Anda di halaman 1dari 31

Lab/SMF Ilmu Radiologi

REFERAT
RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman

FRAKTUR BASIS CRANII

METHA SARI YUARNINGSIH


2110017020

Pembimbing:

dr. Abdul Mu’ti, M.Kes, Sp.Rad

Dibawakan dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik


Laboratorium/SMF Ilmu Radiologi
Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
2021
2
KATA PENGANTAR

Segala puji serta syukur selalu penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha
Esa atas limpahan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan referat dengan judul “Fraktur Basis Cranii”. Referat ini disusun
dalam rangka tugas kepaniteraan klinik di Laboratorium Ilmu Radiologi Fakultas
Kedokteran Universitas Mulawarman.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Abdul Mu’ti, M.Kes, Sp.Rad
selaku dosen pembimbing klinik yang telah memberikan banyak masukan kepada
penulis sehingga referat ini dapat diselesaikan. Penulis menyadari masih terdapat
banyak ketidaksempurnaan dalam referat ini. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan
kritik dan saran yang membangun demi penyempurnaan referat ini. Penulis berharap
referat ini dapat bermanfaat dan menambah ilmu pengetahuan bagi para pembaca.

Samarinda, 10 Juli 2021

Penulis

3
DAFTAR ISI

SURAT REKOMENDASI...........................................Error! Bookmark not defined.

KATA PENGANTAR................................................................................................1

DAFTAR ISI...............................................................................................................3

DAFTAR GAMBAR..................................................................................................4

DAFTAR TABEL.......................................................................................................5

BAB 1 PENDAHULUAN...........................................................................................6

1.1 Latar Belakang....................................................................................................6

1.2 Tujuan..................................................................................................................6

1.2.1 Tujuan Umum............................................................................................6

1.2.2 Tujuan Khusus............................................................................................6

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................7

2.1 Anatomi Fraktur Basis Cranii.............................................................................7

2.2 Definisi Fraktur Basis Cranii.............................................................................10

2.3 Epidemiologi Fraktur Basis Cranii....................................................................10

2.4 Klasifikasi Fraktur Basis Cranii......................Error! Bookmark not defined.1

2.5 Gejala Klinis Fraktur Basis Cranii....................................................................19

2.6 Diagnosis Fraktur Basis Cranii.........................................................................20

2.7 Komplikasi Fraktur Basis Cranii.......................................................................22

2.8 Contoh Laporan Kasus......................................................................................23

BAB 3 PENUTUP.....................................................................................................29

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................30

4
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Foto aksial dasar tengkorak .....................................................................7

Gambar 2.2 Tulang calvinarum dan basis kranii..........................................................8

Gambar 2.3 Fraktur frontobasal tipe II.......................................................................12

Gambar 2.4 Fraktur frontobasal tipe III......................................................................13

Gambar 2.5 Fraktur transversal clivus........................................................................14

Gambar 2.6 Fraktur dengan pergeseran......................................................................15

Gambar 2.7 Gambar CT Angiogram aksial...............................................................17

Gambar 2.8 Gambar aksial dan sagital dari CT Venogram........................................18

Gambar 2.9 Rontgen waters (Contoh Laporan Kasus)...............................................24

Gambar 2.10 Rontgen panoramik (Contoh Laporan Kasus)......................................24

Gambar 2.11 Rontgen submentovertex (Contoh Laporan Kasus) .............................25

Gambar 2.12 Pemasangan microplate dan miniplate (Contoh Laporan Kasus) ........26

Gambar 2.13 Hubungan oklusi hari ke-2 pasca operasi (Contoh Laporan Kasus) ....27

5
DAFTAR TABEL

Gambar 2.1 Lokasi fraktur basis cranii dan komplikasinya ......................................22

