Anda di halaman 1dari 18

PENDAHULUAN

Lebih dari tiga puluh tahun, regional anestesi semakin berkembang dan menjadi
teknik yang banyak dipakai untuk manajemen nyeri. Teknik regional anestesi adalah salah
satu teknik yang digunakan dalam manajemen anestesi selain general anestesi. Teknik ini
dibagi 2 yaitu blok neuroaksial (sub arachnoid, epidural dan kaudal blok) dan blok perifer.
Masing-masing blok dapat dilakukan dengan injeksi tunggal atau dengan kateter untuk
memberikan bolus atau infus secara kontinu. Regional anestesi menjadi alternatif pilihan
selain general anestesi. Dapat juga digunakan bersamaan dengan general anestesi atau untuk
analgesia post operatif dan untuk manajemen gangguan nyeri akut atau kronis. Penggunaan
teknik regional anestesi pada pediatrik dapat menurunkan respon stres hormon terhadap
nyeri, dimana pediatrik respon nyerinya tiga sampai lima kali dewasa (Morgan, 2006).
Penggunaan teknik regional anestesi meningkat tajam dari tahun ke tahun.
Bagaimanapun pada anak-anak, blok yang sama terkadang cenderung jarang digunakan. Hal
ini berkaitan dengan ditakutkan terjadinya komplikasi neurologi dan kurangnya pengalaman.
Sebuah studi di Perancis mendemonstrasikan tidak ada kejadian komplikasi pada regional
anestesi yang dilakukan di bawah pengaruh anestesi umum. Keuntungannya, anak bangun
saat selesai operasi lebih nyaman (Larkin, 2009). Blok kaudal merupakan salah satu dari
teknik anestesi regional yang dapat digunakan pada semua golongan umur. Umumnya
digunakan pada anak-anak karena teknik ini relatif gampang dan aman. Blok kaudal pada
pediatrik adalah teknik anestesi yang digunakan pada pasien yang sadar atau dikombinasi
dengan anestesi umum untuk digunakan selama operasi dan setelah operasi yang bertujuan
untuk menghasilkan pulih sadar tanpa rasa sakit dan pemulihan yang lebih cepat
(Sanders,2002).
Blok kaudal injeksi juga mempunyai kelemahan yaitu adalah singkatnya analgesia
yang dihasilkan, meskipun dengan menggunakan anestesi lokal yang berdurasi lama.
Bupivacain hanya menghasilkan analgesia selama 4 – 8 jam. Teknik kaudal analgesia dapat
dimodifikasi untuk memperpanjang efek analgesia sampai beberapa waktu pasca operasi
dengan menggunakan kaudal kateter kontinyu ataupun penambahan obat adjuvan untuk
mendapatkan efek sinergis analgesia. Kateter kaudal beresiko tinggi terinfeksi karena
mengingat lokasinya yang sangat dekat dengan anus. Penggunaan obat-obatan adjuvan pada
anestesi neuraksial pada awalnya berpusat pada seputar peningkatan durasi dan intensitas dari
blokade. Dengan meningkatnya jumlah pasien operasi dengan rawat jalan, ketertarikan

1
bergeser pada penemuan obat-obatan tambahan yang dapat memberikan masa pemulihan
yang lebih cepat. (Longnecker, 2008 , de Beer, 2003).
Kunci sukses dalam teknik regional anestesi pada anak adalah adanya pengetahuan
tentang anatomi, farmakologi, perlengkapan dan sedasi sebelum blok. Semua teknik, baik itu
teknik regional anestesi atau anestesi umum, mempunyai resiko, dan semua resiko tersebut
dipertimbangkan dengan manfaat penggunaan teknik ini dalam menganestesi anak sama
seperti pada dewasa (Larkin, 2009).

ANATOMI PADA PEDIATRIK

Secara anatomi dan fisiologi, pasien pediatrik mempunyai perbedaan dengan pasien
dewasa yang kesemuanya memerlukan manajemen anestesi khusus mulai dari preoperasi,
intraoperasi dan post operasi. Karakteristik ini menempatkan pasien pediatrik berada dalam
resiko tinggi morbiditas dan mortalitas karena tindakan anestesi. Dengan perbedaannya ini
seorang ahli anestesiologi idealnya harus betul-betul mengetahui dan mengenal anatomi
fisiologi serta familiar dengan semua perlakuan khusus. Perbedaan yang nyata antara anatomi
anak dan dewasa adalah pada ukuran tubuh. Bayi baru lahir mempunyai ukuran kepala yang
relatif lebih besar dibanding ukuran tubuhnya dengan tungkai dan kaki yang kecil. Saat
proses pertumbuhan, perbandingan ini terbalik dan meskipun kepala terus tumbuh tapi lebih
lambat daripada tubuhnya (Morgan, 2006).
Analgesia kaudal blok dihasilkan oleh suntikan lokal ke dalam kanal kaudal. Ini
menghasilkan blok akar saraf sakral dan lumbal. Hal ini berguna sebagai suplemen untuk
anestesi umum dan penyediaan analgesia pascaoperasi. Sakrum adalah tulang segitiga dengan
puncaknya berada dibagian basal. Bagian kranial yang berartikulasi dengan vertebra lumbalis
kelima, tulang ekor dan Ilia yang terdiri dari menyatunya lamina dari lima vertebra sakral.
Pada permukaan ventral terdapat foramina sakralis dorsal yang lebih kecil dibanding
foramina sakralis ventral. Processus spinosus yang berbentuk tuberkel pada empat segmen
pertama dan tuberkel pada segmen kelima akan membentuk hiatus sakralis. Hiatus ditutupi
oleh membran sakro-coccygeal (Larkin, 2009).
Hiatus sakralis merupakan satu defek pada bagian bawah dinding posterior dari
sakrum yang terbentuk sebagai akibat dari kegagalan fusi dari lamina S5 atau S4 di garis
tengah, sampai umur kurang lebih 8 tahun. Hiatus sakralis berbentuk segitiga atau huruf U
dengan pangkal sebelah atas processus spinosus vertebra S4 dan dasarnya adalah permukaan
2
posterior coccygeus. Di sebelah lateral hiatus terdapat kornu sakralis yang berasal dari lamina
transversa yang tidak menyatu. Kanalis sakralis merupakan kelanjutan dari kanalis spinalis
lumbalis yang selanjutnya berakhir pada hiatus sakralis. Bagian terbawah dari kantong dura
biasanya berakhir setinggi segmen S2 dan bagian bawahnya dibatasi oleh membran
sakrococcygeus (Larkin, 2009., Mulroy, 2009).

