Anda di halaman 1dari 10

Diagnosis dan Penatalaksanaan pada Morbus Hansen

Evan Erlando

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jakarta

Alamat Korespondensi: Jl. Arjuna Utara No.6, Jakarta 11510, Indonesia

Email : EVAN.2015fk114@civitas.ukrida.ac.id

Abstrak

Penyakit lepra atau kusta merupakan salah satu penyakit kulit berupa infeksi kronik. Penyakit ini sering
disebut juga morbus hansen. Kuman penyebabnya adalah Mycobacterium leprae yang merupakan bakteri
tahan asam dan alkohol serta positif-Gram. Penyakit ini banyak ditemukan di negara berkembang dan
berhubungan dengan tingkat kemiskinan, daerah pedesaan dan penyakit HIV. Lepra atau morbus hansen
dapat dibagi menjadi 5 jenis, yaitu TT, LL ,BB, BT dan BL. Yang menunjukkan gejala klinis mengarah
lepra adalah tipe BB, BT dan BL. Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk
menegakan diagnosis adalah pemeriksaan bakterioskopik, pemeriksaan histopatologik dan pemeriksaan
serologik.

Kata kunci: lepra, kusta, morbus hansen, mycobacterium leprae, infeksi kronik.

Abstract

Leprosy or leprosy is a skin disease such as chronic infection. The disease is often called morbus hansen.
Germs cause is Mycobacterium leprae is an acid-resistant bacteria and alcohol as well as Gram-positive.
The disease is mostly found in developing countries and is associated with poverty, rural and HIV
disease. Leprosy or Hansen Morbus can be divided into five types, namely TT, LL, BB, BT and BL. Which
showed clinical symptoms of lead leprosy is of type BB, BT and BL. Some investigations can be done to
uphold the diagnosis is bakterioskopik examination, histopathological examination and serological.

Keywords: leprosy, leprosy, Hansen Morbus, mycobacterium leprae, chronic infection.


Pendahuluan

Penyakit kulit adalah penyakit yang umum terjadi pada orang-orang dari segala usia. Biasanya agen
penyebab pada penyakit kulit itu sendiri dapat bermacam- macam seperti bakteri, alergi, virus, jamur, dan
daya tahan tubuh yang melemah. Penyakit lepra atau kusta merupakan salah satu penyakit kulit berupa
infeksi kronik pada kulit.1

Dalam makalah tinjauan pustaka ini, penulis akan membahas kaitan penyakit lepra dalam anamnesis,
pemeriksaan fisik dan penunjang, working dan differential diagnosis, etiologi, epidemiologi,
patofisiologi, manifestasi klinis, komplikasi, penatalaksanaan dan prognosis untuk konsep pemahaman
dalam menegakkan diagnosis penyakit tersebut.

Anamnesis

Anamnesis adalah cara pemeriksaan yang dilakukan dengan wawancara, baik langsung kepada pasien
(autonamnesis) maupun kepada orang tua atau sumber lain ( aloanamnesis).

Seorang laki- laki berusia 40 tahun datang dengan keluhan bercak putih pada lengan kiri sejak 1 bulan
yang lalu dan tidak ada rasa gatal

Pada kasus skenario 3, hasil anamnesa adalah sebagai berikut:

Keluhan utama : bercak putih pada lengan kiri sejak 1 bulan yang lalu

riwayat penyakit sekarang: adanya rasa baal

Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan fisik pasien tampak sakit ringan, kesadaran compos mentis, pada lengan kiri terdapat
bercak putih, adanya rasa baal dan tidak ada rasa gatal.

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah:


Pemeriksaan bakterioskopik: 1

Sediaan dari pemeriksaan ini didapatkan dari kulit, mukosa hidung dan cuping telinga . Pengambilan
untuk sediaan dari pada pemeriksaan dilakukan dengan cara mengerok pada bagian bagian yang dianggap
terdapat kuman penyebab dari pada penyakit lepra atau kusta atau dapat disebut juga penyakit morbus
hansen yaitu bakteri mycobacterium leprae. Kerokan harus dilakukan mencapai bagian kulit dermis
karena pada bagian kulit tersebut diharapkan mengandung banyak mycobacterium leprae.

