Anda di halaman 1dari 21

Aplikasi Klinis Analgesia Epidural

Daniel B. Maalouf and Spencer S. Liu


Penggunaan analgesia epidural telah bergeser dari sekedar penggunaan di praktek obstetrikal menjadi salah satu bentuk penanganan nyeri pada pasien yang menjalani multipel pembedahan, termasuk pembedahan thoraks, gastrointestinal, urologi, ginekologi, orthopedi, dan vaskular. Analgesia epidural merupakan bentuk penanganan nyeri yang paling umum digunakan di Amerika Serikat setelah penggunaan opioid sistemik. Yang tidak kalah penting, analgesia epidural ini diketahui memberikan efek analgesia post-operatif yang lebih superior, baik pada saat istirahat maupun beraktivitas, dibandingkan dengan opioid sistemik. Analgesia epidural memberikan efek pereda nyeri yang konsisten sehingga konsumsi opioid menjadi lebih rendah dan efek samping berkurang. Pasien mengalami mobilisasi lebih cepat, kurang tersedasi, dan mempunyai fungsi respirasi yang lebih meningkat dibandingkan dengan penggunaan analgetik sistemik saja. Aplikasi klinis yang optimal dari anastetik lokal, opioid, dan medikasi lain yang dimasukkan melalui ruang epidural memiliki beberapa kerugian, antara lain meningkatnya perawatan, pengontrolan intensitas nyeri, dan juga meningkatnya biaya. Analgetik epidural dapat diberikan dalam bentuk infus yang berkelanjutan, sesuai kebutuhan, ataupun keduanya. Manfaat pada pasien dengan pompa infus yang terkontrol yaitu memungkinkan dilakukannya pengaturan yang lebih fleksibel, penurunan penggunaan obat serta berkurangnya efek samping. Bab ini membahas penggunaan analgesia epidural sebagai penatalaksanaan nyeri post-operasi pada pasien bedah thoraks, abdominal, urologi, ginekologi, ortopedi dan vaskular. Faktor yang Berpengaruh terhadap Efektifitas dari Analgetik Epidural Lokasi Kateter Epidural Lokasi penempatan kateter epidural mempengaruhi efektifitas dari analgesia epidural dan outcome pasien. Kateter epidural yang diletakkan pada
1

lokasi yang sesuai pada dermatom tempat insisi memiliki efek analgesia yang sama atau lebih superior dibandingkan dengan kateter yang ditempatkan pada dermatom yang jauh dari tempat pembedahan. Hal ini meningkatkan outcome post-operasi dan mengurangi insidens timbulnya efek samping. Penempatan kateter epidural di thoraks, pada pasien dengan pembedahan abdomen bagian atas dan pembedahan thoraks menimbulkan blokade segmental dari dermatom thoraks yang berhubungan dengan tempat insisi. Sehingga, volume anastesi lokal yang dibutuhkan menjadi berkurang, dan lebih mudah menangani efek samping yang mungkin timbul, seperti hipotensi, retensi urin dan kelemahan ekstremitas bawah. Ketidaksesuaian antara level insersi kateter epidural dan tempat insisi memungkinkan terjadinya peningkatan efek samping sekunder dan peningkatan volume anastesi lokal yang digunakan. Hal ini berkurangnya jumlah obat yang masuk ke ruang epidural dan terhentinya efek analgesia. Tidak adekuatnya penanganan nyeri dapat menyebabkan terhentinya efek analgesia epidural yang lebih dini atau menutupi efek yang bermanfaat dari analgesia epidural. Analgetik Epidural Analgetik Pilihan yang Dapat Digunakan Pilihan analgetik yang dimasukkan ke ruang epidural berperan penting dalam tercapainya analgesia yang optimal. Analgetik yang paling sering digunakan adalah opioid dan anastesi lokal. Analgetik ini dapat diberikan secara tunggal maupun dikombinasikan dengan analgetik ataupun adjuvant lain. Agen lain yang digunakan seperti klonidin (-reseptor agonis), neostigmin (asetilkolenesterase inhibitor), adenosin (nukloesid hasil ATP), isoproterenol (agonis reseptor 1-2), verapamil (Calcium Channel Blocker), buprenorphine (agonis parsial reseptor mu), ketamin (antagonis reseptor N-methyl-D-aspartate [NMDA]), midazolam, dan epinefrin.

