Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN PENDAHULUAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN

SISTEM PERKEMIHAN: OP TUPR BPH (BENIGNA PROSTAT


HYPERPLASIA) DENGAN DI RUANG TRI BRATA
RUMAH SAKIT ANTON SOEDJARWO
BHYANGKARA PONTIANAK

DISUSUN OLEH:
ENDANG FIQHI ARKANANDA
NIM.201133013

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES PONTIANAK
JURUSAN KEPERAWATAN PONTIANAK
PRODI PROFESI NERS
TAHUN 2020/2021
VISI DAN MISI

i
PROGRAM STUDI NERS KEPERAWATAN
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES PONTIANAK

VISI
"Menjadi Institusi Pendidikan Tinggi Kesehatan Terapan Dan Profesi sebagai
Rujukan Nasional Berkualitas Global"

MISI
1. Menyelenggarakan Kegiatan Tridharma Perguruan Tinggi Terapan dan
Profesi Kesehatan yang Berkualitas Global.
2. Menghasilakn Lulusan yang Berintelektualitas Tinggi, Berbudi Luhur dan
Mampu Bersaing Secara Global.
3. Mengembangkan Tata Kelola Perguruan Tinggi yang Mandiri Transparan
dan Akuntabel
4. Berperan Aktif dalam Kerjasama Pengembangan dan Peningkatan Sistem
Pendidikan Tinggi Kesehatan di Tingkat Global

ii
ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn. A PASIEN DENGAN
GANGGUAN SISTEM MUSKULOSKELETAL: DISLOKASI FEMUR
DENGAN POST OPERASI PEMASANGAN SKELETAL TRAKSI DI
RUANG TRI BRATA RUMAH SAKIT ANTON
SOEDJARWO BHYANGKARA
PONTIANAK

Telah Mendapatkan Persetujuan dari Pembimbing Klinik dan Dosen


Pembimbing Praktek Klinik Keperawatan Medikal Bedah

Pontianak, 13 April 2021


Mahasiswa

Endang fiqhi arkananda


NIM. 201133001

Pontianak, Maret, 2021


Mengetahui

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik/CI

Ns. Vonny Pratiwidilaga, S.Kep

iii
KATA PENGANTAR

Puji syukur peneliti ucapkan pada Tuhan Yang Maha Esa atas Kuasa-Nya
yang telah memberikan segala nikmat dan kesempatan sehingga penyusunan
Laporan Pendahuluan yang berjudul “Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan
Gangguan Sistem Muskuloskeletal: Post Operasi Traksi Skeletal” dapat
terselesaikan. Dalam penyusunan Laporan Pendahuluan ini penulis telah
melibatkan bantuan moril dan material dari banyak pihak sehingga penulis dapat
menyelesaikan tugas ini.
Dengan terselesaikannya Laporan Pendahuluan ini, perkenankan pula
saya untuk mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Didik Hariyadi, S.Gz M.Si., selaku Direktur Poltekkes Kemenkes
Pontianak.
2. Ibu Ns. Nurbani, M.Kep., selaku Ketua Jurusan Keperawatan Poltekkes
Kemenkes Pontianak.
3. Ibu Ns. Puspa Wardhani, M.Kep., selaku Ketua Prodi Profesi Ners Poltekkes
Kemenkes Pontianak.
4. Ibu Ns. Vonny Pratiwidilaga, S.Kep selaku Pembimbing Klinik/CI
5. Seluruh Dosen, Instruktur dan Staf Prodi Sarjana Terapan Keperawatan
Pontianak serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu
yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan Laporan Pendahuluan ini
masih banyak kekurangan dan kelemahannya. Untuk itu kritik dan saran dari
pembaca sangat diperlukan demi kesempurnaan Laporan Pendahuluan ini.
Semoga Laporan Pendahuluan ini bagi pembaca khususnya Mahasiswa
Poltekkes Kemenkes Pontianak dalam upaya meningkatkan mutu pembelajaran
mahasiswa di Prodi Profesi Ners Poltekkes Kemenkes Pontianak.
Pontianak, 13 April 2021

Penulis

iv
DAFTAR ISI

Halaman
VISI DAN MISI..............................................................................................ii
HALAMAN PENGESAHAN..........................Error! Bookmark not defined.
KATA PENGANTAR...................................................................................iii
DAFTAR ISI..................................................................................................iv
DAFTAR TABEL..........................................................................................vi
DAFTAR GAMBAR....................................................................................vii

BAB I KONSEP DASAR...............................................................................1


A. Konsep Dasar Dislokasi.......................................................................1
1. Definisi.................................................................................................1
2. Etiologi.................................................................................................1
3. Klasifikasi.............................................................................................2
4. Tanda dan Gejala.................................................................................2
5. Komplikasi...........................................................................................3
6. Pemeriksaan Diagnostik......................................................................3
7. Penatalaksanaan Medis.......................................................................4
B. Konsep Dasar Traksi............................................................................5
1. Definisi...........................................................................................5
2. Tujuan Pemasangan Traksi............................................................6
3. Klasifikasi......................................................................................6
4. Manifestasi Klinis Post Operasi Pemasangan Traksi.....................8

