Anda di halaman 1dari 45

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Angka insiden infeksi pada hidung, sinus di Indonesia masih tinggi.Selain


itu, adanya saluran-saluran yang menghubungkan ketiga organ ini yang dapat
menyebabkan saling terkaitnya antara ketiganya. Sehingga ketika terjadi suatu
kelainan pada hidung, kelainan ini dapat menyebabkan kelainan pada sinus. Atas
hal inilah maka penulis memutuskan untuk membuat laporan yang berisi
mengenai beberapa kelainan pada hidung, sinus paranasalis, diantaranya rhinitis,
sinusitis.Semoga laporan ini dapat menjadi salah satu bahan atau sumber ketika
ingin memahami dan mendalami kelinan-kelainan tersebut dan dapat digunakan
dalam dunia pembelajaran baik di fakultas maupun universitas.

B. Tujuan

Tujuan modul III blok XVI ini adalah mempelajari tentang kelainan pada
hidung, sinus paranasalis dan tenggorokan terutama yang berkenaan dengan
sinusitis yag didahului oleh adanya rhinitis yang paling sering ditemui di praktek
sehari-hari. Modul III ini digambarkan dengan jelas di skenario sehingga dapat
mengarahkan ke learning objective yang harus dicapai yang meliputi Rhinitis Dan
Sinusitis.

1
BAB II

ISI

Buntu Hidung

Rehan, 18 tahun seorang karyawan yang selalu padat pekerjaannya, sehingga sering
kelelahan dan tidak teratur makan. Sudah 3 hari ini Rehan buntu hidung, rhinorea, bersin,
demam dan sakit kepala. Setelah minum obat Rehan merasakan gejalanya berkurang,
tetap belum sama sekali sembuh. Sekarang Rehan merasakan pipi kirinya agak nyeri
terutama bila ditekan.

2.1 Step 1: ISTILAH ASING


1. Rinorea : Keluarnya sekret dari hidung, bisa akut maupun kronik, berupa sekret
serous maupun mukopurulen.
2. Buntu hidung : Suatu sensasi subjektif yang dialami berupa kesulitan bernapas
akibat obstruksi jalan napas di daerah hidung
3. Bersin : Mekanisme refleks saluran pernapasan atas untuk mengeluarkan benda
asing

2.2 Step 2: RUMUSAN MASALAH


1. Mengapa bisa terjadi buntu hidung, rinorea, dan sakit kepala? Apakah ketiganya
saling berhubungan?
2. Apa hubungan antara gejala yang dialami dan pekerjaan dengan jadwal padat?
3. Mengapa setelah minum obat terjadi perbaikan gejala namun malah nyeri pada
pipi kiri?
4. Apa hubungan gejala yang dialami dengan nyeri pada pipi kiri?
5. Pemeriksaan apa yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis?
6. Apa diagnosis sementara pada kasus tersebut?
7. Apa tatalaksana simptomatik yang dapat diberikan?

2
2.3 Step 3: BRAINSTORMING

1. Saling berhubungan
Demam : mikroorganisme masuk  merangsang sistem pertahanan tubuh
makrofag dan monosit  pengeluaran pirogen endogen oleh leukosit  produksi
IL-1, IL-6, TNFα  sintesis prostaglandin  mempengaruhi set point di
hipotalamus  peningkatan suhu tubuh  demam.
Bersin : benda asing/ alergen yang terdapat pada mukosa saluran napas atas 
merangsang nervus V (trigeminus)  diteruskan ke medula oblongata 
merangsang kerja otot-otot pernapasan untuk inspirasi maksimal  epiglotis
menutup  tekanan intra abdomen meningkat  epiglotis terbuka  ekspulsi
udara  bersin.
Hidung buntu : adanya respon inflamasi  vasodilatasi pembuluh darah dan
permeabilitas meningkat  mukosa edem dan adanya sekret berlebih dari sel
goblet.
Sakit kepala : terjadinya vakum pada sinus frontalis akibat hidung yang buntu,
pertularan udara pada sinus terganggu, sinus merupakan salah satu struktur peka
nyeri, sehingga bisa menimbulkan sakit kepala terutama bagian frontal.
2. Hubungan aktivitas yang berlebihan dengan kondisi yang dialami pasien saat ini
dikarenakan menurunnya daya tahan tubuh pasien. Ada dua factor yang
mempengaruhi daya tahan tubuh kita : a. factor eksogen meliputi: bahan
makanan,cuaca,kelembaban,bahan iritan; b. factor endogen : asupan gizi, tingkat
kelelahan maupun stress
3. Nyeri pipi kiri : kemungkinan peradangan yang terjadi sudah sampai sinus
maksilaris. Hidung tersumbat karena ada penumpukan mukus  mengganggu
drainase sinus maksilaris kemudian mengakibatkan nyeri.
4. Sudah terjawab
5. Pemeriksaan yang dapat dilakukan:
 Anamnesis : gejala-gejala, tanyakan juga apakah ada riwayat atopi
 Pemeriksaan fisik :
- Vital sign

3
- Pemeriksaan inspeksi dan palpasi hidung dan sinus paranasalis
- Transiluminasi sinus
- Rhinoskopi anterior
 Pemeriksaan penunjang :
- CT scan
- MRI
- Rontgen
- Naso endoskopi
- Sitologi hidung
- Pemeriksaan Ig E spesifik : Prick test

6. - Sinusitis
- Rhinitis

7. Penatalaksanaan

- Simptomatik : antipiretik, dekongestan 0,5%, analgesik, anti histamin jika


karena alergi

- Kausatif : antibiotik spektrum luas

Pencegahan : hindari alergen penyebab dan istirahat cukup

4
2.4 Step 4: STRUKTURISASI

Gejala: Infeksi
Hidung buntu
Demam Alergen
Rinorea
Sakit kepala
Bersin Iritan

Gejala Rhinitis Pemeriksaan Fisik


Dapat berkembang
Sinusitis Pemeriksaan
Penunjang

Diagnosis Tatalaksana

2.5 Step 5: LEARNING OBJECTIVES


Adapun Learning Objective yang diperoleh dari hasil DKK 1 antara lain:
1. Mahasiswa mampu menjelaskan tentang anatomi dan fisiologi hidung dan sinus
paranasal
2. Mahasiswa mampu menjelaskan tentang Rhinitis, mencakup:
a. Rhinitis akut
b. Rhinitis alergika
c. Rhinitis vasomotor
3. Mahasiswa mampu menjelaskan tentang Sinusitis.

2. 6 Step 6: BELAJAR MANDIRI

Pada step ini mahasiswa melakukan belajar mandiri untuk mempelajari LO yang telah di
peroleh dari hasil DKK 1. Mahasiswa belajar menggunakan berbagai referensi yang ada,
baik buku, website resmi, maupun guideline.