Opioid Reseptor opioid berada pada kornu dorsalis medulla spinalis. Opioid memiliki efek presinaptik dan postsinaptik pada kornu dorsalis dan mempengaruhi modulasi dari input nosiseptif tetapi tidak menyebabkan blokade motorik maupun simpatetik. Opioid di ruang epidural akan mengalami difusi selama ada gradien konsentrasi dan menyebar ke jaringan sekitar. Laju difusi ditentukan dengan prinsip Fick, yaitu: Q/t = KA[(C1-C2)/D] di mana Q/t = laju difusi, K= konstanta difusi, A = luas permukaan difusi, C1 = konsentrasi obat pada ruang epidural, C2 = konsentrasi obat dalam darah dan cairan serebrospinal, dan D = ketebalan dari sawar difusi. Konstanta difusi (K) dari opioid tergantung pada karakteristik fisik-kimiawi dari obat, misalnya solubilitas lipid, derajat ionisasi, dan ukuran molekul. Akibatnya, opioid hidrofobik, seperti fentanyl dan sufentanil, cenderung berdifusi ke dalam lemak epidural, bukannya ke CSS. Sedangkan, opioid hidrofilik dalam ruang epidural, seperti morfin, cenderung berdifusi ke CSS dan memiliki bioavaibilitas yang lebih besar untuk reseptor opioid spinalis dibandingkan dengan opioid hidrofobik. Bagaimanapun, laju difusi juga tergantung pada sifat dan ketebalan sawar difusi. Menings spinalis terdiri atas dura mater, arachnoid mater, dan pia mater. Dura mater terdiri dari kolagen dan serabut elastin yang tersusun secara longitudinal dan sirkumferensial. Duramater kebanyakan aselular, kecuali pada lapisan sel yang kaya jaringan kapiler yang membentuk batas antara dura mater dan arachnoid mater. Kapiler ini berperan untuk menyerap sebagian dosis opioid ketika berdifusi dari ruang epidural. Opioid hidrofobik terserap dalam jumlah yang lebih besar dibanding opioid hidrofilik karena lebih permeabel melewati membran sel endotel kapiler. Arachnoid mater tersusun dari lapisan sel epitel dengan taut kedap, taut cekat, dan serabut jaringan ikat. Arachnoid mater bertanggung jawab terhadap terjadinya lebih dari 90% resistensi difusi obat. Diketahui adanya hubungan bifasik antara tingkat permeabilitas dari obat dengan laju difusi melalui arachnoid mater. Obat yang melalui arachnoid harus berulang kali mengalami partisi
3

menembus lapisan bilayer lipid, berdifusi melalui lapisan tersebut, dan kemudian mengalami partisi ke dalam ruang ekstraseluler atau interseluler aqueous. Opioid hidrofobik menembus lapisan bilayer lipid dengan mudah dan difusinya terhenti di lapisan aqueous. Sedangkan obat hidrofilik juga mengalami hal yang sama yang mengakibatkan difusinya menjadi lebih lambat dibanding hidrofobik. Pia mater melekat pada medulla spinalis dan tersusun atas sel yang sama dengan arachnoid mater. Tetapi, pia mater hanya terdiri dari satu lapisan sel yang tebal dan tidak memiliki taut cekat antar sel. Pia mater hanya berperan sedikit terhadap resistensi difusi. Cairan Serebrospinal Obat berpindah dalam CSS melalui dua mekanisme: difusi dan aliran massal. Aliran darah yang masuk ke dalam sistem saraf pusat meningkatkan volume otak secara sementara dan mengurangi luas dari medula spinalis. Prinsip penyebaran obat dalam CSS adalah adanya pergerakan dari CSS itu sendiri. Molekul opioid menyebar secara merata akibat adanya aliran CSS dan tanpa memperhatikan sifatnya, hidrofilik ataupun hidrofobik. Kadar bersihan merupakan faktor yang berpengaruh terhadap manifestasi klinis dihubungkan dengan penyebaran molekul opioid di CSS. Obat dengan tingkat bersihan yang tinggi dengan konsentrasi yang rendah dapat menyebabkan efek samping supraspinal yang signifikan (seperti sedasi, depresi pernafasan) akibat aliran CSS di bagian rostral. Opioid hidrofobik menimbulkan efek samping supraspinal karena opioid ini secara cepat masuk ke dalam plasma dan diredistribusi ke batang otak melalui aliran darah. Opioid dalam CSS harus berdifusi ke dalam medulla spinalis untuk mencapai reseptor opioid. Herz dan Teschemacher memasukkan morphin, dihidromorphone, dan fentanyl bercampur kontras ke dalam ventrikular lateralis seekor kelinci. Setelah sekitar 7 menit, ketiga opioid tersebut telah menembus ke kedalaman 700 m. Tetapi, setelah beberapa saat, fentanyl tidak akan menembus lebih dalam ke otak dan akan terserap secara lengkap dalam 120 menit. Sedangkan, morfin dan hidromorphone akan menembus lebih dalam mencapai
4