BAB II WEB OF CAUSATION (WOC)......................................................10


A. Web Of Causation..............................................................................10
B. Patofisiologi.......................................................................................10

BAB III PROSES KEPERAWATAN.........................................................12


A. Pengkajian..........................................................................................12

v
C. Diagnosa keperawatan.......................................................................14
D. Perencanaan keperawatan..................................................................15
E. Intervensi keperawatan......................................................................15
F. Aplikasi Pemikiran Kritis dalam Asuhan Keperawatan Medikal
Bedah.......................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................21

vi
DAFTAR TABEL

HalamanTabel 3.1 Perencanaan Keperawatan.....................................................15


Tabel 3.2 Intervensi Keperawatan............................................................. ……..15

DAFTAR GAMBAR

vii
HalamanGambar 2.1 Pathway Post Operasi Dislokasi........................................10

viii
1

BAB I
KONSEP DASAR

A. Konsep Dasar Dislokasi


1. Definisi
Dislokasi sendi adalah cedera yang menyebabkan ujung tulang
mengalami perubahan posisi dari posisi normal dan artikulasi sendi
hilang. Dislokasi biasanya mengikuti trauma seperti terjatuh atau
pukulan. Meskipun dislokasi dapat terjadi pada semua sendi, mereka
terjadi paling sering di bahu dan sendi akromioklavikular (Kneale,
2011).
Dislokasi sendi atau luksasio adalah tergesernya permukaan tulang
yang membentuk persendian terhadap tulang lain (Sjamsuhidajat, 2011).
Dislokasi sendi adalah fragmen fraktur saling terpisah dan
menimbulkan deformitas (Kowalak, 2011).
Jadi, Dislokasi adalah terlepasnya kompresi jaringan tulang dari
kesatuan sendi. Dislokasi ini dapat hanya komponen tulangnya saja yang
bergeser atau terlepasnya seluruh komponen tulang dari tempat yang
seharusnya (dari mangkuk sendi). Sebuah sendi yang ligamen-
ligamennya pernah mengalami dislokasi, biasanya menjadi kendor.
Akibatnya sendi itu akan gampang mengalami dislokasi kembali.
Apabila dislokasi itu disertai pula patah tulang, pembetulannya menjadi
sulit dan harus dikerjakan di rumah sakit. Semakin awal usaha
pengembalian sendi itu dikerjakan, semakin baik penyembuhannya
(Melti Suriya, S. Kep, Ners, M. Kep, Zuriati, S. Kep, Ners, 2019).

2. Etiologi
Penyebab dislokasi sendi yang paling sering dialami adalah
terjatuh. Cedera olah raga biasanya menyebabkan dislokasi adalah sepak
bola dan hoki serta olahraga yang beresiko jatuh, misalnya: terperosok
akibat bermain ski, senam, volley, basket, dan pemain sepak bola paling

1
2

sering mengalami dislokasi pada tangan dan jari-jari karena secara tidak
sengaja menangkap bola dari pemain lain. Trauma yang tidak
berhubungan dengan olah raga benturan keras pada sendi saat
kecelakaan motor biasanya menyebabkan dislokasi, terjatuh dari tangga
atau terjatuh saat berdansa diatas lantai yang licin. Terjadinya ‘tear’
ligament dan kapsul articuler yang merupakan kompenen vital
penghubung tulang (Kneale, 2011).

3. Klasifikasi
Klasifikasi dislokasi sendi berdasarkan penyebabnya adalah:
a. Dislokasi Kongenital: terjadi sejak lahir akibat kesalahan
pertumbuhan, paling sering terlihat pada pinggul.
b. Dislokasi Spontan atau Patologik: akibat penyakit sendi dan atau
jaringan sekitar sendi. Misalnya tumor, infeksi, atau osteoporosis
tulang. Ini disebabkan oleh kekuatan tulang yang berkurang.
c. Dislokasi traumatik: kedaruratan ortopedi (pasokan darah, susunan
saraf rusak dan mengalami stress berat, kematian jaringan akibat
anoksia) akibat oedema (karena mengalami pengerasan). Terjadi
karena trauma yang kuat sehingga dapat mengeluarkan tulang dari
jaringan disekeilingnya dan mungkin juga merusak struktur sendi,
ligamen, syaraf, dan system vaskular. Kebanyakan terjadi pada
orang dewasa (Kneale, 2011).

4. Tanda dan Gejala


Manifestasi klinis dislokasi sendi adalah nyeri akut yaitu nyeri
yang sering terdapat pada dislokasi sendi bahu, sendi siku, metakarpal
phalangeal dan sendi pangkal paha servikal, kemudian terjadi perubahan
kontur sendi, perubahan panjang ekstremitas, mengalami deformitas
pada persendiaan, perubahan sumbu tulang yang mengalami dislokasi,
dan kehilangan mobilitas normal, serta terjadi gangguan gerakan otot-
otot tidak dapat bekerja dengan baik pada tulang tersebut.

2
3

Pembengkakan dan kekakuan juga menjadi manifestasi klinis dari


dislokasi sendi (Kneale, 2011).

