Anda di halaman 1dari 19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi Geriatri
Ilmu geriatri atau lanjut usia adalah ilmu yang mempelajari tentang aspek-aspek klinis
dan penyakit yang berakitan dengan orang tua. Dikatakan pasien geriatri apabila :
 Keterbatasan fungsi tubuh yang berhubungan dengan makin meningkatnya usia
 Adanya akumulasi dari penyakit-penyakit degeneratif
 Lanjut usia secara psikososial yang dinyatakan krisis bila :
a) Ketergantungan pada orang lain
b) Mengisolasi diri atau menarik diri dari kegiatan kemasyarakatan karena berbagai
sebab
 Hal-hal yang dapat menimbulkan gangguan keseimbangan (homeostasis) yang progresif.
Batasan lanjut usia menurut WHO
1. Middle age (45-59 th)
2. Elderly (60-70 th)
3. Old/lansia (75-90 th)
4. Very Old/sangat tua (>90 th)

2. Perubahan Fisiologis
Menua adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan
jaringan untuk memperbaiki diri/mengganti diri dan mempertahankan struktur dan
fungsi normalnya sehingga tidak dapat betahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan
memperbaiki kerusakan yang diderita. Dengan begitu manusia secara progresif akan
kehilangan daya tahan terhadap infeksi dan akan menumpuk makin banyak distorsi
metabolik dan struktural yang disebut penyakit degeneratif (hipertensi, aterosklerosis,
DM, dan kanker). Perubahan fisiologis penuaan dapat mempengaruhi hasil operasi
tetapi pe-nyakit penyerta lebih berperan sebagai faktor risiko. Secara umum pada usila
terjadi penurunan cairan tubuh total dan lean body mass dan juga menurunnya respons
regulasi termal, dengan akibat mudah terjadi intoksikasi obat dan juga mudah terjadi
hipotermia.

1
Sistem Kardiovaskuler

Tabel 1. Perubahan morfologi dan fungsi jantung yang berkaitan dengan


pertambahan umur

Morfologi: penurunan jumlah miosit, , penurunan jumlah matris dalam jaringan


ikat, peningkatan ketebalan dinding ventrikel kiri, penurunan kepadatan serat
konduksi, penurunan jumlah sel sinus node
Fungsi: penurunan kontraktilitas intrinsik, pemanjangan waktu kontraksi
miokard, , peningkatan kekakuan miokard, peningkatan tekanan pengisian
ventrikel, peningkatan tekanan / ukuran atrium kiri, , penurunan β-adrenoceptor-
dimediasi modulasi inotropik dan chronotropic

Penting untuk membedakan antara perubahan pada fisiologi yang normalnya


menyertai proses penuaan dan patofisiologi dari penyakit yang umum pada populasi geriatri.
Penurunan dari elastisitas arterial yang disebabkan oleh fibriosis adalah bagian dari proses
penuaan yang normal. Penurunan komplians arterial menghasilkan peningkatan afterload,
peningkatan tekanan darah sistolik, dan hipertropi ventrikel kiri. Myokardial fibrosis dan
kalsifikasi dari katup jantung juga umum terjadi.
Kemampuan cadangan kardiovaskular menurun, sejalan dengan pertambahan usia di
atas 40 tahun. Penurunan kemampuan cadangan ini sering baru diketahui pada saat terjadi
stres anestesia dan pembedahan. Akibat proses penuaan pada sistem kardiovaskular, yang
tersering adalah hipertensi. Pada pasien manula hipertensi harus diturunkan secara perlahan
lahan sampai tekanan darah 140/90 mmHg. Pada manula, tekanan sistolik sama pentingnya
dengan tekanan diastolik. Tahanan pembuluh darah perifer biasanya meningkat akibat
penebalan serat elastis dan peningkatan kolagen serta kalsium di arteri-arteri besar. Kedua
hal tersebut sering menurunkan isi cairan intra-vaskuler. Waktu sirkulasi memanjang dari
aktivitas baroreseptor menurun.
Disfungsi distolik yang jelas dapat terlihat pada hipertensi sistemik, penyakit arteri
koroner, cardiomiopati, dan penyakit katup jantung, umumnya stenosis aorta. Pasien dapat
asimptomatis, atau dapat mengeluhkan ketidak mampuan untuk berolahraga, dispneu, batuk
atau pingsan. Disfungsi diastolik mengakibatkan peningkatan ventricular-end diastolik
pressure yang relatif besar dengan volume ventrikel kiri yang sedikit berkurang. Pelebaran
atrial adalah predisposisi terjadinya atrial fibrilasi dan atrial flutter. Pasien beresiko
terjadinya congestif heart failure.

2
Terdapat peningkatan tonus vagal dan penurunan sensitivitas reseptor adrenergic
yang memicu penurunan laju jantung. Fibrosis dari sistem konduksi dan berkurangnya sel
sinoatrial node meningkatkan insidensi disritmia, artrial fibrilasi dan artrial flutter. Terjadi
penurunan respon terhadap rangsangan simpatis, dan kemampuan adaptasi serta autoregulasi
menurun. Perubahan pembuluh darah seperti di atas juga terjadi pada pembuluh koroner
dengan derajat yang bervariasi, disertai penebalan dinding ventrikel. sistem konduksi
jantung juga dipengar uhi oleh proses penuaan, sehingga sering terjadi LBBB, perlambatan
konduksi intraventikular, perubahan-perubahan segmen ST dan gelombang T serta fibrilasi
atrium. Semua hal di atas mengakibatkan penurunan kemampuan respon sistem
kardiovaskuler dalam menghadapi stres. Pemulihan anestesi juga memanjang.

