FAKULTAS KEDOKTERAN
DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS TADULAKO
REFLEKSI KASUS
Oleh :
SUHERMAN PALELE.,S. KED
N 111 13 066
Pembimbing:
Dr. FERRY LUMINTANG, Sp.An
DIBUAT DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU ANESTESI DAN RE-ANIMASI
RSUD UNDATA - FAKULTAS KEDOKTERAN
DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2015
BAB I
PENDAHULUAN
Pembedahan prostat transuretral (TURP) masih merupakan salah satu terapi
standar dari Hipertropi Prostat Benigna (BPH) yang menimbulkan obstruksi uretra.
Keadaan ini dialami oleh 50% pria yang berusia 60 tahun dan 80% oleh pria yang
berusia 80 tahun. Operasi ini sudah dikerjakan mulai beberapa puluh tahun yang lalu
dan berkembang terus dengan makin majunya peralatan yang dipakai. Terapi ini
semakin populer karena trauma operasi pada TURP jauh lebih rendah. Karena
seringnya tindakan ini dilakuan maka komplikasi tindakan serta pencegahan
komplikasi makin banyak diketahui.
Salah satu komplikasi yang penting dari TURP adalah intoksikasi air dan
hiponatremi dilusional yang disebut Sindroma TURP yang bisa berakhir dengan
kematian. Di tangan para ahli yang berpengalamanpun sindroma TUR dapat terjadi
pada 2% kasus dengan mortalitas yang masih tinggi. Sampai sekarang sindrom TUR
merupakan suatu komplikasi yang sangat menakutkan baik untuk para urolog yang
melakukan operasi maupun para anestesiolog dalam melakukan penegakan diagnosa
sindrom ini dan melakukan intervensi untuk mencegah kematian.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.1.
dan sering lebih kompleks dibandingkan pada pasien yang berusia lebih muda.
Kapasitas fungsional organ berkurang seiring dengan proses penuaan sehingga
mempunyai kerentanan terhadap stress anestesi maupun pembedahan yang dapat
meningkatkan mortalitas dan morbiditas perioperatif. Perubahan fisiologis ketuaan
dapat mempengaruhi hasil operasi tetapi penyakit penyerta lebih berperan sebagai
faktor risiko.
Secara umum pada usia lanjut/ geriatri terjadi penurunan cairan total dan lean
body mass dan juga menurunnya respons regulasi termal, dengan akibat mudah
terjadi intoksikasi obat dan juga mudah terjadi hipotermia.
1.1.1.
Sistem Kardiovaskular
1.1.1.1. Jantung
Pada jantung terjadi proses degeneratif pada sistem hantaran, sehingga dapat
menyebabkan gangguan irama jantung, Katup mitral menebal, compliense ventrikel
berkurang, relaksasi isovolemik memanjang sehingga mengakibatkan gangguan
pengisian ventrikel pada fase diastolik dini mengakibatkan terjadinya hipotensi bila
terjadi dehidrasi, takiaritmia atau vasodilatasi. Compliance arteri berkurang sehingga
Sistem Respirasi
Pada pasien usia lanjut, elastisitas jaringan paru menjadi berkurang,
1.1.3.
glomerular filteration rate (GFR) sebesar 45% pada usia 80 tahun mencerminkan
penurunan bersihan kreatinin sebesar 0,75 ml / menit / tahun.
Penurunan aliran darah ginjal dikaitkan dengan kondisi medis seperti
hipertensi, penyakit pembuluh darah, diabetes, dan penyakit jantung yang dapat
memperburuk efek dari kelainan ginjal. Penurunan aliran darah ini dihubungkan
dengan penurunan respon terhadap stimulus vasodilatasi, sehingga ginjal pada usia
lanjut sangat rentan terhadap efek berbahaya dari penurunan curah jantung, hipotensi,
hipovolemia, dan perdarahan. Stres akibat tindakan anestesi dan pembedahan, nyeri,
stimulasi simpatik, dan obat-obatan vasokonstriksi ginjal dapat berkontribusi untuk
terjadinya disfungsi ginjal perioperatif.