5
2.7 Step 7: SINTESIS MASALAH

LO 1: ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL

ANATOMI HIDUNG
Hidung Luar
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian – bagiannya dari atas ke bawah :
 Pangkal hidung (bridge)
 Dorsum nasi
 Puncak hidung
 Ala nasi
 Kolumela
 Lubang hidung (nares anterior)

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi kulit,
jaringan ikat dan beberapa otot kecil yaitu M. Nasalis pars transversa dan M. Nasalis pars
allaris. Kerja otot – otot tersebut menyebabkan nares dapat melebar dan menyempit.
Batas atas nasi eksternus melekat pada os frontal sebagai radiks (akar), antara radiks
sampai apeks (puncak) disebut dorsum nasi. Lubang yang terdapat pada bagian inferior
disebut nares, yang dibatasi oleh :
 Superior : os frontal, os nasal, os maksila
 Inferior : kartilago septi nasi, kartilago nasi lateralis, kartilago alaris mayor dan
kartilago alaris minor

Kerangka tulang terdiri dari :


1. Sepasang os nasalis ( tulang hidung )
2. Prosesus frontalis os maksila
3. Prosesus nasalis os frontalis

Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak
dibagian bawah hidung, yaitu :
1. Sepasang kartilago nasalis lateralis superior

6
2. Sepasang kartilago nasalis lateralis inferior ( kartilago alar mayor )
3. Beberapa pasang kartilago alar minor
4. Tepi anterior kartilago septum nasi

Gambar 1. Struktur hidung bagian luar

Hidung Dalam
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang,
dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya. Kavum nasi bagian anterior disebut
nares anterior dan bagian posterior disebut nares posterior ( koana ) yang
menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.
1. Vestibulum
Terletak tepat dibelakang nares anterior, dilapisi oleh kulit yang
mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut
vibrisae.
2. Septum nasi
Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan.
Bagian tulang terdiri dari :
- lamina perpendikularis os etmoid
- vomer
- krista nasalis os maksila
- krista nasalis os palatina

7
Bagian tulang rawan terdiri dari :
- kartilago septum ( lamina kuadrangularis )
- kolumela
Kavum Nasi
1. Dasar hidung
Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatina os maksila dan prosesus
horisontal os palatum.
2. Atap hidung
Terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasal, prosesus frontalis
os maksila, korpus os etmoid dan korpus os sfenoid. Sebagian besar atap hidung
dibentuk oleh lamina kribrosa yang dilalui filamen-filamen n. olfaktorius yang
berasal dari permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan menuju bagian teratas
septum nasi dan permukaan kranial konka superior.
3. Dinding lateral
Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os maksila,
os lakrimalis, konka superior, konka media, konka inferior, lamina perpendikularis
os palatum dan lamina pterigoideus medial. Pada dinding lateral hidung terdapat 4
buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian
yang lebih kecil ialah konka media dan konka superior, sedangkan yang terkecil
disebut konka suprema. Konka suprema ini biasanya rudimenter. Konka inferior
merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid,
sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid.
4. Meatus nasi
Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang
disebut meatus. Meatus inferior terletak diantara konka inferior dengan dasar hidung
dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara duktus
nasolakrimalis. Meatus media terletak diantara konka media dan dinding lateral
rongga hidung. Disini terdapat muara sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid
anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang diantara konka superior dan
konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.

8
Pendarahan Hidung
Pendarahan untuk hidung bagian dalam berasal dari 3 sumber utama:
1. a. etmoidalis anterior, yang mendarahi septum bagian superior anterior dan
dinding lateral hidung.
2. a. etmoidalis posterior ( cabang dari a. oftalmika ), mendarahi septum bagian
superior posterior.
3. a. sfenopalatina, terbagi menjadi a. nasales posterolateral yang menuju ke dinding
lateral hidung dan a. septi posterior yang menyebar pada septum nasi.

Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a.


maksilaris interna, diantaranya ialah ujung a. palatina mayor dan a. sfenopalatina yang
keluar dari foramen sfenopalatina bersama n. sfenopalatina dan memasuki rongga hidung
di belakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan
dari cabang-cabang a. fasialis.
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.
sfenopalatina, a. etmoid anterior, a. labialis superior dan a. palatina mayor, yang disebut
pleksus Kiesselbach ( Little’s area ) yang letaknya superfisial dan mudah cedera oleh
trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis.
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan
dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke vena
oftalmika superior yang berhubungan dengan sinus kavernosus.
Persarafan Hidung
1. Saraf motorik oleh cabang n. fasialis yang mensarafi otot-otot hidung bagian luar.
2. Saraf sensoris. Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan
sensoris dari n. etmoidalis anterior, merupakan cabang dari n. nasosiliaris, yang
berasal dari n. oftalmika ( N.V-1 ). Rongga hidung lainnya , sebagian besar
mendapat persarafan sensoris dari n. maksila melalui ganglion sfenopalatina.
3. Saraf otonom. Terdapat 2 macam saraf otonom yaitu :
a. Saraf post ganglion saraf simpatis ( Adrenergik )
Saraf simpatis meninggalkan korda spinalis setinggi T1 – 3,
berjalan ke atas dan mengadakan sinapsis pada ganglion servikalis
superior. Serabut post sinapsis berjalan sepanjang pleksus karotikus dan

9
kemudian sebagai n. petrosus profundus bergabung dengan serabut saraf
parasimpatis yaitu n. petrosus superfisialis mayor membentuk n. vidianus
yang berjalan didalam kanalis pterigoideus. Saraf ini tidak mengadakan
sinapsis didalam ganglion sfenopalatina, dan kemudian diteruskan oleh
cabang palatina mayor ke pembuluh darah pada mukosa hidung. Saraf
simpatis secara dominan mempunyai peranan penting terhadap sistem
vaskuler hidung dan sangat sedikit mempengaruhi kelenjar.
b. Serabut saraf preganglion parasimpatis ( kolinergik )
Berasal dari ganglion genikulatum dan pusatnya adalah di nukleus
salivatorius superior di medula oblongata. Sebagai n. pterosus superfisialis
mayor berjalan menuju ganglion sfenopalatina dan mengadakan sinapsis
didalam ganglion tersebut. Serabut-serabut post ganglion menyebar
menuju mukosa hidung. Peranan saraf parasimpatis ini terutama terhadap
jaringan kelenjar yang menyebabkan sekresi hidung yang encer dan
vasodilatasi jaringan erektil. Pemotongan n. vidianus akan menghilangkan
impuls sekretomotorik / parasimpatis pada mukosa hidung, sehingga
rinore akan berkurang sedangkan sensasi hidung tidak akan terganggu.
4. Olfaktorius ( penciuman )
Nervus olfaktorius turun melalui lamina kribosa dari permukaan bawah
bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada
mukosa olfaktorius didaerah sepertiga atas hidung.

10
Gambar 2. Persarafan hidung
Fungsi Hidung
1. Sebagai jalan nafas
Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas
setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga
aliran udara ini berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara masuk
melalui koana dan kemudian mengikuti jalan yang sama seperti udara inspirasi.
Akan tetapi di bagian depan aliran udara memecah, sebagian lain kembali ke
belakang membentuk pusaran dan bergabung dengan aliran dari nasofaring.
2. Pengatur kondisi udara (air conditioning)
Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan
udara yang akan masuk ke dalam alveolus. Fungsi ini dilakukan dengan cara :
a) Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir. Pada
musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari lapisan ini
sedikit, sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya.
b) Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh
darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas,

11
sehingga radiasi dapat berlangsung secara optimal. Dengan demikian suhu
udara setelah melalui hidung kurang lebih 37o C.
c) Sebagai penyaring dan pelindung. Fungsi ini berguna untuk membersihkan
udara inspirasi dari debu dan bakteri dan dilakukan oleh :
 Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi
 Silia
 Palut lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri akan melekat pada
palut lendir dan partikel – partikel yang besar akan dikeluarkan
dengan refleks bersin. Palut lendir ini akan dialirkan ke nasofaring
oleh gerakan silia.
 Enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri, disebut
lysozime.
3. Indra penghirup
Hidung juga bekerja sebagai indra penghirup dengan adanya mukosa
olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas
septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut
lendir atau bila menarik nafas dengan kuat.
4. Resonansi suara
Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan
hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar
suara sengau.
5. Proses bicara
Membantu proses pembentukan kata dengan konsonan nasal (m,n,ng)
dimana rongga mulut tertutup dan rongga hidung terbuka, palatum molle turun
untuk aliran udara.
6. Refleks nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan
saluran cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh : iritasi mukosa hidung
menyebabkan refleks bersin dan nafas terhenti. Rangsang bau tertentu
menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.

12
ANATOMI SINUS PARANASAL
Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid
dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-
tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang. Semua sinus mempunyai
muara ke rongga hidung.
Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung
dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus sfenoid dan sinus
frontal. Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada saat anak lahir, sedangkan sinus frontal
berkembang dari dari sinus etmoid anterior pada anak yang berusia kurang lebih 8 tahun.
Pneumatisasi sinus sfenoid dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian postero-
superior rongga hidung. Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar maksila 15-18 tahun.