Sistem Respirasi
Pada pasien usia lanjut, elastisitas paru-paru, pengembangan paru-paru dan dinding
dada, total lung capacity / kapasitas paru total (TLC),forced vital capacity / kapasitas vital
paksa (FVC), forced expiratory volume in one second / volume ekspirasi paksa dalam satu
detik (FEV1),vital capacity / kapasitas vital (VC) dan inspiratory reserve volume /volume
cadangan inspirasi (IRV) semuanya mengalami penurunan yang disertai dengan peningkatan
volume residu. Meskipun functional residual capacity / kapasitas residual fungsional (FRC)
tidak berubah. PaO2 juga menurun seiring dengan pertambahan usia (PaO 2 = 13.3-umur/30
kPa, atau Pao2 = 100-umur/4mmHg) meskipun PaCO2 tetap konstan.

Tabel 2 :

Penurunan elastisitas paru-paru diakibatkan oleh penurunan sebesar 15% dari fungsi
alveolar pada usia 70 tahun, sehingga keadaan ini tampak seperti pada emfisema.
Kehilangan fungsi alveoli pada daerah lapangan paru tertentu menyebabkan peningkatan
volume dead space yang meningkatkan ketidaksesuaian ventilasi-perfusi (V / Q ).Hal ini
meningkatkan gradien O2 alveoli-arterial dan mengurangi PaO2 istirahat. meningkatnya

3
ketidakserasian antara ventilasi dan perfusi, mengganggu mekanisme ventilasi, dengan
akibat menurunnya kapasitas vital dan cadangan paru, meningkatnya pernafasan diafragma,
jalan nafas menyempit dan terjadilah hipoksemia. Menurunnya respons terhadap
hiperkapnia, sehingga dapat terjadi gagal nafas.
Penurunan pengembangan dinding dada meningkatkan kerja pernapasan dan
mengurangi ventilasi maksimal permenit. Kehilangan massa otot skelet dinding dada lebih
memperburuk proses ini. Karena penurunan recoil elastis paru-paru, volume akhir respirasi
meningkat sedemikian rupa sehingga melebihi kapasitas residual fungsional pada usia > 65
tahun.
Proteksi jalan nafas yaitu batuk, pembersihan mucociliary, refleks laring dan faring
pada geriatri juga menurun sehingga berisiko terjadi infeksi dan kemungkinan aspirasi isi
lambung lebih besar .

Tabel 3. Konsekuensi fungsional akibat perubahan intrinsik dan ekstrinsik yang


mempengaruhi sistem respirasi akibat proses penuaan 

Penurunan elastisitas recoil paru-paru


Penurunan kapasitas difusi oksigen
Ketidaksesuaian V / Q dan meningkatkan gradien oksigen alveolar terhadap arteri
Penurunan laju aktivitas ekspirasi

Pencegahan terjadinya hipoksia perioperatif meliputi, periode preoksigenasi yang


lebih panjang, pemberian konsentrasi oksigen inspirasi yang lebih tinggi selama anastesi,
kenaikan kecil pada tekanan positive end expiratory dan toilet pulmoner yang agresif.
Aspirasi pneumonia adalah komplikasi yang umum dan berpotensial untuk membahayakan
nyawa. Predisposisi dari terjadi nya aspirasi pneumonia adalah adanya penurunan protektic
laryngeal reflek yang terjadi seiring dengan penuaan.

Sistem Metabolik dan Endokrin


Konsumsi oksigen basal dan maksimal menurun seiring dengan usia. Setelah
mencapai berat maksimal pada usia 60 tahun, kebanyakan pria dan wanita akan mulai
mengalami penurunan berat badan, umumnya hingga mencapai berat kurang dari berat
orang-orang usia muda kebanyakan. Produksi panas menurun, kehilangan panas meningkat,
dan pusat pengaturan suhu di hipotalamus menjadi lebih rendah dari sebelumnya.

4
Peningkatan resistensi insulin memicu penurunan progresif kemampuan tubuh untuk
mengatur beban glukosa. Respon neuroendokrin terhadap stres cenderung stabil atau sedikit
menurun pada kebanyakan pasien tua yang sehat. Penuaan berkaitan dengan penurunan
respon terhadap agen β-adrenergic (endogenous β-blockade). Level norepinefrin yang
bersirkulasi dalam darah mengalami peningkatan pada pasien tua.

Sistem Renalis
Pada ginjal jumlah nefron berkurang, sehingga laju filtrasi glomerulus ( LFG)
menurun, dengan akibat mudah terjadi intoksikasi obat. Hal ini disebabkan karena
glomerulus dan tubular di ginjal di gantikan oleh lemak dan jaringan fibrotik. Respon
terhadap hormon diuretik dan hormon aldosteron berkurang Respons terhadap kekurangan
Na juga menurun, sehingga berisiko terjadi dehidrasi. Kemampuan mengeluar kan garam
dan air berkurang, dapat terjadi over load cairan dan juga menyebabkan kadar hiponatremia.
Ambang rangsang glukosuria meninggi, sehingga glukosa urin tidak dapat dipercaya.
Produksi kreatinin menurun karena berkurangnya massa otot, sehingga meskipun kreatinin
serum normal, tetapi LFG telah menurun. Perubahan-perubahan di atas menuurunkan
kemampuan cadangan ginjal, sehingga manula tidak dapat mentoleransi kekurangan cairan
dan kelebihan beban zat terlarut. Pasien-pasien ini lebih mudah mengalami peningkatan
kadar kalium dalam dar ahnya, apalagi bila diberikan larutan garam kalium secara intravena.
Kemampuan untuk mengekskresi obat menurun dan pasien manula ini lebih mudah jatuh ke
dalam asidosis metabolik. Kemungkinan trerjadi gagal ginjal juga meningkat.