5. Komplikasi
Komplikasi dini yaitu fraktur disloksi, cedera pembuluh darah
seperti arteri aksilla dapat rusak. Cedera saraf antara lain saraf aksila
dapat cedera, pasien tidak dapat mengkerutkan otot deltoid dan mungkin
terdapat daerah kecil yang mati rasa pada otot tesebut (Kneale, 2011).

6. Pemeriksaan Diagnostik
a. Sinar-X (Rontgen)
Pemeriksaan rontgen merupakan pemeriksaan diagnostik noninvasif
untuk membantu menegakkan diagnosa medis. Pada pasien dislokasi
sendi ditemukan adanya pergeseran sendi dari mangkuk sendi
dimana tulang dan sendi berwarna putih.
b. CT Scan
CT-Scan yaitu pemeriksaan sinar-X yang lebih canggih dengan
bantuan komputer, sehingga memperoleh gambar yang lebih detail
dan dapat dibuat gambaran secara 3 dimensi. Pada psien dislokasi
ditemukan gambar 3 dimensi dimana sendi tidak berada pada
tempatnya.
c. MRI
MRI merupakan pemeriksaan yang menggunakan gelombang
magnet dan frekuensi radio tanpa menggunakan sinar-X atau bahan
radio aktif, sehingga dapat diperoleh gambaran tubuh (terutama
jaringan lunak) dengan lebih detail. Seperti halnya CT-Scan, pada
pemeriksaan MRI ditemukan adanya pergeseran sendi dari mangkuk
sendi.

3
4

7. Penatalaksanaan Medis
a. Farmakologi

1) Pemberian obat-obatan : analgesik non narkotik


a) Analsik yang berfungsi untuk mengatasi nyeri otot, sendi,
sakit kepala, nyeri pinggang. Efek samping dari obat ini
adalah agranulositosis. Dosis: sesudah makan, dewasa: sehari
3×1 kapsul, anak: sehari 3×1/2 kapsul.
b) Bimastan yang berfungsi untuk menghilangkan nyeri ringan
atau sedang, kondisi akut atau kronik termasuk nyeri
persendian, nyeri otot, nyeri setelah melahirkan. Efek
samping dari obat ini adalah mual, muntah, agranulositosis,
aeukopenia. Dosis: dewasa; dosis awal 500mg lalu 250mg
tiap 6 jam.
b. Pembedahan
1) Operasi Ortopedi
Operasi ortopedi merupakan spesialisasi medis yang
mengkhususkan pada pengendalian medis dan bedah para pasien
yang memiliki kondisi-kondisi arthritis yang mempengaruhi
persendian utama, pinggul, lutut dan bahu melalui bedah invasif
minimal dan bedah penggantian sendi. Prosedur pembedahan
yang sering dilakukan meliputi Reduksi Terbuka dengan Fiksasi
Interna atau disingkat ORIF (Open Reduction and
Fixation).Berikut dibawah ini jenis-jenis pembedahan ortopedi
dan indikasinya yang lazim dilakukan:
a) Reduksi Terbuka: melakukan reduksi dan membuat
kesejajaran tulang yang patah setelah terlebih dahulu
dilakukan diseksi dan pemajanan tulang yang patah.
b) Fiksasi Interna: stabilisasi tulang patah yang telah direduksi
dengan skrup, plat, paku dan pin logam.

4
5

c) Graft Tulang: penggantian jaringan tulang (graft autolog


maupun heterolog) untuk memperbaiki penyembuhan, untuk
menstabilisasi atau mengganti tulang yang berpenyakit.
d) Amputasi: penghilangan bagian tubuh.
e) Artroplasti: memperbaiki masalah sendi dengan artroskop
(suatu alat yang memungkinkan ahli bedah mengoperasi
dalamnya sendi tanpa irisan yang besar) atau melalui
pembedahan sendi terbuka.
f) Menisektomi: eksisi fibrokartilago sendi yang telah rusak.
g) Penggantian sendi: penggantian permukaan sendi dengan
bahan logam atau sintetis.
h) Penggantian sendi total: penggantian kedua permukaan
artikuler dalam sendi dengan logam atau sintetis.
i) Pemasangan Traksi: memberikan terapi khusus kepada
pasien yang mengalami gangguan pada otot maupun tulang
dengan memanfaatkan gaya tarik

B. Konsep Dasar Traksi


1. Definisi
Traksi merupakan alat yang digunakan untuk memberikan terapi
khusus kepada pasien yang mengalami gangguan pada otot maupun
tulang (Maiti & Bidinger, 2011).
Traksi adalah tahanan yang dipakai dengan berat atau alat lain
untuk menangani kerusakan atau gangguan pada tulang dan otot (Sandi,
2012).
Traksi adalah suatu pemasangan gaya tarikan pada bagian tubuh.
Traksi digunakan untuk meminimalkan spasme otot, untuk mereduksi,
mensejajarkan, dan mengimobilisasi fraktur, untuk mengurangi
deformitas, dan untuk menambah ruangan diantara kedua permukaan
patahan tulang. Traksi harus diberikan dengan arah dan besaran yang
diinginka untuk mendapatkan efek terapeutik. Faktor-faktor yang

5
6

mengganggu keefekktifan tarikan traksi harus dihilangkan (Smeltzer &


Bare, 2001).

