Anda di halaman 1dari 36

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN

PADA PASIEN DENGAN CEDERA OTAK SEDANG DI


RUANG MELATI RSD DR. SOEBANDI JEMBER

Oleh :
LION GUNTUR PRASETYO
NIM. 19037140027

PROGRAM STUDI D III KEPERAWATAN


UNIVERSITAS BONDOWOSO
2022
LEMBAR PERSETUJUAN

Asuhan Keperawatan Pada Klien :


.......................................................................................................................................
.......................................................................................................................................
.......................................................................................................................................
..........................................
Telah Dilaksanakan Pada Tanggal ......................................Di
Ruang ....................................... RSUD..............................................

Asuhan Keperawatan ini diajukan sebagai salah satu evaluasi (penilaian) pada
Praktek Klinik Keperawatan III

..................., ............................. 2022


Pembimbing Ruangan, Pembimbing Akademik,

.................................... ............................................

Kepala Ruangan

.....................................
LEMBAR PERSETUJUAN

Laporan Pendahuluan Pada Klien :


.......................................................................................................................................
.......................................................................................................................................
.......................................................................................................................................
..........................................
Telah Dilaksanakan Pada Tanggal ......................................Di
Ruang ....................................... RSUD..............................................

Laporan pendahuluan ini diajukan sebagai salah satu evaluasi (penilaian) pada
Praktek Klinik Keperawatan III

..................., ............................. 2022


Pembimbing Ruangan, Pembimbing Akademik,

.................................... ............................................
LEMBAR KONSULTASI

Nama :
Ruangan :

NO TANGGAL MATERI YANG DIKONSULTASIKAN PARAF CI


A. Pengertian
Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai
atau tanpa perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya
kontinuitas otak. (Hudax dan Gallo)

Kerusakan neurologis yang diakibatkan oleh suatu benda atau serpihan tulang
yang menembus atau merobek suatu jaringan otak oleh suatu pengaruh kekuatan atau
energi yang diteruskan ke otak dan akhirnya oleh efek percepatan perlambatan pada
otak yang terbatas pada kompartemen yang kaku. (Price, 1995).

Cedera kepala merupakan adanya pukulan/benturan mendadak pada kepala


dengan atau tanpa kehilangan kesadaran (Susan Martin, 1996, hal 495)

Cedera kepala merupakan salah satu kasus penyebab kecacatan dan


kematian yang menjadi masalah kesehatan utama karena korban gawat darurat
yang menyerang sebagian orang sehat dan produktif (wahidin & ngabdi 2020).

Berdasarkan Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun2013,


jumlah data selururuhnya 1.027.758 untuk semua umur. Respondenyang
mengalami cedera 84.774 dan yang tidak cedera 942.984 orang.Privalensi cedera
tertinggi berdasarkan karakteristrik responden yaitu kelompok umur 15-24 tahun
sekitar (11,7%) dan pada laki-laki (10,1%). (Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2013).

Cendera Kepala (terbuka & tertutup) terdiri dari fraktur tengkorak Cranio serebri
(geger). Kontusio (memar) / Laserusi & perdarahan serebral (subarakhnoid, subdural,
epidural, intraserebral batang otak). Trauma primer terjadi karena benturan langsung
atau tidak langsung (akselerasi/deselerasi otak). Trauma sekunder akibat trauma
syaraf (mil akson) yang meluas hipertensi intrakranial, hipoksia, hiperkapnea atau
hipertensi sistemik (Doengoes, 1993)
B. Etiologi
1) Trauma tajam
Trauma oleh benda tajam : menyebabkan cedera setempat & menimbulkan cedera
lokal. Kerusakan lokal meliputi contusio serebral, hematom serebral, kerusakan otak
sekunder yang disebabkan perluasan masa lesi, pergeseran otak atau hernia

2) Trauma tumpul
Trauma oleh benda tumpul menyebabkan cedera menyeluruh (difusi) : Kerusakannya
menyebar secara luas terjadi dalam 4 bentuk : cedera akson, kerusakan otak hipoksia.
Pembengkakan otak menyebar, hemoragi kecil multiple pada otak koma terjadi
karena cedera menyebar pada hemisfer serebral, batang otak atau kedua-duanya.

3) Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor, atau sepeda, dan mobil


4) kecelakaan pada saat olahraga, anak dengan ketergantungan
5) Cedera akibat kekerasan

C. Klasifikasi
Secara umum cedera diklafikasikan menurut skala Gasglow Coma Scale
diklafisikan menjadi tiga :
1. Cedera Kepala Ringan (GCS 13 - 15) dapat terjadi kehilangan kesadaran atau
amnesia selama 30 menit, tidak Ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur
serebral, dan hematoma
2. Cedera Kepala Sedang (GCS 9-12) hilangnya kesadaran atau amnesia lebih
dari 30 menit, kurangdari 24 jam bisa terjadinya fraktur tengkorak,
3. Cedera Kepala Berat (GCS 3 - 8) dapat kehilangan kesadaran dan terjadi
amnesia lebihdari 24 jam meliputi kontusio serebral, laserasi, atau
hematoma intrakarnial (wahidin & ngabdi 2020)
D) Manifestasi Klinis
Gejala-gejala yang di timbulkan tergantung pada bearnya dan distribusi cedera
otak.
a. Nyeri, menetap atau setempat, biasanya menunjukkan fraktur

b. Fraktur pada kubah kranial menyebabkan pembengkakan pada area

tersebut

c. Fraktur pada basal tulang tengkorak seringkali menyebabkan hemorogik

dari hidung, faring, atau telinga, dan darah mungkin akan terlihat pada

konjungtifa

d. Ekimosis mungkin terlihat diatas mastoid (tanda bettle)

e. Drainase cairan serebrospinal dari telinga dan hidung menandakan fraktur

basal tulang tengkorak

f. Drainase CSF dapat menyebabkan infeksi serius , y.i. meningitis melalui

robekan durameter.