Tabel 4. Perubahan fungsi ginjal akibat penuaan

Penurunan jumlah nefron korteks


Penurunan massa ginjal
Penurunan laju filtrasi glomerulus (kreatinin serum tidak berubah karena penurunan
massa
Tabel otot rangka)
5. Perubahan pada hepar yang terkait dengan proses penuaan9
Penurunan aliran darah ginjal
Penurunan massa dan aliran darah hepar ( penurunan metabolismefirst pass)
Fungsi preservasi hepatoseluler
Kemungkinan penurunan produksi albumin (yang berkaitan dengan nutrisi)
Peningkatan konsentrasi asam α-1-glikoprotein
Kemungkinan penurunan produksi kolinesterase plasma

5
Sistem hepatobilier dan gastrointestinal
Massa hepar berkurang seiring dengan penuaan, dengan diikuti oleh penurunan
hepatic blood flow. Fungsi hepar menurun sesuai dengan berkurang nya massa hepar.
Dengan demikian laju biotransformasi dan produksi albumin berkurang. Level plasma
colinesterasi pada pria tua juga berkurang. Pasien manula mungkin sekali lebih mudah
mengalami cedera hati akibat obat-obat, hipoksia dan transfusi darah. Terjadi pemanjangan
waktu paruh obat-obat yang diekskresi melalui hati.
Tingkat keasaman lambung cenderung meningkat, meski masa pengosongan
lambung diperpanjang. Akibat menurunnya fungsi persarafan sistem gastrointestinal,
sfingter gastro-esofageal tidak begitu baik lagi, disamping waktu pengosongan lambung
yang memanjang sehingga mudah terjadi regurgitasi.

Sistem Saraf Pusat


Pada sistem saraf pusat, terjadi perubahan-perubahan fungsi kognitif, sensoris,
motoris, dan otonom. Kecepatan konduksi saraf sensoris berangsur menurun. Perfusi otak
dan konsumsi oksigen otak menurun sampai 10%-20%. Berat otak menurun karena
berkurangnya jumlah sel neuron, terutama di korteks otak maupun otak kecil. Berat otak
pada orang dewasa muda rata-rata 1400 g, akan menurun menjadi 1150 g pada usia 80
tahun. Dikatakan, terdapat korelasi positif antara berat otak dan harapan hidup. Ukuran
neuron berkurang, dan neuron kehilangan kompleksitas pohon dendrit, dan jumlah sinaps
juga berkurang. Terdapat juga penurunan fungsi neurotransmiter. Sintesis dari beberapa
neurotransmiter seperti domapin, dan jumlah dari reseptor mereka berkurang. Serotonic,
adrenergic, dan γ-aminobutyric acid (GABA) binding site juga berkurang. Sedangkan
jumlah astrosit dan sel microglial bertambah. Degenerasi sel saraf perifer mengakibatkan
kecepatan konduksi yang memanjang dan atropi otot skeletal. Konsentrasi alveolar
minimum dari anestetika juga menurun dengan bertambahnya usia.
Perubahan-perubahan tersebut mengakibatkan manula lebih mudah dipengaruhi oleh
efek samping obat terhadap sistem saraf. Pasien tua sering memerlukan lebih banyak waktu
untuk sembuh total dari efek CNS yang diakibatkan oleh anastesi umum. Umumnya mereka
mengalami kebingungan atau disorientasi preoperatif. Banyak pasien tua mengalami
berbagai derajat dari acute confusional state, delirium atau cognitive disfungsi postoperatif.
Etiologi dari cognitif disfungsi postoperatif (POCD) biasanya multifaktorial, termasuk efek
samping obat, nyeri, demensia, hipotermia dan gangguan metabolik. Pasien tua juga

6
biasanya sensitif terhadap agen kolinergic yang bekerja sentral, seperti scopolamin dan
atropin.

Sistem Musculoskeletal
Massa otot berkurang, neuromuscular junction juga menipis. Kulit mengalami atropi
seiring dengan usia, dan mudah mengalami trauma akibat pemasangan selotape,
electrocautery pad, dan electrocardiography electroda. Vena rapuh dan mudah pecah akibat
pada pemasangan infus intravena. Sendi artritis mudah terganggu oleh perubahan posisi.
Penyakit degeneratif servikal tulang belakang dapat membatasi ekstensi leher sehingga
membuat intubasi menjadi sulit.

3. Farmakologi Klinis pada geriatri


Faktor-faktor yang mempengaruhi respons farmakologi pasien berusia lanjut
meliputi:
1. Ikatan protein plasma.
Protein pengikat plasma yang utama untuk obat-obat yang bersifat asam adalah albumin dan
untuk obat-obat dasar adalah α1-acid glikoprotein. Kadar sirkulasi albumin akan menurun
sejalan dengan usia, sedangkan kadar α1-acid glikoprotein meningkat. Dampak gangguan
protein pengikat plasma terhadap efek obat tergantung pada protein tempat obat itu terikat,
dan menyebabkan perubahan fraksi obat yang tidak terikat. Hubungan ini kompleks, dan
umumnya perubahan kadar protein pengikat plasma bukanlah faktor redominan yang
menentukan bagaimana farmakokinetik akan mengalami perubahan sesuai dengan usia.
2. Perubahan komposisi tubuh
Perubahan komposisi tubuh terlihat dengan adanya penurunan massa tubuh, peningkatan
lemak tubuh, dan penurunan air tubuh total. Penurunan air tubuh total dapat menyebabkan
mengecilnya kompartemen pusat dan peningkatan konsentrasi serum setelah pemberian obat
secara bolus. Selanjutnya, peningkatan lemak tubuh dapat menyebabkan membesarnya
volume distribusi, dengan potensial memanjangnya efek klinis obat yang diberikan.
3. Metabolisme obat
Seperti yang telah didiskusikan sebelumnya, gangguan hepar dan klirens ginjal dapat terjadi
sesuai dengan penambahan usia. Tergantung pada jalur degradasi, penurunan reversi hepar
dan ginjal dapat mempengaruhi profil farmakokinetik obat.
4. Farmakodinamik.
Respons klinis terhadap obat anestesi pada pasien usia lanjut mungkin disebabkan karena
adanya gangguan sensitivitas pada target organ ( farmakodinamik). Bentuk sediaan obat

7
yang diberikan dan gangguan jumlah reseptor atau sensitvitas menentukan pengaruh
gangguan farmakodinamik efek anestesi pada pasien usia lanjut. Umumnya, pasien berusia
lanjut akan lebih sensitif terhadap obat anestesi. Jumlah obat yang diperlukan lebih sedikit
dan efek obat yang diberikan bisa lebih lama.
Respons hemodinamik terhadap anestesi intravena bisa menjadi berat karena adanya
interaksi dengan jantung dan vaskuler yang telah mengalami penuaan. Kompensasi yang
diharapkan sering tidak terjadi karena perubahan fisiologis berhubungan dengan proses
penuaan normal dan penyakit yang berhubungan dengan usia. Apapun penyebab efek
farmakologik yang terganggu, pasien berusia lanjut biasanya memerlukan penurunan dosis
pengobatan yang secukupnya.

