Anda di halaman 1dari 46

ASUHAN KEPERAWATAN PERIANESTESI PADA BP.

S DIAGNOSA
INTRACEREBRAL HEMORRHAGE YANG AKAN MENJALANI OPERASI
CRANIOTOMY DENGAN TEKNIK GENERAL ANESTESI
ENDOTRACHEAL TUBE DI RUANG IBS DR. CHASBULLAH KOTA
BEKASI

Disusun untuk memenuhi Persyaratan Kenaikan Pangkat IIID ke golongan IVA Di


wilayah Kota Bekasi

Disusun Oleh :

Erdi Rosadi, SST. An

(NIP : 19740611 200312 1003)

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH


DR. CHASBULLAH ABDUL MAJID KOTA BEKASI
2022

i
KATA PENGANTAR

Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat dan karuniaNya, penulis dapat menyelesaikan laporan Praktik Klinik
Keperawatan Perianestesi yang berjudul "Asuhan Keperawatan Perianestesi pada Bp.
S Diagnosa Intracerebral Hemorrhage yang Akan Menjalani Operasi Craniotomy
Dengan Teknik General Anestesi Endotracheal Tube di Ruang IBS Dr. Chasbullah
Kota Bekasi”. Laporan ini disusun untuk memenuhi persyaratan kenaikan pangkat
pegawai negeri sipil tahun 2023.

Penulis menyadari masih terdapat kekurangan dalam penulisan ini sehingga


penulis mengharapkan kritik maupun saran demi kesempurnaannya. Semoga Tuhan
Yang Maha Esa memberikan balasan kebaikan atas segala amal yang telah dilakukan
dan semoga karya ini berguna bagi penulis sendiri maupun pihak lain yang
memanfaatkan.

Bekasi, 30 November 2022

Erdi Rosadi

ii
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI........................................................................................................................... iii


BAB I .......................................................................................................................................1
PENDAHULUAN ...................................................................................................................1
A. Latar Belakang .............................................................................................................1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ....................................................................................3
C. Tujuan Penulisan ..........................................................................................................4
BAB II .....................................................................................................................................5
TINJAUAN TEORI .................................................................................................................5
A. Anestesi ........................................................................................................................5
B. Konsep Teori Cedera Kepala......................................................................................10
C. Konsep Teori Craniotomy ..........................................................................................20
BAB III ..................................................................................................................................23
TINJAUAN KASUS ..............................................................................................................23
A. Pengkajian Pre Anestesi .............................................................................................23
B. Anamnesis ..................................................................................................................24
C. Persiapan Penatalaksanaan Anestesi...........................................................................31
D. Pengkajian Intra Anestesi ...........................................................................................33
E. Pengkajian Post Anestesi............................................................................................35
F. Analisa Data ...............................................................................................................35
G. Masalah dan Prioritas Masalah ...................................................................................37
H. Intervensi, Implementasi, dan Evaluasi ......................................................................38
KESIMPULAN ......................................................................................................................41
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................42

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kasus trauma yang sering ditemukan dan ditangani di unit gawat darurat
ialah trauma kepala. Kecelakaan lalu lintas (KLL) merupakan penyebab fraktur
basis kranii. Sekitar 25-66% KLL menyebabkan kejadian fraktur basis kranii
sesuai lokasi fraktur sedangkan luka tembak, penyerangan, kecelakaan
lingkungan kerja merupakan penyebab lainnya (Phang et al., 2016).
Patah tulang dasar kepala/fraktur basis kranii/base skull fracture (BSF)
merupakan jenis fraktur linier yang umum terjadi pada bagian temporal kranium.
Perdarahan ekstra-aksial merupakan kejadian risiko tinggi pada fraktur basis
kranii dikarenakan fraktur memiliki kecenderungan untuk mengenai arteri serebri
media. Kejadian kebocoran cairan serebrospinal (cerebrospinal fluid /CSF) dapat
terjadi serta robekan duramater yang disebabkan fraktur ini dapat
menghubungkan rongga subaraknoid, rongga paranasalis, dan telinga tengah
(Patrascu et al., 2017).
Otore dan memar pada os mastoid (battle sign) merupakan tanda pada
pasien dengan fraktur basis kranii. Rinore dan memar di sekitar palpebra
(racoon's eyes) merupakan gambaran dari fraktur basis kranii fossa anterior.
Fraktur tulang dasar kepala dibagi menjadi tiga kelompok utama yaitu anterior,
media, dan posterior menurut lokasi cederanya. Lempeng kribriform dan tulang
etmoid merupakan lokasi terjadinya fraktur anterior. Tulang temporal dan
piramidal merupakan lokasi fraktur tengah dan tulang oksipital merupakan lokasi
fraktur posterior. Fraktur tulang dasar kepala terjadi akibat adanya mekanisme
gaya lokal. Selain adanya gaya lokal (benturan langsung), adanya benturan yang
jauh dari lokasi fraktur bisa menjadi salah satu penyebabnya. Misalnya, benturan

1
pada mandibula dapat menyebabkan transisi gaya ke dasar tengkorak, kemudian
menyebabkan patah tulang (Ridhoni et al., 2021).
Perdarahan intraserebral adalah salah satu jenis perdarahan intrakranial
yang terjadi akibat robeknya pembuluh darah yang ada dalam jaringan otak.
Deteksi darah fokal diakibatkan oleh cedera renggangan atau robekan rotasional
terhadap pembuluh darah intraparenkimal otak atau kadang karena cedera
penetrans.
Di Amerika, cedera kepala merupakan penyebab kematian terbanyak pada
usia 15-44 tahun dan merupakan penyebab kematian ketiga untuk keseluruhan
kasus. Di negara berkembang seperti Indonesia, cedera kepala berperan pada
hampir separuh dari seluruh kematian akibat trauma, mengingat bahwa kepala
merupakan bagian yang tersering dan rentan terlibat dalam suatu kecelakaan.
Perdarahan yang terjadi pada memar otak dapat membesar menjadi perdarahan
intraserebral. Lebih dari 50% penderita dengan perdarahan intraserebral disertai
hematom epidural atau hematom subdural.
Gejala yang sering tampak pada per-darahan intraserebral yaitu penurunan
kesa-daran atau bertahap seiring dengan membe-sarnya perdarahan, pola
pernapasan dapat secara progresif menjadi abnormal, respon pupil tidak ada,
muntah-muntah akibat peningkatan tekanan intrakranial, perubahan perilaku
kognitif, dan perubahan fisik pada berbicara dan gerakan motorik dapat timbul
segera atau perlahan. Nyeri kepala dapat muncul segera atau bertahap seiring
dengan peningkatan tekanan intra-kranial.
Kraniotomi adalah sebuah prosedur operasi umum divisi bedah saraf yang
melibatkan pembuatan lubang yang cukup pada tempurung kepala atau
tengkorak (cranium) untuk akses optimal ke intrakranial. Kraniotomi dinamakan
sesuai dengan area tempurung kepala (cranium) yang dibuka, dapat dilakukan
secara intratentorial maupun supratentorial, atau kombinasi dari keduanya.
Tindakan ini dilakukan sebagai terapi pada tumor otak, hematoma, aneurisma,
maupun infeksi otak. Ukuran lebar kraniotomi bervariasi dari beberapa milimeter

2
(burr holes) sampai beberapa sentimeter (keyhole), bergantung pada masalah dan
terapi yang dibutuhkan (Pratama et al., 2020). Kraniotomi dilakukan
menggunakan pisau khusus, bagian cranium yang telah dipotong (bone flap)
dibuka agar pelindung otak (dura) terlihat, dura kemudian juga dibuka untuk
mengekspos bagian otak. Di akhir prosedur, bone flap diletakkan kembali dan
‘direkatkan’ pada cranium menggunakan alat khusus (Dunn et al., 2016).
Terdapat berbagai masalah yang timbul pada pasien post kraniotomi.
Selama periode dua tahun, terdapat 103 pasien yang tercatat menjalani operasi
kraniotomi dan kemudian dirawat di ICU atau HCU. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa terdapat 51 pasien yang meninggal dunia dan 52 pasien
yang hidup. Terdapat dua penyebab kematian utama pada pasien-pasien
kraniotomi ini; syok sepsis (33%) dan gagal nafas (23,5%) (A’la et al., 2019).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh (Lonjaret et al., 2017) di rumah sakit
Prancis, komplikasi yang muncul pada pasien post kraniotomi adalah mual
muntah (25%) dan komplikasi neurologis (16%). Pada penelitian yang dilakukan
oleh (Chen et al., 2018), masalah yang menjadi perhatian utama adalah risiko
ketidakefektifan perfusi jaringan cerebral, nyeri akut, dan ansietas. aktor risiko
predisposisi dapat terjadi karena adanya waktu bedah yang lama dan penggunaan
kortikosteroid (A’la et al., 2019).
Craniotomy merupakan salah satu tindakan operasi bedah dalam kranium
yang ada di RSUD Dr. Chasbullah Kota Bekasi, penulis memilih laporan
ASKAN pasien dengan tindakan craniotomy pada pasien berusia 11 tahun karena
berdasarkan uraian diatas, serta penulis memandang craniotomy merupakan
prosedur pembedahan yang membutuhkan perhatian khusus terutama pada
tindakan anestesi fase Pre anestesi, Intra anestesi, dan Post anestesi.