kedalaman 3000 m dalam 5 jam. Fentanyl tampak lebih jelas pada struktur fiber (substansi alba), di mana opioid hidrofilik cenderung berdifusi ke substansi nigra. Substansi alba tersusun atas 80% lipid yang merupakan myelin akson. Substansi nigra kurang akan myelin dan cenderung hidrofilik. Sehingga opioid hidrofobik tampak berdistribusi lebih banyak dalam substansi alba. Opioid hidrofilik menetap dalam cairan ekstraseluler dan berdifusi ke dalam substansi alba, oleh sebab itu memiliki bioavailabilitas yang lebih lama. Semua opioid dimasukkan ke dalam ruang epidural menimbulkan analgesia, berdifusi ke dalam kapiler dan beredistribusi ke reseptor opioid di batang otak. Analgesia yang muncul setelah pemberian opioid epidural tidak terbukti karena opioid memiliki lokasi aksi tersendiri di spinal. Untuk pembenaran diberikannya opioid epidural, harus ada pembuktian bahwa opioid epidural menimbulkan efek analgesia yang lebih kuat dibanding pemberian dalam bentuk intravena, intramuskular, subkutan, atau transdermal dalam dosis yang sama, dengan efek samping yang lebih sedikit. Morfin Epidural Morfin merupakan opioid hidrofilik yang memiliki efek analgetik utamanya pada tingkat spinal. Morfin biasanya diberikan dalam dosis tunggal, walaupun pemberian morfin epidural secara berkelanjutan telah diuraikan sebagai penatalaksanaan nyeri post operasi thoraks. Morfin epidural ini memiliki onset yang lebih lambat, dengan durasi kerja yang lebih lama dan insidens efek samping yang tinggi dibandingkan opioid hidrofobik. Opioid hidrofilik tidak menimbulkan blokade segmental ketika diberikan secara epidural. Opioid tersebar dalam CSS dan berikatan dengan reseptor yang berjarak cukup jauh dari lokasi masuknya opioid. Efek sedasi dan depresi pernafasan dapat terjadi ketika molekul opioid mencapai batang otak. Morfin epidural menunjukkan selektivitas ketika diberikan secara epidural dibanding dengan pemberian sistemik. Dari pemeriksaan acak terhadap perempuan yang menjalani operasi caesar, ditunjukkan bahwa morfin epidural memberikan efek analgesia post operasi yang lebih baik dengan dosis yang rendah
5

dibandingkan morfin intravena dan intramuscular. Sekitar seperempat dari jumlah perempuan dalam pemeriksaan acak tersebut menggunakan morfin epidural dan dilaporkan bahwa efek analgesia yang didapatkan lebih baik dibanding pada perempuan yang menggunakan morfin intravena dan intramuscular. Pada pasien bedah total joint replacement dengan nyeri yang lebih hebat, potensi relatif dari morfin epidural berbanding PCA IV titrasi adalah 10:1. Hidromorfon Epidural Hidromorfon epidural merupakan agonis opoid selektif 1 yang bersifat hidrofilik. Struktur dan berat molekulnya sama dengan morfin. Penelitianpenelitian lama menunjukkan bahwa analgesia selektif sederhana dengan potensi rasio sekitar 2:1 antara pemberian secara epidural dengan sistemik. Dosis 1-2 mg yang diberikan secara epidural diketahui dapat mengurangi nyeri somatik dan viseral post operasi thoraks, abdomen, atau pelvis. Pemberian hidromorfon epidural secara berkelanjutan menurunkan penyebaran rostral opioid jika dibandingkan dengan pemberian bolus. Hidromorfon epidural memberikan manfaat yang lebih besar dibandingkan pemberian bolus interminten ataupun berkelanjutan. Hal ini mengakibatkan berkurangnya opioid yang digunakan sehingga efek samping menjadi minimal dan pasien merasa lebih puas. Pruritis lebih sering terjadi dengan pemberian hidromorfon epidural dibandingkan pemberian intravena. Aplikasi klinis dari hidromorfon epidural diuraikan lebih lanjut pada chapter 16. Fentanyl Epidural Penggunaan fentanyl secara spinal dibandingkan sistemik masih menimbulkan pertentangan. Dari satu sisi, terbukti bahwa (1) fentanyl memiliki potensi kerja yang sama saat diberikan secara epidural dan intravena, (2) dosis fentanyl yang diberikan secara epidural dan intavena memilki kadar dalam darah dan efek analgesia yang sama, (3) fentanyl tidak memberikan efek analgesia segmental jika diberikan secara epidural. Hal ini menunjukkan bahwa ketika