Pada usia lanjut, obat yang bergantung pada fungsi ginjal untuk pembersihan
dapat terakumulasi yang mungkin diperberat oleh penyakit ginjal yang telah ada
sebelumnya. Selain itu usia lanjut cenderung mengalami gangguan keseimbangan
cairan dan elektrolit serta gagal ginjal yang diinduksi oleh obat-obatan.
1.1.5.
Sistem Hepatobilier
Hepar juga dapat dipengaruhi oleh proses penuaan. Karena beberapa obat
anestesi dan nyeri seperti opioid dan tranquilizer disaring dari plasma oleh hepar,
sehingga durasi efek obat tersebut dapat memanjang pada pasien geriatri. Aliran
darah hepar menurun seiring dengan pertambahan usia. Terdapat sedikit perubahan
mikroskopis hepar akibat proses penuaan. Diantaranya perubahan karakteristik
Pada usia sekitar 60 tahun, kebanyakan pria dan wanita mulai mengalami penurunan
berat badan. Pria dan wanita yang berusia lanjut rata-rata memiliki berat yang lebih
rendah dari pada orang yang berusia lebih muda. Penurunan produksi panas,
peningkatkan kehilangan panas, dan pengaturan suhu pada hipotalamus mungkin
diatur pada tingkat yang lebih rendah. Peningkatan resistensi insulin menyebabkan
penurunan secara progresif dalam hal kemampuan untuk menghadapi beban glukosa.
Insiden diabetes meningkat pada orang tua sampai dengan 25% pada pasien yang
berusia lebih dari 80 tahun. Penderita diabetes sering memiliki gangguan
kardiovaskular, ginjal, neurologis dan visual, sehingga memerlukan kontrol kadar
glukosa darah selama periode perioperatif.
1.1.7.
Sistem Muskuloskeletal
Massa otot berkurang seiring dengan bertambahnya usia. Dengan etiologi yang
belum diketahui, sebagian besar kehilangan protein tubuh yang berkaitan dengan
penuaan dikaitkan dengan penurunan 20% dari massa otot rangka yang dikenal
dengan istilah sarcopenia. Penurunan progresif massa otot dan peningkatan lemak
tubuh (terutama pada wanita usia lanjut) menyebabkan penurunan total jumlah cair
tubuh. Hal ini menyebabkan konsentrasi plasma obat-obatan yang larut air dapat lebih
tinggi, sebaliknya konsentrasi plasma obat-obatan larut lemak dapat dapat lebih
rendah.
Kulit mengalami atrofi dan rentan terhadap trauma akibat plester perekat,
bantalan elektrokauter, dan elektroda elektrokardiografi. Dinding vena sering menjadi
rapuh dan mudah ruptur pada saat infus intravena. Atritis sendi dapat mengganggu
pengaturan posisi pasien (misalnya, litotomi) atau anestesi regional (misalnya, blok
subaraknoid). Penyakit degeneratif servikal dapat membatasi ekstensi leher yang
berpotensi membuat intubasi menjadi sulit.
1.2.
Pada usia lanjut sebagian pria akan mengalami pembesaran kelenjar prostat
akibat hiperplasia jinak sehingga dapat menyumbat uretra posterior (pars prostatika)
dan mengakibatkan terjadinya obstruksi saluran kemih (terhambatnya aliran urin
keluar dari buli-buli). Menurut WHO data pada tahun 2000 menunjukan 600 juta
penderita BPH 400 juta pada Negara Industri dan 200 juta di Negara Berkembang.
Pada dekade ke 5 risiko terjadinya BPH sekitar 50%, dekade 6 60 %, dekade ke 7
70% dan pada dekade ke 8 yaitu 90%.
Di RS. Sardjito. Yogyakarta BPH ini merupakan kasus urologi terbanyak ke 2
setelah urolithiasis, dimana usia terbanyak yaitu antara 60-70 tahun dan sekitar 75 %
pasien masuk dengan retensio urin
Pertumbuhan kelenjar ini tergantung pada hormon testoteron yang di dalam sel
kelenjar prostat hormon ini dirubah menjadi metabolit aktif dihidrotestoteron (DHT)
dengan bantuan enzim 5 alfa reduktase. Dihidrotestoteron inilah yang secara langsung
memacu m-RNA di dalam growth factor yang memacu pertumbuhan dan proliferasi
sel kelenjar prostat.
