1
Dengan meningkatnya populasi geriatri merupakan tantangan tersendiri oleh
bidang anestesiologi. Perubahan patofisiologi karena proses penuaan dan penyakit,
kebiasaan hidup dan konsumsi obat-obat akan menjadi suatu problem anestesi. Tidak ada
satu teknik anestesi yang terbaik untuk satu prosedur pilihan tergantung pada faktor
bedah, ahli anestesi maupun kondisi pasien. Salah satu teknik anestesi yang populer
digunakan untuk geriatri adalah anestesi regional yang mencakup anestesi spinal, epidural
atau blok saraf. Dalam referat ini akan dibahas aspek-aspek dari anestesi regional Sub
Arachnoid Block (SAB) pada geriatri..
2
SISTEM KARDIOVASKULER
Perubahan sistem kardiovaskuler mungkin merupakan faktor penting yang
berpengaruh terhadap manajemen anestesi pasien geriatri. Perubahan tersebut menjadi
respon fisiologi dari proses penuaan atau manifestasi penyakit pada usia lanjut ataupun
perubahan karena cara atau pola hidup. Ketiga hal ini sulit dibedakan dan berkaitan satu
sama lain .
Perubahan yang terjadi harus dibedakan antara keadaan fisiologis yang
berhubungan dengan proses penuaan pada keadaan patologis yang terjadi karena proses
suatu penyakit. Arterosklerosis merupakan kondisi patologis, sedangkan fibrosis pada
tunika media dapat menyebabkan penurunan elastisitas dari pembuluh darah. Penurunan
elastisitas arteri menyebabkan peningkatan after load, peningkatan tekanan sistolik dan
terjadi hipertrofi ventrikel kiri. Baroreseptor terdepresi, tonus vagal meningkat dan terjadi
penurunan sensitifitas reseptor adrenergik, sehingga terjadi penurunan frekuensi denyut
jantung, dimana terjadi penurunan satu denyut tiap kenaikan satu tahun pada usia lebih
dari 50 tahun. Pembesaran atrial akan meningkatkan kejadian takikardi supra ventrikuler
terutama fibrilasi atrial. Penurunan cadangan kardiovaskuler pada pasien geriatri akan
dimanifestasikan pada penurunan tekanan darah yang cukup signifikan pada saat
dilakukan induksi anestesi. Pada pasien ini mempunyai kemampuan yang rendah
terhadap respon terjadinya hipovolumi, hipotensi dan hipoksia (5,,11,12,17,21) .
Curah jantung berkurang 1% setiap tahun pada usia di atas 30 tahun. Sehingga
obat yang diberikan intravena akan terlambat mencapai reseptor, sehingga efek
farmakologi obat pun terlambat. Curah jantung berkurang dan masa sirkulasi memanjang.
Analisis kondisi kardiovaskuler pada pasien geriatri membutuhkan identifikasi yang
cukup seksama untuk menilai kondisi yang berhubungan dengan penyakit yang diderita.
Penyakit kardiovaskuler antara 50-65% pada geriatri dan penyakit jantung koroner dapat
ditemukan meskipun tanpa gejala. Terdapat 10% kematian dari seluruh operasi yang
terjadi yang berhubungan langsung dengan kelainan kardiovaskuler. (21,22)
Pada penyakit jantung koroner terdapat kelainan atau terjadi ketidakseimbangan
antara penyediaan oksigen ke ventrikel ( O2 supply) yang tidak adekuat dibanding dengan
kebutuhan yang diperlukan (demand). Jika rasio penyediaan dan kebutuhan berlangsung
3
terus menerus akan menimbulkan gejala yaitu angina pektoris sampai terjadi infark
miokard. (4,21)
4
Emboli paru paska bedah cenderung terjadi pada pasien geriatri yang merupakan
komplikasi kardiovaskuler yang berkaitan dengan tindakan anestesi. Bedah mayor sering
diikuti oleh komplikasi trombosis vena besar dan berlanjut dengan emboli paru yang dapat
berakhir dengan kematian. Operasi pada fraktur tulang panjang juga meningkatkan
kejadian emboli paru. Ada beberapa faktor penting untuk terjadinya trombosis yaitu
perubahan dinding vaskuler, perubahan kompartemen darah oleh koagulasi dan
kecepatan aliran darah berkurang ( 21,24).. Anestesi lokal juga memperlihatkan interaksi
5
dengan lekosit, trombosit, eritrosit, protein plasma, dan sel endotelial yang selanjutnya
akan menurunkan resiko tromboembolisme (4,19) .
