Anda di halaman 1dari 28

Referat

September 2007

LUMBAL EPIDURAL ANESTESI

Oleh :
Vanessy Theodora Silalahi
Peserta PPDS-I Anestesiologi dan Reanimasi
FK UGM/RS Dr. Sardjito
Yogyakarta

Pembimbing: Moderator:

dr. Muhdar Abubakar, SpAn.KIC dr. Pandit Sarosa, SpAn(K)

BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI


FAKULTAS KEDOKTERAN UGM / RS Dr. SARDJITO
YOGYAKARTA
2007
LUMBAL EPIDURAL ANESTESI

Epidural Anestesi (EA) pertama kali diperkenalkan oleh Corning tahun


1885 dengan memakai kokain untuk mengurangi nyeri pada kaki. Pada tahun
1895 Cathelin menggunakan Epidural Anestesi pada sakral, kemudian dikenal
sebagai analgesia kaudal. Lawen 1910 mempelajari anatomi spinal dan epidural
serta menyatakan bahwa suntikan pada canalis sacralis tidak akan masuk ke ruang
subarakhnoid.(1,2)
Definisi Epidural Anestesi adalah suatu cara menginjeksi larutan anestesi
lokal ke dalam ruang epidural.(3) Epidural Anestesi dibagi dalam tiga ketegori
berdasarkan tempat penyuntikannya: (1,4)
1. Blok epidural thorakal
2. Blok epidural lumbal
3. Blok epidural caudal
Epidural Anestesi digunakan pada analgesia selama dan sesudah
pembedahan, mengurangi nyeri persalinan, sebagai suplemen anestesi umum yang
ringan, mengurangi pendarahan selama operasi dengan potensi hipotensi yang
diakibatkannya, menghalangi transmisi simplus afferent, hormonal dan respon
autonom terhadap pembedahan.(2)
Mengenai permasalahan yang sering dihadapi adalah bahwa ruang
epidural sebetulnya tidak lebih mudah dicapai dari pada ruang subarakhnoid,
sehingga sangat memerlukan kecermatan dan kesabaran dalam melakukan
penusukkannya. Juga kondisi tiap-tiap individu sering berlainan baik fisik maupun
psikisnya sehingga sangat mungkin akan terjadinya suatu kegagalan dalam
melakukan tindakan.
Demikian banyak manfaat Epidural Anestesi pada praktek anestesi. Oleh
karena itu sebagai dokter anestesi dituntut dapat melakukannya dengan terampil
serta menguasai pengetahuan tentang Epidural Anestesi. Dalam referat ini akan
dibahas mengenai Epidural Anestesi (lumbal Epidural Anestesi) yaitu mengenai
anatomi, obat-obatan, teknik dalam melakukan prosedur lumbal Epidural
Anestesi, indikasi, kontraindikasi, komplikasi serta kesimpulan.

1
ANATOMI
Ruang epidural adalah ruangan antara ligamentum flavum dengan
durameter. Ruangan ini mengelilingi kantung dura, memanjang dari foramen
magnum sampai batas bawah di membrana sakrokoksigeus. Pada tepi foramen
magnum lapisan periosteum kanalis spinalis vertebra berfusi dengan lapisan
durameter.(1,2,4)
Ruang epidural sebelah anterior dibatasi oleh ligamentum longitudinal
posterior yang meliputi korpus dan discus vertebralis; sedang bagian posterior
berupa arkus vertebra dan ligamentum flavum. Di sebelah lateral terdapat pedikel
dan foramina intervertebralis.(2,5, 17)

Ruang epidural berisi jaringan areolar, lemak, 31 pasang akar serabut saraf
spinalis dengan dural cuff yang menuju ke foramina intervertebralis, pembuluh
darah vena dan pembuluh limfe. Pembuluh darah vena di sini tanpa klep,
menerima aliran dari tulang-tulang yang berdekatan dan dari korda spinalis

2
kemudian membentuk plexus vena di dalam ruang epidural. Vena-vena pada
ruang epidural berhubungan dengan vena intervertebralis keluar melalui foramina
intervertebralis dan bergabung dengan vena-vena pada vertebra, ascending
cervical, interkosta, iliolumbal dan vena di sakralis lateralis. Ke bawah vena ini
berhubungan dengan diintrakranial. Aliran vena ini menuju ke vena cana melalui
vena azygos. Vena di ruang epidural akan membesar sewaktu batuk, terjadi
regangan maupun pada tekanan yang mengakibatkan aliran vena cava terbendung
seperti adanya tumor pada abdomen dan kehamilan.(2)
Jarak dari kulit sampai ligamentum flavum adalah 4-5 cm, dari kulit
sampai dura 4-6 cm dan dari ligamentum flavum sampai dura adalah 3-6 mm.
Sehingga tingginya medulla spinalis ini menunjukkan pula dermatom yang
diinovasi, misalnya T10. Setinggi umbilicus ke bawah, sedangkan pada ketinggian
T7 ini sesuai dengan daerah inervasinya setinggi xypoid ke bawah.(7)

Untuk mencapai ruang epidural melalui pendekatan midline, jarum


epidural dari luar berturut-turut akan menembus bagian ini.
1. Kulit
2. Subkutis
3. Ligamentum supraspinosum
4. Ligamentum interspinosum
5. Ligamentum flavum
Pada waktu jarum epidural menembus subcutis sampai dengan ligamentum
interspinosum terasa tahanan meningkat. Apabila jarum menembus ligamentum