1.2.1.
Patofisiologi
1.2.2.
Diagnosis
Pada pemeriksaan fisis mungkin didapatkan buli-buli yang terisi penuh dan
teraba masa kistus di daerah supra simfisis akibat retensi urin. Colok dubur pada
pembesaran prostat benigna menunjukkan konsistensi prostat kenyal seperti meraba
ujung hidung, lobus kanan dan kiri simetris dan tidak didapatkan nodul.
1.2.2.3. Pemeriksaan Penunjang
a) Laboratorium
Sedimen urin
Kultur urin
Fungsi ginjal
Gula darah
Penanda tumor: PSA
b) Pencitraan
Foto polos abdomen
Itravenous Urography (IVU)
Trans Abdominal Ultrasonography (TAUS)
c) Pemeriksaan Lainnya
Residual urin
Pancaran urin (flow rate)
Uroflometri
1.2.3. Penatalaksanaan
Tabel 1. Pilihan Terapi pada Hiperplasia Prostat Benigna
OBSERVASI
MEDIKAMENTOSA
PEMBEDAHAN
INVASIF
MINIMAL
Menunggu
Penghambat
Prostatektomi
terbuka
adrenergik alfa
Penghambat
reduktase alfa
Fitoterapi
Hormonal
(Watchful
Waiting)
Endourologi:
TUR-P
TUIP
TULP
Elektrovaporisasi
TUMT
TUBD
Stent uretra
TUNA
infus normosalin mungkin sudah cukup. Tindakan ini akan menurunkan kelebihan
beban cairan melalui diuresis dan menjaga kadar Na dalam batas normal. Pemberian
furosemid sebaiknya dimulai selama pasien masih di dalam kamar operasi.
Pada kasus hiponatremi berat diberikan infus 3% saline sebanyak 150-200 cc
dalam waktu 1-2 jam. Tindakan ini harus selalu disertai furosemid intravena, terutama
pada pasien dengan risiko terjadinya payah jantung kongestif. Pemberian hipertonik
saline ini dapat diulangi bila perlu. Selama pemberian saline hipertonik, kadar
elektrolit harus diperikasa tiap 2-4 jam untuk mencegah terjadinya hipernatremia.
Pada penderita hiponatremia yang menunjukkan gejala, dapat dihilangkan
dengan peningkatan kadar natrium 4-6 meq/liter saja. Dalam 12-24 jam pertama,
hanya setengah dari kekurangan kadar natrium yang perlu diatasi dengan pemberian
saline 3%. Pemberian saline 3% sebaiknya segera digantikan dengan normal saline.
Dianjurkan untuk menaikkan kadar natrium secara perlahan.
Bila terjadi udem paru-paru, harus dilakukan intubasi trakeal dan ventilasi
tekanan positif dengan menggunakan oksigen 100%. Bila terjadi kehilangan darah
yang banyak maka transfusi dilakukan dengan menggunakan Packed Red Cells
(PRC).
Untuk mengurangi risiko timbulnya sindroma TURP, operator harus membatasi
diri untuk tidak melakukan reseksi lebih dari 1 jam. Penggunaan cairan non ionik
selain H2O yaitu glisin yang dapat mengurangi risiko hiponatremia pada TURP.
Selain sindroma TURP, terdapat beberapa penyulit yang bisa terjadi pada saat operasi,
pasca bedah dini, maupun pasca bedah lanjut, yaitu:
Tabel 2. Penyulit TURP
SELAMA OPERASI PASCA BEDAH DINI
Perdarahan
Perdarahan
Sindroma TURP Infeksi
lokal
atau
Perforasi
sistemik
BAB III
KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama
: Tn. S
Umur
: 66 tahun
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Agama
: Islam
Tanggal Masuk RS
: 22 Oktober 2015
ANAMNESIS
Riwayat Penyakit Sekarang
Keluhan Utama
Anamnesis Terpimpin :
Pasien baru masuk kiriman dari poli undata dengan TURP prostat masuk dengan
keluhan susah buang air kecil yang dialami sejak kurang lebih 4 bulan yang lalu, dan
menegeluhkan biasanya tidak puas saat buang air kecil, tidak ada demam, tidak ada
mual dan tidak ada muntah.