B. Batasan dan Rumusan Masalah


1. Batasan Masalah

3
Dalam laporan kasus ini, pembahasan dibatasi pada asuhan
kepenataan perianestesi Intracerebral Hemorrhage mulai pre, intra, dan
post operasi craniotomy dengan general anestesi sampai pasien sadar
baik selama di ruang pulih sadar dan kembali ke ruang perawatan.
2. Rumusan Masalah
Dari uraian diatas dapat dirumuskan suatu permasalahan yaitu
bagaimanakah asuhan kepenataan perianestesi pada pasien Intracerebral
Hemorrhage yang dilakukan craniotomy dengan general anestesi
endotracheal tube.

C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Tujuan dari penulisan laporan kasus ini mahasiswa Sarjana
Terapan Keperawatan Anestesiologi mampu melaksanakan asuhan
kepenataan perianestesi pada pasien Intracerebral Hemorrhage yang
dilakukan tindakan craniotomy dengan general anestesi endotracheal
tube.
2. Tujuan Khusus
a. Mampu melaksanakan pemeriksaan pre operasi pada pasien
Intracerebral Hemorrhage.
b. Mampu menentukan obat premedikasi, induksi, teknik dan obat
anestesi yang digunakan.
c. Mampu melaksanakan tugas limpah tindakan anestesi pada pasien
Intracerebral Hemorrhage yang dilakukan craniotomy.

4
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Anestesi
1. Definisi Anestesi
Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an-"tidak, tanpa" dan
aesthētos, "persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu
tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan
berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Istilah
anestesi digunakan pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun
1846 (Robinson & Toledo, 2012).
Anestesi adalah menghilangnya rasa nyeri, dan menurut jenis
kegunaannya dibagi menjadi anestesi umum yang disertai hilangnya
kesadaran, sedangakan anestesi regional dan anestesi local menghilangya
rasa nyeri disatu bagian tubuh saja tanpa menghilangnya kesadaran
(Sjamsuhidajat & De Jong, 2012).
Menurut Brunton, dkk tahun 2012 perkembangan senyawa – senyawa
anestesi disebabkan oleh tiga tujuan umum :
a. Meminimalkan potensi efek membahayakan dari senyawa dan teknik
anestesi
b. Mempertahankan homeostatis fisiologis selam dilakukan prosedur
pembedahan yang mungkin melibatkan kehilangan darah, iskemia
jaringan, reperfusi jaringan yang mengalami iskemia, pergantian cairan,
pemaparan terhadap lingkungan dingin, dan gangguan koagulasi.
c. Memperbaiki hasil pascaperasi dengan memilih teknik yang
menghambat tau mengatasi komponen – komponen respons stress
pembedahan, yang dapat menyebabkan konsekuensi lanjutan jangka
pendek ataupun panjang.

5
2. Jenis Anestesi Umum
Anestesi umum adalah suatu keadaan tidak sadar yang bersifat
sementara yang diikuti oleh hilangnya rasa nyeri di seluruh tubuh akibat
pemberian obat anestesia (Pramono, 2017).
Trias anestesia :
a. Hipnotik : pasien kehilangan kesadaran
b. Analgetik : pasien tidak merasa nyeri
c. Relaksasi : pasien mengalami kelumpuhan otot
General anestesi menurut Pranomo (2017), dapat dilakukan dengan 3
teknik, yaitu :
a. General Anestesi Intravena
Teknik general anestesi yang dilakukan dengan jalan
menyuntikkan obat anestesi parenteral langsung ke dalam pembuluh
darah vena.
b. General Anestesi Inhalasi
Teknik general anestesi yang dilakukan dengan jalan
memberikan kombinasi obat anestesi inhalasi yang berupa gas dan atau
cairan yang mudah menguap melalui alat atau mesin anestesi langsung
ke udara inspirasi.
c. Anestesi Imbang
Merupakan teknik anestesi dengan mempergunakan kombinasi
obat-obatan baik obat anestesi intravena maupun obat anestesi inhalasi
atau kombinasi teknik general anestesi dengan analgesia regional untuk
mencapai trias anestesi secara optimal dan berimbang.
3. Indikasi
Anestesi umum biasanya dimanfaatkan untuk tindakan operasi besar
yang memerlukan ketenangan pasien dan waktu pengerjaan bedah yang
lebih panjang, misalnya pada kasus bedah jantung, pengangkatan batu

6
empedu, bedah rekonstruksi tulang dan lain-lain. Selain itu, anestesi umum
biasanya dilakukan pada pembedahan yang luas. (Hasyim et al., 2012)
4. Kontra Indikasi
Menurut (Hasyim et al., 2012) kontraindikasi general anestesi
tergantung dari efek farmakologi obat anestetika terhadap organ tubuh,
misalnya pada kelainan :
1) Jantung : hindarkan pemakaian obat-obat yang mendespresi miokard atau
menurunkan aliran darah coroner.
2) Hepar : hindarkan obat hepatotoksik, obat yang toksis terhadap hepar atau
dosis obat diturunkan.
3) Ginjal : hindarkan atau seminim mungkin pemakaian obat yang
diekskresi melalui ginjal.
4) Paru : hindarkan obat-obat yang menaikkan sekresi dalam paru.
5) Endokrin : hindarkan pemakaian obat yang merangsang susunan saraf
simpatis pada diabetes penyakit basedow, karena bisa menyebabkan
peninggian gula darah.

5. Komplikasi
Pemberian anestesi umum dengan teknik inhalasi, intravena maupun
imbang mempunyai risiko komplikasi pada pasien. Kematian merupakan
risiko komplikasi yang dapat terjadi pada pasien pasca pemberian anestesi.
Kematian yang disebabkan anestesi umum terjadi < 1:100.000 kasus, selain
kematian ada komplikasi lain yaitu serangan jantung, infeksi paru, stroke,
trauma pada gigi atau lidah. (Pramono, 2014)
Risiko komplikasi pada anestesi umum minimal apabila kondisi pasien
sedang optimal, namun sebaliknya jika pasien mempunyai riwayat kebiasaan
yang kurang baik misalnya riwayat penyalah gunaan alkohol atau obat-
obatan, alergi pada komponen obat, perokok, mempunyai riwayat penyakit

7
jantung, paru dan ginjal maka risiko komplikasi anestesi umum akan lebih
tinggi. (Pramono, 2014)
6. Stadium Anestesi
Saat dilakukan tindakan anestesi seseorang akan mengalami stadium
anestesi melalui beberapa tahap. (Guedel 1920 dalam Pramono 2017)
membagi anestesi umum dengan eter dalam 4 stadium (stadium III dibagi
menjadi 4 plana), yaitu :
a. Stadium I (Stadium Induksi atau Eksitasi Volunter), dimulai dari
pemberian agen anestesi sampai hilangnya kesadaran. Rasa takut dapat
meningkatkan frekuensi nafas dan nadi, dilatasi pupil, dapat terjadi
urinasi dan defekasi.
b. Stadium II (Stadium Eksitasi Involunter), dimulai dari hilangnya
kesadaran sampai permulaan stadium pembedahan. Pada stadium II
terjadi eksitasi dan gerakan yang tidak menuruti kehendak, pernafasan
tidak teratur, inkotinensia urine, muntah, midriasis, hipertensi dan
takikardia.
c. Stadium III (Pembedahan/ Operasi), terbagi menjadi 3 bagian yaitu:
1) Plana I yang ditandai dengan pernafasan yang teratur dan
terhentinya anggota gerak. Tipe pernafasan thoraco – abdominal,
reflek pedal masih ada, bola mata bergerak – gerak, palpebra,
konjunctiva dan kornea terdepresi.
2) Plana II yang ditandai dengan respirasi thoraco – abdominal dan
bola mata ventro medial semua otot relaksasi kecuali otot perut.
3) Plana III yaitu ditandai dengan respirasi reguler, abdominal, bola
mata kembali ke tengah dan otot perut relaksasi.
4) Plana IV yaitu terjadinya paralisis semua otot interkostal sampai
diafragma.
d. Stadium IV (Paralisis Medulla Oblongata atau Overdosis), ditandai
dengan paralisis otot dada, pulses cepat dan pupil dilatasi. Bola mata