g. Cairan serebro spinal yang mengandung darah menunjukkan rase rasi otak

atau kontusio

Mekanisme klinis dari cedera kepala ( yessie dan Andra, 2013) :

a. Disoerientasi ringan

b. Amnesia post traumatic

c. Sakit kepala

d. Mual dan muntah

e. Gangguan pendengaran
Tanda dan gejala

a. Perubahan status mental mulai dari bingung sampai tidak sadar

b. Nyeri di sekitar cedera

c. Luka terbuka atau ada gumpalan darah dibawah kulit kepala

d. Memar pada muka

e. Memar di belakang telinga

f. Memar disekeliling mata

g. Pupil mata tidak simetris/sama

h. Sakit epala hebat

i. Keliar cairan/melalui hidung/ telinga

j. Penurunan tanda-tanda vital

k. Mual dan muntah

E) Patofisiologis
Cedera memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat
ringannya konsekuensi patofisiologis dari suatu trauma kepala. Cedera percepatan
(aselerasi) terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam,
seperti trauma akibat pukulan benda tumpul, atau karena kena lemparan benda
tumpul. Cedera perlambatan (deselerasi) adalah bila kepala membentur objek yang
secara relatif tidak bergerak, seperti badan mobil atau tanah. Kedua kekuatan ini
mungkin terjadi secara bersamaan bila terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa kontak
langsung, seperti yang terjadi bila posisi badan diubah secara kasar dan cepat.
Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang
menyebabkan trauma regangan dan robekan pada substansi alba dan batang otak.
Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar
pada permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi. Sebagai
akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan auto4
regulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera. Konsekuensinya
meliputi hiperemi (peningkatan volume darah) pada area peningkatan permeabilitas
kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan isi intrakranial,
dan akhirnya peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Beberapa kondisi yang dapat
menyebabkan cedera otak sekunder meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan hipotensi.
Genneralli dan kawan-kawan memperkenalkan cedera kepala "fokal" dan
"menyebar" sebagai kategori cedera kepala berat pada upaya untuk menggambarkan
hasil yang lebih khusus. Cedera fokal diakibatkan dari kerusakan fokal yang meliputi
kontusio serebral dan hematom intraserebral, serta kerusakan otak sekunder yang
disebabkan oleh perluasan massa lesi, pergeseran otak atau hernia. Cedera otak
menyebar dikaitkan dengan kerusakan yang menyebar secara luas dan terjadi dalam
empat bentuk yaitu: cedera akson menyebar, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan
otak menyebar, hemoragi kecil multipel pada. seluruh otak. Jenis cedera ini
menyebabkan koma bukan karena kompresi pada batang otak tetapi karena cedera
menyebar pada hemisfer serebral, batang otak, atau dua-duanya.
Pathway

Benturan kepala

Trauma kepala

Trauma pada jaringan lunak Trauma akibat deselerasi/akselerasi Robekan dan distorsi

Rusaknya jaringan kepala Cedera jaringan Merangsang hormon prostaglandin

Luka terbuka Hematoma MK : Nyeri akut

MK : Risiko infeksi Perubahan pada cairan intra dan ekstra sel → edema
Sakit kepala
Peningkatan suplai darah ke daerah trauma → vasodilatasi

Mual dan muntah


Tekanan intracranial ↑
Tekanan darah meningkat
Aliran darah ke otak↓
Merasa bingung, gelisah

MK :

MK :

MK :
MK : : MK

MK :
F) Penatalaksanaan
Sakit kepala, pening, peka rangsang dan ansietas
a. Berikan informasi penjelasan dan dorongan untuk mengurangi sindrom pasca

– konkusio

b. Intruksikan keluarga untuk memperhatikan tanda-tanda dan beri tau dokter

atau Bangsal : kesulitan untuk terjaga, kesulitan untuk berfikir, sakit kepala

hebat.

c. Nasehat pasien untuk melakukan aktivitas normal secara bertahap

Penanganan cedera kepala

a. Lakukan penilaian dini

b. Hentikan pendarahan

c. Imobilisasi kepala dan leher

d. Berikan oksigen bila ada

e. Tutup dan balut luka

f. Baringkan korban dengan baik

g. Nilai tingkat kesadaran

h. Monitor tanda-tanda vital

G) Pemeriksaan Penunjang
 Foto polos tengkorak (skull-rey)
 Angiografi serebral
 Pemeriksaan MRI
 CT Scan: indikasi ct scan nyeri kepala atau muntah muntah. Penurunan
GCS, adanya laserasi, bradikardi (nadi <60x?mnt). fraktur impression
dengan laserasi yang tidak sesuai, tidak ada perubahan selama 3 hari
perawatan dan luka tembus akibat benda tajam atau peluru
H) Kompikasi
Kemunduran pada kondisi pasien mungkin karena perluasan hematoma

intracranial, edema serebral progresif, dan herniasi otak.

a. Hematoma intrakranial adalah kumpulan darah di dalam tengkorak yang paling

sering disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah di dalam otak. Seseorang

biasanya mengalami kondisi tersebut akibat kecelakaan mobil atau terjatuh.

Kumpulan darah pada hematoma intrakranial bisa terjadi di dalam jaringan otak

atau di bawah tengkorak yang berpotensi menekan otak.

 ICH (INTRACEREBRAL HEMATOM)

perdarahan yang terjadi pada jaringan otak biasanya akibat robekan pembulu

h darah yang ada dalam jaringan otak.

Secara klinis ditandai dengan adanya penurunan kesadaran yang kadang-

kadangdisertailateralisasipada pemeriksaan CT Scan didapatkan adanya daer

ah hiperdens yang indikasi dilakukanoperasi jika Single, diameter lebih dari

CM,Perifer,AdanyapergeserangaristengahSecara klinis hematom tersebut da

pat menyebabkan gangguan neurologis/lateralisasi Operasi yang dilakukan

biasanya adalah evakuasi hematom disertai dekompresi dari tulang kepala.

