Anda di halaman 1dari 31

CASE BASED DISCUSSION

STRUMA NODUSA NON TOXIC

Disusun oleh:

Babad Bagus
014.06.0037

Pembimbing:
dr. Muhammad Tontowi Jauhari, Sp.B

Universitas Islam Al-Azhar Mataram


Fakultas Kedokteran
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah Case Based
Discussion pada stase Bedah. Dimana dalam penyusunan makalah ini bertujuan agar Dokter
Muda FK Unizar dapat memahami isi dari makalah ini sehingga dapat bermanfaat.

Tidak lupa juga kami mengucapakan terima kasih kepada dokter yang menjadi
pembimbing saya juga teman-teman dan semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan
makalah ini sehingga saya dapat menyelesaikannya dengan hasil yang memuaskan.

Dalam penyusunan makalah ini saya menyadari bahwa masih banyak kekurangannya
sehingga saya menginginkan saran dan kritik yang membangun dalam menyempurnakan
makalah ini.

Selong, 22 September 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................................... i

DAFTAR ISI .....................................................................................................................ii

BAB I LAPORAN KASUS ..............................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................................8

BAB III PEMBAHASAN ...............................................................................................17

BAB IV DISKUSI...........................................................................................................27

DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................................28

ii
BAB I
LAPORAN KASUS

I. Identitas Pasien
Nama : DS
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 33 tahun
Agama : Islam
Suku Bangsa : Sasak/Indonesia
Status Pernikahan : Menikah
Alamat : Rempung
Tanggal Masuk : 17September 2019
Tanggal Operasi : 19 September2019
Tanggal Pulang : 20 Desember 2019
Ruangan : Bedah

II. Anamnesis
A. Keluhan Utama:
Benjolan pada leher kanan
B. Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien wanita, berusia 33 tahun, datang ke rumah sakit dengan keluhan adanya
benjolan yang muncul di leher depan sisi kanan sejak kurang lebih 3 tahun yang
lalu. Awalnya benjolan dirasakan kecil, tapi seiring berjalannya waktu, benjolan
semakin membesar. Pasien tidak merasakan adanya nyeri di daerah leher. Tidak
ada keluhan gangguan bernapas atau gangguan menelan. Pasien
tidakmengeluhkan sering berkeringat pada kedua tangannya, nafsu makan
normal, dan tidak ada penurunan berat badan. Tidak ada keluhan demam, cepat
haus, gangguan buang air besar, gangguan siklus menstruasi, rasa berdebar-
debar, cepat lelah, rasa cemas dan sulit tidur.
C. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat mengalami gejala yang sama sebelumnya di sangkal. Riwayat penyakit
jantung disangkal. Riwayat penyakit kencing manis disangkal. Riwayat
pengobatan sebelumnya tidak ada.

1
D. Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien mengaku tidak ada keluarga yang menderita hal yang sama. Riwayat
penyakit jantung, penyakit kencing manis disangkal.
E. Riwayat Alergi
Pasien mengaku tidak memiliki alergi obat maupun makanan

III. Pemeriksaan Fisik


Status Generalis
a. Keadaan Umum : Sakit Sedang
b. Kesadaran : Compos Mentis
c. Tekanan Darah : 110/70 mmHg
d. Nadi : 78 x/menit
e. Respirasi : 21 x/menit
f. Suhu : 36,2oC
Status Lokalis
Kepala
-Mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, refleks pupil +/+,
exopthalmus -/-
-Hidung : epistaksis -/-, deviasi septum -/-
-Mulut : tidak ada kelainan
-Leher : KGB tidak teraba, JVP tidak meningkat, Nyeri telan –
Massa a/r colli anterior kanan : massa ukuran 4 X 3 cm,
konsistensi kenyal (+), mobile (+), berbatas tegas (+), ikut
bergerak saat menelan (+), nyeri tekan (-)
Thorax
Inspeksi : hemithorax kanan dan kiri simetris dalam keadaan statis dan
dinamis
Palpasi : fremitus taktil dan vokal simetris kanan dan kiri
Perkusi : sonor pada kedua hemithorax
Auskultasi
Pulmo : VBS kanan = kiri normal, rhonki -/-, wheezing -/-
Cor : Bunyi jantung I/II murni reguler, murmur (-), gallop (-)

2
Abdomen
Inspeksi : datar dan lembut
Auskultasi : Bising Usus (+) normal
Perkusi : Timpani di seluruh perut,
Palpasi : DM (-), NT (-), NL (-), hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas :
- Atas
 Tonus : normal
 Kelembapan : normal
 Tremor : -/-
 Massa : -/-
 Gerakan : aktif/aktif
 Kekuatan : 5/5
 Edema : -/-
- Bawah
 Tonus : normal
 Kelembapan : normal
 Tremor : -/-
 Massa : -/-
 Gerakan : aktif/aktif
 Kekuatan : 5/5
 Edema : -/-

3
IV. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium pada tanggal 9/09/2019
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Imunoserologi
FT4 1.03ng/dL (N) 0,7-1,55ng/dL
TSHS 0.95 uIU/mL (N) 0,27-4,7uIU/mL

Hematologi
Darah rutin
Hemoglobin 13,5 12 - 16 g/dl
Hematokrit 40,4 37 - 47%
Eritrosit 5,15 4,3 - 6,0 juta/ul
Leukosit 10560 4800 - 10800/ul
Trombosit 275.000 150.000 - 400.000/ul

V. RESUME
Berdasarkan anamnesis didapatkan pasien DS usia 33 tahun, mengeluh merasa
ada benjolan di leher sebelah kanannya, pasien pasien mengatakan benjolan
tersebut sudah sejak kurang lebih 3 tahun yang lalu. Benjolan dirasakan makin lama
makin membesar. Dari anamnesa tersebut, mengarah pada diagnosis struma.
Setelah dilakukan pemeriksaan fisik didapatkan status generalisata dalam batas
normal, tanpa tremor, tanpa exolpthalmus dan ekstremitas tidak tampak keringat
yang berlebih. Status lokalis pada region colli dextra teraba benjolan berukuran 4x3
cm dengan konsistensi kenyal, mobile, berbatas tegas, dan ikut bergerak saat
menelan. Dari pemeriksaan fisik, diagnosa mengarah pada struma nodusa non
toksik.
Dari pemeriksaan penunjang tidak didapatkan gangguan pada fungsi tiroid
(menyingkirkan dugaan toksik). Dari pemeriksaan penunjang, diagnosa mengarah
pada struma nodusa non toksik.
Penegakan diagnosa berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksan penunjang didapatkan diagnosa kerja struma nodusa non toksik.

