Naso-Orbito-Ethmoid (NOE)
Oleh:
dr. Eva Miranda Fitri
NIM: 1907601070002
Pembimbing:
1
LEMBAR PENGESAHAN
Pembimbing
Mengetahui,
Koordinator Program Studi PPDS-1
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher
i
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat ini.
Shalawat beserta salam kita haturkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah
membawa kita dari zaman kebodohan ke zaman yang penuh dengan ilmu
pengetahuan seperti saat ini.
Ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada dr. T. Husni
TR., M.Kes., Sp. THT-KL (K), FICS yang telah bersedia meluangkan waktunya
untuk membimbing penulis dalam penyusunan referat ini yang berjudul
“Diagnostik dan penatalaksanaan Fraktur Naso-Orbito-Ethmoid”, serta guru-guru
kami yaitu seluruh dokter spesialis THT di bagian/KSM Ilmu Kesehatan THT-KL
yang telah memberikan arahan serta bimbingan hingga selesai
Penulis menyadari referat ini masih sangat jauh dari kata sempurna dan banyak
kekurangan serta keterbatasan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan
kritik dan saran yang bersifat membangun terhadap referat ini demi perbaikan di
masa yang akan datang.
ii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN......................................................................................i
KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
DAFTAR TABEL..................................................................................................v
2.3 Etiologi........................................................................................8
2.4 Klasifikasi....................................................................................9
2.6 Diagnosis..................................................................................11
2.6.2 Radiologi.....................................................................16
2.8 Komplikasi.................................................................................31
BAB 3 RINGKASAN..........................................................................................32
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................33
iii
DAFTAR TABEL
iv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Anatomi tulang penyusun kompleks naso-orbito-ethmoid (NOE)........ 4
Gambar 10 Fraktur NOE dapat muncul dengan tanda dan gejala klinis,
tergantung pada tingkat keparahannya. Fraktur NOE dapat terjadi
unilateral atau bilateral....................................................................... 10
Gambar 12 Gambaran dari klinis “piggy nose” akibat pangkal hidung yang
terdorong masuk kedalam dan mendesak sinus ethmoid...................11
v
Gambar 18 (A) Foto klinis pre-operatif tampak depan pasien dengan fraktur
NOE; (B) CT-scan 3D; (C) CT-scan potongan sagittal; (D) Ct-scan
potongan axial....................................................................................17
Gambar 25 Penempatan pelat fiksasi pada fraktur NOE tipe 1 yang mengalami
pergeseran.........................................................................................22
Gambar 26 Posisi pemasangan pelat fiksasi pada fraktur NOE tipe 2...................23
Gambar 27 Posisi pemasangan pelat fiksasi pada fraktur NOE tipe 2 disertai
dengan pemasangan bone-graft.........................................................24
vi
Gambar 36 Pemasangan bone-graft dsertai dengan pemasangan pelat fiksasi
........................................................................................................... 30
vii
BAB 1
PENDAHULUAN
1
Oleh karena rumitnya anatomi di regio naso-orbito-ethmoid dan fraktur
yang dialami regio ini biasanya kompleks, pasien yang mengalami fraktur NOE
memiliki gejala dan tanda yang bervariasi, sehingga seringkali terjadi kesalahan
diagnosa dan sulit ditangani. Meskipun kasus ini jarang terjadi terutama pada
pasien anak, namun kasus ini memiliki tingkat morbiditas yang tinggi. Diagnosis
dan pengobatan yang tidak tepat dan tertunda dapat menyebabkan cacat fisik
yang juga disertai dengan terganggunya fungsi dari bagian yang mengalami
fraktur dan akhirnya menyebabkan penurunan kualitas hidup. Sehingga pada
kasus fraktur NOE, manajemen yang tepat adalah mengembalikan pasien pada
kondisi seperti sebelum cedera.5,7
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Kerangka wajah bagian atas, bagian tengah, kranium, hidung, dan tulang
orbital merupakan struktur yang menyusun komplek NOE. Garis fraktur NOE
memanjang melalui prosessus frontalis os maksila, dinding medial orbital, rima
orbital inferior, dan os nasal. Tendon kantus medial yang masuk ke rima medial
orbital menjadikannya sebagai “kunci penting” dari anatomi kompleks NOE ini.