BAB I

6
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pada dasarnya, fraktur basis cranii (skull base fracture) adalah fraktur linier
pada dasar tengkorak. Fraktur ini merupakan fraktur paling berat. Pada pemeriksaan
CT scan dapat dicurigai terdapat fraktur basis cranii terutama bila terdapat udara
dalam otak (traumatic pneumocephalus), cairan di mastoid air cells, atau air–fluid
level di sinus sfenoid.
Fraktur basis cranii dapat disebabkan oleh benturan langsung atau propagasi
gelombang kekuatan energi tinggi melalui tengkorak sebagai akibat benturan jarak
jauh atau benturan pada tulang wajah. Dalam pengaturan klinis, pasien dapat datang
dengan gejala ringan hingga berat cedera kepala (Head Injury) di mana perburukan
pasien ini sering terjadi.
Fraktur basis cranii meluas melalui lantai fossa kranial anterior, tengah, dan
posterior dan biasanya diakibatkan oleh trauma benturan tumpul berkecepatan tinggi
seperti tabrakan kendaraan bermotor, kecelakaan olahraga (ski, bersepeda), dan
lebih jarang jatuh atau penyerangan.
Melihat penjelasan mengenai fraktur basis cranii di atas, hal tersebut
membuat peneliti tertarik untuk mengetahui lebih lengkap mengenai manifestasi
klinis, penegakkan diagnosis, khususnya dari sisi radiologi, serta tatalaksana yang
sesuai pada fraktur basis cranii.

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Menambah wawasan dan ilmu pengetahuan tentang fraktur basis cranii.
1.2.2 Tujuan Khusus
Menambah wawasan dan ilmu pengetahuan mengenai peran pencitraan
dalam penegakkan diagnosis fraktur basis cranii.

BAB II

7
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Basis Cranii


Permukaan inferior dari tengkorak, atau disebut sebagai dasar tengkorak
(lebih dikenal sebagai basis cranii) tersusun oleh 7 tulang; 1 pasang os frontale, 1
pasang os temporale, dan masing-masing 1 buah os ethmoidale, os spenoidale, dan
os occipitale. Area basis cranii dibagi menjadi 3 buah bagian besar yaitu anterior,
media, dan superior.

Gambar 2.1. Foto aksial dasar tengkorak dengan overlay yang menunjukkan
anterior, tengah, dan posterior fossa kranial.

Sumber : Kevin Makowski dan Eric Jablonowski, Universitas Emory, Atlanta, GA.

Bagian dasar fossa cranii anterior terletak paling tinggi dan bagian dasar
fossa cranii posterior terletak paling rendah (Baugnon dan Hudgins, 2014;
Standring, 2008). Bagian anterior basis cranii yang dibentuk oleh os frontale dan os
temporale memisahkan bagian anterior dari bagian inferior lobus frontalis serebri

8
dan struktur olfaktorius di fossa cranii anterior dari orbital dan kavitas sinonasalis.
Batas anterior dan lateral dari basis cranii dibentuk oleh pars orbital os frontale dan
bagian posterior dari sinus frontalis.

Gambar 2.2. Tulang calvarium dan basis kranial


Sumber : https://teachmeanatomy.info/head/osteology/skull/

Fossa craniii anterior dibatasi oleh bagian atap dari cellulae ethmoidales.
Bagian posterior yang membatasi basis cranii anterior dan media dibentuk oleh ala
minor, proc. clinoideus, dan pars planum os sphenoidale. Basis cranii bagian
anterior terletak tidak setinggi bagian basis cranii yang lainnya. Tidak seperti fossa
cranii yang lain, fossa cranii anterior tidak secara langsung berhubungan dengan
permukaan dalam dari rongga kranium (Baugnon dan Hudgins, 2014; Standring,
2008).
Bagian permukaan kranial yang berbentuk konveks pada basis cranii anterior
memisahkan otak dengan daerah orbital dan memberikan impresi bentuk pada girus
cerebrum dan banyak lekukan untuk banyak pembuluh darah meninges. Pada fossa
cranii anterior, duramater diperdarahi oleh cabang anterior dan posterior arteri
ethmoidalis, arteri carotis interna, dan cabang arteri meningea media (Standring,
2008). Tidak seperti basis cranii media dan posterior yang langsung berhubungan
dengan rongga kranium (fossa cranii medial dan posterior), basis cranii anterior