2. Tujuan Pemasangan Traksi


Tujuan dari pemasangan traksi pada klien yang mengalami
gangguan muskuloskeletal adalah mobilisasi tulang belakang servikal,
reduksi dislokasi/ subluksasi, distraksi interforamina vertebrae,
mengurangi deformitas, dan mengurangi rasa nyeri.
Tujuan dari traksi adalah untuk menangani fraktur, dislokasi atau
spasme otot dalam usaha untuk memperbaiki deformitas dan
mempercepat penyembuhan, untuk menjaga mereka immobile sedang
hingga mereka bersatu.

3. Klasifikasi
a. Menurut jenisnya traksi meliputi:
1) Traksi lurus atau langsung, memberikan gaya tarikan dalam satu
garis lurus dengan bagian tubuh berbaring di tempat tidur. Traksi
ekstensi Buck dan traksi pelvis merupakan contoh traksi lurus.
2) Traksi suspensi seimbang memberi dukungan pada ekstrimitas
yang sakit di atas tempat tidur sehingga memungkinkan
mobilisasi klien sampai batas tertentu tanpa terputusnya garis
tarikan. Traksi ini memberi dukungan pada ekstremitas yang
sakit di atas tempat tidur, sehingga memungkinkan mobilisasi
pasien sampai batas tertentu tanpa terputusnya gaya tarikan.
b. Menurut Cara Pemasangan Traksi
Traksi dapat dilakukan pada kulit (traksi kulit) atau langsung
ke skelet tubuh (traksi skelet). Traksi dapat dipasang dengan tangan
(traksi manual), dan merupakan traksi sementara yang bisa
digunakan pada saat pemasangan gips.
1) Traksi Kulit

6
7

Traksi kulit digunakan untuk mengontrol spasme kulit dan


memberikan imobilisasi. Bila dibutuhkan beban traksi yang berat
dan dalam waktu yang lama, sebaiknya gunakan traksi skelet.
Traksi kulit terjadi akibat beban menarik tali, spon karet atau
bahan kanvas yang diletakkan ke kulit. Traksi pada kulit
meneruskan traksi ke struktur musculoskeletal. Beratnya beban
yang dipasang sangat terbatas, tidak boleh melebihi toleransi
kulit, tidak lebih dari 2-3 kg traksi pelvis umumnya 4,5-9 kg,
tergantung berat badan klien (Smeltzer, 2001).
Beban tarikan pada traksi kulit tidak boleh melebihi 5 kg,
karena bila beban berlebih kulit dapat mengalami nekrosis akibat
tarikan yang terjadi karena iskemia kulit. Pada kulit yang tipis,
beban yang diberikan lebih kecil lagi dan pada orang tua tidak
boleh dilakukan traksi kulit. Traksi kulit banyak dipasang pada
anak-anak karena traksi skelet pada anak dapat merusak cakram
epifisis. Jadi beratnya beban traksi kulit antara 2-5 kg
dikarenakan traksi diaplikasikan ke kulit kurang aman, batasi
kekuatan tahanan traksi.
Traksi kulit yang berperekat digunakan untuk traksi
continue, sementara yang tidak berperekat digunakan secara
intermitten, traksi tersebut dapat dengan mudah dilepaskan dan
dipasang kembali. Hal ini bisa dilakukan dengan cara yang
bervariasi: ekstensi adhesive dan non adhesive kulit, splint, sling,
sling pelvis, dan halter cervical.
2) Traksi Skeletal
Metode ini sering digunakan untuk menangani fraktur
femur, tibia humerus, dan tulang leher. Traksi dipasang langsung
ke tulang dengan menggunakan pin metal atau kawat (missal
Steinman’s pin, Kirchner wire) yang dimasukkan ke dalam
tulang di sebelah distal garis fraktur, menghindari saraf,
pembuluh darah, otot, tendon, dan sendi. Tong yang dipasang di

7
8

kepala (missal Gardner-Wells tong) difiksasi di kepala untuk


memberikan traksi yang mengimobilisasi fraktur leher (Smeltzer,
2001).
Traksi skelet biasanya menggunakan beban 7-12 kg untuk
mencapai efek terapi. Beban yang dipasang biasanya harus dapat
melawan daya pemendekan akibat spasme otot yang cedera.
Ketika otot rileks, beban traksi dapat dikurangi untuk mencegah
terjadinya dislokasi garis fraktur dan untuk mencapai
penyembuhan fraktur.
Beban traksi untuk reposisi tulang femur dewasa
biasanya 5-7 kg, pada dislokasi lama panggul bisa sampai
15-20 kg.
Kadang-kadang traksi skelet bersifat seimbang, yang
menyokong ekstremitas terkena, memungkinkan klien dapat
bergerak sampai batas-batas tertentu, dan memungkinkan
kemandirian klien maupun asuhan keperawatan, sementara traksi
yang efektif tetap dipertahankan.

