfeksi kemudian dijepit antara ibu jari dan
jari telunjuk agar menjadi iskemik, sehingga kerokan jaringan
mengandung sedikit mungkin darah yang akan mengganggu gambaran
sediaan. lrisan yang dibuat harus sampai di dermis, melampaui
subepidermal clear zone agar mencapai jaringan yang diharapkan
banyak mengandung sel Virchow (sel lepra) yang di dalamnya
mengandung kuman M. leprae.
Kerokan jaringan itu dioleskan di gelas alas, difiksasi di atas api,
kemudian diwamai dengan pewamaan yang klasik, yaitu Ziehl Neelsen.
Untuk pewarnaan ini dapat digunakan modifikasi Ziehl Neelsen dan
cara- cara lain dengan segala kelebihan dan kekurangannya disesuaikan
dengan keadaan setempat.
Sediaan mukosa hidung diperoleh dengan cara nose blows,
terbaik dilakukan pagi hari yang ditampung pada sehelai plastik.
Perhatikan sifat duh tubuh (discharge) tersebut, apakah cair, serosa,
bening, mukoid, mukopurulen, purulen, ada darah atau tidak. Sediaan
dapat dibuat langsung atau plastik tersebut dilipat dan kirim ke
laboratorium.
Dengan kapas lidi bahan dioleskan merata pada gelas alas. Fiksasi
harus pada hari yang sama, pewarnaan tidak perlu pada hari yang sama.
Cara lain mengambil bahan kerokan mukosa hidung dengan alat
semacam skalpel kecil tumpul atau bahan olesan dengan kapas lidi.
Sebaiknya diambil dari daerah septum nasi, selanjutnya dikerjakan
seperti biasa. Sediaan dari mukosa hidung jarang dilakukan karena:
 Kemungkinan adanya M. atipik
 M. leprae tidak pernah positif kalau pada kulit negatif
 Bila diobati, hasil pemeriksaan mukosa hidung negatif lebih
dulu bila dibandingkan dengan kerokan jaringan kulit
 Rasa nyeri saat pemeriksaan M. leprae tergolong BTA, akan
tampak merah pada sediaan. Dibedakan bentuk batang utuh
(solid), batang terputus (fragmented), dan butiran (granular).
Bentuk solid adalah kuman hidup, sedang fragmented dan
granular merupakan bentuk mati. Secara teori penting untuk
membedakan antara bentuk solid dan nonsolid, berarti membedakan
antara yang hidup dan yang mati, sebab bentuk yang hidup itulah yang
lebih berbahaya, karena dapat berkembangbiak dan dapat menularkan
ke orang lain. Dalam praktek sukar sekali menentukan solid dan
nonsolid, oleh karena dipengaruhi oleh banyak macam faktor.
Sejak pengambilan bahan kerokan jaringan sampai selesai
menjadi sediaan, perlengkapan laboratorium, siapa yang mengerjakan,
yang melihat dan yang menginterprestasikan sediaan, akan menentukan
mutu hasil bakterioskopik. Meskipun sudah ada ketentuan/patokan solid
dan nonsolid, interpretasi yang melihat itulah yang dapat menimbulkan
perbedaan. Andaikata ada satu sediaan dilihat oleh dua atau beberapa
orang, besar kemungkinan akan memberikan hasil yang berbeda antara
satu dengan yang lain. Hal ini menyebabkan suatu institut terkenal dan
termasuk tertua di dunia tidak berani membedakan antara solid dan
nonsolid. Contoh lain antara dua tokoh dunia lepra yaitu SHEPARD
dan REES. Mereka selalu berbeda interpretasi hasil pengamatan sediaan
yang sama antara solid dan nonsolid.
Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada
sebuah sediaan dinyatakan dengan lndeks Bakteri (IB) dengan nilai dari
0 sampai 6+ menurut RIDLEY. 0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapang
pandang (LP)
1+bila1-10 BTAdalam 100 LP 2 + bila 1-10 BTAdalam 10 LP
3 + bila 1-10 BTA rata-rata dalam 1 LP
4 + bila 11-100 BTA rata-rata dalam 1 LP 5+ bila 101-1000BTA rata-
rata dalam 1 LP 6 + bila > 1000 BTA rata-rata dalam 1 LP
Pemeriksaan dengan menggunakan mikroskop cahaya dengan
minyak emersi pada pembesaran lensa obyektif 100x. IB seseorang
adalah IB rata-rata semua lesi yang dibuat sediaan. lndeks Morfologi
(IM) adalah persentase bentuk solid dibandingkan dengan jumlah solid
dan nonsolid.

