Anda di halaman 1dari 18

REFERAT

TRAUMA KEPALA

Pembimbing :

dr. Izati Rahmi, Sp.S

Disusun oleh :

Novia Sundari Riadi

1820221143

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN SARAF


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PASAR MINGGU
FAKULTAS KEDOKTERAN UPN “VETERAN JAKARTA”
PERIODE 4 NOVEMBER – 6 DESEMBER 2019
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT
TRAUMA KEPALA

Disusun dan diajukan untuk memenuhi persyaratan tugas


Kepaniteraan Klinik Departemen Saraf RSUD Pasar Minggu

Oleh :

Novia Sundari Riadi


1820221143

Jakarta, Desember 2019

Telah dibimbing dan disahkan oleh:

Pembimbing

(dr.Izati Rahmi, Sp.S)

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah


memberikan berkah dan rahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan Referat yang berjudul “Trauma Kepala” dengan baik. Referat ini
disusun untuk memenuhi salah satu tugas kepaniteraan klinik bagian Ilmu Saraf
Fakultas Kedokteran Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta di
Rumah Sakit Umum Daerah Pasar Minggu Jakarta periode 4 November – 6
Desember 2019.
Penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada dr. Izati Rahmi Sp.S
selaku pembimbing Referat ini, dan kepada seluruh dokter yang telah
membimbing selama kepaniteraan. Tidak lupa ucapan terimakasih kepada seluruh
pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan Refeerat ini masih jauh dari
sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang
membangun agar Referat ini dapat bermanfaat bagi pembacanya.
Terimakasih atas perhatiannya, semoga Referat ini dapat memberikan
manfaat bagi pihak yang terkait dan kepada seluruh pembaca.

Jakarta, Desember 2019

Penulis

ii
BAB I
PENDAHULUAN

Cedera kepala atau trauma kapitis menurut Konsensus Nasional


Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma Spinalis didefinisikan sebagai trauma
mekanik terhadap kepala baik secara langsung ataupun tidak langsung yang
menyebabkan gangguan fungsi neurologis yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi
psikososial baik temporer maupun permanen. Trauma kapitis merupakan salah
satu kasus penyebab kecacatan dan kematian yang cukup tinggi dalam neurologi
dan menjadi masalah kesehatan oleh karena penderitanya sebagian besar orang
muda, sehat dan produktif.1
Menurut laporan World Health Organization (WHO) setiap tahunnya
sekitar 1,2 juta orang meninggal dengan diagnosis cedera kepala yaitu akibat
kecelakaan lalu lintas (KLL) dan 20 juta mengalami luka atau cacat. Angka
kecelakaan lalu lintas di indonesia dalam rentang 2010-2014 mengalami kenaikan
rata-rata sebesar 9,59% per tahun dengan diikuti dengan kenaikan persentase
korban meninggal dengan rata-rata sebesar 9,24% per tahun. Cedera paling
banyak terjadi pada jenis kelamin laki-laki umur antara 15-24 tahun, dimana
angka kejadian cedera kepala pada laki-laki sebesar 58% lebih banyak
dibandingkan jenis kelamin perempuan, diakibatkan karena mobilitas yang tinggi
dikalangan usia produktif. 2,3,4
Statitistik negara-negara yang sudah maju menunjukkan bahwa trauma
kapitis mencakup 26% dari jumlah segala macam kecelakaan, yang
mengakibatkan seseorang tidak bisa bekerja lebih dari satu hari sampai selama
jangka panjang. Kematian dan kecacatan yang timbul akibat trauma kapitis 50%
disebabkan oleh trauma secara langsung dan 50% yang tersisa disebabkan oleh
gangguan perederan darah sebagai komplikasi yang terkait secara tidak langsung
pada trauma.5
Pada referat ini membahas mengenai cedera kepala, klasifikasi dari trauma
kepala beserta gejala dan komplikasi yang ditimbulkan akibat cedera kepala.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Trauma Kepala
II.1.1 Definisi
Cedera kepala atau trauma kapitis menurut Konsensus Nasional
Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma Spinalis didefinisikan sebagai trauma
mekanik terhadap kepala baik secara langsung ataupun tidak langsung yang
menyebabkan gangguan fungsi neurologis yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi
psikososial baik temporer maupun permanen. Trauma kapitis merupakan salah
satu kasus penyebab kecacatan dan kematian yang cukup tinggi dalam neurologi
dan menjadi masalah kesehatan oleh karena penderitanya sebagian besar orang
muda, sehat dan produktif.1
Menurut Brain Injury Assosiation of America (2006), cedera kepala
merupakan kerusakan yang disebabkan oleh serangan ataupun benturan fisik dari
luar, yang dapat mengubah kesadaran yang dapat menimbulkan kerusakan fungsi
kognitif maupun fungsi fisik.6