Kanalis sakralis berisi antara lain:


Bagian akhir dari sakkus dorsalis yang biasanya berakhir antara S1 dan S3.
1. Lima saraf sakralis dan saraf coccygeus yang membentuk kauda equina.
Pembuluh darah vena epidural di daerah sacral umumnya berakhir pada S4, tetapi kadang
sampai lewat S4.
2. Filum terminale merupakan akhir dari medulla spinalis yang tidak mengandung saraf.
3. Lemak epidural pada orang dewasa yang susunannya lebih fibrous dibandingkan pada
anak.

Identifikasi hiatus sakralis merupakan hal yang sangat penting sebelum melakukan blok
kaudal. Hiatus sakralis didapatkan pada apeks dari sebuah segitiga sama sisi dimana dasarnya
adalah garis yang menghubungkan kedua posterior superior iliaca spinalis (PSIP) (Gambar)

(Mulroy, 2009)

3
Hiatus sakralis dapat juga diidentifikasi dengan melakukan palpasi dari ujung tulang
coccygeus kemudian ke atas 1,5 sampai 2 cm, sampai terasa adanya cekungan pada kulit
atau bagian atas akhir lipatan intergluteal. Dengan mencari kornu sakralis kelima, dimana
hiatus sakralis berada di antara kedua kornu tersebut dan bila ditekan akan terasa adanya
cekungan (Gambar).

(Larkin, 2009)
Indikasi

Blok kaudal dikombinasi dengan anestesi umum memberikan analgesia perioperative yang
bagus untuk anak yang menjalankan operasi pada segmen sacral ke bawah. Termasuk ke
dalamnya operasi hernioraphi, orkidopeksi dan repair hidrokel. Dapat juga digunakan pada
pasien dengan operasi daerah ekstremitas bawah pada operasi ortopedi atau pada operasi
urologi (Larkin, 2009).

KONTRA INDIKASI
Kontra indikasi blok pada anak sama dengan orang dewasa:
 Infeksi pada daerah sacrum
 Koagulasi sistemik
 Anatomi abnormal seperti malformasi sakrum dan myele meningocele
 Meningitis ( Miller, 2002)

4
Keuntungan blok kaudal antara lain tidak didapatkan nyeri kepala post operasi, tidak
adanya depresi kardiovaskuler dan terdapat anestesi yang baik dan analgesia post operasi.
Kerugian blok kaudal selain memerlukan waktu yang lama untuk terjadi analgesia juga
kurangnya kontrol analgesia. Dalam melakukan teknik dimana 1/10 kegagalan disebabkan
abnormalnya anatomi. Atau kesulitan dalam mengidentifikasi landmark. Selain itu dalam
melakukan blok kaudal, resiko terjadinya injeksi subarachnoid sehingga terjadi puncture
dural juga dapat kita temukan dan kemungkinan toksisitas obat disebabkan absorbsi yang
besar dari volume obat lokal anestesi atau injeksi masuk ke dalam pembuluh darah. Hipotensi
juga dapat kita temukan pada blok kaudal. Teknik ini biasanya dilakukan bersama general
anestesi, jadi memerlukan dua orang, satu untuk keamanan general anestesi, sedang yang lain
untuk blok kaudal (Larkin,2009., Covino,1994).

Adjuvan Blok Kaudal

Untuk memilih obat yang benar pada anestesi kaudal blok diperlukan pemahaman
potensi dan durasi obat anestesi lokal, perkiraan kebutuhan dan durasi pembedahan serta
kebutuhan analgesi pasca operasi. Beberapa peneliti mendukung obat-obat yang
dikombinasikan dengan obat anestesi lokal untuk membuat anestesi kaudal berakhir lebih
lama, untuk meningkatkan kualitas blokade, atau untuk mempercepat onset blok (Miller,
2007). Penggunaan obat-obatan adjuvan pada anestesi neuraksial pada awalnya bertujuan
meningkatkan durasi dan intensitas dari blokade. Dengan meningkatnya jumlah pasien
operasi dengan rawat jalan, penemuan obat-obatan tambahan yang dapat memberikan masa
pemulihan yang lebih cepat mulai banyak. (Longnecker, 2008).