Faktor faktor yang menentukan prognosenya hampir sama dengan faktor-

faktor yang menentukan prognose perdarahan subdural .


 EDH (Epidural Hematom)

Epidural hematom adalah Perdarahan yang terletak antara durameter dan

tulang, biasanya sumber pendarahannya adalah robeknya Arteri meningica

media (paling sering), Vena diploica (oleh karena adanya fraktur kalvaria),

Vena emmisaria, Sinus venosus duralis.

Pada keadaan yang normal, sebenarnya tidak ada ruang epidural

Perdarahan biasanya terjadi dengan fraktur tengkorak bagian temporal

parietal yang mana terjadi laserasi pada arteri atau vena meningea media.

Pada kasus yang jarang, pembuluh darah ini dapat robek tanpa adanya

fraktur. Keadaan ini mengakibatkan terpisahnya perlekatan antara dura

dengan cranium dan menimbulkan ruang epidural.

Perdarahan yang berlanjut akan memaksa dura untuk terpisah lebih lanjut,

dan menyebabkan hematoma menjadi massa yang mengisi ruang.
 SDH (SUBDURAL HEMATOMA )

Subdural hematoma adalah hematom yang terletak diantara lapisan

duramater dan arhacnoid dengan sumber perdarahan dapat berasal dari vena

jembatan atau bridging vein (paling sering), A/V cortical, Sinus venosus

duralis subdural hematoma dibagi 3 :

1.Subdural hematom akut

2.Subdural hematom subakut

3.Subdural hematom kronis

b. Edema serebral dan herniasi Edema serebral adalah penyebab paling umum

peningkatan TIK pada pasien yang mendapat cedera kepala, puncak

pembengkakan yang terjadi kira-kira 72 jam setelah cedera. TIK meningkat

karena ketidakmampuan tengkorak untuk membesar meskipun peningkatan

volume oleh pembengkakan otak diakibatkan trauma.

c. Defisit neurologic dan psikologic Pasien cedera kepala dapat mengalami

paralysis saraf fokal seperti anosmia(tidak dapat mencium bau-bauan) atau

abnormalitas gerakan mata, dan deficit neurologic seperti afasia, efek memori,

dan kejang post traumatic atau epilepsy.

d. Komplikasi lain secara traumatic

1) Infeksi iskemik (pneumonia, SK, sepsis)

2) Infeksi bedah neurologi (infeksi, luka, meningitis, ventikulitis)


I) Konsep Asuhan Keperawatan Cedera Otak Sedang
1. Pengkajian
A. Riwayat kesehatan: waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat kejadian,
status kesadaran saat kejadian, pertolongan yang diberikan segera setelah kejadian.
B Pemeriksaan fisik
1) Sistem respirasi suara nafas, pola nafas (kusmaull, cheyene stokes, biot,
hiperventilasi, ataksik)
2) Kardiovaskuler : pengaruh perdarahan organ atau pengaruh PTIK
3) Sistem saraf :
 Kesadaran → GCS.
 Fungsi saraf kranial trauma yang mengenai/meluas ke batang otak akan
melibatkan penurunan fungsi saraf kranial.
 Fungsi sensori-motor adalah kelumpuhan, rasa baal, nyeri, gangguan
diskriminasi suhu, anestesi, hipestesia, hiperalgesia, riwayat kejang.
4) Sistem pencernaan
 Bagaimana sensori adanya makanan di mulut, refleks menelan, kemampuan
mengunyah, adanya refleks batuk, mudah tersedak. Jika pasien sadar →
tanyakan pola makan?
 Waspadai fungsi ADH, aldosteron : retensi natrium dan cairan.
 Retensi urine, konstipasi, inkontinensia.
5) Kemampuan bergerak : kerusakan area motorik → hemiparesis/plegia, gangguan
gerak volunter, ROM, kekuatan otot.
6) Kemampuan komunikasi: kerusakan pada hemisfer dominan disfagia atau afasia
akibat kerusakan saraf hipoglosus dan saraf fasialis.
7) Psikososial data ini penting untuk mengetahui dukungan yang didapat pasien dari
keluarga.

8) Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan CT Scan
I) Diagnosa Keperawatan
A) Risiko infeksi
Definisi
Berisiko mengalami peningkatan terserang organisme patogenik.

Faktor Risiko
1. Penyakit kronis (mis. diabetes melitus)
2. Efek prosedur invasif
3. Malnutrisi
4. Peningkatan paparan organisme patogen lingkungan
5. Ketidakadekuatan pertahanan tubuh primer:
1) Gangguan peristaltik
2) Kerusakan integritas kulit
3) Perubahan sekresi pH
4) Penurunan kerja siliaris.
5) Ketuban pecah lama.
6) Ketuban pecah sebelum waktunya
7) Merokok
8) Statis cairan tubuh
Ketidakadekuatan pertahanan tubuh sekunder
1) Penurunan hemoglobin
2) Imununosupresi
3) Leukopenia
4) Supresi respon inflamasi
5) Vaksinasi tidak adekuat
Kondisi Klinis Terkait
1) AIDS
2) Luka bakar
3) Penyakit paru obstruktif kronis
4) Diabetes melitus
5) Tindakan invasif
6) Kondisi penggunaan terapi steroid
7) Penyalahgunaan obat
8) Ketuban Pecah Sebelum
9) Kanker
10) Gagal ginjal
11) Imunosupresi
12) Lymphedema
13) Leukositopenia
14) Gangguan fungsi hati

Standar Luaran keperawatan Intervensi


Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1x24 jam diharapkan masalah klien
teratasi dengan kriteria hasil sebagai berikut :
 Kebersihan badan (5)
 Demam (5)
 Kemerahan (5)
 Nyeri (5)
 Bengkak (5)
Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
Intervensi Rasional
Pencegahan Infeksi
Edukasi
- Jelaskan tanda dan gejala infeksi klien mengetahui tanda dan gejala infeksi

