Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN


SISTEM MUSKULOSKELETAL: PRE OPERASI FRAKTUR
COLLUM FEMUR DEXTRA DI RUANG TRIBRATA
RUMAH SAKIT BHAYANGKARA
ANTON SOEDJARWO
PONTIANAK

DISUSUN OLEH:
ABDUSSALAM
NIM.201133001

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES PONTIANAK
JURUSAN KEPERAWATAN PONTIANAK
PRODI PROFESI NERS
TAHUN 2020/2021
VISI DAN MISI

PROGRAM STUDI NERS KEPERAWATAN


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES PONTIANAK

VISI
"Menjadi Institusi Pendidikan Tinggi Kesehatan Terapan Dan Profesi sebagai
Rujukan Nasional Berkualitas Global"

MISI
1. Menyelenggarakan Kegiatan Tridharma Perguruan Tinggi Terapan dan
Profesi Kesehatan yang Berkualitas Global.
2. Menghasilakn Lulusan yang Berintelektualitas Tinggi, Berbudi Luhur dan
Mampu Bersaing Secara Global.
3. Mengembangkan Tata Kelola Perguruan Tinggi yang Mandiri Transparan
dan Akuntabel
4. Berperan Aktif dalam Kerjasama Pengembangan dan Peningkatan Sistem
Pendidikan Tinggi Kesehatan di Tingkat Global

i
HALAMAN PENGESAHAN

LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN
SISTEM MUSKULOSKELETAL: PRE OPERASI FRAKTUR COLLUM
FEMUR DEXTRA DI RUANG TRIBRATA RUMAH SAKIT
BHAYANGKARA ANTON SOEDJARWO PONTIANAK

Telah Mendapatkan Persetujuan dari Pembimbing Klinik dan Dosen


Pembimbing Praktek Klinik Keperawatan Medikal Bedah

Pontianak, 12 April, 2021


Mahasiswa

Abdussalam
NIM. 201133001

Pontianak, ,2021
Mengetahui

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik/CI

Ns. Hendra, M.kep Ns.Vonny Pratiwidilaga, S.Kep


NIP. 19740220 199403 1 004

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur peneliti ucapkan pada Tuhan Yang Maha Esa atas Kuasa-Nya
yang telah memberikan segala nikmat dan kesempatan sehingga penyusunan
Laporan Pendahuluan yang berjudul “Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan
Gangguan Sistem Muskuloskeletal: Pre Operasi Fraktur Collum Femur Dextra”
dapat terselesaikan. Dalam penyusunan Laporan Pendahuluan ini penulis telah
melibatkan bantuan moril dan material dari banyak pihak sehingga penulis dapat
menyelesaikan tugas ini.
Dengan terselesaikannya Laporan Pendahuluan ini, perkenankan pula
saya untuk mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Didik Hariyadi, S.Gz M.Si., selaku Direktur Poltekkes Kemenkes
Pontianak.
2. Ibu Ns. Nurbani, M.Kep., selaku Ketua Jurusan Keperawatan Poltekkes
Kemenkes Pontianak.
3. Ibu Ns. Puspa Wardhani, M.Kep., selaku Ketua Prodi Profesi Ners Poltekkes
Kemenkes Pontianak.
4. Seluruh Dosen, Instruktur dan Staf Prodi Sarjana Terapan Keperawatan
Pontianak serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu
yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan Laporan Pendahuluan ini
masih banyak kekurangan dan kelemahannya. Untuk itu kritik dan saran dari
pembaca sangat diperlukan demi kesempurnaan Laporan Pendahuluan ini.
Semoga Laporan Pendahuluan ini bagi pembaca khususnya Mahasiswa
Poltekkes Kemenkes Pontianak dalam upaya meningkatkan mutu pembelajaran
mahasiswa di Prodi Profesi Ners Poltekkes Kemenkes Pontianak.
Pontianak, 29 Maret 2021

Penulis

iii
DAFTAR ISI

Halaman
VISI DAN MISI...............................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN........................................................................ii
KATA PENGANTAR...................................................................................iii
DAFTAR ISI..................................................................................................iv
DAFTAR TABEL..........................................................................................vi
DAFTAR GAMBAR....................................................................................vii

BAB I KONSEP DASAR...............................................................................8


A. Konsep Dasar Dislokasi.......................................................................8
1. Definisi...........................................................................................8
2. Etiologi..........................................................................................8
3. Klasifikasi.....................................................................................2
4. Manifestasi Klinis.........................................................................4
5. Komplikasi....................................................................................5
6. Pemeriksaan Diagnostik..............................................................7
7. Penatalaksanaan Medis...............................................................7