1. Opioid

Farmakologi
Penambahan opioid pada kaudal untuk manajemen nyeri post operatif pada anak-anak
sudah dikenal dan digunakan dalam prakteknya, walaupun masih banyak diperdebatkan.
Injeksi opiod ke dalam ruang epidural menambah analgesia tanpa blok motorik atau simpatik
yang berhubungan dengan lokal anestesi. Efek analgesia ini diakibatkan oleh kerja opioid
pada medula spinalis. Dari penelitian menjelaskan bahwa kadar morfin dalam plasma lebih
rendah 12 ng/ml, maka dipertimbangkan untuk analgesia sistemik pada anak-anak (de Beer,
2003).
5
Opioid terikat pada reseptor-reseptor spesifik yang terletak di sepanjang sistem saraf
pusat dan jaringan-jaringan lainnya. Ada 4 tipe reseptor opioid utama yang telah
diidentifikasi yaitu µ (µ1, µ2), σ,к dan δ. (Morgan, 2006., Covino,1994). Meskipun dapat
memberikan beberapa tingkat sedasi, opioid lebih efektif menghasilkan analgesia.
Farmakodinamika tergantung pada reseptor yang diikat, afinitas ikatan dan reseptor apa yang
diaktivasi. Meskipun agonis dan antagonis opioid terikat oleh reseptor-reseptor opioid, hanya
agonis saja yang dapat mengaktivasi reseptor. (Morgan, 2006). Reseptor opioid dapat
dijumpai dalam kadar tinggi di otak dan mempunyai peranan penting untuk kontrol
pernapasan. Setelah opioid diinjeksikan ke dalam cairan serebrospinal menuju medulla, dapat
menghasilkan depresi pernapasan. Efek analgesik dan depresi pernapasan dari opioid
dimediasi oleh mekanisme reseptor yang berbeda. Reseptor μ-1 adalah sub tipe untuk
analgesia, reseptor μ-2 adalah sub tipe untuk depresi pernapasan. Reseptor к memediasi
analgesia dengan sedikit efek terhadap pernapasan. Sedangkan kontribusi dari δ, , dan -
reseptor tidak jelas. (Covino et al, 1994).
Penambahan melalui epidural dan intrathekal diperbolehkan dengan konsentrasi yang
rendah. .Penambahan opioid intrathekal ke anestesi lokal dapat memberikan analgesi yang
diperpanjang setelah injeksi pertama dari anestesi spinal. Terdapat dua kelas opioid yang
digunakan untuk analgesia, yaitu: golongan hidrofilik (morphin) dan golongan lipofilik
(fentanyl dan sufentanyl). (de Beer, 2003., Longnecker,2008) Morphin bersifat hidrofilik
alamiah, menyediakan analgesia yang tinggi dan selektif, pemanjangan analgesia, tetapi tidak
biasa digunakan dalam anestesia intraoperatif karena mempunyai onsetnya lambat. Golongan
hidrofilik memiliki onset yang lambat (efek puncak antara 20-60 menit), tetapi memiliki
durasi yang lama. Perlu diingat, semakin obat tersebut larut dalam lemak, maka obat tersebut
akan makin cepat diabsorbsi secara sistemik juga semakin cepat menembus selaput otak.
Durasi penggunaan opioid hidrofilik akan lebih lama dibanding opioid yang bersifat larut
dalam lemak (Longnecker, 2008).
Beberapa hal yang harus diperhatikan pada opioid adalah :
1. Kerja analgesia lebih panjang
2. Dapat terjadi depresi nafas, terutama pada penggunaan morhine.
3. Efek samping yang terjadi adalah gatal-gatal, retensi urine, serta nausea dan vomiting.
4.Toleransi dapat terjadi saat pengulangan dosis diberikan. (De Beer, 2003)

6
a. Morfin
Sejak Jensen pertama kali menjelaskan kegunaan kaudal epidural dengan
menggunakan morfin tahun 1981, banyak studi yang membahas tentang bukti-bukti yang
berkaitan dengan memanjangnya analgesia. Penelitian untuk melihat hubungan dosis dan
respon penggunaan morfin 0,033 ; 0,067 ; dan 0,10 mg/kgBB pada anak berumur 1-8 tahun
yang menjalani operasi mayor dibawah diafragma menunjukkan rata-rata durasi analgesia
lebih lama pada dosis 0,10 mg/kgBB (yaitu 13,3 (4,7) jam) dibandingkan 0,033 mg/kgBB
(10,0 (3,3) jam) ataupun 0,067 mg/kgBB (10,4 (4,2) jam). Sedangkan untuk operasi
hipospadia, kaudal morfin 0,05 mg/kgBB menunjukkan durasi analgesia selama 20 (10-36)
jam dibandingkan bupivacaine 0,25% (0,5 ml/kgBB) yaitu 6 (4,0-8,5) jam (de Beer, 2003).
Pada operasi abdomen bawah, median durasi analgesia kaudal morfin 0,1 mg/kgBB
adalah 12,0 (4,0-24,0) jam dibandingkan dengan bupivacaine 0,25% (1ml/kgBB) yaitu
selama 5,0 (3,8-24,0) jam, dan 0,75 (0,3-24) jam dengan iv morfin 0,1 mg/kgBB. Penelitian
retrospektif berskala besar pada 138 pasien (sepertiga diantaranya berumur kurang dari 6
bulan) yang dilakukan kaudal morfin 0,07 mg/kgBB menunjukkan analgesia pasca operasi
yang efektif pada mayoritas pasien, dengan 75% diantaranya tidak memerlukan analgesia
tambahan pada 10 jam pertama pasca kaudal morfin dosis tunggal (de Beer, 2003).
Efek sinergistik opioid epidural dan obat anestesi lokal lebih sering dipakai
dibandingkan dengan penggunaan opioid murni. Kombinasi morfin 0,05 mg/kgBB dan
bupivacaine 0,125% (0,75ml/kgBB) pada operasi orchidopexy menunjukkan tidak ada
satupun pasien yang memerlukan opioid tambahan dalam 24 jam pertama pasca operasi,
sedangkan lebih dari 50% pasien yang hanya diberikan bupivacaine murni memerlukan
analgesia opioid tambahan.(de Beer, 2003).