SISTEM RESPIRASI
Pada pasien geriatri dinding torak mengalami kekakuan, corakan paru terjadi
fibrosis, jaringan parenkim berdegenerasi,kekuatan otot pernafasan berkurang dan mudah
mengalami kelelahan. Penurunan luas permukaan alveolar akan mengurangi efisiensi
pertukaran gas. Kolapsnya jalan nafas akan meningkatkan volume residual (volume udara
yang masih tertinggal di paru setelah akhir ekspirasi kuat) dan closing capacity (volume
udara yang di dalam paru ada saat jalan nafas yang kecil mulai menutup). Pada keadaan
normal closing capacity di bawah FRC, tapi meningkat sesai dengan penambahan usia
keadaan ini meningkatkan gradien oksigen alveoli. (4,5,7)
Efek penuaan terhadap sistem respirasi meliputi perubahan mekanik paru,
pertukaran udara alveolar dan pengaturan respirasi. Perubahan ini tidak mempengaruhi
seseorang berusia lanjut dan sehat. Namun jika disertai adanya penyakit yang menyertai,
akan berpengaruh pada tindakan anestesi dan pembedahan.
Dengan menurunnya fungsi respirasi pada pasien geriatri terutama yang
disebabkan penyakit pada paru, resiko anestesi dan pembedahan akan meningkat.
Evaluasi perioperatif harus dilakukan yang mencakup anamnesa dan pemeriksaan fisik,
laboratorium, foto thorax, spirometri kalau perlu AGD. Pasien geriatri dengan penyakit paru
obstruksi menahun biasanya bersifat irreversible. Selain mengalami sumbatan jalan nafas
sering disertai produksi sekret yang berlebihan dan mudah terjadi infeksi. Sumbatan aliran
udara akan mengakibatkan resiko ventilasi perfusi yang tak seimbang. Rasio V/Q
berkurang hingga terjadi pintas ( shunting) dari kanan ke kiri bertambah. Kelainan respirasi
yang disertai respon bronkus yang berlebihan akan meningkatkan komplikasi sehingga
pilihan teknik anestesi regional lebih menguntungkan (6). Pasien masih dapat
mempertahankan jalan dan ventilasi serta mampu mengeluarkan sekret karena proteksi
sel-sel epitel masih baik.
Bronkiektasis berkaitan dengan produksi sekret yang berlebihan sehingga pasien
ini memerlukan reflek batuk yang cukup adekuat untuk mengeluarkan sekret tersebut.
6
Teknik anestesi spinal dapat mengganggu reflek tersebut bila ketinggian blok cukup tinggi.
(4,21,23) .
SISTEM SYARAF
Aliran darah serebral dan masa otak menurun dengan peningkatan usia,
kehilangan neuronal pada korteks serebral, dan kompleksitas cabang-cabang dendrit serta
jumlah sinapsisnya. Sintesa neurotransmiter dan jumlah reseptor menurun. Deregenerasi
dari sel-sel saraf perifer menyebabkan pemanjangan kecepatan induksi dan terjadi atrofi
skeletal. Penuaan juga berhubungan dengan kenaikan nilai ambang terhadap modalitas
sensorik, termasuk sentuhan, sensasi temperatur, propiosepsi, pendengaran dan
penglihatan. Dosis yang dibutuhkan untuk anestesi lokal (Cm: minimum anesthetic
consentration) dan anestesi umum (MAC: minimal alveolar concentration) menurun. (5,6)
Insidensi depresi cukup signifikan untuk pasien berusia di atas 60 tahun hingga
meningkatkan pemakaian obat-obat antidepresan. Obat golongan trisiklik umumnya
dipergunakan untuk menghilangkan depresi senilis, tapi kadang masih dipakai obat
golongan monoamin oksidase (MAO). Golongan obat ini banyak berinteraksi dengan obat-
obat anestesi dan golongan narkotik yang dapat memberikan dampak yang
membahayakan. Selain itu problem emosional pada geriatri juga harus diperhatikan untuk
memilih teknik anestesi. Gejala bingung atau tidak kooperatif bisa diakibatkan dimensia,
sindrom kelainan otak organik, psikosis atau kelainan metabolisme, kebingungan karena
proses dimensia senilis tidak dapat diperbaiki dengan sempurna. Anestesi umum mungkin
akan menguntungkan untuk pasien yang mengalami kebingungan dan disorientasi karena
kondisi terkendali. Pada satu aspek dibutuhkan kooperatif pasien untuk mempertahankan
posisi tertentu dan menjaga imorbilitas, tetapi di sisi lain pasien tidak mau tetap pada
posisi tertentu untuk waktu yang lama karena melelahkan. Pemberian obat sedasi dapat
dilakukan untuk menenangkan pasien tapi kadang ada yang berlanjut dengan disorientasi
yang berlebihan. Dalam beberapa hal kita tetap mempertahankan agar pasien tetap sadar
selama pembenahan, misalnya pada TUR prostat dengan anestesi spinal, pasien akan
mengemukakan keluhan-keluhan akibat komplikasi yang terjadi.