4. Manifestasi Klinis Post Operasi Pemasangan Traksi


Menurut (Apley, 2010) tanda dan gejala post operasi tulang
ekstermitas adalah
a. Oedem di area sekitar dislokasi dan luka insisi sehingga tubuh
memberikan respon inflamasi atau kerusakan jaringan sekitar.
b. Rasa nyeri, akibat luka insisi operasi serta oedem di area dislokasi
menyebabkan tekanan pada jaringan interstitial sehingga akan
menekan noiceptor dan menimbulkan nyeri.
c. Keterbatasan lingkup gerak sendi akibat oedem dan nyeri pada luka
insisi menyebabkan pasien sulit bergerak, sehingga akan
menimbulkan ganguan atau penurunan lingkup gerak sendi.
d. Penurunan kekuatan otot, akibat oedem dan nyeri dapat
menyebabkan penurunanan kekuatan otot karena pasien tidak ingin

8
9

menggerakkan bagian ekstremitasnya dan dalam jangka waktu yang


lama akan menyebabkan disuseda trophy. Kebanyakan pasien
merasa takut untuk bergerak setelah operasi karena merasa nyeri
pada luka operasi dan luka trauma (Smeltzer & bare, 2013).

9
BAB II
WEB OF CAUSATION (WOC)
A. Web Of Causation

Kecelakaan, Trauma, Terjatuh

Dislokasi

Operasi Pemasangan Traksi


Skeletal

Efek Anastesi Hilang Post Operasi Pemasangan Luka Insisi


Traksi Skeletal

Mediator Nyeri Kerusakan


Gangguan Integritas Kulit
Aktivitas
Nyeri Akut

Gangguan Mobilitas
Fisik

Gambar 2.1 Pathway Post Operasi Dislokasi


Sumber: Modifikasi dari aplikasi diagnosa keperawatan Nanda NIC NOC, 2015

B. Patofisiologi
Cedera pada dislokasi sendi berbagai macam, seperti cedera saat trauma,
terjatuh dan cedera akibat olahraga dikarenakan beberapa hal seperti tidak
melakukan exercise sebelum olahraga memungkinkan terjadinya dislokasi,
dimana cedera olahraga menyebabkan terlepasnya kompresi jaringan tulang
dari kesatuan sendi sehingga dapat merusak struktur sendi dan ligamen.
Keadaan selanjutnya terjadinya kompresi jaringan tulang yang terdorong ke
depan sehingga merobek kapsul/menyebabkan tepi glenoid teravulsi

10
akibatnya tulang berpindah dari posisi normal. Keadaan tersebut dikatakan
sebagai dislokasi.
Trauma kecelakaan karena kurang kehati-hatian dalam melakukan suatu
tindakan atau saat berkendara tidak menggunakan helm dan sabuk pengaman
memungkinkan terjadi dislokasi. Trauma kecelakaan dapat kompresi jaringan
tulang dari kesatuan sendi sehingga dapat merusak struktur sendi dan ligamen.
Keadaan selanjutnya terjadinya kompres jaringan tulang yang terdorong ke
depan sehingga merobek kapsul/menyebabkan tepi glenoid teravulsi
akibatnya tulang berpindah dari posisi normal yang menyebabkan dislokasi
(Sjamsuhidajat, 2011).
BAB III
PROSES KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Biodata
Meliputi: Nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan,
diagnosa medis, no register dan tanggal MRS.
2. Keluhan Utama
Biasanya px mengeluh sakit (nyeri) pada daerah luka post op apabila
digerakkan.
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pada umumnya penderita mengeluh nyeri pada daerah luka operasi.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Pada klien dislokasi pernah mengalami kejadian dislokasi sebelumnya dan
pernah mengalami tindakan operasi apa tidak.
5. Riwayat Kesehatan Keluarga
Dislokasi bukan penyakit menular dan menurun, sehingga silsilah
keluarga tidak terlalu berdampak pada penyakit ini. Namun, penyakit
keturunan seperti Diabetes Militus dan Hipertensi di tanyakan, karena
penyakit tersebut bersifat herediter. Kaji pola kesehatan keluarga yang
diterapakan jika ada anggota kelurga yang sakit, misalnya minum jamu
saat sakit.
6. Pola-pola fungsional
a. Pola aktivitas dan latihan Aktivitas dan latihan mengalami perubahan/
gangguan akibat adanya luka operasi sehingga perlu dibantu baik
perawat maupun klien.
b. Pola tidur dan istirahat Kebiasaan pola tidur dan istirahat px
mengalami gangguan yang disebabkan oleh nyeri luka post op.
c. Pola persepsi dan konsep diri Setelah pasien mengalami post op pasien
akan mengalami angguan konsep diri karena perubahan cara berjalan
akibat kecelakan.