Syarat perhitungan:
 Jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA
 IB 1 + tidak perlu dibuat IM-nya, karena untuk mendapat 100
BTA harus mencari dalam 1000 sampai 10.000 lapangan.
 Mulai dari IB 3 + harus dihitung IM-nya, sebab dengan IB 3
+ maksimum harus dicari dalam 100
lapangan.

Ada pendapat, bahwa jika jumlah BTA kurang dari 100, dapat
pula dihitung IM-nya tetapi tidak dinyatakan dalam %, tetap dalam
pecahan yang tidak boleh diperkecil atau diperbesar. Sebagai contoh
umpamanya solid ada 4, nonsolid ada 44, maka IM 4:48.
Sebaiknya diadakan standarisasi pembuatan sediaan dan
pengamatan sediaan antar laboratorium, nasional, maupun
internasional. Pada tindak lanjut sediaan bakterioskopik sebaiknya
dilakukan oleh laboratorium dan tenaga laboratorium yang sama pula,
agar obyektivitas dapat dipertahankan. Standarisasi IB masih dapat
dilaksanakan, tetapi untuk IM sangat sulit, bahkan ada yang
berpendapat tidak mungkin.

Pemeriksaan histopatologik
Makrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di dalam
darah ada yang mempunyai nama khusus, antara lain sel Kupffer dari
hati, sel alveolar dari paru, sel glia dari otak, dan yang dari kulit disebut
histiosit. Salah satu tugas makrofag adalah melakukan fagositosis.
Kalau ada kuman (M. /eprae) masuk, akibatnya akan bergantung pada
Sistem lmunitas Selular (SIS) orang itu. Apabila SIS-nya tinggi,
makrofag akan mampu memfagosit M. leprae. Datangnya histiosit ke
tempat kuman disebabkan karena proses imunologik dengan adanya
faktor kemotaktik. Kalau berlebihan dan tidak ada lagi yang harus
difagosit, makrofag akan berubah bentuk menjadi sel epiteloid yang
tidak dapat bergerak dan kemudian akan dapat berubah menjadi sel
datia Langhans. Adanya massa epiteloid yang berlebihan dikelilingi
oleh limfosit yang disebut tuberkel akan menjadi penyebab utama
kerusakan jaringan dan cacat. Pada penderita dengan SIS rendah atau
lumpuh, histiosit tidak dapat menghancurkan M. leprae yang sudah ada
didalamnya, bahkan dijadikan tempat berkembang biak dan disebut sel
Virchow atau sel lepra atau sel busa dan sebagai alat
pengangkutpenyebarluasan.
Granuloma adalah akumulasi makrofag dan atau derivat-
derivatnya. Gambaran histopatologik tipe tuberkuloid adalah tuberkel
dan kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada kuman atau hanya
sedikit dan non-solid. Pada tipe lepromatosa terdapat kelim sunyi
subepidermal (subepidermal clear zone), yaitu suatu daerah langsung di
bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik. Didapati sel
Virchow dengan banyak kuman. Pada tipe borderline, terdapat
campuran unsur-unsur tersebut (Tabel 11- 5).
Pemeriksaan serologic
Pemeriksaan serologik kusta didasarkan atas terbentuknya
antibodi pada tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M. leprae. Antibodi
yang terbentuk dapat bersifat spesifik terhadap M. leprae, yaitu antibodi
anti phenolic glycolipid-1 (PGL-1) dan antibodi antiprotein 16 kD
serta 35 kD. Sedangkan antibodi yang tidak spesifik antara lain
antibodi anti- lipoarabinomanan (LAM), yang juga dihasilkan oleh
kuman M. tuberculosis.
Kegunaan pemeriksaan serologik ini ialah dapat membantu
diagnosis kusta yang meragukan, karena tanda klinis dan bakteriologik
tidak jelas. Di samping itu dapat membantu menentukan kusta
subklinis, karena tidak didapati lesi kulit, misalnya pada narakontak
serumah. Macammacam pemeriksaan serologik kusta ialah: - Uji
MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination) Uji ELISA
(Enzyme Linked lmmunosorbent Assay) ML dipstick test
(Mycobacterium leprae dipstick) ML flow test (Mycobacterium leprae
flow test). (ilmu penyakit kulit dan kelamin UI 2016)
TATALAKSANA

