Anda di halaman 1dari 21

Referat

FRONTO-ORBITAL ADVANCEMENT SURGERY


R. Chandra Jaya Listiandoko, dr.

Magda Rosalina Hutagalung, dr., Sp.BP-RE (KKF)

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I

BEDAH PLASTIK REKONSTRUKSI DAN ESTETIK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS AIRLANGGA/

RSUD DR. SOETOMO

SURABAYA
2021 Referat

FRONTO-ORBITAL ADVANCEMENT SURGERY

i
R. Chandra Jaya Listiandoko, dr.

Magda Rosalina Hutagalung, dr., Sp.BP-RE (KKF)

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I

BEDAH PLASTIK REKONSTRUKSI DAN ESTETIK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS AIRLANGGA/

RSUD DR. SOETOMO

SURABAYA

2021

ii
LEMBAR PENGESAHAN

Referat dengan judul “Fronto-Orbital Advancement Surgery”

Telah memenuhi persyaratan dan telah disetujui

Pada Tanggal 6 April 2021

Pembimbing

Magda Rosalina Hutagalung, dr., Sp.BP-RE (KKF)

NIP 19680108 201410 2 001

iii
Mengetahui,

Koordinator Program Studi PPDS-I

Bedah Plastik Rekonstruksi dan Estetik

Dr. dr. Iswinarno Doso Saputro, Sp.BP-RE (K)

NIP 19630415 199003 1 016

iv
DAFTAR ISI

halaman
Sampul Dalam ......................................................................................... i
Lembar Pengesahan ................................................................................ ii
Daftar Isi ................................................................................................. iii
Daftar Gambar ........................................................................................ v
BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................. 1
1.1 Latar Belakang .............................................................. 1
1.2 Tujuan Penulisan ........................................................... 2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ........................................................ 3
2.1 Definisi Craniosynostosis .............................................. 3
2.2 Fronto-Orbital Advancement ........................................ 3

2.2 Teknik Pembedahan……………………………...………… 6

BAB 3 PENUTUP .............................................................................. 31


Daftar Pustaka ......................................................................................... 32

v
DAFTAR GAMBAR

halaman
Gambar 2.1 Keloid telinga disebabkan oleh tindik telinga .................. 8
Gambar 2.2 Keloid dada ...................................................................... 8
Gambar 2.3 Parut hipertrofik pada laki-laki berusia 34 tahun, 8 bulan
setelah luka bakar dengan 60% total body surface area
pada ektremitas atas dan tangan ....................................... 9
Gambar 2.4 Kontraktur aksila .............................................................. 10
Gambar 2.5 Algoritma parut hipertrofik paska luka bakar .................. 21
Gambar 2.6 Penggunaana z-plasty pada kontraktur tangan ................. 22

vi
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Craniosynostosis didefinisikan sebagai fusi prematur dari satu atau lebih sutura-sutura

kranial, sehingga mengakibatkan perubahan bentuk cranial vault (Tahiri, et al., 2017). Setiap

sutura kranial dapat mengalami ossifikasi secara prematur tetapi fusi paling sering terjadi di

sutura sagital (40-55%), diikuti oleh sutura koronal (20-25%), sutura metopik (5-15%), dan

sutura lambdoid (1-5%) (Mendonca, et al., 2015). Craniosynostosis selain mengganggu

pertumbuhan kranial, juga mempengaruhi tulang-tulang kranial dan tulang-tulang wajah,

mengakibatkan terjadinya deformitas. Bukan hanya deformitas saja, kasus yang tidak

ditangani dapat mengakibatkan atrofi otak, peningkatan tekanan intrakranial, retardasi

mental, komplikasi okular, dan atrofi saraf optik (El-Tantawy, et al., 2018).

Craniosynostosis anterior melibatkan sutura metopik dan sutura koronal yang

mengakibatkan perubahan bentuk tulang kranium, yakni trigonocephaly pada

craniosynostosis metopik, brachycephaly pada craniosynostosis koronal bilateral, dan

plagiocephaly anterior pada craniosynostosis koronal unilateral. Baru-baru ini, koreksi bedah

pada craniosynostosis metopik dan craniosynostosis koronal melibatkan frontoorbital

advancement yang bertujuan untuk memperbaiki bentuk tulang kranium dan memberikan

ruang untuk pertumbuhan otak yang memadai (El-Tantawy, et al., 2018).

