Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN

PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN ASMA BRONKIAL


RUMAH SAKIT TK.II KARTIKA HUSADA

DISUSUN OLEH
ROHMAN
NIM. 2011133032

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLTEKKES KEMENKES PONTIANAK
PRODI PENDIDIKAN PROFESI NERS
JURUSAN KEPERAWATAN
TAHUN 2021
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN PENDAHUUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN


GANGGUAN ASMA BRONKIAL

Pontianak, Oktober 2021

Mahasiswa

Rohman
NIM. 2011133032

Mengetahui,

Pembimbing akademik Pembimbing klinik


BAB I
LAPORAN PENDAHULUAN

1. Pengertian Asma
Asma adalah penyakit jalan nafas obstruktif intermiten, reversibel
dimana trakea dan bronkhi berespon dalam secara hiperaktif terhadap
stimuli tertentu. Asma dimanifestasikan dengan penyempitan jalan nafas
yang mengakibatkan dispnea, batuk dan mengi (Brunner & Suddart, 2011).
Asma adalah suatu keadaan dimana saluran nafas mengalami
penyempitan karena hiperaktivitas pada rangsangan tertentu, yang
mengakibatkan peradangan, penyempitan ini bersifat sementara (Wahid &
Suprapto, 2013). Asma merupakan penyakit jalan napas obstruktif
intermitten, bersifat reversibel dimana trakea dan bronchi berespon secara
hiperaktif terhadap stimuli tertentu serta mengalami peradangan atau
inflamasi (Padila, 2013).
Asma merupakan penyakit kronis yang ditandai dengan peningkatan
kepekaan bronkus terhadap berbagai rangsangan sehingga mengakibatkan
penyempitan saluran pernafasan yang luas, reversibel dan spontan. Asma
terjadi karena adanya gangguan disaluran tenggorokan tempat keluar
masuknya udara. Saat sesuatu pemicu terjadinya asma maka dinding saluran
nafas akan mengetat sehingga saluran nafas akan menyempit dan
menyebabkan penderita mengalami sesak nafas (Haryanto, 2014).

2. Etiologi
Asma adalah suatu obstruktif jalan nafas yang reversibel yang
disebabkan oleh kontraksi otot di sekitar bronkus sehingga terjadi
penyempitan jalan nafas, pembengkakan membran bronkus, dan terisinya
bronkus oleh mukus yang kental.
Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi
timbulnya serangan asma bronchial, antara lain sebagai berikut:
a. Faktor predisposisi (genetik)
Dimana yang diturunkan adalah bakat alerginya, Penderita dengan penyakit
alergi biasanya mempunyai keluarga dekat juga menderita penyakit alergi.
Karena adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit
asma bronkhial jika terpapar dengan foktor pencetus. Selain itu
hipersentifisitas saluran pernafasannya juga bisa diturunkan.
b. Faktor Presipitasi (Pencetus )
1) Alergen, dimana alergen dibagi menjadi tiga jenis , yaitu :
a) Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan. Seperti debu, bulu
binatang,   serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan polusi.
b) Ingestan, yang masuk melalui mulut. Seperti makanan dan obat-
obatan.
c) Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit. seperti
perhiasan, logam dan jam tangan.
2) Perubahan cuaca, kadang-kadang serangan berhubungan dengan musim,
seperti: musim hujan, musim kemarau, musim bunga. Hal ini
berhubungan dengan arah angin serbuk bunga dan debu.
3) Stress atau gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma,
selain itu juga bisa memperberat serangan asma yang sudah ada. Oleh
karena itu pengelolaan strees harus dengan baik, jika stressnya belum
diatasi maka gejala asmanya belum bisa diobati
4) Lingkungan kerja, hal ini berkaitan dengan dimana dia bekerja. Misalnya
orang yang bekerja di laboratorium hewan, industri tekstil, pabrik asbes,
polisi lalu lintas.
5) Olahraga atau aktifitas jasmani yang berat, sebagian besar penderita
asma akan mendapat serangan jika melakukan aktifitas jasmani atau aloh
raga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan asma.
Serangan asma karena aktifitas biasanya terjadi segera setelah selesai
aktifitas tersebut.
3. Patofisologis
Adanya faktor pencetus seperti debu, asap rokok, bulu binatang, hawa
dingin terpapar pada penderita. Benda-benda tersebut setelah terpapar
ternyata tidak dikenali oleh sistem di tubuh penderita sehingga dianggap
sebagai benda asing (antigen). Anggapan itu kemudian memicu
dikeluarkannya antibody yang berperan sebagai respon reaksi hipersensitif
seperti neutropil, basophil, dan immunoglobulin E. Masuknya antigen pada
tubuh yang memicu reaksi antigen akan menimbulkan reaksi antigen-
antibodi yang membentuk ikatan seperti key and lock (gembok dan kunci).
Pada asma yang timbul akibat reaksi imunologik, reaksi antigen –
antibody menyebabkan lepasnya mediator kimia yang dapat menimbulkan
kelainan patologi. Mediator kimia tersebut adalah:
a. Histamin
1) Kontraksi otot polos.
2) Dilatasi pembuluh kapiler dan kontraksi pembuluh vena, sehingga
terjadi edema.
3) Bertambahnya sekresi kelenjar dimukosa bronchus, bronkhoilus,
mukosa, hidung dan mata.
b. Bradikinin
1) Kontraksi otot polos bronchus.
2) Meningkatkan permeabilitas pembuluh darah.
3) Vasodepressor (penurunan tekanan darah).
4) Bertambahnya sekresi kelenjar peluh dan ludah.
c. Prostaglandin.
Bronkokostriksi (terutama prostaglandin F).