Tatalaksana farmakologi
Pengobatan dengan multidrug therapy (MDT) WHO (1998, 2012)
Pengobatan dengan MDT disesuaikan dengan indikasi sebagai berikut:
1. Tipe Pausibasilar
Merupakan tipe yang mengandung sedikit kuman dan kusta kering,
dengan kusta PB adalah kusta dengan BTA negative pada kerokan jaringan
kulit. Pada pausibasilar terdapat tipe-tipe I, yaitu TT (tuberculoid), BT
(borderline tuberculoid), dan I (indeterminate).

2. Tipe Multibasilar
Merupakan tipe yang mengandung banyak kuman dan kusta basah,
dengan kusta MB adalah kusta BTA positif, harus diobati dengan rejimen
MDT-MB. Pada Multibasilar terdapat tipe-tipe, yaitu LL (lepromatosa), BL
(borderline lepromatosa) dan BB (mid borderline).
Tabel 1. MDT tipe pausibasilar (PB)
Jenis obat <10 tahun 10-15 tahun >15 tahun Keterangan
Rifampisin 300 450 600 Minum di
mg/bulan mg/bulan mg/bulan depan petugas
Dapson 25 mg/bulan 50 mg/bulan 100 Minum di
mg/bulan depan petugas

25 mg/hari 50 mg/hari Minum di


100 mg/hari rumah
Lama pengobatan: diberikan sebanyak 6 dosis yang diselesaikan dalam
6-9
bulan.

Tabel 2. MDT tipe multibasilar (MB)


Jenis obat <10 tahun 10-15 tahun >15 tahun Keterangan
Rifampisin 300 450 600 Minum di
mg/bulan mg/bulan mg/bulan depan
Petugas
Dapson 25 mg/bulan 50 mg/bulan 100 Minum di
mg/bulan depan
Petugas
Klofazimin 25 mg/hari 50 mg/hari 100 mg/hari Minum di
(Lampren) rumah

100 mg/hari 150 300


mg/bulan mg/bulan Minum di
depan
50 mg 2 kali Petugas
seminggu 50 mg setiap 50 mg/hari
2 hari di
Minum
rumah
Lama pengobatan: diberikan sebanyak 12 dosis yang diselesaikan dalam
12- 18 bulan.

Digunakan tipe multiple drug therapy agar tidak ada resistensi


mikroba. Kemudian penggunaan corticosteroid digunakan untuk mengobati
kerusakan saraf akibat kusta. Prednisolone dipercaya meminimalisir rasa
nyeri dan inflamasi akut. Prednisolone diberikan 40 mg/hari. Rifampisin
mampu berikatan dengan beta-subunit RNA polymerase yang dependan
terhadap
DNA bakteri sehingga menghabisi sintesis RNA, sifatnya bakterisidal
terhadap mycobacteria.
Untuk klofazimin ada beberapa teori yaitu berperan dalam
pembentukan ros intrasel via redoxcycling. Terutama H2O2 dan
superoksida (efek antimikroba). Ada juga yang berpendapat obat ini
berinteraksi dengn membrane fosfolipid bakteri untuk membentuk
lisofosfolipid antimikroba yang merupakan efek destabilisasi membrane.
Mekanisme aksi dapson adalah inhibisi sintesis folat, dihydrofolicacid,
dihydropteroate, synthase 1 dan 2.