9
dipisahkan dengan fossa cranii anterior oleh adanya kavitas nasalis (Stranding,
2008).
Basis cranii media dibentuk oleh os sphenoidale dan pars anterior os
temporale. Bagian anterior basis cranii media dibatasi oleh ala minor os sphenoidale,
proc clinoideus os sphenoidale, dan tuberculum sellae. Bagian dasarnya dibentuk
oleh ala major os sphenoidale, sinus sphenoidalis, dan sellae. Batas posteriornya
dengan basis cranii posterior dibatasi oleh pars petrosa os temporale, dan dorsum
sellae. Fossa cranii media sering dibagi menjadi 2 bgian, yaitu bagian sentral dan
lateral. Bagian sentral melingkupi sellae dan sinus-sinus parasellar cavernosus.
Bagian lateral tersusun oleh os temporale, termasuk di dalamnya pars petrosa os
temporale dan sinus sphenoidalis (Baugnon dan Hudgins, 2014; Bobinski et al.,
2016). Selain mengandung hypophysis, basis cranii media memiliki banyak
foramina dan kanal yang menjadi tempat lewatnya berbagai struktur penting, seperti
saraf-saraf kranialis (N. II s/d VI) dan arteri carotis interna.
Pada fossa cranii media, duramater diperdarahi oleh cabang media dan
accesoris a. pharyngea (yang masuk melalui foramen lacerum), cabang a. carotis
interna, dan cabang a. lacrimalis (Baugnon dan Hudgins, 2014; Stranding, 2008).
Basis cranii posterior dibentuk oleh bagian posterior os temporale dan os
occipitale. Bagian anteriorya dibatasi oleh pars petrosa os temporale dan bagian
belakang dari clivus. Batas bawah basis cranii posterior dibentuk oleh condylus
occipitalis dan pars mastoid os temporale, sedangkan bagian posterior dari basis
cranii posterior memanjang sampai pars squamosa os occipitale (Baugnon dan
Hudgins, 2014). Lubang paling besar di tengkorak, yaitu foramen magnum, terletak
pada fossa cranii posterior, dan menjadi tempat lewatnya medulla oblongata,
pembuluh darah vertebra, dan N. XI. Foramen besar lain yang ada antara lain adalah
canalis auditory posterior (tempat lewatnya N. VII, VIII dan a. labyrinthi), foramen
jugularis (tempat lewatnya N. IX, bulbus jugularis, dll), dan canalis nervi hypoglossi
(N. XII) (Baugnon dan Hudgins, 2014).

2.2 Definisi Fraktur Basis Cranii

10
Fraktur basis cranii (skull base fracture) adalah jenis fraktur linear yang
terjadi pada dasar/basis kranium, yang paling umum terjadi pada bagian temporal
kranium. Pasien dengan fraktur basis cranii memiliki risiko tinggi terhadap kejadian
perdarahan ekstraaksial, disebabkan adanya kecenderungan fraktur untuk mengenai
arteri cerebri media. Robekan dura mater yang disebabkan fraktur ini dapat
menghubungkan rongga subarakhnoid, sinus paranasalis, dan telinga tengah, dan
mencetuskan kejadian kebocoran CSF (Patrascu, 2017; Wani et al., 2013).
Fraktur basis cranii ini biasanya melibatkan area tulang temporal, tulang
oksipital, tulang sphenoid dan/atau tulang ethmoid.1, 2, 3. Fraktur tersebut dapat
merobek membran yang mengelilingi otak, atau meningen, dengan hasil kebocoran
dari cairan serebrospinal (CSF). Cairan yang bocor dapat menumpuk di ruang
telinga tengah, dan mengalir keluar melalui gendang telinga yang berlubang
(otorrhea CSF) atau ke nasofaring melalui tuba eustachius, menyebabkan rasa asin.
CSF juga dapat menetes dari hidung (CSF rhinorrhea) pada fraktur basis tengkorak
anterior, menghasilkan tanda halo. Tanda-tanda ini patognomonik untuk SBF. SBF
lebih sulit untuk didokumentasikan pada film sinar-X biasa dan biasanya
memerlukan pemindaian CT dengan pengaturan jendela tulang untuk identifikasi.
Cedera ini juga sering dikaitkan dengan fraktur wajah dan insidennya dengan
jumlah fraktur wajah adalah: satu fraktur wajah (21,0%), dua fraktur wajah (30,4%),
dan tiga atau lebih fraktur wajah (33,3%).1 Temporal patah tulang berhubungan
dengan 18 sampai 40% dan fraktur sinus frontal dengan 15 sampai 20% dari cedera
dasar tengkorak yang kompleks.

2.3 Epidemiologi
Sekitar 6-12% pasien dewasa yang menderita cedera kepala mengalami
fraktur kepala. Dari persentase fraktur kepala tersebut, sekitar 4% fraktur terjadi
pada daerah basis cranii. Kejadian trauma kepala merupakan penyebab utama
(sekitar 90%) kejadian fraktur basis cranii, dan 10% sisanya disebabkan oleh luka
penetrasi. Kejadian fraktur basis cranii dapat terjadi pada basis cranii anterior,
media, dan posterior, dengan masing-masing persentase kejadiannya adalah 47%,
22-37%, dan 0,2-3% (Phang et al., 2016; Yellinek et al., 2015).