7
Obat anestesi, sedatif maupun transquilizer umumnya akan memberikan efek
yang lebih lama pada pasien geriatri dibandingkan pada pasien muda. Banyak penelitian
melaporkan bahwa pasien geriatri mengalami kebingungan pasca operasi (6). Pasien yang
dioperasi di daerah ekstremitas bawah dengan anestesi spinal atau apidural akan
mengalami pemulihan yang lebih cepat dibanding dengan anestesi umum. Pasien dengan
anestesi umum akan lebih merasa mengantuk, lebih tersedasi dan kadang-kadang
mengalami perubahan mental yang lebih besar dibanding dengan menerima anestesi
lokal (7, 20)
. Penelitian pada operasi non kandiak mayor untuk 1218 pasien usia 60 tahun
atau lebih menunjukkan disfungsi kognitif pasca operasi. Pada 266 pasien (25,8%) pada
minggu pertama dan 94 (9,9%) pada bulan ke tiga. Kenaikan usia, durasi anestesi,
keterbatasan pendidikan, infeksi pasca operasi, komplikasi respirasi merupakan faktor
resiko untuk terjadinya disfungsi kognitif pasca operasi.
Insidensi delirium yang terjadi 20-50%. Delirium ini mempunyai efek negatif pasca
operasi seperti keterlambatan mobilisasi, memperlama waktu terapi di bangsal dan
menyebabkan keterlambatan rehabilitasi (22).
Disfungsi kognitif pasca operasi umum terjadi
tetapi akan kembali membaik dalam waktu 2 bulan setelah operasi. Hal ini berhubungan
dengan penurunan aktivitas selama periode tersebut (12)
. Terdapat hubungan yang erat
antara tingkat nyeri yang tak terkontrol dengan kejadian delirium pasca operasi. Dengan
penatalaksanaan nyeri yang adekuat akan menurunkan komplikasi delirium yang lebih
berat (15).