Di samping kompleks NOE adalah bola mata dan rongga orbita dan yang terkait
jaringan lunak. Memahami anatomi kompleks ini adalah kunci suksesnya
diagnosis dan tatalaksana fraktur NOE. 7
a. Struktur tulang
Kompleks NOE terdiri dari tulang hidung, prosesus frontalis os maksila,
prosesus nasalis os frontal, os lakrimal, lamina papyracea, tulang ethmoid,
tulang sphenoid dan septum hidung, yang itu pisahkan rongga hidung dan
orbital dari rongga tengkorak. dinding medial orbital terdiri dari tulang lakrimal
dan lamina papyracea dari ethmoid di mana fraktur mudah terjadi.1,9
3
Gambar 1. Anatomi tulang penyusun kompleks naso-orbito-ethmoid (NOE) 10
4
Tendon kantus medial ini tidak hanya berperan dalam estetika wajah
yang mempertahankan bentuk dan posisi kantus medial tetapi juga berperan
sebagai pompa yang membantu lewatnya air mata melalui sistem
nasolakrimalis. Tendon ini juga merupakan bagian dari ligamentus
suspensorium bola mata atau ligamen Lockwood’s yang berfungsi menopang
bola mata.7,12
5
tatalaksana dari fraktur NOE ini. Jarak normal intercanthal adalah 30-35 mm.
ini merupakan ekuivalen dari lebar alas alar dan setengah jarak antarpupil.8
c. Duktus nasolakrimalis
Duktus nasolakrimalis terletak di tulang dinding hidung lateral dan meluas ke
rongga hidung melalui meatus inferior di bawah konka inferior.1
Gambar 6. Anatomi dari sistem lakrimalis (A) glandula lakrimal; (B) kanalikuli
superior dan inferior; (C) saccus lakrimal; (D) ductus lakrimal; (E) tendon
kantus medial anterior 11
6
d. Buttresses
Kerangka pada wajah memiliki serangkaian buttresses (penopang) wajah
untuk menjaga stabilitas kerangka wajah. Peopang ini sendiri terdiri dari area
tulang yang lebih tebal yang menopang tulang-tulang wajah sekitarnya yang
lebih tipis.13
Buttresses horizontal terdiri dari :
- Buttresses horizontal superior : lempeng orbital dari os.frontal dan lamina
cribriformis dari ethmoid
- Buttresses horizontal medial : os.temporal, arkus zygoma, basis
infraorbital, prosessus frontalis os maxilla dan os.nasalis. Melintasi
zygomaticotemporal, zygomaticomaxillary, dan sutura nasofrontal
- Buttresses horizontal inferior : palatum durum dan alveolus maksilaris
Buttresses vertical terdiri dari :
- Buttresses sentral nasoethmoidal : ethmoid dan tulang vomer
- Buttresses nasomaksilari : prosessus frontalis os maxilla, os nasalis,
dinding medial sinus maksilaris dan orbita
- Buttresses zygomaticomaxillary
- Buttresses pterygomaksillari : prosessus pterygoid dari os sphenoid dan
dinding sinus maksilaris posterolateral dan posteromedial
- Buttresses posterior mandibula
7
e. Vaskularisasi
Suplai darah untuk regio mid-fasial dan nasal berasal dari percabangan arteri
karotis eksterna dan interna. Arteri ethmoid anterior dan posterior berasal dari
arteri karotis interna. Arteri maksilaris berasal dari arteri karotis eksterna dan
cabang-cabangnya berperan dalam mensuplai darah ke bagian mid-fasial
f. Persarafan
Regio NOE kompleks dipersarafi oleh nervus maksilaris dan oftalmik yang
merupakan cabang dari nervus trigeminal
Fraktur NOE, menurut definisi, adalah entitas yang berbeda dari fraktur
tulang hidung terisolasi. Namun, fraktur ini sering dikaitkan dengan fraktur nasal.
