BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kardiovaskuler terdiri dari dua suku kata yaitu cardiac dan vaskuler.
Cardiac yang berarti jantung dan vaskuler yang berarti pembuluh darah.
Dalam hal ini mencakup sistem sirkulasi darah yang terdiri dari jantung
komponen darah dan pembuluh darah. Pusat peredaran darah atau sirkulasi
darah ini berawal dijantung, yaitu sebuah pompa berotot yang berdenyut
secara ritmis dan berulang 60-100x/menit. Setiap denyut menyebabkan
darah mengalir dari jantung, ke seluruh tubuh dalam suatu jaringan tertutup
yang terdiri atas arteri, arteriol, dan kapiler kemudian kembali ke jantung
melalui venula dan vena.
Dalam mekanisme pemeliharaan lingkungan internal sirkulasi darah
digunakan sebagai sistem transport oksigen, karbon dioksida, makanan, dan
hormon serta obat-obatan ke seluruh jaringan sesuai dengan kebutuhan
metabolisme tiap-tiap sel dalam tubuh. Dalam hal ini, faktor perubahan
volume cairan tubuh dan hormon dapat berpengaruh pada sistem
kardiovaskuler baik secara langsung maupun tidak langsung.
Dalam memahami sistem sirkulasi jantung, kita perlu memahami
anatomi fisiologi yang ada pada jantung tersebut sehingga kita mampu
memahami berbagai problematika berkaitan dengan sistem kardivaskuler
tanpa ada kesalahan yang membuat kita melakukan neglicent( kelalaian).
Oleh karena itu, sangat penting sekali memahami pengobatan untuk pasien
dengan gangguan system kardiovaskuler, serta mengetahui efek samping
dan gejala yang mungkin timbul akibat pengobatan tersebut.
Aritmia merupakan kelainan sekunder akibat penyakit jantung atau
ektra kardiak, tetapi dapat juga merupakan kelainan primer. Kesemuanya
mempunyai mekanisme yang sama dan penatalaksanaan yang sama juga.
Kelainan irama jantung ini dapat terjadi pada pasien usia muda atau usia
lanjut.
2
1.2 TujuanMakalah
1.2.1 Tujuan Umum
Mengetahui gambaran analisis respon time klien pre dan intra hospital
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Aritmia
1. Definisi Aritmia
Gangguan irama jantung atau aritmia merupakan komplikasi yang
sering terjadi pada infark miokardium.Aritmia atau disritmia adalah
perubahan pada frekuensi dan irama jantung yang disebabkan oleh
konduksi elektrolit abnormal atau otomatis (Doenges, 1999).
Aritmia timbul akibat perubahan elektrofisiologi sel-sel
miokardium. Perubahan elektrofisiologi ini bermanifestasi sebagai
perubahan bentuk potensial aksi yaitu rekaman grafik aktivitas listrik
sel (Price, 1994).
Gangguan irama jantung tidak hanya terbatas pada iregularitas
denyut jantung tapi juga termasuk gangguan kecepatan denyut dan
konduksi.
Aritmia Dapat digolongkan menjadi :
a. Gangguan pembentukan impuls
Pada Nodus Sinoatrial Pada Atrium
Bradikardia Sinus Ekstrasistolik atrial
Takikardia Sinus Takikardia atrial
Aritmia Sinus Atrial Flutter
Henti Sinus Fibrilasi Atrial
Keterangan :
- Interval PR normal
0,12-0,20 detik
- Gel QRS normal 0,06-
0,12 detik
B. Etiologi Aritmia
Etiologi aritmia jantung dalam garis besarnya dapat disebabkan oleh :
1. Peradangan jantung, misalnya demam reumatik, peradangan miokard
(miokarditis karena infeksi)
2. Gangguan sirkulasi koroner (aterosklerosis koroner atau spasme arteri
koroner), misalnya iskemia miokard, infark miokard.
3. Karena obat (intoksikasi) antara lain oleh digitalis, quinidin dan obat-
obat anti aritmia lainnya
4. Gangguan keseimbangan elektrolit (hiperkalemia, hipokalemia)
9
6. Obesitas
Selain menjadi faktor resiko untuk penyakit jantung koroner,
obesitas dapat meningkatkan resiko terkena aritmia jantung.
7. Diabetes
Resiko terkena penyakit jantung koroner dan tekanan darah tinggi
akan meningkat akibat diabetes yang tidak terkontrol. Selain itu, gula
darah rendah (hypoglycemia) juga dapat memicu terjadinya aritmia.
8. Obstructive Sleep Apnea
Obstructive sleep apnea disebut juga gangguan pernapasan saat
tidur.Napas yang terganggu, misalnya mengalami henti napas saat
tidur dapat memicu aritmia jantung dan fibrilasi atrium.