- Ajarkan cara mencuci tangan dengan benar klien dapat mencuci tangan dengan benar

- Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi kebutuhan nutrisi klien terpenuhi

- Anjurkan meningkatkan asupan cairan membntu memenuhi kebutuhan cairan klien

Terapeutik
- Batasi jumlah pengunjung meminimalisir penularan infeksi dari orang lain

- Berikan perawatan kulit pada area edema membantu menjaga kesehatan kulit pada klien

- Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak mencegah terjadinya penularan bakteri atau
dengan pasien dan lingkungan pasien virus
Observasi
-Monitor tanda dan gejala infeksi lokal dan perawat dapat mencegah terjadinya infeksi
sistemik
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian imunisasi, jika perlu membantu sistem kekebalan tubuh pada klien

B) Gangguan Mobilitas Fisik


Definisi
Keterbatasan dalam gerakan fisik dari satu atau lebih ekstremitas secas mandiri.
Penyebab
1. Kerusakan integritas struktur tulang
2. Perubahan metabolisme
3. Ketidakbugaran fisik
4. Penurunan kendall otot
5. Penurunan massa otot
6 Penurunan kekuatan otot Keterlambatan perkembangan
7. keterlambatan perkembangan
8 Kekakuan sendi
9. Kontraktur
10. Malnutrisi
11. Gangguan muskuloskeletal
12. Gangguan neuromuskular
13. Indeks masa tubuh diatas
14. Efek agen farmakologis
15. Program pembatasan gerak
16. Nyeri
17. Kurang terpapar informasi tentang aktivitas fisik 18. Kecemasan
18. Kecemasan
19. Gangguan kognitif
20. Keengganan melakukan pergerakan
21. Gangguan sensoripersepsi
Gejala dan Tanda Mayor
Subjektif
1. Mengeluh sulit menggerakkan ekstremitas
Subjektif
1. kekuatan otot menurun
2. Rentang gerak (ROM) Menurun
Gejala dan Tanda Minor
Subjektif
1. Nyeri saat bergerak
2. Enggan melakukan pergerakan
3. Merasa cemas saat bergerak
Objektif
1. Sendi kaku
2. Gerakan tidak tetkordinasi
3. Gerakan terbatas
4. Fisik lemah
Kondisi terkait
1. Stroke
2. Cedera medula finalis
3. Trauma
4. Fraktur
5. Osteoarthritis
6. Ostemalasia
7. Keganasan
Standar Luaran keperawatan Intervensi
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1x24 jam diharapkan masalah klien
teratasi dengan kriteria hasil sebagai berikut :
 Kekuatan otot (5)
 Kaku sendi (5)
 Gerakan terbatas (5)
 Kelemahan fisik (5)
Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
Intervensi Rasional
Dukungan ambulasi
Edukasi 1. Membantu klien dalam memahami
1. Jelaskan tujuan dan prosedur prosedur.
ambulasi 2. Membantu klien melakukan ambulasi
2. Ajarkan ambulasi sederhana yang yang mudah dilakukan.
harus dilakukan (mis. berjalan dari
temapt tidur ke kursi roda.
Terapeutik
1. Mempermudsh klien dalam
1. Fasilitasi aktivitas ambulasi dengan
melakukan ambulasi
alat bantu (mis. tongkat, kruk)
2. Mencegah kekakuan otot pada
2. Fasilitasi melakukan mobilisasi fisik,
klien.
jika perlu
3. Membantu klien untuk rutin
3. Libatkan keluarga untuk membantu
melakukan ambulasi
pasien dalam meningkatkan
ambulasi
Observasi
1. Mengetahui keluahn lainnya pada
1. Identifikasi adanya nyeri atau
klien
keluhan fisik lainnya
2. Membantu perawat mengukur GCS
2. Monitor kondisi umum selama
pada klien
melakukan ambulasi

C) Nyeri akut
Definisi
Pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan kerusakan jaringan
aktual atau fungsional, dengan onset mendadak atau lambat dan berintensitas ringan
hingga berat yang berlangsung kurang dari 3 bulan.
Penyebab
1. Agen pencedera fisiologis (mis, inflamasi, iskemia, neoplasma)
2. Agen pencedera kimiawi (mis. terbakar, bahan kimia iritan)
3. Agen pencedera fisik (mis. abses, amputasi, terbakar, terpotong. mengangkat berat,
prosedur operasi, trauma, latihan fisik berlebihan)
Gejala dan Tanda Mayor
Subjektif
1. Mengeluh nyeri"
Objektif
1. Tampak meringis
2. Bersikap protektif (mis. Waspada, posisi menghindari nyeri)
3. Gelisah
4. Frekuensi nadi meningkat
5. Sulit tidur
Gejala dan Tanda Minor
Subjektif
(tidak tersedia)
Objektif
1. Tekanan darah meningkat
2. Pola napas berubah
3. Nafsu makan berubah
4. Proses berpikir terganggu
5. Menarik diri
6. Berfokus pada diri sendiri
7. Diaforesis
Kondisi Klinis Terkait
1. Kondisi pembedahan
2 Cedera traumatis
3 Infeksi
4 Sindrom koroner akut
5. Glaukoma
Kondisi Klinis Terkait
*) Pengkapan nyeri dapat meggunakan instrumen skala nyert, seperti
 FLACC Behavioral Pain Scale untuk usia kurang dan 3 tahun
 Baker-Wong FACES scale untuk usia 3-7 tahun
 Visual analogue atau numeric ranting sale untuk usia di atas 7 tahun
Standar Luaran Keperawatan Indonesia
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1x24 jam diharapkan masalah klien
teratasi dengan kriteria hasil sebagai berikut :
1. Keluhan nyeri (5)
2. Meringis (5)
3. Gelisah (5)
4. Kesulitan Tidur (5)
5. Perasaan takut mengalami cedera berulang (5)