Fronto-orbital advancement merupakan pilihan bedah ketika cranial vault anterior

terlibat. Tujuan bedah fronto-orbital advancement ada tiga yakni untuk melepaskan sutura

yang mengalami sinostosis dan dekompresi calvarial vault, untuk membentuk kembali

calvarial vault dan memajukan tulang frontal, dan untuk memajukan supraorbital bar yang

mengalami retrusi. Dengan demikian meningkatkan perlindungan terhadap bola mata dan

1
peningkatan penampilan estetika (Mendonca, et al., 2015). Referrat ini dibuat untuk

memahami Fronto-orbital advancement surgery secara umum.

1.2 Tujuan Penulisan

1. Memahami tentang Fronto-Orbital Advancement Surgery secara umum.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2
2.1. Craniosynostosis

2.1.1 Definisi Craniosynostosis

Craniosynostosis adalah fusi prematur dari satu atau lebih sutura-sutura

kranial (Chung, 2014). Sutura yang menyatu secara prematur tersebut menyebabkan

pertumbuhan yang terbatas di beberapa area dan kompensasi pertumbuhan berlebih di

area lain (Sharma, et al., 2013). Setiap sutura kranial dapat mengalami ossifikasi

secara prematur tetapi fusi paling sering terjadi di sutura sagital (≈60%), diikuti oleh

sutura koronal (≈25%), sutura metopik (≈15%), dan sutura lambdoid (≈2%).

Identifikasi klinis biasanya dalam tahun pertama kehidupan (Kajdic, et al., 2018).

Gambar 2.1 Gambar skema craniosinostosis

(Sumber: Tahiri, et al., 2017)

3
2.1.2 Anatomi Cranium

Cranium (istilah Latin untuk tengkorak) adalah aspek paling cephalad dari

tulang rangka. Cranium terdiri dari 22 tulang dan dibagi menjadi dua wilayah:

neurokranium (yang melindungi otak) dan viscerocranium (yang membentuk wajah)

dan tulang-tulang ini bersatu melalui sutura kranial. Neurokranium terdiri dari tulang

oksipital, dua tulang temporal, dua tulang parietal, tulang sphenoid, ethmoid, dan

frontal—semuanya disatukan dengan sutura. Ada 14 tulang wajah dengan batas

anatomi yang sangat spesifik dan mekanisme perkembangan embriologis yang spesifik.

Termasuk dua nasal conchae, dua tulang hidung, dua tulang maxila, dua tulang palatine,

dua tulang lakrimal, dua tulang zygomatic, tulang mandibula, dan tulang vomer

(Anderson, et al., 2021).

Sutura kranial adalah sindesmosis antara tulang kranial. Syndesmosis adalah

sendi fibrosa antara dua tulang. Sutura koronal melintas diantara tulang frontal dan

parietal. Istilah ini berasal dari kata Latin "corona" dan dari kata Yunani Kuno

"korone," keduanya diterjemahkan menjadi "karangan bunga" atau "mahkota,"

mengacu pada lokasi anatomi di mana mahkota akan ditempatkan. Sutura coronal

adalah salah satu dari empat sutura utama cranium di samping sutura metopik (juga

dikenal sebagai sutura frontal), sutura sagital, dan sutura lambdoid. Sutura koronal

bertemu dengan sutura sagital. Titik ini disebut "bregma" dan menunjukkan posisi

ubun-ubun anterior. Beberapa sutura minor seperti sutura sphenoparietal, sutura

sphenosquamous, sutura sphenofrontal berada di pterion. Pterion adalah daerah

persimpangan tulang frontal, tulang parietal, tulang temporal, dan tulang sphenoid

(Russel, et al., 2020)

4
2.1.3 Etiologi Craniosynostosis

Meskipun beberapa teori untuk mencoba menjelaskan penyebabnya, proses

utama yang menyebabkan fusi abnormal ini bisa terjadi masih belum jelas. Namun

demikian, craniosynostosis telah dikaitkan dengan banyak faktor, yakni genetik,

metabolik dan demografis. Asam valproat telah dikaitkan dengan trigonocephaly.