BAB II WEB OF CAUSATION (WOC)........................................................9


A. Web Of Causation................................................................................9

BAB III PROSES KEPERAWATAN.........................................................13


A. Pengkajian..........................................................................................13
B. Diagnosa keperawatan.......................................................................17
C. Perencanaan keperawatan..................................................................17
D. Intervensi keperawatan......................................................................18
E. Aplikasi Pemikiran Kritis dalam Asuhan Keperawatan Medikal
Bedah.......................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................24

iv
DAFTAR TABEL

HalamanTabel 3.1 Perencanaan Keperawatan.....................................................14


Tabel 3.2 Intervensi Keperawatan............................................................. ……..14

DAFTAR GAMBAR

v
HalamanGambar 2.1 Pathway Pre Operasi Fraktur Collum Femur...................... 9

vi
1

BAB I
KONSEP DASAR

A. Konsep Dasar Dislokasi


1. Definisi
Fraktur adalah patah tulang yang disebabkan oleh trauma atau
tenaga fisik. Kekuatan dan sudut tenaga fisik, keadaan tulang itu sendiri,
serta jaringan lunak disekitar tulang akan menentukan apakah fraktur
yang terjadi lengkap atau tidak lengkap (Zairin Noor, 2016).
Fraktur merupakan terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang
umumnya disebabkan oleh trauma atau tekanan eksternal yang datang
lebih besar dibandingkan dengan yang dapat diserap oleh tulang
(M.Asikin dkk, 2016).
Fraktur femur adalah diskontinuitas dari femoral shaft yang bisa
terjadi akibat trauma secara langsung (kecelakaan lalu lintas atau jatuh
dari ketinggian), dan biasanya lebih banyak dialami laki-laki dewasa
(Desiartama, 2017).
Fraktur collum femur merupakan fraktur interkapsular yang terjadi
pada bagian proksimal femur. Yang termasuk collum femur adalah
mulai dari bagian distal permukaan caput femoris sampai dengan bagian
proksimal dari intertrochanter (Swiontkowski, et al., 2015).

2. Etiologi
Untuk megetahui mengapa dan bagaimana tulang mengalami
fraktur, pemeriksaan perlu mengenal anatomi dan fisiologi tulang
sehingga pemeriksa mampu lebih jauh mengenal keadaan fisik tulang
dan keadaan trauma yang dapat menyebabkan tulang patah. Pada
beberapa keadaan, kebanyakan proses fraktur terjadi karena kegagalan
tulang menahan tekanan terutama tekanan membengkok, memutar, dan
tarikan. Trauma muskuloskeletal yang bisa menjadi fraktur dapat dibagi
menjadi trauma langsung dan tidak langsung. (Zairin Noor, 2016).

1
2

a. Trauma Langsung
Trauma langsung menyebabkan tekanan langsung pada tulang dan
terjadi pada daerah tekanan. Fraktur yang terjadi biasanya bersifat
kuminitif dan jaringan lunak ikut mengalami kerusakan
b. Trauma Tidak Langsung
Trauma tidak langsung merupakan suatu kondisi trauma dihantarkan
ke daerah yang lebih jauh dari daerah fraktur. Fraktur juga bisa
terjadi akibat adanya tekanan yang berlebih dibandingkan
kemampuan tulang dalam menahan tekanan. Tekanan yang terjadi
pada tulang dapat berupa hal-hal berikut:
1) Tekanan berputar yang menyebabkan fraktur bersifat spiral atau
oblik.
2) Tekanan membengkok yang menyebabkan fraktur transversal.
3) Tekanan sepanjang aksis tulang yang dapat menyebabkan fraktur
impaksi, dislokasi, atau fraktur dislokasi.
4) Kompresi vertikal dapat menyebabkan fraktur kominutif atau
memecah, misalnya pada badan vertebra, talus, atau fraktur
buckle pada anak-anak.
5) Fraktur remuk
6) Trauma karena tarikan pada ligamen atau tendon akan menarik
sebagian tulang.

3. Klasifikasi
Menurut Abdul Wahid (2013) dan M. Asikin.dkk (2016) klasifikasi
fraktur adalah sebagai berikut:
a. Berdasarkan sifat fraktur atau luka yang ditimbulkan
1) Fraktur tertutup, bila tidak terdapat hubungan antara fragmen
tulang dengan udara luar atau disebut juga fraktur bersih karena
kulit masih utuh tanpa komplikasi.
2) Fraktur terbuka, bila terdapat hubungan antara fragmen tulang
dengan udara luar karena adanya perlukaan dipermukaan kulit.