3
flavum tiba-tiba tak terasa jarum menembus adanya tahanan, berarti jarum telah
berada di ruang epidural dan apabila tusukan jarum diteruskan, maka akan
menembus dura dan masuk ke ruang subarakhnoid.(1, 17)

4
5
FARMAKOLOGI OBAT-OBAT ANALGETIK MELALUI EPIDURAL
ANESTESI LOKAL
Telah diketahui, keuntungan pemberian obat-obat analgetik melalui
epidural baik opioid maupun zat-zat anaestetik lokal, dapat diturunkannya
kejadian efek samping, seperti depresi pernapasan yang mana seringkali
ditimbulkan akibat penggunaan opioid secara parenteral. Obat yang dimasukkan
ke dalam ruang epidural, maka zat tersebut terlebih dahulu harus menembus
duramater sebelum mencapai korda spinalis. Meskipun duramater berperan
sebagai sawar secara fisik, perlu diingat ruang epidural ini memiliki vaskularisasi
yang kaya, sehingga secara bermakna dapat terjadi redistribusi zat-zat tersebut ke
dalam sirkulasi sistemik. Ruang epidural tadi juga mengandung lemak, jaringan-
jaringan penyambung, susunan limfaktik, serta akar-akar syaraf dorsalis dan
ventralis dari nervi spinales, yang mana kesemuanya dapat berfungsi sebagai
tempat penyimpanan bagi zat-zat yang bersifat lipofilik.
Keberhasilan pelaksanaan EA, memerlukan pengetahuan akan sifat
farmakologi yang dimiliki oleh masing-masing obat yang dipergunakan, serta
keterampilan teknik dari pelaksana. Selain itu, penambahan zat vasokonstiktor
(biasanya, epinephrine 5 g/ml sampai 20 g/ml; 1:200.000) akan menurunkan
kecepatan absorpsi vaskular yang mana akan lebih menambah kedalaman dan
masa kerja dari obat tersebut.

Absorpsi
Konsentrasi obat anestetik lokal dalam darah akan ditentukan oleh jumlah
dosis obat yang diinjeksikan, kecepatan absorbsi dari tempat penyuntikkan, serta

6
kecepatan biotransformasi maupun ekskresi dari masing-masing obat tadi. Sifat
kelarutan obat anestetik lokal dalam lemak (lipid solubility) akan berperan penting
dalam hal redistribusi obat tersebut. Selain itu, faktor usia, status kardiovaskular
dan fungsi hepar akan mempengaruhi absorpsi dan menentukan konsentrasi obat
tersebut dalam plasma.

Distribusi
Obat anestetik lokal akan didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh, tetapi
konsentrasinya relatif bervariasi pada jaringan yang berbeda. Dengan kata lain,
semakin kaya perfusi suatu jaringan, maka konsentrasi zat anestetik lokal juga
akan lebih tinggi dibandingkan pada jaringan-jaringan yang kurang mendapatkan
perfusi. Oleh karenanya, konsentrasi terbanyak akan ditemukan di dalam paru-
paru dan ginjal. Obat anestetik lokal akan mengalami ekstraksi di dalam paru-
paru, yang dengan demikian apabila obat tersebut melalui vaskulatur paru-paru,
maka konsentrasi obat tadi di dalam darah akan menurun.(6,11)

Biotransformasi dan Ekskresi


Pola metabolisme dari masing-masing obat anestetik lokal akan berbeda
bergantung pada klasilikasi obat-obat tersebut. Obat anestetik lokal golongan ester
akan mengalami hidrolisa dalam plasma oleh enzim-enzim pseudokholinesterase.
Sementara itu, obat anestetik lokal golongan amida akan mengalami degradasi.
Pemberian obat anestetik lokal dalam dosis yang cukup ke dalam ruang
epidural akan mempengaruhi perjalanan impuls-impuls sensorik, motorik maupun
impuls otonom baik di kedua akar serabut dorsal dan ventral dari syaraf-syaraf
spinales, yang juga meluas ke korda spinalis itu sendiri. Besar dan tipe dari
serabut syaraf; jumlah anestetik lokal yang diberikan secara epidural serta sifat
psikokimia dari zat anestetik lokal tersebut akan menentukan kepekaan dari
serabut-serabut syaraf tadi terhadap zat anestetik lokal.
Kelarutan suatu obat anestetik lokal dalam lemak akan berperan sebagai
determinan utama yang memberikan gambaran mengenai potensi intrinsik zat
tersebut; sementara ikatan dengan protein akan memberikan gambaran durasi dari
suatu obat anestetik lokal. Seperti diketahui membran syaraf secara basic

7
merupakan suatu matriks lipoprotein, di mana aksolema akan terdiri dari 90%
lemak dan 100% protein. Dengan demikian; senyawa kimia yang amat bersifat
lipofilik cenderung akan lebih mudah menembus membran syaraf. Nilai pKa dari
suatu senyawa kimia obat anestetik lokal akan menentukan mula kerja zat
tersebut.
Keuntungan penggunaan obat-obat anestetik lokal yang diberikan melalui
epidural, adalah sebagai berikut: (12)
1. Motilitas gaster akan lebih baik, serta memungkinkan pasien untuk makan
sesegera mungkin pasca operasi.
2. Fungsi pernapasan akan lebih baik, di samping pasien merasakan efek
analgesi yang amat bagus.
3. Blokade yang mencapai T6 dapat mengakibatkan tereduksinya respon
metabolik terhadap trauma.
4. Berkurangnya komplikasi thromboembolik.

