Anda di halaman 1dari 8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Defenisi, Klasifikasi Penyakit Jantung Koroner

PJK adalah suatu istilah yang digunakan apabila dijumpai stenosis


signifikan >70% atau >50% untuk PJK left main, riwayat operasi bedah pintas
koroner, riwayat intervensi koroner perkutan, atau riwayat infark jantung.
(Karlsberg dkk, 2011; Beller GA dkk, 2010; Tonino dkk, 2010)

2.2. Anatomi, Defenisi, Klasifikasi Aneurisma Aorta Abdominalis

2.2.1. Anatomi Aorta Abdominalis

Aneurisma aorta abdominalis (AAA) merupakan dilatasi fokal pada


segmen aorta. (Dua dkk, 2010) Area aorta abdominalis dimulai dari hiatus
diafragma setentang T12. Pada segmen ini, aorta terletak di depan vertebra dan di
samping kiri vena cava inferior sampai ke bifurcatio arteri iliaka komunis pada
level L4. Aorta abdominalis memiliki 3 cabang ventral, yaitu; arteri soliakus
(setentang T12-L1), arteri mesenterika superior (setentang L1- L2), serta arteri
mesenterika inferior (setentang L3 – L4). (Limpijankit dkk, 2008; Braverman
dkk, 2012; Halperin dkk, 2011)
Dinding aorta mempunyai 3 lapisan, yaitu; tunika intima, tunika media dan
tunika adventitia. Tunika intima merupakan jaringan subendotel yang terdiri dari
fibroblast, serat kolagen, elastin, serta substansi mukoid. Tunika media terdiri dari
serat kolagen, elastin serta sel-sel otot polos. Dominasi serat elastin dan
pengaturannya secara khusus menyebabkan morfologi dinding aorta menjadi
berbeda dengan morfologi dinding pembuluh darah lainnya. Serat elastin tersebut
tersusun secara sirkumferensial dalam unit-unit yang disebut lamelar. Segmen

Universitas Sumatera Utara


torakal dari aorta memiliki 35 sampai dengan 56 unit lamella, sementara segmen
abdominal hanya memiliki 28 unit saja. Tunika adventitia merupakan jaringan ikat
yang terdiri dari fibroblast, sedikit serat kolagen dan elastin. Pada bagian ini
terdapat pembuluh darah dan persyarafan yang berjalan sepanjang segmen aorta.
Namun pada segmen abdominal, vasa vasorum tersebut tidak dijumpai lagi.
(Braverman dkk, 2012; Halperin dkk, 2011)
Diameter ascending aorta dan arkus aorta berkisar 3 cm, tergantung pada
usiam jenis kelamin, serta luas massa tubuh. Diameter descending aorta serta
aorta torakalis berkisar 2 sampai dengan 2,3 cm, sedangkan diameter aorta
abdominalis menyempit sampai dengan 1,7 – 1,9 cm saja. (Braverman dkk, 2012;
Halperin dkk, 2011)