Anestesi Inhalasi
Konsentrasi alveolar minimum ( minimum alveolar concentration = MAC) mengalami
penurunan kurang lebih 4% per dekade pada mayoritas anestesi inhalasi. Mekanisme kerja
anestesi inhalasi berhubungan dengan gangguan pada aktivitas kanal ion neuronal terhadap
nikotinik, asetilkolin, GABA dan reseptor glutamat. Mungkin adanya gangguan karena
penuaan pada kanal ion, aktivitas sinaptik, atau sensitivitas reseptor ikut bertanggung jawab
terhadap perubahan farmakodinamik tersebut.

Konsentrasi minimum alveolar (MAC) dari semua obat-obatan inhalasi berkurang


sekitar 4-5% per dekade di atas usia 40 tahun. Oleh karena itu pasien usia lanjut
membutuhkan volume anestesi inhalasi yang lebih rendah untuk mencapai efek yang sama
dengan pasien yang lebih muda. Isoflurane adalah mungkin yang paling sesuai, karena relatif
stabil dalam sistem kardiovaskuler, memiliki onset dan durasi kerja yang singkat dan hanya
0,2% dari dosis diberikan yang dimetabolisme. Terdapat efek depresi miokard dari
anestesi volatile yang berlebihan pada pasien usia lanjut, sedangkan isoflurane dan desflurane
jarang menimbulkan efek takikardi. Dengan demikian isoflurane dapat mengurangi curah
jantung dan denyut jantung pada pasien usia lanjut.

Obat-obatan inhalasi yang kurang larut seperti sevofluran dan desflurane mengalami
metabolisme yang minimal dan sebagian besar diekskresikan oleh paru-paru. Halotan
memiliki keuntungan dengan kurang menimbulkan iritasi pada saluran pernapasan, meskipun
obat ini meningkatkan sensitifitas miokardium terhadap katekolamin dan mungkin dapat
memicu takiaritmia. Eter telah digunakan dengan baik selama bertahun-tahun, dan pada
pasien usia lanjut sebaiknya diberikan pada konsentrasi rendah dengan dukungan ventilasi.

8
Hal ini memungkinkan pasien untuk bangun lebih cepat daripada anestesi dengan konsentrasi
eter yang lebih tinggi.

Pemulihan dari anestesi dengan obat-obatan anestesi volatile mungkin dapat


memanjang karena adanya peningkatan volume distribusi (lemak tubuh meningkat),
penurunan fungsi hepar (penurunan metabolisme halotan), dan penurunan pertukaran gas
paru. Eliminasi cepat dari desflurane dapat menjadi alasan sebagai anestesi yang dipilih untuk
pasien usia lanjut.

Anastesi Intravena dan Benzodiazepine

Tidak ada perubahan sensitivitas otak terhadap tiopental yang berhubungan dengan
usia. Namun, dosis tiopental yang diperlukan untuk mencapai anestesia menurun sejalan
dengan pertambahan usia. Penurunan dosis tiopental sehubungan dengan usia disebabkan
karena penurunan volume distribusi inisial obat tersebut. Penurunan volume distribusi inisial
terjadi pada kadar obat dalam serum yang lebih tinggi setelah pemberian tiopental dalam
dosis tertentu pada pasien berusia lanjut. Sama seperti pada kasus etomidate, perubahan
farmakokinetik sesuai usia (disebabkan karena penurunan klirens dan volume distribusi
inisial), bukan gangguan responsif otak yang terganggu, bertanggung jawab terhadap
penurunan dosis etomidate yang diperlukan pada pasien berusia lanjut. Otak menjadi lebih
sensitif ter hadap efek propofol, pada usia lanjut. Selain itu, klirens propofol juga
mengalami penurunan. Efek penambahan ini berhubungan dengan peningkatan sensitivitas
terhadap propofol sebesar 30-50% pada pasien dengan usia lanjut.
Dosis yang diperlukan midazolam untuk menghasilkan efek sedasi selama endoskopi
gastrointestinal atas mengalami penur unan sebesar 75% pada pasien berusia lanjut.
Perubahan ini berhubungan dengan peningkatan sensitivitas otak dan penurunan klirens
obat.

Opiat
Usia merupakan prediktor penting perlu tidaknya penggunaan morfin post operatif,
pasien berusia lanjut hanya memer lukan sedikit obat untuk menghilangkan rasa nyeri.
Morfin dan metabolitnya morphine-6- glucuronide mempunyai sifat analgetik. Klirens
morfin akan menurun pada pasien berusia lanjut. Morphine-6-glucuronide tergantung pada
eksresi renal. Pasien dengan insufisiensi ginjal mungkin menderita gangguan eliminasi

9
morfin glucuronides, dan hal ini bertanggung jawab terhadap peningkatan analgesia dari
dosis morfin yang diberikan pada pasien berusia lanjut.
Sufentanil, alfentanil, dan fentanil kurang lebih dua kali lebih poten pada pasien
berusia lanjut. Penemuan ini berhubungan dengan peningkatan sensitivitas otak terhadap
opioid sejalan dengan usia, bukan karena gangguan farmakokinetik. Penambahan usia
berhubungan dengan perubahan farmakokinetik dan farmakodinamik dari remifentanil. Pada
usia lanjut terjadi peningkatan sensitivitas otak terhadap remifentanil. Remifentanil kurang
lebih dua kali lebih poten pada pasien usia lanjut, dan dosis yang diperlukan adalah satu
setengah kali bolus. Akibat volume kompar temen pusat, VI, dan penurunan klirens pada
usia lanjut, maka diperlukan kurang lebih sepertiga jumlah infus.