2
3

b. Berdasarkan komplit dan ketidak komplitan fraktur


1) Fraktur komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang
tulang atau melalui kedua korteks tulang.
2) Fraktur inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh
penampang tulang dan periosteum tetap utuh.
a) Hair Line fraktur atau fraktur garis rambut yaitu patah tulang
tipis yang membentuk garis seperti rambut, atau garis fraktur
hampir tidak tampak sehingga tidak terdapat perubahan
bentuk tulang.
b) Buckle atau Torus fraktur bila terjadi lipatan dari satu
korteks dengan kompresi tulang spongiosa di bawahnya.
c) Green Stick fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi
korteks lainnya yang terjadi pada tulang panjang.
c. Berdasarkan bentuk garis patah dan hubungannya dengan
mekanisme trauma
1) Fraktur transversal
Fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan tegak lurus
dengan sumbu panjang tulang yang disebabkan oleh trauma
langsung atau angulasi
2) Fraktur oblik
Fraktur yang garis patahnya membentuk sudut terhadap sumbu
tulang yang disebabkan oleh trauma angulasi
3) Fraktur spiral
Fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang
disebabkan trauma rotasi
4) Fraktur kompresi
Fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang mendorong
tulang kearah permukaan lain
5) Fraktur avulsi
Fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau traksi otot
pada insersinya tulang

3
4

d. Berdasarkan jumlah garis patah


1) Fraktur komunitif
Fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling
berhubungan
2) Fraktur segmental
Fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak berhubungan
3) Fraktur multiple
Fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada tulang
yang sama
e. Berdasarkan pergeseran fragmen tulang
1) Fraktur undisplaced (tidak bergeser), yakni fraktur dengan garis
patah lengkap tapi kedua fragmen tulang tidak bergeser dan
periosteum masih utuh
2) Fraktur displaced (bergeser), yakni fraktur yang Terjadi
pergeseran fragmen tulang yang disebut lokasi fragmen.
f. Berdasarkan posisi fraktur sebatang tulang terbagi menjadi tiga
bagian yaitu:
1) Sepertiga proksimal
2) Sepertiga medial
3) Sepertiga distal
g. Fraktur kelelahan fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang
h. Fraktur patologis fraktur yang diakibatkan karena adanya kondisi
patologis yang abnormal pada tulang.

4. Manifestasi Klinis
a. Nyeri
Nyeri yang kontinu dan meningkat saat bergerak, dan spasme otot
terjadi segera setelah fraktur
b. Kehilangan fungsi
Sokongan terhadap otot hilang ketika tulang patah. Nyeri juga
berkontribusi terhadap kehilangan fungsi.

4
5

c. Deformitas
Ekstremitas atau bagiannya dapat membengkak atau berotasi secara
abnormal karena pergeseran lokasi akibat spasme otot dan edema.
d. Pemendekan tulang
Spasme otot menarik tulang dari posisi kesejajarannya dan fragmen
tulang menjadi ke sisi yang tidak sejajar ujung-ujungnya
e. Krepitus
Krepitus merupakan sensasi patahan atau suara yang berkaitan
dengan pergerakan fragmen tulang ketika saling bergesekan, yang
bahkan dapat menimbulkan trauma lebih besar pada jaringan,
pembuluh darah dan saraf.
f. Edema dan diskolorasi
Kondisi tersebut dapat terjadi sekunder akibat trauma pada jaringan
cedera

5. Komplikasi
Berikut komplikasi fraktur menurut Mark.A Thomas (2011):
a. Syok dan perdarahan
Trauma tajam ataupun tumpul yang merusak sendi atau tulang di
dekat arteri mampu menghasilkan trauma arteri. Cedera ini dapat
menimbulkan perdarahan besar pada luka terbuka atau perdarahan
didalam jaringan lunak. Ekstremitas yang dingin, pucat,
menghilangnya pulsasi ekstremitas menunjukan gangguan aliran
darah arteri. Hematoma yang membesar dengan cepat, menunjukan
adanya trauma vaskuler. Cedera ini menjadi berbahaya apabila
kondisi hemodinamik pasien tidak stabil
b. Syndrome emboli lemak
Merupakan keadaan pulmonary akut. Terjadi ketika gelembung-
gelembung lemak terlepas dari sumsum tulang dan mengelilingi
jaringan yang rusak. Apabila terbawa sirkulasi darah akan

5
6

menyebabkan oklusi pada pembulu darah pulmonary dan


menyebabkan sukar bernafas.
c. Compartement syndrome
Kompartement sindrom ditemukan pada tempat dimana otot dibatasi
oleh rongga fasia yang tertutup. Pada keadaan ini terjadi iskemia
dapat dikarenakan balutan yang terlalu ketat. Tanda dan gejala
Kompartement sindrom dikenal dengan 5P (pain, pallor,
paraesthesia, pulselessness, dan paralysis)
d. Infeksi
Merupakan komplikasi jangka pendek dari fraktur. Pada fraktur
terbuka kemungkinan terjadi infeksi lebih besar dari fraktur tertutup.
Komplikasi Fraktur dalam Jangka waktu yang lama menurut
Abdul Wahid (2013) yaitu:
a. Delayed Union
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi
(bergabung) sesuai dengan waktu yang di butuhkan tulang untuk
menyambung. Ini disebabkan karena penurunan suplai darah ke
tulang.
b. Non Union
Non union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan
memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9
bulan. Nonunion ditandai dengan adanya pergerakan yang
berlebihan pada sisi fraktur yang membentuk sensi palsu atau
pseudoarthrosis. Ini juga disebabkan karena aliran darah yang
kurang.
c. Mal Union
Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan
meningkatnya tingkat kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas).
Malunion dilakukan dengan pembedahan dan remobilitas yang baik.