Standar Intervensi Keperawatan Indonesia


Intervensi Rasional
Nyeri akut 1. frekuensi, lokasi, karakteristik,
1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, intensitas nyeri
durasi, frekuensi, kualitas, 2. Agar mengurangi rasa nyeri
intensitas nyeri 3. Memberikan teknik farmakologis
2. Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi nyeri
untuk mengurangi rasa nyeri 4. Kolaborasi dengan dokter, perawat
(mis, TENS, hipnosis, akupresur, untuk pemberian analgetik jika
terapi musik, terapi pijat, diperlukan
aromaterapi, teknik imajinasi
terbimbing, kompres
hangat/dingin, terapi bermain)
3. Ajarkan teknik farmakologis
untuk mengurangi rasa nyeri
4. Kolaborasi pemberian analgetik,
jika perlu

D) Defisit nutrisi
Definisi
Asupan nutrisi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolisme.
Penyebab
1. Ketidakmampuan menelan makanan.
2. Ketidakmampuan mencerna makanan
3. Ketidakmampuan mengabsorbsi nutrien
4. Peningkatan kebutuhan metabolisme
5. Faktor ekonomi (mis finansial tidak mencukupi)
6. Faktor psikologis (mis. stres, keengganan untuk makan)
Gejala dan Tanda Mayor
Subjektif
(tidak tersedia)
Objektif
1. Berat badan menurun
minimal 10% di bawah
rentang idea!
Gejala dan Tanda Minor
Subjektif
1. Cepat kenyang setelah makan
2. Kram/nyeri abdomen
3. Nafsu makan menurun
Objektif
1. Bising usus hiperaktif
2 Otot pengunyah lemah
3. Otot menelan lemah
4 Membran mukosa pucat
5. Sariawan
6. Serum albumin turun
7. Rambut rontok berlebihan
8. Diare
Kondisi Klinis Terkait
1. Stroke
2. Parkinson
3. Mobius syndrome
4. Cerebral palsy
5. Cleft lip
6. Cleft palate
7 Amyotropic lateral sclerosis
8. Kerusakan neuromuskular
9. Luka bakar
10. Kanker
11. Infeksi
12. AIDS
13. Penyakit Crohn's
14. Enterokolosis
15. Fibrosis kitik

Standar Luaran Keperawatan Indonesia


Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1x24 jam diharapkan masalah klien
teratasi dengan kriteria hasil sebagai berikut :
1. Porsi makanan yang di habiskan (5)
2. Kekuatan otot pengunyah
3. kekuatan otot menelan
4. Pengetahuan tentang pilihan makanan yang sehat (5)
5. Pengetahuan tentang pilihan minuman yang sehat (5)
Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
Intervensi Rasional
Observasi
-Identifikasi status nutrisi -Mengetahui status nutrisi klien
-Identifikasi alergi dan intoleransi - menghindari efek samping alergi klien
makanan
-Identifikasi perlunya penggunaan -Memenuhi kebutuhan nutrisi klien
selang nasogastrik meskipun dalam keadaan tidak sadar

-Monitor asupan makanan -Mengetahui asupan apa saja pada klien

-Monitor berat badan -Menentukan status gizi klien

-Monitor hasil pemeriksaan --Mengetahui hasil lab klien


laboratorium
Terapeutik -Supaya klien mau makan
-Sajikan makanan secara menarik dan
suhu yang sesual -Menghindari konstipasi