II.1.2 Epidemiologi
Berdasarkan data World Health Organization (WHO) setiap tahun
sebanyak 1,2 juta orang meninggal akibat cedera kepala yang disebabkan oleh
Kecelakaan Lalu Lintas (KLL) dan 20 juta orang mengalami luka dan kecacatan.
Cedera kepala banyak terjadi pada jenis kelamin laki-laki dengan rentang usia 15-
24 tahun dengan risiko 58% lebih besar dibandingkan dengan jenis kelamin
perempuan. 2,3,4 Kematian dan kecacatan yang timbul akibat trauma kapitis 50%
disebabkan oleh trauma secara langsung dan 50% yang tersisa disebabkan oleh
gangguan peredaran darah sebagai komplikasi yang terkait secara tidak langsung
pada trauma.5

II.1.3 Etiologi
Penyebab cedera kepala dibagi menjadi cedera kepala primer dan cedera
kepala sekunder. Cedera kepala primer adalah cedera yang terjadi akibat benturan
langsung maupun tidak langsung yang mengakibatkan gangguan fisiologis dan

2
metabolik seperti robekan maupun putusnya akson, iskemia, edema otak dan
abnormalitas elektrolit.
Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses
patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa
perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan
tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi. Cedera sekunder dapat terjadi
dalam beberapa menit hingga beberapa jam setelah cedera awal. Perubahan yang
muncul sebagai akibat cedera kepala sekunder diantaranya pelepasan glutamat
secara berlebihan, kelainan aliran kalsium, produksi laktat dan perubahan pompa
natrium pada dinding sel yang berperan dalam terjadinya kerusakan tambahan dan
pembengkakan jaringan otak.7

II.1.4 Klasifikasi Cedera Kepala


Klasifikasi cedera kepala dibedakan menjadi berdasarkan mekanisme
cedera kepala, bentuk lesi dan berdasarkan GCS.
a. Berdasarkan mekanisme cedera kepala
Berdasarkan Advenced Trauma Life Support (ATLS) tahun 2004,
klasifikasi berdasarkan mekanismenya, cedera kepala dibagi menjadi:
 Cedera kepala tumpul merupakan cedera yang disebabkan oleh
mekanisme akselerasi dan deselerasi cepat pada kepala dengan atau
tanpa benturan. Umumnya terjadi pada kecelakaan kendaraan
bermotor, jatuh ataupun terkena pukulan benda tumpul.
 Cedera kepala tembus merupakan cedera akibat penetrasi tulang
tengkorak oleh objek eksternal. biasanya disebabkan oleh luka
tusukan, atau luka tembak.
b. Berdasarkan Morfologi/Bentuk Lesi
 Fraktur kranium
Fraktur kranium dibedakan berdasarkan letak anatomisnya yang
terdiri dari fraktur kalvaria dan fraktur basis cranii. Berdasarkan
keadaan lukanya, dibedakan menjadi fraktur terbuka yaitu fraktur
dengan luka tampak telah menembus duramater, dan fraktur
tertutup yaitu fraktur dengan fragmen tengkorak yang masih intak