b. Fentanyl
Fentanyl merupakan obat yang sering digunakan sebagai adjuvan dan dari 18 studi
meta-analisis menyimpulkan, pada dewasa kombinasi ini berguna untuk keamanan dan
efektifnya pain relief selama operasi. Bagaimanapun penggabungan analgesia pada blok
kaudal pada anak-anak belum begitu jelas. Penelitian menggunakan fentanyl 1 µg/kgBB
yang ditambahkan pada bupivacaine 0,25% menunjukkan pemanjangan rata-rata durasi
analgesia pasca operasi refluks vesikoureteral selama 4,1 (SD 1,7) jam dibandingkan
dengan tanpa fentanyl yang hanya selama 2,7 (0,5) jam; p=0,035. Perbedaan hasil
penelitian juga dipengaruhi oleh jenis operasi, obat premedikasi yang digunakan atau
metode untuk menilai derajat nyeri (de Beer, 2003., Kawaraguchi, 2006).
7
c. Pethidin

Termasuk dalam golongan narkotik. Pertama kali diperkenalkan oleh Eisleb dan
Schaumann tahun 1939. Pethidin bekerja pada tempat spesifik pada susunan saraf yang
disebut dengan reseptor opioid, yaitu pada reseptor κ. Pethidin mendapat perhatian
semenjak ditemukan 1mg/kg yang dapat menyebabkan depresi nafas dibanding dengan
morfin pada bayi baru lahir. Perbedaan ini berhubungan dengan fakta bahwa pethidin lebih
lipofilik dibandingkan dengan morfin. Tidak seperti morfin, fraksi obat yang masuk dalam
aliran darah otak pada bayi baru lahir hampir sama dengan anak yang lebih besar. Pethidin
tidak tepat digunakan untuk jangka panjang karena dapat terjadi akumulasi toksik dari
metabolit (Miller, 2005). Pethidin sama efektifnya dengan opioid lain. Dengan durasi yang
lebih pendek, pethidin jarang digunakan karena toksik dari hasil metabolit utamanya yaitu
normeperidin, terutama jika penggunaanya lebih lama atau dosis tinggi.

Dosis opioid neuraksial (Miller, 2005)


Obat Dosis intrathekal Dosis tunggal epidural Infus kontinyu epidural
Fentanyl 5-25 μg 50-100 μg 25-100 μg/hari
Sufentanil 2-10 μg 10-50 μg 10-20 μg/hari
Morfin 0,1-0,3 mg 1-5 mg 0,1-1 mg/hari
Diamorfin 1-2 mg 4-6 mg -
Hidromorfon - 0,5-1 mg 0,1-0,2 mg/hari
Meperidine 10-30 mg 20-60 mg 10-60 mg

Efek Samping Opioid


Beberapa kemungkinan efek samping adalah mual dan muntah, pruritus, retensi urin,
dan hipoventilasi. Komplikasi yang paling serius adalah depresi respirasi akibat penyebaran
opioid ke batang otak, sehingga menyebabkan depresi pusat respirasi. Penyuntikan morfin
epidural menyebabkan depresi nafas pada 3-4 kasus diantara 1000 pasien. Penelitian
retrospektif pada 138 anak yang dilakukan kaudal morfin 0,07 mg/kgBB, dijumpai 11 kasus
(8%) hipoventilasi yang bermakna. Sepuluh diantara kasus tersebut terjadi pada anak yang
berumur kurang dari 12 bulan (delapan diantaranya kurang dari 3 bulan), dan tujuh
diantaranya memperoleh opioid intravena sebagai tambahan analgesia (de Beer, 2003).