-Berikan makanan tinggi serat untuk


mencegah konstipasi -Kebutuhan nutrisi klien adekuat

-Berikan makanan tinggi kalori dan


-Menghindari iritasi pada klien
tinggi protein
- Hentikan pemberian makan melalui
selang
-Membuat pasien semakin nyaman
Edukasi
-Klien diet dengan teratur
- Anjurkan posisi duduk, jika mampu
- Ajarkan diet yang diprogramkan
-Memudahkan perawat dalam
Kolaborasi
memenuhi kebutuhan musisi klien
- Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
menentukan jumlah kalori dan jenis
nutrien yang dibutuhkan jika perlu
Pemeriksaan 12 nervus kranial
Pemeriksaan Nervus Kranialis I (Olfaktori)
Nervus olfaktori terdiri dari kumpulan serabut saraf sensorik yang menghantarkan
rangsangan dari membran mukosa hidung ke otak untuk fungsi penghidu / pembau.
Gangguan pada nervus olfaktori dapat menyebabkan anosmia unilateral. Sedangkan
anosmia bilateral bisa disebabkan oleh sebab lain seperti hidung tersumbat akibat flu,
cedera kepala yang menyebabkan fraktur pada fossa kranialis atau disebabkan oleh
meningioma yang luas.[2]
Prosedur pemeriksaan:
1. Tanyakan pada pasien apakah pasien memiliki perubahan dalam menghidu atau membau
sesuatu
2. Tutup mata pasien, minta pasien untuk menutup salah satu lubang hidung dan dekatkan
bahan dengan bau yang menyengat seperti kopi, jeruk atau vanilla
3. Minta pasien untuk mengidentifikasi bau tersebut. Lakukan tes tersebut bergantian dengan
menutup lubang hidung sebelahnya
4. Catat hasil pemeriksaan
Pemeriksaan Nervus Kranialis II (Optikus)
Nervus optikus terdiri dari serabut saraf sensorik yang menghantarkan rangsangan dari
retina ke otak untuk fungsi penglihatan. Nervus optikus berperan dalam proses
penglihatan (visual) termasuk ketajaman penglihatan atau diplopia, lapang pandang,
penglihatan warna, cahaya dan refleks akomodasi. 
Prosedur pemeriksaan:
1. Ketajaman penglihatan (visual acquity / VA) dapat diperiksa dengan menggunakan
baganSnellen (Snellen chart) yang ditempatkan dengan jarak 6 meter. Pastikan
pencahayaan ruangan pemeriksaan cukup baik
 Tanyakan bagian mata mana yang lebih kabur dan pemeriksaan dimulai dengan
menggunakan mata yang kabur terlebih dahulu. Tutup mata yang sehat dengan penutup
mata seperti okluder, kartu atau tisu. Hindari menekan mata karena dapat menyebabkan
distorsi saat mata yang ditutup diperiksa
 Minta pasien untuk membaca huruf dari yang paling atas dan dari arah kiri ke kanan. Bila
pasien tidak bisa membaca, pemeriksaan ketajaman penglihatan dapat menggunakan
papan E (E chart) yang mana pasien hanya menyebutkan ke arah mana “kaki” huruf E
menghadap
 Baris terkecil yang dapat dibaca dilaporkan dalam bentuk fraksi atau pecahan, misalnya
6/18 yang berarti pasien dapat membaca dari jarak 6 meter dimana tulisan tersebut dapat
terlihat dengan mata normal pada jarak 18 meter
 Bila pasien tidak dapat membaca huruf teratas, maka pasien dapat bergerak maju  setiap 1
meter sampai huruf teratas terbaca, hasil pemeriksaan dapat dilaporkan sebagai 5/6, 4/6,
dan seterusnya tergantung dari jaraknya
 Bila pasien tidak dapat membaca huruf teratas dari jarak 1 meter, maka pemeriksa dapat
melakukan pemeriksaan dengan teknik hitung jari. Pasien diminta untuk menyebutkan
angka berapa yang dibentuk oleh jari pemeriksa. Bila pasien dapat menyebutkan dengan
benar maka pemeriksaan dilaporkan dalam bentuk VA=CF (counting finger / hitung jari)
 Bila pasien tidak dapat menyebutkan dengan benar, pemeriksa dapat mengganti
pemeriksaan dengan melambaikan tangan. Bila pasien dapat melihat lambaian tangan,
maka pemeriksaan dilaporkan dalam bentuk VA=HM (hand movement / lambaian tangan)
 Bila pasien tidak dapat melihat lambaian tangan, maka pemeriksa dapat menggunakan
senter untuk memberikan rangsangan cahaya. Bila pasien dapat melihat cahaya maka hasil
pemeriksaan dilaporkan dalam bentuk VA=PL (perception of light / respon cahaya)
 Bila pasien tidak dapat melihat cahaya sama sekali maka pemeriksaan dilaporkan dalam
bentuk VA=NPL (No perception of light / tidak ada respon cahaya)
 Setelah melakukan pemeriksaan ketajaman penglihatan tanpa bantuan alat atau koreksi,
maka pemeriksa dapat melakukan pemeriksaan dengan koreksi atau menggunakan pin
hole atau lensa kaca mata
 Bila ketajaman penglihatan meningkat maka gangguan ketajaman penglihatan dapat
disebabkan oleh iregularitas kornea, gangguan pada lensa, atau refraksi. Ulangi
pemeriksaan dengan menggunakan mata sebelahnya. Tulis hasil pemeriksaan kedua mata,
misalnya: OD (okular dekstra / mata kanan) VA = 6/18 tanpa koreksi, 6/6 dengan pin
hole dan OS (okular sinistra / mata kiri) VA = NPL[3]
2. Refleks pupil mata pasien yang diperiksa adalah refleks pupil langsung (direct) dan
refleks pupil konsensual. Pupil pasien diperiksa dengan menggunakan senter
atau penlight. Pupil yang normal akan mengecil (konstriksi) bila disinari cahaya. Refleks
konsensual diperiksa dengan menyinari salah satu mata dan menghalangi mata sebelahnya
dengan meletakkan tangan pemeriksa di hidung pasien. Refleks pupil konsensual yang
normal adalah di mana kedua pupil akan mengecil secara bersamaan walaupun hanya 1
mata yang disinari cahaya[4]
3. Pemeriksaan lapang pandang mata (visual field) dilakukan dengan duduk berhadapan
antara pasien dengan pemeriksa. Pasien diminta menutup salah satu mata (misalnya kiri)
dan pemeriksa juga menutup mata yang berlawanan (mata kanan). Pasien diminta untuk
melihat ke arah hidung pemeriksa, sementara pemeriksa menggerakkan tangan kiri dari