diberikan secara epidural, fentanyl diabsorbsi secara sistemik dan terdistribusi melalui aliran darah ke pusat supraspinal. Di sisi lainnya, terbukti bahwa fentanyl memiliki lokasi aksi di spinal sebab (1) terjadi peningkatan potensi ketika molekul diberikan secara epidural dibanding intravena, (2) terdapat efek analgetik segmental ketika fentanyl diberikan secara epidural, dan (3) kurangnya korelasi antara efek analgetik dan konsentrasi fentanyl dalam plasma ketika diberikan secara epidural. Penelitian terbaru menunjukkan ketidaksesuaian ini mungkin berhubungan dengan bentuk pemberian fentanyl dalam ruang epidural. Walaupun pemberian bolus memberikan gradien konsentrasi yang lebih besar dan meningkatkan difusi fentanyl ke dalam CSS di mana fentanyl akan bekerja di reseptor spinal opioid, pemberian epidural akan menyebabkan molekul fentanyl tidak mencapai gradient konsentrasi yang sama dan fentanyl akan berdifusi ke dalam aliran darah kemudian bekerja di supraspinal. Sufentanil Epidural Sufentanil sangat hidrofobik dibanding fentanyl. Efek analgesik dari sufentanil dimediasi oleh uptake sistemik dari ruang epidural dan mengalami redistribusi ke reseptor opioid di batang otak. Lokasi kerja sufentanil di spinal belum diujicobakan sehingga penggunan sufentanil epidural belum terjamin. Alfentanil Epidural Alfentanil belum terbukti memiliki lokasi kerja di spinal. Penelitian menunjukkan bahwa alfentanil di ruang epidural berdifusi ke dalam pembuluh darah dan dibawa ke batang otak, di mana efeknya kemudian timbul. Karena tingginya solubilitas lipid, maka alfentanil ini dengan cepat diredistribusi ke dalam jaringan setelah pemberian awal dan dialirkan dengan cepat menuju plasma.

Morfin Liposom Epidural Baru saja diakui oleh Food and Drug Administration untuk analgesia epidural, morfin yang dilapisi liposom, yang menyebabkan dihasilkannya molekul morfin dalam waktu yang lama, sehingga efek analgesia juga menjadi lebih panjang. Morphin liposom ini diberikan dalam satu kali injeksi dan telah dibuktikan adaya efek analgesia yang mencapai 48 jam post operasi, sesuai untuk atyhroplasty panggul dan bedah Caesar. Keuntungan morfin liposom ini antara lain efek analgesia yang konstan dan tidak dipengaruhi oleh putusnya pemberian epidural. Analgesia gaps jarang terjadi dan lebih mudah diatasi dengan obat-obat darurat. Penggunaan morfin liposom epidural tidak lagi membutuhkan pompa dan kateter, peningkatan perawatan, dan biaya. Insidens hipotensi lebih rendah dibandingkan dengan penggunaan anestesi lokal. Terapi antikoagulan dapat digunakan untuk mengawali terapi post-operasi. Kerugian penggunaan morfin liposom antara lain menurunnya saturasi oksigen, hipotensi, retensi urin, mual, muntah, konstipasi, pruritis, demam, nyeri kepala, dan bingung. Pasien harus dikontrol sekurangnya 24 jam post operasi sebab ditakutkan terjadi depresi pernafasan di mana 90% kasus terjadi pada 24 jam pertama. Pasien dengan usia tua dan lemah lebih tinggi risikonya mengalami depresi pernafasan. Satu lagi kerugian berkaitan penggunaan obat-obatan dengan masa kerja panjang adalah memanjangnya manifestasi dari efek samping jika memang terjadi. Pasien akan mengalami mual dan muntah, yang memang sering terjadi, selama 24, 48 jam atau bahkan lebih lama lagi. Pentingnya pengawasan akan depresi pernafasan dan potensi akan memanjangnya manifestasi efek samping perlu diperhitungkan ketika akan menggunakan morfin liposom sebagai analgesia post operasi. Anestesi Lokal Epidural Anestesi lokal berikatan dengan natrium di serabut saraf, menghambat konduksi natrium, mengurangi potensial aksi depolarisasi dan perambatan stimulus saraf. Dalam ruang epidural, anestesi lokal menembus membran axon pada radiks saraf. Analgesia epidural pada dasarnya bersifat segmental dan dipengaruhi oleh lokasi kateter epidural. Analgesia epidural juga dipengaruhi oleh
8