12
d. Pola sensori dan kognitif Biasanya pasien mengeluh nyeri yang
disebabkan oleh adanya kerusakan jaringan lunak dan hilangnya darah
serta cairan seluler ke dalam jaringan.
e. Pola tata nilai dan kepercayaan Biasanya pasien pada post operasi
akan mengalami gangguan/ perubahan dalam menjalankan ibadahnya.
f. Pola Nutrisi dan Metabolisme Pada klien fraktur harus mengkonsumsi
nutrisi melebihi kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium, zat besi,
protein, vit. C dan lainnya untuk membantu proses penyembuhan
tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu
menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan mengantisipasi
komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium atau
protein dan terpapar sinar matahari yang kurang merupakan faktor
predisposisi masalah muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu
juga obesitas juga menghambat degenerasi dan mobilitas klien.
g. Pola Eliminasi Untuk kasus fraktur tidak ada gangguan pada pola
eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi,
konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan
pada pola eliminasi urin dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau,
dan jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak.
h. Pola Tidur dan Istirahat. Semua klien fraktur timbul rasa nyeri,
keterbatasan gerak, sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan
kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan pada
lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur
serta penggunaan obat tidur.
i. Pola Aktivitas Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka
semua bentuk kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien
perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah
bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena ada beberapa
bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding
pekerjaan yang lain.
j. Pola Hubungan dan Peran Klien akan kehilangan peran dalam
keluarga dan dalam masyarakat. Karena klien harus menjalani rawat
inap.
k. Pola Reproduksi Seksual Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak
bisa melakukan hubungan seksual karena harus menjalani rawat inap
dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu
juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah anak, lama
perkawinannya
7. Pemeriksaan fisik
a. Pada pasien post op terdapat adanya perubahan yang menonjol pada
sistem integumen seperti warna kulit, tekstur kasar ada / tidak, terjadi
rembesan darah pada luka post op ada / tidak.
b. Sistem Ektremitas dan Neurologis Pada pasien fraktur, post op
ekstremitas kaki tidak bisa digerakkan dengan bebas dan terdapat
adanya jahitan apa tidak.
c. Sistem Respirasi Biasanya pada pasien post op fraktur ada / tidak
perubahan yang menonjol seperti bentuk data ada / tidaknya sesak
nafas, suara tambahan, pernafasan cuping hidung.

C. Diagnosa keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan kerusakan neuromuscular, gerakan
fragmen tulang, edema, cedera jaringan lunak, pemasangan traksi,
stress/ansietas.
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri, pembengkakan,
prosedur bedah, immobilisasi
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan, pemasangan traksi (pen,
kawat, sekrup)
D. Perencanaan keperawatan
Tabel 3.1 Perencanaan Keperawatan
No Diagnosa Keperawatan Luaran
SLKI
1. D.0077 Nyeri akut Setelah dilakukan asuhan keperawatan
berhubungan dengan diharapkan tingkat nyeri menurun dan kontrol
agen pendera fisik nyeri meningkat dengan kriteria hasil:
(prosedur operasi) 1. Tidak mengeluh nyeri
2. Tidak meringis
3. Tidak bersikap protektif
4. Tidak gelisah
5. Tidak mengalami kesulitan tidur
6. Frekuensi nadi membaik
7. Tekanan darah membaik
8. Melaporkan nyeri terkontrol
9. Kemampuan mengenali onset nyeri
meningkat
10. Kemampuan mengenali penyebab nyeri
meningkat
11. Kemampuan menggunakan teknik non-
farmakologis

2. 0054 Gangguan Setelah dilakukan asuhan keperawatan maka


mobilitas fisik diharapkan gangguan mobilitas fisik teratasi
berhubungan dengan dengan kriteria hasil:
nyeri, pembengkakan, 1. Nyeri menurun
prosedur bedah, 2. Kecemasan menurun
immobilisasi 3. Gerakan terbatas menurun
4. Kelemahan fisik menurun

3. D.0129 Kerusakan Setelah dilakukan intervensi maka integritas


integritas kulit kulit dan jaringan meningkat dengan kriteria
berhubungan dengan, hasil:
pemasangan traksi (pen, 1. Elasitas meningkat
kawat, sekrup) 2. Kerusakan jaringan menurun
3. Perdarahan menurun
4. Kerusakan lapisan menurun
5. Sensasi membaik
6. Tekstur membaik.

E. Intervensi keperawatan
Tabel 3.2 Intervensi Keperawatan
Intervensi
Diagnosa Keperawatan
SIKI
D.0077 Nyeri akut Intervensi Utama: Dukungan Nyeri Akut:
berhubungan dengan Pemberian analgesik
agen pendera fisik Observasi
(prosedur operasi) 1. Identifikasi karakteristik nyeri (mis. pencetus,
pereda, kualitas, lokasi, intensitas, frekuensi,
durasi)
2. Identifikasi riwayat alergi obat
3. Identifikasi kesesuaian jenis analgesik (mis.
narkotika, non-narkotika, atau NSAID) dengan
tingkat keparahan nyeri
4. Monitor tanda-tanda vital sebelum dan sesudah
pemberian analgesik
5. Monitor efektifitas analgesik
Terapeutik
1. Diskusikan jenis analgesik yang disukai untuk
mencapai analgesia optimal
2. Pertimbangkan pengguanaan infus kontinu, atau
bolus oploid untuk mempertahankan kadar dalam
serum
3. Tetapkan target efektifitas analgesik untuk
mengoptimalkan respons pasien
4. Dokumentasikan respons terhadap efek analgesik
dan efek yang tidak diinginkan
Edukasi
1. Jelaskan efek terapi dan efek samping obat
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian dosis dan jenis analgesik,
sesuai indikasi
Dukungan Nyeri Akut:
Manajemen Nyeri
Observasi
1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
2. Identifikasi skala nyeri
3. Identifikasi respons nyeri non verbal
4. Identifikasi faktor yang memperberat dan
memperingan nyeri
5. Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang
nyeri
6. Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon
nyeri
7. Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
8. Monitor keberhasilan terapi komplementer yang
sudah diberikan
9. Monitor efek samping penggunaan analgetik
Terapeutik
1. Berikan teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri (mis. TENS, hypnosis,
akupresur, terapi musik, biofeedback, terapi pijat,
aromaterapi, teknik imajinasi terbimbing,
kompres hangat/dingin, terapi bermain)
2. Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri
(mis. suhu ruangan, pencahayaan, kebisingan)
3. Fasilitasi istirahat dan tidur
4. Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam
pemilihan strategi meredakan nyeri
Edukasi
1. Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
2. Jelaskan strategi meredakan nyeri
3. Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
4. Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
5. Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian analgetic