11
Penyebab fraktur basis cranii yang paling sering adalah kejadian kecelakaan
lalu lintas. Kecelakaan lalu lintas menyebabkan sekitar 25-66% (tergantung lokasi
frakturnya) kejadian fraktur basis cranii. Penyebab lainnya adalah kejadian jatuh,
kecelakaan lingkungan kerja, penyerangan, dan luka tembak (Phang et al., 2016).

2.4 Klasifikasi Fraktur Basis Cranii

a. Fraktur fossa anterior

Fraktur basis cranii anterior sering terjadi bersama-sama dengan kejadian


trauma berat yang terjadi pada os frontale pada wajah (Bobinski et al., 2016). Cedera
frontobasal ini menyebabkan morbiditas neurologis yang signifikan. Tiga pola
fraktur frontobasal yang berbeda telah dikenali berdasarkan lokasi benturan dan
kekuatan.

 Tipe 1 berupa fraktur isolated linear pada basis cranii anterior. Fraktur ini
berjalan pararel dengan lamina et foramina cribrosa dan memanjang hingga
memisahkan fossa cranii anterior dan media dari fossa cranii posterior.
 Tipe 2 adalah fraktur linear pada os frontale yang memanjang hingga ke
basis cranii, yang berdampak juga pada atap, dinding lateral dan bagian apex
dari ruang orbital. (Gbr 2.3)
 Tipe 3 merupakan jenis fraktur kompleks yang melingkupi kejadian luka
tumbuk pada os frontale dan tulang-tulang pembingkai ruang orbital. (Gbr
2.4)

12
Gambar 2.3. Fraktur frontobasal tipe II. CT aksial menunjukkan fraktur linier
(panah) memanjang dari aspek lateral tulang frontal (A) ke dalam pelat cribriform
(B).

13
Gambar 2.4. Fraktur frontobasal tipe III. Gambar koronal (A) dan aksial (B)
menunjukkan fraktur kominutif dan bergeser yang melintasi dinding medial dan
lateral kedua orbit dengan keterlibatan tambahan labirin ethmoid dan atap orbital.

b. Fraktur fossa media (Fraktur tulang temporal)

Bagian fossa cranii media merupakan bagian yang paling rentan mengalami
fraktur. Fraktur yang terjadi pada bagian sentral dari fossa cranii media adalah
berupa ekstensi langsung dari fraktur basis cranii anterior, dari clivus, dan terkadang

14
fraktur fossa cranii posterior. Fraktur ini dibagi atas fraktur transversal dan
longitudinal. Fraktur longitudinal melingkupi 80-90% kejadian fraktur fossa media,
10-20% adalah fraktur transversal, dan 8-10% sisanya merupakan campuran fraktur
longitudinal dan transversal (Wani et al., 2013; Bobinski et al., 2016). Fraktur
transversal yang berorientasi pada bidang koronal yang dihasilkan dari pukulan
langsung ke lateral tengkorak dan zygoma (Gbr 2.5).

Gambar 2.5. Fraktur transversal clivus pada bidang aksial (A) dan sagital (B)
melibatkan dasar sella dan kedua kanalis karotis (panah).

15
Tergantung pada orientasi benturan, cedera ini dapat berupa transversal
murni atau oblik. Semua fraktur ini melibatkan sinus sphenoid dan dapat meluas
melalui struktur dasar tengkorak tambahan. Fraktur yang lebih anterior mungkin
melibatkan apeks orbital, fisura orbital superior, dan prosesus clinoid (Gbr 2.6).
Cedera yang lebih posterior sering meluas ke lateral melalui tulang temporal dan
juga melalui clivus.

Gambar 2.6. Fraktur dengan pergeseran ringan meluas melalui klinoid anterior
kanan dan kanal optik (panah) pada gambar CT aksial (A) dan koronal (B).

c. Fraktur fossa posterior

16
Fraktur fossa cranii posterior tidak umum terjadi dan biasanya diakibatkan
adanya luka hantam langsung pada daerah oksipitalis. Fraktur ini biasanya
melibatkan os occipitale dan pars petrosa os temporale (Bobinski et al., 2016).
Fraktur os occipital, atau sering disebut sebagai fraktur condylus occipitalis,
merupakan fraktur yang disebabkan oleh gaya besar pukulan benda tumpul, dan
sangat sering terjadi.