4
VI. Diagnosa Kerja
Struma nodusa non toxic

VII. Diagnosa Banding


1. Follicular Thyroid Carcinoma
2. Hashimoto Thyroiditis
3. Medullary Thyroid Carcinoma

VIII. Penatalaksanaan
Operatif: Lobektomi dextra
Nama : DS
Umur : 40 tahun Jenis Kelamin: Perempuan Kamar OK : Bedah
Ruang : Bedah
Operator Bedah : dr. Aji Asisten operator : Sarfan Dokter Anestesi : dr. I
Pramito Sp.B Nyoman Sudiarsana Sp.An
Diagnosa PreOp: SNNT Nama Operasi : Lobektomi Anestesi : General Anestesi
Dextra Dextra Dikirim untuk PA : Ya
Diagnosa PostOp: SNNT
Dextra
Tanggal Operasi: 19/09/19 Jam Operasi Mulai: 11.45 Lama Operasi: 55 menit
WIB
Jam Operasi Selesai : 12.40
WIB
Laporan Operasi:
 Penderita tidur dalam general anastesia
 Disinfeksi daerah operasi
 Tutup duk steril
 Insisi
 Buat flap anterior posterior
 Buka musculus palatini
 Buka musculus antara m. sternokleido dan sterno mastoid
 Identifikasi struma lobulus dextra
 Identifikasi arteri tyroidalis inferior

5
 Rawat perdarahan
 Tutup luka operasi lapis demi lapis
 Operasi selesai

Follow Up
19 September 2019
S : Tidak sesak, suara tidak sengau atau berubah, sulit menelan (-), nyeri bekas luka operasi
(+)
O : KU : sedang Kesadaran : Composmentis
VS : TD: 120/70 mmHg RR : 20x/menit
Nadi : 88x/menit T : 36,5 oC
Status generalis : tetap
Status lokalis R. Colli Dextra:
 Tertutup verband, rembesan darah (+)
 Drainase: 200 cc darah/24 jam
A : Struma Nodosa Non Toksik Post Op Lobektomi Dextra H1
P : - Pertahankan kasa
- Pertahankan drain
- Diet bebas TKTP
- Mobilisasi duduk-jalan
- Infus RL 20 tpm

6
- Inj. Cefotaksim 3x1 gram
- Inj. Ketorolac 3x30 mg
- Inj. Kalnex 3x500 mg

20 September 2019
S : Tidak sesak, suara tidak sengau atau berubah, tidak ada kesulitan menelan, nyeri bekas
luka operasi menurun
O : KU : sedang Kesadaran : Composmentis
VS : TD: 110/70 mmHg RR : 20x/menit
Nadi : 90x/menit T : 36,5 oC
Status generalis : tetap
Status lokalis R. Colli Dextra :
 Luka kering, pus (-), darah (-)
 Drainase: 5 cc/24 jam serous
A : Struma Nodosa Non Toksik Post Op Lobektomi Dextra H2
P : - Aff drain
- Diet bebas TKTP
- Mobilisasi jalan
- Pasien dipulangkan
- p/o: Asam mefenamat tab 500mg 3x1

7
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. Definisi
Struma disebut juga goiter adalah suatu pembengkakan pada leher oleh karena
pembesaran kelenjar tiroid akibat kelainan glandula tiroid dapat berupa gangguan fungsi
atau perubahan susunan kelenjar dan morfologinya.Kelainan glandula tyroid dapat
berupa gangguan fungsi seperti tiritosikosis atau perubahan susunan kelenjar dan
morfologinya, seperti penyakit tyroid noduler. Berdasarkan patologinya, pembesaran
tyroid umumnya disebut struma.

II. Embriologi
Kelenjar tiroid adalah kelenjar endokrin yang pertama kali tampak pada fetus,
kelenjar ini berkembang sejak minggu ke-3 sampai minggu ke-4 dan berasal dari
penebalan entoderm dasar faring, yang kemudian akan berkembang memanjang ke
kaudal dan disebut divertikulum tiroid. Akibat bertambah panjangnya embrio dan
pertumbuhan lidah maka divertikulum ini akan mengalami desensus sehingga berada di
bagian depan leher dan bakal faring. Divertikulum ini dihubungkan dengan lidah oleh
suatu saluran yang sempit yaitu duktus tiroglosus yang muaranya pada lidah yaitu
foramen cecum.

Divertikulum ini berkembang cepat membentuk 2 lobus yang tumbuh ke lateral


sehingga terbentuk kelenjar tiroid terdiri dari 2 lobus lateralis dengan bagian tengahnya
disebut ismus. Pada minggu ke-7 perkembangan embrional kelenjar tiroid ini mencapai

8
posisinya yang terakhir pada ventral dari trakea yaitu setinggi vertebra servikalis V, VI,
VII dan vertebra torakalis I, dan secara bersamaan duktus tiroglosus akan hilang.
Perkembangan selanjutnya tiroid bergabung dengan jaringan ultimobranchial body yang
berasal dari branchial pouch V, dan membentuk C-cell atau sel parafolikuler dari kelenjar
tiroid.
Sekitar 75 % pada kelenjar tiroid ditemukan lobus piramidalis yang menonjol dari
ismus ke kranial, ini merupakan sisa dari duktus tiroglosus bagian kaudal. Pada akhir
minggu ke 7 – 10 kelenjar tiroid sudah mulai berfungsi, folikel pertama akan terisi koloid.
Sejak saat itu fetus mulai mensekresikan Thyrotropin Stimulating Hormone (TSH), dan
sel parafolikuler pada fetus sementara belum aktif.