volume dan dosis obat. Semakin banyak volume obat yang dimasukkan, semakin luas penyebarannya, baik di bagian cephalis maupun kaudalis. Peningkatan dosis obat-obatan epidural akan meningkatkan konsentrasi dari anestesi lokal dan mengakibatkan blokade pada serabut motorik, sensoris, dan otonom. Efek anestesi lokal pada serabut saraf hanya berpengaruh terhadap ukuran serabut, bukan pada jenis serabut sarafnya. Serabut yang tipis terpengaruh oleh konsentrasi anestesi lokal yang rendah, baik saraf otonom maupun somatik. Serabut otonom, serabut nyeri dan serabut C merupakan serabut saraf tertipis dan yang paling pertama mengalami blokade. Ketika konsentrasi anestesi lokal meningkat, serabut preganglion simpatis, serabut B mengalami blokade, diikuti oleh serabut motorik, sensasi tekanan dan raba, serta serabut A. Anestesi lokal epidural menghambat sinyal aferen dan eferen ke dan dari medulla spinalis sehingga menekan respon stress akibat pembedahan dan mengurangi morbiditas dan mortalitas peri-operasi. Absorpsi sistemik anestesi lokal dari ruang epidural dapat mengembalikan motilitas gastrointestinal, mengurangi inflamasi, dan menurunkan viskositas darah. Anestesi lokal tidak digunakan secara umum sebagai satu-satunya analgesia epidural post operasi karena adanya blokade dari motorik yang berkaitan dan hipotensi. Untuk mendapatkan efek analgesia yang efektif dengan penggunaan anestesi lokal yang tunggal, dibutuhkan konsentrasi obat yang tinggi yang dapat menimbulkan terjadinya blokade motorik dan hipotensi. Tabel 15.1: Lokasi Rekomendasi Untuk Meletakkan Kateter Epidural pada Prosedur Pembedahan
Batas Vertebra Untuk Memasukan Kateter T4-8 T6-8 T8-12

Lokasi Insisi Thorakalis Abdominalis Superior Abdominalis medioinferior

Contoh Aplikasi Pembedahan Thoracotomy (Torakotomi) Esophagotomy (Esofagotomi) Colectomy (Kolektomi)

Total knee replacement


L1-4

Ekstremitas inferior
53

(Operasi Penggantian

Sendi Lutut Total) Diadaptasi dari Ethces dkk (1997) dan Schurg dkk (1996)52 Infus bupivacaine (37,5-50 mg/jam) via epidural thorakalis pada pasien pascaoperasi pembedahan thoraks dapat menyebabkan hipotensi pada 80% pasien dan analgesia yang tidak adekuat pada 30% pasien.49 Hasil yang sama juga ditemukan ketika bupivacaine (24-45 mg/jam) atau ropivacaine (10-30 mg/jam) diberikan melalui infus setelah proses pembedahan pada abdominal superior dan inferior.50-52 Meskipun demikian, infus epidural dengan menggunakan anestetik lokal dapat berguna pada beberapa keadaan seperti pada pasien-pasien yang tidak mampu memberikan toleransi terhadap efek samping anestesi opioid.3 Efek samping anestetik lokal dapat diminimalisasi dengan menyesuaikan penempatan kateter epidural dengan lokasi insisi (Lihat Tabel 15.1). Anestetik lokal yang paling sering digunakan pada analgesik epidural adalah bupivacaine, ropivacaine, dan levobupivacaine. Pada dosis rendah, agenagen anestetik tersebut dapat menyebabkan blokade fungsi sensoris yang disertai blokade minimal pada fungsi motoris.54-56 Anestetik lokal terbaru, ropivacaine dan levobupivacaine lebih sedikit efek kardiotoksiknya; namun secara klinis, keuntungan ini tidak terlalu penting karena dosis anestetik lokal yang biasa digunakan untuk analgesia pasca-pembedahan, relatif cukup rendah. Anestetik Lokal, yang Dikombinasikan dengan Opioid Analgesia epidural dapat dicapai dengan menggunakan kombinasi anestetik lokal dan opioid, dengan atau tanpa zat tambahan lainnya. Apabila dibandingkan dengan penggunaan opioid atau anestetik lokal secara tunggal, maka kombinasi anestetik lokal-opioid lebih menunjukkan superioritas dalam menghasilkan analgesia pasca-pembedahan.49 Anestetik lokal epidural lebih dapat menurunkan insidensi paralisis gastrointestinal pasca-operasi, PONV dan nyeri setelah suatu proses pembedahan abdomen, apabila dibandingkan dengan penggunaan regimen analgesia opioid.21,57,58 Observasi klinis memberikan kesan
10