6
7

6. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan penunjang pada klien fraktur, Menurut Amin Huda
Nurrrarif dan Hardi kausuma (2015):
a. X-ray: untuk menentukan luas/lokasi fraktur.
b. Scan tulang untuk memperlihatkan fraktur lebih jelas,
mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
c. Arteriogram, dilakukan untuk memastikan ada tidaknya kerusakan
vaskuler.
d. Hitung darah lengkap, homokonsentrasi mungkin meningkat,
menurun pada perdarahan: peningkatan leukosit sebagai respon
terhadap peradangan.
e. Kreatinin: trauma otot meningkatkan beban kretinin untuk klirens
ginjal.
f. Profil koagulasi: perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah,
tranfusi atau cedera.

7. Penatalaksanaan Medis
a. Operasi Ortopedi
Operasi ortopedi merupakan spesialisasi medis yang mengkhususkan
pada pengendalian medis dan bedah para pasien yang memiliki
kondisi-kondisi arthritis yang mempengaruhi persendian utama,
pinggul, lutut dan bahu melalui bedah invasif minimal dan bedah
penggantian sendi. Prosedur pembedahan yang sering dilakukan
meliputi Reduksi Terbuka dengan Fiksasi Interna atau disingkat
ORIF (Open Reduction and Fixation). Berikut dibawah ini jenis-
jenis pembedahan ortopedi dan indikasinya yang lazim dilakukan
menurut Menurut Abdul Wahid (2013):
1) Reduksi Terbuka: melakukan reduksi dan membuat kesejajaran
tulang yang patah setelah terlebih dahulu dilakukan diseksi dan
pemajanan tulang yang patah.

7
8

2) Fiksasi Interna: stabilisasi tulang patah yang telah direduksi


dengan skrup, plat, paku dan pin logam.
3) Graft Tulang: penggantian jaringan tulang (graft autolog maupun
heterolog) untuk memperbaiki penyembuhan, untuk
menstabilisasi atau mengganti tulang yang berpenyakit.
4) Amputasi: penghilangan bagian tubuh.
5) Artroplasti: memperbaiki masalah sendi dengan artroskop (suatu
alat yang memungkinkan ahli bedah mengoperasi dalamnya
sendi tanpa irisan yang besar) atau melalui pembedahan sendi
terbuka.
6) Menisektomi: eksisi fibrokartilago sendi yang telah rusak.
7) Penggantian sendi: penggantian permukaan sendi dengan bahan
logam atau sintetis.
8) Penggantian sendi total: penggantian kedua permukaan artikuler
dalam sendi dengan logam atau sintetis.
9) Pemasangan Traksi: memberikan terapi khusus kepada pasien
yang mengalami gangguan pada otot maupun tulang dengan
memanfaatkan gaya tarik

8
BAB II
WEB OF CAUSATION (WOC)
A. Web Of Causation
Trauma Pada Pangkal Paha

Ketidakmampuan tulang pangkal paha dalam menahan beban trauma

Kerusakan Rangka Fraktur Collum Perubahan status


Neuromuscular Femur kesehatan

Gangguan Aktivitas Kerusakan fragmen tulang Ansietas


dan spasme otot

Nyeri Akut
Gangguan Mobilitas
Fisik

Gambar 2.1 Pathway Pre Operasi Fraktur Collum Femur


Sumber: Modifikasi dari aplikasi diagnosa keperawatan Nanda NIC NOC, 2015
BAB III
PROSES KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Biodata
Meliputi: Nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan,
diagnosa medis, no register dan tanggal MRS.
2. Keluhan Utama
Keluhan utamanya adalah rasa nyeri akut atau kronik. Selain itu klien juga
akan kesulitan beraktivitas.
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pada umumnya penderita mengeluh nyeri pada daerah Fraktur.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan
memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung.
Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang menyebabkan fraktur
patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit
diabetes dengan luka sangat beresiko terjadinya osteomyelitis akut
maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan
tulang (Padila, 2012)
5. Riwayat Kesehatan Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan
salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes,
osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan dan kanker
tulang yang cenderung diturunkan secara genetik (Padila, 2012).
6. Pola-pola fungsional
a. Pola aktivitas dan latihan
Aktivitas dan latihan mengalami perubahan/ gangguan akibat adanya
fraktur sehingga perlu dibantu baik perawat maupun klien.
b. Pola tidur dan istirahat