Kualitas dari blokade epidural, terutama sekali akan dipengaruhi oleh

8
obat-obatan yang diberikan melalui ruang epidural. Selain karakteristik obat,
maka hal-hal lain yang dapat mempengaruhinya adalah dosis; volume dan
konsentrasi obat yang diberikan, juga penambahan zat vasokonstriktor pada obat
anestetik lokal, tempat dan kecepatan injeksi obat tersebut serta posisi, usia, tinggi
badan maupun status klinis penderita. Harus ditekankan dalam hal ini bahwa
untuk dapat memodifikasi stress akibat dari pembedahan yang maksimal, maka
blokade epidural yang dilakukan harus dapat dipertahankan dengan baik hingga
masa pasca operasi. Terdapat dua golongan obat anestesi lokal berdasarkan
struktur kimianya: (6)
1. Golongan amino ester
2. Golongan amino amide
Comparative pharmacology of local anesthetics
Duration Maximum Toxic plasma
Classification Potency Onset after single dose for concentration pK
infiltratio infiltration (g/ml)
n (mins) (adult, mg*)
Esters
Procaine 1 Slow 45-60 500 8.9
Chloroprocaine 4 Rapid 30-45 600 8.7
Tetracaine 16 Slow 60-180 100 (topical) 8.5
Amides
Lidocaine 1 Rapid 60-120 300 >5 7.9
Etidocaine 4 Slow 249-480 300 -2 7.7
Prilocaine 1 Slow 60-120 400 >5 7.9
Mepivacaine 1 Slow 90-180 300 >5 7.6
Bupivacaine 4 Slow 240-480 175 >1.5 8.1
Ropivacaine 4 Slow 240-480 200 >4 8.1

Fraction Protein Lipid Volume Clearance Elimination


nonionized (%) binding Solubility distribution (liters/ halt-time
pH pH pH (%) (liters) min) (mins)
7.2 7.4 7.6
Esters
Procaine 2 3 5 6 0.6
Chloroprocaine 3 5 7
Tetracaine 5 7 11 76 80
Amides
Lidocaine 17 25 33 70 2.9 91 0.95 96
Etidocaine 24 33 44 94 141 133 1.22 156
Prilocaine 17 24 33 55 0.9
Mepivacaine 28 39 50 77 1 84 9.78 114
Bupivacaine 11 15 24 95 28 73 0.47 210

9
Ropivacaine 8.1 94 41 0.44 108

Obat anestesi lokal yang digunakan dalam lumbal epidural adalah golongan amino
amide.

MEKANISME KERJA
Anestesi lokal mencegah transmisi impuls lokal dengan cara menghambat
pasase ion Na+ melewati saluran Na (sodium channel) dalam membran saraf.
Konduksi impuls sepanjang jaringan saraf disebabkan perubahan derajat eletrikal
yang melintas membrane saraf sebagai akibat dari pergerakan ion Na dan K.
Depolarisasi satu segmen dari jaringan saraf yang tak bermielin menyebar
ke segmen yang lain, karena perbedaan potensial listrik antara depolarisasi dan
repolarisasi. Hal ini disebabkan oleh masuknya ion Na dari ekstra seluler melalui
channel Na yang spesifik pada membran. Aliran ion K dari inferior ke eksterior
saraf menyebabkan repolarisasi, sesudah potensial aksi yang lengkap, terjadi
keseimbangan ion melalui aktivasi dari pompa Na dan K terjadi lagi proses seperti
semula.
Obat lokal anestesi mencegah proses depolarisasi membran saraf dengan
memblok aliran ion Na. Akibatnya akan terjadi hambatan transmisi impuls saraf
(blokade konduksi) dengan mencegah permeabilitas membran saraf terhadap ion
Na.(6)

10
Ada tiga tempat kerja obat lokal anestesi di dalam ruang epidural: (1,2)
1. Pada serabut saraf yang lewat di ruang epidural. Obat akan berdifusi melintasi
durameter masuk ke dalam ruang subarachnoid dan kemudian bekerja dengan
melakukan blockade pada akar saraf spinal atau dorsal root ganglion.
2. Pada akar serabut saraf yang keluar melalui foramina intervertebralis. Obat
berdifusi dari rongga epidural masuk ke foramina intervertebral dan akan
menyebabkan blockade paravertebral pada kedua sisinya.
3. Difusi obat anestesi lokal melalui dura ke dalam ruang subarakhnoid. Obat
berdifusi melintasi dural cuff mengelilingi akar saraf spinal masuk ke dalam
ruang subperineal dan kemudian ke ruang subpial. Secara bersamaan obat
juga berdifusi melintasi villi pia arachnoid masuk ke ruang subdural kemudian
ke subarachnoid. Akibatnya terjadi blockade pada akar spinal dan traktus
perifer spinal cord. Teori ini diperkenalkan oleh Bromage pada tahun 1975.