Anestesi regional tanpa atau dengan sedasi ringan kurang memberikan komplikasi
delirium pasca operasi. Namun penelitian fungsi memori yang dilakukan pada dua
kelompok pasien geriatri yang dilakukan ekstrasi katarak: kelompok I mendapat anestesi
tiopental, fentanil, NO2, dan O2 sedangkan kelompok II mendapat anestesi lokal ditambah
fentanil, diazepam dan O2. Fungsi memori diperiksa 1 minggu setelah pembedahan, dan
pada 2 kelompok tersebut mengalami gangguan. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa
anestesi regional dengan tambahan sedasi yang dalam dapat mengakibatkan gangguan
memori dengan degrasi yang tak berbeda dengan anestesi umum. (13)
8
FUNGSI RENAL
Aliran darah ginjal dan massa ginjal (jumlah glomerulus dan panjang tubulus)
mengalami penurunan sesuai dengan peningkatan usia. Perubahan ini terutama pada
kortek ginjal dimana daerah tersebut mengalami penggantian oleh jaringan lemak dan
fibrosis. Fungsi ginjal mengalami penurunan yang ditandai oleh laju filtrasi glomerulus dan
kliren kreatinin. Kadar kreatinin serum tidak mengalami perubahan karena terdapat
penurunan massa otot dan produksi kreatinin, sedangkan urea nitrogen (BUN) secara
gradual meningkat (0,2 mg/DL per tahun). Terdapat penurunan resorbsi natrium,
kemampuan pemekatan dan kapasitas dilusi sehingga pada pasien geriatri mudah terjadi
dehidrasi maupun kelebihan cairan. Kombinasi penurunan aliran darah ginjal dan
penurunan massa nefron akan meningkatkan resiko gagal ginjal akut pasca operasi. (5)
Anestesi spinal mempengaruhi fungsi ginjal melalui penurunan aliran darah ginjal
akibat hipotensi karena blokade simpatis. Disfungsi trombosit yang berakibat koagulopati
pada penyakit ginjal dapat meningkatkan resiko perdarahan. Inaktivasi obat anestesi lokal
tidak tergantung pada fungsi ginjal tetapi melalui proses hidrolisi dari pseudokolinesterase
atau metabolisme pada hepar. Penanganan optimal yang perlu dilakukan agar fungsi ginjal
tidak terganggu dengan jalan mempertahankan aliran darah ginjal, pengeluaran urin yang
adekuat dan menghindarkan obat-obat diekskresi terutama melalui ginjal.
FUNGSI HEPAR
Pada usia 80 tahun ukuran hepar mengalami penurunan sekitar 40%. Aliran darah
ke hepar juga mengalami penurunan, dengan penurunan massa dari hepar maka terjadi
penurunan fungsi hepar yang cukup berarti. Meskipun pada pasien geriatri yang tidak
terdapat kelainan hepatoseluler mempunyai kadar kolinesterase plasma yang rendah,
akan tetapi aktifitas enzim tidak banyak mengalami perubahan. Dengan meningkatnya usia
akan berhubungan dengan efek kerja enzim hepar, penurunan jumlah jaringan fungsional
yang hilang dan penurunan perfusi hepar menyebabkan penurunan kliren plasma obat-
obat opioid, barbiturat, benzodiazepin (6)
Hal itu berarti bahwa terjadi perpanjangan massa
paruh obat dalam plasma karena biodegrasi obat tersebut oleh enzim mikrosomal.
9
SISTEM KOMPARTEMEN TUBUH
Perubahan penting pada komposisi tubuh dalam usia lanjut berupa berkurangnya
otot skelet, bertanbahnya lemak tubuh dan dehidrasi intra sel. Berkurangnya cairan tubuh
terutama menggambarkan dehidrasi intra sel dan penurunan volume darah. Pada usia 75
tahun volume darah berkurang 20% - 30%. Karena penyuntikan obat anestetik dengan
dopsis inisial yang disebarkan oleh darah yang berkurang akan menghasilkan kadar obat
dalam plasma yang lebih tinggi. (7)
PERTIMBANGAN-PERTIMBANGAN ANESTESI
Anestesi regional semakin berkembang dan sangat luas pemakaiannya,
mengingat berbagai keuntungan yang ditawarkan antara lain relatif lebih murah, pengaruh
sistemis yang lebih kecil, menghasilkan analgesi yang cukup adekuat dan kemampuan
mencegah respon stress (1,4,7,8) .
Namun demikian bukan berarti bahwa tindakan anestesi
lokal tidak ada bahayanya. Hasil yang baik akan dapat dicapai dengan persiapan yang
optimal.
Beberapa penelitian mengatakan bahwa spinal anesthesia seperti SAB lebih
direkomendasikan pada geriatri karena lebih aman dari pada anestesi umum dalam hal
penurunan yang minimal terhadap kontraktilitas miokard dan penurunan yang sedang
terhadap tekanan darah dan kardiak out put. Pada teknik SAB mempunyai keuntungan
seperti pemulihan mental lebih cepat, apabila tanpa disertai pemberian sedative. Namun
pemilihan spinal blok tinggi dapat menyebabkan penurunan tekanan darah yang tidak
dapat ditoleransi dengan baik oleh penderita geriatri yang biasanya sudah mengalami
hipertensi, juga karena volume darah yang relatif menurun. Tekanan darah yang menurun
akan mengurangi aliran darah ginjal dan hepar yang akhirnya akan memperpanjang
eliminasi dan akskresi obat. (2,5,6,9,11)
Secara garis besar terdapat dua macam obat anestesi lokal yaitu golongan ester
dan golongan amida. Keduanya dibedakan dalam hal metabolisme, potensi sebagai
alergen dan kestabilan dalam bentuk sediaan obat. Dikenal beberapa obat anestesi lokal
yang sering digunakan antara lain lidokain, bupivakain, ropivakain, dan levobupivakain (9).