Dampak yang lebih parah dapat mengakibatkan fraktur kliva yang


berhubungan dengan angka kematian yang tinggi (24-80%) karena cedera pada
arteri basilar atau batang otak. Tergantung pada mekanisme dan arah benturan,
fraktur dapat meluas baik di arah longitudinal atau transversal. Yang pertama
disebabkan oleh beban aksial dan sering dikaitkan dengan cedera signifikan pada
batang otak dan sistem vertebrobasilar. Fraktur transversal, di sisi lain, disebabkan
oleh pukulan lateral langsung atau cedera remuk dan sering mengakibatkan pada
cedera ICA. Sebagian besar fraktur kliva hadir dengan kelumpuhan saraf kranial VI
karena keterlibatan kanal Dorello.
Lesi traumatis yang paling umum dari fossa posterior adalah hematoma
epidural, seringkali berasal dari vena, karena cedera pada sinus dural bulbus
jugularis (Gbr 2.7).

17
Gambar 2.7. Gambar CT angiogram aksial menunjukkan fraktur tulang oksipital
(panah) yang bergeser ringan dan hematoma epidural (panah) yang menggeser sinus
sigmoid kanan ke medial.

Hematoma ini biasanya diam secara klinis dengan gejala nonspesifik dan
sering dikaitkan dengan perburukan klinis yang cepat dan angka kematian yang
tinggi. Pencitraan interval merupakan prasyarat. Fraktur yang meluas melalui sinus
dural atau foramen jugularis dapat menyebabkan trombosis vena dan menyebabkan
perdarahan atau infark vena. (Gbr 2.8). Selain trombosis vena, fraktur yang
melibatkan foramen jugularis melukai saraf kranial IX, X, dan XI dan yang melalui
kanal hipoglosus merusak saraf kranial XII.

18
Gambar 2.8. Gambar aksial (A) dan sagital (B) dari CT venogram yang
menunjukkan fraktur tulang oksipital yang tidak bergeser dan kurangnya kekeruhan
pada sinus sigmoid kanan yang konsisten dengan trombosis (panah).

19
Fraktur ini dibedakan atas 3 tipe (Wani et al., 2013):

 Tipe 1 terjadi akibat kompresi aksial yang menyebabkan adanya hubungan


antara 2 condylus occipitalis
 Tipe 2 terjadi karena adanya pukulan langsung pada os occipitale, dimana
fraktur condylus terjadi sebagai akibat dari fraktur linear basis cranii
 Tipe 3 adanya robekan ligamen dengan fraktur.

Sementara tipe I dan II adalah fraktur yang stabil, cedera tipe III berpotensi
tidak stabil karena kemungkinan gangguan pada ligamen alar dan membran tektorial
yang mengakibatkan disosiasi kranioservikal.

2.5 Gejala Klinis Fraktur Basis Cranii

Beberapa gejala klinis berikut mungkin muncul beberapa jam setelah


kejadian fraktur basis cranii, gejala klinisnya meliputi (Greenberg, 2016):
1. CSF otorrhea dan rhinorrhea
2. Perdarahan pada ruang tympani ataupun luka laserasi pada kanalis
auditorius eksternus
3. Battle’s sign
4. Raccoon’s eyes tanpa adanya trauma orbital
5. Kerusakan saraf kranial:
a. N. VII dan/atau VIII: biasanya berhubungan dengan fraktur os
temporale.
b. N. I: biasanya terjadi pada fraktur fossa anterior, berakibatkan
anosmia (tidak dapat mencium bau-bauan), bahkan sampai ke kanalis
opticus dan mencederai N. II.
c. N. VI: dapat terjadi pada fraktur tulang kranium bagian clivus

2.6 Diagnosis Fraktur Basis Cranii

20
a. Anamnesis

Pada anamnesis biasanya didapatkan:

- Ada riwayat trauma


- Ada riwayat keluarnya darah atau cairan dari hidung dan/atau telinga
- Mual
- Muntah
- Gangguan Melihat
- Wajah mencong
- Gangguan Mendengar

b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan Fisik Umum (dilakukan pemeriksaan dengan inspeksi, palpasi )
- Pemeriksaan fisik pertama kali diutamakan pada evaluasi A (airways), B
(breathing), dan C (circulation
- Dapat disertai dengan cedera lain dan penurunan kesadaran
Pemeriksaan lokalis
Gambaran Khas :
- Retro aurikular/Mastoid Ecchymosis (Battle sign)
- Periorbital Ecchymosis (Raccoon eyes)
- Clear Rhinorea
- Clear Otorhea
- Hemotimpanum
Pemeriksaan Neurologis (jika didapatkan)
- Tingkat kesadaran Glasgow Coma Scale (GCS)
- Lesi N III,IV,VI
- Lesi N VII
- Lesi N VIII

c. Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan Laboratorium

21
Pemeriksaan laboratorium untuk fraktur basis cranii pada umumnya
bertujuan untuk mengetahui apakah ada komplikasi yang dapat terjadi,
misalnya pemeriksaan ß2-transferin dilakukan untuk mengetahui apakah
muncul kejadian kebocoran CSF akibat fraktur basis cranii.
 Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan paling utama yang diperlukan pada pasien yang
dicurigai menderita fraktur basis cranii adalah pemeriksaan CT non-
kontras kepala. Ditemukannya pneumosefalus seharusnya menjadi salah
satu tanda kecurigaan adanya fraktur yang melewati basis cranii anterior
ataupun os temporale, meskipun pada beberapa kasus pneumosefalus
ditemukan pada kasus trauma kepala yang bukan fraktur basis cranii
(Baugnon dan Hudgins, 2014).
CT tulang wajah, dengan menggunakan metode multidetector thin-
slice CT pada wajah dan basis cranii juga perlu dilakukan pada pasien
yang dicurigai menderita fraktur basis cranii, khususnya untuk menilai
adanya emfisema intraorbital, pendarahan retrobulbar dan subperiosteal,
cedera pada jaringan lunak bagian wajah, dan pendarahan sinus
paranasalis (Baugnon dan Hudgins, 2014).
Fraktur basis cranii adalah fraktur yang memiliki gambaran lucent
yang noncorticates dan noninterdigitating sepanjang basis cranii, yang
biasanya disertai adanya gambaran pneumosefalus, emfisema
intraorbital, serta adanya gambaran opaque dari air-fluid levels yang
ditemukan pada sinus di sekitarnya (Baugnon dan Hudgins, 2014).
Fraktur tulang wajah kompleks sering dihubungkan dengan kejadan
fraktur basis cranii anterior tipe 3. Fraktur yang terjadi sepanjang fossa
cranii anterior, biasanya sepanjang cribriform plate dan atap os
ethmoidale, dan yang terjadi pada canalis caroticus, biasanya
menunjukkan gambaran yang tidak kentara (Baugnon dan Hudgins,
2014). Fraktur yang melewati canalis caroticus, ataupun yang
memanjang hingga clivus perlu dilakukan pemeriksaan CTA (Computed
Tomogaphy Angiography) ataupun MRA (Magnetic Resonance

22
Angiography), untuk memastikan kecurigaan adanya cedera arteri carotis
dan/atau vertebralis (Baugnon dan Hudgins, 2014).

2.7 Komplikasi Fraktur Basis Cranii

Tabel 1.2 Lokasi fraktur basis cranii dan komplikasinya. (Baugnon dan
Hudgins, 2014)

Komplikasi lain yang mungkin terjadi pada cedera kepala diantaranya :


1. Defisit neurologi fokal
2. Kejang
3. Pneumonia
4. Perdarahan gastrointestinal
5. Disritmia jantung
6. Syndrom of inappropriate secretion of antidiuretic hormone (SIADH)
7. Hidrosepalus
8. Kerusakan kontrol respirasi
9. Inkotinensia bladder dan bowel
10. Nyeri kepala akut maupun kronik

2.8 Laporan Kasus

23
Laporan kasus dari Case Report oleh (Abul Fauzi, 2018)
 Identitas
Nama : Tn. A
Usia : 31 tahun
Antropometri : BB : ** kg ; TB : ** cm
 Keluhan utama: adanya penurunan kesadaran
 Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang dengan keluhan penurunan kesadaran. Ditemukan
adanya perdarahan pada telinga, hidung dan mulut disertai muntah.
Didapatkan kesadaran somnolen, tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 88
x/menit, respirasi 24x/menit dan suhu afebris.
Pada pemeriksaan lokal pada regio supraorbita ditemukan hematom
disertai vulnus dengan ukuran 5x1x1 cm. Pada daerah nasalis superior
terdapat vulnus laseratum dengan ukuran 2x0,5x1 cm3 serta adanya
rhinorrhea.
GCS 12 (E=3, H=6, V=3), pupil bulat anisokor dengan diameter
pupil kiri 2,5 mm dan pupil kanan 3 mm, refleks cahaya +/+ pada kedua
pupil.