Antasida yang digunakan pada bayi dengan kolik abdomen juga telah menunjukkan

adanya hubungan. Sinostosis sindromik dikaitkan dengan mutasi genetik, seperti

TWIST dan fibroblastic growth factor receptor (FGFR). Sindrom sindrom yang lebih

sering ditemukan menunjukkan komponen genetik adalah sebagai berikut: Crouzon

(kromosom 10q), Saethre-Chotzen (kromosom 7p) dan Pfeiffer (kromosom 8p).

Sebagian besar sindrom craniosynostoses menunjukkan autosomal dominan. (Espel, et

al., 2016).

Penelitian terkini telah secara mendasar mengubah pandangan kita mengenai

proses pada sutura kranial. Berdasarkan banyaknya bukti, tampak bahwa signaling

pathways memediasi proses pada sutura kranial. Sejumlah model in vitro dan in vivo

telah menunjukkan bahwa duramater di bawahnya (subjacent duramater) membentuk

kompleks sutura kranial melalui mensuplai faktor pertumbuhan (misalnya, faktor

pertumbuhan fibroblas-2) dan elemen-elemen seluler (misalnya, sel osteoblastik) ke

lapisan osteogenik di atasnya dan mesenkim sutura. Temuan genetik craniosynostosis

sindromik dan nonsindromik pada manusia secara tidak langsung mendukung hipotesis

ini. Lebih dari 100 mutasi telah diidentifikasi dalam gen seperti TWIST, NELL-1,

MSX2, GLI3, DAN FGFR1-3. Bagaimana tepatnya mutasi ini menyebabkan

craniosynostosis masih perlu dijelaskan (Chung, 2014).

5
2.2. Fronto-Orbital Advancement

Insisi koronal pertama kali dideskripsikan pada tahun 1907 oleh Hartley dan

Kenyon untuk pembedahan otak (Rajmohan, et al., 2019). Kemudian Babcock

mendeskripsikan penggunaannya dalam berbagai macam kraniotomi, termasuk pada

fraktur traumatis calvarium. Sayatan ini kemudian dipopulerkan oleh laporan Tessier

tentang penatalaksaan bedah pada Sindrom Crouzon dan Sindrom Apert karena

memberikan eksposur yang cukup terhadap fronto-facial junction dengan trauma

minimal dan bekas luka yang tetap tersembunyi di dalam scalp (Staffenberg, et al.,

2019). Insisi koronal mengalami penyempurnaan lebih lanjut selama beberapa dekade

berikutnya, termasuk insisi zigzag untuk menyamarkan lebih lanjut scar yang

dihasilkan (Mendonca, et al., 2015). Lannelongue dan Lane pertama kali melakukan

kraniektomi linier atau kraniektomi strip untuk mengatasi sinostosis prematur pada

sutura pada pasien dengan microcephaly pada akhir abad ke-19. Prosedur ini sering

dilakukan selama dekade berikutnya tetapi beberapa strategi diperkenalkan untuk

mengurangi angka reosifikasi yang tinggi. Bedah advancement pada tulang frontal

awalnya dideskripsikan oleh Tessier untuk koreksi disostosis kraniofasial pada orang

dewasa. Teknik serupa diterapkan pada deformitas fronto-orbital pada anak-anak

dengan craniosynostosis terisolasi atau craniosynostosis sindromik pada pertengahan

dan akhir 1970-an. Hasil yang menggembirakan diperoleh ketika menggabungkan

cranial vault remodeling dengan advancement canthal lateral atau mobilisasi anterior

bandeau frontal semicircular. Modifikasi-modifikasi dan penyempurnaan-

penyempurnaan teknis terus dilaporkan (Staffenberg, et al., 2019).