Mycobacterium leprae merupakan bakteri yang tergolong dalam basil tahan asam. Sediaan yang
mengandung mycobacterium leprae dapat diwarnai dengan pewarnaan BTA (basil tahan asam) yaitu
ziehl- neelsen. Mycobacterium leprae pada sediaan dapat terlihat bewarna merah.

Kepadatan basil tahan asam (BTA) pada sediaan bisa ditentukan dengan melihat indeks Bakteri (IB)
dengan nila 0-6+ menurut Ridley.

0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang

1+ bila 1-10 BTA dalam 100 LP


2+ bila 1-10 BTA dalam 10 LP
3+ bila 1-10 BTA rata-rata dalam 100LP
4+ bila 11-100 BTA rata-rata dalam 1 LP
5+ bila 101-1000 BTA dalam 1 LP
6+ bila > 1000 BTA rata-rata dalam 1 LP


Pemeriksaan histopatologik: 1

Kuman mycobacterium leprae yang masuk dalam tubuh manusia dapat menimbulkan gambaran
histopatologik yang berbeda- beda tergantung keadaan sistem imun pada manusia tersebut.

Ketika daya tahan tubuh manusia yang dimasuki kuman mycobacterium leprae sedang dalam keadaan
baik saat kuman masuk dalam tubuh maka sistim imunitas seluler orang tersebut akan merespon terhadap
kuman tersebut sehingga ketika diperiksa maka akan timbul gambaran tuberkel yang terdiri dari sel
ephiteloid, sel datia langhans dan limfosit.

Sebaliknya ketika daya tahan tubuh manusia yang dimasuki kuman mycobacterium leprae sedang dalam
keadaan buruk saat kuman masuk dalam tubuh maka sistim imunitas seluler orang tersebut tidak banyak
merespon terhadap kuman tersebut sehingga ketika diperiksa maka akan timbul gambaran sel virchow
yaitu sel histiosit yang kalah melawan bakteri tersebut dan malah dijadikan tempat berkembang biak bagi
bakteri itu sendiri.


Pemeriksaan serologik: 1

Ketika bakteri mycobacterium leprae masuk ke dalam tubuh manusia maka antibody akan merespon
untuk melawan bakteri tersebut. Antibody yang merespon untuk melawan bakteri tersebut terbagi menjadi
dua yaitu antibody yang spesifik dan yang non spesifik. Antibodi spesifik kuman ini yaitu anti phenolic
glycolipid-1 (PGL-1) dan antibodi antiprotein 16 kD serta 35 kD. Sedangkan antobodi non-
spesifik antara lain antibodi anti-lipoarabinomanan. Antibody yang terbentuk dapat kita lakukan
pemeriksaan untuk membantu dalam menegakan diagnosis penyakit lepra yaitu dengan melakukan uji
serologik. Uji serologik tersebut terdiri dari Uji MLPA, ELISA, dipstick test, dan flow test.

Work diagnosis

Penyakit yang diderita pasien laki- laki tersebut adalah penyakit morbus hansen.

Diffrential diagnosis

Beberapa diagnosis banding yang dapat dipikirkan adalah:

Ptiriasis Vesikolor

Penyakit ini merupakan akibat dari infeksi jamur malassezia furfur atau pityrosporum orbiculare pada
lapisan tanduk yang ditandai dengan ada sensasi gatal. Untuk membedakan penyakit leprae dengan
ptiriasis vesikolor kita dapat melihat bahwa pada penyakit lepra tidak ada rasa gatal selain itu pada
pitiriasis versikolor akan memberikan flouresensi bila diberikan cahaya dengan woods light yaitu akan
bewarna hijau-kebiruan. Tes sensibilitas saraf sensoris juga dapat dilakukan untuk membedakannya, juga
dari pemeriksaan kerokan kulit. 2

Ptiriasis Alba

Penyakit ini merupakan bentuk dermatitis ringan yang tidak spesifik dan belum diketahui penyebabnya
2
yang meninggalkan sedikit scale makula hipopigmentasi dengan batas tidak jelas.