 Pemeriksaan Fisik:
- Look : Secara ekstra oral terlihat hematom periorbita sinistra
disertai ekimosis pada subkonjungtiva dan sklera, deviasi nasal, dan
edema pada bibir atas. Pada pemeriksaan intra oral terlihat floating pada
maksila, maloklusi open bite regio kanan, tidak terdapat gigi 11 namun
21 ada, lidah berselaput, tonsil sulit dinilai, dasar mulut sulit dinilai.
- Feel : Pada palapasi periorbita sinistra didapati adanya step pada
dasar orbita dan adanya pergerakan fragmen tulang di daerah nasal.

 Pemeriksaan Penunjang
- Pada rontgen waters, terlihat garis fraktur pada midline maksila, maksila,
dasar orbita kiri dan kanan, dan tulang nasal.
- Foto panoramik menunjukkan fraktur pada midline maksila.
- Pada radiografi submentovertex terlihat adanya fraktur midline
maksila, dan garis fraktur pada basis kranii.
- Hasil pemeriksaan laboratorium darah dan urin dalam batas normal.

24
Gambar 2.9. Rontgen waters memperlihatkan fraktur lefort II

Gambar 2.10. Rontgen panoramik memperlihatkan fraktur pada midline maksila

25
Gambar 2.11. Rontgen submentovertex menampakkan memperlihatkan adanya
fraktur midline maksila dan fraktur basis kranii.

 Diagnosis
Fraktur Le Fort II disertai fraktur midline maksila, fraktur dasar orbita dan
fraktur basis kranii.

 Penatalaksanaan
- Akan dilakukan suatu tindakan reduksi terbuka (open reduction) dengan
general anaesthesia. Sehari sebelum tindakan dilakukan pemasangan
erich bar (interdental wiring) pada rahang atas dan rahang bawah.
Operasi dilakukan dengan pemasangan selang intubasi pada lubang
hidung kanan. Insisi dilakukan melalui pendekatan ekstra oral dan intra
oral. Intra oral pada vestibulum maksila dan ekstra oral pada subtarsal
sinistra.
- Setelah diseksi, diketahui bahwa segmen lateral kanan maksila masih
intake. Pada waktu penentuan oklusi dan reposisi fragmen fraktur,
segmen maksila kanan yang intake dijadikan sebagai patokan. Pada saat
reposisi fragmen di dasar orbita kiri, terlihat keluarnya cairan
serebrospinal. Akan tetapi setelah microplate dipasang, tidak terlihat
keluarnya cairan tersebut. Setelah oklusi dipastikan, karet elastic

26
dipasang untuk mempertahankan oklusi tersebut. Kemudian sebuah
miniplate dipasang diatas apeks gigi insisivus pada fossa insisivus
dengan membuat 6 hole. Microplate dipasang diatas foramen infraorbita
sinistra dengan membuat 4 hole.

Gambar 2.12. Pemasangan microplate dan miniplate

- Intermaxillary fixation (IMF) baru dilakukan pada hari kedua dengan


menggunakan karet elastik atau interarch elastic pada sisi kiri disertai
pemasangan elastic bandage. Karet elastik dibiarkan terpasang selama
satu setengah bulan, setiap minggu diganti dengan yang baru. Setelah
delapan minggu erich bar rahang bawah dilepas, seminggu kemudian
erich bar pada rahang atas dilepas. Oklusinya ternyata tidak sempurna,
yaitu oklusi bagian kiri baik namun oklusi di bagian kanan agak cusp to
cusp.

27
Gambar 2.13. Hubungan oklusi hari ke-2 pasca operasi

 Outcome : Pasien menjalani perawatan hingga minggu ke-14 dan dilakukan


selective grinding untuk memperbaiki kontak oklusi dari gigi rahang atas dan
rahang bawah). Setelah itu pasien tidak lagi mengeluhkan kontak giginya,
sehingga perawatan dinyatakan selesai.

28
BAB 3
PENUTUP

Fraktur basis cranii (skull base fracture) adalah jenis fraktur linear
yang terjadi pada dasar/basis kranium, yang paling umum terjadi pada bagian
temporal kranium. Fraktur basis cranii ini fraktur dasar tengkorak yang
biasanya melibatkan area tulang temporal, tulang oksipital, tulang sphenoid
dan/atau tulang ethmoid.1, 2, 3. Penyebab fraktur basis cranii yang paling
sering adalah kejadian kecelakaan lalu lintas. Kecelakaan lalu lintas
menyebabkan sekitar 25-66% (tergantung lokasi frakturnya) kejadian fraktur
basis cranii. Klasifikasi fraktur basis kranii dibagi menjadi 3, yaitu fraktur
fossa anterior, fraktur fossa media, dan fraktur fossa posterior. Pemeriksaan
penunjang yang dapat dilakukan ialah CT Scan.