Longitudinal
Spread up and down

Epidural Injection

Passage through Diffusion through the


Intervertebral foramina dura mater

Paravertebral nerve Diffusion across the dural Subdural space


block cuffs surrounding spinal
nerve roots
Cerebral spinal fluid
Centripetal diffusion
towards the neuraxis

Spinal root block

Diagramatic presentation of the fate of a volume of local anaesthetic solution after


epidural injection. Based on Bromage’s hypothesis

11
PEMAKAIAN OPIOID PADA ANALGESIA EPIDURAL

Fisiologi nyeri
Nyeri adalah suatu mekanisme proteksi, bila terjadi kerusakan jaringan.
Persepsi terhadap nyeri dipengaruhi oleh multifaktor. Pada kondisi stres
emosional ambang nyeri turun sebaliknya dalam keadaan siaga persepsi nyeri
akan berkurang. Walaupun sistem nyeri berbeda dengan sistem sensorik yang lain
namun tetap mengikuti pola umum pemrosesan sensorik yaitu reseptor sensorik,
jalur transmisi dan integrasi multipel.(13,14)
Reseptor nyeri adalah ujung saraf bebas. Reseptor nyeri tersebar pada
kulit, dan jaringan tertentu misalnya periosteum, dinding arteri, permukaan sendi
serta falk dan tentorium. Organ dalam yang lain juga mempunyai reseptor nyeri
namun jumlahnya labih sedikit. Reseptor nyeri dapat dirangsang oleh suhu,
rangsangan mekanis maupun kimiawi.(13)
Nyeri berdasarkan transmisinya dibedakan menjadi nyeri cepat dan nyeri
lambat. Nyeri cepat ditimbulkan oleh rangsang suhu dan mekanis sedangkan nyeri
lambat ditimbulkan oleh rangsangan kimiawi, suhu dan mekanis yang menetap.
Zat kimia yang merangsang timbulnya nyeri adalah bradikinin, serotonan,
histamin, ion Kalium, asam, asetilkolin dan ensim proteolitik. Prostaglandin dan
substansi P meningkatkan sensivitas terhadap nyeri, namun tidak menimbulkan
rangsangan secara langsung. Nyeri cepat dihantarkan melalui serabut A dan A
dengan kecepatan 6 sampai 30 m/detik. Nyeri lambat dihantarkan melalui serabut
C dengan kecepatan 0,5 m hingga 2 m/detik. Reseptor untuk nyeri cepat mudah
beradaptasi sehingga selama terjadi rangsangan impuls nyeri tetap akan
dihantarkan.
Rangsang nyeri yang dihantarkan oleh seraput A dan serabut C
memasuki medula spinalis melalui kornu dornalis. Di kornu dornalis serabut
tersebut bersinap dilamina-lamina tertentu, dan selanjutnya impuls dihantarkan
keatas menuju talamus melalui traktus neospinotalamikus untuk nyeri cepat dan
tajam serta melalui traktus paleospinotalamikus untuk nyeri yang lambat dan
kronis.(13)

12
Glutamat merupakan neurotransmiter di pada serabut A. Glutamat
merupakan nerotransmitter yang banyak digunakan pada transmisi eksitatori di
saraf pusat dan durasinya hanya beberapa milidetik. Pada sinap di medula spinalis
serabut C mensekresi glutamat dan substansi P sebagai neurotransmiter. Substansi
P dilepaskan lambat, konsentrasi meningkat dalam beberapa detik hingga
beberapa menit. Beberapa ahli meyebutkan calcitonin gene related peptide
(CGRP) sebagai neurotransmiter di sinap tersebut.(13,14)
Nyeri viseral ditimbulkan oleh rangsangan pada ujung saraf bebas di
visera. Nyeri viseral biasanya berhubungan dengan mual, onsetnya lambat dan
durasinya lama. Rangsangan yang dapat menimbulkan nyeri viseral adalah
iskemia, spasme otot pada organ berongga, distensi organ berongga dan
peregangan ligamen. Impuls nyeri dihantarkan melalui serabut C yang berjalan
pada saraf simpatik dan parasimpatis dan parasimpatis dan medula spinalis
serabut saraf bercabang dan berjalan sepanjang traktus Lissaueri dan berakhir di
kornu dorsalis pada semua level. Sehingga aferen dari visera mempunyai
distribusi terminal yang luas. Sebagian besar aferen viseral bersinap di lamina I
dan V sebagian kecil di lamina II dan III
Ada empat jalur yang menghantarkan impuls nyeri ke otak yaitu traktus
spinotalamikus, traktus spinoretikularis, traktus spinomesencephalik, dan traktus
spinocervikalis. Traktus spinotalamikus berasal dari neuron di lamina I dan
lamina V kornu dornalis. Aksonnya menyilang kemudian berjalan pada white
matter di anterolateral dan berakhir di talamus. Traktus neospinotalamikus
berakhir di nukleus ventral posterior dan traktus paleospinotalamikus berakhir di
nukleus interlaminar. Traktus spinoretikular berawal dari lamina VII dan VIII.
Sebagian besar aksonnya menyilang dan berjalan di anterolateral, sebagian kecil
berjalan ipsilateral. Traktus ini berakhir di formasio retikularis dan talamus.
Traktus spinomesencephalik berasal dari lamina I dan V dan berakhir di formasio
retikularis mesencephalik dan periaquaductal gray.
Traktus spinoservikalis berawal dari lamina III dan IV kemudian berjalan
sepanjang funikulus dorsolateral dan berakhir di nukleus servikal. Dari nukleus

13
servikal aksonnya menyilang dan berjalan sepanjang lemniskus medialis dan
berakhir di nukleus ventroposterolateral dan nukleus posterior.(14)