8
Depresi respirasi terjadi dalam 12 jam pertama setelah pemberian kaudal morfin,
dengan rata-rata waktu yaitu 3,8 jam. Sensitifitas terhadap opioid berbeda pada tiap individu.
Seorang anak berumur 15 bulan mengalami depresi respirasi 2 jam setelah diberikan kaudal
morfin dengan dosis lebih kecil (0,04 mg/kgBB). Tetapi penelitian pada 500 anak ( termasuk
diantaranya 23 neonatus) yang diberikan kaudal morfin 0,03-0,04 mg/kgBB, tidak ada
laporan terjadinya depresi respirasi yang bermakna (de Beer, 2003).
Penggunaan jenis opioid yang lain (fentanyl, diamorfin, atau buprenorfin) untuk
kaudal analgesia tidak menunjukkan adanya depresi respirasi. Diduga hal itu disebabkan
karena sifat lipofilik obat tersebut yang membuat tidak terjadinya penyebaran ke arah
rostral.Penurunan frekuensi nafas merupakan indikator yang terlambat untuk mengetahui
adanya hipoventilasi, karena epidural/kaudal morfin lebih menyebabkan penurunan pada
volume tidal. Oksimeter nadi adalah monitor non invasif yang sensitif tetapi tidak spesifik.
SpO2 < 94 % merupakan indikasi adanya hipoventilasi bermakna pada pasien yang
mendapatkan opioid. Terjadinya hipoventilasi biasanya juga disertai dengan adanya
somnolen, sehingga perlu diobservasi derajat sedasi dan tingkat kesadaran pasien. Jika
memungkinkan, tidak boleh diberikan obat sedasi atau opioid lainnya selama monitor 24 jam
pertama (de Beer, 2003., Miller,2002).
Efek samping yang lain muncul tergantung dosis. Insidensi mual dan muntah pada
kaudal morfin 0,05 mg/kgBB sebesar 34-36%. Pruritus terjadi bervariasi antara 0-57%,
sedangkan retensi urin tampak pada 6-30% pasien. Penggunaan opioid yang bersifat lipofilik
(fentanyl) menunjukkan efek samping yang lebih sedikit (de Beer,2003).
Dasar pertimbangan penggunaan kaudal opioid yaitu penggunaan opioid yang lebih
lipofilik, diutamakan untuk operasi besar, dipergunakan pada pasien yang pasca operasi
dirawat di bangsal, dan tersedianya fasilitas monitor pasca operasi. (de Beer,2003.,
Miller,2002
2. Vasokonstriktor
a. Epinefrin
Epinefrin 1: 200.000 sebagai adjuvan kaudal sudah digunakan selama bertahun-tahun.
Efek samping epinefrin dengan bupivacaine dan ropivacaine lebih sedikit dibandingkan
obat hidrofilik seperti lidokain. Hal ini berkaitan dengan daya kelarutan lemak yang dapat
menyebabkan penumpukkan di ruang epidural dan lamanya release, dikombinasi dengan
durasi aksi yang pendek dari epinefrin. Efek dari epinefrin yang berhubungan dengan durasi
aksi bupivacaine juga tergantung pada konsentrasi bupivacaine yang digunakan. Sedikit efek
dapat dilihat dari penggabungan dengan bupivacaine 0,5% atau 0,75% (de Beer, 2003).
9
Meningkatnya durasi analgesia post operatif pada pemakaian adjuvan telah di
demonstrasikan pada sebuah studi pada anak-anak yang akan dilakukan operasi penoscrotal
dibandingkan hanya memakai bupivacaine saja. (de Beer, 2003). Penambahan epinefrin
kedalam lokal anestesi dapat menurunkan aliran darah lokal sehingga memperpanjang
durasi blok. Rendahnya konsentrasi plasma puncak, menurunkan terjadinya resiko pada
sistem saraf pusat dan meningkatnya dosis anestesi lokal sehingga dapat digunakan dengan
aman. Yang jelas epinefrin tidak melindungi dari efek toksisitas akibat injeksi obat lokal
anestesi masuk pembuluh darah. Efek epinefrin lebih banyak digunakan pada shorter
acting, yang lebih bersifat obat hidrofilik. Epinefrin sebagai adjuvan pada regional anestesi
umumnya dengan dosis 5 μg/ ml. Sebenarnya belum ada data pasti tentang konsentrasi
optimal untuk anestesi lokal dan blok (Bernard, 2009).

b.Klonidin
Merupakan α2-adrenergik agonis yang termasuk analgesik yang menghambat serabut
C dan serabut A dan menghambat clearense anestesi lokal. Klonidin pertama kali digunakan
pada dewasa untuk pengobatan antihipertensi pada akhir tahun 1960an dan penggunaan pada
anak-anak pertama kali tahun 1973 untuk pengobatan migrain. Setelah itu penggunaan
klonidin meluas sebagai sedasi, premedikasi dan analgesia. Penggunaan klonidin pada
anestesi regional dimulai oleh penelitian Tamsen dan Gordh tahun1984, yang mencoba
menginjeksi 2 pasien dengan klonidin secara epidural, sebelumnya mereka melakukan
penelitian terhadap dengan tujuan menghilangkan nyeri. Sejak saat itu banyak dilakukan
penelitian tentang klonidin, sehingga terbukti klonidin mempunyai efek analgesia yang kuat
jika diberikan epidural maupun intratekal (Bernard, 2009.,de Beer,2003).
Ketika ditambahkan pada anestesi lokal, klonidin dapat memperpanjang blok sensorik
perifer dan neuraxial sentral. Tidak seperti epinefrin, klonidin tidak memperpanjang blok
motorik. Menariknya klonidin efektif dalam memperpanjang blok spinal ketika diberikan
oral sama efeknya ketika diberikan intratekal. Penggunaan klonidin dibatasi oleh efek
sampingnya, terutama sedasi, hipotensi dan bradikardi. Efek samping ini timbul dari fakta
bahwa presinaptik α2 adrenergik reseptor yang menghambat pelepasan norepinefrine dari
neuron noradrenergik di sistem saraf pusat. Bradikardi timbul karena reflek vagal yang
berasal dari stimulasi parasimpatik. Dari berbagai penelitian dilaporkan bahwa, klonidin
tidak aman digunakan pada neonatus dan bayi preterm karena dapat menyebabkan terjadinya
apnoe, sehingga disimpulkan bahwa klonidin sebagai adjuvan kaudal tidak