13
Sinus Maksila
Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus maksila
bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai
ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa.
Sinus maksila berbentuk segitiga. Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial
os maksila yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infra-
temporal maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung dinding
superiornya adalah dasar orbita dan dinding inferior ialah prosesus alveolaris dan
palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus dan
bermuara ke hiatus semilunaris melalui infindibulum etmoid.

Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah :
1. Dasar dari anatomi sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas,
yaitu premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C)
dan gigi molar M3, bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus,
sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis.
2. Sinusitis maksila dapat menyebabkan komplikasi orbita.

14
3. Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase kurang
baik, lagipula drainase juga harus melalui infundibulum yang sempit. Infundibulum
adalah bagian dari sinus etmoid anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi
pada daerah ini dapat menghalangi drenase sinus maksila dan selanjutnya
menyebabkan sinusitis.

Sinus Frontal
Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke empat
fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum etmoid. Sesudah
lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 thn dan akan mencapai ukuran
maksimal sebelum usia 20 tahun.
Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar dari pada
lainnya dan dipisahkan oleh sekret yang terletak di garis tengah. Kurang lebih 15% orang
dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih 5% sinus frontalnya tidak
berkembang.
Ukurannya sinus frontal adalah 2.8 cm tingginya, lebarnya 2.4 cm dan dalamnya 2
cm. Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berleku-lekuk. Tidak adanya
gambaran septumn-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus pada foto Rontgen
menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus frontal dipisakan oleh tulang yang relatif tipis
dari orbita dan fosa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke
daerah ini.
Sinus frontal berdraenase melalui ostiumnya yang terletak di resesus frontal.
Resesus frontal adalah bagian dari sinus etmoid anterior.

Sinus Etmoid
Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhir-akhir
ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi bagi sinus-sinus
lainnya. Pada orang dewasa bentuk sinus etomid seperti piramid dengan dasarnya di
bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2.4 cmn dan
lebarnya 0.5 cm di bagian anterior dan 1.5 cm di bagian posterior.

15
Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon,
yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di antara konka
media dan dinding medial orbita. Sel-sel ini jumlahnya bervariasi antara 4-17 sel (rata-
rata 9 sel). Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang
bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus superior.
Sel-sel sinus etmoid anterior biasanya kecil-kecil dan banyak, letaknya di bawah
perlekatan konka media, sedangkan sel-sel sinus etmoid posterior biasanya lebih besar
dan lebih sedikit jumlahnya dan terletak di postero-superior dari perlekatan konka media.
Di bagian terdepan sinus etmoid enterior ada bagian yang sempit, disebut resesus
frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar disebut bula
etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang disebut
infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus maksila. Pembengkakan atau
peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan di
infundibulum dapat menyebabkan sisnusitis maksila.
Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina
kribosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi
sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid posterior berbatsan
dengan sinus sfenoid.

Sinus Sfenoid
Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior. Sinus
sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Ukurannya adalag 2 cmn
tingginya, dalamnya 2.3 cm dan lebarnya 1.7 cm. Volumenya bervariasi dari 5-7.5 ml.
Saat sinus berkembang, pembuluh darah dan nerbus di bagian lateral os sfenoid akan
menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus dan tampak sebagai indentasi pada
dinding sinus etmoid.
Batas-batasnya ialah, sebelah superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar
hipofisa, sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus
kavernosus dan a.karotis interna (sering tampak sebagai indentasi) dan di sebelah
posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons.

16
Kompleks Ostio-Meatal
Di meatus medius, ada muara-muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal dan
sinus etmoid anterior. Daerah ini rumit dan sempit dan dinamakan kompleks ostio-meatal
(KOM), terdiri dari infundibulum etmoid yang terdapat di belakang prosesus unsinatus,
resesus frontalis, bula etmoid dan sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan ostium
sinus maksila.

Fungsi Sinus Paranasal


Sampai saat ini belum ada kesesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus paranasal.
Beberapa pendapat:

a. Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)

Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur


kelembaban udara inspirasi. Keberatan terhadap teori ini ialah karena ternyata
tidak didapati pertukaran udara yang definitive antara sinus dan rongga hidung.
Lagipula mukosa sinus tidak mempunyai vaskularisasi dan kelenjar yang
sebanyak mukosa hidung.

b. Sebagai penahan suhu (termal insulators)

Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas, melindungi


orbita dan fossa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah.

c. Membantu keseimbangan kepala

Bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan memberikan
pertambahan berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori dianggap tidak
bermakna.

17
d. Membantu resonansi suara

Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi sinus dan ostiumnya tidak
memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator yang efektif. Lagipula tidak ada
korelasi antara resonansi suara dan besarnya sinus pada hewan-hewan tingkat
rendah.

e. Sebagai peredam perubahan tekanan udara

Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak
,misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus.

f. Membantu produksi mucus

Jumlahnya kecil dibandingkan dengan mucus dari rongga hidung, namun


efektif untuk membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi
karena mucus ini keluar dari meatus medius, tempat yang paling strategis.

18
LO 2: RINITIS

RINITIS AKUT

Definisi

Rhinitis akut yang juga disebut sebagai coryza akut atau common cold adalah
proses radang akut mukosa nasi yang ditandai dengan gejala-gejala rhinorea, obstruksi
nasi, bersin-bersin dan disertai gejala umum malaise dan suhu tubuh naik. Common cold
lebih menjelaskan kompleks gejala daripada suatu penyakit, diamna gejala lokal utama
ditemukan pada saluran pernapasan atas dengan predomian gejala-gejala hidung (Boies,
2013)

Epidemiologi

Insiden common cold menyerang beberapa ratus juta setiap tahunnyadi Amerika
Serikat dan laporan serupa di berbagai negara, terutama pada kalangan anak sekolah,
instansi militer dan rumah industry.

Etiologi

Etiologi ada 2 jenis mikroorganisme yang menimbulkan rhinitis akut:

1. Virus ditentukan oleh Kruse tahun 1914


2. Bakteri terutama Haemophylus influenzae, Steptococcus, Pneumococcus, dan
sebagainya.

Pertama kali terjadi invasi virus yang merusak pertahanan mukosa, Rinitis virus
sangat umum dan sering dihubungkan dengan gejala sakit karena virus termasuk sakit
kepala, malaise, dan batuk. Kemudian bakteri mengadakan infeksi sekunder. Penularan
lewat droplet infeksi dan kontak langsung dengan penderita. Di samping virulensi , faktor
predisposisi memegang peranan penting.

19
Predisposisi

1. Faktor luar (enviroment)


a. Pengaruh atmosfer yaitu angin, suhu udara, humidity, hujan dan sebagainya.
Humudity optimal 45%, terlalu kering misalnya salju. Mukosa kering, terlalu
lembab, keringat banyak, berangin-angin, kedinginan. Common cold virus hidup
lebih baik pada humidity tinggi.
b. Ventilasi ruangan kurang yaitu ruangan kecil, tertutup, penuh orang-orang sakit,
serumah ketularan.
c. Debu dan gas.
d. Yang terpenting adalah faktor dingin atau perubahan temperatur dari panas ke
dingin yang mendadak, karena dingin menimbulkan reflex vasokonstrinsik 
iskemia jaringan, daya tahan terhadap infeksi menurun.
2 Faktor dalam
a. Daya tahan tubuh yang menurun
- kelelahan, bekerja terlalu keras, belajar sampai larut malam
- kurang makanan bergizi
- defisiensi vitamin A, C, dan D
b. Daya tahan lokal cavum nasi
- alergi hidung
- obstruksi nasi kronis contoh adenoid, septum deviasi
3. Penyakit excanthemata
Rhinit akut merupkan gejala prodromal misalnya morbili, variola, varecolla, dan
scarlet fever.