2.2.2. Defenisi dan klasifikasi AAA

Aneurisma merupakan dilatasi arteri yang sifatnya segmental (fokal),


dengan peningkatan lebih dari 50% dari ukuran diameter normal. Kondisi ini
melibatkan penipisan ketiga lapisan dinding pembuluh darah. Sedangkan
pseudoaneurisma tidak melibatkan ketiga lapisan dinding pembuluh darah.
Biasanya pseudoaneurisma terjadi akibat ulserasi plak ateromatous sampai ke
lapisan tunika media, sementara tunika adventitia secara struktural tidak
terganggu. (Braverman dkk, 2012; Halperin dkk, 2011; Hiratzka dkk, 2010)
Aneurisma aorta abdominalis didefenisikan sebagai distensi dari dinding
aorta infrarenalis lebih dari 50% dibandingkan dengan ukuran normal. Sumber
lainnya menyebutkan bahwa meskipun 90% kasus AAA terletak di segmen
infrarenal, sekitar 10% sisanya dapat melibatkan segmen prarenal, viseral atau
bahkan torakoabdominal. (Limpijankit dkk, 2008; Halperin dkk, 2011; Hiratzka
dkk, 2010)
Ada tiga tipe dari AAA, yaitu: tipe I, dimana bagian proksimal dan distal
dari aneurisma dapat diidentifikasi dengan jelas. Tipe II terbagi menjadi 3, yaitu
tipe Iia, Iib dan Iic. Tipe Iia adalah jika aneurisma meluas sampai ke bifurcasio,
tipe Iib adalah jika aneurisma meluas sampai proksimal arteri iliaka komunis,
biak unilateral maupun bilateral, tipe Iic adalah jika aneurisma meluas sampai
seluruh arteri iliaka komunis baik uni maupun bilateral. Tipe III adalah jika bagian
proksimal dari aneurisma tidak dapat diidentifikasi.