Fronto-orbital advancement adalah prosedur standar untuk koreksi dari

craniosynostosis anterior. Craniosynostosis anterior melibatkan sutura metopik, sutura

6
unikoronal, dan sutura bikoronal. Standar penatalaksanaan bedah adalah fronto-

orbital advancement (FOA). Tujuan bedah FOA ada tiga:

1. Untuk melepaskan sutura yang mengalami sinostosis dan dekompresi

calvarial vault,

2. Untuk membentuk kembali calvarial vault dan memajukan tulang frontal,

dan

3. Untuk memajukan supraorbital bar yang mengalami retrusi. Dengan

demikian meningkatkan perlindungan terhadap bola mata dan peningkatan

penampilan estetika (Mendonca, et al., 2015).

Meskipun teknik sudah berdiri dengan baik sejak Tessier memperkenalkan

Fronto-orbital advancement sebagai prosedur kunci untuk mengoreksi displasia

frontal, variasi-variasi teknis tetap ada. Evolusi dan modifikasi dari teknik orisinal

telah dilaporkan dengan hasil yang sangat baik (Staffenberg, et al., 2019). Terlepas

dari modifikasi teknis, iregularitas yang tampak membutuhkan operasi revisi. Follow-

up lanjut jangka panjang telah menunjukkan teknik ekspansi tradisional cenderung

kembali ke deformitas awal. Hal ini disebabkan oleh berkurangnya pertumbuhan

intrinsik, ekspansi bedah yang tidak adekuat, dan devaskularisasi segmen pada saat

advancement. Perlindungan vaskular dari fronto-orbital bar mempertahankan potensi

pertumbuhan jangka panjang, dan aspek ini harus diingat saat contouring (Mendonca,

et al., 2015).

Strategi yang disarankan adalah mempertahankan vaskularisasi pedikel ke

bandeau yang dimajukan sambil "memiringkan" segmen ke depan. Bandeau fronto-

orbital biasanya diposisikan sekitar 12-13 mm anterior kornea. Advancement 8-15 mm

biasanya diperlukan pada sisi yang terkena. Bersamaan dengan reposisi orbital rim,

7
frontal ipsilateral dimajukan, tinggi orbital mungkin dikurangi, dan dahi kontralateral

direses atau dikontur seperlunya (Mendonca, et al., 2015).

Waktu terbaik untuk melakukan koreksi bedah pada craniosynostosis masih

menjadi masalah yang diperdebatkan dalam literatur karena tergantung pada banyak

faktor. Prosedur sederhana dan manuver minimal invasif dapat dilakukan pada usia 3

bulan, sedangkan koreksi bedah yang lebih kompleks biasanya ditunda hingga usia

antara 6 hingga 8 bulan. Koreksi bedah sebelum usia 6 bulan, meskipun

memungkinkan, dapat membawa resiko anestesi dan risiko bedah untuk bayi. Usia

antara 6 dan 8 bulan, memiliki keuntungan meningkatkan proses healing osseous dan

meningkatkan toleransi pasien terhadap kehilangan darah selama operasi. Menunda

operasi setelah usia 1 tahun membawa risiko penurunan perkembangan intelektual

(El-Tantawy, et al., 2018).

Pembedahan dibutuhkan pada pasien craniosynostosis untuk mengatasi efek

negatif dari gangguan perkembangan otak karena gangguan aliran darah otak sebagai

akibat peningkatan tekanan intrakranial di area-area dimana pertumbuhan tulang

kranium yang terbatas dan untuk memperbaiki bentuk tengkorak yang abnormal

karena perubahan pola pertumbuhan. Ada kasus-kasus tertentu dari synostosis dimana

tidak diperlukan intervensi bedah. Apakah penutupan sutura parsial dengan perubahan

minimal pada bentuk tulang tengkorak memerlukan intervensi bedah masih

merupakan topik yang bisa diperdebatkan. Adalah hal yang logis untuk berpikir

bahwa jika tidak ada gejala klinis atau dampak kognitif yang muncul, pasien dapat

dikelola secara konservatif (Espel, et al., 2016).