Pemakaian regimen MDT-WHO pada pasien dengan keadaan khusus


 Pengobatan kusta selama kehamilan dan menyusui. Kusta seringkali
mengalami eksaserbasi pada masa kehamilan, oleh
karena itu MDT harus tetap diberikan. Menurut WHO, obat-obatan
MDT standar aman dipakai selama masa kehamilan dan menyusui baik
untuk ibu maupun bayinya. Tidak diperlukan perubahan dosis pada
MDT. Obat dapat melalui air susu ibu dalam jumlah kecil, belum ada
laporan mengenai efek simpang obat pada bayi kecuali pewarnaan kulit
akibat klofazimin.
 Pengobatan kusta pada pasien yang menderita tuberkulosis (TB) saat
yang sama.
 Bila pada saat yang sama pasien kusta juga menderita TB aktif,
pengobatan harus ditujukan untuk kedua penyakit. Obat anti TB tetap
diberikan bersamaan dengan pengobatan MDT untuk kusta.
o Pasien TB yang menderita kusta tipe PB.
Untuk pengobatan kusta cukup ditambahkan dapson 100 mg
karena rifampisin sudah diperoleh dari obat TB. Lama
pengobatan tetap sesuai dengan jangka waktu pengobatan PB.
o Pasien TB yang menderita kusta tipe MB.
Pengobatan kusta cukup dengan dapson dan lampren karena
rifampisin sudah diperoleh dari obat TB. Lama pengobatan
tetap disesuaikan dengan jangka waktu pengobatan MB. Jika
pengobatan TB sudah selesai, maka pengobatan kusta kembali
sesuai blister MDT.

Regimen U-MDT untuk kusta pausibasilar dan multibasilar.


Obat ini diberikan pada MH-PB dan MB selama 6 bulan, terdiri atas: rifampisin 600 mg 1
kali/bulan, dapson 100 mg/hari, serta klofazimin 300 mg/bulan pada hari pertama dilanjutkan
dengan 50 mg/hari.8 Regimen ini
efektif dan ditoleransi baik untuk tipe PB tetapi kurang adekuat untuk
tipe MB.

Pengobatan kusta dengan regimen alternative


Bila MDT-WHO tidak dapat diberikan dengan berbagai alasan,
antara
lain:
 Pasien yang tidak dapat mengonsumsi rifampisin Penyebabnya
mungkin alergi obat, menderita penyakit penyerta hepatitis
kronis, atau terinfeksi dengan kuman yang resisten dengan
rifampisin. Pasien dengan kuman resisten terhadap rifampisin,
biasanya resisten juga terhadap DDS. Oleh sebab itu digunakan
regimen berikut. Regimen untuk pasien yang tidak dapat
mengkonsumsi Rifampisin.

Lama pengobatan Jenis Obat Dosis


6 bulan pertama Klofazimin Ditambah 50 mg/hari
2 dari 3 obat berikut:
Ofloksasin
Minosiklin 400 mg/hari
Klaritromisin 100 mg/hari
500 mg/hari
Dilanjutkan 18 bulan Klofazimin Dengan 50 mg/hari
ofloksasin ATAU 400 mg/hari
Minosiklin
100 mg/hari

 Pasien yang menolak klofazimin


Bila pasien menolak mengonsumsi klofazimin, maka
klofazimin dalam MDT 12 bulan dapat diganti dengan
ofloksasin 400 mg/hari atau minosiklin 100 mg/hari selama 12
bulan atau rifampisin 600 mg/bulan, ofloksasin 400 mg/bulan
dan minosiklin 100 mg/bulan selama 24 bulan.
 Pasien yang tidak dapat mengonsumsi DDS
Bila dapson menyebabkan terjadinya efek simpang
berat, seperti sindrom dapson (sindrom hipersensitivitas obat),
obat ini harus segera dihentikan. Tidak ada modifikasi lain
untuk pasien MB, sehingga MDT tetap dilanjutkan tanpa dapson
selama 12 bulan. Sedangkan untuk pasien PB, dapson
diganti dengan klofazimin dengan dosis sama dengan
MDT tipe MB selama 6 bulan.
Rawat inap
Rawat inap diindikasikan untuk pasien kusta dengan:
 Efek samping obat berat
 Reaksi reversal atau ENL berat
 Keadaan umum buruk (ulkus, gangren), atau terdapat keterlibatan
organ tubuh lain dan sistemik
 Rencana tindakan operatif.