Vitiligo

Penyakit ini merupakan penyakit yang dapat menimbulkan hilangnya warna kulit pada penderita yang
disebabkan dari pada kematian sel- sel pembentuk melanin itu sendiri sehingga akan ditemukan bercak-
bercak putih pada kulit. Untuk membedakan penyakit leprae dengan ptiriasis vesikolor kita dapat melihat
bahwa pada penyakit Vitiligo terdapat keberadaan rambut putih di lesi tersebut. 2

Hipopigmentasi post inflamasi

Penyakit ini merupakan penyakit yang dapat menimbulkan hilangnya sebagian atau keseluruhan dari
pigmentasi kulit yang terjadi setelah peradangan kulit. Distribusi dan keparahan hilangnya pigmen
2
berkaitan dengan tingkat dan derajar peradangan yang jeradi sebelumnya.
Etiologi

Kuman penyebabnya adalah Mycobacterium leprae yang ditemukan oleh G.A. Hansen pada tahun 1874
di Norwegia, yang sampai sekarang belum juga dapat di biakkan dalam media artifisial. M. leprae
1
berbentuk kuman dengan ukuran 3-8 m x 0,5 m, tahan asam dan alkohol serta positif-Gram.

Epidemiologi

Penyakit ini banyak ditemukan di negara berkembang seperti India, Cina, Myanmar, Indonesia, Brazil,
Nigeria. Setiap tahunnya terdapat 600.000 kasus baru dengan total sebanyak 1,5 hingga 8 juta kasus di
seluruh dunia. Penyakit ini berhubungan dengan tingkat kemiskinan, daerah pedesaan dan penyakit HIV. 3

Patofisiologi

Penyakit yang disebabkan oleh bakteri mycobacterium leprae disebut juga penyakit imunologik karena
perkembangan penyakit tersebut bergantung pada kerentanan seseorang sehingga daya imun pada
manusia yang terseranglah yang menentukan bentuk dan tipe penyakit yang dapat ditimbulkan dari pada
bakteri tersebut.Kalau sistem imunitas seluler tinggi, penyakit berkembang ke arah tuberkuloid dan bila
rendah, berkembang ke arah lepromatosa. Sumber penularan adalah melalui kontak langsung yang
berlangsung dalam waktu yang cukup lama. Dapat juga menular melalui mukosa hidung, tempat tidur,
pakaian, dan ada kemungkinan dikarenakan gigitan serangga. 4

Manifestasi klinik

Bakteri mycobacterium leprae yang masuk dalam tubuh manusia bisa menimbulkan gejala klinis yang
berbeda beda. Tipe dari pada gejala klinis itu sendiri bergantung pada sistim imun seluler manusia yang
terserang penyakit ini. Dalam membagi gejala klinis tersebut, ripley dan jopling memperkenalkan istilah
1
spektrum determinate pada penyakit kusta yang terdiri atas berbagai tipe dan bentuk yaitu:

TT: Tuberkuloid polar, bentuk yang stabil


TI: Tuberkuloid indefinite
BT: Borderline Tuberculoid
BB: Mid borderline
BL: Borderline Lepromatous
LI: Lepromatosa indefinate
LL: Lepromatosa polar, bentuk yang stabil
Secara umum jika sistem imunitas seluler tinggi, penyakit akan berkembang ke arah tuberkuloid dan bila
rendah maka penyakit akan berkembang ke arah lepromatosa. 1

Sedangkan pembagian gejala klinis menurut who ditetapkan sebagai berikut: 1

MB (multibasilar): LL,BL dan BB

mengandung banyak kuman, lesi kulit(makula datar, papula meninggi, nodus) terdiri dari 1- 5 lesi,
terdapat hipopigmentasi/eritema, distribusi tidak simetris dan hilangnya sensasi jelas serta terdapat juga
kerusakan satu cabang saraf.