8
menunjukkan gambaran seperti mata ikan karena terhentinya sekresi
lakrimal.
7. Klasifikasi ASA
Setiap pasien yang akan dilakukan tindakan operasi harus dinilai status
fisiknya, menunjukkan apakah kondisi tubuh pasien normal atau mempunyai
kelainan yang memerlukan perhatian khusus. Status fisik dinyatakan dalam
stastus ASA (American Society of Anesthesiologists) , dibagi menjadi
beberapa tingkatan diantaranya (Pramono, 2015) :
ASA 1 Pasien normal (sehat), tidak ada gangguan organic, fisiologis,
atau kejiwaan; tidak termasuk sangat muda dan sangat tua ;
sehat dengan toleransi yang baik.
ASA 2 Pasien memiliki kelainan sistemik ringan (misal : hipertensi
terkontrol, riwayat asma, diabetes mellitus terkontrol). Tidak
memiliki keterbatasan fungsional ; memiliki penyakit yang
terkendali dengan baik dari sistem tubuh ; hipertensi terkontrol
atau diabetes tanpa efek sistemik, merokok tanpa penyakit paru
obstruktif kronis (PPOK), obesitas ringan, kehamilan
ASA 3 Pasien dengan kelainan sistemik berat. Memiliki keterbatasan
fungsional ; memiliki penyakit lebih dari satu system tubuh;
tidak ada bahaya kematian; gagal jantung kongestif (congestive
heart failure, CHF) terkontrol, angina stabil, serangan jantung
tua, hipertensi tidak terkontrol, obesitas morbid, gagal ginjal
kronis, penyakit bronkospatik dengan gejala intermiten
ASA 4 Pasien dengan kelainan sistemik berat dan incapacitance
(misalnya pasien dengan gagal jantung derajat 3 dan hanya
dapat berbaring di tempat tidur saja). Pasien dengan satu
penyakit berat yang tidak terkontrol atau pada tahap akhir ;

9
kemungkinan risiko kematian ; angina tidak stabil ; PPOK
bergejala ; gejala CHF ; kegagalan hepatorenal.
ASA 5 Pasien yang dengan tidakan operasi atau tidak dapat
diperkirakan akan meninggal dalam 24 jam atau tidak
diharapkan hidup dalam 24 jam tanpa operasi ; risiko besar
akan kematian ; kegagalan multiorgan ; sindrom sepsis dengan
ketidakstabilan hemodinamik, hipotermia, koagulopati tidak
terkontrol.
ASA 6 Mati batang otak untuk donor organ.
Klasifikasi ASA juga dipakai dalam pembedahan darurat dengan
mencantumkan tanda darurat (E = Emergency), misalnya ASA I E atau
ASA III E.

B. Konsep Teori Cedera Kepala


1. Pengertian
Cedera kepala (trauma capitis) adalah cedera mekanik yang secara
langsung atau tidak langsung mengenai kepala yang mengakibatkan luka di
kulit kepala, fraktur tulang tengkorak, robekan selaput otak dan kerusakan
jaringan otak itu sendiri, serta mengakibatkan gangguan neurologis (Sjahrir,
2012).
Cedera kepala merupakan sebuah proses dimana terjadi cedera
langsung atau deselerasi terhadap kepala yang dapat mengakibatkan
kerusakan tengkorak dan otak (Pierce dan Neil, 2014).
Menurut Brain Injury Assosiation of America (2006), cedera kepala
merupakan kerusakan yang disebabkan oleh serangan ataupun benturan fisik
dari luar, yang dapat mengubah kesadaran yang dapat menimbulkan
kerusakan fungsi kognitif maupun fungsi fisik. Cedera kepala merupakan
suatu trauma atau ruda paksa yang mengenai struktur kepala yang dapat

10
menimbulkan gangguan fungsional jaringan otak atau menimbulkan
kelainan struktural (Sastrodiningrat, 2007).
2. Klasifikasi
Penilaian derajat beratnya cedera kepala dapat dilakukan dengan
menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS) yang diciptakan oleh Jennet dan
Teasdale pada tahun 1974. GCS yaitu suatu skala untuk menilai secara
kuantitatif tingkat kesadaran seseorang dan kelainan neurologis yang terjadi.
Ada 3 aspek yang dinilai yaitu reaksi membuka mata (eye opening), reaksi
berbicara (verbal respons), dan reaksi lengan serta tungkai (motor respons).
1) Cedera kepala diklasifikasikan menjadi 3 kelompok berdasarkan nilai
GCS yaitu:
2) Cedera Kepala Ringan (CKR) dengan GCS > 13, tidak terdapat kelainan
berdasarkan CT scan otak, tidak memerlukan tindakan operasi, lama
dirawat di rumah sakit < 48 jam.
3) Cedera Kepala Sedang (CKS) dengan GCS 9-13, ditemukan kelainan
pada CT scan otak, memerlukan tindakan operasi untuk lesi intrakranial,
dirawat di rumah sakit setidaknya 48 jam.
4) Cedera Kepala Berat (CKB) bila dalam waktu > 48 jam setelah trauma,
score GCS < 9 (George, 2009).
Berdasarkan Advenced Trauma Life Support (ATLS) tahun 2004,
klasifikasi berdasarkan mekanismenya, cedera kepala dibagi menjadi:
1. Cedera kepala tumpul, biasanya disebabkan oleh kecelakaan kendaraan
bermotor, jatuh ataupun terkena pukulan benda tumpul.
2. Cedera kepala tembus, biasanya disebabkan oleh luka tusukan, atau luka
tembak.
Berdasarkan morfologinya, cedera kepala dapat dibagi menjadi:
1. Fraktur Kranium
Fraktur kranium diklasifikasikan berdasarkan lokasi anatomisnya,
dibedakan menjadi fraktur calvaria dan fraktur basis cranii. Berdasarkan

11
keadaan lukanya, dibedakan menjadi fraktur terbuka yaitu fraktur dengan
luka tampak telah menembus duramater, dan fraktur tertutup yaitu fraktur
dengan fragmen tengkorak yang masih intak (Sjamsuhidajat, 2010).
2. Perdarahan Epidural
Hematom epidural terletak di luar dura tetapi di dalam rongga
tengkorak dan gambarannya berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa
cembung. Biasanya terletak di area temporal atau temporo parietal yang
disebabkan oleh robeknya arteri meningea media akibat fraktur tulang
tengkorak (Sjamsuhidajat, 2010).
3. Perdarahan Subdural
Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan
epidural. Robeknya vena-vena kecil di permukaan korteks cerebri
merupakan penyebab dari perdarahan subdural. Perdarahan ini biasanya
menutupi seluruh permukaan hemisfer otak, dan kerusakan otak lebih berat
dan prognosisnya jauh lebih buruk bila dibandingkan dengan perdarahan
epidural (Sjamsuhidajat, 2010).
4. Contusio dan perdarahan intraserebral
Contusio atau luka memar adalah apabila terjadi kerusakan jaringan
subkutan dimana pembuluh darah (kapiler) pecah sehingga darah meresap
ke jaringan sekitarnya, kulit tidak rusak, menjadi bengkak dan berwarna
merah kebiruan. Luka memar pada otak terjadi apabila otak menekan
tengkorak. Contusio cerebri sering terjadi di lobus frontal dan lobus
temporal, walaupun dapat juga terjadi pada setiap bagian dari otak.
Contusio cerebri dapat terjadi dalam waktu beberapa jam atau hari, berubah
menjadi perdarahan intraserebral yang membutuhkan tindakan operasi
(Sjamsuhidajat, 2010).
5. Commotio cerebri
Commusio cerebri atau gegar otak merupakan keadaan pingsan yang
berlangsung kurang dari 10 menit setelah trauma kepala, yang tidak disertai

12
kerusakan jaringan otak. Pasien mungkin akan mengeluh nyeri kepala,
vertigo, mungkin muntah dan pucat (Sjamsuhidajat, 2010).
6. Fraktur basis cranii
Hanya suatu cedera kepala yang benar-benar berat yang dapat
menimbulkan fraktur pada dasar tengkorak. Penderita biasanya masuk
rumah sakit dengan kesadaran yang menurun, bahkan tidak jarang dalam
keadaan koma yang dapat berlangsung beberapa hari. Dapat tampak
amnesia retrogade dan amnesia pascatraumatik. Gejala tergantung letak
frakturnya:
1) Fraktur fossa anterior
Darah keluar beserta likuor serebrospinal dari hidung atau kedua
mata dikelilingi lingkaran “biru” (Brill Hematom atau Racoon’s Eyes),
rusaknya Nervus Olfactorius sehingga terjadi hyposmia sampai
anosmia.
2) Fraktur fossa media
Darah keluar beserta likuor serebrospinal dari telinga. Fraktur
memecahkan arteri carotis interna yang berjalan di dalam sinus
cavernous sehingga terjadi hubungan antara darah arteri dan darah vena
(A-V shunt).
3) Fraktur fossa posterior
Tampak warna kebiru-biruan di atas mastoid. Getaran fraktur
dapat melintas foramen magnum dan merusak medula oblongata
sehingga penderita dapat mati seketika (Ngoerah, 1991).
3. Etiologi
Penyebab cedera kepala dibagi menjadi cedera primer yaitu cedera
yang terjadi akibat benturan langsung maupun tidak langsung, dan cedera
sekunder yaitu cedera yang terjadi akibat cedera saraf melalui akson
meluas, hipertensi intrakranial, hipoksia, hiperkapnea / hipotensi sistemik.
Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses

13
patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer,
berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia,
peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi (Hickey,
2003).
4. Patofisiologi
Mekanisme cedera kepala dapat berlangsung peristiwa coup dan
contrecoup. Lesi coup merupakan lesi yang diakibatkan adanya benturan
pada tulang tengkorak dan daerah disekitarnya. Lesi contrecoup merupakan
lesi di daerah yang letaknya berlawanan dengan lokasi benturan. Akselerasi
- deselerasi terjadi akibat kepala bergerak dan berhenti mendadak dan kasar
saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak dan otak
menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya.
Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan
dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan (PERDOSSI,
2007).
Mekanisme utama pada cedera kepala ringan adalah shear strain.
Kekuatan rotasional dapat timbul sekalipun pada kecelakaan yang dianggap
tidak berarti dan tidak perlu adanya cedera coup dan contrecoup yang jelas.
Hal ini menimbulkan regangan pada akson-akson dengan akibat gangguan
konduksi dan hilangnya fungsi. Perubahan-perubahan tersebut diatas
dikenal sebagai Diffuse Axonal Injury (Iskandar, 2002).
5. Manifestasi Klinis
Menurut Reisner (2009), gejala klinis cedera kepala yang dapat
membantu mendiagnosis adalah battle sign (warna biru atau ekhimosis
dibelakang telinga di atas os mastoid), hemotipanum (perdarahan di daerah
membran timpani telinga), periorbital ekhimosis (mata warna hitam tanpa
trauma langsung), rhinorrhoe (cairan serebrospinal keluar dari hidung),
otorrhoe (cairan serebrospinal keluar dari telinga).
Tanda–tanda atau gejala klinis untuk yang cedera kepala ringan

14
adalah pasien tertidur atau kesadaran yang menurun selama beberapa saat
kemudian sembuh, sakit kepala yang menetap atau berkepanjangan, mual
dan atau muntah, gangguan tidur dan nafsu makan yang menurun,
perubahan kepribadian diri, letargik. Tanda–tanda atau gejala klinis untuk
yang cedera kepala berat adalah perubahan ukuran pupil (anisocoria), trias
Cushing (denyut jantung menurun, hipertensi, depresi pernafasan) apabila
meningkatnya tekanan intrakranial, terdapat pergerakan atau posisi
abnormal ekstremitas (Reisner, 2009).
6. Komplikasi
Komplikasi akibat cedera kepala:
1. Gejala sisa cedera kepala berat: beberapa pasien dengan cedera kepala
berat dapat mengalami ketidakmampuan baik secara fisik (disfasia,
hemiparesis, palsi saraf cranial) maupun mental (gangguan kognitif,
perubahan kepribadian). Sejumlah kecil pasien akan tetap dalam status
vegetatif.
2. Kebocoran cairan serebrospinal: bila hubungan antara rongga
subarachnoid dan telinga tengah atau sinus paranasal akibat fraktur
basis cranii hanya kecil dan tertutup jaringan otak maka hal ini tidak
akan terjadi. Eksplorasi bedah diperlukan bila terjadi kebocoran cairan
serebrospinal persisten.
3. Epilepsi pascatrauma: terutama terjadi pada pasien yang mengalami
kejang awal (pada minggu pertama setelah cedera), amnesia
pascatrauma yang lama, fraktur depresi kranium dan hematom
intrakranial.
4. Hematom subdural kronik.
5. Sindrom pasca concusio : nyeri kepala, vertigo dan gangguan
konsentrasi dapat menetap bahkan setelah cedera kepala ringan. Vertigo
dapat terjadi akibat cedera vestibular (konkusi labirintin) (Adams,
2000).

15
7. Pemeriksaan Penunjang
Komponen utama pemeriksaan neurologis pada pasien cedera kepala
sebagai berikut:
1. Bukti eksternal trauma: laserasi dan memar.
2. Tanda fraktur basis cranii: hematom periorbital bilateral, hematom pada
mastoid (tanda Battle), hematom subkonjungtiva (darah di bawah
konjungtiva tanpa adanya batas posterior, yang menunjukkan darah dari
orbita yang mengalir ke depan), keluarnya cairan serebrospinal dari
hidung atau telinga (cairan jernih tidak berwarna, positif mengandung
glukosa), perdarahan dari telinga.
3. Tingkat kesadaran (GCS)
4. Pemeriksaan neurologis menyeluruh, terutama reflek pupil, untuk
melihat tanda–tanda ancaman herniasi tentorial (Ginsberg, 2007).
Dalam pemeriksaan dapat pula digunakan :
1. Radiografi kranium: untuk mencari adanya fraktur, jika pasien
mengalami gangguan kesadaran sementara atau persisten setelah
cedera, adanya tanda fisik eksternal yang menunjukkan fraktur pada
basis cranii fraktur fasialis, atau tanda neurologis fokal lainnya. Fraktur
kranium pada regio temporoparietal pada pasien yang tidak sadar
menunjukkan kemungkinan hematom ekstradural, yang disebabkan
oleh robekan arteri meningea media (Ginsberg, 2007).
2. CT scan kranial: segera dilakukan jika terjadi penurunan tingkat
kesadaran atau jika terdapat fraktur kranium yang disertai kebingungan,
kejang, atau tanda neurologis fokal (Ginsberg, 2007). CT scan dapat
digunakan untuk melihat letak lesi, dan kemungkinan komplikasi
jangka pendek seperti hematom epidural dan hematom subdural (Pierce
& Neil, 2014).
Diagnosis cedera kepala didapatkan dengan anamnesis yang rinci
untuk mengetahui adanya riwayat cedera kepala serta mekanisme cedera

16
kepala, gejala klinis dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis informasi
penting yang harus ditanyakan adalah mekanismenya. Pemeriksaan fisik
meliputi tanda vital dan sistem organ (Iskandar, 2002). Penilaian GCS awal
saat penderita datang ke rumah sakit sangat penting untuk menilai derajat
kegawatan cedera kepala. Pemeriksaan neurologis, selain pemeriksaan
GCS, perlu dilakukan lebih dalam, mencakup pemeriksaan fungsi batang
otak, saraf kranial, fungsi motorik, fungsi sensorik, dan reflek
(Sjamsuhidayat, 2010).
8. Penatalaksanaan Medis
Secara umum, pasien dengan cedera kepala harusnya dirawat di
rumah sakit untuk observasi. Pasien harus dirawat jika terdapat penurunan
tingkat kesadaran, fraktur kranium dan tanda neurologis fokal. Cedera
kepala ringan dapat ditangani hanya dengan observasi neurologis dan
membersihkan atau menjahit luka / laserasi kulit kepala. Untuk cedera
kepala berat, tatalaksana spesialis bedah saraf sangat diperlukan setelah
resusitasi dilakukan.
Aspek spesifik terapi cedera kepala dibagi menjadi dua kategori:
a. Bedah
1) Intrakranial: evakuasi bedah saraf segera pada hematom yang
mendesak ruang.
2) Ekstrakranial: inspeksi untuk komponen fraktur kranium yang
menekan pada laserasi kulit kepala. Jika ada, maka hal ini
membutuhkan terapi bedah segera dengan debridement luka dan
menaikkan fragmen tulang untuk mencegah infeksi lanjut pada
meningen dan otak.
b. Medikamentosa
1) Bolus manitol (20%, 100 ml) intravena jika terjadi peningkatan
tekanan intrakranial. Hal ini dibutuhkan pada tindakan darurat
sebelum evakuasi hematom intrakranial pada pasien dengan

17
penurunan kesadaran.
2) Antibiotik profilaksis untuk fraktur basis cranii.
3) Antikonvulsan untuk kejang.
4) Sedatif dan obat-obat narkotik dikontraindikasikan, karena dapat
memperburuk penurunan kesadaran (Ginsberg, 2007).

9. Intracerebral Hemorrhage
Menurut National Institute of Neurological Disorder and Stroke
(NINDS) stroke adalah adanya defisit neurologik baik fokal maupun global
yang terjadi mendadak yang disebabkan oleh gangguan pembuluh darah
otak, dalam hal ini terjadi pecahnya pembuluh darah serebri dalam
parenkim otak. Perdarahan intraserebral terbagi menjadi intraserebral
primer (hipertensi) dan perdarahan intraserebral sekunder (non hipertensi).
Perdarahan intraserebral non hipertensi dapat disebabkan oleh
malformasi arteri vena, aneurisma, angiopati amiloid, tumor otak,
penyalahgunaan obat, diskrasia darah, antikoagulan, trombolitik, dan
vaskulitis. Perdarahan intraserebral hipertensi adalah perdarahan
intraserebral dengan hipertensi sebagai penyebab utamanya, terutama
hipertensi yang tidak terkontrol, yang menyebabkan rusaknya pembuluh
darah kecil di otak sehingga mudah ruptur. Perdarahan ini terdapat di area
yang diperdarahi oleh arteri kecil seperti pada talamus, putamen, substansi
alba, pons, dan serebelum.
Pada individu normal terdapat sistem autoregulasi arteri serebral,
yaitu bila tekanan darah sistemik meningkat maka pembuluh serebral akan
mengadakan vasokonstriksi, sebaliknya bila tekanan darah sistemik
menurun maka pembuluh serebral akan bervasodilatasi; dengan demikian
aliran darah ke otak tetap konstan. Batas atas tekanan darah sistemik ialah
tekanan darah sistolik 150-200 mmHg dan diastolik 110-120 mmHg. Ketika
tekanan darah sistemik meningkat, pembuluh serebral akan berkonstriksi,