10
11

Kebiasaan pola tidur dan istirahat pasien mengalami gangguan yang


disebabkan oleh nyeri di area fraktur.
c. Pola persepsi dan konsep diri
Setelah pasien mengalami fraktur pasien akan mengalami gangguan
konsep diri karena perubahan cara berjalan akibat kecelakan
d. Pola sensori dan kognitif
Biasanya pasien mengeluh nyeri yang disebabkan oleh adanya
kerusakan jaringan lunak dan hilangnya darah serta cairan seluler ke
dalam jaringan.
e. Pola tata nilai dan kepercayaan
Biasanya pasien fraktur akan mengalami gangguan/ perubahan dalam
menjalankan ibadahnya.
f. Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan
sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya
untuk membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola
nutrisi klien bisa membantu menentukan penyebab masalah
muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak
adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari
yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah muskuloskeletal
terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat
degenerasi dan mobilitas klien.
g. Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi
walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta
bau feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi urin
dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua
pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak.
h. Pola Tidur dan Istirahat.
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga
hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu
12

juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana


lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat
tidur.
i. Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk
kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak
dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk
aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk
pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding pekerjaan yang
lain.
j. Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat.
Karena klien harus menjalani rawat inap.
k. Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan
hubungan seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan
gerak serta rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji
status perkawinannya termasuk jumlah anak, lama perkawinannya
7. Pemeriksaan fisik
a. Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis
tergantung pada keadaan klien.
b. Sistem integumen
Terdapat eritema, suhu disekitar daerah trauma meningkat, bengkak,
edema, nyeri tekan.
c. Kepala
Tidak ada gangguan yaitu normo cephalik simetris, tidak ada
penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
d. Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek
menelan ada
13

e. Muka
Wajah terlihat menahan sakit, tidak ada perubahan fungsi maupun
bentuk. Tidak ada lesi, simetris, tak edema
f. Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemi
g. Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau
nyeri tekan.
h. Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
i. Mulut dan faring
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa
mulut tidak pucat.
j. Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris
k. Paru
Inspeksi: Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada
riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan paru
Palpasi: Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama
Perkusi: Suara ketok sonor, tak ada redup atau suara tambahan lainnya
Auskultasi: Suara nafas normal, tak ada wheezing atau suara tambahan
lainnya seperti stridor dan ronkhi
l. Jantung
Inspeksi: Tidak tampak iktus jantung
Palpasi: Nadi meningkat, iktus tidak teraba
Auskultasi: Suara S1 dan S2 tunggal tak ada mur-mur
m. Abdomen
Inspeksi: Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia
Palpasi: Turgor baik, tidak ada defands muskuler hepar tidak teraba
Perkusi: Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan
Auskultasi: Kaji bising usus
14

n. Inguinal-genetalis-anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, ada kesulitan buang air
besar.
o. Sistem muskuloskeletal
Tidak dapat digerakkan secara bebas dan terdapat jahitan, darah
merembes atau tidak

B. Diagnosa keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan jaringan tulang, gerakan fragmen tulang,
edema, dan cedera jaringan, alat traksi atau imobilisasi, stress, ansietas.
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri, ketidaknyamanan,
kerusakan muskuloskeletal, pembatasan aktivitas, dan dan penurunan
kekuatan ketahanan.
3. Ansietas berhubungan dengan kurang terpapar informasi, khawatir
mengalami kegagalan, ancaman terhadap konsep diri.

C. Perencanaan keperawatan
Tabel 3.1 Perencanaan Keperawatan
No Diagnosa Keperawatan Luaran
SLKI
1. D.0077 Nyeri akut Setelah dilakukan asuhan keperawatan
berhubungan dengan diharapkan tingkat nyeri menurun dan kontrol
agen pendera fisik nyeri meningkat dengan kriteria hasil:
(prosedur operasi) 1. Tidak mengeluh nyeri
2. Tidak meringis
3. Tidak bersikap protektif
4. Tidak gelisah
5. Tidak mengalami kesulitan tidur
6. Frekuensi nadi membaik
7. Tekanan darah membaik
8. Melaporkan nyeri terkontrol
9. Kemampuan mengenali onset nyeri
meningkat
10. Kemampuan mengenali penyebab nyeri
meningkat
11. Kemampuan menggunakan teknik non-
farmakologis

2. 0054 Gangguan Setelah dilakukan asuhan keperawatan maka


15

mobilitas fisik diharapkan gangguan mobilitas fisik teratasi


berhubungan dengan dengan kriteria hasil:
nyeri, pembengkakan, 1. Nyeri menurun
prosedur bedah, 2. Kecemasan menurun
immobilisasi 3. Gerakan terbatas menurun
4. Kelemahan fisik menurun