Pelumpuh Otot
Umumnya, usia tidak mempengaruhi farmakodinamik pelumpuh otot. Durasi kerja
mungkin akan memanjang, bila obat tersebut tergantung pada metabolisme ginjal atau hati.
Diperkirakan terjadi penurunan pancuronium pada pasien berusia lanjut, karena
ketergantungan pancuronium terhadap eksresi ginjal. Perubahan klirens pancuronium pada
usia lanjut masih kontroversial. Atracurium bergantung pada sebagian kecil metabolisme hati
dan ekskresi, dan waktu paruh eliminasinya akan memanjang pada pasien usia lanjut. Tidak
terjadi perubahan klirens dengan bertambahnya usia, yang menunjukkan adanya jalur
eliminasi alternatif (hidrolisis eter dan eliminasi Hoffmann) penting pada pasien berusia
lanjut. Klirens vecuronium plasma lebih rendah pada pasien berusia lanjut. Durasi
memanjang yang berhubungan dengan usia terhadap kerja vecuronium menggambarkan
penurunan reversi ginjal atau hepar.

Anastesi neuraksial dan blok saraf perifer


Persentase obat anestesia tidak berdampak terhadap durasi blokade motorik dengan
pemberian anestesi bupivacaine. Waktu onset akan menurun, bagaimanapun juga penyebaran
anestesi akan lebih baik dengan pemberian cairan bupivacaine hiperbarik. Dampak usia
terhadap durasi anestesia epidural tidak terlihat pada pemberian bupivacaine 0,5% . Waktu
onset akan memendek, dan kedalaman blok anestesia akan bertambah besar. Terlihat klirens
plasma lokal anestesi yang menurun pada pasien berusia lanjut. Hal ini dapat menjadi faktor
yang mengurangi penambahan dosis dan jumlah infus selama pemberian dosis berulang dan
teknik infus berkesinambungan.

Keuntungan Obat-obat Spesifik pada Pasien Usia Lanjut

10
Penyakit penyerta preoperatif merupakan determinan yang lebih besar terhadap
komplikasi post operatif dibandingkan dengan penatalaksanaan anestesi. Beberapa pendapat
menitikberatkan pada penatalaksanaan farmakologi dan fisiologi terhadap usia lanjut.
Metode titrasi opioid mungkin lebih baik menggunakan opioid dngan kerja singkat seperti
remifentanil. Dengan menambahkan dosis bolus dan infus, variabilitas farmakokinetik
remifentanil akan lebih rendah bila dibandingkan dengan opioid intrvena lainnya. Sama
halnya dengan pilihan menggunakan pelumpuh otot dengan kerja yang lebih singkat.
Beberapa penelitian menunjukkan adanya peningkatan insidens komplikasi pulmoner dan
blok residual postoperatif pada pasien yang diberikan pancuronium bila dibandingkan
dengan atracurium atau vecuronium. Penggunaan sugammadex sebagai obat reversal untuk
rocuronium akan meningkatkan penggunaan pelumpuh otot pada pasien berusia lanjut. Bila
dibandingkan dengan anestesi inhalasi, tidak ditemukan perbedaan yang bermakna pada
pemulihan profil fungsi kognitif.

4. Evaluasi dan Manajemen Preoperatif


Terdapat dua prinsip yang harus diingat pada saat melakukan evaluasi pre-operatif
pasien geriatri :
1. Pasien harus selalu dianggap mempunyai risiko tinggi menderita penyakit yang
berhubungan dengan penuaan. Penyakit- penyakit biasa pada pasien dengan usia lanjut
mempunyai pengaruh yang besar terhadap penanganan anestesi dan memerlukan perawatan
khusus serta diagnosis. Penyakit kardiovaskuler dan diabetes umumnya sering ditemukan
pada populasi ini. Komplikasi pulmoner mempunyai insidens sebesar 5,5% dan merupakan
penyebab morbiditas ketiga tertinggi pada pasien usia lanjut yang akan menjalani
pembedahan non cardiac.
2. Harus dilakukan pemeriksaan derajat fungsional sistem organ yang spesifik dan pasien
secara keseluruhan sebelum pembedahan. Pemeriksaan laboratorium dan diagnostik,
riwayat, pemeriksaan fisik, dan determinasi kapasitas fungsional harus dilakukan untuk
mengevaluasi fisiologis pasien. Pemeriksaan laboratorium harus disesuaikan dengan riwayat
pasien, pemeriksaan fisik, dan prosedur pembedahan yang akan dilakukan, dan bukan hanya
berdasarkan atas usia pasien saja.

Evaluasi Praoperatif
Penilaian pra operasi memainkan bagian penting dalam mengurangi komplikasi pasca
operasi. Pemahaman tentang status fisik pasien akan memberikan panduan terhadap

11
penilaian jenis penyakit komorbid dan tingkat keparahannya, jenis monitoring yang
diperlukan, optimasi pra operasi dan prediksi akan timbulnya komplikasi pasca operasi.
Pemahaman riwayat penyakit yang mendetail, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium
dan penilaian risiko tindakan pembedahan harus difokuskan selama evaluasi pra operasi.

a) Informed Consent
Pasien, anggota keluarga atau wali pasien harus diberitahu tentang intervensi bedah dan
kemungkinan komplikasi yang dapat timbul. Kapasitas putusan merupakan prasyarat untuk
suatu informed consent yang sesuai dengan hukum dan moral. Pasien usia lanjut mungkin
tidak sepenuhnya memahami intervensi yang direncanakan, sehingga kerabat terdekat harus
terlibat untuk memperoleh informed consent yang terperinci. Status mental dan kognitif
pasien harus dipertimbangkan dan didokumentasikan.
b) Riwayat Penyakit dan Status Gizi
Riwayat kondisi medis lengkap dan operasi sebelumnya harus dicatat karena pasien usia
lanjut biasanya sedang menjalani banyak terapi obat-obatan. Defisiensi nutrisi yang sering
dialami oleh pada usia lanjut harus dinilai secara akurat. Hitung darah lengkap yang
menunjukkan anemia, kadar albumin serum yang kurang dari 3.2g/dl dan kolesterol kurang
dari 160mg/dl telah terbukti sebagai penanda risiko outcome pasca operasi yang merugikan.
Indeks massa tubuh yang kurang dari 20 kg/m2 pada pasien usia lanjut mungkin
mengarahkan peningkatan morbiditas karena penyembuhan luka yang tertunda, sehingga
suplemen gizi pra operatif harus dipertimbangkan.