3
 Fraktur basis cranii
Merupakan jenis cedera kepala paling berat yang dapat
menimbulkan fraktur pada dasar tengkorak. Penderita biasanya
datang dengan penurunan kesadaran. Fraktur basis cranii dapat
menyebabkan bocornya cairan serebrospinal sehingga cairan
mengisi rongga-rongga sinus dan dapat menjadi sumber infeksi
intrakranial. Gejala yang di timbulkan pada fraktur basis cranii
tergantung pada letak fraktur, diantaranya :
1. Fraktur fossa anterior
Keluarnya darah bersama cairan serebrospinal melalui hidung
(rinora). Pada kedua mata terlihat gambaran lingkaran “biru”
(Brill hematom atau Racoon’s Eyes)dan juga terdapat adanya
gangguan penciuman atau anosmia.
2. Fraktur Fossa Media
Pada fraktur ini ditemukan darah yang keluar bersama dengan
cairan serebropinal melalui telinga (otorea). Fraktur pada
fossa media menyebabkan pecahnya arteri karotis interna
yang berjalan di dalam sinus cavernosus, sehingga terjadi
hubungan antara darah arteri dengan darah vena (A-V Shunt)
3. Fraktur Fossa Posterior
Tampak adanya bilateral mastoid ekimosis atau yang disebut
battle sign.
 Kontusio dan Laserasi serebri
- Robekan (laserasi) pada pia mater seringkali berhubungan
dengan jejas pada otak (kontusio). Pada kontusia serebri,
parenkim akan mengalami edema dan perdarahan.
- Jejas yang terdapat pada titik trauma disebut jejas coup, yang
umumnya terjadi pada akselerasi cepat sedangkan jejas yang
terdapat kontralateral titik trauma disebut jejas countercoup dan
biasanya terjadi pada kasus deselerasi cepat.

4
- Perdarahan pada kontusio serebri dapat menyebabkan
peningkatan TIK dan perdarahan dapat meluas hingga ke
substansia alba dan rongga subdural yang uumnya terjadi pada
lobus frontal dan temporal
- Dalam beberapa hari perdarahan akan diabsorpsi oleh otak
sehingga menghasilkan kavitas pada girus otak.
 Perdarahan intrakranial
1. Perdarahan Epidural
Disebabkan oleh fraktur linear tengkorak. Perdarahan
ditandai dengan akumulasi darah diantara durameter dan tulang
tengkorak di area temporal atau temporo parietal sehingga
gambaran hematom berbentuk cembung atau bikonveks.
Perdarah yang timbul disebabkan oleh robeknya arteri Meningea
Media akibat fraktur tulang tengkorak.
2. Perdarahan subdural
Merupakan perdarahan akibat robeknya vena jembatan
(Bridging Vein) terutama yang berdekatan dengan sinus sagital
superior. Perdarahn subdural sering sekali dialami oleh pasien
lanjut usia karena umumnya telah terjadi atrofi otak yang
menyebabkan meningkatnya kapasitas otak untuk bergerak di
dalam rongga otak.
Perdarahan subdural dapat terjadi akut (<3 hari), sub-akut
(3 hari-3 minggu awitan) atau kronik (> 3 minggu). Bekuan
darah yang terbentuk pada perdarahan subdural akan dipecah
menjadi cairan serosa dan setelah 1-2 minggu akan terbentuk
jaringan granulasi dengan fibroblas dan pembuluh darah baru.
3. Perdarahan Subarakhnoid
Cedera kepala pada subarakhnoid terutama berhubungan
dengan kontusio dan laserasi. Perdarahan subaraknoid sering
menjadi penyulit pada kasus perdarahan intraventikular karena
kebocoran (leakage) darah ke ruang subarakhnoid melalui
foramen Luschka dan Megendie. Perdaran berdistribusi di