18
namun bila keadaan ini terjadi selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun,
maka akan menyebabkan degenerasi lapisan otot pembuluh serebral, yang
selanjutnya menyebabkan pembuluh diameter lumen pembuluh darah
menjadi sulit berubah.
Pada hipertensi kronis, pembuluh darah arteriol akan mengalami
perubahan degeneratif yang menyebabkan dinding pembuluh darah arteriol
menjadi lemah sehingga akan menimbulkan mikroaneurisma yang tersebar
disepanjang pembuluh darah yang disebut sebagai mikroaneurisma
Charchot-Bouchard, yang berbentuk seperti kantung, menonjol melalui
tunika media yang lemah.
Menurut Kaplan (1990), jika terjadi peningkatan tekanan darah kronis
maka akan menyebabkan kerusakan spesifik pembuluh darah melalui tiga
mekanisme yang saling berhubungan, yaitu: pulsatile flow, endothelial
denudation, dan replikasi sel otot polos. Namun, yang dapat menye-babkan
perdarahan intraserebral ialah mekanisme pulsatile flow, dimana tekanan
darah yang tinggi akan menyebabkan tekanan pada jaringan kolagen dan
elastin dinding pembuluh darah sehingga terjadi kerusakan berupa
medionekrosis, aneurisma, dan perdarahan.
Bila pembuluh darah pecah maka akan terjadi perdarahan atau
hematom sampai dengan maksimal 6 jam, yang akan berhenti sendiri akibat
pembentukan bekuan darah dan ditampon oleh jaringan sekitarnya. Jika
perdarahan terus berlanjut dengan volume yang besar maka akan merusak
struktur anatomi otak, ditambah lagi terjadinya edema awal disekitar
hematom akibat pelepasan dan akumulasi protein serum aktif osmotik dari
bekuan darah. Akibatnya akan terjadi destruksi massa otak dan peninggian
tekanan intrakranial yang menyebabkan tekanan perfusi otak menurun serta
terganggunya aliran darah otak. Proses ini akan berlanjut dengan terjadinya
kaskade iskemik dan edema sitotoksik yang akan menyebabkan kematian
sel otak, dan massa di dalam otak akan bertambah sehingga terjadi herniasi

19
otak yang dapat menyebabkan kematian.
Tujuan terapi perdarahan intraserebral antara lain: mencegah akibat
buruk dari peningkatan tekanan intracranial, mencegah komplikasi
sekunder akibat menurunnya kesadaran, misalnya gangguan pernapasan,
aspirasi, hipoventilasi, dan identifikasi sumber perdarahan yang mungkin
dapat diperbaiki dengan tindakan bedah.
C. Konsep Teori Craniotomy
a. Pengertian
Kraniotomi adalah suatu tindakan bedah yang dilakukan untuk
mengatasi berbagai macam kerusakan yang terjadi pada otak dan merupakan
tindakan rekomendasi apabila terapi lain yang dilakukan tidak efektif.
Kraniotomi berarti membuat lubang (-otomi) pada tulang tengkorak
(cranium). Prosedur operasi kraniotomi dilakukan dengan cara membuka
sebagian tulang tengkorak sebagai akses ke intrakranial guna mengetahui
dan memperbaiki kerusakan yang terjadi pada otak. Kraniotomi dapat
dilakukan secara intratentorial maupun supratentorial, atau kombinasi dari
keduanya. Tindakan ini biasanya dilakukan di rumah sakit yang memiliki
departemen bedah saraf dan ICU (Pratama dkk., 2020).
Ukuran lebar kraniotomi beragam mulai dari beberapa milimeter
(burr holes) sampai beberapa sentimeter (keyhole), tergantung pada masalah
dan terapi yang dibutuhkan. Kraniotomi dilakukan menggunakan pisau
khusus, bagian cranium yang telah dipotong (bone flap) dibuka agar
pelindung otak (dura) terlihat. Kemudian dura juga dibuka untuk
mengekspos bagian otak. Bone flap diletakkan kembali dan ‘direkatkan’
pada cranium di akhir prosedur dengan menggunakan peralatan khusus
(Dunn et al., 2016).
b. Indikasi
Indikasi dilakukannya kraniotomi yaitu trauma kepala dan non trauma
kepala. Indikasi terbanyak dilakukannya kraniotomi adalah non trauma

20
dengan etiologi berupa tumor otak, hidrosefalus, dan aneurisma serebral.
Berikut ini merupakan indikasi dasar dilakukannya kraniotomi (Gracia &
Fabregas, 2014):
1) Clipping cerebral aneurism
2) Reseksi dari arteri venous malformation (AVM)
3) Reseksi dari tumor otak
4) Biopsi dari jaringan otak yang abnormal
5) Mengangkat abses otak
6) Evakuasi bekuan darah (contohnya: epidural, subdural
dan intraserebral)
7) Insersi alat implan (contohnya ventrikuloperitoneal shunt/VP shunt,
deep brain stimulator/DBS, elektroda subdural).
8) Reseksi dari sumber epilepsi
9) Dekompresi mikrovaskular (contohnya pada kasus trigeminal
neuralgia)
10) Menurunkan tekanan intrakranial yang tinggi (kraniektomi)
c. Komplikasi
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada pasien post operasi
kraniotomi yaitu sebagai berikut (Laurent dkk., 2017):
1) Peningkatan tekanan intrakranial
2) Perdarahan dan syok hipovolemik
3) Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
4) Infeksi
Radang selaput otak terjadi pada sekitar 0,8-1,5% dari beberapa individu
yang dilakukan kraniotomi. Organisme yang paling sering timbul adalah
staphylococus auereus yang dapat menyebabkan pernanahan. Pencegahan
yang dapat dilakukan untuk menghindari infeksi pada luka yaitu dengan
perawatan luka yang memperhatikan aseptik dan antiseptik.
5) Kejang

21
Pasien diberikan obat anti kejang selama tujuh hari post operasi
kraniotomi. Biasanya obat yang diberikan adalah Phenytoin, tetapi
penggunaan Levetiracetam semakin meningkat karena risiko interaksi obat
yang lebih rendah.
6) Nyeri
Nyeri post operasi kraniotomi sering terjadi dan derajat nyerinya mulai
dari sedang sampai berat. Kebocoran cairan serebrospinal menyebabkan
hipotensi intratekal yang mengakibatkan traksi pada meningen dan saraf
kranial. Jika pasien mengalami nyeri kepala yang signifikan setelah
drainase, jumlah CSF yang terkuras dapat dikurangi atau drainase dapat
dihentikan karena hal ini dapat mengindikasikan hipotensi intrakranial yang
signifikan.
7) Kematian
Risiko kematian pasien post operasi kraniotomi dipengaruhi oleh
beberapa faktor, antara lain diagnosis penyakit atau cedera yang menjadi
indikasi dilakukannya kraniotomi, faktor usia, skor GCS (Glasgow Coma
Scale), komplikasi post operasi dan beberapa faktor medis lainnya (Johans
et al., 2017).

22
BAB III

TINJAUAN KASUS

A. Pengkajian Pre Anestesi


Hari/tanggal : Rabu, 29 November 2022
Jam : 13.15 WIB
Tempat : IBS RSUD dr.Chasbullah Kota Bekasi
Metode : Wawancara, observasi, pemeriksaan fisik, studi dokumen
Sumber data : Klien dan rekam medis
Oleh : Erdi Rosadi
Rencana tindakan : Craniotomy
1. Identitas Pasien
Nama : Bp. S.
Umur : 74 Tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Suku bangsa : Indonesia
Alamat : Jl Prof Moh Yamin no 26, Duren Jaya, Bekasi
Timur
No RM : 0347xxxx
Diagosa pre operasi : ICH
Tindakan operasi : Craniotomy
Tanggal operasi : 30 November 2022
Dokter bedah : dr. Anandito Sp.BS
Dokter anestesi : dr. Randolf Sp.An
2. Identitas Penanggungjawab
Nama : Ny. S
Umur : 46 Tahun

23
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Hubungan : Anak pasien

B. Anamnesis
1. Keluhan Utama :
Pasien mengalami penurunan kesadaran saat dibawa ke Rumah Sakit dan
didapatkan penilaian pada GCS = E2M4V2. Pasien sebelumnya ditemukan
oleh keluarga terjatuh di kamar mandi sekitar pukul 03.00 dan baru diketahui
pada pukul 06.30. Pada kamar mandi juga ditemukan ada muntahan
berwarna hitam. Saat ditemukan oleh keluarga pasien sudah tidak sadarkan
diri yang sebelumnya pasien masih bisa berjalan menuju kamar mandi
sendiri dan tidak ada keluhan nyeri kepala oleh pasien.
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien An. B diantar ke RSCAM dengan keluhan adanya penurunan
kesadaran dan pasien juga memiliki riwayat menderita sakit kepala
sebelumnya, setelah dilakukan pengkajian didapatkan diagnosa medis ICH,
dengan komorbid adanya hipertensi yang tidak terkontrol yang akan
direncanakan operasi Craniotomy menggunakan general anestesi dengan
endotracheal tube.
3. Riwayat Penyakit Dahulu : Mengeluh adanya sakit kepala dan juga riwayat
hipertensi tidak terkontrol
4. Riwayat penyakit Keluarga : Tidak memiliki riwayat penyakit keluarga
5. Riwayat Operasi : Tidak ada
6. Alergi Obat : Tidak ada
7. Riwayat Merokok : Tidak ada
8. Riwayat Konsumsi Minuman Alkohol : Tidak ada
9. Status Gizi
- BB awal : 68 kg
- BB sebelum operasi : 68 kg