III. Anatomi
Kelenjar tiroid terletak dibagian bawah leher, antara fascia koli media dan fascia
prevertebralis. Didalamruang yang sama terletak trakhea, esofagus, pembuluh darah
besar, dan syaraf. Kelenjar tiroid melekat pada trakhea sambil melingkarinya dua pertiga
sampai tiga perempat lingkaran. Keempat kelenjar paratyroid umumnya terletak pada
permukaan belakang kelenjar tiroid.
Tiroid terdiri atas dua lobus, yang dihubungkan oleh istmus dan menutup cincin
trakhea 2 dan 3. Kapsul fibrosa menggantungkan kelenjar ini pada fasia pretrakhea
sehingga pada setiap gerakan menelan selalu diikuti dengan terangkatnya kelenjar kearah
kranial. Sifat ini digunakan dalam klinik untuk menentukan apakah suatu bentukan di
leher berhubungan dengan kelenjar tiroid atau tidak.
Vaskularisasi kelenjar tiroid berasal dari a. Tiroidea Superior (cabang dari a.
Karotis Eksterna) dan a. Tyroidea Inferior (cabang a. Subklavia). Setiap folikel limfoid
diselubungi oleh jala-jala kapiler, dan jala-jala limfatik, sedangkan sistem venanya
berasal dari pleksus perifolikular.
Nodus Limfatikus tiroid berhubungan secara bebas dengan pleksus trakhealis
yang kemudian ke arah nodus prelaring yang tepat di atas istmus, dan ke nl. Pretrakhealis
dan nl. Paratrakhealis, sebagian lagi bermuara ke nl. Brakhiosefalika dan ada yang
langsung ke duktus thoraksikus. Hubungan ini penting untuk menduga penyebaran
keganasan.

9
IV. Histologi kelenjar Tyroid
Pada usia dewasa berat kelenjar ini kira-kira 20 gram. Secara mikroskopis
terdiri atas banyak folikel yang berbentuk bundar dengan diameter antara 50-500 µm.
Dinding folikel terdiri dari selapis sel epitel tunggal dengan puncak menghadap ke
dalam lumen, sedangkan basisnya menghadap ke arah membran basalis. Folikel ini
berkelompok sebanyak kira-kira 40 buah untuk membentuk lobulus yang mendapat
vaskularisasi dari end entry. Setiap folikel berisi cairan pekat, koloid sebagian besar
terdiri atas protein, khususnya protein thyroglobulin.

10
V. Fisiologi Hormon Tyroid

Kelenjar tyroid menghasilkan hormon tyroid utama yaitu Tiroksin (T4). Bentuk
aktif hormon ini adalah Triodotironin (T3), yang sebagian besar berasal dari konversi
hormon T4 di perifer, dan sebagian kecil langsung dibentuk oleh kelenjar tyroid. Iodida
inorganik yang diserap dari saluran cerna merupakan bahan baku hormon tyroid.
Kelenjar ini tersusun dari zat hasil sekresi bernama koloid yang tersimpan dalam folikel
tertutup yang dibatasi oleh sel epitel kuboid. Koloid ini tersusun atas tiroglobulin yang

11
akan dipecah menjadi hormon tiroid (T3 dan T4) oleh enzim endopeptidase. Kemudian
hormon ini akan disekresikan ke sirkulasi darah untuk kemudian dapat berefek pada
organ target.
Mekanisme sekresi hormon tiroid sendiri diatur oleh suatu axis
hipothalamushipofisis-tiroid. Hipotalamus akan mensekresikan Thyroid Releasing
Hormon (TRH) yang akan merangsang hipofisis untuk mengeluarkan Thyroid
Stimulating Hormon (TSH). Kemudian TSH merangsang kelenjar tiroid untuk
memproduksi hormon tiroid. Hormon tiroid terutama dalam bentuk T3 dan T4.
Pembentukan dan Sekresi Hormon Tiroid Ada 7 tahap, yaitu:
1. Trapping
Proses ini terjadi melalui aktivitas pompa iodida yang terdapat pada bagian
basal sel folikel. Dimana dalam keadaan basal, sel tetap berhubungan dengan
pompa Na/K tetapi belum dalam keadaan aktif. Pompa iodida ini bersifat energy
dependent dan membutuhkan ATP. Daya pemekatan konsentrasi iodida oleh
pompa ini dapat mencapai 20-100 kali kadar dalam serum darah. Pompa Na/K yang
menjadi perantara dalam transport aktif iodida ini dirangsang oleh TSH.
2. Oksidasi
Sebelum iodida dapat digunakan dalam sintesis hormon, iodida tersebut harus
dioksidasi terlebih dahulu menjadi bentuk aktif oleh suatu enzim peroksidase.
Bentuk aktif ini adalah iodium. Iodium ini kemudian akan bergabung dengan residu
tirosin membentuk monoiodotirosin yang telah ada dan terikat pada molekul
tiroglobulin (proses iodinasi). Iodinasi tiroglobulin ini dipengaruhi oleh kadar
iodium dalam plasma. Sehingga makin tinggi kadar iodium intrasel maka akan
makin banyak pula iodium yang terikat sebaliknya makin sedikit iodium di intra
sel, iodium yang terikat akan berkurang sehingga pembentukan T3 akan lebih
banyak daripada T4.
3. Coupling
Dalam molekul tiroglobulin, monoiodotirosin (MIT) dan diiodotirosin (DIT)
yang terbentuk dari proses iodinasi akan saling bergandengan (coupling) sehingga
akan membentuk triiodotironin (T3) dan tiroksin (T4). Komponen tiroglobulin
beserta tirosin dan iodium ini disintesis dalam koloid melalui iodinasi dan
kondensasi molekul tirosin yang terikat pada ikatan di dalam tiroglobulin.
Tiroglobulin dibentuk oleh sel-sel tiroid dan dikeluarkan ke dalam koloid melalui
proses eksositosis granula.
12
4. Penimbunan (storage)
Produk yang telah terbentuk melalui proses coupling tersebut kemudian akan
disimpan di dalam koloid. Tiroglobulin (dimana di dalamnya mengandung T3 dan
T4), baru akan dikeluarkan apabila ada stimulasi TSH.
5. Deiodinasi
Proses coupling yang terjadi juga menyisakan ikatan iodotirosin. Residu ini
kemudian akan mengalami deiodinasi menjadi tiroglobulin dan residu tirosin serta
iodida. Deiodinasi ini dimaksudkan untuk lebih menghemat pemakaian iodium.
6. Proteolisis
TSH yang diproduksi oleh hipofisis anterior akan merangsang pembentukan
vesikel yang di dalamnya mengandung tiroglobulin. Atas pengaruh TSH, lisosom
akan mendekati tetes koloid dan mengaktifkan enzim protease yang menyebabkan
pelepasan T3 dan T4 serta deiodinasi MIT dan DIT.
7. Pengeluaran hormon dari kelenjar tiroid (releasing)
Proses ini dipengaruhi TSH. Hormon tiroid ini melewati membran basal dan
kemudian ditangkap oleh protein pembawa yang telah tersedia di sirkulasi darah
yaitu Thyroid Binding Protein (TBP) dan Thyroid Binding Pre Albumin (TBPA).
Hanya 0,35% dari T4 total dan 0,25% dari T3 total yang berada dalam keadaan
bebas. Ikatan T3 dengan TBP kurang kuat daripada ikatan T4 dengan TBP. Pada
keadaan normal kadar T3 dan T4 total menggambarkan kadar hormon bebas.
Namun dalam keadaan tertentu jumlah protein pengikat bisa berubah. Pada seorang
lansia yang mendapatkan kortikosteroid untuk terapi suatu penyakit kronik
cenderung mengalami penurunan kadar T3 dan T4 bebas karena jumlah protein
pembawa yang meningkat. Sebaliknya pada seorang lansia yang menderita
pemyakit ginjal dan hati yang kronik maka kadar protein binding akan berkurang
sehingga kadar T3 dan T4 bebas akan meningkat.