Sifat farmakologis opioid pada pemakaian epidural


Farmakokinetik
Setelah pemberian opioid epidural opioid akan menembus durameter dan
akan didapatkan opioid dalam cairan serebro spinal. Penetrasi opioid menembus
durameter dipengaruhi oleh sifat lopifilik dan berat molekul obat yang disuntikkan
via epidural.(15) Namun penelitian pada durameter post mortem menunjukkan
bahwa permeabilitas tidak tergantung pada kelarutan dalam lemak. Difusi opioid
melalui durameter merupakan proses difusi sederhana. Namun ada ahli yang
mengatakan bahwa obat yang paling baik difusi kedalam cairan serebrospinal
adalah obat yang mempunyai kelarutan lemak sedang. Hal ini dihubungkan
dengan perjalanan obat menembus arachnoid mater, yaitu terlarut ke dalam cairan
ekstrasel dan intrasel yang bersifat hidrofilik dan menembus dinding sel yang
bersifat hidrofilik.(16) Absobsi intravaskular dipengaruhi oleh kelarutan dalam
lemak. Opioid yang lebih larut dalam lemak (fentanil dan sufentamil) cepat
diabsorsi ke dalam intravaskular sedangkan morfin lebih lambat. Karena absorsi
intravaskular lambat, lebih banyak jumlah morfin yang ada di ruang epidural,
sehingga obat akan lebih banyak berdifusi ke dalam cairan serebrospinal.
Konsentrasi tertinggi morfin dalam cairan serebrospinal akan terjadi setelah 1–4
jam pemberian morfin. Sedangkan pada pemberian fentanil konsentrasi tertinggi
didapat dalam 6 menit. Selain menembus durameter obat yang diberikan lewat
ruang epidural akan diabsorbsi melalui pleksus venosus yang terdapat di ruang
epidural. Absorbsi opioid dari ruang epidural mengakibatkan konsentrasi dalam
plasma yang setara dengan penyuntikan secara intramuskular pada dosis yang
ekuivalen. Setelah 5–10 menit penyuntikan fentanil epidural akan didapatkan
konsentrasi obat tertinggi dalam plasma. Sufentanil akan lebih cepat diabsorbsi ke
dalam darah, sedangkan morfin akan memberikan konsentrasi obat tertinggi
setelah 10–15 menit.(15,17)

14
Farmakodinamik
Rangsang nyeri dari perifer dihantarkan ke kornu dorsalis melalui serat C
dimana neuropeptida seperti takikinn (subtansi P dan neurokin A) dan glutamat
dilepaskan pada presinap. Takikinin berikatan dengan reseptor neurokinin NK1
dan NK2 yang menyebabkan depolarisasi melalui aktivasi protein protein
guanosin trifosfat. Glutamat berikatan dengan reseptor asam –amino–3–
hidroksi–5–metil–4–isosazolopropionat dan asam N–metil–D–aspartat (NDMA)
yang terdapat pada membran postsinap neuron kornu dorsalis. Ion channel yang
berhubungan dnegan NDMA biasanya diblok oleh ion magnesium namun ion
magnesium dikeluarkan pada saat depolarisasi sel, sehingga terjadi influk ion
kalsium dan ion natrium sehingga terjadi depolarisasi lebih lanjut. Opioid spinal
mempunyai efek analgesi dengan jalan mengurangi pelepasan nurotransmitter di
presinap dan menyebabkan hiperpolarisasi pada membran postsinap dan
menyebabkan hiperpolarisasi pada membran postsinap neuron kornu dorsalis.(16)

Pemilihan dan dosis Obat


Beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan obat adalah
sifat farmakologis obat tersebut, keamanan dan harga. Opioid yang diberikan via
epidural mempunyai sifat farmakologis yang agak berbeda dengan pemakaian
intravena. Opioid dapat diberikan via epidural secara bolus intermiten maupun
kontinyu.

Morfin
Merupakan opioid pertama yang dilaporkan penggunaannya via epidural. Morfin
dapat diberikan secara bolus intermitten maupun kontinyu karena efek analgesi
yang lama. Namun lebih disarankan pemberian secara kontinyu karena analgesi
yang lebih baik dan kemungkinan depresi respirasi yang lebih sedikit.

Hidromorfon
Kualitas analgesi yang diberikan oleh hidromorfon sebanding dengan yang
diberikan oleh morfin. Dosis yang diberikan berbanding 5:1 dengan morfin untuk
pemberian secara bolus dan 3:1 untuk pemberian kontinyu. Kejadian pruritus 0,25
kali dibanding morfin. Migrasi ke arah rostral sama dengan morfin. Onset dan
durasi labih pendek dibanding morfin.

15
Fentanil
Pemakaian fentanil epidural mengundang kontroversi karena beberapa penelitian
menunjukkan bahwa kualitas anagesi, efek samping dan kadar obat dalam plasma
setelah pemberian kontinyu selama 24 jam menunjukkan gambaran yang sama
dengan pemberian fentanil intravena. Hal ini dapat dijelaskan karena sifat fentanil
yang lipofilik sehingga absorbsi intravaskular sangat cepat. Satu penelitian
menunjukkan bahwa infus fentanil via epidural torakal memberikan anelgesia
yang sebanding dengan intravena namun dengan dosis dan kadar dalam plasma
yang lebih rendah.