4. Manifestasi Klinis
Manifestasi Klinik pada pasien asma adalah batuk, dyspne, dari
wheezing. Dan pada sebagian penderita disertai dengan rasa nyeri dada pada
penderita yang sedang bebas serangan tidak ditemukan gejala klinis,
sedangkan waktu serangan tampak penderita bernafas cepat, dalam, gelisah,
duduk dengan tangan menyanggah ke depan serta tampak otot-otot bantu
pernafasan bekerja dengan keras. Ada beberapa tingkatan penderita asma
yaitu :
a. Tingkat I :
Secara klinis normal tanpa kelainan pemeriksaan fisik dan fungsi paru.
Timbul bila ada faktor pencetus baik di dapat alamiah maupun dengan
test provokasi bronkial di laboratorium.
b. Tingkat II :
Tanpa keluhan dan kelainan pemeriksaan fisik tapi fungsi paru
menunjukkan adanya tanda-tanda obstruksi jalan nafas. Banyak
dijumpai pada klien setelah sembuh serangan.
c. Tingkat III :
Tanpa keluhan.Pemeriksaan fisik dan fungsi paru menunjukkan adanya
obstruksi jalan nafas.Penderita sudah sembuh dan bila obat tidak
diteruskan mudah diserang kembali.
d. Tingkat IV :
Klien mengeluh batuk, sesak nafas dan nafas berbunyi wheezing.
Pemeriksaan fisik dan fungsi paru didapat tanda-tanda obstruksi jalan
nafas.
e. Tingkat V :
Status asmatikus yaitu suatu keadaan darurat medis berupa serangan
asma akut yang berat bersifat refrator sementara terhadap pengobatan
yang lazim dipakai. Asma pada dasarnya merupakan penyakit obstruksi
jalan nafas yang reversibel. Pada asma yang berat dapat timbul gejala
seperti : Kontraksi otot-otot pernafasan, cyanosis, gangguan kesadaran,
penderita tampak letih, takikardi.
5. Komplikasi penyakit
Adapun komplikasi yang dapat ditimbulkan karena penyakit asma
menurut (Wahid & Suprapto, 2013) yaitu:
a. Status Asmatikus: suatu keadaan darurat medis berupa serangan asma
akut yang bersifat refrator terhadap pengobatan yang lazim dipakai.
b. Atelektasis: ketidakmampuan paru berkembang dan mengempis
c. Hipoksemia
d. Pneumothoraks
e. Emfisema
f. Deformitas Thoraks
g. Gagal Jantung

6. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan laboratorium
1) Pemeriksaan Sputum, pemeriksaan dilakukan untuk melihat adanya:
a) Kristal-kristal charcot leyden yang merupakan degranulasi dan
kristal eosinopil.
b) Spiral curshman, yakni merupakan castcell (sel cetakan) dari cabang
bronkus.
c) Creole yang merupakan fragmen dari epitel bronkus
d) Netrofil dan eosinofil yang terdapat pada sputum, umumnya bersifat
mukoid dengan viskositas yang tinggi dan kadang terdapat muscus
plug.
2) Pemeriksaan darah
a) Analisa Gas Darah pada umumnya normal akan tetapi dapat terjadi
hipoksemia, hipercapnia, atau sianosis.
b) Kadang pada darah terdapat peningkatan SGOT dan LDH
c) Hiponatremia dan kadar leukosit kadang diatas 15.000/mm3 yang
menandakan adanya infeksi.
d) Pemeriksaan alergi menunjukkan peningkatan IgE pada waktu
serangan dan menurun pada saat bebas serangan asma.
b. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada pasien asma dapat dilakukan
berdasarkan manifestasi klinis yang terlihat, riwayat, pemeriksaan fisik, dan
tes laboratorium (Sujono riyadi & Sukarmin, 2009). Adapun pemeriksaan
penunjang yang dilakukan adalah:
1) Tes Fungsi Paru, menunjukkan adanya obstruksi jalan napas reversible,
cara tepat diagnosis asma adalah melihat respon pengobatan dengan
bronkodilator. Pemeriksaan spirometri dilakukan sebelum atau sesudah
pemberian aerosol bronkodilator (inhaler atau nebulizer), peningkatan
FEV1 atau FCV sebanyak lebih dari 20% menunjukkan diagnosis asma.
Dalam spirometry akan mendeteksi:
a) Penurunan forced expiratory volume (FEV)
b) Penurunan paek expiratory flow rate (PEFR)
c) Kehilangan forced vital capacity (FVC)
d) Kehilangan inspiratory capacity (IC)
2) Pemeriksaan Radiologi
Pada waktu serangan menunjukkan gambaran hiperinflamasi
paru yakni radiolusen yang bertambah dan peleburan rongga
intercostalis, serta diagfragma yang menurun. Pada penderita dengan
komplikasi terdapat gambaran sebagai berikut:
a) Bila disertai dengan bronchitis, maka bercak-bercak dihilus akan
bertambah
b) Bila ada empisema (COPD), gambaran radiolusen semakin
bertambah
c) Bila terdapat komplikasi, maka terdapat gambaran infiltrase paru.
d) Dapat menimbulkan gambaran atelektasis paru
e) Bila terjadi pneumonia gambarannya adalah radiolusen pada paru.
3) Pemeriksaan Tes Kulit, dilakukan untuk mencari faktor alergen yang
dapat bereaksi positif pada asma secara spesifik.
4) Elektrokardiografi
a) Terjadi right axis deviation
b) Adanya hipertropo otot jantung Right Bundle Branch Bock
c) Tanda hipoksemia yaitu sinus takikardi, SVES, VES, atau terjadi
depresi segmen ST negatif.
5) Scanning paru, melalui inhilasi dapat dipelajari bahwa redistribusi udara
selama serangan asma tidak menyeluruh pada paru-paru.

7. Penatalaksaan Medik
Prinsip umum dalam pengobatan pada asma bronkhial :
a. Menghilangkan obstruksi jalan nafas
b. Mengenal dan menghindari faktor yang dapat menimbulkan serangan asma.
c. Memberi penerangan kepada penderita atau keluarga dalam cara pengobatan
maupun penjelasan penyakit.
Penatalaksanaan asma dapat dibagi atas :
a. Pengobatan dengan obat-obatan, Seperti Beta agonist (beta adrenergik
agent), Methylxanlines (enphy bronkodilator), Anti kolinergik
(bronkodilator), Kortikosteroid, dan Mast cell inhibitor (lewat inhalasi).
b. Tindakan yang spesifik tergantung dari penyakitnya, misalnya :
1) Oksigen 4-6 liter/menit.
2) Agonis B2 (salbutamol 5 mg atau veneteror 2,5 mg atau terbutalin 10
mg) inhalasi nabulezer dan pemberiannya dapat di ulang setiap 30 menit-
1 jam. Pemberian agonis B2 mg atau terbutalin 0,25 mg dalam larutan
dextrose 5% diberikan perlahan.
3) Aminofilin bolus IV 5-6 mg/kg BB, jika sudah menggunakan obat ini
dalam 12 jam.
4) Kortikosteroid hidrokortison 100-200 mg itu jika tidak ada respon segera
atau klien sedang menggunakan steroid oral atau dalam serangan sangat
berat.
BAB II
WEB OF CAUTION (WOC)