5
sulkus-sulkus serebri disekitar verteks dan tidak mengenai
sisterna basalis. Perdarahan dapat menimbulkan gejala
hilangnya kesadaran secara langsung dan sering menimbulkan
komplikasi berupa hidrosefalus.
4. Perdarahan Intraventrikular
Perdarahan Intraventrikular pada cedera kepala disebabkan
akibat sekunder dari perdarahan intrasereberal pada daerah
ganglia basal atau kontusio serebri.
5. Perdarahan intraserebral
Timbul secara sekunder dengan kontusio atau berhubungan
dengan cedera akson difus. Perdarahan umumnya terbentuk
pada daerah ganglia basal, talamus dan substansia alba bagian
parasagital.
6. Cedera aksonal difus
Cedera aksonal difus disebabkan oleh akselerasi atau
deselerasi cepat kepala terutama jika terdapat gerakan rotasional
atau koronal. Secara patologi dicirikan dengan kerusakan akson
dan perdarah petekie. Petekie muncul secara cepat pasca adanya
trauma. Secara klinis pasien akan kehilangan kesadaran,
disbilitas berat dan status vegetatif persisten. Gambaran CT scan
sering tidak menunjukkan kelainan, pada kondisi saperti
pemeriksaan MRI dapat dilakukan untuk melihat lesi patologis
di parenlim.
7. Cedera Vaskular difus
Cedera vaskular difus didominasi dengan keterlibatan
pembuluh darah. Pada beberapa kasus cedera oleh karena
akselerasi dan deselerasi secara cepat dan parah dapat
menimbulkan adanya petekie tanpa harus terjadi cedera aksonal
difus akibat besarnya energi mekanik yang menyebabkan
pecahnya pembuluh darah

6
c. Berdasarkan Glasgow Coma Scale
Berdasarkan tingkat kesadarn cedera kepala dibagi menjadi :
 Cedera kepala ringan 13-15, terdapat adanya gejala pingsan kurang
dari 10 menit, tidak ditemukan adanya defisit neurologis dan pada
hasil pemeriksaan CT scan otak dalam batas normal
 Cedera kepala sedang 9-12, terdapat gejala pingsan 10 menit-6jam,
terdapat defisit neurologis dan pada beberapa kasus terdapat
ditemukan kelainan pada hasil CT Scan dan memerlukan tindakan
operasi.
 Cedera kepala berat 3-8, terdapat pingsan lebih dari 6 jam,
ditemukan defisit neurologis, dan gambat CT Scan yang abnormal.

II.1.5 Gejala dan Tanda Klinis


Gejala klinis cedera kepala yang dapat membantu mendiagnosis adalah
battle sign (warna biru atau ekhimosis dibelakang telinga di atas os mastoid),
hemotipanum (perdarahan di daerah membran timpani telinga), periorbital
ekhimosis (mata warna hitam tanpa trauma langsung), rhinorrhoe (cairan
serebrospinal keluar dari hidung),
Tanda–tanda atau gejala klinis untuk yang cedera kepala ringan adalah diri
pasien tertidur atau kesadaran yang menurun selama beberapa saat kemudian
sembuh, sakit kepala yang menetap atau berkepanjangan, mual dan atau muntah,
gangguan tidur dan nafsu makan yang menurun, perubahan kepribadian, letargik.
Tanda–tanda atau gejala klinis untuk yang cedera kepala berat adalah perubahan
ukuran pupil (anisocoria), trias Cushing (denyut jantung menurun, hipertensi,
depresi pernafasan) apabila meningkatnya tekanan intrakranial, terdapat
pergerakan atau posisi abnormal ekstremitas.

7
II.2.6 Patogenesis Cedera Kepala
Metabolisme
anaerob
Benturan
keapala

Inefisien fosforilasi
Kegagalan energi
oksidatif

Akselerasi /
Asidosis Disfungsi
deselerasi mitokondria
Iskemia
Edema

Ca2+ mitokondria
Tarikan atau
meningkat
regangan/neuron

Cedera otak
sekunder Aktivasi reseptor Degradasi protein
Gangguan NMDA sitoskeletal
membran sel

Pelepasan glutamat Aktivasi calpain

Gangguan kerja pompa ion Influks Na+ dan Ca2+ intrasel


membram sel Ca2+ efluks K+ meningkat

Patogenesis Cedera kepala

II.1.7 Diagnosis
Diagnosis cedera kepala harus dilakukan secara cepat dan akurat,
mengingat kondisi emergensi. Proses anamnesis dan pemeriksaan fisik generalis
dan neurologis harus efektif dan efisien, disesuaikan dengan kondisi lapangan
yang membutuhkan tindakan segera.