bahwa kombinasi anestetik lokal dan opioid dapat membatasi regresi blokade sensoris yang sering terjadi pada penggunaan anestetik lokal secara tunggal. Hingga saat ini masih belum jelas apakah kombinasi anestetik lokal-opioid berinteraksi secara sinergis atau aditif, namun sejumlah penelitian mengimplikasikan bahwa keduanya berinteraksi secara sinergis.3 Selain itu, kombinasi anestetik lokal-opioid dapat menghasilkan analgesia yang lebih baik, dan menurunkan kebutuhan dosis untuk masing-masing agen yang digunakan. Penurunan kebutuhan dosis ini mengakibatkan penurunan insidensi efek samping jika dibandingkan dengan penggunaan opioid atau anestetik lokal secara tunggal. Efek samping seperti hipotensi dan retensi urin ketika anestetik lokal digunakan atau gatal, mual, dan muntah ketika opioid digunakan, jarang ditemukan pada penggunaan terapi kombinasi. Kombinasi anestetik lokal dan opioid sudah sering diaplikasikan secara klinis. Dan terapi ini memberikan efek analgesia yang lebih baik dari penggunaan analgesia opioid secara intravena, atau anestetik lokal pada injeksi epidural, maupun pemberian infus opioid. Tabel 15.2 menunjukkan sejumlah percobaan acak yang membandingkan kombinasi anestetik lokal dan opioid terhadap injeksi anestetik lokal atau opioid secara tunggal. Infus epidural yang mengandung bupivacaine encer yang ditambahkan dengan hydromorphone dapat memberikan efek analgesia yang efektif dan aman untuk prosedur persalinan berbagai paritas dan kala. Selain itu, terapi ini lebih superior dalam mengatasi nyeri pascapembedahan.72

Tabel 15.2: Percobaan Klinis Acak yang Membandingkan Efek Kombinasi Anestetik Lokal-Opiod Epidural dengan Opioid Epidural atau Anestetik Lokal Epidural Tunggal dalam Dinamika Penghilangan Nyeri Dinamika Referensi Regimen Epidural Tipe Pembedahan/Lokasi Epidural Kontrol Penghilangan Nyeri yang Dibandingkan dengan Kontrol
11

Morphine 500 Scott dkk (1989)60 g/jam, 0,5% Abdominal Superior/thorakalis bupivacaine 25 mg/jam Morphine 200 Dahl dkk (1992)61 g/jam, 0,25% bupivacaine 10 mg/jam Morphine 200 Crews dkk (1999)62 g/jam, 0,25% levobupivacain e 10 mg/jam Diamorphine Lowson dkk (1994)63 250-600 g/jam, 0,167% bupivacaine 512 mg/jam Pethidine 1 Thoracalis/thoracalis Abdominal Superior/thorakalis Abdominal Mayor/thorakalis Abdominal Mayor/thorakalis

0,5% bupivacaine 25 mg/jam

Terapi kombinasi lebih efektif Terapi kombinasi lebih efektif Terapi

Morphine 200 g/jam

Morphine 200 g/jam

kombinasi lebih efektif pada 8 jam pertama

Diamorphine 250-600 g/jam

Terapi kombinasi lebih efektif

Etches dkk (1996)64

mg/mL, 0,1% bupivacaine Fentanyl 40 g/jam, mg/jam Fentanyl 50 g 0,1% bupivacaine 4

Pethidine

Perbedaan NS Terapi

Paech dkk (1994)65

Abdominal Mayor/thorakalis

Fentanyl 40 g/jam

kombinasi lebih efektif pada 24 jam pertama

Torda dkk + bupivacaine (1995)66 Mahon dkk 12,5 atau 25 mg dosis bolus Fentanyl 50100 g/jam,