Spasme otot Edema Sumbatan


Inflamasi dinding
bronchus mukus
bronchus

Alveoli tertutup
Tidak efektif Obstruksi saluran
bersihan jalan nafas Hipoksemia
nafas

Asidosis Metabolis

Kurang
pengetahuan Penyempitan Gangguan
jalan nafas pertukaran gas

Peningkatan kerja
Peningkatan
pernafasan
kebutuhan O2 Dampak Hospitalisasi

Penurunan
Hyperventilasi
masukan oral
Kecemasan

Retensi O2
Perubahan nutrisi kurang
dari kebutuhan tubuh
tubuh
Asidosis Respiratori
BAB II
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian Primer
a. Airway
Peningkatan sekresi pernafasan, bunyi nafas krekles, ronchi dan weezing.
b. Breathing
1) Distress pernafasan : pernafasan cuping hidung, takipneu/bradipneu,
retraksi.
2) Menggunakan otot aksesoris pernafasan
3) Kesulitan bernafas : diaforesis, sianosis
c. Circulation
1) Penurunan curah jantung : gelisah, latergi, takikardi
2) Sakit kepala
3) Gangguan tingkat kesadaran : ansietas, gelisah
4) Papiledema
5) Urin output menurun
d. Dissability
Mengetahui kondisi umum dengan pemeriksaan cepat status umum dan
neurologi dengan memeriksa atau cek kesadaran, reaksi pupil.

2. Pengkajian Sekunder
a. Anamnesis
Anamnesis untuk mengumpulkan berbagai informasi yang diperlukan untuk
menyusun strategi pengobatan. Keluhan dan gejala tergantung berat
ringannya pada waktu serangan. Pada serangan asma bronkial yang ringan
dan tanpa adanya komplikasi, keluhan dan gejala tak ada yang khas.
Keluhan yang paling umum ialah napas berbunyi, sesak, batuk dan timbul
secara tiba-tiba, dapat hilang segera dengan spontan atau dengan
pengobatan, meskipun ada yang berlangsung terus untuk waktu yang lama.
b. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum: hal yan perlu dikaji perawat mengenai tentang
kesadaran klien, kecemasan, kegelisahan, kelemahan suara bicara, denyut
nadi, frekuensi pernapasan yang meningkat, penggunaan otot-otot bantu
pernapasan, sianosis, batuk dengan lendir lengket, dan posisi istirahat klien.
1) B1 (Breathing)
Inpeksi: pada klien asma terlihat adanya peningkatan usaha dan
frekuensi pernapasan, serta penggunaan otot bantu napas. Inpeksi dada
terutama melihat postur bentuk dan kesimetrisan, peningkatan diameter
anteroposterior, retraksi otot-otot interkostalis, sifat dan irama
pernapasan dan frekuensi.
Palpasi: biasanya kesimetrisan, ekspansi, dan taktil fremitus normal
Perkusi: pada perkusi didapatkan suara normal sampai hipersonor
sedangkan diafragma menjadi datar dan rendah.
Auskultasi: terdapat suara vesikuler yang meningkat disertai dengan
ekspirasi lebih dari 4 detik atau lebih dari tiga kali inspirasi, dengan
bunyi napas tambahan utama wheeezing pada akhir ekspirasi.
2) B2 (blood)
Dampak asma pada status kardiovaskuler perlu dimonitor oleh perawat
meliputi: keadaan hemodinamik seperti nadi, tekanan darah, dan CRT.
3) B3 (Brain)
Tingkat kesadaran saat infeksi perlu dikaji. Disamping itu diperlukan
pemeriksaan GCS, untuk menentukan tingkat kesadaran klien apakah
composmentis, somnolen, atau koma.
4) B4 (Bladder)
Berkaitan dengan intake cairan maka perhitungan dan pengukuran
volume output urine perlu dilakukan, sehingga perawat memonitor
apakah terdapat oliguria, karena hal tersebut merupakan tanda awal dari
syok.
5) B5 (Bowel)
Nyeri, turgor, dan tanda-tanda infeksi sebaiknya juga dikaji, hal-hal
tersebut dapat merangsang serangan asma. Pengkajian tentang status
nutrisi klien meliputi jumlah, frekuensi, dan kesulitan-kesulitan dalam
memnuhi kebutuhannya. Pada klien dengan sesak napas, sangat potensial
terjadi kekurangan pemenuhan kebutuhan nutrisi, hal ini karena terjadi
dipneu saat makan, laju metabolisme, serta kecemasan yang dialami
klien.
6) B6 (Bone)
Mengkaji edema ekstremitas, tremor dan tanda-tanda infeksi pada
ekstremitas. Pada integumen perlu dikaji adanya permukaan yang kasar,
kering, kelainan pigmentasi, turgor kulit, kelembaban, mengelupas atau
bersisik, perdarahan, pruritus, eksim, dan adanya bekas atau tanda
urtikraria atau dermatitis. Pada rambut, dikaji warna rambut,
kelembaban, dan kusam. Tidur, dan istirahat klien yang meliputi: berapa
lama klien tidur dan istirahat, serta berapa besar akibat kelelahan yang
dialami klien juga dikaji, adanya wheezing, sesak, dan ortopnea dapat
mempengaruhi pola tidur dan istirahat klien. Aktivitas sehari-hari klien
juga diperhatikan seperti olahraga, bekerja, dan aktivitas lainnya.
Aktivitas fisik juga dapat menjadi faktor pencetus asma yang disebut
dengan exercise induced asma.