2.3. Teknik Pembedahan

8
Teamwork harus tersedia untuk semua pasien dengan craniosynostosis.

Operasi harus dilakukan bersama oleh ahli bedah saraf dan ahli bedah kraniofasial

untuk hasil yang lebih baik. Evaluasi pra-operasi yang menyeluruh harus dilakukan

oleh ahli anestesi pediatrik dan darah tersedia untuk transfusi darah. Komunikasi yang

erat dengan dokter anestesi sangat penting untuk keamanan prosedur. Open FOA

dilakukan dengan anestesi umum, dengan dua jalur intravena atau sebuah kateter vena

sentral, dengan jalur intra arteri, dan dengan kateter Foley. Monitoring

elektrokardiogram secara continuous, kapnografi real-time, dan core body

thermometer adalah hal yang wajib. Darah untuk transfusi disimpan dekat ruang

operasi. Kulit kepala dan wajah dibersihkan dengan betadine. Pasien diposisikan

supine di meja operasi. Draping dilakukan dibawah area nasal (Matushita, et al.,

2019). Insisi bikoronal dibuat dengan cara zig-zag untuk bekas luka yang lebih baik.

Anestesi lokal dengan adrenalin, diinfiltrasi sebelum insisi untuk mengurangi

kehilangan darah (El-Tantawy, et al., 2018).

Gambar 2.1 Marking osteotomi intraoperatif

untuk kraniotomi bifrontal dan bandeau supraorbital

9
Diseksi dilakukan pada bidang subperiosteal untuk mempertahankan kapasitas

produksi tulang, dan bone wax digunakan untuk mendapatkan hemostasis. Diseksi

subperiosteal dilakukan secara lateral melepaskan otot-otot temporal dari tulang

temporal hingga ke supraorbital rims. Otot-otot temporal dibiarkan melekat pada flap

scalp (Matushita, et al., 2019). Diseksi subperiosteal ekstensif dilakukan untuk

mengekspos seluruh tulang frontal sampai ke naso-frontal junction, dinding orbital

lateral di atas sutura Zygomatico-Frontal (Z-F) dan tulang temporal (Mendonca, et al.,

2015). Kraniotomi bifrontal dilakukan oleh ahli bedah saraf dan kehati-hatian

dilakukan untuk menghindari cedera dural. Sebuah craniotomy bifrontal dilakukan

dengan jarak 10 mm dari orbital rim di anterior dan di belakang sutura koronal.

Selanjutnya diikuti oleh segmen bandeau fronto-orbital, yang secara hati-hati

diosteotomi dan diangkat. Frontal–orbital bar dilepas sebagai satu bagian (Matushita,

et al., 2019).

''Bandeau" adalah istilah dari Prancis yang menandakan bando untuk rambut

atau yang menutupi mata. Pembuatan bandeau adalah langkah penting untuk

mengoreksi craniosynostosis (Fearon, 2008). Contouring, reshaping, dan cutting

dilakukan dengan kombinasi dari bender tulang Tessier dan bor gergaji. Kemudian

tulang ditahan di tempatnya oleh sistem plating yang dapat diserap (Staffenberg, et

al., 2019). Fronto–orbital bar dapat di reshaped dengan menipiskan area tulang yang

menebal sehingga cukup melunakkannya

untuk memungkinkan meningkatkan kurvatura. Pelat absorbable mungkin diperlukan

untuk memperkuat dan membentuk kembali frontal-orbital bar. Setelah fronto-orbital

bar di reshaped, lalu difiksasi dalam posisi overcorrected dengan pelat yang dapat

diserap atau dengan teknik “tongue-in grove” yang difiksasi dengan jahitan

transosseous dengan vicryl 2-0 (Matushita, et al., 2019).

10
Bandeau fronto-orbital yang dikontur ulang diletakkan dalam posisi

maju/miring, minimal 1-1,5 cm anterior ke lobus frontal. Suatu kombinasi memajukan

dan memiringkan digunakan untuk mendapatkan hasil yang diinginkan. Komponen

frontal yang telah dibentuk kembali kemudian ditempatkan di atas bandeau yang telah

dimajukan dan diamankan secara rigid. Penutupan kulit yang hati-hati dilakukan

dalam dua lapis dengan menggunakan suction drain. Pemantauan pasca operasi

dilakukan di perawatan intensif anak di bawah pengawasan ketat dari seorang

intensifivis (Mendonca, et al., 2015).