Patologi
Pada stadium permulaan terjadi vasokonstrinsik yang akan diikuti vasodilatasi, udem
dan meningkatnya aktifitas kelenjar seromucious dan goblet sel, kemudian terjadi
infiltrasi leukosit dan desguamasi epitel. Secret mula-mula encer, jernih kemudian
berubah menjadi kental dan lekat (mukoid) berwarna kuning mengandung nanah dan

20
bakteri (makopurulent). Toksin yang berbentuk terbentuk terserap dalam darah dan
lymphe, menimbulkan gejala-gejala umum. Pada stadium resolusi terjadi proliferasi sel
epithel yang telah rusak dan mukosa menjadi normal kembali.

Gambaran klinis

1. Stadium prodromal (hari ke1)


- rasa panas dan kering pada cavum nasi
- bersin-bersin
- hidung buntu
- pilek encer jernih seperti air
:: Pemeriksaan (rhinoscopia anterior/RA)  cavum nasi sempit, terdapat secret
serous dan mukosa udem dan hyperemi
2. Stadium akut, (hari ke 2-4)
- bersin-bersin berkurang
- obstruksi nasi bertambah, akibat obstruksi nasi akut terjadi hyposmia, gangguan
gustateris, rasa makanan tidak enak
- pilek kental kuning
- badan tak enak, sumer-sumer
:: Pemeriksaan  cavum nasi lebih sempit, secret mukopurulent. Mukosa lebih
udem hyperemis
3. Stadium Penyembuhan (resolusi), (hari ke 5-7)
Gejala-gejala ditas berkurang (udem dan hyperemis berkurang, obstruksi berkurang,
secret berkung dan mongering) kadang-kadang rhinitis akut didahului gejala
nasopharingitis (disamping itu ada gejala lain menyertai yaitu pharyngitis akut dan
laryngitis akut. Sehingga timbul gejala panas, batuk, dan pilek. Tetapi adanya pharyngitis
atau laryngitis akut tidak selalu didahului oleh rhinitis akut. Dapat pharyngitis timbul
dulu atau laryngitis dulu, jadi manifestasi penyakit dapat dimulai dimana-mana (hidung,
pharing, laryng)

Diagnosis Banding

21
Rhinitis akut pada stadium prodromal mempunyai gejala yang mirip dengan
syndrome alergi yaitu: bersin-bersin, rhinorea dan obstruksi nasi. Perbedaannya:

Rhinitis Akut Syndrome alergi


Waktu dan 1-2 hari (prodromal) Lama berminggu-minggu, bulan, tahun, semusim.
gejala Berulang-ulang: pagi sakit, siang sembuh, besoknya
kumat lagi
Sifat secret Mengental sesudah 3-4 Encer terus
hari
Gejala Ada (panas, Malaise) Tidak ada
Umum
Alergen Tidak ada Ada (anamnesa, skin tes pada rhinitis allergen)

Terapi

1. Lokal
Tetes hidung sel HCl Ephedrin 1% dalam glucose 5% tau P.Z berfungsi melebarkan
cavum nasi, meatus dan propilaksis terhadap sinusitis
2. Umum
a. Hindari tubuh kedinginan
- mandi air hangat
- makan hangat
- pakaian hangat, jangan terbuka
- tidur memakai selimut
- jangan berangin-angin/kipas angin
- lantai dingin memakai sandal
b. Systemik dengan acetosal
- sebagai analgetik dan antipiretik
- mempunyai efek Cortison anti radang menghilangkan odema, cara kerja
merangsang cortex adrenalis memproduksi cortisone
- keuntungan lain dapat dipakai untuk pencegahan segera, minum asetosal sesudah

22
kedinginan/kehujanan yaitu setengah jam sesudah kedinginan, sesudah 2 jam
tidak ada efek lagi.
- asetosal dapat menghangatkan badan karena menimbulkan vasodilatasi perifer

Profilaksis
1. hindari kontak dengan penderita
2. meningkatkan daya tahan tubuh dengan hindari kelelahan dan diet bergizi
3. hidari dingin dengan minum asetosal
4. rumah sakit dengan sinar ultra violet membunuh virus

Komplikasi
1. Otitis media akut
2. Sinusitis paranasalis
3. Infeksi traktus respiratorius bagian bawah seperti laring, tracho bronchitis, pneumonia
4. Akibat tidak langsung pada penyakit-penyakti lain yaitu jangung dan asma bronchial

Prognosa
Rhinitis akut merupakan “self limiting disease” umumnya sembuh dalam 7 -10
hari. Tapi dapat lebih lama 3 minggu bila ada pharingitis, laryngitis atau komplikasi lain.

RHINITIS ALERGI

Definisi
Rhinitis alergi adalah Penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada
pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan alergen yang sama serta
dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen
spesifik tersebut (Von Pirquet, 1968).

Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Atshma) tahun
2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinorhea, rasa gatal dan
tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantai oleh igE.

23
Prevalensi

Rhinitis alergi sangat sering terjadi di Amerika Serikat. Pada studi populasi
dilaporkan bahwa prevalensinya sekitar 14%-40% dari total populasi. Biaya yang
dikeluarkan untuk penyakit ini adalah lebih dari 6 juta dollar.

Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya,


yaitu :

1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis). Di Indonesia tidak dikenal
rinitis alergi musiman, hanya ada di negara yang mempunyai 4 musim. Alergen
penyebabnya spesifik, yaitu tepungsari (pollen) dan spora jamur. Oleh karena itu nama
yang tepat ialah polinosis atau rino konjungtivitiskarena gejala klinik yang tampak
adalah gejala pada hidung dan mata (mata marah, gatal disertai lakrimasi).

2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial). Gejala pada penyakit ini timbul intermiten
atau terus-menerus, tanpa variasi musiman, jadi dapat ditemukan sepanjang tahun.
Penyebab yang paling sering adalah alergen inhalan, terutama pada orang dewasa dan
alergen ingestan. Alergen inhalan utama adalah alergen dalam rumah (indoor) dan
alergen dalam rumah (outdoor). Alergen ingestan sering merupakan penyebab pada
anak-anak dan biasanya disertai dengan gejala alergi yang lain, seperti urtikaria,
gangguan pencernaan. Gangguan fisiologik pada golongan perenial lebih ringan
dibandingkan dengan golongan musiman tetapi karena lebih persisten maka
komplikasinya lebih sering ditemukan.

Saat digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO Intiative
ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Atshma) tahun 2001, yaitu berdasarkan sifat
berlangsungnya dibagi menjadi :

1. Intermiten (kadang-kadang) : bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4
minggu.
2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4 minggu.

Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi :

24
1. Ringan bila tidak ditemuak gangguan tidur, gangguan aktivitas harian, bersantai,
berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang menggangu.
2. Sedang-berat bila terdapat satu atau lebih gangguan tersebut diatas.

Etiologi

Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas :

1. Alergen inhalan, yang masuknya bersama dengan udara pernafasan misalnya tungau
debu rumah (D. Pteronyssinus, D.Farinae, B.tropicalis), kecoa, serpihan epitel kulit
binatang (kucing, anjing), rerumputan (bermuda grass) serta jamur (Aspergillus,
alternaria).

2. Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu sapi,
telur, coklat, ikan laut, udang, kepiting dan kacang-kacangan.

3. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin dan
sengatan lebah.

4. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa misalnya
bahan kosmetik, perhiasan.

Satu macam alergen dapat merangsang lebih dari satu organ sasaran, sehingga
memberi gejala campuran misalnya tungai atau debu rumah yang memberi gejala asma
bronkial dan rhinitis alergi.

Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar
terdiri dari :

1. Respon primer : terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini
bersifat non spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil
seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respons skunder.

2. Respon sekunder : reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai 3


kemungkinan ialah sistem imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan.

25
Bila Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada atau
memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi
respons tertier.

3. Respon tertier : reaksi imunologik yang terjadi ini tidak menguntungkan bagi tubuh.
Reaksi ini dapat bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag
oleh tubuh.

Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1 atau reaksi
anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik/sitolitik, tipe 3 atau
reaksi kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi tuberkulin (delayed hypersensitivity).