3. Diagnosa Keperawatan
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan tachipnea,
peningkatan produksi mukus, kekentalan sekresi dan bronchospasme.
b. Pola Nafas tidak efektif berhubungan dengan penyempitan bronkus.
c. Gangguan pola tidur berhubungan dengan sesak dan batuk
4. Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Keperawatan SLKI SIKI

1 ( D.0001) bersihan jalan Bersihan Jalan Nafas (L.01001) Latihan Batuk Efektif (I.01006)
nafas Tidak efektif a. Mampu batuk efektif meningkat 1. Observasi
berhubungan dengan b. Produksi sputum menurun  Identifikasi kemampuan batuk
gangguan suplai oksigen c. Suara nafas tambahan wheezing menurun  Monitor adanya retensi sputum
(bronkospasme), d. Dispnea menurun  Monitor tanda dan gejala infeksi saluran napas
penumpukan sekret, sekret e. Gelisah menurun  Monitor input dan output cairan ( mis. jumlah
kental f. Frekuensi nafas membaik dan karakteristik)
g. Pola nafas membaik
2. Terapeutik
 Atur posisi semi-Fowler atau Fowler

 Pasang perlak dan bengkok di pangkuan


pasien
 Buang sekret pada tempat sputum
3. Edukasi
 Jelaskan tujuan dan prosedur batuk efektif

 Anjurkan tarik napas dalam melalui hidung


selama 4 detik, ditahan selama 2 detik,
kemudian keluarkan dari mulut dengan bibir
mencucu (dibulatkan) selama 8 detik
 Anjurkan mengulangi tarik napas dalam hingga
3 kali
 Anjurkan batuk dengan kuat langsung setelah
tarik napas dalam yang ke-3
4. Kolaborasi

 Kolaborasi pemberian mukolitik atau


ekspektoran, jika perlu
2 (D. 0005) Pola nafas tidak Pola nafas (L.01004) Pemantauan Respirasi (I.01014)
efektif berhubungan a. Ekspirasi membaik 1. Observasi
dengan penurunan b. Dispnea menurun  Monitor frekuensi, irama, kedalaman, dan
ekspansi paru selama c. Penggunaan otot bantu nafas menurun upaya napas
serangan akut. d. Ortopnea menurun  Monitor pola napas (seperti bradipnea,
e. Frekuensi nafas membaik takipnea,
f. Kedalaman nafas membaik hiperventilasi, Kussmaul, Cheyne-Stokes,Biot, 
ataksik0
 Monitor kemampuan batuk efektif
 Monitor adanya produksi sputum
 Monitor adanya sumbatan jalan napas
 Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
 Auskultasi bunyi napas
 Monitor saturasi oksigen
 Monitor nilai AGD
 Monitor hasil x-ray toraks
2. Terapeutik
 Atur interval waktu pemantauan respirasi
sesuai kondisi pasien
 Dokumentasikan hasil pemantauan
3. Edukasi
 Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
 Informasikan hasil pemantauan, jika perlu