Hal ini berkaitan dengan adanya trauma langsung bergaya besar dari arah depan
yang dapat menyebabkan fraktur os nasal dan menggesernya ke posterior
sehingga ikut melibatkan seluruh struktur yang ada di 2/3 inferior dari tepi orbital
medial, dimana terdapat tendon kantus medial 10,15
2.3 Etiologi
8
10
olahraga. Oleh karena berkaitan dengan energi yang tinggi, fraktur NOE sering
berkaitan dengan fraktur daerah wajah lainnya, seperti fraktur blow-out dan
fraktur panfasial (20%). 2
2.4 Klasifikasi
Namun saat ini, secara umum banyak yang menggunakan klasifikasi yang
disusun oleh Markowitz dan Manson pada tahun 1991, fraktur NOE
diklasifikasikan berdasarkan posisi tendon kantus medial dan kondisi fragmen
tulang yang menjadi tempat perlekatan tendon kantus medial.
Tipe 3 : Didapatkan gambaran multiple fragmen dan pada tipe ini garis fraktur
meluas melalui tulang yang menjadi tempat perlekatan dari tendon kantus
medial. Pada tipe ini dapat disertai dengan avulsi tendon kantus medial.2,8
9
Gambar 9. Klasifikasi fraktur NOE yang dideskripsikan oleh Markowitz et al. (A)
tipe 1; (B) tipe 2; (C) tipe 3
Gambar 10. Fraktur NOE dapat muncul dengan tanda dan gejala klinis,
tergantung pada tingkat keparahannya. Fraktur NOE dapat terjadi unilateral atau
bilateral. 12
10
Gambar 11. Pasien dengan fraktur NOE dengan gambaran klinis ekimosis
periorbital dan edema 16
Gambar 12. Gambaran dari klinis “piggy nose” akibat pangkal hidung yang
terdorong masuk kedalam dan mendesak sinus ethmoid. 12
2.6 Diagnosis
11
dalam pemeriksaan kasus ini, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan menyeluruh
dan sistematis.
Cedera yang berat pada kasus ini dapat menimbulkan kebocoran dari
cairan serebrospinal, dan penanganannya harus lebih diutamakan dibandingkan
penanganan fraktur NOE itu sendiri. Pada pasien trauma kepala, jika ada cairan
apapun yang keluar dari hidung maka harus dicurigai adanya kebocoran dari
CSF. Pemeriksaan dasar yang dapat dilakukan diawal adalah ring-test atau halo-
test yaitu dengan cara meneteskan cairan tersebut di atas kertas saring dan
dilihat ada tidaknya “cincin” yang terbentuk dengan darah di sentralnya. 12
Keluhan epifora juga sering dikaitkan dengan 50% dari kasus fraktur NOE
yang diduga disebabkan karena obstruksi ductus nasolacrimal ataupun cedera
langsung ke glandula lakrimal dan edema jaringan. Pemeriksaan yang dapat
dilakukan untuk menilai kerusakan organ ini adalah dengan anel test yang
dilakukan dengan menginjeksikan cairan fisiologis dengan jarum anel melalului
kanalis lakrimalis hingga ke dalam sakus lakrimal. Tes ini positif jika ada cairan
yang mengalir di tenggorok dan terasa asin. Selain itu juga dapat dilakukan
pemeriksaan Jones dye dengan meneteskan beberapa tetes cairan fluoresin di
fornik konjungtiva. Dalam keadaan normal, cairan ini bisa terdeteksi sampai ke
12
hidung menggunakan tissue dalam waktu 2-3 menit. Namun, pemeriksaan ini
tidak dapat dilakukan pada fase akut dari trauma. 12
(A) Telecantus atau terjadinya pelebaran dari jarak intercantal yang lebih dari 30-
35 mm. Hal ini dapat terjadi akibat dari cedera pada tendon kantus medial
dapat menghasilkan gejala telecantus traumatic. Rata-rata jarak interpupillary
adalah 60-62 mm dan jarak intercanthal sekitar 30-31 mm. Diagnosis
telecanthus traumatis membutuhkan pengukuran dimana terdapat jarak yang
melebihi dari perbandingan antara interpupillary dengan jarak intercanthal
9 16
yang normalnya 2 :1 (> 35 mm). Cedera pada tendon kantus medial dapat
terjadi bilateral atau unilateral. Edema pada wajah pada fase akut dapat
menimbulkan kesalahan dalam penilaian intercanthal. 16
(B) Sudut kantus medial menjadi tumpul dan diikuti dengan penyempitan dari
fisura palpebra
(C) Pelebaran dorsum nasal
(D) Deformitas hidung
13
Gambar 14. Ilustrasi karakteristik pemeriksaan fisik yang didapatkan pada
sisi kiri dari fraktur NOE 8
Derajat retrusi dari hidung atau bagian mid-fasial juga harus dinilai. Hal ini