arah samping secara perlahan. Tanpa mengalihkan fokus mata, pasien diminta untuk
memberikan tanda bila tangan pemeriksa sudah mulai terlihat oleh pasien. Lakukan
pemeriksaan yang sama untuk mata sebelahnya
4. Refleks akomodasi lensa mata pasien diperiksa dengan cara meminta pasien untuk
melihat ke arah yang jauh, kemudian jari pemeriksa diletakkan di ujung hidung pasien dan
pasien diminta untuk fokus pada jari pemeriksa. Lensa mata normal akan menjadi
konvergen dan pupil mengecil
5. Buta warna total dan parsial dapat dideteksi dengan melakukan pemeriksaan kartu
Ishihara
6. Pemeriksaan funduskopi digunakan untuk melihat kondisi papiledema, perubahan
makular dan kondisi retina yang abnormal seperti pada pasien diabetik retinopati dan
hipertensi[5]
Pemeriksaan Nervus III, IV dan VI (Okulomotor, Throklear, Abdusen)
Nervus III, IV dan VI merupakan serabut saraf motorik yang dapat berfungsi untuk
menggerakkan bola mata. Nervus III (okulomotor) mensarafi otot levator palpebra
superior dan semua otot ekstra okular kecuali otot rektus lateralis dan otot oblikus
superior. Nervus III (okulomotor) berperan dalam kontraksi otot pupil dan membuka
mata. Nervus IV (throklear) mensarafi otot oblikus superior untuk mengarahkan mata
melihat ke arah hidung (rotasi internal dan depresi). Sedangkan nervus VI (abdusen)
mensarafi otot rektus lateralis untuk menggerakkan mata ke samping.
Prosedur pemeriksaan:
1. Inspeksi mata pasien untuk mendeteksi apakah ada ptosis atau juling
2. Pasien diminta untuk duduk tegak dan tidak menggerakkan kepala, minta pasien untuk
melihat gerakan tangan atau jari pemeriksa dengan arah huruf H. Pemeriksa
menggerakkan tangan atau jari ke arah samping kanan kiri, atas, bawah dan diagonal).
Bola mata harus bergerak secara bersamaan dan simetris
3. Saat mengarahkan tangan ke samping (arah lateral), perhatikan apakah ada nistagmus
pada pasien atau tidak
4. Refleks pupil disarafi oleh nervus II (optikus) dan nervus III (okulomotor). Nervus II
untuk menghantarkan rangsangan cahaya sedangkan nervus III untuk kontraksi otot pupil.
Pupil pasien diperiksa dengan menggunakan senter atau penlight. Pupil yang normal akan
mengecil (konstriksi) bila disinari cahaya. Refleks konsensual (refleks tak langsung)
diperiksa dengan menyinari salah satu mata dan menghalangi mata sebelahnya dengan
meletakkan tangan pemeriksa di hidung pasien. Refleks pupil konsensual yang normal
adalah kedua pupil akan mengecil secara bersamaan walaupun hanya 1 mata yang disinari
cahaya[4]  
Pemeriksaan Nervus Kranialis V (Trigeminal)
Nervus V (Trigeminal) bersifat sensorik dan motorik. Nervus V (Trigeminal)
menghantarkan rangsangan sensorik tiga bagian di daerah wajah yaitu oftalmik (V.1),
maksila (V.2) dan mandibula (V.3). Nervus V juga mensarafi untuk otot mastikasi yaitu
temporalis, masseter dan pterigoid. Nervus V juga berperan dalam reflek kornea.
Prosedur pemeriksaan:
1. Pasien diminta untuk menutup mata
2. Gunakan kapas dan jarum tumpul untuk memeriksa sensorik di wajah. Sentuh tiga bagian
kulit wajah pasien dan tanyakan apakan pasien dapat merasakan stimulus tersebut dan
dapat membedakan sentuhan halus dan nyeri
3. Reflek kornea diperiksa dengan menyentuhkan ujung kornea dengan pilinan kapas.
Dikatakan normal bila pasien segera mengedipkan mata
4. Pemeriksaan fungsi motorik nervus V (trigeminal) dengan mempalpasi otot maaseter dan
temporalis. Pasien diminta untuk mengatupkan gigi rapat-rapat dan membuka mulut. Lesi
nervus trigeminal unilateral dapat menyebabkan deviasi rahang ke bagian yang lumpuh
5. Refleks hentakan rahang (jaw jerk reflect) dapat diperiksa dengan meminta pasien
merilekskan otot rahangnya dan membuka sedikit mulut. Pemeriksa menempatkan ibu jari
ke dagu pasien dan memukulkan palu refleks dengan ibu jari pasien sebagai alasnya.
Refleks yang normal adalah pasien sedikit megatupkan mulutnya setelah mendapatkan
rangsangan
Pemeriksaan Nervus Kranialis VII (Fasialis)
Nervus kranialis VII (fasialis) merupakan saraf motorik yang memiliki komponen
sensorik dan parasimpatik. Nervus fasialis mensarafi hampir semua otot di wajah, kecuali
otot mastikasi yang disarafi oleh nervus kranialis V (trigeminal). Nervus kranialis
mensarafi indera perasa 2/3 anterior lidah melalui cabang korda timpani dan sebagai saraf
efferen refleks kornea. Nervus kranialis juga memilki fungsi parasimpatis untuk kelenjar
lakrimalis dan kelenjar submandibula. Gangguan nervus fasialis perifer yang paling sering
dijumpai adalah Bell’s palsy. Untuk membedakan gangguan nervus kranialis yang dialami
pasien adalah perifer atau sentral yaitu dengan meminta pasien mengangkat alis. Bagian
dahi atau otot frontalis diinervasi oleh nervus fasialis ipsilateral dan kontralateral,
sehingga bila yang dialami adalah gangguan di sentral seperti stroke atau tumor otak maka
pasien masih bisa mengangkat alis.[6]
Prosedur pemeriksaan:
1. Inspeksi wajah pasien secara umum, perhatikan apakah ada asimetri dan gangguan untuk
menutup mata
2. Minta pasien untuk melakukan berbagai ekspresi wajah untuk menilai otot wajah. Minta
pasien untuk menaikkan alis (otot frontalis), menutup mata dengan kuat (otot orbikularis
okuli), bersiul atau menggembungkan pipi (otot buccinator) dan tersenyum sambil
memperlihatkan gigi (otot orbikularis oris)
3. Periksa fungsi sensoris indra perasa dengan memberikan rasa manis dan asin
Pemeriksaan Nervus Kranialis VIII (Vestibulokoklear)