c) Pemeriksaan fisik
Meskipun pasien usia lanjut memiliki riwayat medis yang panjang, mereka biasanya
tidak memberikan rincian penyakit mereka, ini merupakan konsekuensi yang tidak dapat
dihindari akibat usia tua. Pemeriksaan fisik harus mencakup informasi yang mendetail
tentang status hidrasi, gizi, tekanan darah, nadi dan kondisi sistemik.
Penilaian status mental pra operasi sangat penting karena biasanya mencerminkan status
kognitif pasca operasi. Demensia pra operasi merupakan prediktor yang penting
dari outcome bedah yang buruk.
d) Pemeriksaan Penunjang Pra operasi

Pasien usia lanjut harus menjalani berbagai tes yang akan membantu menentukan
parameter kesehatan pasien, bahkan pada mereka yang sehat dan termasuk diantaranya:

12
 Hitung darah lengkap: Hb, jumlah limfosit
 Urem, kreatinin dan elektrolit akan memberikan informasi tentang fungsi
ginjal karena akan mengalami perubahan secara bertahap dengan
pertambahan usia. Bersihan kreatinin merupakan indeks penting.
 Gula darah dan kolesterol harus diperiksa karena tingginya insiden diabetes
mellitus dan ateroskleorsis.
 Kadar albumin dan fungsi pembekuan darah
 Pemeriksaa elektrokardiogram (EKG) harus dilakukan pada semua pasien
yang berusia di atas 60 tahun, terlepas dari ada riwayat penyakit jantung atau
tidak.
 Rontgen dada dan tes fungsi paru pada pasien dengan penyakit paru
obstruktif kronis.
 Pemeriksaan jantung.

Manajemen perioperatif
Tidak ada istilah "terlalu tua" untuk tindakan operasi. Pada umumnya hal yang harus
dipikirkan adalah bahwa komorbiditas meningkat dengan pertambahan usia lebih penting
dari usia pasien itu sendiri. Penelitian Forrest terhadap 17.201 pasien menunjukkan bahwa,
risiko outcome yang berat menurun dari 3% menjadi 2% dari umur 20-an ke umur 40-an,
namun meningkat secara linear setelahnya (dari 2% pada umur 40-an sampai 6% pada umur
80-an).
Penyakit yang umumnya ditemukan pada usia lanjut memiliki dampak yang
signifikan terhadap tindakan anestesi dan memerlukan perawatan khusus, sehinggan Penting
untuk menentukan status fisik pasien dan memperkirakan cadangan fisiologis dalam
evaluasi preanestesi. Jika kondisi dapat dioptimalkan sebelum operasi, maka operasi dapat
dilakukan tanpa penundaan. Penundaan operasi yang lama dapat meningkatkan morbiditas.
Diabetes mellitus dan penyakit kardiovaskular adalah penyakit yang paling sering dialami
oleh pasien geriatri. Komplikasi paru adalah salah satu penyebab utama morbiditas
pascabedah pada pasien usia lanjut. Untuk pasien ini diperlukan optimasi paru-paru.
Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik serta pemeriksaan laboratorium dan diagnostik
sangat penting. Masalah yang yang harus selalu dipikirkan pada pasien geriatri adalah
kemungkinan terjadinya depresi, malnutrisi, imobilitas dan dehidrasi. Sehingga penting
untuk menentukan status kognitif seorang pasien usia lanjut. Defisit kognitif berkaitan

13
dengan outcome yang buruk dan morbiditas perioperatif yang lebih tinggi. Namun masih
kontroversial apakah anestesi umum dapat mempercepat perkembangan demensia senilis.
Walaupun masih terdapat banyak pertanyaan, bukti-bukti yang ada menunjukkan bahwa
risiko kardiovaskuler dapat dicegah dengan mencari ada tidaknya β-blockade perioperatif
pada pasien dengan penyakit arteri koroner yang diketahui, terutama bila muncul beberapa
minggu terakhir sebelum operasi. Pada pasien usia lanjut yang menggunakan terapi β-blocker
jangka panjang, tampaknya β-blocker long-acting akan lebih efektif dibandingkan dengan β-
blocker short-acting dalam mengurangi resiko infark miokard perioperatif. Protokol yang
menyertakan pemberian β-blocker pada pagi hari sebelum operasi dilakukan dan diteruskan
selama operasi berhubungan dengan peningkatan insidens stroke dan semua penyebab
mortalitas.

5. Manajemen Intraoperatif
Manajemen intraoperatif diarahkan untuk membatasi stres akibat pembedahan dan
menghindari kejadian yang lebih memperburuk cadangan fisiologis pasien. Tidak ada teknik
universal khusus yang disetujui untuk pasien usia lanjut tetapi beberapa intervensi dapat
meningkatkan outcome.