3. D.0080 Ansietas Setelah dilakukan intervensi diharapkan tingkat


berhubungan dengan ansietas menurun dengan kriteria hasil:
kurang terpapar 1. Verbalisasi khawatir akibat kondisi yang
informasi, khawatir dihadapi menurun
mengalami kegagalan, 2. Perilaku gelisah menurun
3. Perilaku tegang menurun
ancaman terhadap
4. Konsentrasi membaik
konsep diri 5. Pola tidur membaik

D. Intervensi keperawatan
Tabel 3.2 Intervensi Keperawatan
Intervensi
Diagnosa Keperawatan
SIKI
D.0077 Nyeri akut Intervensi Utama: Dukungan Nyeri Akut:
berhubungan dengan Pemberian analgesik
agen pendera fisik Observasi
(prosedur operasi) 1. Identifikasi karakteristik nyeri (mis. pencetus,
pereda, kualitas, lokasi, intensitas, frekuensi,
durasi)
2. Identifikasi riwayat alergi obat
3. Identifikasi kesesuaian jenis analgesik (mis.
narkotika, non-narkotika, atau NSAID) dengan
tingkat keparahan nyeri
4. Monitor tanda-tanda vital sebelum dan sesudah
pemberian analgesik
5. Monitor efektifitas analgesik
Terapeutik
1. Diskusikan jenis analgesik yang disukai untuk
mencapai analgesia optimal
2. Pertimbangkan pengguanaan infus kontinu, atau
bolus oploid untuk mempertahankan kadar dalam
serum
3. Tetapkan target efektifitas analgesik untuk
mengoptimalkan respons pasien
4. Dokumentasikan respons terhadap efek analgesik
dan efek yang tidak diinginkan
Edukasi
1. Jelaskan efek terapi dan efek samping obat
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian dosis dan jenis analgesik,
sesuai indikasi
16

Dukungan Nyeri Akut:


Manajemen Nyeri
Observasi
1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
2. Identifikasi skala nyeri
3. Identifikasi respons nyeri non verbal
4. Identifikasi faktor yang memperberat dan
memperingan nyeri
5. Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang
nyeri
6. Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon
nyeri
7. Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
8. Monitor keberhasilan terapi komplementer yang
sudah diberikan
9. Monitor efek samping penggunaan analgetik
Terapeutik
1. Berikan teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri (mis. TENS, hypnosis,
akupresur, terapi musik, biofeedback, terapi pijat,
aromaterapi, teknik imajinasi terbimbing,
kompres hangat/dingin, terapi bermain)
2. Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri
(mis. suhu ruangan, pencahayaan, kebisingan)
3. Fasilitasi istirahat dan tidur
4. Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam
pemilihan strategi meredakan nyeri
Edukasi
1. Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
2. Jelaskan strategi meredakan nyeri
3. Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
4. Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
5. Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian analgetic

0054 Gangguan Dukungan Ambulasi


mobilitas fisik Observasi
berhubungan dengan 1. Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik
nyeri, pembengkakan, lainnya.
prosedur bedah, 2. Identifikasi toleransi fisik melakukan ambulasi.
immobilisasi 3. Jelaskan tujuan dan prosedur ambulasi.
4. Anjurkan melakukan ambulasi dini.
5. Ajarkan ambulasi sederhana yang harus
dilakukan (mis. Berjalan dari tempat tidur ke
kursi roda, berjalan dari tempat tidur ke kamar
mandi, berjalan sesuai toleransi).
Terapeutik
17

1. Fasilitasi aktivitas ambilasi dengan alat bantu


(mis. tongkat, kruk)
2. Fasilitasi melakukan mobilisasi fisik, jika perlu
3. Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam
meningkatkan ambulasi.
Edukasi
1. Identifikasi kesiapan dan kemampuan menerima
informasi
2. Sediakan materi, media dan alat bantu jalan
(mis.tongkat, walker, kruk)
3. Jelaskan prosedur dan tujuan ambulasi tanpa alat
bantu.
4. Ajarkan berdiri dan ambulasi dalam jarak
tertentu.

D.0080 Ansietas Reduksi ansietas


berhubungan dengan Observasi
kurang terpapar 1. Identifikasi saat tingkat ansietas berubah
informasi 2. Identifikasi kemampuan mengambil keputusan
3. Monitor tanda-tanda ansietas (verbal dan
nonverbal)
Terapeutik
1. Ciptakan suasana terapeutik untuk menumbuhkan
kepercayaan
2. Temani pasien untuk mengurangi kecemasan,
jika memungkinkan
3. Pahami situasi yang membuat ansietas
4. Dengarkan dengan penuh perhatian
5. Gunakan pendekatan yang tenang dan
meyakinkan
6. Motivasi mengidentifikasi situasi yang memicu
kecemasan
7. Diskusikan perencanaan realistis tentang
peristiwa yang akan datang
Edukasi
1. Jelaskan prosedur, termasuk sensai yang
mungkin dialami
2. Informasikan secara factual mengenaidiagnosis,
pengobatan, dan prognosis
3. Anjurkan keluarga untuk tetap bersama pasien
jika perlu
4. Anjurkan mengungkapkan perasaan dan persepsi
5. Latih kegiatan pengalihan untuk mengurangi
ketegangan
6. Latih penggunaan mekanisme pertahanan diri
yang tepat
7. Latih teknik relaksasi
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian obat antiansietas
18