Nervus kranialis VIII (vestibulokoklear) memiliki fungsi sensorik untuk pendengaran
(koklear) dan untuk keseimbangan tubuh (vestibulum). Pemeriksaan fungsi nervus
vestibulokoklear untuk pendengaran dilakukan dengan menggunakan alat garpu tala.[7]
Prosedur pemeriksaan:
1. Pasien dapat dibisikkan suara di ruangan kedap suara, bila pendengaran pasien normal
maka pasien dapat mengulang kata yang diucapkan oleh pemeriksa
2. Tes Rinne adalah tes untuk membandingkan kemampuan konduksi suara di udara dan di
tulang. Garpu tala ukuran 512 Hz dibunyikan, letakkan gagang garpu tala di tulang
mastoid dan minta pasien memberikan tanda bila pasien sudah tidak mendengar suara.
Pindahkan garpu tala di depan meatus eksterna akustikus. Tanyakan pada pasien apakah
pasien masih mendengarkan suara garpu tala. Bila suara masih terdengar di depan meatus
akustikus eksterna berarti penghantaran konduksi suara melalui udara lebih baik
dibandingkan dengan penghantaran suara lewat tulang. Hal ini dinamakan tes Rinne
positif. Pada tuli konduktif, pasien tidak dapat mendengar suara garpu tala setelah
dipindahkan ke depan meatus akustikus eksterna
3. Tes Weber untuk mengetahui apakah ada lateralisasi dalam pendengaran. Garpu tala 512
Hz dibunyikan dan diletakkan di puncak kepala (verteks) dan tanyakan pada pasien
apakah ada bagian telinga yang lebih kuat mendengar bunyi. Pada tuli sensorineural maka
suara yang lebih terdengar keras adalah pada bagian yang sehat. Sedangkan pada tuli
konduksi maka pasien akan mendengar suara yang lebih keras di telinga yang sakit
4. Pemeriksaan vestibular dapat dilakukan dengan melakukan manuver Halpike (Halpike’s
maneuver) untuk melihat apakah ada nistagmus atau tidak
Pemeriksaan Nervus Kranialis IX (Glossofaringeal)
Nervus kranialis IX (glossofaringeal) merupakan saraf motorik, sensorik dan
parasimpatis. Nervus glossofaringeal menghantarkan rangsangan sensorik di bagian 1/3
posterior lidah untuk indera perasa. Nervus glossofaringeal mensarafi otot stilofaringeus
dan memiliki inervasi parasimpatik untuk kelenjar parotis. Bersama dengan nervus
kranialis X (vagus), nervus glossofaringeal berperan terhadap refleks muntah (gag reflex).
[7]
Prosedur pemeriksaan:
1. Pemeriksaan klinis untuk nervus glossofaringeal biasanya dilakukan bersamaan dengan
pemeriksaan nervus vagus. Pemeriksaan yang bisa dilakukan adalah pemeriksaan reflek
muntah (gag reflex). Pemeriksaan ini tidak rutin dilakukan karena tidak nyaman bagi
pasien. Sebelum melakukan pemeriksaan pemeriksa harus menjelaskan prosedur
pemeriksaan. Bagian dinding faring posterior disentuh dengan menggunakan depressor
lidah, normalnya pasien akan mengeluarkan reflek muntah
Pemeriksaan Nervus Kranialis X (Vagus)
Nervus kranialis X (vagus) merupakan nervus kranialis yang terpanjang dan memiliki
distribusi inervasi yang luas. Nervus vagus memiliki saraf aferen dan eferen. Nervus
vagus menginervasi hampir semua otot di faring (kecuali otot stilofaringeus yang disarafi
nervus glossofaringeal). Nervus vagus memiliki efek parasimpatis terhadap hampir semua
organ di rongga thoraks dan abdomen. Nervus vagus bekerja sama dengan nervus
glossofaringeal untuk menghasilkan reflek muntah. Nervus vagus bertanggung jawab
terhadap denyut jantung, reflek menelan, gerakan peristaltik usus, mengontrol otot untuk
bersuara.
Prosedur pemeriksaan:
1. Tanyakan apakah pasien memiliki kesulitan untuk menelan (disfagia)
2. Pemeriksa dapat memperhatikan apakah pasien memiliki suara serak atau sengau
3. Pasien diminta untuk membuka mulut lebar dan mengatakan “aaa”. Bila terjadi
kelumpuhan (palsy) maka uvula akan berdeviasi ke arah yang sakit
Pemeriksaan Nervus Kranialis XI (Asesoris)
Nervus kranialis XI (asesoris) mensarafi sebagian atas dari otot trapezius dan otot
sternokleidomastoideus.
Prosedur pemeriksaan:
1. Minta pasien duduk dengan tegak dan lakukan inspeksi pada bahu pasien
2. Lakukan palpasi pada bahu pasien untuk mengetahui apakah ada atrofi atau tidak
3. Minta pasien untuk menolehkan kepala dengan melawan tahanan dari pemeriksa, sambil
pemeriksa melakukan palpasi pada otot sternokleidomastoideus. Misalnya, untuk
memeriksa otot sternokleidomastoideus kiri maka pasien diminta untuk menoleh ke kanan
dengan tangan pemeriksa di dagu bagian kanan untuk memberikan tahanan
Pemeriksaan Nervus Kranialis XII (Hipoglossus)
Nervus kranialis XII (hipoglossus) mensarafi semua otot lidah kecuali otot palatoglosus
yang disarafi oleh nervus vagus.
Prosedur pemeriksaan:
1. Pasien diminta untuk membuka mulut dan menjulurkan lidah. Perhatikan apakah ada
deviasi dan fasikulasi
2. Minta pasien untuk menggerakkan lidah
DAFTAR PUSTAKA

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik


Indonesia, 2013.

Nurarif, Amin Huda. 2016. Asuhan Keperawatan Praktis Berdasarkan Penerapan


Diagnosa Nanda, NIC, NOC, jilid 1. Yogyakarta : Mediaction

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
Definisi danIndikator Diagnostik. Jakarta: Dewan Pengurus PPNI.

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia Definisi
dan Implementasi Keperawatan. Jakarta: Dewan Pengurus PPNI.

Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2018. Standar Luaran Keperawatan Indonesia Definisi
dan Kriteria Hasil Keperawatan. Jakarta: Dewan Pengurus PPNI

Wahidin. 2020. Nursing Science Journal (NSJ). Purworejo. Volume 1, nomor 1, hal
7-13

Wijaya andra. 2013 Keperawatan medical bedah 2 : Yogyakarta : Nuha medika

Anda mungkin juga menyukai