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum
: Sakit sedang
Tingkat Kesadaran
: Kompos mentis
Berat badan
: 61 kg
Tanda-tanda Vital
Tekanan Darah
: 150/80 mmHg
Nadi
: 88 kali/menit
Respirasi
: 18 kali/menit
Suhu
: 36.6C
Kepala-Leher
Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterus (-/-), perbesaran KGB (-)
Thoraks
Pergerakan dinding dada simetris (kanan=kiri), tidak teraba massa dan nyeri
tekan, bunyi pernapasan (vesikuler), bunyi tambahan pernapasan : wheezing
(-/-), ronkhi(-/-), bunyi jantung I&II (murni regular), bunyi tambahan jantung :
murmur (-).
Abdomen
Tampak datar, peristaltik (+) kesan normal, timpani, nyeri tekan (-).
Ekstremitas
Atas
DIAGNOSIS
BPH + LUTS berat
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah Rutin
WBC
:7.4 (4.8-10.8)
CT
: 6 30 (4-10)
Hb
BT
: 300 (1-5)
PLT
HCT
: 38.4 % (37-47)
Kimia Darah
GDS
HbsAg (negatif)
Elektrolit Darah
Natrium : 132 mmol/L (135-145)
Kalium : 3.5 mmol/L (3.5-5.3)
Klorida : 105 mmol/L (95-105)
PENATALAKSANAAN
Siap darah PRC 1 kantung
Rontgen thorax
Konsul kardio
Konsul anestesi
Antibiotik pre operasi : ceftriaxone 1 gr
Rencana TUR-Prostat tanggal 26-10-2015.
BAGIAN ANESTESI
Nama
: Tn. S
Status Fisik
:3
Umur
: 66 tahun
Tanggal
: 26 Oktober 2015
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Dokter Bedah
Dokter
Diagnosis
Jenis Anestesi
Tindakan
: TUR-Prostat
Anestesi
dr.
Ferry
Lumintang, Sp. An
Premedikasi
Ondasentron 4 mg
Dexamethason 5 mg
: Regional
Obat Anestesi
: Decain Spinal
Posisi
:LLD
Medikasi
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien laki-laki berusia 66 tahun masuk kiriman dari poli undata yang direncanakan
TURP prostat masuk dengan keluhan susah buang air kecil yang dialami sejak
kurang lebih 4 bulan yang lalu, dan menegeluhkan biasanya tidak puas saat buang air
kecil, tidak ada demam, tidak ada mual dan tidak ada muntah.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum: sakit sedang, tingkat
kesadaran: kompos mentis, berat badan: 61 kg, tekanan darah: 150/80 mmHg, nadi:
88 kali/menit, respirasi: 18 kali/menit, suhu: 36.6C, pemeriksaan colok dubur
didapatkan hasil: konsistensi prostat kenyal dan tidak teraba nodul. Pemeriksaan
penunjang berupa kimia darah didapatkan hasil GDS: 115 mg/dl (N), ureum: 54
mg/dl (N), dan kreatinin: 3.6 mg/dl (N).
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik tersebut maka pasien dalam
kasus ini didiagnosis dengan hiperplasia prostat benigna dan LUTS berat. Pada kasus
ini pemeriksaan tambahan yang dilakukan untuk menunjang diagnosis berupa
pemeriksaan kimia darah yaitu fungsi ginjal untuk mencari kemungkinan adanya
penyulit yang mengenai saluran kemih bagian atas, serta pemeriksaan gula darah
untuk mencari kemungkinan adanya penyakit diabetes melitus yang dapat
menimbulkan kelainan persarafan pada vesika urinari. Dari hasil pemeriksaan kimia
darah tersebut diketahui bahwa terjadi peningkatan terhadap kadar kreatinin yang
dapat mengindikasikan adanya suatu penyulit pada saluran kemih bagian atas. Oleh
karena itu, diperlukan pemeriksaan penunjang lainnya berupa foto polos abdomen
atau pemeriksaan USG trans abdominal atau pemeriksaan IVU untuk mengetahui
kemungkinan adanya kelainan pada ginjal berupa hidronefosis.