Tatalaksana non farmakologi


Tujuan tatalaksana Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi ialah agar
penderita kusta dapat kembali ke masyarakat sebagai manusia yang
produktif dan berguna, melalui layanan rehabilitasi medik berupa terapi
fisik, terapi okupasi, pemberian ortosis dan prosthesis, perawatan luka,
supporting psikologis melalui peresepan latihan yang sesuai. Tatalaksana
Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi adalah:
 Konseling, membantu pasien agar menyadari potensi yang dimiliki
dan memanfaatkan potensi mentalnya seoptimal mungkin untuk
meningkatkan kualitas penyesuaian baik dengan dirinya sendiri
maupun lingkungannya. Konseling juga diberikan dengan tujuan
untuk mengurangi tingkat antisosial pasien kusta dengan disabilitas.
 Edukasi Kesehatan, memberikan informasi kesehatan kepada pasien
mengenai penyakit kusta: penyebab, pengobatan, hendaya, dan
disabilitas yang terjadi serta pencegahan disabilitas. Memberikan
informasi mengenaipenggunaan alat pelindung diri dalam
melakukan aktivitas pekerjaan di rumah maupun di tempat kerja.
 Pemberian Terapi, latihan Terapi latihan merupakan strategi yang
paling penting dan mendasar dalam tatalaksana rehabilitasi medik.
Terapi latihan dapat dicapai dengan latihan setiap hari, dengan
perhatian khusus yaitu cegah latihan atau berhenti latihan jika
terdapat luka atau lesi pecahpecah pada tangan dan kaki. Kulit
harus kuat untuk meregang selama latihan. Terapi Latihan terhadap
pasien dapat berupa latihan lingkup gerak sendi, latihan peregangan,
latihan penguatan dan massage baik menggunakan alat ataupun
tanpa alat. Latihan dapat dilakukan secara pasif maupun aktif.
a) Latihan Aktif: Pasien menggunakan ototnya yang lemah
untuk latihan. Hal ini mencegah kontraktur dan menguatkan
otot yang lemah.
b) Latihan Pasif: Pasien dibantu untuk menggerakkan bagian
yang paralisis secara pasif untuk mencegah terbentuknya
kontraktur.

Kemudian ada okupasi, bentuk kegiatan yang dilatih yaitu aktifitas


sehari-hari berupa: perawatan diri, berpakaian, berhias, mobilisasi, transfer,
mengurus rumah tangga, produktifitas (pekerjaan), pemanfaatan waktu
luang (leisure). Memberikan alat bantu beraktivitas (adaptive devices) untuk
ke 2 tangan yang mengalami disabilitas. Dengan target terapi antara lain :
 Perbaikan fungsi fisik, peningkatan lingkup gerak sendi, kekuatan
otot dan koordinasi. Bentuk kegiatan latihan disesuaian dengan
pekerjaan atau hobi dari pasien.
 Pasien kusta mampu latih dalam merawat diri sendiri dalam
kehidupan sehari- hari.
 Pasien kusta mampu menggunakan adaptive devices sederhana
 Meningkatkan toleransi dalam bekerja dan mengembangkan
kemampuan yang sudah ada sebagaimana tujuan dari terapi
vokasional pasien.
 Mampu mengatur penempatan pekerjaan untuk meminimalisasi
kerugian produksi
Lalu ada pemberian ortosis pada penderita kusta berupa ortosis
untuk anggota gerak atas dan bawah dalam melakukan aktivitas sehari-hari.
Seperti splint tangan dan kaki, splint knuckelbender, AFO (ankle foot
orthosis) hingga alas kaki/sepatu khusus. Tujuan pemberian splint meliputi :
 Memposisikan bagian tubuh atau sendi dengan tepat sesuai dengan
posisi anatomis (contoh: untuk sendi tangan yang berpotensi
mengalami kontraktur)
 Memberikan topangan, proteksi dan imobilisasi tendon atau sendi
yang terganggu (contoh: pada kaki yang mengalami drop foot)
 Membantu mengurangi nyeri dan edema pada pasien
 Memberikan proteksi pada grafts/flap (pasca rekonstruksi) yang baru
terpasang
 Memposisikan sendi yang kontraktur atau bagian tubuh yang
mengalami deformitas
 Menjaga dan meningkatkan posisi dalam pergerakan. Dalam
pemasangan splint diperlukan monitor dan evaluasi untuk melihat
kondisi kulit dan penekanan saraf pada sekitar sendi

Pemberian prostesis pada penderita diperlukan pada anggota gerak atas


dan bawah apabila telah dilakukan amputasi dengan tujuan untuk membantu
ambulasi. Juga prostesis jari-jari dan tangan pada pasien mutilasi, untuk
membantu fungsional dan kosmesis sehingga menambah self esteem dan
kualitas hidup pasien.