PB (Pausibasilar): TT, BT, I

mengandung sedikit kuman, lesi kulit(makula datar, papula meninggi, nodus) terdiri lebih dari 5 lesi,
distribusi lebih simetris dan hilangnya sensasi kurang jelas serta terdapat juga kerusakan banyak cabang
saraf.

Komplikasi

Neuropati

kondisi yang terkait dengan gangguan fungsi saraf seperti neuropati saraf periver yang dapat
menyebabkan penurunan fungsi sensoris, motoris atau otonom, neuropati trigeminal yang menyebabkan
penurunan sensoris kornea, neuropati fasialis yang dapat menyebabkan lagoftalmos atau kesusahan unuk
menutup kelopak mata seluruhnya dan dapat menyebabkan kontraktur sendi akibat kelemahan otot yang
dipersarafi oleh saraf yang neuropati 3

Penatalaksanaan

DDS (dapson)

Diberikan dengan dosis 1-2mg/kg BB/hari atau 100mg sehari selama 3 bulan sampai 6 bulan

Efek samping yang mungkin timbul adalah nyeri kepala, erupsi obat, anemia hemolitik,
leukopenia, insomnia, neuropati perifer, sindrom DDS, nekrosis epidermal toksik, hepatitis,
hipoalbunemia, dan methemoglobunemia.5

Rifampisin

Diberikan dengan dosis 10mg/kgBB, diberikan setiap bulan. Tidak boleh diberikan setiap minggu atau
setiap 2 minggu mengingat efek sampingnya
Efek samping yang harus diperhatikan adalah hepatotoksik, nefrotoksik, gejala GIT, flu-like syndrome,
dan erupsi kulit.5

Dapson maupun Rifampisin tidak boleh diberikan sebagai monoterapi, oleh karena memperbesar
kemungkinan terjadinya resistensi, tetapi pada pengobatan kombinasi selalu diikutkan.

Rifampisin 600 mg/bulan + DDS : 100 mg/hr atau 1-2 mg/kgBB/hr tanpa pengawasan5

Prognosis

Umumnya baik apabila dilakukan pengobatan yang tepat. Akan tetapi, perlu dilakukan upaya pencegahan
serta deteksi dini terhadap komplikasi yang mungkin terjadi. 3

Kesimpulan

Pasien diduga menderita penyakit morbus hansen karena terdapat bercak putih pada lengan kiri sejak 1
bulan yang lalu, tidak ada rasa gatal dan adanya rasa baal. Pemeriksaan lanjut atau penunjang diperlukan
untuk menegakkan diagnosis dari penyakit ini.
Daftar Pustaka

1.Kosasih A, Wisnu M, Sjamsoe-Daili E, Menaldi S L. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-7.
Jakrta: Fakultas Keokteran Universitas Indonesia; 2016.h.87-102

2. Amirudin MD, Hakim Z, Darwis E. Diagnosis penyakit kusta. Jakarta: Universitas


Indonesia; 2003.h.12-31.
3. Tanto C, liwang F, Hanifati S, Pradipta EA. Kapita selekta kedokteran. Edisi ke 4. Jakarta: Media
Aesculapius; 2016.h.312-19

4. Walker SL, Lockwood DN. Leprosy. Clin dermatol. Mar-Apr 2007;25(2):165-72

5. Moschella SL. An update on the diagnosis and treatment of leprosy. J Am Acad


Dermatol. Sep 2004;51(3):417-26.

Anda mungkin juga menyukai