29
DAFTAR PUSTAKA

Orlando Regional Healthcare. (2004). Retrieved from Overview of Adult Traumatic Brain
Injuries: https://www.orlandoregional.org/

Abul Fauzi, N. N. (2018). Fraktur Le Fort II disertai fraktur basis kranii. Makassar Dental.

Baugnon, K. L. (2014). Skull Base Fracture and Their Complication (Vol. 24). America:
Neuroimaging Clinics of North America.

Beaumont A., M. A. (2000). Response of The Brain to Physical Injury (3rd ed.). (H. R.
Crockard A., Ed.) London: Blackwell Science.

Bobinski, M. S. (2016). Basic Imaging of Skull Base Trauma. Neurosurgical Surgery, 77, 381-
77.

Faried A., B. A. (2017). Characteristics of Moderate and Severe Traumatic Brain Injury of
Motorcycle Crashes in Bandung, Indonesia. Bandung: World Neurosurg.

Faried A., S. F. (2018). Feasibility of Online Traumatic Brain Injury Prognostic CRASH As a
Predictor of Mortality. World Neurosurg.

Geisler F.H., M. P. (2005). Traumatic Skull and Facial Fractures. (E. R. Rengachary S.S., Ed.)
333-335.

Graham D.I., G. T. (2000). Pathology of Brain Damage After Head Injury (4th ed.). (G. G.
Cooper P., Ed.) New York: Morgan Hill.

Greenberg, M. (n.d.). Handbook of Neurosurgery (8th ed.). New York: Theme Medical
Publishers Inc.

Maizarni. (2016). Hubungan Tingkat Pengetahuan Dan Karakteristik Perawat Dengan


Penanganan Awal Pasien Cedera Kepala Di Instalasi Gawat Darurat RSUD Dr.
Achmad Mochtar Bukittinggi Tahun 2016. Penelitian Keperawatan Gawat Darurat.

Oktavian, P. (2020). Studi Klinis dan Radiologis Pada Pasien Fraktur Basis Cranii Pasca
Trauma Kepala di RSUD Dr. Soetomo Periode TAhun 2014-2019.

Patrascu, E. M. (2017). Current Insight in CSF Leaks: a Literature Review of Mechanisms,


Pathophysiology and Treatment Options. Romanian Journal of Rhinology, 7, 143-
51.

Phang, S. W. (2016). Management of CSF Leak in Base of Skull Fractures in Adult. British
Journal of Neurosurgery, 30, 569-604.

R.K, N. (1991). Head Injury. Principles of Neurosurgery, 235-291.

30
Samad, S. S. (2018). Characteristics of Maxillofacial Fracture and Head Injury Due to Motor
Vehicle Accidents in Hasan Sadikin Hospital, Bandung, Indonesia. Bandung: Int J Sci
Res.

Samii M., D. W. (1989). Surgery of The Skull Base: An Interdisciplinary Approach. Berlin.

Sastrawan A.D., S. E. (2017). Emergency Management of Oromaxillofacial Trauma


Accompanied by Anterior Cranial Base Fracture. Majalah Kedokteran gigi
Indonesia.

Sirait, M. G. (2018). Angka Kejadian Kebocoran Cerebrospinal Fluid (CSF) pada PAsien
Fraktur Skull Base Akibat Trauma Kepala yang Dirawat Inap di RSUP Haji Adam
Malik Periode Tahun 2017.

Stalhammar D.A. (1991). Biomechanics of Brain Injuries. (V. R.P, Ed.) New York: Advances in
Neurotraumatology.

Stranding, S. B. (2008). Gray's Anatomy: The Anatomical Basis of Clinical Practice.


Edinburgh: Churchill Livingstone/Elsevier.

Wani, A. A. (2013). Skull Base Fracture: An Institutional Experience With Review of


Literature. The Indian Journal of Neurotrauma, 10, 120-6.

Yellinek, S. C. (2015). Clinical Significanceof Skull Base Fracture in Patient After Traumatic
Brain Injury. Journal of Clinical Neuroscience, 25, 111-15.

31

Anda mungkin juga menyukai