Sensitifitas pasien geriatri terhadap obat anestesi meningkat karena berkurangnya jumlah
reseptor dan menurunnya daya afinitas reseptor terhadap obat dan hormon. Kelainan ini
10
paralel dengan perubahan yang terjadi pada sistem kardiovaskular orang tua. Teori lain
mengatakan bahwa kebutuhan obat anestesi berkurang pada geriatri karena perubahan
kecepatan pembentukan neurotransmitter. Penurunan konsentrasi enzim yang
mempersatukan neurotransmitter secara progresif dan bermakna selalu terlihat pada saraf
orang tua.
11
b. Sepsis
c. Deformitas spinal berat
d. Pasien dengan defisit neurologist.
3. Kontroversi :
a. Bekas pembedahan pada tempat suntikan
b. Tidak dapat berkomunikasi dengan pasien
c. Komplikasi pembedahan : pembedahan lama, perdarahan yang banyak,
atau manuver yang akan mengganggu pernapasan.
TEKNIK
PERSIAPAN
Persiapan anestesi spinal pada geriatri secara umum sama seperti persiapan anestesi
spinal non geriatri :
1.Alat dan obat :
- Monitor
- Alat anestesi umum
- Obat resusitasi
- Set spinal
- Obat anestesi
2. Pasien
- Informed consent
- Pemeriksaan fisik
- Uji laboratorium
POSISI
Subarachnoid block pada geriatri dapat dikerjakan pada posisi pasien duduk,
lateral dekubitus atau bahkan prone. Masing-masing posisi mempunyai kelebihan dan
kekurangan. Pada posisi duduk menjadi pilihan yang rutin bagi sebagian anesthesiologist,
terutama ketika palpasi procesus spinosus menjadi sesuatu hal yang sulit. Posisi lateral
dekubitus juga umum dipakai, pada posisi ini pasien lebih nyaman. Posisi prone dalam
spinal anesthesia sangat jarang dilaksanakan, biasanya dipilih untuk pasien dengan
12
operasi di daerah anus dengan jack-knife position, dimana pasien diposisikan sesuai
dengan posisi pembedahan, kemudian lumbar puncture dikerjakan.
TEMPAT PUNCTURE
Untuk menentukan posisi puncture dipakai landmark Krista iliaka. Garis imajiner
antara Krista iliaka kanan dan kiri yang disebut Tuffier’s line, memotong procesus spinosus
L4 atau interspinosus L4-5.
PROYEKSI
Dua teknik yang umum dipakai dalam sub arachboid block adalah :
a. Pendekatan Median/Midline
Pada pendekatan median identifikasi procesus spinosus daerah lumbal ,
setelah dilakukan desinfeksi kulit, maka jarum spinal dimasukkan di daerah
sagital (midline) di tengah-tengah interspinosus denga orientasi 10º kea rah
cephalad, orientasi ini perlu dilakukan karena ruang interlaminer sedikit
cephalad dari procesus spinosus yang di palpasi.
b. Pendekatan Paramedian
Pada pendekatan paramedian setelah kulit dibersihkan dan diberi anestesi
lokal, puncture 1-1,5 cm inferior dan lateral dari titik tempat puncture midline,
jarum spinal diarahkan 15º cephalad dan medial.
Pendekatan paramedian biasanya dipilih untuk pasien dengan lordosis lumbal
yang eksesif, dan pada pasien yang tidak bisa memfleksikan kolumna
vertebralisnya secara maksimal. Pada pasien geriatri, ruang interverteba
menyempit dan banyak mengalami kalsifikasi di daerah garis tengah dan
ligamentum interspinosusm, hingga lordosis tulang vertebra bertambah. Selain
itu bagian dorsal vertebra seolah-olah mengalami fusi, satu dengan yang lain
bersinambung (bamboo spine). Oleh sebab itu penyuntikan pada spinal
anestesi lebih mudah dilakukan dari paramedian.