dapat dilakukan dengan melakukan palpasi pada bagian dorsum hidung, rhinion
dan puncak (tip) hidung. 8
14
Gambar 16. Ilustrasi penilaian stabilitas hidung dan mid-fasial dengan
memberikan penekanan pada bagian dorsum hidung, rhinion dan puncak (tip)
hidung. 8
15
Gambar 17. Pemeriksaan bimanual dalam menilai integritas prosesus frontal
os maxilla 17
Pemeriksaan CT-scan wajah dan orbita dengan potongan axial dan coronal
direkomendasikan untuk menilai fraktur NOE. Pada CT-scan 2D potongan axial
dapat memberikan informasi dasar mengenai tingkat keparahan dari fraktur NOE,
terutama dalam menilai prosessus frontal os maksila sebagai tempat perlekatan
dari tendon kantus medial. Beberapa literatur juga menyebutkan potongan axial
dari CT-scan dapat membantu menilai dinding medial orbital dan saluran
lakrimalis. CT-scan potongan koronal juga dapat memberikan gambaran dari
fraktur pada mid-fasial dan fossa anterior kranial. Potongan ini juga dapat menilai
fraktur Blow-out dari tulang dasar orbital yang menyatu dengan dinding medial
orbita dan gambaran dari tepi orbital, dinding medial orbital dan lamina
cribriformis. Pada pemeriksaan CT-scan ini penting untuk menilai kesimetrisan
dari wajah. CT-scan 2D potongan sagittal dan pemeriksan Ct-scan 3D juga bisa
dilakukan untuk menunjang pemeriksaan CT-scan 2D dalam hal mengevaluasi
fraktur NOE dan merencanakan rekonstruksi. 1,7,15,18
16
Gambar 18. (A) Foto klinis pre-operatif tampak depan pasien dengan fraktur
NOE; (B) CT-scan 3D; (C) CT-scan potongan sagittal; (D) Ct-scan potongan
axial3
2.7 Penatalaksanaan
Sebagian besar kasus fraktur NOE, terutama pada tipe 3, tidak perlu
segera dilakukan pembedahan, tetapi dapat menunggu hingga 48 jam hingga
bisa didapatkan pemeriksaan dan diputuskan pendekatan pembedahan yang
17
11
tepat. Namun tindakan pembedahan segera (<48 jam) yang dilakukan
terhadap pasien fraktur NOE juga memiliki hasil yang bagus dalam hal
penyembuhan luka, hal ini pernah dilaporkan oleh Al Hafiz et al (2020) yang
melaporkan seorang pasien yang mengalami fraktur NOE dan dilakukan tindakan
pembedahan rekonstruksi segera setelah pasien tiba di RS dan dinilai adanya
hasil penyembuhan yang lebih baik dibandingkan jika tindakan ditunda lebih lama
lagi. Dijelaskan juga bahwa tujuan dari menunda tindakan rekonstruksi adalah
untuk menghindari kesulitan dalam mengidentifikasi struktur di wajah seperti
tendon kantus medial, jaringan saraf, system lakrimal dan juga jika tindakan
19
dilakukan saat wajah masih udem dapat, garis insisi wajah menjadi tidak jelas.
Walaupun demikian, belum ada konsensus absolute dari literatur yang
menjelaskan berapa lama pasien dapat ditundak untuk dilakukan pembedahan,
hanya saja dari beberapa peneliti menjelaskan untuk tidak menunda lebih dari 2
minggu. 16
18
Tindakan pembedahan fraktur NOE sendiri diindikasikan jika terdapat
telecantus, penyempitan fisura palpebra, obstruksi hidung, terbatasnya gerakan
bola mata/dystopia, obstruksi ductus nasolakrimalis, deformitas nasal, obstruksi
drainase sinus frontal dan terdapat defek luka di sisi hidung.12,21
19
prosessus frontalis os maksila. Insisi dari subciliary dapat dilakukan untuk
mengakses ke bagian tersebut. Sedangkan insisi sublabial memungkinkan untuk
mengakses ke apertura piriformis dan juga prosessus frontalis os maksila. 1,8
20
Gambar 22. Insisi sublabial 8
Untuk menghindari kerugian itu, maka saat ini beberapa ahli mencoba
melakukan pendekatan midfacial degloving (MFD) yang dapat memberikan
eksposur seluruh regio mid-fasial melalui sayatan sublabial maksila dan dapat
diperluas ke arah superior dan lateral sesuai perkiraan fraktur. Namun,
pendekatan ini juga terdapat komplikasi seperti obstruksi nasal dan deformitas. 1
21
Gambar 24. Pendekatan midfacial degloving (MFD)8
Gambar 25. Penempatan pelat fiksasi pada fraktur NOE tipe 1 yang mengalami
pergeseran 8
22
2.7.3 Penanganan fraktur NOE tipe 2
Pelat fiksasi pertama dipasang pada fraktur antara NOE komplek dan os.