Patofisiologi

Rhinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap
sensititasi yang diikuti dengan tahap provokasi/reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2
fase yaitu, Immediate Phase Allergic Reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang
berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan Late Phase
Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam
dengan puncak 6-8 jam (fase hiper-reaktifitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung
sampai 24-48 jam.

Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitasi, makrofag atau monosit
yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell atau APC) akan menangkap
alergen yang menempel dipermukaan mukosa hidung. Setelah diperoses antigen akan
membentuk fragmen pendek peptida dan bergabung dengan molekul HLA kelas II
membentuk komplek peptida MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang
kemudian dipersentasikan pada sel T helper (Th 0). Kemudian sel penyaji akan
melepaskan sitokin seperti Interleukin 1 (IL 1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk
berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL 3,
IL 4, IL 5 dan IL 13. IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya dipermukaan sel
limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E
(igE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor igE di

26
permukaan sel mastosit atau basosil (sel mediator) sehingga ke dua sel ini menjadi aktif.
Proses ini disebut sensititasi terpapar dengan alergen yang sama, maka kedua rantai igE
akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit
dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Preformed
Mediators) terutama histamin. Selain histami juga dikeluarkan Newly Formed Mediators
antara lain prostaglansin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LTD4), Leukotrien C4 (LTC4),
bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin. (IL3, IL4, IL5 IL6,
GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor)) dll. Inilah yang disebut
sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).

Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga


menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan
kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler
meningkat sehingga menjadi rhinorea. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat
vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga
menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter
Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM 1).

Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang
menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respon ini tidak
berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam
setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel
inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta
peningkatkan sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan Granulocyte Macrophag Colony
Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM 1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala
hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator
inflamasi dan granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosinophilic
Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP) dan Eosinophilic Peroxidase (EPO).
Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat
memperberat gejala seperti asap rokok, bau merangsang, perubahan cuaca dan
kelembaban udara yang tinggi.

27
Gambaran histologik

Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh darah (vascular bad)


dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran
ruang interseluler dan penambalan membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel
eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa hidung.

Gambaran yang demikian terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan serangan,
mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus menerus/persisten
sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan menjadi perubahan yang ireversible, yaitu
terjadi proliferasi jaringan ikat dan hiperflasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung
menebal.

Diagnosis

Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan :

1. Anamnesis

Anamnesis sangat penting, karena seringkali serangan tidak terjadi dihadapan


pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Gejala rinitis
alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya bersin
merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak
dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses
membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin ini terutama merupakan gejala
pada RAFC dan kadang-kadang pada RAFL sebagai akibat dilepaskannya histamin.
Gejala lain ialah keluar ingus (rhinorea) yang encer dan banyak, hidung tersumbat
hidung dan mata gatal, yang disertai kadang-kadang keluhan hidung tersumbat
merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien.

2. Pemeriksaan fisik

Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid
disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior

28
tampak hipertrofi. Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan bila fasilitas tersedia.
Gejala spesifik lain pada anak ialah terdapatnya bayangan gelap didaerah bawah mata
yang terjadi karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut
allergic shiner. Selain dari itu sering juga tampak anak menggosok-gosok hidung,
karena gatal, dengan punggung tangan. Keadaan ini disebut sebagai allergic salute.
Keadaan menggosok hidung ini lama kelamaan akan mengakibatkan timbulnya garis
melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah, yang disebut allergic crease. Mulut
sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi, sehingga akan menyebabkan
gangguan pertumbuhan gigi-geligi (facies adenoid). Dinding posterior faring tampak
granuler dan edema (cobblestone appearance), serta dinding lateral faring menebal.
Lidah tampak seperti gambaran peta (geographic tongue).

3. Pemeriksaan penunjang.

In vitro :

Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula
pemeriksaan IgE total (prist-paper radio immunosorbent test) seringkali menunjukkan
nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit,
misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Pemeriksaan
ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu
keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Lebih bermakna adalah pemeriksaan
igE spesifik dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked
Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat
memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya
eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergei inhalan. Jika
basofil (> 5sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel
PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri.

In vivo :

Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji
intrakutan atau intradermal yang tunggak atau berseri (Skin End-point Titration/SET),

29
SET dilakukan untuk alergen dalam berbagai konsentrasi yang ver-tingkat
kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat alergi serta dosis
inisial untuk desensitisasi dapat diketahui.

Untuk alergi makanan, uji kulit yang akhir-akhir ini banyak dilakukan adalah
intracutaneus Provocative Dilutional Food Test (IPDFT), namun sebagai baku emas
dapat dilakukan dengan diet eliminasi dan provokasi (Challenge Test).

Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari. Karena
itu pada Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah
berpantangan selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis
makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika gejala
menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan.

Penatalaksanaan

1. Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan alergen
penyebabnya (avoidance) dan eliminasi.

2. Medikamentosa

Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamin H-1, yang bekerja secara
inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat
farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan rinitis alergi.
Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara
peroral.

Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin generasi-1


(klasik) dan generasi-2 (non sedatif). Anti histamin generasi-1 bersifat lipofilik,
sehingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta
serta mempunyai efek kolinergik. Yang termasuk kelompok ini antara lain antara lain
defenhidramin, klorfeniramin, prometasin, siproheptadin sedangkan yang dapat
diberikan secara topikal adalah azelastin. Antihistamin generasi-2 bersifat lipofobik,
sehingga sulit menembus sawar darah otak. Bersifat selektif mengikat reseptor H-1

30
perifer dan tidak mempunyai efek antikolinergik, antiadrenergik dan efek pada SSP
minimal (non-sedatif). Antihistamin diabsorpsi secara oral dengan cepat dan mudah
serta efektif untuk mengatasi gejala pada respon fase cepat seperti rinorhea, bersin,
gatal, tetapi tidak efektif untuk mengatasi gejala obstruksi hidung pada fase lambat.
Antihistamin non-sedatif dapat dibagi menjadi 2 golongan menurut keamanannya.
Kelompok pertama adalah astemisol dan terfenadin yang mempunyai efek
kardiotoksik. Toksisitas terhadap jantung tersebut disebabkan repolarisasi jantung
yang tertunda dan dapat menyebabkan aritmia ventrikel, henti jantung dan bahkan
kematian mendadak (sudah ditarik dari peredaran). Kelompok kedua adalah loratadin,
setirisin, fexofenadin, desloratadin dan levosetirisin.

Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai sebagai


dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau
topikal. Namun pemakaian secara topikal hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk
menghindari terjadinya rinitis medikamentosa.

Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan hidung akibat


respon fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering dipaki adalah
kortikosteroid topikal (beklometason, budesonid, flunisolid, flutikason, mometason
furoat dan triamsinolon). Kortikosteroid topikal bekerja untuk mengurangi jumlah sel
matosit pada mukosa hidung, mencegah pengeluaran protein sitotoksik dari eosinofil,
mengurangi aktifitas limfosit, mencegah bocornya plasma. Hal ini menyebabkan epitel
hidung tidak hiperresponsif terhadap rangsangan alergen (bekerja pada repon fase
cepat dan lambat). Preparat sodium kromoglikat topikal bekerja menstabilkan mastosit
(mungkin menghambat ion kalsium) sehingga penglepasan mediator dihambat. Pada
respons fase lambat, obat ini juga menghambat proses inflamasi dengan menghambat
aktifitas sel netrofil, eosinofil dan monosit. hasil terbaik dapat dicapai bila diberikan
sebagai profilaksis.

Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromida, bermanfaat untuk


mengatasi rhinorea, karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik pada permukaan sel
efektor.

31
Pengobatan baru lainnya untuk rinitis alergi adalah anti leukotrien
(zafirlukast/monotelukast), anti igE, DNA rekombinan.

3. Operatif

Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior), konkoplasti


atau multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu dipikirkan bila konka inferior
hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3
25% atau triklor asetat.