VI. Metabolisme T3 dan T4


Waktu paruh T4 di plasma ialah 6 hari sedangkan T3 24-30 jam. Sebagian T4
endogen (5-17%) mengalami konversi lewat proses monodeiodonasi menjadi T3.
Jaringan yang mempunyai kapasitas mengadakan perubahan ini ialah jaringan hati,
ginjal, jantung dan hipofisis. Dalam proses konversi ini terbentuk juga rT3 (reversed
T3, 3,3’,5’ triiodotironin) yang tidak aktif, yang digunakan mengatur metabolisme pada
tingkat seluler.
13
VII. Pengaturan Faal
Ada 4 macam kontrol terhadap faal kelenjar tiroid :

1. TRH (Thyrotrophin releasing hormone)

Tripeptida yang disentesis oleh hpothalamus. Merangsang hipofisis mensekresi


TSH (thyroid stimulating hormone) yang selanjutnya kelenjar tiroid teransang
menjadi hiperplasi dan hiperfungsi.

2. TSH (thyroid stimulating hormone)

Glikoprotein yang terbentuk oleh dua sub unit (alfa dan beta). Dalam sirkulasi
akan meningkatkan reseptor di permukaan sel tiroid (TSH-reseptor-TSH-R) dan
terjadi efek hormonal yaitu produksi hormon meningkat.

3. Umpan Balik sekresi hormon (negative feedback)

Kedua hormon (T3 dan T4) ini mempunyai umpan balik di tingkat hipofisis.
Khususnya hormon bebas. T3 disamping berefek pada hipofisis juga pada tingkat
hipotalamus. Sedangkan T4 akan mengurangi kepekaan hipofisis terhadap
rangsangan TSH.

4. Pengaturan di tingkat kelenjar tiroid sendiri.

Produksi hormon juga diatur oleh kadar iodium intra tiroid

Efek metabolisme Hormon Tyroid :

1. Kalorigenik
2. Termoregulasi
3. Metabolisme protein. Dalam dosis fisiologis kerjanya bersifat
anabolik, tetapi dalam dosis besar bersifat katabolik
4. Metabolisme karbohidrat. Bersifat diabetogenik, karena resorbsi
intestinal meningkat, cadangan glikogen hati menipis, demikian pula

14
glikogen otot menipis pada dosis farmakologis tinggi dan degenarasi
insulin meningkat.
5. Metabolisme lipid. T4 mempercepat sintesis kolesterol, tetapi proses
degradasi kolesterol dan ekspresinya lewat empedu ternyata jauh
lebih cepat, sehingga pada hiperfungsi tiroid kadar kolesterol rendah.
Sebaliknya pada hipotiroidisme kolesterol total, kolesterol ester dan
fosfolipid meningkat.
6. Vitamin A. Konversi provitamin A menjadi vitamin A di hati
memerlukan hormon tiroid. Sehingga pada hipotiroidisme dapat
dijumpai karotenemia.
7. Lain-lain : gangguan metabolisme kreatin fosfat menyebabkan
miopati, tonus traktus gastrointestinal meninggi, hiperperistaltik
sehingga terjadi diare, gangguan faal hati, anemia defesiensi besi dan
hipotiroidisme.