10
direkomendasikan pemakiananya pada anak umur < 1 tahun atau BB < 10kg (Bernard,
2009.,de Beer,2003).
Klonidin 150 μg dalam 1 ml (Catapres) tersedia secara komersil sebagai larutan yang
bebas pengawet. Aksi analgesik dari intratekal atau epidural merupakan akibat langsung dari
stimulasi pre dan post sinap α 2 adrenoreseptor di kornu dorsalis medula spinalis, sehingga
menghambat pelepasan neurotransmiter nosiseptif. Klonidin cenderung menyebabkan
vasokonstriksi setempat, akibatnya absorbsi anestesi lokal diperlambat dan tetap berada di
sekitar saraf untuk waktu yang lebih lama. Efek ini berhubungan dengan konsentrasi
klonidin dalam LCS tidak dalam plasma (de Beer,2003).
Keberhasilan pemakaian klonidin pada dewasa membuat penggunaan klonidin pada
anaka-anak dievaluasi lagi. Ternyata dari berbagai macam penelitian, dikatakan bahwa
klonidin dapat meningkatkan durasi analgesia posteperatif. Dalam suatu studi, anak-anak
dengan umur 1-7 tahun yang akan menjalani operasi subumbilikal dan urologi, ditemukan
bahwa rata-rata durasi analgesia postoperatif yang menggunakan kaudal blok dengan
bupivacaine 0,25% meningkat dengan penambahan klonidin 1 μg/ kg dibanding hanya
menggunakan bupivacaine saja atau bupivacaine dengan epinefrin 5 μg/ml. Lebih jauh lagi
hampir setengah dari anak-anak yang mendapat adjuvan klonidin tidak mendapat analgesia
selama 24 jam pertama, dibanding dengan 13% anak-anak yang mendapat bupivacaine dan
6% anak-anak yang mendapat bupivacaine dengan epinefrin. Penambahan klonidin 2 μg/kg
ke dalam bupivacaine 0,25% (1ml/kg), meningkatkan efikasi dari kaudal analgesia pada
anak-anak umur 1-10 tahun yang akan menjalani operasi ortopedi dibanding hanya
pemberian bupivacaine saja (de Beer,2003; Larkin, 2009; Parameswari, 2010).

3. Ketamin
Derivat pencyclidine ini bekerja dengan cara berikatan secara non kompetitif pada
reseptor glutamat yang seharusnya distimulasi oleh N-metil D-asparatat (NMDA), sehingga
menurunkan aktifitas neuron di kornu dorsalis. Reseptor tersebut tersebar secara luas di
sistem syaraf pusat dan di substansi gelatinosa medula spinalis. Selain menempati reseptor
NMDA yang menjadi mekanisme aksi utama, ketamine juga berikatan dengan reseptor opioid
(reseptor μ). Ikatan dengan reseptor μ ini tidak dapat dilepaskan dengan pemberian nalokson.
Kerja antinosisepsi lainnya dari ketamine juga melalui ikatan pada reseptor nor-epinefrin dan
serotonin (de Beer,2003).
Ketamin merupakan obat anestesia dan analgesik yang sudah banyak diaplikasikan pada
anestesi anak. Efikasi ketamin pada kaudal epidural pada anak-anak telah didemonstrasikan
11
dengan banyak studi. Walaupun dengan dosis yang berbeda yang dikombinasi dengan
anestesi lokal,dosis optimal adalah 0,5 mg/kg. Dalam menentukan dosis ini, Semple et al
menemukan bahwa setelah operasi orkidopeksi, bupivacain 0,25% (1 mg/kg) yang
dikombinasi dengan ketamin 0,25% (1 mg/kg), 0,5 mg/kg atau 1 mg/kg yang menghasilkan
analgesia 7,9 jam, 11 jam dan 16,5 jam berturut-turut. Sementara tidak ada perbedaan pada
dosis ini terhadap blok motorik dan retensi urin. Ketamin 1 mg/kg berhubungan dengan efek
samping seperti tingkah laku yang aneh dan tatapan kosong (de Beer,2003).