9. Ketidakseimbangan Elektrolit
Zat dalam darah seperti kalium, natrium, dan magnesium (disebut
elektrolit), membantu memicu dan mengatur impuls elektrik pada
jantung.Tingkat elektrolit yang terlalu tinggi atau terlalu rendah dapat
memengaruhi impuls elektrik pada jantung dan memberikan kontribusi
terhadap terjadinya aritmia jantung.
10. Terlalu Banyak Minum Alkohol
Terlalu banyak minum alkohol dapat memengaruhi impuls elektrik
di dalam jantung serta dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya
fibrilasi atrium (atrial fibrillation). Penyalahgunaan alkohol kronis dapat
menyebabkan jantung berdetak kurang efektif dan dapat menyebabkan
cardiomyopathy (kematian otot jantung).
11. Konsumsi Kafein atau Nikotin
Kafein, nikotin, dan stimulan lain dapat menyebabkan jantung
berdetak lebih cepat dan dapat berkontribusi terhadap resiko aritmia
jantung yang lebih serius. Obat-obatan ilegal, seperti amfetamin dan
kokain dapat memengaruhi jantung dan mengakibatkan beberapa jenis
aritmia atau kematian mendadak akibat fibrilasi ventrikel (ventricular
fibrillation).
11
C. Patofisiologi Aritmia
Dalam keadaan normal, pacu untuk deyut jantung dimulai di denyut
nodus SA dengan irama sinur 70-80 kali per menit, kemudian di nodus AV
dengan 50 kali per menit, yang kemudian di hantarkan pada berkas HIS lalu
ke serabut purkinje.
Sentrum yang tercepat membentuk pacu memberikan pimpinan dan
sentrum yang memimppin ini disebut pacemaker. Dlam keadaan tertentu,
sentrum yang lebih rendah dapat juga bekerja sebagai pacemaker, yaitu :
1. Bila sentrum SA membentuk pacu lebih kecil, atau bila sentrum AV
membentuk pacu lebih besar.
2. Bila pacu di SA tidak sampai ke sentrum AV, dan tidak diteruskan k
BIndel HIS akibat adanya kerusakan pada system hantaran atau
penekanan oleh obt.
Aritmia terjadi karena ganguan pembentukan impuls (otomatisitas
abnormal atau gngguan konduksi). Gangguan dalam pembentukan pacu
antara lain:
1. Gangguan dari irama sinus, seperti takikardi sinus, bradikardi sinus dan
aritmia sinus.
2. Debar ektopik dan irama ektopik:
a. Takikardi sinus fisiologis, yaitu pekerjaan fisik, emosi, waktu
makana sedang dicerna.
b. Takikrdi pada waktu istirahat yang merupakan gejala penyakit,
seperti demam, hipertiroidisme, anemia, lemah miokard,
miokarditis, dan neurosis jantung.
E. Penatalaksanaan Aritmia
1. Terapi Medis
Obat-obat antiaritmia dibagi 4 kelas yaitu :
entrikel dan VT
2. Terapi mekanis
a. Kardioversi : mencakup pemakaian arus listrik untuk
menghentikan disritmia yang memiliki kompleks GRS, biasanya
merupakan prosedur elektif.
b. Defibrilasi : kardioversi asinkronis yang digunakan pada
keadaan gawat darurat.
c. Defibrilator kardioverter implantabel : suatu alat untuk
mendeteksi dan mengakhiri episode takikardi ventrikel yang
mengancam jiwa atau pada pasien yang resiko mengalami fibrilasi
ventrikel.
d. Terapi pacemaker : alat listrik yang mampu menghasilkan
stimulus listrik berulang ke otot jantung untuk mengontrol frekuensi
jantung.
14
F. Pemeriksaan Penunjang
1. EKG : menunjukkan pola cedera iskemik dan gangguan konduksi.
Menyatakan tipe/sumber disritmia dan efek ketidakseimbangan
elektrolit dan obat jantung.
2. Monitor Holter : Gambaran EKG (24 jam) mungkin diperlukan
untuk menentukan dimana disritmia disebabkan oleh gejala khusus bila
pasien aktif (di rumah/kerja). Juga dapat digunakan untuk mengevaluasi
fungsi pacu jantung/efek obat antidisritmia.
3. Foto dada : Dapat menunjukkanpembesaran bayangan jantung
sehubungan dengan disfungsi ventrikel atau katup
4. Skan pencitraan miokardia : dapat menunjukkan aea
iskemik/kerusakan miokard yang dapat mempengaruhi konduksi
normal atau mengganggu gerakan dinding dan kemampuan pompa.