24
- TB : 170 cm
68
- IMT : (1.70)2
= 23.5 kg/m² (Normal)

10. Pemeriksaan Fisik


a. Breath
- RR 20x/menit
- Tidak ada sumbatan jalan nafas
- Pasien mengalami sesak nafas
- Suara nafas ronchi
b. Blood
- TD : 200/90 mmHg
- Nadi : 102 x/menit
- SpO2 : 91%
c. Brain
- Kesadaran : Somnolen
- GCS : 8 E2V4M2
d. Bladder
Produksi urin : Dipasang kateter
e. Bowel
- Organ hati dalam keadaan normal
- Terdengar bising usus
f. Bone
- Tidak ada kaku kuduk
- Tidak ada fraktur
- Tidak ada kelainan tulang belakang
11. Status Generalis
1) Kepala

25
Tidak terdapat benjolan pada kepala pasien dan kepala pasien juga tidak
tampak adanya hematoma. Terdapat adanya hasil hematoma pada hasil CT-
scan terhadap bagian otak pasien.
(normal/tidak normal)
2) Mata
Tidak ada gangguan bentuk dan fungsi mata. Konjungtiva agak anemis, tidak
ikterik, reflek cahaya bagus.
(normal/tidak normal)
3) Hidung
Bentuk dan fungsi normal, tidak ada infeksi dan nyeri tekan
(normal/tidak normal)
4) Mulut
Mukosa bibir kering, tidak ada gangguan perasa.
(normal/tidak normal)
5) Telinga
Bentuk normal , posisi imetris , tidak ada sekret tidak ada tanda-tanda infeksi
dan tidak ada gangguan fungsi pendengaran.
(normal/tidak normal)
6) Leher
Tidak ada pembesaran kelenjar tyroid, tidak ada kelainan, leher normal.
(normal/tidak normal)
7) Thoraks
Pulmo
Inspeksi : Pengembangan paru kiri dan kanan semetris
Palpasi : Gerakan dinding dada kanan dan kiri simetris
Perkusi : Resonan atau sonor, seperti dug, dug dug
Auskultasi : Ronchi
Pada hasil pemeriksaan didapatkan hasil bahwa pasien sugestif TB paru
aktif, Bronchopneumonia

26
(normal/tidak normal)
Jantung
Inspeksi : Detak jantung normal
Palpasi : Detak jantung terasa pada pasien
Perkusi : Bunyi pekak/ datar
Auskultasi : Bunyi Lup-Dup
(normal/tidak normal)
12. Pemeriksaan Psikologis
Pasien mengalami tachypnea dan pasien nampak ketakutan dan cemas akan
dilakukan tindakan operasi
13. Pemeriksaan LEMON
L (Look) = Tidak ada trauma wajah, gigi seri hilang, gigi tidak goyang, tidak
ada gigi palsu.
E (Evaluate) = Kemampuan membuka mulut 3 jari, jarak laring ke dagu 2
jari, jarak laring ke trakea 2 jari
M (Mallampati) = Hanya terlihat palatum molle dan uvula (Skor
Mallampati 2)
O (Obstruction) = Tidak ada penghalang
N (Neck Mobility) = Tidak ada gangguan pergerakkan leher
14. Pemeriksaan Skor Mallampati
Grade 1 = Terlihat palatum molle, uvula, dan pilar faring
Grade 2 = Hanya terlihat palatum molle dan uvula
Grade 3 = Hanya terlihat palatum molle
Grade 4 = Tidak tampak palatum molle, uvula, dan pilar faring
Pada pemeriksaan skor mallampati pada Bp. S. mendapat hasil skor
mallampati grade 2

27
15. Pemeriksaan penunjang
a. Laboratorium
22 Oktober 2022
Nama Test Hasil Nilai Satuan
Rujukan

HEMATOLOGI

Darah Rutin DHF :

Lekosit H 18.6 5-10 103/uL

Hemoglobin L 11.7 13-17.5 g/dL

Hematokrit L 33.0 40-54 %

Trombosit 270 150-400 103/uL

KIMIA KLINIK

Fungsi Ginjal

Ureum H 70 20-40 mg/dL

Kreatinin + Egfr

Kreatinin H 2.49 0.5-1.5 mg/dL

Diabetes

Glukosa Darah Sewaktu H 170 60-110 mg/dL

Elektrolit

Natrium (Na) 140 135-145 mmol/L

Kalium (K) 3.9 3.5-5.0 mmol/L

Clorida (Cl) 107 94-111 mmol/L

28
HEMOSTASIS

PT

PT 14.4 11.5-15.5 detik

PT Control 16.1 12-16.5 detik

APPT

APPT 29.7 20-40 detik

APPT Control 33.5 27.1-40.5 detik

D-Dimer H 1.59 0.036-0.708 ug/mLFEU

IMUNOSEROLOGI

HbsAg Non reaktif Non reaktif -

Antigen SARS COV-2 Non reaktif Non reaktif

KIMIA KLINIK

Fungsi Hati

Protein Total 7.70 6.6-8.0 g/dL

Albumin L 3.30 3.5-4.5 g/dL

Globulin H 4.40 1.5-3.0 g/dL

AST (SGOT) H 41 < 37 U/L

ALT (SGPT) 17 < 41 U/L

Alkali Phospat 56 50-190 U/L

Analisa Gas Darah

pH H 7.485 7.35-7.45

29
PCO2 L 22.5 mmHg 35-45

PO2 H 130.7 mmHg 83-108

O2 Saturasi (SO2%) H 99.3 % 95-98

HCO3 L 17.2 mmol/L 22-26

TCO2 L 17.9 mmol/L 23-27

BE ecf L -6.6 mmol/L -2-3

BE blood L -4.0 mmol/L -2-3

Std HCO3 (SBC) L 21.1 mmol/L 22-26

O2 content 17.3 ml/dl

O2 Cap 17.0 ml/dl

A 401.1 mmHg

AaDO2 270.3 mmHg

Suhu 36.5

Hb 12.2 g/dL

O2 10 L

FIO2 60.0 %

LEMAK

Profile Lipid

Trigliserida 51 <160 mg/dL

Kolesterol total 116 <200 mg/dL

Kolesterol HDL 46 35-55 mg/dL

30
Kolesterol LDL 60 <160 mg/dL

16. Status ASA


1 2 3 4 5 E

Bp. S. merupakan pasien geriatric dengan komorbid sakit kepala dan adanya
hipertensi yang tidak terkontrol sehingga termasuk dalam ASA 3 yang akan
dilakukan tindakan Craniotomy.

C. Persiapan Penatalaksanaan Anestesi


1. Persiapan Operasi
a. Pasien puasa selama 8 jam, pasien mulai puasa jam 01.00 WIB.
b. Mencocokan identitas (nama pasien, diagnosa, RM)
c. Hasil pemeriksaan penunjang, lab, riwayat alergi obat, operasi, serta
penyakit penyerta pada pasien.
d. Memastikan inform concent, persetujuan operasi, dan anestesi
e. Pasien di masukan ke ruangan, dan dilakukan serah terima pasien antara
perawat bangsal dan perawat OK
f. Memeriksa kembali pasien memakai gigi palsu atau perhiasan
g. Pasien dibawa ke kamar operasi dengan menggunakan brankar
2. Persiapan Alat Anestesi Umum
a. Persiapan Mesin dan STATICS :
- Mesin anestesi
- Sumber gas (O2 dan N20)
- Stetoscope, dan laryngoscope machintosh dengan blade no.4 serta
videolaryngoscope
- ETT Oral no 6, 7, 7.5
- OPA (Kuning)
- Plester/hypafix
- Stilet/mandarin dan magil forceps

31
- Conector
- Suction, selang dan mesin suction
- Spuit 3cc, 5 cc, dan 10 cc
- Sungkup muka / face mask no 3 dan 4
- Handscone
b. Persiapan bedside monitor yaitu tekanan darah, nadi, pulse oxymetri
c. Siapkan lembar laporan durante anestesi
3. Persiapan Obat
a. Obat Premedikasi :
Ondansentron 4 mg
b. Obat Induksi :
Fentanyl 100 mcg
Propofol 120 mg
c. Obat Muscle relaxan :
Rocuronium 30 mg
d. Obat Anti Emetik :
-
e. Obat Analgetik :
Ketorolac
f. Obat Anti Inflamasi :
Dexamethasone 10 mg
g. Obat Hemostatik :
-
h. Obat Emergency :
-
i. Gas Anestesi Inhalasi :
O2 : 2 lpm
N2O : 2 lpm
Sevoflurance : 1.5 – 3 vol %