Abdominal Mayor/thorakalis Thoracalis/thoracalis

Fentanyl 50 g/jam Fentanyl 50100 g/jam

Perbedaan NS

Perbedaan NS setelah 2 jam


12

0,1%-0,2% (1999)67 bupivacaine 520 mg/jam Fentanyl 4 g/mL, Kopacz dkk (1999)58 0,125% levobupivacain e, PCEA 4 mL/jam + 2 ml/10 menit bolus Fentanyl 1-4 g/jam, 0,1% ropivacaine Scott dkk (1999)68 PCEA 8 mL/jam + 4 mL/30 menit bolus Sufentanil 0,8 Mourisse dkk (1992)69 g/jam, 0,125% bupivacaine 612 mg/jam Sufentanil 1 g/jam, 0,17% Wieblack dkk (1997)70 bupivacaine PCEA 5 mL/jam + bolus 2 mL/20 Kampe menit Sufentanil 5-9 Ortopedik/lumbalis ropivacaine Terapi Thoracalis/abdomina lis Levobupivac aine 0,17% Terapi kombinasi lebih efektif Thoracalis/thoracalis Sulfentanil 0,8 g/jam Terapi kombinasi lebih efektif Abdominal Mayor/thorakalis ropivacaine 0,2% Terapi kombinasi lebih efektif Arthroplasti/lumbalis Fentanyl 4 g/jam atau levobupivaca ine 0,125% PCEA Terapi kombinasi lebih efektif pertama

13

dkk (1999)71

g/jam, 0,1% ropivacaine 59 mg/jam 0,1%

kombinasi lebih efektif

Cara Pemberian Analgesia Epidural Epidural analgesia dapat diberikan melalui berbagai cara, seperti infus kontinyu, pemberian berdasarkan permintaan, atau pun keduanya. Patientcontrolled epidural analgesia (PCEA) atau epidural analgesia yang dikontrol oleh pasien merupakan bentuk pemberian analgesia epidural yang paling sering dipilih. PCEA dapat menentukan kebutuhan analgesia pasien secara individu, sehingga memiliki sejumlah keuntungan seperti kepuasan pasien, analgesia yang lebih baik, penurunan jumlah penggunaan obat, dan penurunan efek samping.3 Tipe larutan analgesia epidural dan pengaturan PCEA dapat dilihat pada Tabel 15.3.

Tabel 15.3: Larutan Tipikal dan Pengaturan untuk PCEA pada Pasien Nonobstetri Larutan 0,05% bupivacainea + Fentanyl 4 mcg/ml 0,2% ropivacaine + Fentanyl 5 mcg/ml 0,05% ropivacaine + Fentanyl 4 mcg/ml 0,05% bupivacainea +
14

Permintaan Bolus (mL)

Waktu Penghentian Pemberian (min) 10

Infus Dasar (mL/jam)

4-6

20

2 4

10 10

4-6 4

hydromorphone 10 mcg/ml
a. Levobupivacaine juga dapat digunakan pada konsentrasi yang sama dengan bupivacaine.9,
73-75

Pemilihan Adjuvan Sejumlah agen telah digunakan sebagai adjuvan untuk meningkatkan efektifitas dan/atau keamanan analgesia epidural. Agen-agen itu antara lain epinephrine, clonidine, ketamine, neostigmine, adenosine, isoproterenol, verapamil, buprenorphine, dan midazolam. Namun adjuvan yang paling sering digunakan adalah clonidine dan epinephrine. Penelitian klinis yang dilakukan untuk membandingkan kombinasi anestetik lokal-opioid dengan atau tanpa penggunaan clonidine dan epinephrine menunjukkan bahwa pasien merasakan proses penghilangan nyerinya yang lebih baik ketika agen adjuvan digunakan. (Lihat Tabel 15.4) Dalam memilih agen adjuvan, kita harus mempertimbangkan mekanisme dan target aksi agen tersebut. Epinephrine merupakan suatu vasokonstriktor yang berhubungan dengan penurunan resolusi blokade sensoris pada pasien, sehingga hal ini dapat meningkatkan analgesia. Namun, penggunaan clonidine sebagai agen adjuvan pada ruangan epidural berhubungan dengan peningkatan analgesia dan hipotensi. Hal tersebut terjadi karena mekanisme aksi clonidine kemungkinan besar melibatkan proses difusi dan menyebar bersama darah, oleh karena itu clonidine sebaiknya tidak diberikan secara epidural karena kerugiannya lebih banyak dari rute intravena. Tabel 15.4: Percobaan Klinik Acak yang Membandingkan Afek Kombinasi Anestetik Lokal Epidural-Opiod dengan Adjuvan dalam Dinamika Penghilang Nyeri Referensi Regimen epidural Tipe Adjuvan Dinamika operasi/lokasi Niemi et al (1998)76 Fentanyl 20g/jam+0,1% bupivacaine 10 epidural Thoracalis/abdo minal dan thoracalis mayor Epinefrin 2g/mL Penghilang Nyeri Lebih baik dalam kelompok
15