13
KOMPLIKASI
Spinal anestesi pada geriatri mempunyai keuntungan antara lain perubahan
metabolik dan respon endokrin akibat stress dapat dihambat, jumlah perdarahan dapat
dikurangi, komplikasi terhadap jantung, otak, paru dapat diminimalkan disbanding anestesi
umum, juga tromboemboli berkurang, namun relaksasi otot pada daerah yang terblok
dapat maksimal sedang pasien masih dalam keadaan sadar. Selain keuntungan ada juga
kerugiannya berupa komplikasi yang dapat terjadi pada teknik spinal anestesi pada
umumnya, yang terbagi komplikasi dini yang dapat berupa hipotensi,mual muntah, blokade
total spinal, dan komplikasi lanjut yang dapat berupa post dural puncture headache
(PDPH), nyeri daerah puncture, retensi urine,spinal hematome,komplikasi neurologist ,
meningitis dan cauda equine syndrome.
Selain itu komplikasi yang terjadi dapat berupa komplikasi lokal dan sistemik.
1. Komplikasi lokal
Pada tempat suntikan, apabila pada saat penyuntikan tertusuk pembuluh darah
yang cukup besar, atau pada pasien yang mendapat koagulan sehingga terjadi
hematom. Hematom yang terjadi akan menyebabkan terjadinya abses.
14
2. Komplikasi sistemik
Hal ini terjadi akibat masuknya obat anestesi lokal ke sirkulasi. Penyuntikan yang
berulang tanpa memperhatikan dosis serta konsentrasi akan menyebabkan
terjadinya over dosis. Keadaan lain terjadi karena adanya hipereabsorpsi yang
terjadi pada penyuntikan di daerah yang kaya pembuluh darah, sehingga obat
dengan cepat diabsorbsi dan beredar ke sistemik.
Gejala yang timbul antara lain:
- Pada susunan saraf pusat
- Pada tingkat kortek serebri manifestasinya dapat berupa stimuli maupun
depresi. Stimuli dapat berupa gelisah, agitasi bahkan sampai kejang.
Depresi dapat berupa mengantuk, lemas dan kesadaran menurun.
- Pada tingkat medula dapat berupa stimuli maupun depresi tergantung
pada tinggi rendahnya kadar anestesi lokal dalam plasma. Stimuli pada
pusat muntah dapat mencetuskan muntah yang berlebihan. Depresi pusat
kardiovaskuler akan terjadi bradikardi dan hipotensi sedangkan depresi
pada pusat respirasi akan terjadi hipoventilasi.
- Efek perifer
- Jantung: terjadi bradikardi akibat depresi langsung pada miokard maupun
pada penghantaran impuls saraf.
- Pada pembuluh darah terjadi vasodilasi pembuluh darah akibat efek obat
anestesi pada otot polos vaskuler.
- Reaksi alergi
Reaksi ini manifestasinya bisa bermacam-macam atau hanya berupa
kemerahan pada kulit, namun yang lebih berat dapat terjadi yaitu syok
anafilaksis. Keadaan tersebut tidak dapat diketahui secara pasti, sehingga bila
terjadi komplikasi yang berat dapat diantisipasi dengan baik.
Perubahan Hemodinamik
Efek kardiovaskuler regional anestesi telah banyak didokumentasikan. Pada spinal
anestesi sering timbul gejolak hemodinamik yang dipengaruhi dari ketinggian blok
sensoris. Pada anestesi dengan ketinggian blok mencapai dermatom T5 akan
15
menyebabkan penurunan tekanan darah sampai 21,3%. Hipotensi pada anestesi spinal
disebabkan oleh penurunan cardiac output sekitar 17,7%. Keseluruhan efek kardiovaskuler
berhubungan langsung dengan blokade preganglion simpatis dan derajat depresi
kardiovaskuler berbanding langsung dengan level blokade simpatis. Hipotensi ini
berhubungan dengan meluasnya blokade simpatis yang mempengaruhi tahanan perifer
dan kardiak output. Blokade yang terbatas pada thorak tengah atau lebih rendah
menyebabkan vasodilatasi anggota gerak bawah dengan kompensasi vasokonstriksi
anggota gerak atas melalui refleks sinus carotid, tahanan perifer hanya turun sedikit,
derajat hipotensi ringan, tapi jika lebih tinggi maka hipotensi lebih berat. Obat anestesi
lokal juga berpengaruh pada derajat hipotensi, misalnya tetrakain menyebabkan hipotensi
lebih berat dibandingkan bupivacain, hal ini bisa disebabkan karena blockade simpatis
tetrakain lebih besar disbanding bupivacain.