15
VIII. Klasifikasi Struma
Menurut American society for Study of Goiter membagi:
1. Struma Non Toxic Diffusa: dapat disebabkan oleh defisiensi Iodium, Autoimmun
thyroiditis (Hashimoto atau postpartum thyroiditis), kelebihan iodium (efek Wolff-
Chaikoff) atau ingesti lithium, dengan penurunan pelepasan hormon tiroid,
stimulasi reseptor TSH oleh TSH dari tumor hipofisis, resistensi hipofisis terhadap
hormo tiroid, gonadotropin, dan/atau tiroid-stimulating immunoglobulin, Inborn
errors metabolisme yang menyebabkan kerusakan dalam biosynthesis hormon
tiroid, terpapar radiasi, penyakit deposisi, resistensi hormon tiroid, Tiroiditis
Subakut (de Quervain thyroiditis), Silent thyroiditis, agen-agen infeksi, Suppuratif
Akut (bacterial), Kronik (mycobacteria, fungal, dan penyakit granulomatosa
parasite), keganasan Tiroid.
2. Struma Non Toxic Nodusa: pembesaran dari kelenjar tiroid yang berbatas jelas
tanpa gejala-gejala hipertiroid. Penyebab paling banyak dari struma non toxic
adalah kekurangan iodium.
3. Stuma Toxic Diffusa: Yang termasuk dalam struma toxic difusa adalah grave
desease, yang merupakan penyakit autoimun yang masih belum diketahui
penyebab pastinya.
4. Struma Toxic Nodusa: Disebabkan oleh defisiensi iodium yang mengakibatkan
penurunan level T4, aktivasi reseptor TSH, mutasi somatik reseptor TSH dan
Protein G, mediator-mediator pertumbuhan termasuk : Endothelin-1 (ET-1),
insulin like growth factor-1, epidermal growth factor, dan fibroblast growth factor.

16
BAB III
PEMBAHASAN

STRUMA NODUSA NON TOXIC

I. Definisi
Struma non toksik adalah pembesaran kelenjar tiroid pada pasien eutiroid, tidak
berhubungan dengan neoplastik atau proses inflamasi. Dapat difus dan simetri atau
nodular.
Apabila dalam pemeriksaan kelenjar tiroid teraba suatu nodul, maka
pembesaran ini disebut struma nodosa. Struma nodosa tanpa disertai tanda-tanda
hipertiroidisme disebut struma nodosa non-toksik. Struma nodosa atau adenomatosa
terutama ditemukan di daerah pegunungan karena defisiensi iodium. Biasanya tiroid
sudah mulai membesar pada usia muda dan berkembang menjadi multinodular pada
saat dewasa. Struma multinodosa terjadi pada wanita usia lanjut dan perubahan yang
terdapat pada kelenjar berupa hiperplasi sampai bentuk involusi. Kebanyakan penderita
struma nodosa tidak mengalami keluhan karena tidak ada hipotiroidisme atau
hipertiroidisme. Nodul mungkin tunggal tetapi kebanyakan berkembang menjadi
multinoduler yang tidak berfungsi. Degenerasi jaringan menyebabkan kista atau
adenoma. Karena pertumbuhannya sering berangsur-angsur, struma dapat menjadi
besar tanpa gejala kecuali benjolan di leher. Walaupun sebagian struma nodosa tidak
mengganggu pernapasan karena menonjol ke depan, sebagian lain dapat menyebabkan
penyempitan trakea jika pembesarannya bilateral. Pendorongan bilateral demikian
dapat dicitrakan dengan foto Roentgen polos (trakea pedang). Penyempitan yang berarti
menyebabkan gangguan pernapasan sampai akhirnya terjadi dispnea dengan stridor
inspirator.

II. Etiologi
Penyebab paling banyak dari struma non toxic adalah kekurangan iodium. Akan
tetapi pasien dengan pembentukan struma yang sporadis, penyebabnya belum
diketahui. Struma non toxic disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:
1. Kekurangan iodium: Pembentukan struma terjadi pada defisiensi sedang yodium
yang kurang dari 50 mcg/d. Sedangkan defisiensi berat iodium adalah kurang dari
25 mcg/d dihubungkan dengan hypothyroidism dan cretinism.
17
2. Kelebihan yodium: jarang dan pada umumnya terjadi pada preexisting penyakit
tiroid autoimun
3. Goitrogen:
a. Obat: Propylthiouracil, litium, phenylbutazone, aminoglutethimide,
expectorants yang mengandung yodium
b. Agen lingkungan: Phenolic dan phthalate ester derivative dan resorcinol
berasal dari tambang batu dan batubara.
c. Makanan, Sayur-Mayur jenis Brassica (misalnya, kubis, lobak cina, brussels
kecambah), padi-padian millet, singkong, dan goitrin dalam rumput liar.
4. Dishormonogenesis: Kerusakan dalam jalur biosynthetic hormon kelejar tiroid
5. Riwayat radiasi kepala dan leher: Riwayat radiasi selama masa kanak-kanak
mengakibatkan nodul benigna dan maligna.

III. Patofisiologi
Defisiensi dalam sintesis atau uptake hormon tiroid akan menyebabkan
peningkatan produksi TSH. Peningkatan TSH menyebabkan peningkatan jumlah dan
hiperplasi sel kelenjar tyroid untuk menormalisir level hormon tiroid. Jika proses ini
terus menerus, akan terbentuk struma. Penyebab defisiensi hormon tiroid termasuk
inborn error sintesis hormon tiroid, defisiensi iodida dan goitrogen. Struma mungkin
bisa diakibatkan oleh sejumlah reseptor agonis TSH. Yang termasuk stimulator reseptor
TSH adalah reseptor antibodi TSH, kelenjar hipofise yang resisten terhadap hormon
tiroid, adenoma di hipotalamus atau di kelenjar hipofise, dan tumor yang memproduksi
human chorionic gonadotropin.

18
IV. Klasifikasi
Struma nodosa dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal :
1. Berdasarkan jumlah nodul: bila jumlah nodul hanya satu disebut struma nodosa
soliter (uninodosa) dan bila lebih dari satu disebut multinodosa.
2. Berdasarkan kemampuan menangkap yodium radioaktif: nodul dingin, nodul
hangat, dan nodul panas.
3. Berdasarkan konsistensinya: nodul lunak, kistik, keras, atau sangat keras.