Induksi Anestesi:

Pada pasien usia lanjut, preoksigenasi agresif yang setara untuk anestesi inhalasi
menurun secara linear dengan pertambahan usia, oleh karena itu dosis obat yang
mempengaruhi SSP perlu dikurangi untuk mengantisipasi efek sinergi obat. Penggunaan
bersama propofol, midazolam, opioid dapat meningkatkan kedalaman anestesi. Hipotensi
adalah kejadian yang umum didapatkan sehingga dosis obat-obatan ini harus dititrasi. Dipilih
obat yang bekerja singkat. Stimulasi intubasi trakea tidak memberikan efek hipotensi pada
pasien usia lanjut.
Efek puncak obat mengalami penundaan, diantaranya: midazolam 5 menit, fentanil 6-8
menit, dan propofol 10 menit. Untuk meminimalkan kedalaman dan durasi hipotensi, dosis
propofol tanpa suplementasi opioid disesuaikan dengan cara dikurangi 1,0-1,5 mg / kg lean
body weight (LBW)dan 0.5-1.0mg/kg jika diberikan opioid secara bersamaan khususnya jika
disertai juga dengan pemberian ketamin dosis rendah dan midazolam.
Penggunaan profilaksis aspirasi dan rapid sequence intubation (RSI) harus dilakukan
secara rutin, khususnya pada pasien dengan diabetes mellitus atau penyakit refluks dan
prosedur darurat. Antisipasi pemanjangan durasi obat neuromuskuler yang bersifat organ

14
based klirens. Seiring pertambahan usia, obat-obatan intermediate acting bekerja lebih lama
(kecuali atrakurium dan cisatrakurium), dapat menurunkan suhu tubuh, menyebabkan
diabetes dan obesitas (jika dosisnya dihitung berdasarkan berat badan total) dan peningkatan
blok neuromuskuler. Dosis antikolinesterase inhibitor juga harus dikurangi dan pasien
dipantau dengan ketat di unit perawatan pasca-anestesi (PACU) untuk tanda-tanda
rekurarisasi.
Obat-obatan non-steroid anti-inflammatory drug (NSAID) untuk menghilangkan rasa
sakit pasca operasi harus diberikan dengan dosis dikurangi untuk menghindari komplikasi
seperti gastritis, gagal ginjal akut. NSAID harus dihindari pada pasien usia lanjut dengan
gangguan fungsi ginjal preoperatif (peningkatan kadar urea / kreatinin) atau jika pasien
mengalami hipovolemia.

Anestesi umum atau regional


Anestesi regional mungkin memiliki beberapa keunggulan dibandingkan anestesi
umum, termasuk jarang menimbulkan tromboemboli, gangguan kesadaran dan pernafasan
pasca-bedah. Anestesi dengan blok tungkai dan pleksus ideal untuk operasi perifer. Hernia
dan katarak umumnya dilakukan dengan anestesi lokal. Hipotensi lebih sering ditemukan
pada pasien usia lanjut yang menjalani anestesi spinal / epidural karena terjadi gangguan
fungsi otonom dan penurunan penyesuaian arteri.
Pada pasien dengan penyakit jantung berat yang memerlukan kontrol tekanan darah
ketat, anestesi umum mungkin lebih baik. Tinjauan Cochraneterhadap 17 penelitian anestesi
untuk operasi fraktur tulang pinggul (melibatkan lebih dari 2.800 pasien) membandingkan
anestesi umum dan regional. Penulis menyimpulkan bahwa anestesi regional dapat
mengurangi mortalitas pada satu bulan pasca operasi, tetapi baik anestesi regional dan umum
menghasilkan outcome yang sama untuk mortalitas jangka panjang.
Pertimbangan tindakan anestesi regional pada pasien geriatri diantaranya: Peningkatan
kepekaan terhadap anestesi lokal, risiko mati rasa,nerve palsy, komplikasi neuralgia,
pemanjangan durasi blok, blok tingkat tinggi, hipotensi dan bradikardi. Terdapat penurunan
dramatis dalam hal kebutuhan sedasi dengan blok neuraxial.
Anestesi regional blok dapat mempertahankan status gizi dan normothermia. Teknik
ini ini juga dapat mengurangi sensitisasi sentral sehingga mengurangi kebutuhan analgesik
opioid pasca operasi dan meningkatkan outcome pada paru-paru, jantung dan ginjal sekaligus
mengurangi insiden komplikasi tromboemboli. Tinjauan oleh Rodgers dkk menyimpulkan

15
bahwa terdapat penurunan mortalitas dalam 30 hari dan throbosis vein thrombosis (DVT)
pada kelompok anestesi regional.

Hipotermia
Pembedahan umumnya dapat menyebabkan hipotermia karena faktor lingkungan dan
tindakan anestesi yang menginduksi inhibisi mekanisme termoregulator normal. Pasien usia
lanjut lebih beresiko untuk mengalami hipotermia karena anestesi yang mengubah
mekanisme termoregulator dan tingkat metabolisme basal yang rendah. Hipotermia
intraoperatif dapat menjadi faktor risiko jantung independen untuk penyakit jantung pasca
operasi pada usia lanjut. Oleh karena itu, pada pasien usia lanjut harus dilakukan upaya untuk
mencegah kehilangan panas. Langkah-langkah untuk mencegah hipotermia adalah:
pembersihan pasca operasi dengan cairan yang hangat, menggunakan sistem pemanasan,
menghangatkan cairan IV, menjaga suhu lingkungan tetap hangat, menutupi pasien dengan
selimut sebelum dan setelah operasi.

Manajemen cairan
Mengelola volume intravaskular yang tepat sangat penting dengan menghindari
kelebihan dan kekurangan pemberian cairan. Karena adanya peningkatan afterload,
penurunan respon inotropik atau chronotoropic serta gangguan respon vasokonstriksi
menyebabkan pasien usia lanjut sangat tergantung pada preload yang memadai. Pasien usia
lanjut juga rentan terhadap dehidrasi karena penyakit, penggunaan diuretik, puasa pra operasi
dan penurunan respon haus. Asupan cairan oral hingga 2 - 3 jam sebelum operasi, dan terapi
pemeliharaan cairan yang cukup serta menghindari terapi diuretik sebelum operasi dapat
menghindarkan kejadian hipotensi mendadak segera setelah induksi anestesia. Hidrasi yang
berlebihan juga harus dihindari pada usia lanjut dengan ganggaun jantung karena mereka
lebih rentan untuk terjadinya kegagalan sistolik, perfusi organ yang jelek dan penurunan
GFR.
Penting pula untuk melakukan pemantauan kateter vena sentralis atau arteri pulmonalis
intraoperatif untuk mengukur volume darah sentral khusus pada pasien usia lanjut yang
cenderung memiliki penurunan volume darah dalam jumlah besar atau pergeseran cairan.
Penting untuk menaga tekanan vena sentral pada kisaran 8 - 10 mmHg dan tekanan arteri
pulmonalis14 - 18 mm Hg untuk mempertahankan output jantung yang memadai.