3 (D.0055) Gangguan pola Pola Tidur (L.05045) Dukungan Tidur (I.05174)


tidur berhubungan dengan a. Keluhan sulit tidur menurun 1. Observasi
sesak dan batuk b. Keluhan sering terjaga menurun  Identifikasi pola aktivitas dan tidur
c. Keluhan tidak puas tidur menurun  Identifikasi faktor pengganggu tidur
d. Keluhan pola tidur berubah menurun  Identifikasi makan minum yang mengganggu
e. Keluhan istirahat tidak cukup menurun tidur
 Identifikasi obat tidur yang dikonsumsi
2. Terapeutik
 Modifikasi lingkungan (pencahayaan,
kebisingan dan suhu)
 Batasi waktu tidur siang, jika perlu
 Fasilitas menghilangkan stress sebelum tidur
 Lakukan prosedur untuk meningkatkan
kenyamanan (pijat dan pengaturan posisi)
 Tetapkan jadwal tidur rutin
 Sesuaikan jadwal pemberian obat atau tindakan
untuk menunjang siklus tidur terjaga
3. Edukasi
 Jelaskan pentingnya tidur cukup selama sakit
 Anjurkan menepati kebiasaan waktu tidur
 Anjurkan menghidari makan/minum yang
mengganggu waktu tidur
 Ajarkan faktor-faktor yang berkontribusi
terhadap gangguan pola tidur
 Ajarkan relaksasi otot autogenic atau cara
nonfarmakologi lainnya
5. Implementasi Keperawatan
Implementasi merupakan tindakan yang sesuai dengan yang
telah direncanakan, mencakup tindakan mandiri dan kolaborasi.
Tindakan mandiri adalah tindakan keperawatan berdasarakan analisis
dan kesimpulan perawatan dan bukan atas petunjuk tenaga kesehatan
lain. Hal penting pada tahap implementasi ini adalah mengevaluasi
respons atau hasil dari tindakan keperawatan yang dilakukan terhadap
klien serta tindakan yang telah dilaksanakan berikut respons atau
hasilnya Implementasi tindakan dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu
independent, interdependent, dan dependent .
a. Independent, yaitu suatu kegiatan yang dilaksanakan oleh perawat
tanpa petunjuk dari dokter atau tenaga kesehatan lainnya. Lingkup
tindakan keperawatan independent, antara lain :
1) Mengkaji klien atau keluarga melalui riwayat keperawatan dan
pemeriksaan fisik untuk mengetahui status kesehatan klien.
2) Merumuskan diagnosis keperawatan sesuia respons klien yang
memerlukan intervensi keperawatan.
3) Mengidentifikasi tindakan keperawatan untuk
mempertahankan atau memulihkan kesehatan klien
b. Interdependent, yaitu suatu kegiatan yang memerlukan kerja dama
dari tenaga kesehatan lain (misalnya ahli gizi, fisioterapi, dan
dokter).
c. Dependent, yaitu berhubungan dengan pelaksanaan rencana
tindakan medis/instruksi dari tenaga medis.

6. Evaluasi Tindakan
Evaluasi adalah aktivitas yang direncanakan, berkelanjutan,
dan terarah ketika klien dan profesional kesehatan menentukan
kemajuan klien menuju pencapaian tujuan/hasil, dan keefektifan
rencana asuhan keperawatan. (Kozier et al., 2011). Tujuan evaluasi
adalah untuk menilai pencapaian tujuan pada rencana keperawatan
yang telah ditetapkan, mengidentifikasi variabel-variabel yang akan
mempengaruhi pencapaian tujuan, dan mengambil keoutusan apakah
rencana keperawatan diteruskan, modifikasi atau dihentikan.