32
j. Cairan infus
Kristaloid :
RL 1000 ml
a) Maintenance cairan :
1. Kebutuhan Cairan Basal (M) :
= 2 x BB
= 2cc x 68 kg
= 136 cc
2. Pengganti Cairan Puasa (PP)
= Jam puasa x M
= 8 jam x 136 cc
= 1088 cc
3. Stress Operasi (SO)
= Jenis operasi (b/s/k) x BB
= 4 x 68 kg
= 272 cc
4. Kebutuhan cairan :
1) Jam I = M + (1/2) PP + SO
= 136 cc + 1/2(1088) cc + 272 cc
= 952 cc
2) Jam II = ½(M) + (1/4)PP + ½(SO) + P
= ½(136 cc) + 1/4(1088) cc + ½(272 cc) + 3(100)
= 776 cc

D. Pengkajian Intra Anestesi


b) Jenis Pembedahan : Craniotomy
c) Jenis Anestesi : General Anestesi
d) Teknik Anestesi : General Anastesi dengan teknik ET Oral no.7.5
e) Anestesi Mulai : 30 November 2022, pukul 13.15 WIB

33
f) Anestesi Selesai : 30 November 2022, pukul 14.45 WIB
g) Operasi Mulai : 30 November 2022, pukul 13.25 WIB
h) Operasi Selesai : 30 November 2022, pukul 14.35 WIB
i) Premedikasi : Ondansentron 4 mg
j) Induksi : Fentanyl 100 mcg
Propofol 120 mg iv
Rocuronium 30 mg
k) Medikasi tambahan : Ketorolac 30 mg
Dexamethasone 10 mg
l) Maintanance : O2 : 2 lpm
N2O : 2 lpm
Sevoflurance : 1.5- 3 vol %
m) Intubasi : Laringoskop blade no 4
n) Oral Endotracheal Tube no. 7.5
o) Posisi Anestesi : Supine
p) Cairan Durante Operasi : RL 1000 ml
q) Pemantauan Tekanan Darah dan HR
r) Jumlah perdarahan : +- 100 ml
s) Balance cairan
a. Intake: Kristaloid 1000 ml
b. Output: Perdarahan +-100 cc
Urin +-150 cc

Tabel Monitoring Durante Anestesi


No Waktu TD HR SpO2 Tindakan
.
1. 13.15 200/90 mmHg 102 x/mnt 91% Injeksi Obat
Induksi :
Fentanyl 100 mcg
Propofol 120 mg

34
Rocuronium 30 mg
Sevoflurance 2%
2. 13.20 140/86 mmHg 103 x/mnt 96% Intubasi ET no 7.5
3. 13.25 130/82 mmHg 94 x/mnt 98% Injeksi obat :
Dexametashone 10 mg
Ondansentron 4 mg
4. 13.30 116/75 mmHg 92 x/mnt 99% Operasi mulai
Sevoflurance 2%
5. 13.45 122/73 mmHg 102 x/mnt 99% Pergantian cairan RL kedua
6. 13.50 118/79 mmHg 107 x/mnt Pemberian analgetik
ketorolac 30 mg
7. 14.30 123/78 mmHg 93 x/mnt 98% Operasi Selesai
8. 14.45 113/75 mmHg 96 x/mnt 96% Anestesi Selesai
Pasien tidak diekstubasi dan
pindah ke ICU dengan on
ventilasi

E. Pengkajian Post Anestesi


Pasien langsung pindah menuju ICU

F. Analisa Data

No. Data Masalah Etiologi


Pre Anestesi
1. DS : - Ansietas Berhubungan
DO : dengan kurang
- Pasien tampak takut paham tentang
akan dioperasi pembiusan/operasi,
- Gelisah takut menjalani
- TD : 115/70 mmHg tindakan operasi,
- N : 108 x/menit belum pernah
- R : 18 x/menit mempunyai
- SpO2 : 100% riwayat
pembiusan/operasi.
2. DS : Nyeri akut Berhubungan
Pasien mengatakan sakit dengan agen
pada bagian lengan kiri cedera biologis
seperti rasa perih linu, (fraktur humeri)
dengan nyeri yang hilang

35
timbul dan datang saat
bergerak, skala nyeri 5.
DO :
- Pengkajian Nyeri :
P : Nyeri saat
aktivitas
Q : Nyeri terasa
seperti perih linu,
hilang timbul
R : Nyeri terasa di
lengan kiri
S : Skala 5
T : Nyeri sering terasa bila
menggerakan anggota tubuh
Intra Anestesi
1. DS : - Resiko Berhubungan
DO : Perdarahan dengan prosedur
- Terdapat perdarahan tindakan pro
pada daerah operasi Craniotomy
- Pasien terpasang
infus RL 50 tpm pada
kaki kanan
- Pasien terpasang
infus NaCl 25 tpm
pada kaki kiri
- Monitoring Vital Sign
Intra Operasi
- Pasien dilakukan
operasi Pro
Craniotomy dengan
general anestesi
teknik ET oral
1. DS : - Pola nafas Berhubungan
DO : tidak efektif dengan disfungsi
- Injeksi induksi neuromuscular
- Nafas pendek dampak sekunder
- RR 28x/mnt obat general
anestesi
- TD : 98/65 mmHg
- HR : 78x/mnt
Pasien terpasang ETT
Post Anestesi

36
-

G. Masalah dan Prioritas Masalah


a. Pre-Anestesi
1. Cemas b/d kurang pengetahuan masalah pembiusan /operasi
2. Nyeri akut b/d agen cedera biologis

a. Intra-Anestesi
1. Risiko perdarahan b/d efek pembedahan
2. Pola nafas tidak efektif b/d berhubungan dengan disfungsi neuromuscular
dampak sekunder obat general anestesi
b. Post-Anestesi
-

37
H. Intervensi, Implementasi, dan Evaluasi
Masalah Tujuan Rencana Tindakan/ Implementasi Evaluasi
Pre-Anestesi
1. Cemas b/d kurang S : Pasien mampu - Kaji tingkat kecemasan S:-
pengetahuan masalah mengidentifikasi dan - Orientasikan dengan tim
pembiusan /operasi mengungkapkan gejala cemas anestesi/kamar operasi O:
M : Vital sign dalam batas - Jelaskan jenis tindakan - Pasien tampak paham
DS : Pasien normal anestesi yang akan dengan tindakan
mengatakan belum tahu A : Mengidentifikasi, dilakukan anestesi yang akan
tentang proses / akibat mengungkapkan dan - Beri dorongan pasien untuk diberikan
anestesi maupun menunjukkan teknik untuk mengungkapkan perasaan - Pasien lebih tenang
operasi yang akan mengontrol cemas - Damping pasien untuk - Monitoring vital sign
dilakukan R : Postur tubuh, ekspresi mengurangi rasa cemas TD : 101/52 mmHg
DO : Gelisah wajah, bahasa tubuh dan - Ajarkan teknik relaksasi N : 90 x/menit
TD : 115/70 mmHg tingkat aktivitas menunjukan - Kolaborasi untuk pemberian R : 14 x/menit
N : 108 x/menit berkurangnya kecemasan obat penenang SpO2 : 100%
R : 18 x/menit T : Setelah dilakukan
SpO2 : 100% penanganan selama 5 menit A : Masalah teratasi
sebelum operasi, cemas pasien sebagian.
berkurang/hilang P : Lanjutkan intervensi

2. Nyeri akut b/d agen S : Pasien mampu - Mengobservasi tanda-tanda vital S : pasien mangatakan
cedera biologis mengidentifikasi dan klien nyeri sudah sedikit
mengungkapkan rasa nyeri - Mengkaji tingkatan nyeri dengan berkurang
DS : Pasien M : Vital sign dalam batas menggunakan pengkajian PQRST
mengatakan sakit pada normal - Mengajarkan klien teknik Pereda O:
bagian lengan kiri A : Mengidentifikasi, nyeri non-invasif dengan relaksasi - Monitoring vital sign
seperti rasa perih linu, mengungkapkan dan nafas dalam Pre Anestesi
dengan nyeri yang menunjukkan teknik untuk - Menjelaskan penyebab nyeri TD : 119/80 mmHg
hilang timbul dan mengontrol nyeri kepada klien N : 82 x/menit
datang saat bergerak, R : Postur tubuh, ekspresi - Mengatur posisi senyaman R : 15 x/menit
skala nyeri 5. wajah, bahasa tubuh dan mungkin bagi klien SpO2 : 100%