8
Anamnesis
Beberapa hal yang perlu digali pada anamnesis diantaranya :
 Mekanisme cedera kepala secara detail, meliputi proses terjadinya, posisi
pasien saat kejadian, bagian tubuh yang pertama kali terkena, kecepatan
(jika kecelakaan lalu lintas) atau besarnya kekuatan (jika pukulan atau
barang) serta obyek yang menyebebakan cedera kepala
 Tingkat kesadaran, perlu ditanyakan kesadaran memang sudah hilang
sejak setelah trauma atau hilang setelah pasien sempat sadar
 Durasi hilangnya kesadaran
 Amnesia pasca trauma, tanyakan kondisi pasien sebelum, saat dan setelah
trauma
 Nyeri kepala, perlu dibedakan dengan nyeri akibat peningkatan tekanan
intrakranial atau disebabkan oleh nyeri somatik akibat cedera scalp.
 Gejala neurologis lain seperti anosmia, kejang, kelemahan tubuh sesisi
atau dua sisi, bingung, diplopia, dan orientasi pasien terhadap waktu
tempat serta orang perlu ditanyakan saat anamnesis. Gejala berupa cairan
serebrospinal melalui hidung (rinorea) atau melalui telinga (otorea) juga
perlu ditanyakan
 Tanyakan obat rutin yang sering dikonsumsi, riwayat penyakit dahulu,
gaya hidup (alkohol, rokok dan narkoba) serta riwayat penyakit keluarga.

Pemeriksaan Fisik
Komponen utama pemeriksaan neurologis pada pasien cedera kepala sebagai
berikut:
 Bukti eksternal trauma: laserasi dan memar
 Tanda fraktur basis cranii: hematom periorbital bilateral, hematom pada
mastoid (tanda Battle), hematom subkonjungtiva (darah di bawah
konjungtiva tanpa adanya batas posterior, yang menunjukkan darah dari
orbita yang mengalir ke depan), keluarnya cairan serebrospinal dari hidung
atau telinga (cairan jernih tidak berwarna, positif mengandung glukosa),
perdarahan dari telinga.
 Tingkat kesadaran (GCS)

9
 Pemeriksaan neurologi menyeluruh terutama reflek pupil untuk menilai
apakah terdapat tanda herniasi tentorial

Pemeriksaan Penunjang
 Radiografi kranium
Untuk mencari adanya fraktur, jika pasien mengalami gangguan
kesadaran sementara atau persisten setelah cedera, adanya tanda fisik
eksternal yang menunjukkan fraktur pada basis cranii fraktur fasialis, atau
tanda neurologis fokal lainnya. Fraktur kranium pada regio
temporoparietal pada pasien yang tidak sadar menunjukkan kemungkinan
hematom ekstradural, yang disebabkan oleh robekan arteri meningea
media.
 CT scan kranial
Segera dilakukan jika terjadi penurunan tingkat kesadaran atau jika
terdapat fraktur kranium yang disertai kebingungan, kejang, atau tanda
neurologis fokal CT scan dapat digunakan untuk melihat letak lesi, dan
kemungkinan komplikasi jangka pendek seperti hematom epidural dan
hematom subdural

II.1.8 TATALAKSANA
Dasar tatalaksana awal pada semua kasus cedera kepala bertujuan untuk
menjaga kestabilan hemodinamik, penanganan segera akibat cedera primer,
mencegah cedera jaringan otak sekunder dengan cara mencegah munculnya
faktor-faktor komorbid seperti hipotensi dan hipoksia, serta mendapatkan
penilaian neurologi yang akurat.
Prinsip tatalaksana awal pada cedera kepala secara umum sama dengan
cedera di tempat lain. Penangan didasari pada prinsip emergensi dengan survei
primer yang meliputi tindakan yang umumnya disingkat ABCD, yaitu:
 A-Airway (Jalan Napas)
Prinsipnya adalah memastikan jalan napas tidak mengalami sumbatan .
apabila diperlukan dapat digunakan alat bantu napas seperti oropharyngeal
airway (OPA)