Frontalis melalui pendekatan koronal atau glabellar yang diperluas. Pelat fiksasi
kedua ditempatkan disepanjang tepi orbital melalui pendekatan infraorbital. Pelat
fiksasi ketiga ditempatkan sepanjang apertura piriformis sampai ke os maksila
dengan pendekatan sublabial. Jika ditemukan adanya tulang hidung yang
mengalami fraktur, maka dapat dilakukan pemasangan pelat fiksasi. Namun, jika
sulit dilakukan pemasangan pelat fiksasi, maka dapat dilakukan pemasangan
bone-graft pada dorsum hidung.18
Gambar 26. Posisi pemasangan pelat fiksasi pada fraktur NOE tipe 28
23
Gambar 27. Posisi pemasangan pelat fiksasi pada fraktur NOE tipe 2 disertai
dengan pemasangan bone-graft 8
24
Gambar 28. Pengeboran untuk membuat lubang di fragmen tulang yang
mengalami fraktur NOE sebagai jalan masuk wire-transnasal8
25
Gambar 30. Wire-transnasal difiksasi ke pelat yang ditempatkan di os.frontalis 8
26
2.7.4 Penanganan fraktur NOE tipe 3
Fraktur tipe III adalah akibat dari trauma yang lebih parah, yaitu dengan
fraktur kominutif frontal rahang atas dan dorsum hidung. Area pembedahan yang
luas diperoleh melalui sayatan koronal, transkonjungtiva, dan sublabial. Prosesus
frontal os maksila umumnya disambung dengan fiksasi tiga titik seperti yang
dijelaskan sebelumnya. Sangat penting bagi ahli bedah untuk terus memeriksa
ulang setiap titik reduksi saat pelat dipasang secara berurutan. Sisa tendon
canthal medial kemudian diidentifikasi melalui sayatan koronal atau sayatan
glabellar yang terbatas. Forsep digunakan untuk menarik permukaan dalam dari
tendon sambil mengamati pergerakan kulit yang sesuai secara eksternal di
medial canthus. 3,8
Jika tendon kantus medial dapat diraih secara akurat, ahli bedah akan
mengetahui adamya koneksi antara jaringan di dalam dan gerakan kulit luar.
Wire ukuran 28 kemudian dilewatkan melalui tendon dua kali. Sementara wire
transnasal kemudian dapat dilakukan seperti yang dijelaskan pada fraktur tipe II,
gangguan tulang pada dinding medial orbital seringkali menghalangi penempatan
yang akurat dari wire ini, oleh karena itu, teknik cantilever dapat dipilih sebagai
gantinya.8
27
Gambar 33. Wire berukuran 28 melewati tendon kantus medial dari
fraktur NOE tipe 3 8
28
penempatan wire transnasal, namun menggeser wire melalui pelat menjadi lebih
sulit karena sudut penempatan yang tajam. 8 18
A B
Gambar 34. (A) Canthal barb; (B) ilustrasi pemasangan canthal barb 8
Jika diperlukan, dapat dilakukan bone graft dorsum hidung, hal ini
dilakukan sebagai langkah terakhir dalam rekonstruksi. Bone graft pada tabula
luar calvarial umumnya diambil dari area paling datar dari tulang parietal.