Pemberian alas kaki, sendal hingga sepatu khusus dilakukan untuk


menghindari terjadinya luka lebih lanjut pada pedis, dimana terjadi
gangguan sensibilitas hingga di perifer. Dibuat secara customize dari bahan
khusus, sesuai preskripsi dokter Sp.KFR. Sepatu atau sandal khusus juga
diberikan jika terjadi drop foot, di adjust dengan memakai spring di bagian
depan sepatu/sendal, sehingga membantu gerakan foot clearance pasien
saat berjalan. (ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN, 2016)

KOMPLIKASI
Berikut ini komplikasi yang dialami penderita kusta yaitu :
1. Menyerang ekstremitas
Yang paling diserang yaitu pada saraf ulnaris dan
mengakibatkan jari keempat dan kelima seperti mencakar yang
diakibatkan oleh kehilangan dari fungsi otot. Pada saraf medianus
apabila terinfeksi maka akan menyebabkan kelumpuhan pada jari
tangan.
2. Hidung
Apabila pada hidung terinfeksi oleh bakteri maka akan
menyebabkan perdarahan, dan apabila tidak segera diobati akan
merusak tulang rawan dan sampai kehilangan hidungnya.
3. Indera penglihatan
Apabila penglihatan terinfeksi akan mengalami gangguan
penglihatan seperti buram dan terjadi keruh pada cairan mata, juga
dapat menyerang bagian saraf penglihatan dan dapat mengalami
kebutaan.
4. Testis
Apabila testis diserang maka dapat menyebabkan
terjadinya infeksi pada salurannya, dan jika tidak dilakukan terapi
maka akan terjadi kerusakan yang permanen
KESIMPULAN

Adapun kesimpulan yang didapatkan penulis dari materi Kulitku Mati


Rasa ini adalah sebagai berikut:

1. Kusta disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae. Bakteri ini tumbuh


pesat pada bagian tubuh yang bersuhu lebih dingin seperti tangan, wajah,
kaki, dan lutut.
2. Saat ini klasifikasi yang paling umum digunakan diseluruh dunia adalah
klasifikasi WHO untuk kepentingan pengobatan dan klasifikasi Ridley-
Jopling untuk kepentingan studi dan riset.
3. Mycobacterium leprae merupakan bakteri berbentuk basil yang pathogen
(terutama pada manusia) yang berkembang lambat dengan waktu replikasi
20- 30 hari.
4. Infiltrasi M. leprae ke dalam sel saraf menyebabkan inflamasi yang
menimbulkan kompresi pada sel saraf, dan kemudian terjadi kerusakan saraf
sensorik dan saraf otonom.
5. Patogenisitas yang rendah menyebabkan hanya sebagian kecil orang yang
terinfeksi yang menimbulkan tanda-tanda penyakit.
6. Pemeriksaan bakterioskopik digunakan untuk membantu menegakkan
diagnosis dan pengamatan pengobatan.
7. Makrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di dalam darah ada
yang mempunyai nama khusus, antara lain sel Kupffer dari hati, sel alveolar
dari paru, sel glia dari otak, dan yang dari kulit disebut histiosit.
8. Granuloma adalah akumulasi makrofag dan atau derivat-derivatnya.
9. Tujuan tatalaksana Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi ialah agar penderita
kusta dapat kembali ke masyarakat sebagai manusia yang produktif dan
berguna, melalui layanan rehabilitasi medik berupa terapi fisik, terapi
okupasi, pemberian ortosis dan prosthesis, perawatan luka, supporting
psikologis melalui peresepan latihan yang sesuai.
10. Komplikasi yang dialami penderita kusta yaitu menyerang: ekstremitas,
hidung, indera penglihatan dan testis.

Anda mungkin juga menyukai