5. Tes stres latihan : dapat dilakukan utnnuk mendemonstrasikan latihan
yang menyebabkan disritmia.
6. Elektrolit : Peningkatan atau penurunan kalium, kalsium dan
magnesium dapat mnenyebabkan disritmia.
7. Pemeriksaan obat : Dapat menyatakan toksisitas obat jantung, adanya
obat jalanan atau dugaan interaksi obat contoh digitalis, quinidin.
8. Pemeriksaan tiroid : peningkatan atau penururnan kadar tiroid
serum dapat menyebabkan.meningkatkan disritmia.
9. Laju sedimentasi : Penignggian dapat menunukkan proses inflamasi
akut contoh endokarditis sebagai faktor pencetus disritmia.
a. Triase
Mengkategorikan status pasien, apakah masuk ke dalam
kategori berdasarkan tingkat kegawatan atau penyebab ancaman
hidup. Tindakan ini berdasarkan prioritas ABCDE (Airway,
Breathing, Circulation, Disability, Environment).
Selain tingkat kegawatan suatu kondisi medis, triase juga
harus menilai urgensi kondisi pasien. Urgensi berbeda dengan
tingkat keparahan. Pasien dapat dikategorikan memiliki kondisi
tidak urgen tapi masih tetap membutuhkan rawat inap dirumah
sakit karena kondisinya.
Setelah penilaian keparahan (severity) dan urgensi
(urgency), maka beberapa sistem triase menentukan batas waktu
menunggu. Yaitu berapa lama pasien dapat dengan aman
menunggu sampai mendapatkan pengobatan di IGD.
Kejang berkelanjutan
Gangguan perilaku
a. Perilaku agresif dan
kasar
b. Perilaku yang
membahayakan diri
sendiri dan orang lain
dan membutuhkan
tindakan restraint
Kategori 3 Penilaian dan Kondisi potensi Hipertensi berat
tatalaksana dapat berbahaya, mengancam
dilakukan dalam nyawa atau dapat Kehilangandarah moderat
waktu 30 menit menambah keparahan Sesak nafas
bila penilaian dan
tatalaksana tidak Saturasi oksigen 90-95%
dilaksanakan dalam
waktu 30 menit Paska kejang
20
Trauma ekstremitas
moderat (deformitas,
laserasi, sensasi perabaan
menurun, pulsasi
ekstremitas menurun
mendadak, mekanisme
trauma memiliki risiko
tinggi
21
Gangguan perilaku
Kunjungan untuk
imunisasi
hemodinamik stabil
b. Survei Primer
Survei primer dilakukan dalam waktu cepat untuk mengidentifikasi
kondisi yang mengancam nyawa pada pasien.
c. Resusitasi dan Stabilisasi
Tindakan resusitasi segera diberikan kepada Pasien dengan
kategori merah setelah mengevaluasi potensi jalan nafas (airway),
status pernafasan (breathing) dan sirkulasi ke jaringan (circulation)
serta status mental pasien yang diukur memggunakan Alert, Voice
/ Verbal, Pain, Unresponsive (AVPU).
Pelayanan resusitasi di ruang resusitasi harus dilakukan secara
kerja sama tim dipimpin oleh seorang dokter yang memiliki
kompetensi tertinggi untuk melakukan resusitasi sesuai dengan
kewenangan klinis yang diberikan oleh pimpinan Fasilitas
Pelayanan Kesehatan. Melakukan monitoring dan retriase terhadap
tindakan resusitasi yang diberikan. Monitoring kondisi Pasien
berupa pemasangan peralatan medis untuk mengetahui status tanda
vital, pemasangan kateter urine, dan penilaian ulang status mental
Pasien (GCS) (Permenkes, 2018).
d. Survei Sekunder
Melakukan anamnesa untuk mendapatkan informasi mengenai apa
yang dialami pasien pada saat kejadian, mekanisme cidera, terpapar
zat-zat berbahaya, riwayat penyakit terdahulu dan riwayat obat
yang dikonsumsi. Melakukan pemeriksaan fisik secara menyeluruh
(head to toe), neurologis, dan status mental dengan menggunakan
Glasgow Coma Scale (GCS). Menginstruksikan agar dilakukan
pemeriksaan penunjang saat pasien sudah berada dalam kondisi
stabil. Pasien dikatakan stabil apabila : tanda-tanda vital normal,
tidak ada lagi kehilangan darah, keluaran urin normal 0,5-1
cc/kg/jam, dan tidak ada bukti kegagalan fungsi organ.