2.3. Faktor Risiko dan Patogenesis

Ada beberapa penyebab dilatasi aneurismal. Sejumlah kecil kasus AAA


merupakan akibat langsung dari penyebab tertentu seperti trauma, infeksi akut
(Brucellosis, Salmonellosis), infeksi kronis (turbekulosis), penyakit inflamasi
(penyakit Behcet, Takayasu) dan penyakit jaringan ikat seperti Sindroma Marfan,
dan ehler Danlos tipe IV. Sementara sebgian besar AAA sifatnya non spesifik,
dengan beberapa faktor risiko yang terkait di dalamnya. (Dua dkk, 2010;
Sakalihasan dkk, 2005)
Faktor risiko penting untuk terjadinya AAA adalah usia tua, jenis kelamin
laki-laki, merokok serta riwayat keluarga menderita AAA. (Moll dkk, 2011;
Hirsch dkk, 2006) Kejadian AAA pada laki-laki 5 kali lebih banyak dibandingkan
dengan perempuan. (Almahameed dkk, 2005; Cornuz dkk, 2004; Norman dkk,
2007) Usia tua telah lama dihubungkan dengan terjadinya AAA. Prevalensi
kejadian AAA antara kelompok usia 45 sampai 54 tahun dan 75 sampai 84 tahun
meningkat dari 2,6% menjadi 19,8% pada laki-laki. (Hirsch dkk, 2006) Merokok
dan riwayat merokok berkorelasi kuat terhadap AAA. Beberapa studi
menyebutkan bahwa kejadian AAA bervariasi 4 sampai 7 kali lebih banyak
dibandingkan dengan kelompok yang tidak merokok. (Almahameed dkk, 2005;
Cornuz dkk, 2004; Brady dkk, 2004; Forsdahl dkk, 2009; Moxon dkk, 2010)
Hampir 30% kasus AAA berhubungan dengan riwayat keluarga. Hal ini
menunjukkan adanya kecenderungan faktor predisposisi ‘diturunkan’ pada AAA.
AAA merupakan salah satu penyakit terbanyak yang sifatnya ‘diturunkan’.
Frekuensi diturunkan pada relasi garis pertama berkisar 15 – 19%, dibandingkan
dengan AAA sporadik yang hanya berkisar 1 – 3%. (Sakalihasan dkk, 2005)
Beberapa penelitian juga menunjukkan adanya hubungan antara kelainan genetik,
seperti kelainan kromosom gp21 dengan timbulnya AAA. Hal lainnya yang
mendukung bahwa faktor genetik berkaitan dengan AAA adalah; usia AAA
familial yang relatif lebih muda serta tendensi untuk terjadinya ruptur yang lebih
tingi dibandingkan dengan AAA sporadik. Risiko relatif pada keluarga pada AAA
familial adalah 18 kali lebih tinggi dibandingkan dengan AAA sporadik. Rasio
kejadian AAA sporadik antara laki-laki dan permpuan adalah 5 : 1, sedangkan
pada AAA familial adalah 2 : 1. (Moll dkk, 2011; Almahameed dkk, 2005; Hirsch
dkk, 2005; Moxon dkk, 2010; Wassef dkk, 2001; Kuivaniemi dkk, 2008)
Faktor lain yang berhubungan dengan AAA adalah; adanya aneurisma di
pembuluh darah lain, riwayat penyakit yang berhubungan dengan aterosklerosis
seperti penyakit jantung koroner, riwayat strok, hiperkolesterolemia serta
hipertensi. Namun faktor-faktor tersebut tidak secara konsisten berhubungan
dengan AAA pada berbagai peenelitian. (Moll dkk, 2011; Cornuz dkk, 2004;
Forsdahl dkk, 2009; Moxon dkk, 2010; Chaikof dkk, 2009)
Pembentukan aneurisma merupakan faktor yang kompleks dan melibatkan
beberapa proses, yaitu; degradasi matriks oleh enzim proteolitik, inflamasi
transmural, respon imunologis, pengaruh genetik, peningkatan bimechanical wall
stress serta aterosklerotik. (Sakalihasan dkk, 2005; Braverman dkk, 2012; Hirsch
dkk, 2006; Vorp dkk, 1998; Isselbacher dkk, 2005)
Aneurisma segmen aorta infrarenal merupakan segmen ekstrakranial yang
paling banyak untuk terjadinya aneurisma. Adanya perbedaan komposisi dinding
serta perubahan hemodinamik pada masing-masing segmen menyebabkan angka
kejadian AAA relatif 5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan angka kejadian
aneurisma di segmen aorta lainnya. (Dua dkk, 2010; Braverman dkk, 2012)
Proses aterosklerosis juga berperan penting pada AAA. Meskipun begitu,
peran ateroskelrosis pada formasi AAA tidak begitu jelas. Terdapat hipotesis yang
menyatakan bahwa predileksi pembentukan plak ateromatus dan dilatasi segmen
pada aorta adalah pada segmen infrarenalis, sementara segmen ascending relatif
lebih resisten terhadap proses ini. (Wassef dkk, 2001; Isselbacher dkk, 2005)
Penyebab dari perbedaan predileksi ini belum jelas. Namun, adanya perbedaan
dalam struktur, komposisi, nutrisi dinding pembuluh darah serta respon
hemodinamik pada segmen infrarenal, kemungkinan bertanggung jawab terhadap
masalah ini. (Wassef dkk, 2001) Seperti dijelaskan sebelumnya, tunika adventitia
pada segmen infrarenal tidak mempunyai perdarahan, dan sebagai konsekuensi,
setidaknya bagian dalam dari tunika media mendapat suplai oksigen dan nutrisi
hanya dengan cara difusi dari lumen aorta. Penebalan tunika intima akibat proses
aterosklerosis mengganggu proses difusi yang ada. Kondisi ini menyebabkan
lapisan tuniak intima dan media rentan terhadap injuri dan dapat terjadi respon
inflamasi. (Braverman dkk, 2012; Halperin dkk, 2011)
Sel-sel yang mengalami injuri dan inflamasi tersebut akan melepas sitokin
inflamasi seperti interleukin 1, interleukin 6, tumor necrosis factor alpha serta
interferon gamma. Matriks Metalloproteinase (MMPs) akan dilepas oleh
makrofag dan sel otot polos sebagai respon terhadap sitokin inflamasi dan
penurunan level nitrit oksid. Sitokin tersebut juga menekan tissue inhibitor yang
pada kondisi normal berperan mengatur produksi dan aktivasi MMPs. Kondisi ini
menyebabkan proses degradasi terus berlangsung. (Sakalihasan dkk, 2005;
Braverman dkk, 2012; Halperin dkk, 2011; Wassef dkk, 2001)
Jaringan elastin dan kolagen didegradasi oleh enzim proteolitik seperti
MMP dan plasmin. Ketidakseimbangan antara MMP dan tissue inhibitor MMP
telah terbukti berperan pada AAA. Terdapat empat jenis MMP yang berperan
pada degradasi serat elastin, yaitu: MMP-2, MMP-7, MMP-9 serta MMP-12.
Namun, MMP-2 dan MMP-9 lebih banyak berpena pada formasi AAA. Aktivitas
proteolitik dari matriks metalloproteinase-9 (MMP-9) relatif lebih tingi di segmen
aorta infrarenalis. Namun ganggguan pada jaringan elastin dan kolagen di dinding
aorta lebih tergantung pada emzim protease yang diproduksi oleh sel-sel otot
polos pada tunika media serta infiltrasi limfosit dan monosut akibat proses
inflamasi. (Braverman dkk, 2012; Halperin dkk, 2011; Wassef dkk, 2001, Vorp
dkk, 1998)