38
DO : tingkat aktivitas menunjukan - - Berkolaborasi dengan - Pengkajian Nyeri
- Pengkajian berkurangnya nyeri dokter dalam pemberian P : Nyeri saat aktivitas
Nyeri : T : Setelah dilakukan tindakan analgetik sesuai indikasi Q : Nyeri terasa
P : Nyeri saat selama 1x24 jam nyeri seperti perih linu,
aktivitas berkurang atau hilang hilang timbul
Q : Nyeri terasa R : Nyeri terasa di
seperti perih lengan kiri
linu, hilang S : Skala 3
timbul T : Nyeri sering terasa
R : Nyeri terasa bila menggerakan
di lengan kiri anggota tubuh
S : Skala 5 T : Nyeri sering terasa
T : Nyeri sering bila menggerakan
terasa bila anggota tubuh
menggerakan
anggota tubuh A : Masalah teratasi
T : Nyeri sering terasa
bila menggerakan P : Hentikan intervensi
anggota tubuh
Intra-Anestesi
1. Risiko perdarahan S : pasien mengalami - Siapkan obat-obatan S:-
b/d efek pembedahan perdarahan emergency.
DO: Pasien dalam M : TTV dalam batas normal - Monitor tanda dan gejala O:
pembiusan A : memberikan terapi cairan perdarahan - Jumlah perdarahan
TD: 90/52 mmHg RL dan NaCl dengan - Monitoring jumlah sekitar 50 cc
N: 89x/menit menggunakan double infus perdarahan - TTV dalam batas
R: 14 x/menit R : Pasien aman, tidak ada - Memberikan terapi cairan normal
SpO2 : 98% perdarahan besar, TTV normal - Kolaborasi pemberian obat TD: 90/52 mmHg
T : Setelah dilakukan tindakan pengontrol perdarahan N: 89x/menit
diharapkan tidak terjadinya - Kolaborasi pemberian R: 14 x/menit
risiko perdarahan akibat produk darah, jika perlu SpO2 : 98%
pembedahan - Terapi cairan infus RL
50 tpm

39
- Terapi cairan infus
NaCl 25 tpm

A : Resiko perdarahan
teratasi

P : Hentikan intervensi
2. Pola nafas tidak S : Tidak terjadi spasme dan - Jaga jalan nafas S:-
efektif b/d disfungsi
hipoksia, tidak sianosis, tidak - Monitoring pola nafas
neuromuscular dampaknafas pendek - Monitoring tanda O:
sekunder obat general
M : TTV dalam batas normal, hipoventilasi - Pola nafas efektif
anestesi RR normal, SPO2 normal, - Siapkan obat-obatan - Nafas spontan
DO : Ekspansi dada simetris emergency. - RR : 16x/mnt
A : Pasien dapat bernafas
- Injeksi propofol - Monitor tanda dan gejala - SPO2 sepanjang
spontan menjelang akhir terjadinya spasme operasi antara 99 –
100 mg
operasi, frekuensi nafas - Monitoring TTV pasien 100 %
- Fentanyl 75 normal, irama sesuai dengan - Kolaborasi pemberian obat - Kulit hangat dan tidak
yang diharapkan, antidotum relaxan pucat
mcg
R : Pasien aman, tidak terjadi - Tidak terdapat sianosis
- Nafas pendek spasme ataupun hipoksia, TTV -
normal A : Pola nafas tidak efektif
- RR 28x/mnt
T : Setelah dilakukan tindakan teratasi
- TD:98/52mmHg anestesi diharapkan pola nafas
pasien kembali adekuat P : Hentikan intervensi
- HR : 78x/mnt
Pasien terpasang LMA
Post-Anestesi
-

40
KESIMPULAN
Setelah dilakukan Asuhan kepenataan Anestesi pada Bp.S didapatkan masalah yang
muncul, antara lain:
1. Pre anestesi
a. Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang pembiusan /operasi
teratasi sebagian dengan kriteria yang tertera pada Intervensi, Implementasi, dan
Evaluasi.
b. Nyeri akut b/d agen cedera biologis teratasi dengan kriteria yang tertera pada
Intervensi, Implementasi, dan Evaluasi.
2. Intra anestesi
a. Risiko pola nafas tidak efektif b/d penggunaan obat muscle relaxant teratasi dengan
kriteria yang tertera pada Intervensi, Implementasi, dan Evaluasi.
b. Risiko perdarahan b/d efek pembedahan teratasi dengan kriteria yang tertera pada
Intervensi, Implementasi, dan Evaluasi.
3. Post anestesi
-

Untuk masalah Peri Anestesi yang masih teratasi sebagian diperlukan implementasi
lanjutan sesuai dengan rencana tindakan yang telah direncanakan.

41
DAFTAR PUSTAKA
A’la, M. Z., Dewi, D. P., & Siswoyo, S. (2019). Analisis Masalah Keperawatan pada Pasien
Post Kraniotomi di RSD Dr. Soebandi Jember (Studi Retrospektif Januari 2016 –
Desember 2017). Jurnal Keperawatan Respati Yogyakarta, 6(3), 677.
https://doi.org/10.35842/jkry.v6i3.371
Apriawan, T. (2017). Cedera otak: Seri perdarahan intrakranial dan manajemen pembedahan.
Surabaya: Universitas Airlangga.
Apriawanti, V., Saragih, S. G. R., & Natalia, D. (2019). Hubungan antara Glasgow Coma
Scale dan Lama Perawatan pada Pasien Cedera Kepala dengan Perdarahan Subdural.
Jurnal Kesehatan Khatulistiwa, 5(1), 688–697.
Chen, Y., Kuo, Y., & Shen, R. (2018). An experience of post-craniotomy nursing care for a
meningioma patient in a neurointensive care unit. Australian Critical Care, 31(2), 133.
https://doi.org/10.1016/j.aucc.2017.12.058
Dunn, L. K., Naik, B. I., Nemergut, E. C., & Durieux, M. E. (2016). Post-Craniotomy Pain
Management : Beyond Opioids. Current Neurology and Neuroscience Reports.
https://doi.org/10.1007/s11910-016-0693-y
Gracia, I., & Fabregas, N. (2014). Craniotomy in sitting position: Anesthesiology
management. Current Opinion in Anaesthesiology, 27(5), 474–483.
https://doi.org/10.1097/ACO.0000000000000104
Johans, S. J., Garst, J. R., Burkett, D. J., Grahnke, K., Martin, B., Ibrahim, T. F., Anderson,
D. E., & Prabhu, V. C. (2017). Identification of Preoperative and Intraoperative Risk
Factors for Complications in the Elderly Undergoing Elective Craniotomy. World
Neurosurgery, 107, 216–225. https://doi.org/10.1016/j.wneu.2017.07.177
Li, J., Gelb, A. W., Flexman, A. M., Ji, F., & Meng, L. (2016). Definition , evaluation , and
management of brain relaxation during craniotomy. 116(April), 759–769.
https://doi.org/10.1093/bja/aew096
Lonjaret, L., Guyonnet, M., Berard, E., Vironneau, M., Peres, F., Sacrista, S., Ferrier, A.,
Ramonda, V., Vuillaume, C., Roux, F. E., Fourcade, O., & Geeraerts, T. (2017).
Postoperative complications after craniotomy for brain tumor surgery. Anaesthesia
Critical Care and Pain Medicine, 36(4), 213–218.
https://doi.org/10.1016/j.accpm.2016.06.012
Patrascu, E., Manea, C., & Sarafoleanu, C. (2017). Current insights in CSF leaks: a literature
review of mechanisms, pathophysiology and treatment options. Romanian Journal of
Rhinology, 7(27), 143–151. https://doi.org/10.1515/rjr-2017-0016
Phang, S. Y., Whitehouse, K., Lee, L., Khalil, H., McArdle, P., & Whitfield, P. C. (2016).
Management of CSF leak in base of skull fractures in adults. British Journal of
Neurosurgery, 30(6), 596–604. https://doi.org/10.1080/02688697.2016.1229746
Pratama, R. A., Laksono, B. H., & Fatoni, A. Z. (2020). Manajemen Nyeri Akut Pasca-
Kraniotomi. 1(3), 28–38.
Putri, N. A. (2022). TATALAKSANA ANESTESI PADA PASIEN DENGAN SUBDURAL
HEMORRHAGE. Jurnal Penelitian Perawat Profesional, 4(1), 27–34.

42
Ridhoni, M., Prasetyo, E., & Lampus, H. L. (2021). Klasifikasi Patah Tulang Dasar Kepala.
E-CliniC, 9(2), 472. https://doi.org/10.35790/ecl.v9i2.34787
Robinson, D. H., & Toledo, A. H. (2012). Historical development of modern anesthesia.
Journal of Investigative Surgery, 25(3), 141–149.
https://doi.org/10.3109/08941939.2012.690328

American Society of Anesthesiologist. (2014). ASA Physical Status Classification System.


America: ASA House of Delegates https://www.asahq.org/standards-and-guidelines/asa-
physical-statusclassification-system diakses pada tanggal 24 November 2021

Pramono, Ardi. (2015). Buku Kuliah Anestesi. Jakarta: EGC

Robinson, D. H., & Toledo, A. H. (2012). Historical development of modern anesthesia.


Journal of Investigative Surgery, 25(3), 141–149.

Hasyim, D., Samodro, R., Sasongko, H., & Leksana, E. (2012). Jurnal Anestesiologi Indonesia.
Jurnal Anestesi.

43

Anda mungkin juga menyukai