Sufentanil
Seperti fentanil pemberian sufentanil via epidural memberikan kualitas analgesi
dan kadar plasma yang sama dengan pemberian secara intravena. Sufentanil
epidural berhasil baik pada pasien dengan pemakaian morfin kronis yang dosisnya
lebih dari 250 mh/hari dan sudah mengalami toleransi. Toleransi timbul akibat
desensitisasi dan pengurangan jumlah reseptor, sehingga dibutuhkan dosis yang
lebih tinggi untuk menimbulkan efek yang sama. Dahulu dianggap bahwa opioid

16
agonis punya efek analgesi itu dicapai dengan jumlah paparan yang berbeda pada
reseptor. Sefentanil memberikan efek analgesi dengan paparan pada reseptor yang
lebih sedikit. Hal ini memberikan keuntungan secara ekonomis karena hanya
sedikit obat yang dibutuhkan untuk memberikan analgesi yang cukup.

Afentanil
Sifat lipofilik diantaranya hidromorfon dan morfin. Sifat tersebut tampaknya ideal
sebagai pilihan untuk opioid epidural, karena absorbsi intravaskular yang cepat
tidak terjadi. Namun ternyata pada pemberian alfentanil 15 g/kg hanya
memberikan efek analgesi selama 1 jam. Tidak jelas mengapa dengan sifat
fisikokimiawi yang relatif ideal durasi obat pendek. Pada perbandingan PCA
(patient control analgesia) epidural dan PCA intravena tidak ada keuntungan
klinis pada pemakaian alfentanil epidural kecuali konsumsi total fentanil lebih
kecil pada pemakaian epidural. Konsumsi yang lebih kecil ini memberikan
keuntungan secara ekonomis.
Dosis dan durasi opioid epidural
Opioid Dosis Onset analgesi Durasi analgesi
(menit) (jam)
Morfin 4 mg 19,3  10,6
14,8  3,6
18,5  3,4
5 mg 23,5  6 18,1  6,8
12,3  7,7
5 – 10 mg 20
Meperidine 25 – 100 mg 5 – 10 6 (median)
1 mg/kg 8,8  4,9
Tentanil 100 g 10 – 20 2–3
200 g 10 2–3
20 – 80 g/jam 13  2
Diamorfin 5 – 10 mg 5 – 15 6 – 12
Sufentanil 5 – 10 2–6
5 – 10
Methadon 4 – 6 mg 5 – 20 6–8
Hidromorfon 1mg 13  4 11,4  5,5
Afentanil 15 – 30 g/kg 10 – 15 1,2 – 2
200 g/kg 16
Buprenorfin 60 – 300 g 10 – 20 6 – 10
Butorphanol 1 – 4 mg 10 – 15 5–9
Lofentanil 5 g 5 – 10 12 – 20
Meptazinol 30 – 90 mg 8 – 12
Fenoperidin 2 mg < 15 menit 5,96  0,43

17
Pemberian opioid epidural dengan infus kontinyu
Obat Larutan Dosis bolus Infus basal Dosis Tambahan pada
breakthrough breakthrough
Morfin 0,01 % 4 – 6 mg 0,5–0,8 0,5–0,8 mg tiap 0,1 mg
(0,1 mg/ml) mg/jam 10–15 menit
Hidromorfin 0,005% 0,8 – 1,5 0,15–0,3 0,15–0,3 mg tiap 0,05 mg
(0,05 mg/ml mg mg/jam 10–15 menit
Fentanil 0,001% 0,5–1,5 0,5–1 10–15 g tiap 10 g
(10 g/ml) g/kg g/kg/jam 10–15 menit
Sufentanil 0,0001 % 0,3–7 g/kg 0,1–0,,2 5–7 g tiap 10– 5 g
(1 g/ml) g/kg/jam 15 menit
Alfentanil 0,025 % 10–15 10–18 250 g tiap 10 250 g
(0,25 g/kg g/kg/jam menit
mg/ml)

TEKNIK MELAKUKAN PROSEDUR


A. Posisi Pasien
Pada waktu dilakukan insersi jarum epidural posisi penderita sangat
penting dan merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan suatu
blok epidural. Seorang asisten dengan membantu mempertahankan posisi
penderita selama dilakukan prosedur ini.(9)
Posisi lateral (lateral decubitus) sering dipakai dan sangat dianjurkan
untuk penderita yang telah tersedasi dengan obat-obat premedikasi. Pada posisi
lateral ducubitus ini punggung terletak pada tepi meja operasi, fleksi pada paha
dan leher sedapat mungkin dagu mendekati lutut. Ini dimaksudkan untuk
membuat kanalis spinal terbuka sehingga memberi jalan untuk lewatnya jarum
epidural. Posisi tangan dari seorang anestesi diusahakan setinggi letak punggung
penderita.(5,8)
Untuk daerah lumbal atau pada penderita gemuk yang kadang sulit untuk
identifikasi vertebra dengan posisi lateral, maka lebih disukai posisi duduk.
Penderita duduk di meja operasi, bokong pada tepi meja dan kaki disokong
penyangga, misalnya kursi, fleksi pada leher dari punggung, tangan memeluk
bantal, seorang asisten mempertahankan posisi dengan memegang kedua bahu dan
berhadapan dengan penderita.(5)