E. Aplikasi Pemikiran Kritis dalam Asuhan Keperawatan Medikal Bedah


(Pengaruh Terapi Guided Imagery Terhadap Nyeri Pada Pasien Post
Operasi Fraktur)

1. Definisi
Guided imagery adalah metode relaksasi untuk menghayalkan
tempat dan kejadian berhubungan dengan rasa relaksasi yang
menyenangkan. Khayalan tersebut memungkinkan klien memasuki
keadaan atau pengalaman relaksasi. Guided imagery menggunakan
imajinasi seseorang dalam suatu yang dirancang secara khusus untuk
mencapai efek positif tertentu. Imajinasi bersifat individu dimana individu
menciptakan gambaran mental dirinya sendiri, atau bersifat terbimbing
(Astuti, 2018).
Guided imagery adalah program mengarahkan pikiran dengan
memandu imajinasi seseorang terhadap situasi santai, fokus pada kondisi
untuk mengurangi stres dan meningkatkan kenyamanan dan suasana hati
(Gail W. Stuart, 2016).

2. Etiologi
Guided imagery atau imajinasi terbimbing merupakan penciptaan
khayalan pasien dengan tuntunan dari pemberian pelayanan keperawatan
untuk mendorong pasien memvisualisasikan atau memikirkan
pemandangan atau situasi yang disenangi pasien. Tehnik guided imagery
(imajinasi terbimbing) dapat membantu pasien menstimulasi produksi
endorfin dalam sistem descending control. Sistem descending control
adalah suatu sistem serabut yang berasal dari otak bagian bawah dan
bagian tengah (terutama perlaqueductal gray matter) dan berakhir pada
serabut interneuronal inhibitor dalam kornu dorsalis dari medula spinalis.
Endorfin merupakan zat kimiawi endogen yang berstruktur serupa dengan
opiat atau narkotik yang berfungsi sebagai inhibitor terhadap transmisi
nyeri (Astuti, 2018).
19

Endorfin dapat memblok atau menurunkan transmisi impuls nyeri di


dalam otak dan medulla spinalis melalui gerbang penghambat (Ulya &
Jamaludin, 2017). Kadar endorfin berbeda pada setiap orang, hal ini
menjelaskan mengapa rasa nyeri berbeda tiap individu. Individu dengan
kadar endorfin tinggi akan merasakan nyeri lebih ringan (Lusianah dkk,
2012). Sistem saraf pusat memproduksi endorfin, zat yang terjadi secara
alamiah yang meredakan nyeri. Endorfin dilepaskan setelah melakukan
olahraga dan bentuk stimulasi fisik lain. Sayangnya, endorfin menghilang
dengan cepat. Beberapa pihak percaya bahwa aktivitas selain olahraga,
seperti tertawa, juga meningkatkan produksi endorfin. Ahli teori yakin
bahwa asupan zat kimia dan makanan tertentu, termasuk kafein, nikotin,
alcohol, garam dan gula, menurunkan produksi endorfin (Rosdahl dan
Kowalski, 2017 dalam Widiarti dkk, 2012).
Guided imagery merupakan imajinasi yang dirancang secara khusus
untuk mencapai efek positif. Dengan membayangkan hal-hal yang
menyenangkan maka akan terjadi perubahan aktifitas motorik sehingga
otot-otot yang tegang menjadi relaks, respon terhadap bayangan menjadi
semakin jelas. Hal tersebut terjadi karena rangsangan imajinasi berupa
hal-hal yang menyenangkan akan dijalankan ke batang otak menuju
sensor thalamus untuk diformat. Sebagian kecil rangsangan itu
ditransmisikan ke amigdala dan hipokampus, sebagian lagi dikirim ke
korteks serebri. Sehingga pada korteks serebri akan terjadi asosiasi
pengindraan. Pada hipokampus hal-hal yang menyenangkan akan diproses
menjadi sebuah memori. Ketika terdapat rangsangan berupa imajinasi
yang menyenangkan memori yang tersimpan akan muncul kembali dan
menimbulkan suatu persepsi. Dari hipokampus rangsangan yang telah
mempunyai makna dikirim ke amigdala yang akan membentuk pola
respon yang sesuai dengan makna rangsangan yang diterima. Sehingga
subjek akan lebih mudah untuk mengasosiasikan dirinya dalam
menurunkan sensasi nyeri yang dialami (Novarenta, 2013).
20