19
V. Manifestasi klinis
Pada umumnya pasien struma nodosa datang berobat karena keluhan kosmetik
atau ketakutan akan keganasan. Sebagian kecil pasien, khususnya yang dengan struma
nodosa besar, mengeluh adanya gejala mekanis, yaitu penekanan pada esophagus
(disfagia) atau trakea (sesak napas). Gejala penekanan ini data juga oleh tiroiditis kronis
karena konsistensinya yang keras. Biasanya tidak disertai rasa nyeri kecuali bila timbul
perdarahan di dalam nodul.Keganasan tiroid yang infiltrasi nervus rekurens
menyebabkan terjadinya suara parau.
Kadang-kadang penderita datang dengan karena adanya benjolan pada leher
sebelah lateral atas yang ternyata adalah metastase karsinoma tiroid pada kelenjar getah
bening, sedangkan tumor primernya sendiri ukurannya masih kecil. Atau penderita
datang karena benjolan di kepala yang ternyata suatu metastase karsinoma tiroid pada
kranium.

VI. Diagnosis
Anamnesa dilakukan untuk mengetahui patogenesis atau macam kelainan dari
struma nodosa non toksika tersebut. Perlu ditanyakan apakah penderita dari daerah
endemis dan banyak tetangga yang sakit seperti penderita (struma endemik). Apakah
sebelumnya penderita pernah mengalami sakit leher bagian depan bawah disertai
peningkatan suhu tubuh (tiroiditis kronis). Apakah ada yang meninggal akibat penyakit
yang sama dengan penderita (karsinoma tiroid tipe meduler).
Pada status lokalis pemeriksaan fisik perlu dinilai:
A. Inspeksi
Inspeksi dilakukan oleh pemeriksa yang berada di depan penderita yang berada
pada posisi duduk dengan kepala sedikit fleksi atau leher sedikit terbuka. Jika terdapat
pembengkakan atau nodul, perlu diperhatikan beberapa komponen yaitu lokasi, ukuran,
jumlah nodul, bentuk (diffus atau noduler kecil), gerakan pada saat pasien diminta
untuk menelan dan pulpasi pada permukaan pembengkakan. hiperemis, adanya
gambaran seperti kulit jeruk, ulserasi.
B. Palpasi
Pemeriksaan dengan metode palpasi dimana pasien diminta untuk duduk, leher
dalam posisi fleksi. Pemeriksa berdiri di belakang pasien dan meraba tiroid dengan
menggunakan ibu jari kedua tangan pada tengkuk penderita. Yang diperiksa adalah
jumlah nodul, konsistensi, nyeri pada penekanan : ada atau tidak, pembesaran gelenjar
20
getah bening, ukuran (diameter terbesar dari benjolan, nyatakan dalam sentimeter),
mobilitas, infiltrat terhadap kulit/jaringan sekitar, apakah batas bawah benjolan dapat
diraba (bila tak teraba mungkin ada bagian yang masuk ke retrosternal)

Dikenal beberapa morfologi (konsistensi) berdasarkan gambaran makroskopis


yang diketahui dengan palpasi atau auskultasi :
1. Bentuk kista : Struma kistik
 Mengenai 1 lobus
 Bulat, batas tegas, permukaan licin, sebesar kepalan
 Kadang Multilobaris
 Fluktuasi (+)
2. Bentuk Noduler : Struma nodusa
 Batas Jelas
 Konsistensi kenyal sampai keras
 Bila keras curiga neoplasma, umumnya berupa adenocarcinoma
tiroidea
3. Bentuk diffusa : Struma diffusa
 Batas tidak jelas
 Konsistensi biasanya kenyal, lebih kearah lembek
4. Bentuk vaskuler : Struma vaskulosa
 Tampak pembuluh darah
 Berdenyut

21
 Auskultasi : Bruit pada neoplasma dan struma vaskulosa
 Kelejar getah bening : Para trakheal dan jugular vein
Dari faalnya struma dibedakan menjadi :
1. Eutiroid
2. Hipotiroid
3. Hipertiroid
Berdasarkan istilah klinis dibedakan menjadi :
1. Nontoksik : eutiroid/hipotiroid
2. Toksik : Hipertiroid
Pemeriksaan Fisik :
Status Generalis :
1. Tekanan darah meningkat
2. Nadi meningkat
3. Mata :
 Exopthalmus
 Stelwag Sign : Jarang berkedip
 Von Graefe Sign : Palpebra superior tidak mengikut bulbus okuli
waktu melihat ke bawah
 Morbus Sign : Sukar konvergensi
 Joffroy Sign : Tidak dapat mengerutkan dahi
 Ressenbach Sign : Temor palpebra jika mata tertutup
4. Hipertroni simpatis : Kulit basah dan dingin, tremor halus
5. Jantung : Takikardi
Status Lokalis :
1. Inspeksi
 Benjolan
 Warna
 Permukaan
 Bergerak waktu menelan
2. Palpasi
 Permukaan, suhu
 Batas :
Atas : Kartilago tiroid