7. Aplikasi Pemikiran Kritis Dalam Asuhan Keperawatan Pasien


Asma merupakan penyakit kronis yang ditandai dengan
peningkatan kepekaan bronkus terhadap berbagai rangsangan sehingga
mengakibatkan penyempitan saluran pernafasan yang luas, reversibel dan
spontan. Asma terjadi karena adanya gangguan disaluran tenggorokan
tempat keluar masuknya udara. Saat sesuatu pemicu terjadinya asma maka
dinding saluran nafas akan mengetat sehingga saluran nafas akan
menyempit dan menyebabkan penderita mengalami sesak nafas
(Haryanto, 2014).
Salah Satu Tindakan Dari Penelitian (Zurimi, 2017) Yang
Berjudul Pengaruh Fisioterapi Dada Terhadap Keefektifan Bersihan Jalan
Nafas Penderita Asma Bronkhial Di RS Kusta Sumberglagah Mojokerto.
Salah satu tindakan adalah dengan non farmakologis untuk penyembuhan
luka pada pasien Asma dengan cara melakukan fisioterapi dada. Peranan
yang dimiliki fisioterapi cukup penting untuk mengatasi gejala yang
disebabkan oleh penyakit brokhitis akut. Chest Physiotherapy atau
Fisioterapi dada merupakan kelompok terapi yang digunakan dengan
kombinasi untuk memobilisasi sekresi pulmonar. Tujuan fisioterapi dada
adalah membuang sekresi bronkial, memperbaiki ventilasi, dan
meningkatkan efisiensi otot-otot pernafasan (Ariasti, 2014).
Data menunjukkan bahwa terdapat perbedaan bersihan jalan nafas
responden setelah diberikan fisioterapi dada dimana sebelum diberikan
fisioterapi dada seluruh responden mengalami bersihan jalan nafas yang
tidak efektif dan setelah diberikan fisioterapi dada terdapat 11 responden
(64,7%) yang bersihan jalan nafasnya dalam kategori efektif.
Hasil analisis data menunjukkan adanya pengaruh pemberian
tindakan fisioterapi dada terhadap keefektifan bersihan jalan nafas pasien
asma bronchial di Rumah Sakit Kusta Sumberglagah Mojokerto. Hasil
penelitian Mayuni (2015) menunjukkan hasil analisis perbedaan kapasitas
vital paru pretest dan posttest pada kelompok perlakuan menunjukkan
perbedaan yang signifikan antara kapasitas vital paru pada kelompok
perlakuan sebelum dan setelah Diaphragmatic Breathing Exercise. Hasil
analisis perbedaan kapasitas vital paru pretest dan posttest menunjukkan
perbedaan yang tidak signifikan antara kapasitas vital paru pada kelompok
kontrol sebelum dan setelah dua minggu tanpa Diaphragmatic Breathing
Exercise. Ada pengaruh Diaphragmatic Breathing exercise terhadap
kapasitas vital paru pada pasien asma di Wilayah Kerja Puskesmas III
Denpasar Utara dengan nilai p 0,000< 0,05.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tindakan fisoterapi dada
efektif dalam membantu pasien mengurangi tanda dan gejala bersihan
jalan nafas yang tidak efektif dimana tanda ini dapat dilihat keluarnya
sekret atau sekret yang mengental pada saluran pernafasan, perubahan
frekuensi nafas responden yang sebelum diberikan mereka masih
mempunyai frekuensi nafas lebih dari 24 kali permenit, sedangkan setelah
diberikan tindakan fisoterapi dada frekuensi nafas menjadi 20 – 24 kali
permenit, dan responden sudah tidak tampak bernafas berat.
DAFTAR PUSTAKA

Almazini, P. (2012). Bronchial Thermoplasty Pilihan Terapi Baru untuk Asma


Berat. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
PPNI, T.P.S.D. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan
Kriteria Hasil Keperawatan. Jakarta: DPP PPNI.
PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan
Keperawatan. Jakarta: DPP PPNI.
Corwin, Elizabeth J. (2009). Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC.
GINA (Global Initiative for Asthma) (2006). Pocket Guide for Asthma Management
and Prevension In Children. www. Dimuat dalam www.Ginaasthma.org

Anda mungkin juga menyukai