3. Dampak Terapi Guided Imagery


Teknik guided imagery dapat mengurangi kecemasan, stress dan
nyeri dengan menggunakan imajinasi seseorang yang melibatkan alat
indera visual, sentuhan, pendengaran, pengecap dan penciuman, dengan
tujuan pasien menjadi lebih tenang dan rileks. Selama latihan relaksasi
seseorang dipandu untuk rileks dengan situasi yang tenang dan sunyi. Hal
itu karena teknik imajinasi terbimbing dapat mengaktivasi sistem saraf
parasimpatis (Potter & Perry, 2006). Melalui guided imagery pasien akan
terbantu untuk mengalihkan perhatian dari nyeri yang dirasakan dengan
membayangkan hal-hal yang menyenangkan. Hal ini sehingga secara
bertahap dapat menurunkan persepsi klien terhadap nyeri yang dirasakan
(Astuti, 2018).

4. Kelebihan dari Terapi Guided Imagery


Kelebihan guided imagery terbukti dapat mempengaruhi nyeri lebih
cepat dibandingkan dengan hanya diberikan analgesik. Penurunan nyeri
ini dapat membantu efek penyembuhan kondisi umum. Efek samping dari
penggunaan analgesik juga dapat dikurangi karena terdapat pengaruh
antara terapi guided imagery pada pasien post operasi fraktur sehingga
direkomendasikan untuk penurunan dosis konsumsi analgesik (Astuti,
2018).

REFERENSI

Astuti, N. D., & Respati, C. A. (2018). Pengaruh Terapi Guided Imagery


Terhadap Nyeri Pada Pasien Post Operasi Fraktur Di Ruang Bougenvil
RSUD Dr. R. Koesma Tuban. Jurnal Midpro, 10(2), 52-63.
Gail W. Stuart, B. A. (2016). Prinsip dan Praktik Keperawatan Kesehatan Jiwa
Stuart. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Novarenta, A. (2013). Guided Imagery untuk Mengurangi Rasa Nyeri saat
Menstruasi. Jurnal kesehatan, 01(02): 187
21

Rosdahl,C., B., Kowalski, M., T. (2017). Buku Ajar Keperawatan Dasar. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran, EGC.
Ulya Khikmatul Nur & Jamaludin. (2017). Pengaruh Terapi Guided Imagery Dan
Iringan Musik Terhadap Penurunan Nyeri Pada Pasien Dengan Post
Apendiktomi Hari 1 Di Ruang Cempaka RSUD Sunan Kalijaga Demak.
jurnal.akperkridahusada.ac.id.
22

DAFTAR PUSTAKA

A.Mark Thomas. 2011. Terapi dan Rehabilitasi Fraktur. Jakarta: EGC


Asikin.M,dkk. 2016. Keperawatan Medikal Bedah Sistem Muskuloskeletal.
Jakarta: Erlangga
Kneale, J., & Davis, P. (2011). Keperawatan ortopedik dan trauma. Jakarta.
EGC.
Mau, F. (2020). Asuhan Keperawatan Pada Klien Post Operasi Frakturcollum
Femur Dengan Masalah Gangguan Mobilitas Fisik Di Rumah Sakit Panti
Waluya Malang (Doctoral dissertation, STIKES Panti Waluya Malang)
Melti Suriya, S. Kep, Ners, M. Kep, Zuriati, S. Kep, Ners, M. K. (2019).
ASUHAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH GANGGUAN SISTEM
MUSKULOSKELETAL APLIKASI NANDA NIC & NOC. Pustaka Galeri
Mandiri.
Mutaqin Arif .2013. Buku Saku Gangguan Muskuloskeletal Aplikasi Pada Praktik
Klinik Keperawatan. Jakarta: EGC
NANDA, N. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis
Nanda Nic Noc
Noor Zairin. 2016. Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta: Salemba
Medika
Price, S. A., & Wilson, L. M. (2014). Patofisiologi konsep klinis proses-proses
penyakit (edisi 6 volume 2). Jakarta: EGC.
Sjamsuhidajat, R., Karnadihardja, W., Prasetyono, T. O. H., & Rudiman, R.
(2011). Buku ajar ilmu bedah sjamsuhidajat-de jong. Edisi ke-3. Jakarta:
EGC, 706-22.
Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. (2015). Keperawatan Medikal Bedah. 8th. Jakarta:
EGC.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia:
Definisi dan Indikator Diagnostik. Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI
Tim Pokja SIKI PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Jakarta
Selatan.
Tim Pokja SLKI PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia.Jakarta
Selatan.
Wahid Abdul. 2013. Asuhan Keperawatan dengan Gangguan Sistem
Muskuloskeletal. Jakarta: Trans Info Media

Anda mungkin juga menyukai