4. Imunoterapi

Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat dan
sudah berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak memberikan hasil
yang memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah pembentukan igG blocking
antibody dan penurunan igE. Ada 2 metode imunoterapi yang umum dilakukan yaitu
intradermal dan sublingual

Komplikasi

Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah :

1. Polip hidung
Beberapa penelitian mendapatkan bahwa alergi hidung merupakan salah satu faktor
penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung.
2. Otitis media efusi sering residif, terutama pada anak-anak
3. Sinusitis paranasalis

RHINITIS VASOMOTOR

Definisi

Rinitis vasomotor adalah suatu keadaan idiopatik yang didiagnosis tanpa adanya
infeksi, alergi, eosinofilia, perubahan hormonal (kehamilan, hipertiroid), dan pajanan obat

32
(kontrasepsi oral, antihipertensi, B-blocker, aspirin, klorpromazin dan obat topical hidung
dekongestan).

Disebut juga vasomotor catarrath, vasomotor rinorhea, nasal vasomotor instability,


atau juga non-allergic perennial rhinitis.

Etiologi dan Patologi

Belum diketahui, namun terdapat beberapa hipotesis:

1. Neurogenik (disfungsi system otonom)


Rinitis vasomotor diduga sebagai akibat dari ketidakseimbangan impuls saraf otonom
di mukosa hidung yang berupa bertambahnya aktivitas system parasimpatis. Serabuts
araf parasimpatis berasal dari nukleus salivatori superior menuju ganglion
sfenoplataina dan membentuk n. Vidianus, kemudian menginervasi pembuluh darah
dan terutama kelenjar eksokrin. Pada ranbgsangan akan terjadi pelepasan ko-
transmiter asetilkolin dan vasoaktif intestinal peptide yang menyebabkan peningkatan
sekresi hidung dan vasodilatasi sehingga terjadi kongesti hidung.
2. Neuropeptida
Terjadi disfungsi hidung yang diakibatkan oleh meningkatnya rangsangan terhadap
saraf sensoris serabut C di hidung. Diikuti oleh peningkatan pelepasan neuropeptida
seperti substansi P dan calcitonin gene-related protein yang menyebabkan
peningkatan permeabilitas vascular dan sekresi kelenjar.

3. Nitrit Oksida
Kadar NO yang tinggi dan persisten di lapisan epitel hidung dapat menyebabkan
terjadinya kerusakan atau nekrosis epitel, sehingga rangsangan non spesifik
berinteraksi langsung ke lapisan sub epitel.

4. Trauma
Rinitis vasomotor dapat merupakan komplikasi jangka panjang dari trauma hidung
melalui mekanisme neurogenik dan/atau neuropeptida

33
Gejala Klinis

Gejala sering dicetuskan oleh berbagai rangsangan non-spesifik, seperti asap/rokok,


bau yang menyengat, parfum, minuman beralkohol, makanan pedas, udara dingin,
pendingin dan pemanas ruangan, perubahan kelembaban, perubahan suhu luar, kelelahan
dan stress/emosi.

Gejala mirip dengan rhinitis alergi, namun yang dominan adalah hidung tersumbat,
tergantung pada posisi pasien. Terdapat rinore yang mukoid atau serosa dan jarang
disertai gejala mata.

Berdasarkan gejala yang menonjol:

1. Golongan bersin (respon baik dengan terapi antihistamin dan glukokortikosteroid topical
2. Golongan rinorrhoe (dapat diatasi dengan pemberian anti kolinergik topical)
3. Golongan tersumbat (kongesti umumnya memberikan respon yang baik dengan terapi
glukokortikosteroid topical dan vasokonstriktor oral)

Diagnosa

Ditegakkan dengan eksklusi, menyingkirkan adanya rhinitis infeksi, alergi, okupasi,


hormonal, dan akibat obat.

Anamnesis. Dicari faktor yang mempengaruhi timbulnya gejala

Rhinoskopi anterior. Edema mukosa hidung, konka mera gelap atau pucat dan
permukaannya dapat licin atau berbenjol-benjol. Ada rongga hidung terdapat secret
mukoid, biasanya sedikit.

Laboratorium. Untuk menyingkirkan adanya kemungkinan rhinitis alergi. Kadang


ditemukan juga eosinofil pada secret hidung tetapi dalam jumlah sedikit. Tes cukit kulit (-
),kadar IgE spesifik tidak meningkat.

Penatalaksanaan

34
1. Menghindari stimulus/faktor pencetus
2. Pengobatan simtomatis, dengan obat-pbatan dekongestan oral, cuci hidung dengan
larutan garam fisiologis, kauterisasi konka hipertrofi dengan larutan AgNO3 25%
atau triklor asetat pekat.
3. Operasi dengan bedah beku, elektrokauter, atau konkotomi parsial konka inferior
4. Neurektomi n. vidianus

LO 3: SINUSITIS
SINUSITIS AKUT

Sinusitis Maksilaris
Sinusitis maksilaris akut, biasanya menyusul suatu infeksi saluran napas atas yang
ringan. Alergi hidung kronik, benda asing, deviasi septum nasi merupakan factor
predisposisi local yang paling sering ditemukan. Deformitas rahang-wajah, terutama
palatoskisis, dapat menimbulkan masalah pada anak. Anak-anak cenderung menderita
infeksi nasofaring atau sinus kronik dengan angka insidens yang lebih tinggi. Sedangkan
gangguan geligi bertanggung jawab atas sekitar 10% infeksi maksilaris akut.

Gejala
Demam, malaise, dan nyeri kepala yang tidak jelas. Yang biasanya reda dengan
pemberian analgetik biasanya seperti aspirin. Wajah terasa bengkak, penuh dan gigi
terasa nyeri pada gerakan kepala mendadak. Seringkali terdapat nyeri pipi khas yang
tumpul dan menusuk, serta nyeri pada palpasi dan perkusi. Keluarnya secret mukopurulen
dari hidung, dan terkadang berbau busuk. Batuk iritatif non-produktif seringkali ada.

Diagnosis

35
1. Pemeriksaan Fisik :
 Adanya pus dalam hidung, yang asalnya dari meatus media. Atau pus
mukopurulen dari nasofaring.
 Sinus maksilaris terasa nyeri saat di perkusi atau palpasi
 Transiluminasi berkurang, karena sinus terisi cairan

Gambaran Radiologi :
 Awal : berupa penebalan mukosa sinus, selanjutnya diikuti opasifikasi sinus
lengkap, akibat mukosa yang membengkak hebat atau akumulasi cairan yang
mengisi sinus dan terbentuknya air-fluid level pada foto tegak sinus maksilaris.

Pemeriksaan Laboratorium :
 Hitung darah lengkap
 Apusan hidung , yang diambil dari sinus maksilaris atau dari bagian posterior
hidung dan nasofaring.

Penatalaksanaan
 Antibiotik spektrum luas : amoksisilin, ampisilin, eritromisin plus sulfonamide,
sefalosporin, sefuroksim dan trimetropin plus sulfonamide.
 Dekongestan : pseudoefedrin, tetes hidung (fenilefrin), oksimetazoline.
 Analgetik dan antipiretik ( parasetamol )
 Kompres hangat pada wajah

Pasien biasanya akan memperlihatkan tanda-tanda perbaikan dalam dua hari dan
proses penyakitnya akan menyembuh dalam 10 hari. Kegagalan penyembuhan pada suatu
terapi aktif mungkin menunjukkan organism tidak peka lagi terhadap antibiotic, atau
antibiotic gagal mencapai lokasi infeksi. Pada keadaan ini, ostium sinus mengalami
edematosa sehingga drainase sinus terhambat dan terbentuk suatu abses. Dan harus
dilakukan drainase / irigasi segera.
Dengan irigasi antrum, melalui insersi trokar di bawah konka inferior, setelah
sebelumnya dilakukan kokainisiasi membrane mukosa. Jalur alternative adalah melalui

36
pendekatan sublabial dimana jarum ditusukkan lewat celah bukalis gusi menembus fosa
insisiva. Kemudian larutan salin hangat dialirkan ke dalam antrum maksilaris melalui
jalur ini, dan pus didorong keluar melalui ostium alami.