Panjangnya setidaknya harus 6-7 cm. Bur harus digunakan untuk menipiskan
dan membentuk Graft untuk merekonstruksi sudut nasofrontal normal (105-120
derajat) dan memperpanjang sejauh yang diperlukan untuk memberikan
dukungan kontur hidung dan ujung yang normal. Pendekatan rinoplasti terbuka
dapat sangat membantu untuk penyisipan dan penempatan graft. Sebuah
lekukan kecil harus dibor ke dalam glabella untuk menempatkan bagian superior
dari graft. Sebuah pelat mini atau dua sekrup ditempatkan untuk menunjang graft
di tulang frontal. Bagian inferior graft harus disisipkan di bawah kartilago bagian
lateral bawah. 3,24
29
Gambar 35. Ilustrasi pengambilan graft dari os.parietal8
30
tekanan ringan dan mengurangi edema jaringan lunak. Pasca operasi, jaringan di
bawahnya harus diamati dengan cermat untuk menghindari nekrosis jaringan.
Penyokong dapat dilepas dalam 7 sampai 10 hari. 8
2.8 Komplikasi
Diagnosis yang cepat dan penanganan yang tepat merupakan suatu hal
yang sangat penting pada kasus ini untuk menghindari komplikasi. Penanganan
yang inadekuat dan cedera organ sekitarnya dapat meghasilkan deformitas
secara estetika dan gangguan fungsi yang berat. Seperti edema pada wajah di
fase akut dapat menimbulkan ketidaksimetrisan wajah, pergesaran tulang dan
enophtalmus. Pembentukan skar pada proses penyembuhan luka paska
pembedahan juga dapat mempengaruhi hasil akhir pembedahan dimana jaringan
lunak melekat pada posisi yang baru dan tidak normal.7
31
BAB 3
RINGKASAN
Naso-orbito-ethmoid (NOE) komplek merupakan regio utama pada
pertemuan sepertiga atas dan sepertiga tengah tulang fasial dimana struktur ini
tersusun secara 3 dimensi. Tendon kantus medial yang masuk ke rima medial
orbital menjadikannya sebagai “kunci penting” dari anatomi kompleks NOE ini.
Di samping kompleks NOE adalah bola mata dan rongga orbita dan yang terkait
jaringan lunak. Memahami anatomi kompleks ini adalah kunci suksesnya
diagnosis dan tatalaksana fraktur NOE.
32
DAFTAR PUSTAKA
1. Wei JJ, Tang ZL, Liu L, Liao XJ, Yu YB, Jing W. The management of
naso-orbital-ethmoid (NOE) fractures. Chinese J Traumatol - English Ed.
2015;18(5):296-301. doi:10.1016/j.cjtee.2015.07.006
6. Kao R, Campiti VJ, Rabbani CC, Ting JY, Sim MW, Shipchandler TZ.
Pediatric Midface Fractures: Outcomes and Complications of 218 Patients.
Laryngoscope Investig Otolaryngol. 2019;4(6):597-601.
doi:10.1002/lio2.315
33
Schmidt-Erfurth U., Kohnen T. (Eds) Encyclopedia of Ophthalmology.
Springer; 2018. https://doi.org/10.1007/978-3-540-69000-9_217
11. Sniezek JC, Colonel, Thomas RW, Major General M. Resident Manual of
Trauma to the Face, Head, and Neck First Edition. 1st ed. American
Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery; 2012.
https://www.entnet.org/sites/default/files/Trauma-Chapter-4.pdf
14. Netter F. Atlas of Human Anatomy. 6th ed. Elsevier Ltd; 2014.
15. Dhingra PDS. Trauma to The Face. In: Diseases of Ear, Nose and Throat
& Head and Neck Surgery. 6th ed. E; 2014:181-186.
17. Paskert JP, Manson PN. The Bimanual Examination for Assessing
Instability in Naso-Orbitoethmoidal Injuries. Plast Reconstr Surg.
1987;83:165-167.
20. Varun Menon P. et al. Simplified Treatment Algorithm for NOE Fracture.
Oral Heal Dent. Published online 2017:217-220.
34
1601372
23. Griffin MJ, Sims JR, Spaulding SL, Baik FM, Elahi E, Urken ML.
Management of orbital complications in palatomaxillary reconstruction: A
review of preemptive and corrective measures. Head Neck.
2020;42(3):556-568. doi:10.1002/hed.26015
24. Frodel JL. Nasoethmoid Fracture. In: Bailey BJ, Calhoun KH, eds. Bailey
Atlas of Head and Neck Surgery. 2nd ed. Lippincott william & wilkins;
2001.
35