22
Bawah : incisura jugularis
Medial : garis tengah leher
Lateral : M. Sternokleidomastoideus
Pada palpasi harus diperhatikan :
 lokalisasi benjolan terhadap trakea (mengenai lobus kiri, kanan atau
keduanya)
 ukuran (diameter terbesar dari benjolan, nyatakan dalam sentimeter)
 konsistensi
 mobilitas
 infiltrat terhadap kulit/jaringan sekitar
 apakah batas bawah benjolan dapat diraba (bila tak teraba mungkin ada
bagian yang masuk ke retrosternal)
Meskipun keganasan dapat saja terjadi pada nodul yang multiple, namun pada
umumnya pada keganasan nodulnya biasanya soliter dan konsistensinya keras sampai
sangat keras. Yang multiple biasanya tidak ganas kecuali bila salah satu nodul tersebut
lebih menonjol dan lebih keras dari pada yang lainnya.Harus juga diraba kemungkinan
pembesaran kelenjar getah bening leher, umumnya metastase karsinoma tiroid pada
rantai juguler.
Pemeriksaan penunjang meliputi :
1. Tes Fungsi Hormon
Status fungsional kelenjar tiroid dapat dipastikan dengan perantara tes-tes fungsi
tiroid untuk mendiagnosa penyakit tiroid diantaranya kadar total tiroksin dan
triyodotiroin serum diukur dengan radioligand assay. Tiroksin bebas serum mengukur
kadar tiroksin dalam sirkulasi yang secara metabolik aktif. Kadar TSH plasma dapat
diukur dengan assay radioimunometrik. Kadar TSH plasma sensitif dapat dipercaya
sebagai indikator fungsi tiroid. Kadar tinggi pada pasien hipotiroidisme sebaliknya
kadar akan berada di bawah normal pada pasien peningkatan autoimun
(hipertiroidisme). Uji ini dapat digunakan pada awal penilaian pasien yang diduga
memiliki penyakit tiroid. Tes ambilan yodium radioaktif (RAI) digunakan untuk
mengukur kemampuan kelenjar tiroid dalam menangkap dan mengubah yodida.
2. Foto Rontgen leher
Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk melihat struma telah menekan atau
menyumbat trakea (jalan nafas).

23
3. Pemeriksaan sidik tiroid
Hasil pemeriksaan dengan radioisotop adalah teraan ukuran, bentuk lokasi, dan
yang utama ialah fungsi bagian-bagian tiroid. Pada pemeriksaan ini pasien diberi Nal
peroral dan setelah 24 jam secara fotografik ditentukan konsentrasi yodium radioaktif
yang ditangkap oleh tiroid. Dari hasil sidik tiroid dibedakan 3 bentuk:
(a). Nodul dingin bila penangkapan yodium nihil atau kurang dibandingkan
sekitarnya. Hal ini menunjukkan sekitarnya.
(b).Nodul panas bila penangkapan yodium lebih banyak dari pada
sekitarnya. Keadaan ini memperlihatkan aktivitas yang berlebih.
(c). Nodul hangat bila penangkapan yodium sama dengan sekitarnya. Ini
berarti fungsi nodul sama dengan bagian tiroid yang lain.
4. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan ini dapat membedakan antara padat, cair, dan beberapa bentuk
kelainan, tetapi belum dapat membedakan dengan pasti ganas atau jinak. Kelainan-
kelainan yang dapat didiagnosis dengan USG: kista, adenoma, kemungkinan
karsinoma, tiroiditis
5. Biopsi aspirasi jarum halus (Fine Needle Aspiration/FNA)
Mempergunakan jarum suntik no. 22-27. Pada kista dapat juga dihisap cairan
secukupnya, sehingga dapat mengecilkan nodul . Dilakukan khusus pada keadaan yang
mencurigakan suatu keganasan. Biopsi aspirasi jarum halus tidak nyeri, hampir tidak
menyababkan bahaya penyebaran sel-sel ganas. Kerugian pemeriksaan ini dapat
memberika hasil negatif palsu karena lokasi biopsi kurang tepat, teknik biopsi kurang
benar, pembuatan preparat yang kurang baik atau positif palsu karena salah interpretasi
oleh ahli sitologi.
6. Termografi
Metode pemeriksaan berdasarkan pengukuran suhu kulit pada suatu tempat
dengan memakai Dynamic Telethermography. Pemeriksaan ini dilakukan khusus pada
keadaan yang mencurigakan suatu keganasan. Hasilnya disebut panas apabila
perbedaan panas dengan sekitarnya > 0,9o C dan dingin apabila <>o C. Pada penelitian
Alves didapatkan bahwa pada yang ganas semua hasilnya panas. Pemeriksaan ini paling
sensitif dan spesifik bila dibanding dengan pemeriksaan lain.

24
7. Petanda Tumor
Pada pemeriksaan ini yang diukur adalah peninggian tiroglobulin (Tg) serum.
Kadar Tg serum normal antara 1,5-3,0 ng/ml, pada kelainan jinak rata-rata 323 ng/ml,
dan pada keganasan rata-rata 424 ng/ml.

VII. Diagnosis Banding


1. Follicular Thyroid Carcinoma
2. Hashimoto Thyroiditis
3. Medullary Thyroid Carcinoma

VIII. Penatalaksanaan
1. Operasi
Sebagian besar gejala pasien ini disebabkan oleh gondok membesar tanpa bukti
hipertiroidisme biokimia. Pada pasien usia lanjut dengan struma nodusa non toksik,
observasi tanpa pengobatan adalah salah satu pilihan yang diterima. Namun, dalam
kasus riwayat gondok yang semakin membesar, perhatian dan perlakuan khusus perlu
dilakukan. Tindakan operasi yang dikerjakan tergantung jumlah lobus tiroid yang
terkena. Bila hanya satu sisi saja dilakukan subtotal lobektomi, sedangkan kedua lobus
terkena dilakukan subtotal tiroidektomi. Bila terdapat pembesaran kelenjar getah
bening leher maka dikerjakan juga deseksi kelenjar leher funsional atau deseksi kelenjar
leher radikal/modifikasi tergantung ada tidaknya ekstensi dan luasnya ekstensi di luar
kelenjar getah bening.
Tiroidektomi aman, cepat mengurangi gejala penekanan, dan meningkatkan fungsi
pernafasan. Komplikasi tiroidektomi seperti cedera saraf laring atau hipoparatiroidisme
yang sangat rendah. Hipotiroidisme pasca operasi dapat dengan mudah dikelola dengan
penggantian T4. Namun, pasien orang tua dengan beberapa kondisi komorbiditas
berisiko tinggi untuk dilakukan pembedahan dan harus dipertimbangkan alternatif non-
bedah.
2. Radioiodida
Pengobatan yodium radioaktif (RAI) pada pasien dengan struma nodusa non toksik
telah menunjukkangejala membaik serta perbaikan fungsi paru karenapengurangan
volume substansial gondok. RAIpaling efektif untuk gondok ukuran kecil - moderat
danalternatif yang baikselain tiroidektomi pada pasien yang sebelumnya dirawat
dengan operasi, bagi mereka yang menolak operasi, atau pasien dengan kondisi yang
25
meningkatkan risikountuk perawatan bedah. RAI sering mengakibatkanpengurangan
signifikanvolume tiroid dalam satu tahun, dengan sekitar60% penurunan volume dalam
5 tahun. Tingkat respon bisa sangat bervariasi, dan 20% mungkintidak merespon sama
sekali. Tampaknya gondok yang sangat besar(> 100mL) tidak merespon.Efek samping
awal RAI termasuk peningkatan akutdalam ukuran gondok, tiroiditis radiasi, atau
hipertiroidisme.
3. Tiroksin (T4)
Terapi penekanan T4 tidak dianjurkan untuk struma nodusa non toksik berukuran
besar. Tampaknya tidak efektif dalam pengurangan gondok yang signifikan pada
kebanyakan pasien serta menyebabkan efek samping. Dampak buruk yang disebabkan
oleh penekanan TSH termasuk kehilangan tulang dan fibrilasi atrium. Hormonal terapi
dengan ekstrak tiroid diberikan selain untuk suplemen juga sebagai supresif untuk
mencegah terjadinya kekambuhan pada pasca bedah karsinoma tiroid diferensiasi baik
(TSH dependence). Terapai supresif ini juga ditujukan terhadap metastase jauh yang
tidak resektabel dan terapi adjuvan pada karsinoma tiroid diferensiasi baik yang
inoperabel.