Intervensi bone graft sering digunakan di celah temporal yang tercipta dari

fronto-orbital advancement untuk mencegah relapse. Segmen frontal dibagi di garis

tengah dan di buka. Celah tulang dapat ditutup dengan bahan aloplastik seperti implan

akrilik atau dengan Osteomesh scaffold. Studi jangka panjang diperlukan untuk

menunjukkan pembentukan tulang baru di celah yang ditutup oleh Osteomesh

(Mendonca, et al., 2015).

BAB 3

PENUTUP

Craniosynostosis adalah kondisi patologis sebagai akibat dari fusi prematur dari sutura-

sutura pada cranial vault yang mengakibatkan deformitas kraniofasial. Craniosynostosis

anterior dapat melibatkan kombinasi dari sutura metopic, unicoronal atau bicoronal. Fronto-

orbital advancement (FOA) adalah pilihan terbaik untuk menangani craniosynostosis

anterior.

11
Tujuan bedah fronto-orbital advancement ada tiga yakni untuk melepaskan sutura yang

mengalami sinostosis dan dekompresi calvarial vault, untuk membentuk kembali calvarial

vault dan memajukan tulang frontal, serta untuk memajukan supraorbital bar yang mengalami

retrusi. Untuk mencapai yang hasil lebih baik operasi harus dilakukan pada usia optimal dan

di pusat kesehatan yang lengkap. Kerja sama tim harus tersedia untuk semua pasien dengan

craniosynostosis. Evolusi dan modifikasi dari teknik orisinal telah dilaporkan dengan hasil

yang sangat baik.

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, B.W., Kortz, M.W., and Al Kharazi, K,A. (2021). ‘Anatomy, Head and Neck,

Skull - StatPearls - NCBI Bookshelf’. StatPearls Publishing. Available at:

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK499834/

Chung, K. C. (ed.) (2014) Grabb and Smith Plastic Surgery. 7th edn. Philadelphia:
Wolters Kluwer.
El-Tantawy, Mohammed., et al., 2018. Frontoorbital Advancement and Forehead Remodeling
for Correction of Anterior Calvarial Craniosynostosis, Surgical Technique and Results
in Low Economic Facilities: Benha Experience. Medical Journal Of Cairo University,
pp. 1149-1158

12
Espel, J.Puente, et al., 2016. A multidisciplinary approach based on medical, social and
demographic factors in a developing country. Revista Médica del Hospital General de
México, pp 230-239.
Fearon, Jeffrey A., 2008. Beyond the Bandeau: 4 Variations on Fronto-Orbital Advancements.
The Journal Of Craniofacial Surgery, pp 1180-1182.

Kajdic, Nina., et al., 2018. Craniosynostosis – Recognition, Clinical Characteristic, And


Treatment. Bosnian Journal Basic Medical Science, pp. 110-116
Matushita, Hamilton., et al., 2012. Frontal–orbital advancement for the management of
anterior plagiocephaly. Journal Child's Nervous System, pp 1423-1427.
Mendonca, Derick., et al., 2015. Fronto-orbital advancement: Revisited. Journal of Cleft Lip
Palate and Craniofacial Anomalies, pp. 20-6.
Rajmohan, Susmitha., et al., 2019. Coronal/Hemicoronal Approach – A Gateway To

Craniomaxillofacial Region. Journal Cinical And Diagnostic Research, pp.1-5

Russel, W.P., Russel M.R., (2020). ‘Anatomy, Head and Neck, Coronal Suture -

StatPearls - NCBI Bookshelf’. StatPearls Publishing. Available at :

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK526011/

Sharma, R.K., et al., 2013. Craniosynostosis. Indian Journal of Plastic Surgery, pp. 18–27.
Staffenberg, D.A., et al., 2019. Fronto-Orbital Advancement: Description of Surgical
Technique to Complement the Procedural Cognition Simulation in the Craniofacial
Interactive Virtual Assistant - Professional Edition. Journal Craniofacial Surgery, pp.
473-477
Tahiri, Youssef., et al., 2017. Evidence-Based Medicine: Nonsyndromic Craniosynostosis.
Journal Of The American Society Of Plastic Surgeon, pp. 177-191.

13

Anda mungkin juga menyukai