6. Manajemen pasca operasi

16
Manajemen jalan napas

Perubahan fungsi faring, refleks batuk, dapat diperburuk oleh efek dari anestesi,
instrumentasi faring dan operasi yang dapat meningkatkan kemungkinan aspirasi
pascaoperasi pada usia lanjut. Pembalikan efek blok neuromuskuler, penggunaan pipa
nasogastrik, mengembalikan refleks faring dan laring, motilitas gastrointestinal dan ambulasi
dini dengan konversi intake oral setelah operasi dapat meminimalkan insiden aspirasi pasca
operasi.

Terapi oksigen
Dianjurkan untuk memberikan terapi oksigen pasca-operasi untuk semua pasien usia
lanjut, terutama setelah pembedahan abdomen atau dada, penyakit kardiovaskuler atau
pernapasan, kondisi kehilangan darah yang signifikan, atau bila telah diberikan analgetik
opioid. Nasal kanul sering ditoleransi lebih baik daripada masker.

Perawatan intensif
Jika pasien sangat tergantung pada perawatan tingkat tinggi atau tersedia fasilitas
perawatan intensif, hal ini dapat meningkatkan outcome jangka panjang dari pasien usia
lanjut, khususnya mereka yang menjalani operasi darurat.

Manajemen Nyeri
Manajemen nyeri akut sangat penting pada pasien bedah berusia lanjut, dimana nyeri
pasca operasi dapat menghasilkan efek yang berbahaya. Kontrol nyeri yang kurang optimal
dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada usia lanjut karena komorbiditas terkait
seperti penyakit jantung iskemik, penurunan cadangan ventilasi, perubahan metabolisme.
Pertimbangkan pemberian analgetik sederhana seperti parasetamol, dan NSAID
dengan hati-hati. Titrasi morfin IV menggunakan protokol usia lanjut (> 70 tahun) yang sama
dengan pasien yang lebih muda tampaknya aman. Dua sampai tiga miligram morfin IV setiap
5 menit untuk skor analog visual lebih dari 30 dilaporkan dapat memberikan kontrol nyeri
yang memadai. Opioid kerja singkat seperti fentanil atau sufentanil dan satrategi
manajemen nyeri intensif dengan bolus intermiten atau patient controlled analgesia (PCA)
secara parenteral atau dengan blok neuraxial dilaporkan paling bermanfaat untuk pasien usia

17
lanjut beresiko tinggi atau pasien usia lanjut dengan risiko rendah yang menjalani operasi
berisiko tinggi dengan mengurangi respon stres terhadap pembedahan dan ambulasi dini.

Pertimbangan lainnya
Fisioterapi dini dan kontinyu serta mobilisasi dapat membantu pemulihan pasca-
operasi dan dapat mengurangi lama perawatan di rumah sakit secara signifikan.
Pertimbangkan profilaksis deep vein thrombosis (DVT) dimana pasien usia lanjut adalah
kelompok berisiko tinggi, terutama mereka dengan fraktur kolum femoris atau mereka yang
tirah baring selama beberapa hari. Cari kemungkinan munculnya komplikasi pascaoperasi.
Komplikasi yang paling sering termasuk infeksi (terutama luka, dada, saluran kemih), DVT
dan emboli paru. Dapat pula timbul delirium dan mungkin disebabkan oleh sepsis, dehidrasi,
overhidrasi, ureum dan elektrolit yang abnormal, hipoksia, sindrom putus alkohol / obat atau
gangguan kognitif / demensia.

DAFTAR PUSTAKA

1. Darmojo B. Geriatri Ed. 4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2009. Hal 3-4; 56-66.
2. Allison B., Forest Sheppard. Geriatric Anesthesia. In : World Journal of
Anesthesiology. USA: Departemen of Anesthesiology National Naval Medical
Centre; 2009;4:323-336.
3. Shafer SL. The Pharmacology of Anesthetic Drugs In Elderly Patient. Journal of
Anesthesiology. England: Departemen of Anesthesiology; 2000;18:1-29.
4. Miller R. Miller’s Anesthesia 2 Ed. 7. 71:2261-73
5. Burnett. Mary. Anasthesia for The Eldery. Available at :
http://www.unmc.edu/media/intmed/geriatrics/lectures/anesthesia_for_the_elderly.
htm. Accessed on 29 January 2014
6. Kanonidou. Z . Anasthesia for The Eldery. Available at :
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2552979/#!po=21.4286 Accessed
on 29 January 2014
7. Priebe HJ. The aged cardiovascular risk patient. British Journal of Anaesthesia 85 (5):
763±78 (2000) [cited 2011 December 06]. Available
from:http://www.bja.oxfordjournals.org/content/85/5/763.long

18
8. Ceba RC, Sprung J, Gajic O, Warner DO. The aging respiratory system: anesthetic
strategies to minimize perioperative pulmonary complications. Dalam: Silverstein JH,
Rooke GA, Reves JG, Mcleskey CH. Geriatric anesthesiology 2nd Edition. New
York. 2008. Springer, hal: 149- 163
9. Stoelting RK, Hillier SC. Physiology of the newborn and elderly. Dalam: Handbook
of pharmacology and physiology in anesthetic practice, 2nd ed. Philadelphia, 2006.
Lippincott Williams & Wilkins, hal: 871-81
10. Kumra VP. Issues in geriatric anaesthesia. SAARC J. Anesthesia. New Delhi, 2008.
Hal:39 – 49
11. Anonym. Geriatrics (Anesthesia Text) [cited 2011 December 06]. Available
from: http://www.OpenAnesthesia.org
12. Kelly F. Anesthesia for the erderly patient. [cited 2011 December 06].
Available from: http://www.nda.ox.ac.uk/wfsa/html/15/u15513_01.htm

19

Anda mungkin juga menyukai