Terjadinya hipotensi dapat dicegah dengan dengan pemberian cairan intravena
sebelum spinal anestesi, dapat diberikan kristaloid 10-20 cc/ kgBB ataupun koloid 7-9
cc/kgBB. Dasar teorinya adalah peningkatan volume sirkulasi untuk mengkompensasi
penurunan resistensi perifer. Namun menurut Buggy (1997) pada penelitiannya tentang
prehidrasi pasien geriatri pada spinal anestesi sebagai tindakan pencegahan timbulnya
hipotensi, dimana penelitiannya membandingkan antara pemberian hidrasi kristaloid,
koloid ataupun tanpa hidrasi didapatkan bahwa insiden terjadinya hipotensi berbeda
secara signifikan diantara ketiga group.
Perubahan hemodinamik pada anestesi epidural lebih minimal karena blokade
bersifat segmental. Perubahan tekanan darah, denyut jantung, curah jantung berhubungan
dengan level blokade, jumlah obat yang diberikan, jenis obat yang digunakan, penempatan
epineprin pada anestesi lokal dan status kardiovaskuler pasien. (7,20)
Level blokade sensorik lebih tinggi 2-4 segmen lebih tinggi pada geriatri dibanding
pada dewasa muda. Usia tua dan level anestesi merupakan faktor utama yang
berhubungan dengan hipotensi pada anestesi spinal. Derajat hipotensi berkorelasi dengan
level blokade simpatis yang umumnya 2-4 segmen lebih tinggi daripada level analgesi.
Rekomendasi yang diberikan untuk anestesi spinal pada geriatri adalah dengan
menghindari ketinggian blok yang berlebihan untuk mencegah gejolak hemodinamik.
Penelitian pada geriatri dengan bupivakain 0,5% 15 mg dengan menjalani bedah minor
16
urologi dengan anestesi spinal posisi duduk waktu injeksi, dibagi dengan 4 kelompok
dipertahankan duduk selama 2 menit, 5 menit, 10 menit dan 20 menit, kemudian posisi
supine, di sini tidak terdapat perbedaan bermakna untuk derajat maksimum blokade
motorik dan perubahan hemodinamik pada ke-4 kelompok tersebut. Hasil ini menunjukkan
bahwa penggunaan posisi tubuh setelah injeksi tidak akan dapat mengontrol penyebaran
larutan hiperbarik pada anestesi spinal (18) .
Untuk menghindari gejolak hemodinamik pada
pasien geriatri yang menjalani operasi misalnya pada operasi urologi dengan anestesi
spinal digunakan bupivakain dosis kecil yang ditambah dengan suplemen fentanil untuk
meningkatkan kualitas anestesi. Hasil menunjukkan penambahan fentanil 25 mcg pada
bupivakain 0,5% 5 mg, menghasilkan blokade motorik lebih pendek tapi mempunyai level
sensori analgesi yang sama dibandingkan dengan bupivakain dosis 10 mg yang
ditambah fentanil 25 mcg. (16)
Anestesi spinal masih merupakan pilihan untuk teknik anestesi pada operasi TUR
prostat. Ketinggian blok yang dibutuhkan sekitar T10. Akan tetapi pasien yang menjadi
TUR prostat merupakan pasien usia lanjut yang kadang mempunyai permasalahan
kardiovaskuler dan respirasi. Hal in ini penting dilakukan untuk membatasi blokade untuk
mengurangi efek samping yang merugikan. Penelitian dengan menggunakan dosis kecil
tetrakain didapatkan 4 mg tetrakain hiperbarik ditambah 10 mg fentanil memberikan
anestesi yang adekuat dengan efek samping yang lebih sedikit dibandingkan dengan dosis
konvensional tetrakain 8 mg.