Pada penatalaksanaan sebelum dilakukannya tindakan operasi, pasien diberikan
obat berupa antibiotic seftriakson 1 g dan persiapan darah. Seftriakson digunakan
sebagai profilaksis karena pada 30% penderita yang dilakukan TURP sudah terjadi
infeksi sebelum operasi. Bila sinus vena prostat terbuka sebelum operasi dan
dilakukan irigasi dengan tekanan tinggi maka kuman bisa masuk ke dalam peredaran
darah dan terjadi bakteremia. Bakteremia tersebut memiliki risiko untuk terjadinya
sepsis.
Pada tanggal 26 Juni 2014 dilakukan tindakan TURP pada pasien dalam kasus
ini. Jenis anestesi yang digunakan berupa anestesi regional dengan pemberian obat
Bupivacaine (Buvanest). Diberikan premedikasi yaitu Ondasentron 4 mg dan
Dexamethasone 5 mg pada pasien. Untuk medikasi, pasien mendapatkan Efedrin
5mg + 5mg , furosemid 20 mg, dan tranexide 250 mg dan ketorolac 30 mg.
Digunakan anestesi regional pada kasus ini karena merupakan suatu teknik
anestesi untuk anggota/daerah tubuh tertentu dalam kasus ini ialah prostat.
Keuntungan dilakukan anestesi regional yaitu pasien dapat tetap sadar sehingga jika
terjadi sindroma TURP maka manifestasi klinik dapat segera diketahui karena pada
anestesi umum gejala pada SSP tidak terlihat hingga pasien dibawa ke ruang
pemulihan dan gejala respirasi biasanya terselubung oleh ventilasi bantuan atau
ventilasi terkontrol dan oksigen konsentrasi tinggi yang digunakan selama anestesi.
Terdapat dua golongan obat anestesi regional yaitu golongan ester dan amide.
Obat anestesi yang digunakan berupa buvipacaine yang merupakan golongan amide.
Obat-obatan golongan amide mempunyai keunggulan dibandingan obat golongan
ester yaitu lebih stabil, dimetabolisme dalam hati dimana hasil hidrolisisnya tidak
menghasilkan PABA yang dapat menimbulkan reaksi alergi, serta masa kerja panjang
yang merupakan suatu keunggulan karena pada operasi TURP diperlukan waktu yang
cukup lama (< 1 jam). Buvipacaine memiliki onset anestesi yang lebih lama akan
tetapi durasi kerja obat lebih lama (2-3 kali) dibandingkan obat golongan amide
lainnya.
Pasien usia lanjut memerlukan dosis obat-obatan premedikasi yang lebih
rendah. Premedikasi pada pasien ini yaitu ondansentron 4mg dimana pemberian obat
ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya mual dan muntah pasca operasi,
sementara untuk pemberian dexamethasone selain untuk menjaga jalan nafas pada
saat dan setelah operasi sebab sebagaimana dalam teori Pada pasien usia lanjut,
Pada kasus ini, pasien medapatkan obat medikasi berupa efedrin karena pada
saat operasi dimenit ke 45 terjadi penurunan tekanan sistolik < 100 dan diastolik < 60
tetapi tidak disertai dengan penurunan denyut nadi (bradikardi), sebab efedrin sendiri
baik pada anestesi spinal dimana efedrin berguna untuk meningkatkan tekanan darah
dan cardiac output biasanya diberikan apabila terjadi penurunan tekanan darah > 20
%. Sedangkan pemberian furosemid pada kasus ini bertujuan untuk mencegah
terjadinya overload cairan akibat penggunaan cairan irigasi. Ketorolac dalam hal ini
berfungsi sebagai analgetik serta tranexide berfungsi untuk mengurangi terjadi
perdarahan yang dapat menggangu proses TURP selama berlangsungnya operasi.
Selama operasi pasien mendapatkan terapi cairan berupa cairan RL sebanyak 2
kolf. Tidak digunakan cairan normosalin karena pada pasien dalam kasus ini tidak
terjadi kekurangan natrium yang terlalu signifikan sebelum tindakan operasi
dilaksanakan selain itu pemberian cairan normosalin dapat mengakibatkan kelebihan
cairan dalam darah walaupan normosalin sendiri dapat mengganti kadar Na yang
hilang selama proses pembedahan.