2.4. Pengukuran diameter aorta abdominalis

2.4.1. Peranan ekokardiografi sebagai alat ukur diameter aorta abdominalis

Ultrasound scanning merupakan metode lini pertama untuk penyaringan


AAA. Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan yang cepat dan aman dengan
sensitivitas dan spesifisitas yang mendekati 100%. Studi sebelumnya telah
mengemukakan bahwa penggunaan probe 2,5 MHz pada pemeriksaan
transtoraksis ekokardiografi (TTE) merupakan pemeriksaan yang adekuat untuk
deteksi dilatasi AA dengan sensitivitas antara 91 – 94% dengan menggunakan
potongan subcostal. Umumnya penderita infark miokard akut (IMA) dan PJK
akan menjalani pemeriksaan TTE selama masa perawatan di rumah sakit.
(Roshanali dkk, 2007; Bekker dkk, 2005; Lee dkk, 2002; Upcurch dkk, 2006)

2.4.2. Pengukuran diameter aorta abdominalis dengan ekokardiografi

Pemeriksaan diameter AA dilakukan secara langsung pada bedside dengan


menggunakan ekokardiografi portabel Vivid 6 dari General Electrics dengan
cardiac probe 2,5 MHz. Tidak dibutuhkan preparasi abdominal sebelum dilakukan
pemeriksaan. Analisa aorta dan diameter AA dilakukan pada akhir dari
pemeriksaan TTE reguler yang dilakukan secara rutin pada penderita PJK
 Analisa diameter aorta dilakukan dengan menggunakan potongan
subcostal dan penderita berbaring dengan posisi supine.
 Ukuran AA divisualisasi pada bidang transversus dan longitudinal.
 Pengukuran dilakukan pada bidang transversus, dari dinding antero-
posterior pada level aorta infrarenal.
 Kemudian kualitas dari visual AA dibagi atas ‘tepat’ yaitu apabila
pembuluh darah dapat dianalisa dengan mudah, ‘baik’ yaitu apabila batas
dari dinding pembuluh darah dapat dianalisa namun dengan resolusi yang
kurang, ‘sedang’ yaitu apabila batas dinding pembuluh darah tidak tepat
namun msih dapat dibedakan, dan ‘jelek’ yaitu kettika pembuluh darah
tidak dapat terlihat.
 Dilatasi AA didefenisikan sebagai diameter antero-posterior aorta >
20mm.
Gambar 2.1. Pengukuran diameter aorta abdominalis

2.5. Kerangka Teori

Jenis kelamin, merokok, hipertensi, DM, riwayat keluarga

Disfungsi endotel

Aterosklerosis

AA
A
PJK

Ekokardiografi

Dilatasi AA Tidak dilatasi AA


2.6. Kerangka konseptual

Penyakit Jantung Koroner

Ekokardiografi

Dilatasi AA Tidak dilatasi AA

Anda mungkin juga menyukai