IX. Komplikasi
Komplikasi dari penyakit struma nodusa non toksik terjadi karena pertumbuhan
dan kompresi struktur leher dan tirotoksikosis.

X. Prognosis
Prognosis baik, biasanya struma nodusa non toksik tumbuh sangat lambat selama
bertahun-tahun. Jika pertumbuhan cepat harus dievaluasi baik untuk degenerasi atau
perdarahan dari nodul atau untuk pertumbuhan neoplasma. Seringkali, pada pasien yang
dengan pertumbuhan gondok progresif, yang mengalami disfagia signifikan atau
dyspnea harus dievaluasi untuk tiroidektomi subtotal. Pada beberapa pasien, terapi
yodium radioaktif dapat dipertimbangkan, terutama jika pasien yang lebih tua.

26
BAB IV
DISKUSI

Dilakukan anamnesis pada pasien perempuan dengan inisial DS usia 33 tahun.


Berdasarkan anamnesis dari pasien didapatkan pasien mengeluh merasa ada benjolan di
leher sebelah kanannya, pasien pasien mengatakan benjolan tersebut sudah sejak kurang
lebih 3 tahun yang lalu. Benjolan dirasakan makin lama makin membesar. Dari anamnesa
tersebut, mengarah pada diagnosis struma.

Dari pemeriksaan fisik didapatkan status generalisata dalam batas normal, tanpa tremor,
tanpa exopthalmus dan ekstremitas tidak tampak keringat yang berlebih. Status lokalis pada
region colli dextra teraba benjolan berukuran 4x3 cm dengan konsistensi kenyal, mobile,
berbatas tegas, dan ikut bergerak saat menelan. Dari pemeriksaan penunjang tidak
didapatkan gangguan pada fungsi tiroid (menyingkirkan dugaan toksik). Penegakan
diagnosa berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
didapatkan diagnosa kerja struma nodusa non toksik.

Penatalaksanaan pada kasus dilakukan dengan operasi lobektomi dextra pada tanggal
19 September 2019 di ruang OK RSUD dr. Soedjono Selong. Operasi berjalan lancar tanpa
hambatan dan memakan waktu sekitar 55 menit. Jaringan struma hasil operasi dikirim untuk
PA demi mengkonfirmasi jinak atau ganasnya jaringan struma tersebut. Follow up pasien
setelah operasi tanggal 19 September 2019 didapatkan pasien mengeluh nyeri pada luka
bekas operasi, tidak ada sesak, tidak ada kesulitan menelan tidak ada suara serak
(menyingkirkan kemungkinan kerusakan pada plika vokalis ataupun pada nervus rekuren
laringeus). Luka ditutup verband dan tampak rembesan darah, serta darah di drainase
sebanyak kurang lebih 200cc/24 jam. Pasien diberikan antibiotic cefotaksim sebanyak 3x1
gram untuk mencegah infeksi, ketorolac 3x30 mg untuk mengurangi nyeri yang dirasakan
dan asam traksenamat 3x50mg untuk mengurangi pendarahan.

Pada tanggal 20 September 2019 keluhan pasien membaik, nyeri dirasakan berkurang.
Pasien sudah bisa mobilisasi dan drain yang dipasang tampak cairan serous (5cc/24 jam),
kemudian dilakukan aff drain. Pasien dipulangkan dengan tambahan obat asam mefenamat
untuk mengurangi nyerinya, digunakan kalau perlu. Selanjutnya pasien diedukasi untuk
menghindari basah di tempat lukanya, kontrol ke poli demi perawatan luka bekas operasi
dan untuk dietnya bebas tinggi kalori tinggi protein agar pemulihan pasien lebih cepat.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. De Jong. W, Sjamsuhidajat. R., 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi. EGC :
Jakarta
2. Sudoyo AW, 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III edisi V. Interna Publishing.
Jakarta
3. Mansjoer A et al (editor). 2001. Struma Nodusa Non Toksik. Kapita Selekta
Kedokteran Jilid 1, Edisi III. Media Esculapius. FKUI: Jakarta
4. Sadler GP., Clark OH., van Heerden JA., Farley DR., 1999., Thyroid and Parathyroid.,
In : Schwartz. SI., et al., 1999., Principles of Surgery. Vol 2., 7th Ed., McGraw-Hill.,
Newyork.
5. Smyth, Peter et al. 2011. Guidelines for the Diagnosis and Management of Thyroid
Nodules. Merck KGaA, Darmstadt: Germany

28

Anda mungkin juga menyukai