Sinusitis maksilaris dentogen


BentukPenyakit geligi-maksilaris yang kusus bertanggung jawab pada 10% kasus
sinusitis yang terjadi setelah gangguan pada gigi. Penyebab tersering adalah ekstraksi gigi
molar pertama, dimana sepotong kecil tulang diantara akar gigi molar dan sinus
maksilaris ikut terangkat. Infeksi gigi lainnya seperti abses apical atau penyakit
periodontal dapat menimbulkan kondisi serupa. Gambaran bakteriostatik sinusitis berasal
dari geligi , didominasi oleh infeksi bakteri gram negative. Karena itulah infeksi ini
menyebabkan pus yang berbau busuk dan akibatnya tibul bau busuk dari hidung. Prinsip
terapi adalah pemberian antibiotic, irigasi sinus dan koreksi gangguan geligi.

Faktor predisposisi lokal


Yang menyebabkan sinusitis maksilaris akut adalah suatu benda asing dalam
hidung dan deviasi septum nasi. Penganggkatan benda asing merupakan keharusan, dan
koreksi bedah septum nasi yang berdeviasi dilakukan setelah fase akut sembuh sempurna.
Karena sinusitis dapat terjadi setelah pemasangan tampon hidung untuk menggatasi
epistaksis, maka diperlukan antibiotic profilaksis pada setiap pemasangan tampon hidung.
Fraktur wajah dapat menggangu drainase fisiologis normal dari sinus dan menyebabkan
infeksi. Barotrauma menyebabkan edema mukosa dan oklusi ostium sinus, sehingga
terjadi akumulasi secret sinus yang diikuti infeksi.

Sinusitis Etmoidalis
Sinus etmoidalis akut terisolasi lebih lazim pada anak, seringkali bermanifestasi
sebagai selulitis orbita. Sinusitis etmoidalis menyebabkan nyeri di belakang dan diantara
mata serta sakit kepala di dahi. Peradangan sinus etmoidalis juga bisa menyebabkan nyeri
bila pinggiran hidung di tekan, berkurangnya indera penciuman dan hidung tersumbat.
Pada dewasa, seringkali bersama-sama dengan sinus maksilaris, serta dianggap
sebagai penyerta sinusitis frontalis yang tidak dapat dielakkan. Gejala berupa nyeri dan

37
nyeri tekan diantara kedua mata dan di atas jembatan hidung, drainase dan sumbatan
hidung. Pada anak, dinding alteral labirin etmoidalis (lamina papirasea) seringkali
merekah dan karena itu cenderung lebih sering menimbulkan selulitis orbita.
Pengobatan sinusitis etmoidalis berupa pemberian antibiotik sistemik,
dekongestan hidung, dan obat semprot atau tetes vasokonstriktor topikal. Ancaman
terjadinya komplikasi atau perbaikan yang tidak memadai merupakan indikasi untuk
etmoidektomi. Dekongestan dalam bentuk tetes hidung atau obat semprot hidung hanya
boleh dipakai selama waktu yang terbatas (karena pemakaian jangka panjang bisa
menyebabkan penyumbatan dan pembengkakan pada saluran hidung). Untuk mengurangi
penyumbatan, pembengkakan dan peradangan bisa diberikan obat semprot hidung yang
mengandung steroid. Sinusitis kronis Diberikan antibiotik dan dekongestan. Untuk
mengurangi peradangan biasanya diberikan obat semprot hidung yang mengandung
steroid. Jika penyakitnya berat, bisa diberikan steroid per-oral (melalui mulut).

Sinusitis Frontalis
Sinusitis frontalis akut hampir selalu bersama-sama dengan infeksi sinus
etmoidalis anterior. Faktor predisposisi infeksi sinus frontalis akut adalah sama dengan
faktor untuk infeksi sinus lainnya. Nyeri berlokasi di atas alis mata, biasanya pada pagi
hari dan memburuk menjelang tengah hari, kemudian perlahan-lahan mereda hingga
menjelang malam. Pasien biasanya menyatakan bahwa dahi terasa nyeri bila disentuh,
dan mungkin terdapat pembengkakan supraorbita. Tanda patognomonik adalah nyeri
yang hebat pada palpasi atau perkusi di daerah sinusitis. Transiluminasi dapat terganggu,
dan radiogram sinus memastikan adanya penebalan periosteum atau kekeruhan sinus
menyeluruh atau suatu air fluid lefel. Pengobatan berupa pemberian antibiotik yang
tepat, dekongsetan, dan tetes hidung vasokonstriktor. Kegagalan penyembuhan segera
atau timbulnya komplikasi memerlukan drainase sinus frontalis dengan teknik trepanasi.
Sinusitis Sfenoidalis
Sinusitis sfenoidalis akut terisolasi amat jarang. Sinusitis ini dicirikan oleh nyeri
kepala yang mengarah ke verteks kranium. Namun penyakit ini lebih lazim menjadi

38
bagian dari pansinusitis dan oleh karena itu gejalanya menjadi satu dengan gejala infeksi
sinus lainnya.

SINUSITIS KRONIK

Definisi
Sinusitis kronik berlansung selama beberapa bulan atau tahun. Gambaran
patologik sinusitis kronik adalah kompleks adan ireversibel. Mukosa umumnya menebal,
membentuk lipatan-lipatan atau pseudopolop. Epitel permukaan tampak mengalami
deskuamasi, regenerasi, metaplasia, atau epitel biasa dalam jumlah yang bervariasi pada
suatu irisan histologis yang sama. Pembentukan mikroabses, dan jaringan granulasi
bersama-sama dengan pembentukan jarinan parut. Secara menyeluruh, terdapat infiltrat
sel bundar dan polimorfonuklear dalam lapisan submukosa (boeis).

Etiologi dan faktor predisposisi


Etiologi dan faktor predisposisi sinusitis kronik cukup beragam. Pada era pra-
antibiotik, sinusitis hiperplastik kronik timbul akibat sinusitis akut berulang dengan
penyembuhan yang tidak lengkap. Lapisan mukoperiosteum sinus paranasalis
mempunyai daya tahan luar biasa terhadap penyakit slain kemampuan untuk memulihkan
dirinya sendiri. Pada dasarnya, faktor-faktor lokal yang memungkinkan penyembuhan
mukosa sinus yang terinfeksi adalah drainase dan ventilasi yang baik. Jika faktor anatomi
atau faal menyebabkan kegagalan drainase dan ventilasi sinus, maka tercipta suatu
medium untuk infeksi selanjutnya oleh kokus mikroaerofilik atau anaerobik, akibatnya
berupa lingkaran setan edema, sumbatan dan infeksi (boies).
Kegagalan mengobati sinusitis akut atau berulang secara adekuat akan
menyebabkan reenerasi epitel permukaan bersilia yang tidak lengkap, akibatnya terjadi
kegagalan mengeluarkan sekret sinus, dan oleh karena itu menciptakan predisposisi
infeksi. Sumbatan drainase dapat pula menimbulkan perubahan struktur ostium sinus,
atau oleh lesi dalam rongga hidung misalnya, hipertrofi adenoid, tumor hidung dan
nasofaring, dan suatu septum deviasi. Akan tetapi, faktor predisposisi yang paling lazim

39
adlah poliposis nasal yang timbul pada rinitis alerika, polip dapat memenuhi rongga
hidung dan menyumbat total ostium sinus.