0054 Gangguan Dukungan Ambulasi


mobilitas fisik 1. Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik
berhubungan dengan lainnya.
nyeri, pembengkakan, 2. Identifikasi toleransi fisik melakukan ambulasi.
prosedur bedah, 3. Jelaskan tujuan dan prosedur ambulasi.
immobilisasi 4. Anjurkan melakukan ambulasi dini.
5. Ajarkan ambulasi sederhana yang harus
dilakukan (mis. Berjalan dari tempat tidur ke
kursi roda, berjalan dari tempat tidur ke kamar
mandi, berjalan sesuai toleransi).
Edukasi
1. Identifikasi kesiapan dan kemampuan menerima
informasi
2. Sediakan materi, media dan alat bantu jalan
(mis.tongkat, walker, kruk)
3. Jelaskan prosedur dan tujuan ambulasi tanpa alat
bantu.
4. Ajarkan berdiri dan ambulasi dalam jarak
tertentu.

D.0129 Kerusakan Perawatan integritas kulit


integritas kulit Observasi
berhubungan dengan, 1. Identifikasi penyebab gangguan integritas kulit
pemasangan traksi (pen, Edukasi
kawat, sekrup) 2. Anjurkan minum air yang cukup
3. Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
4. Perawatan luka
Observasi
1. Monitor karakteristik luka (warna, ukuran, bau)
2. Monitor tanda-tanda infeksi
Terapeutik
1. Pertahankan teknik steril saat melakukan
perawatan luka
2. Ganti balutan sesuai jumlah eksudat
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian antibiotik
F. Aplikasi Pemikiran Kritis dalam Asuhan Keperawatan Medikal Bedah

1. Definisi
Traksi merupakan tahanan yang dipakai dengan berat atau alat lain
untuk menangani kerusakan atau gangguan pada tulang dan otot artinya
untuk menangani fraktur, dislokasi atau spasme otot dalam usaha untuk
memperbaiki deformitas dan mempercepat penyembuhan, sedangkan
mekanisme traksi adalah adanya dorongan ke arah yang berlawanan yang
diperlukan untuk keefektifan traksi tersebut, salah satu traksi tersebut
adalah traksi skeletal. Traksi skeletal dapat dicapai melalui pin yang
dimasukkan kedalam tulang sebagai traksi dapat bersifat menarik
ekstermitas yang terkena fraktur, sehingga memungkinkan gerakan pasien
dapat bergerak pada batas-batas tertentu dan memungkinkan kemandirian
pasien maupun pelayanan baik medis maupun keperawatan yang efektif
dan tetap dipertahankan (Smeltzer & Bare, 2001).
Salah satu dampak dari pemasangan traksi skeletal tersebut adalah
dekubitus, kejadian dekubitus tersebut merupakan masalah yang sering
terdapat pada area tulang yang menonjol seperti tumit (calcaneal), yang
disebabkan oleh tindakan medis konservatif artinya tindakan sementara
sebelum tindakan definitif atau operatif dengan mengistirahatkan dulu
area yang patah akibatnya terjadi hambatan proses aliran vaskuler tidak
dapat mengalir secara baik sampai ke area plantar (telapak kaki) oleh
karena posisi area tumit lebih tinggi daripada area femur, sehingga
mengakibatkan berkurangnya asupan nutrisi dan oksigen pada area
tersebut, dengan tanda-tanda awal tampak kemerahan pada area sekitar
calcaneal apabila terus berlanjut ada atau tanpa disertai adanya rasa nyeri
bahkan sampai timbul terjadi perlukaan (Tedjo B.A., 2011).

2. Etiologi
Penyebeb terjadinya dekubitus pada area kaki merupakan dampak
dari pemasangan traksi pada pasien dengan cedera muskuloskeletal,
karena posisi elevasi dan tekanan yang lama membuat aliran sirkulasi
vaskuler kurang baik (Tedjo B.A., 2011)..