Efek Samping
Belum ada laporan tentang depresi nafas, perubahan kardiovaskular, gangguan
neurologis dan masalah perubahan tingkah laku berkaitan dengan penambahan epidural
ketamin dengan dosis 0,5 mg/kg pada manusia. Namun masih diperdebatkan tentang
kemungkinan neurotoksisitas. Pada penelitian dengan menggunakan binatang percobaan,
dilaporkan tidak ada tanda-tanda kerusakan neurologi pada binatang percobaan dengan
penggunaan ketamin intratekal dengan atau tanpa pengawet. Namun ada dilaporkan satu dari
binatang percobaan yang dipapar dengan dosis yang sangat tinggi (1,6 mg/kgBB) ada yang
mati dengan pemberian ketamin intratekal. Bagaimanapun penyebab neurotoksisitas masih
menyisakan kontroversi. Beberapa peneliti menyalahkan penyebabnya adalah bahan
pengawet (benzethonium klorida atau klorbutanol), namun ada pula beberapa peneliti
menyatakan bahwa benzethonium klorida tidak menyebabkan toksisitas pada primata (de
Beer,2003).
Walaupun penambahan ketamin kedalam anestesi lokal menunjukkan hasil yang
sigmifikan memperpanjang durasi kaudal anestesi pada anak-anak, pada prakteknya hal ini
tidak diadop atau dikembangkan di Inggris. Hal ini disebabkan karena sulitnya memperoleh
ketamin tanpa bahan dasar pengawet. Secara komersial yang tersedia adalah Ketalar®, tidak
dapat digunakan ke dalam ruang epidural karena agen pengawetnya (benzethonium klorida).
Dosis optimal untuk ketamin sebagai kaudal adjuvan adalah 0,5 mg/kg. Ketika dikombinasi
dengan bupivacain, ketamin dapat memperpanjang durasi analgesia postoperasi tanpa ada
bukti dengan perubahan tingkah laku (de Beer, 2003., Locatelli, et al, 2008).

4. S-Ketamin
Akhir-akhir ini S-Ketamin yang bebas pengawet telah tersedia dipasaran (Ketanest S®)
dalam 2 sediaan, yaitu 5 dan 10 mg/ml. Sifat farmakokinetiknya mirip ketamin dalam bentuk
racemic, tetapi memiliki potensi analgesik sekitar dua kali lipatnya. Marhofer dan kawan-
12
kawan meneliti S(+) - Ketamine tanpa pengawet 1mg/kgBB yang diberikan kaudal epidural
menghasilkan analgesia intra dan pasca operasi yang setara dengan bupivacaine 0,25% (0,75
ml/kgBB) ditambah epinefrin 1:200.000. Pada penelitian ini, diperoleh rata-rata durasi
analgesia menggunakan bupivacaine ditambah epinefrin 1:200.000 selama 5,0 (SD 1,6),
menggunakan S(+) – Ketamine murni 1,0 mg/kgBB selama 4,5 (2,0) jam, dan menggunakan
S(+) - Ketamine murni 0,5 mg/kgBB selama 3,4 (2,1) jam. Walaupun tidak ada efek samping
dari penggunaan S-Ketamin, namun penelitian lebih lanjut tentang agen ini sebaiknya
dilakukan sebelum direkomendasikan sebagai kaudal adjuvan yang aman digunakan pada
anak-anak (de Beer, 2003., Locatelli, et al, 2008).

5. Midazolam
Kaudal epidural midazolam bekerja melalui GABA-benzodiazepin yang juga terdapat
di medula spinalis, terutama di lamina II kornu dorsalis. Senyawa endogen yang menyerupai
benzodiazepin juga didapatkan di cairan serebrospinalis. Efek antinosiseptik ini dapat
dihilangkan dengan pemberian flumazenil dan juga oleh pemberian nalokson, sehingga
midazolam diduga juga bekerja melalui reseptor opioid (de Beer,2003).
Intratekal epidural midazolam menghasilkan analgesia yang tergantung dosis, tanpa
disertai depresi respirasi. Tidak dijumpai adanya neurotoksisitas, meskipun pernah dicoba
diberikan infus kontinyu midazolam 50 μg/hari ke dalam subarakhnoid selama 15 hari (de
Beer,2003).
Penelitian epidural midazolam menunjukkan analgesia pasca operasi yang bermakna.
Dosis 50 μg/kgBB merupakan dosis optimal untuk pembedahan abdomen atas, sedangkan
dosis 75-100 μg/kgBB sudah menunjukkan sedasi yang berlebihan. Penelitian pada anak
yang menjalani pembedahan inguinal atau urogenital mengguanakan bupivacaine 0,125%
(0,75 ml/kgBB) dikombinasi dengan midazolam 50 μg/kgBB menghasilkan rata-rata durasi
analgesia selama 21,1 (SD 1,2) jam dibandingkan dengan bupivacaine 0,125% (0,75
ml/kgBB) kombinasi dengan morfin 50 μg/kgBB yaitu selama 14,5 (1,6) jam, dan hanya 8,1
(1,3) jam untuk bupivacaine murni (p<0,001). Penambahan adjuvan kaudal midazolam tidak
berhubungan dengan prolong sedasi, depresi nafas atau blok motorik. Namun adjuvan
midazolam masih merupakan kontroversi (de Beer, 2003).

6. Tramadol
Tramadol merupakan analog sintetik dari kodein yang hanya boleh digunakan pada
anak yang berusia diatas 12 tahun. Merupakan campuran racemic dua enantiomer, yaitu (+) –
13
Tramadol dan (-) – Tramadol. Enantiomer (+) – Tramadol memiliki afinitas sedang terhadap
reseptor opioid μ dan juga mencegah pengambilan kembali serotonin. Sedangkan enantiomer
(-) – Tramadol merupakan penghambat nor-epinefrin yang poten. Sifat farmakologik tersebut
menghasilkan potensi analgesik yang setara dengan meperidin, tetapi tanpa disertai efek
depresi respirasi (de Beer,2003).
Penambahan adjuvan tramadol masih merupakan kontroversi. Penelitian yang
dilakukan oleh Prosser dan kawan-kawan yang meneliti efek analgesik kaudal Tramadol 2
mg/kg BB, bupivacaine 2 mg/kgBB, dan kombinasi keduanya pada 90 anak yang menjalani
operasi hipospadia repair. Penelitian ini menunjukkan kaudal Tramadol menghasilkan durasi
analgesia selama 10,7 (SD 2,2) jam, dibandingkan 10,5 (2,0) jam untuk kelompok kombinasi
Tramadol dan bupivacaine, dan hanya 9,3 (3,0) jam untuk kelompok bupivacaine murni. Pada
penelitian ini tidak dijumpai adanya efek samping yang bermakna (de Beer, 2003).