18
B. Cara Mengidentifikasi Epidural Space
1. Teknik loss of resistance
Metode yang paling sering dipergunakan. Prinsip metode ini yaitu
bila jarum memasuki ligamentum flavum akan ada tahanan pada saat kita
menekan spuit yang dipergunakan, tetapi bila ujung jarum telah memasuki
epidural space, tahanan tersebut akan menghilang.
Teknik yang paling sederhana adalah dengan menekan alat suntik
yang berisi saline atau udara, sedikit demi sedikit melalui ligamentum
sampai terjadi loss of resistance. Fungsi saline atau udara di sini adalah
sebagai alat bantu untuk mencapai epidural space. Saline atau udara
tersebut akan mudah sekali ditekan masuk ke epidural space tanpa ada
suatu tahanan.(2,3,6,8,17)

2. Teknik Hanging Drop


Yaitu sedikit saline atau anestesi lokal dimasukkan ke dalam jarum
yang disertai penetrasi di ligamentum flavum. Waktu jarum masuk ke
epidural space, saline atau anestesi lokal tersebut akan terhisap akibat
tekanan negative dalam epidural space.(2,3,6,8,17)

19
C. Insersi Jarum Epidural
Ada 2 cara pendekatan untuk insersi jarum epidural yaitu melalui
midline atau paramedian.
1. Pendekatan Midline
Interspace yang telah dipilih (L2-3, L3-4, L4-5) untuk insersi jarum
sebelumnya didesinfeksi dengan larutan betadine, lalu diinfiltrasi dengan
anestesi lokal sampai dalam sambil mencari arah jarum. Kulit tempat
insersi yang telah diinfiltrasi di bot untuk lewatnya jarum epidural,
biasanya dipergunakan jarum Tuohy No. 16-18, kemudian jarum ini
dimasukkan sampai ligamentum flavum. Setelah sampai ligamentum
flavum stylet ditarik, diperiksa apakah keluar cairan atau darah. Bila tidak
terdapat cairan atau darah, pangkal jarum dihubungkan dengan spuit yang
diisi 5-10 ml saline, anestesi lokal atau udara. Ibu jari pada pangkal spuit,
jari yang lain pada batang spuit sedang tangan yang satu memfiksasi
jarum agar tidak berubah posisi.
Pada waktu yang bersamaan jarum didorong 3-6 mm (lumbal
region) sampai tahanan hilang (loss of resistance) berarti ujung jarum
berada pada ruang epidural. Pada waktu masuk ke dalam ruang epidural
cairan atau udara akan terdorong masuk. Selanjutnya diaspirasi maka akan
tampak gelembung udara pada cairan, spuit dilepas dari jarum, diperiksa
apakah ada darah atau cairan serebro spinal yang keluar.(4,8,9).

20
2. Pendekatan paramedian
Biasanya teknik paramedian dipilih untuk insersi jarum pada daerah
thorak, oleh karena sempitnya interprosesus atau pada daerah lain yang
telah terjadi klasifikasi ligamentum sehingga sulit untuk masuknya jarum
pada regio lumbal maka teknik paramedian direkomendasikan.
Setelah ditentukan space yang dipilih (L2-3, L3-4, L4-5) untuk insersi
jarum dengan cara palpasi procesus spinosus seperti pada midline, kira-
kira 1 cm lateral tempat palpasi dan 1 cm ke arah caudal merupakan titik
insersi jarum. Apabila jarum menusuk tulang arah jarum sedikit dinaikkan
lagi sehingga jarum menyusuri tulang sampai terdapat ruangan untuk
masuk ke ligamentum flavum. Dengan ditemukannya ligamentum flavum
maka prosedur selanjutnya seperti pada teknik dengan pendekatan
midline.(4,8,9)

21
D. Pemberian Obat Anestesi Lokal
Sesuai dengan tujuan pemilihan teknik epidural anestesi, pemberian
obat ke dalam ruang epidural bisa dengan suntikan single shot atau kontinyu
dengan pemasangan kateter epidural.
1. Single shot
Sebelum dilakukan penyuntikan obat lokal anestesi ke dalam ruang
epidural harus dilakukan test dose, test dose memakai 3-5 ml anestesi
lokal dengan epinephrin 1:200.000. Jika test dose diinjeksi ke dalam
intravaskular nadi akan meningkat 20% selama 30-60 detik. Setelah 3
menit penyuntikan.(2,8)
Setelah test dose hasilnya negatif dimasukkan obat ke dalam ruang
epidural sesuai tempat insersinya dan tingginya blok yang diinginkan.
Kapasitas ruang epidural bagian bawah lebih luas dibandingkan daerah
thoraks sehingga persegmen kebutuhan volume berbeda. Volume
persegmen pada daerah thorakal 2 ml dan lumbal 2,5 ml.(1,2)

2. Kontinyu
Setelah jarum epidural (Tuohy) diyakini berada di ruang epidural
kateter dimasukkan melalui pangkal jarum. Jarum diputar ke arah sefalad,
sewaktu kateter di ujung jarum terasa ada tahanan ringan. Kateter berada
dalam ruang epidural sekitar 2-4 cm. Jangan sekali-kali menarik kateter
sewaktu jarum masih berada di dalam, karena ujung kateter bisa terpotong
dan tertinggal di dalam ruang epidural.
Test dose tetap harus dilakukan untuk memastikan bahwa kateter
berada dalam ruang epidural. Test dose negatif setelah 3-5 menit, maka
obat anestesi lokal yang telah dipilih sesuai kebutuhan bisa dimasukkan.(1)
Faktor yang mempengaruhi luasnya blok epidural: (1,2)
1. Volume dan konsentrasi anestesi lokal.
2. Posisi penderita
3. Interspace tempat penyuntikan obat
4. Kecepatan injeksi
5. Usia