3. Penyelesaian
Pencegahan dekubitus seperti pasien yang terpasang traksi skeletal
merupakan prioritas dalam perawatan pasien, salah satu upaya pencegahan
diantaranya yang utama adalah dengan pemasangan heel ring pada tumit,
pemasangan lift sling pada area regio sacrum serta pemasangan ortho
pillow pada area persyarafan pada pelipatan lutut (poplitea nerve),
disamping itu selalu melakukan latihan mobilisasi secara terbatas.
Sehingga diharapkan adanya resiko klinik dapat menurunkan keluhan
pasien (Eldawati, 2011).
Pencegahan utama kejadian dekubitus pada area tumit (calcaneal)
dipasang heel ring tersebut dapat terbuat dari bahan yang lembut (terbuat
dari gell atau kapas yang dimodifikasi) sehingga mengurangi adanya
tekanan dalam waktu yang lama dan menetap artinya proses aliran
vaskuler tidak ada hambatan yang besar, disamping itu pasien juga dapat
dilatih untuk menggerakkan engkel kaki secara periodik dan setiap hari
harus dilakukan sehingga dapat merangsang aliran vaskuler untuk tetap
memberikan asupan nutrisi dan oksigen pada daerah tumit tersebut. Selain
itu setiap hari petugas selalu melakukan pemijatan secara periodik tumit
tersebut sehingga dapat merangsang aliran vaskuler tetap baik dan dengan
pemijatan akan merangsang area jaringan pada tumit dapat tetap baik
(Tedjo B.A., 2011).
Untuk pencegahan lainnya yang dilakukan dengan memberikan
bantal yang terbuat dari kain yang dilipat sehingga tidak sesuai dengan
bentuk anatomi tumit mengakibatkan permukaan kulit pada area tumit
masih tampak kemerahan, untuk itu akan diteliti dengan menggunakan
heel ring. Kelebihan heel ring yaitu mudah dibuat, murah, bisa
dipergunakan lebih dari sekali, mudah cara menggunakannya dan
bentuknya mengikuti anatomi tumit
DAFTAR PUSTAKA

Fatonah, A. (2015). Pengaruh Penggunaan Heel Ring Terhadap Kejadian


Dekubitus Pada Pasien Yang Terpasang Traksi Skeletal Di Ruang Rawat
Inap Bedah Flamboyan Instalasi Rawat Inap Bedah RSUD Dr. Soetomo
Surabaya (Doctoral dissertation, UNIVERSITAS AIRLANGGA).
Kneale, J., & Davis, P. (2011). Keperawatan ortopedik dan trauma. Jakarta.
EGC.
Tedjo B.A. (2011). Facitis Plantaris. http://www.alat.fisioterapi.web.id/2011/03/
facitis-plantaris.html, diakses tanggal 27 Maret 2021
DAFTAR PUSTAKA

Bernatzky, G, et al., (2011). Emosional foundations ofmusic a non-farmacologis


pain management tool in modern medicine. Neurosci. doi: 10.1016/j.
neubiorev.2011.06.005.
Demir, Yurdanur. (2011). Non farmacological therapies in pain management
science. Abant izzet baysal university, Bolu Health science hight school
turkey.
Kneale, J., & Davis, P. (2011). Keperawatan ortopedik dan trauma. Jakarta.
EGC.
Maiti, & Bidinger. (2011). PEMBUATAN TRAKSI BERBASIS
MIKROKONTROLLER ATMEGA8535 DENGAN DUA MODE
“LUMBAL DAN LEHER". Journal of Chemical Information and Modeling,
53(9), 1689–1699.
Melti Suriya, S. Kep, Ners, M. Kep, Zuriati, S. Kep, Ners, M. K. (2019).
ASUHAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH GANGGUAN SISTEM
MUSKULOSKELETAL APLIKASI NANDA NIC & NOC. Pustaka Galeri
Mandiri.
NANDA, N. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis
Nanda Nic Noc
Price, S. A., & Wilson, L. M. (2014). Patofisiologi konsep klinis proses-proses
penyakit (edisi 6 volume 2). Jakarta: EGC.
Roasdalh, C. B., & Kawalski, M. T. (2015). Buku Ajar Kperawatan Dasar (Edisi
10 volume 3). Jakarta: EGC.
Samudro, H. B. (2013). Penatalaksanaan Fisioterapi Dengan Terapi Latihan
Dan Infra Red (IR) Pada Kondisi Post Dislokasi Sendi Acromioclavicular
Dextra (Doctoral dissertation, Universitas Muhammadiyah Surakarta).
Septadina, I. S. (2015). Prinsip Penatalaksanaan Dislokasi Sendi
Temporomandibular. Majalah Kedokteran Sriwijaya, 47(1), 61-66.
Siswo, L. Dislokasi Sendi Bahu: Epidemiologi Klinis dan Tinjauan Anatomi.
Buku Abstrak: Kongres Nasional Perhimpunan Ahli Anatomi Indonesia
Jakrta, 27-28 Maret 2015.
Sjamsuhidajat, R., Karnadihardja, W., Prasetyono, T. O. H., & Rudiman, R.
(2011). Buku ajar ilmu bedah sjamsuhidajat-de jong. Edisi ke-3. Jakarta:
EGC, 706-22.
Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. (2015). Keperawatan Medikal Bedah. 8th. Jakarta:
EGC.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia:
Definisi dan Indikator Diagnostik. Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI
Tim Pokja SIKI PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Jakarta
Selatan.
Tim Pokja SLKI PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia.Jakarta
Selatan.

Anda mungkin juga menyukai