14
KESIMPULAN

Kaudal analgesi merupakan teknik regional blok yang banyak digunakan pada anak-anak
dengan bupivacain sebagai lokal anestesi yang digunakan yang durasi analgesia postoperasi
sekitar 4-8 jam. Pengguaan additif yang bertujuan memperpanjang durasi analgesia juga
harus mempertimbangkan efek samping obat tambahan tersebut. Epinefrin memperpanjang
efek analgesia dari lidokain, tetapi hanya memberikan sedikit efek jika diberikan bersama
bupivacain. Penambahan opioid dapat memperpanjang durasi kaudal analgesia tetapi juga
dapat membawa efek tidak menyenangkan yaitu resiko depresi nafas yang delay. Penggunaan
opioid kaudal telah digeser oleh penggunaan klonidin dan ketamine. Klonidin 1-2 μg/kg BB
dan ketamine 0,5 mg/kg BB memberikan pemanjangan durasi analgesia yang bermakna,
dengan sedikit resiko efek samping. Penambahan klonidin 1 μg/kg BB terhadap bupivacaine
0,25 % memberikan efek pemanjangan durasi analgesia sampai 4 jam, dengan efek samping
berupa sedasi ringan. Kombinasi ketamine 0,5 mg/kg BB dan bupivacaine memberikan hasil
yang lebih memuaskan, yaitu didapatkannya analgesia sampai 12 jam. Pada dosis tersebut
tidak dijumpai efek samping berupa perubahan tingkah laku. Tetapi penggunaan ketamine
terhalang oleh kesulitan memperoleh sediaan yang bebas pengawet untuk menghindari efek
neurotoksisitas.

15
DAFTAR PUSTAKA

 Bernard, C.M., Local Anesthesia Clinical Pharmacology, in A Practical Approach to


Regional Anesthesia., 4th Ed. Lippincott Williams & Wilkins,p. 11-15.
 Brown D.L., 2002, Spinal, Epidural and Caudal Anesthesia, in Miller's Anesthesia,
6th edition, Miller R.D., Elseiver. Churchill Livingstone, Philadelpia, p. 1653-1679.
 Covino, B.G.,et al, Intrathecal Opioids, in Handbook of Spinal Anaesthesia and
Analgesia. W. B Saunders, 1994. Philadelphia,p.98-102.
 De Beer and M.L.Thomas. Caudal Additives in Children- Solution or Problem.
British Journal of Anaesthesia 90 (4): 487-98 (2003).
 Kawaraguchi, et al, A Prospective, Double-Blind, Randomized Trial of Caudal Block
Using Ropivacaine 0,2% With or Without Fentanyl 1 μg/kg in Children, in British
Journal of Anaesthesia 97 (6); 858-61 (2006).
 Larkin L Kathleen., 2009, Pediatric Regional Anesthesia, in A Practical Approach to
Regional Anesthesia., 4th Ed. Lippincott Williams & Wilkins,p. 296-307.
 Locatelli, B.G., et al, Analgesia Effectiveness of Caudal Levobupivacaine and
Ketamine, in British Journal of Anaesthesia 100 (5): 701-6(2008).
 Longnecker, D.E., Warren, D.T., Liu.S., Neuraxial Anesthesia, in: Anesthesiology,
The McGraw-Hill, p.978-1003.
 Morgan, G.E., Mikhail,M.S., Kleinman, W., Regional Anesthesia & Pain
Management Spinal, Epidural, & Caudal Blocks, in Clinical Anesthesiology., 4th Ed.,
2006: p.289-323.
 Mulroy, M.F. Caudal Ansthesia, in A Practical Approach to Regional Anesthesia., 4 th
Ed. Lippincott Williams & Wilkins,p. 131-136.
 Parameswari, A., et al, Efficacy of Clonidine as an Adjuvant to Bupivacaine for
Caudal Analgesia in Children Undergoing Sub- umbilical Surgery, in Indian Journal
of Anaesthesia.Vol.54,issue 5,sep-oct 2010.
 Sanders, JC. Paediatric Regional Anaesthesia, a Survey of Practice in the United
Kingdom. British Journal of Anaesthesia 89 (5): 707-10 (2002).

16
REFERAT I
MEI 2011

ADJUVAN CAUDAL BLOCK

Oleh:
Lillah Fitri
PPDS I Anestesiologi dan Reanimasi

Pembimbing: Moderator:

dr. Sudadi. SpAn, KNA dr.IG Ngurah Rai Artika, SpAn.K

Bagian Anestesi dan Reanimasi

17
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada / RS Dr. Sardjito
Yogyakarta

18

Anda mungkin juga menyukai