Gejala
Gejala sinusitis kronik tidak jelas. Selama eksaserbasi akut, gejala-gejala mirip
dengan gejala sinusitia akut namun di luar masa itu, gejala berupa suatu perasaan penuh
pada wajah dan hidung, dan hipersekresi yang sering kali mukopurulen. Kadang-kadang
terdapat nyeri kepala, namun gejala ini seringkali tidak tepat dan dianggap sebagai gejala
penyakit sinus. Hidung biasanya tersumbat, dan tentunya ada gejala-gejala faktor
predisposisi, seperti rinitis aleri yang menetap, dan keluhan-keluhannya yang menonjol.
Batuk kronik dengan laringitis kronik ringan atau faringitis seringkali menyertai sinusitis
kronik, dan gejala-gejala utama ini dapat menyebabkan pasien datang ke dokter (boeis).

DIAGNOSIS
Diagnosis klinik ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang meliputi transiluminasi, pemeriksaan radiologi, endoskopi nasal,
CT-scan dan lainnya.
Kriteria diagnosis rinosinusitis kronik terdiri dari durasi dan pemeriksaan
fisik. Bila hanya ditemukan gambaran radiologis namun tanpa klinis
lainnya maka diagnosis tidak dapat ditegakkan.

REQUIREMENTS FOR DIAGNOSIS OF CHRONIC RHINOSINUSITIS

40
(2003 TASK FORCE)
Duration Physical findings (on of the following must be present)
>12 weeks of continuous 1. Discolored nasal discharge, polyps, or polypoid
symptoms (as described swelling on anterior rhinoscopy (with
by 1996 Task Force) or decongestion) or nasal endoscopy
physical findings 2. Edema or erythema in middle meatus on nasal
endoscopy
3. Generalized or localized edema, erythema, or
granulation tissue in nasal cavity. If it does not
involve the middle meatus, imaging is required for
diagnosis
4. Imaging confirming diagnosis (plain filmsa or
computerized tomography)

Anamnesis

Anamnesis yang cermat dan teliti sangat diperlukan terutama dalam menilai
gejala-gejala yang ada pada kriteria diatas, mengingat patofisiologi rinosinusitis kronik
yang kompleks. Adanya penyebab infeksi baik bakteri maupun virus, adanya latar
belakang alergi atau kemungkinan kelainan anatomis rongga hidung dapat
dipertimbangkan dari riwayat penyakit yang lengkap. Informasi lain yang perlu berkaitan
dengan keluhan yang dialami penderita mencakup durasi keluhan, lokasi, faktor yang
memperingan atau memperberat serta riwayat pengobatan yang sudah dilakukan.
Beberapa keluhan/gejala yang dapat diperoleh melalui anamnesis dapat dilihat pada tabel
1 pada bagian depan. Menurut EP3OS 2007, keluhan subyektif yang dapat menjadi dasar
rinosinusitis kronik adalah:
1) Obstruksi nasal
Keluhan buntu hidung pasien biasanya bervariasi dari obstruksi aliran udara
mekanis sampai dengan sensasi terasa penuh daerah hidung dan sekitarnya

41
2) Sekret / discharge nasal
Dapat berupa anterior atau posterior nasal drip
3) Abnormalitas penciuman
Fluktuasi penciuman berhubungan dengan rinosinusitis kronik yang mungkin
disebabkan karena obstruksi mukosa fisura olfaktorius dengan / tanpa alterasi
degeneratif pada mukosa olfaktorius
4) Nyeri / tekanan fasial
Lebih nyata dan terlokalisir pada pasien dengan rinosinusitis akut, pada
rinosinusitis kronik keluhan lebih difus dan fluktuatif.

Pemeriksaan Fisik
 Rinoskopi anterior dengan cahaya lampu kepala yang adekuat dan kondisi rongga
hidung yang lapang (sudah diberi topikal dekongestan sebelumnya) Dengan
rinoskopi anterior dapat dilihat kelainan rongga hidung yang berkaitan dengan
rinosinusitis kronik seperti udem konka, hiperemi, sekret (nasal drip), krusta,
deviasi septum, tumor atau polip.
 Rinoskopi posterior bila diperlukan untuk melihat patologi di belakang rongga
hidung.

Pemeriksaan Penunjang
 Transiluminasi, merupakan pemeriksaan sederhana terutama untuk menilai
kondisi sinus maksila. Pemeriksaan dianggap bermakna bila terdapat perbedaan
transiluminasi antara sinus kanan dan kiri.
 Endoskopi nasal, dapat menilai kondisi rongga hidung, adanya sekret, patensi
kompleks ostiomeatal, ukuran konka nasi, udem disekitar orifisium tuba,
hipertrofi adenoid dan penampakan mukosa sinus. Indikasi endoskopi nasal yaitu
evaluasi bila pengobatan konservatif mengalami kegagalan. Untuk rinosinusitis

42
kronik, endoskopi nasal mempunyai tingkat sensitivitas sebesar 46 % dan
spesifisitas 86 %.
 Radiologi, merupakan pemeriksaan tambahan yang umum dilakukan, meliputi X-
foto posisi Water, CT-scan, MRI dan USG. CT-scan merupakan modalitas pilihan
dalam menilai proses patologi dan anatomi sinus, serta untuk evaluasi
rinosinusitis lanjut bila pengobatan medikamentosa tidak memberikan respon. Ini
mutlak diperlukan pada rinosinusitis kronik yang akan dilakukan pembedahan.
Contoh gambaran CT-scan rinosinusitis kronik tanpa polip nasi pada orang
dewasa dapat dilihat pada gambar 4.
 Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan antara lain:
1. Sitologi nasal, biopsi, pungsi aspirasi dan bakteriologi
2. Tes alergi
3. Tes fungsi mukosiliar : kliren mukosiliar, frekuensi getar siliar, mikroskop
elektron dan nitrit oksida
4. Penilaian aliran udara nasal (nasal airflow): nasal inspiratory peakflow,
rinomanometri, rinometri akustik dan rinostereometri
5. Tes fungsi olfaktori: threshold testing
6. Laboratorium : pemeriksaan CRP ( C-reactive protein)

Pengobatan
Pengobatan harus berupa terapi infeksi dan faktor-faktor penyebab infeksi secara
berbarengan. Di samping terapi obat-obatan yang memadai dengan antibiotik dan
dekongestan, juga perlu diperhatikan predisposisi kelainan obstruktif dan tiap alergi yang
mungkin ada. Tindakan bedah sederhana pada sinusitis maksilaris kronik adalah membuat
suatu lubang drainase yang memadai dengan cara nasoantrostomi atau pembentukan
fenestra nasoantral (boeis).

Komplikasi sinusitis
a. Komplikasi orbita
b. Mukokel
c. Meningitis akut

43
d. Abses dura
e. Abses otak
f. Osteomielitis dan abses subperiosteal

44
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Berdasarkan hasil diskusi kelompok kecil kami dkk 1 dan 2 kami dapat simpulkan
bahwa rhinitis merupakan peradangan dari membran pada nasal yang ditandai dengan
gejala Rhinorea, bersin, hidung tersumbat, dan hidung gatal. Mata, telinga, sinus dan
tenggorokan juga dapat terlibat. Rhinitis yang paling sering ditemukan adalah rhinitis
alergika. Rhinitis sebenarnya dapat sembuh sendiri (self limiting desease), namun jika
sistem pertahanan tubuh rendah, atau sering terpapar dengan alergen (pada rhinitis alergi),
maka rhinitis dapat menyebabkan komplikasi yang lebih serius dan rumit.

Mukosa kavum nasi dan sinus paranasal itu saling berhubungan, sehingga
inflamasi yang terjadi pada kavum nasi biasanya berhubungan dengan inflamasi dalam
sinus paranasal. Sebagian besar penderita sinusitis juga menderita rinitis, jarang sinusitis
tanpa disertai rinitis, gejala pilek, buntu hidung dan berkurangnya penciuman ditemukan
baik pada sinusitis maupun rinitis.

Saran

Untuk perbaikan laporan ini kedepannya kami memngharapkan kritik dan saran
dari pembaca dan dari penulis sendiri akan membaca lebih banyak lagi terkait materi ini
agar memperoleh pemahaman yang menyeluruh.

45

Anda mungkin juga menyukai