Pemeriksaan penunjang yang dimaksud adalah pemeriksaan
24
3. Faktor yang Mempengaruhi Analisis Respon Time Klien Pre dan Intra
Hospital
Faktor yang mempengaruhi respon time perawat adalah sarana dan
prasarana, jika sarana dan prasarana memenuhi standar maka perawat akan
lebih cepat dan tepat dalam memberikan pelayanan kepada pasien, faktor yang
kedua yaitu kompetensi perawat, untuk menjamin pelayanan yang cepat dan
tepat perawat harus mempunyai kompetensi meliputi pendidikan perawat,
faktor ketiga yaitu pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman, semakin
tinggi pengetahuan dan keterampilan maka akan semakin baik pula pelayanan
yang akan diberikan kepada pasien (Eko widodo, 2015 : 27).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Wa Ode, dkk (2012)
mengatakan bahwa faktor-faktor yang berhubungan dengan ketepatan waktu
tanggap penanganan kasus bedah dan non bedah adalah ketersediaan stretcher,
ketersediaan petugas triase, pola penempatan staf, tingkat karakteristik pasien,
faktor pengetahuan, keterampilan dan pengalaman petugas kesehatan yang
25
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Respon Time adalah waktu yang dibutuhkan klien untuk mendapatkan
pelayanan dari perawat yang sesuai dengan penyakitnya (Depkes, 2004).
Menurut suharteti et al Respon Time adalah kecepatan dalam menangani klien
(Akrian N Tumbuan dkk, 2015).
Berdasarkan Kepmenkes (2009), kategori respon time dibedakan menjadi
P1 yaitu dengan kecepatan penanganan 0-4 menit (cepat), P2 dengan kecepatan
penanganan 5-10 menit (lambat) dan P3 dengan kecepatan penanganan <10
menit (sangat lambat). Pelaksanaan respon time ini dapat diterapkan pada saat
pra hospital maupun saat intra hospital. Saat pra hospital maka diperlukan
waktu tanggap yang cepat dan apabila dikaitkan dengan fase kematian maka
seorang penolong hanya memiliki waktu tanggap 4-6 menit pada saat fase
kematian klinis dan 8-10 menit pada fase kematian biologis. Dan saat intra
hospital, seorang pasien memiliki waktu tunggu yang dapat diklasifikasikan
menurut Triase ATS yaitu diantaranya Kategori 1 (segera), Kategori 2 (10
menit), Kategori 3 (30 menit), Kategori 4 (60 menit) dan Kategori 5 (120
menit).
Saat memberikan pertolongan kepada pasien memang dibutuhkan
penanganan yang segera, tetapi ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi
waktu tanggap tersebut yaitu kompetensi perawat, sarana dan prasarana serta
pengetahuan dan keterampilan (Eko Widodo, 2015).
3.2 Saran
Setelah mengetahui Respon Time kegawatdaruratan, penulis akan
memberikan usulan dan masukan positif khususnya di bidang kesehatan antara
lain :
3.2.1 Bagi Institusi Pelayanan Kesehatan
Diharapkan institusi pelayanan kesehatan dapat memberikan pelayanan
kesehatan dan mempertahankan kerja sama baik antara tim kesehatan
27
DAFTAR PUSTAKA
Pusponegoro, A.D., 2011, Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. Jakarta: ECG, Bab 6
: Trauma dan Bencana. Lembar Langit Indonesia.
Susilowati, Rini. 2015. Jurus Rahasia Menguasai P3K (Pertolongan Pertama
pada Kecelakaan). Jakarta.
Wa Ode, dkk. 2012. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Ketepatan
Waktu Tanggap Penanganan Kasus pada Respon Time I di Instalasi
Gawat Darurat Bedah dan Non Bedah RSUD Dr. Wahidin
Sudirohusodo. Diakses melalui http://pasca.unhas diunduh pada 4
September 2019.
Widodo, Eko. 2015. Hubungan Response Time Perawat dalam Memberikan
Pelayanan dengan Kepuasan Pelanggan di IGD RS Panti Waluyo
Surakarta.
30
Nilai
Kriteria
No 79-100 68-78 56-67 41-55 Ket
Penilaian
A B C D
I Persiapan
makalah :
1. Kebenaran Isi
2. Ketajaman
pembahasan
3. Sistematika
penulisan
31
4. Kelengkapan
Kepustakaan
II Presentasi
seminar :
1. Penguasaan
dan kejelasan
materi
2. Strategi
seminar
3. Diskusi aktif
4. Kerja
kelompok
5. Penggunaan
AVA (Alat
Peraga Visual)
/ Power point
6. Kesimpulan
hasil diskusi
Penilaian : 79-100 : A
68-78 : B
56-67 : C
41-55 : D
Nilai : jumlah nilai yang diperoleh
10
Pontianak, ...............................
Penilai