Untuk mencegah hipotensi pada anestesi spinal dilakukan berbagai macam antara
lain pemberian cairan prabeban dengan kritaloid 10-20 cc/kgBB, pemberian koloid,
pemberian vasopresor seperti efedrin yang sering dipakai. Akan tetapi pemberian efedrin
ini yang berefek pada pembuluh darah maupun pada jantung akan memberikan efek
samping pada pasien usia lanjut. Penelitian menggunakan methoxamin yang merupakan
agonis alfa adrenergik 10 mg 1M yang diberikan 10 menit sebelum induksi anestesi spinal
untuk operasi fraktur femur geriatri didapatkan terdapat stabilitas hemodinamik yang lebih
baik dibandingkan dengan pemberian koloid hetastarch 6%, 500 ml. (2)
17
Pendarahan Intra Operatif
Banyak penelitian telah dilakukan untuk mengevaluasi besarnya perdarahan
selama operasi dengan membandingkan antara anestesi umum dan anestesi regional.
Perdarahan menurun 37% pada operasi prostotektomi retropubik, dan menurun 18% pada
operasi TUR prostat dengan menggunakan anestesi spinal dibandingkan dengan anestesi
umum. Penurunan jumlah perdarahan selama anestesi regional berhubungan dengan
hipotensi yang disebabkan blokade simpatis. Penurunan MAP dan penurunan tekanan
vena perifer akan menurunkan perdarahan vena. Penurunan jumlah perdarahan pada
anestesi spinal akibat dari redistribusi darah menjauhi dari tempat yang dioperasi.
Kebutuhan transfusi darah juga lebih sedikit pada anestesi regional dibandingkan
dengan anestesi umum. Hal ini menguntungkan untuk menghindari efek samping dari
transfusi darah seperti AIDS dll. (6)
18
Morbiditas dan Mortalitas
Pada kasus gawat darurat untuk pasien usia lanjut, morbiditas dan mortalitas lebih
besar dibanding pada kasus elektif. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa mortalitas
yang terjadi pada anestesi regional lebih rendah dibandingkan dengan anestesi umum.
Pada anestesi epidural periode pemulihan dan penatalaksanaan nyeri pasca operasi lebih
baik dibanding anestesi umum. Morbiditas dan mortalitas pasien pasca operasi
dipengaruhi oleh kondisi pasien dan faktor-faktor resiko pembedahan. Metaanalisis yang
dilakukan Rogers tahun 2000 untuk membandingkan efikasi anestesi regional dengan
anestesi umum didapatkan mortalitas dan morbiditas lebih kecil pada anestesi regionall
(baik spinal maupun epidural). Kematian yang terjadi 103 di antara 4871 pasien pada
regional dibanding 144 di antara 4688 pasien. Komplikasi yang terjadi pada anestesi
regional menurun sebesar 44% pada DVT, 55% pada emboli paru, 50% pada kebutuhan
transfusi, 39% pada pneumoni dan 59% pada depresi respirasi. (20)
19
KESIMPULAN
Proses penuaan merupakan proses fisiologis dan banyak perubahan terjadi pada
organ-organ vital antara lain pada sistem saraf, kardiovaskuler, respirasi dan organ tubuh
yang lain. Kondisi patofisiologis juga sering menyertai para pasien geriatri sehingga
merupakan tantangan tersendiri di bidang anestesi. Segala aspek yang mencakup kondisi
pasien, teknik anestesi dan pemilihan obat harus dipertimbangkan lebih mendalam.
Pelaksanaan anestesi regional seperti sub arachnoid block dapat menjadi pilihan
pada pasien geriatri karena meminimalkan resiko komplikasi dibandingkan dengan
anestesi umum. Dimana morbiditas dan mortalitas yang terjadi akan lebih kecil.
20
21
tabel di bawah ini :
TISSU/SYSTEM ANATOMIC CHANGE FUNCTIONAL CHANGE
Body composition Loss of skeletal muscle and Prolonged drug effects;
other lean tissue components, decreased metabolism and
increased lipid fraction heat production, decreased
resting cardiac output.
22
output.
23