22
6. Panjang columna vertebralis
7. Gravitasi
8. Kehamilan atau tumor di dalam abdomen

INDIKASI: (2,3,6,8,10)
1. Bedah abdomen
2. Bedah urologi
3. Bedah anggota gerak bawah
4. Analgesia obstetri
5. Nyeri post operatif/kontinyu analgetik
6. Bedah anorectal dan perirectal
7. Pasien yang menderita:
- Gagal jantung
- Gagal ginjal
- Asam Bronkhial
- Bronkhitis Kronis

KONTRA INDIKASI: (2,3,6,10)


1. Adanya kelainan pembekuan darah
2. Adanya infeksi pada daerah insersi
3. Syok hipovolemik
4. Artritis atau kelainan tulang belakang
5. Penyakit-penyakit neurologi
6. Obstruksi intestinal atau peritonitis
7. Obsgin  perdarahan ante partum
Kehamilan yang menyebabkan hipertensi

KOMPLIKASI: (2,3,6)
1. Hypotensi
2. Bradycardi
3. Mual dan muntah
4. Dura robek atau tembus

23
5. Total spinal, gejala: hipotensi, apnoe, pupil dilatasi, kesadaran menurun
6. Hematom epidural
7. Toksisitas

24
KESIMPULAN
Lumbal epidural anestesi yaitu teknik anestesi dengan blokade saraf pada
ruang epidural. Teknik ini banyak bermanfaat di dalam praktek anestesi, serta
untuk penanggulangan nyeri kronis seperti pada tumor ganas.
Jenis obat yang akan dipergunakan untuk blok epidural dapat dipilih yang
durasinya sesuai dengan lamanya operasi.
Dalam melakukan teknik ini diperlukan pengetahuan tentang anatomi
ruang epidural, metode untuk melakukan insersi jarum, indikasi dan kontra
indikasi serta kemungkinan adanya komplikasi harus diperhatikan benar-benar
untuk memperkecil terjadinya kegagalan.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Collins. V.J., 1976. Epidural Anesthesia. Principle of Anesthesiology: 2nd Ed.


Lea e Febiger Philadelphia.
2. Atkinson RS., Rushman GB., Lee JA., 1987. Spinal Analgesia: Intradural,
Extradural: A synopsis of Anasthesia 10th Ed. PG
Publishing PTE LTD Singapore.
3. Snow J.C.MD., 1977. Lumbal Epidural and Caudal Epidural: Manual of
Anesthesia, 2nd Ed. Medical Sciences International Ltd.
Tokyo.
4. Prithvi R. 1991. Techniques of Regional Anesthesia in Adults: Clinical
Practice of Regional Anesthesia. Churchill Livingtone
New York, Edinburgh, London.
5. Brown DL. 2000. Spinal, Epidural and Caudal Anesthesia, Anesthesia 5th Ed.
Editor RD Miller, Churchill Livingstone, New York.
6. Covino GB d Scot BD. 1985. Handbook of Epidural Anesthesia and
Analgesia, Grune and Stratton inc. Harcout Brace
Jovanovich Publisher.
7. Lenz G., Kottler B., Spoeroel R., 1988. Epidural Anesthesia: Pocket Manual
of Anesthesia, B.C. Decker Inc. Toronto Philadelphia.
8. Telzlaff John E. MD., 1996. Spinal, Epidural and Caudal Block: Clinical
Anesthesiology, 2nd Ed. G. Edward Morgan JR MD
Maghet S., Michael MD, Appleton and Lange Precentice
Hall International Inc.
9. Lofstron JB., Bengtson M., 1989. Spinal (Intradural) and Extradural
Analgesia: General Anesthesia 5th Ed. Editor JF Nunn,
Butter Worths International.
10. King H. Maurice MD. 1986. Epidural and Subarachnoid Anesthesia: Primary
Anesthesia, Oxford, Delhi, Kuala Lumpur.

26
11. Stoelting RK. 2006. Opioid Agonists and Antagonists. Dalam Stoelting RK
(penyunting) Pharmacology and Physiology in Anesthetics
Practice, edisi ke-3, 3:77-112. Philadelphia: Lippincott-
Rat-en.
12. Dodson ME. 1989. Postoperative Pain Relief. Dalam Nunn, Utting dan Brown
(Penyunting), General Anaesthesia, edisi ke-5, 94, 1123-
1139. London: Butterworth International Edition.
13. Guyton, Hall, 1996, Somatic Sensation: II. Pain, Headache and Thermal
Sensation in Texbook of Medical Physiology, WB
Saunders Company, Philadelphia.
14. Behbehani, MM, 1995, Physiology and Mechanism of Pain in Critical Care
State or Art, Sociaty of Critical Care Medicine, Anaheim
California
15. Chaney M, 1995, Side effect of intrathecal and epidural opioids, Canadian
Journal of Anaesthesia, Volume 42
16. De Leon Casasola, Lema, 1996, Posoperative Epidural Opioid Analgesia:
What Are the Choices?, Anesthesia ang Analgesia,
Volume 83
17. Roberta L Hines, James P.R., Joseph M, N., Christopher, M. V. 2004,
Regional Anesthesia: The Requisites in Anesthesiology,
Philadelphia.

27

Anda mungkin juga menyukai