10
 B-Breathing (Pernapasan adekuat)
Prinsip pernapasan adekuat adalah dengan memperhatikan pola napas,
gerak dinding perut, dan kesetaraan pengembangan dinding dada kanan
dan kiri. Apabila alat tersedia, diharapkan saturasi oksigen di atas 92%.
 C-Circulation (Sirkulasi)
 D-Disability (melihat adanya disabilitas)
Berdasarkan konsensus Perhimpunan Dokter Saraf Seluruh Indonesia
(PERDOSSI), disabilitas mengacu pada ada tidaknya lateralisasi dan
kondisi umum dengan memeriksa status umum dan lokal neurologis.
Sebagai tambahan perlu dilakukan imobilisasi tulang belakang karena
cedera kepala seringkali dibarengi dengan adanya cedera pada medula
spinalis. Imobilisasi dilakukan sampai didapatkan bukti tidak terdapat
cedera tulang belakang.

Tata laksana Farmakologis


Hipotensi adalah salah satu prediktor mortalitas pada cedera kepala berat.
Oleh karena itu, perlu dilakukan resusitasi dengan cepat begitu tanda-tanda syok
ditemukan. Banyak pusat trauma merekomendasikan kristaloid isotonik sebagai
cairan pengganti. Cairan hipotonik harus dihindari karena dapat mengeksaserbasi
edema serebral. Untuk mempertahankan tekanan perfusi serebral sebesar 50
mmHg. Dibutuhkan tekanan darah arteri rata-rata (Mean Arterial Pressure/ MAP)
sekitar 70 mmHg.
Dalam penanganan cedera kepala perlu diperhatikan adanya tanda-tanda
peningkatan TIK karena harus diturunkan segera. Berdasarkan mekanisme
hipoksia yang terjadi pada cedera, maka edema yang terjadi adalah edema
sitotoksik. Sehingga digunakan manitol 20%. Terapi ini menggunakan prinsip
osmosis diuresis. Manitol memiliki efek ekspansi plasma yang dapat
menghasilkan gradien osmotik dalam waktu cepat. Cairan ini dapat meningkatkan
aliran darah serebral dan tekanan perfusi serebral yang akan meningkatkan suplai
oksigen.
Dosis pemberian manitol dimulai dari 1-2g/kgBB dalam waktu ½ - 1 jam
tetes cepat. Setelah 6 jam dosis pemberian dosis pertama dilanjutkan dengan dosis

11
kedua 0,5g/kgBB dalam waktu ½ - 1 jam tetes cepat. Selanjutnya 12 jam dan 24
jam kemudian diberikan 0,25g/kgBB selama ½ - 1 jam tetes cepat.

Tatalaksana Operatif
Tindakan operatif dilakukan sesuai indikasi. Adapun tindakan operatif dilakukan
apabila terdapat kasus seperti :
 Perdarahan epidural dengan kriteria :
a. Lebih dari 40 cc dengan pergeseran garis tengah pada daerah
temporal/frontal/parietal dengan fungsi batang otak masih baik.
b. Lebih dari 30 cc pada daerah fossa posteriror dengan tanda-tanda
penekanan batang otak atau hidrosefalus dengan fungsi batak otak
masih baik.
c. Perdarahan epidural yang progresif
d. Perdarahan epidural tipis dengan penurunan kesadaran.
 Perdarahan subdural dengan kriteria:
a. SDH luas (>40cc/>5 mm) dengan skor GCS >6 dan fungsi batang
otak masih baik.
b. SDH tipis dengan penurunan kesadaran
c. SDH dengan edema serebri/kontusio serebri disertai pergeseran garis
tengah (Midline Shift) dengan fungsi batang otak masih baik.
 Perdarahan intrasereberal dengan kriteria:
a. Penurunan kesadaran progresif
b. Hipertensi, bradikardi, dan gangguan pernapasan (Refleks Cushing)
c. Terjadi perburukan pada suatu kondisi defisit neurologis fokal.
 Fraktur impresi
 Fraktur kranii dengan laserasi serebri
 Fraktur kranii terbuka
 Edema serebri berat yang disertai dengan tanda peningkatan tekanan
intrakranial

12
II.1.9 Prognosis
GOS-E merupakan skala pengukuran outcome pada cedera kepala yang
dipakai untuk menyatakan prognosis, dinilai pada 3, 6, 12 dan 24 bulan setelah
cedera kepala, yang terdiri dari 8 kategori:
1. Death: meninggal.
2. Persistent vegatative state: tidak ada respon terhadap rangsangan
eksternal, tidak bisa berkata-kata atau tidak mengikuti perintah,
perilaku emosional, spontan yang tidak berkaitan dengan peristiwa
tertentu.
3. Lower severe disability: memerlukan pertolongan dari orang lain hampir
tiap saat sepanjang hari.
4. Upper severe disability: dapat ditinggal dirumah sendiri kurang lebih 8
jam sehari, akan tetapi tidak dapat melakukan perjalanan jauh atau pergi
berbelanja tanpa ditemani orang lain.
5. Lower moderate disability: tidak mampu untuk bekerja.
6. Upper moderate disability: penurunan kapasitas bekerja.
7. Lower good recovery: dapat kembali pada kehidupan normal, tetapi
memiliki masalah kecil yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari.

II.1.9 Komplikasi
Komplikasi akibat cedera kepala:
1. Gejala sisa cedera kepala berat: beberapa pasien dengan cedera kepala berat
dapat mengalami ketidakmampuan baik secara fisik (disfasia, hemiparesis,
palsi saraf cranial) maupun mental (gangguan kognitif, perubahan
kepribadian). Sejumlah kecil pasien akan tetap dalam status vegetatif.
2. Kebocoran cairan serebrospinal: bila hubungan antara rongga subarachnoid dan
telinga tengah atau sinus paranasal akibat fraktur basis cranii hanya kecil dan
tertutup jaringan otak maka hal ini tidak akan terjadi. Eksplorasi bedah
diperlukan bila terjadi kebocoran cairan serebrospinal persisten.
3. Epilepsi pascatrauma: terutama terjadi pada pasien yang mengalami kejang
awal (pada minggu pertama setelah cedera), amnesia pascatrauma yang lama,
fraktur depresi kranium dan hematom intrakranial.

13
4. Hematom subdural kronik.
5. Sindrom pasca contusio : nyeri kepala, vertigo dan gangguan konsentrasi dapat
menetap bahkan setelah cedera kepala ringan. Vertigo dapat terjadi akibat
cedera vestibular.

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Perhimpunan Dokter Speialis Saraf Indonesia (PERDOSSI). Konsensus


Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma Spinal. Jakarta:
PERDOSSI; 2006.
2. Awaloei AC. Nola Mallo. Djemi Tomuka. Gambaran Cedera Kepala yang
Menyebabkan Kematian di Bagian Forensik dan Medikolegal RSUP Prof
Dr. R. D. Kandou Periode Juni 2015 – Juli 2015. Jurnal e-Clinic.
Desember. 2016; h: 2-4.
3. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar.
Jakarta; 2013.
4. Aghakhani N. Mehdi Azami. Madine Jasemi. et al. Epidemiology of
Traumatic Brain Injury in Urmia Iran. Iran Red Cresent Med. Februari.
2013; h: 173-174.
5. Mardono M. Priguna Sidharta. Neurologi Klinis Dasar. Dian Rakyat.
Jakarta. 2015; h : 249-259.
6. Brain Injury Association of America. Types of Brain Injury. 2016. (Diakses
tanggal 12 November 2019).
https://www.biausa.org/brain-injury/about-brain-injury/basics
7. Ramli Y. Diatri Nari lastri. Pukovisa Prawirohardjo. Nuerotrauma. Badan
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2015; h: 1-
42.

15

Anda mungkin juga menyukai