Mogensen et al (1992)14

mg/jam Morfin 100g/jam+bupivaca ine 5 mg/jam

Thoracalis/abdo minal inferior

Clonidine 18,75 2g/jam

epinefrin Penghilang nyeri yang lebih baik tapi lebih banyak hipotensi Penghilang nyeri yang lebih baik dengan clonidine 20g/jam, tapi lebih banyak hipotensi

Paech et al (1997)15

Fentanyl 10g/jam+0,125% bupivacaine 7,5mg/jam+ Fentanyl PCEA

Thoracalis/abdo minal inferior

Clonidine 2, 3, atau 4 g/mL pada 5 mL/jam

RESIKO ANALGESIA EPIDURAL Penggunaan analgesia epidural berkaitan dengan sejumlah komplikasi potensial atau efek samping, yang mana efek samping tersebut tidak hanya disebabkan oleh penggunaan agen medikasi, namun juga diakibatkan oleh pemasangan, migrasi, dan pelepasan kateter epidural. Efek samping penggunaan agen medikasi analgesia epidural meliputi hipotensi, blokade fungsi motorik, depresi pernapasan, mual, gatal, dan retensi urin. Komplikasi yang Berhubungan dengan Pemasangan, Migrasi, dan Pelepasan Kateter Sejumlah kerusakan neurologis permanen telah dilaporkan terjadi akibat pemasangan kateter epidural; insidensi kejadian ini berkisar dari 0,005% hingga 0,006%.77,78 Auroy dkk,79 melakukan penelitian retrospektif di Prancis pada 30.413 pemasangan kateter epidural dalam periode 5 bulan. Penelitian tersebut menunjukkan adanya insidensi komplikasi serius yang mencapai 0,04%. Komplikasi tersebut antara lain 3 kasus henti jantung, 4 kasus kejang, dan 6 kasus cedera neurologis.79
16

Neuropati transien biasanya akan mengalami pemulihan sempurna. Namun insidensi kejadian tersebut hanya mencapai 0,012% hingga 0,023%.21 Puncture Dural (Punktur Dural) Insidensi kejadian punktur dural yang dilaporkan adalah mencapai 0,32%1,23% dari semua pemasangan kateter epidural. Punktur dural dapat menyebabkan nyeri kepala pasca-pemasangan kateter epidural. Pada beberapa kejadian yang langka, subdural hematoma dapat terjadi akibat punktur dural dan hal ini dapat bermanifestasi menjadi defisit neurologis. Terdapat resiko pneumosefalus setelah terjadi punktur dural terutama jika udara yang digunakan dalam teknik penusukan mengalami kehilangan resistensi. Epidural Hematoma Epidural hematoma dapat terjadi karena punktur (penusukan) pada pembuluh darah epidural. Insidensi penusukan pembuluh darah sekunder akibat pemasangan kateter epidura mencapai 3%-12% kejadian.80 Untungnya, kerusakan neurologis yang diakibatkan oleh epidural hematoma tersebut, sangat jarang terjadi. Untuk blokade epidural, insidensi yang dilaporkan hanyalah 1:150.000. Kasus epidural hematoma mengalami peningkatan sejak adanya penggunaan heparin bermolekul rendah pada praktek klinik di Amerika Serikat. Insidensi epidural hematoma meningkat hingga mencapai 1:6600 untuk semua populasi anestesi epidural. 3 Faktor resiko potensial terjadinya epidural hematoma setelah prosedur pemasangan kateter epidural meliputi abnormalitas hemostatik dan/atau penggunaan antikoagulan dan adanya penyulit ketika prosedur dilaksanakan. Masa pemasangan atau pelepasan kateter epidural yang bertepatan dengan pemberian antikoagulan juga meningkatkan faktor resiko. American Society of Regional Anesthesia and Pain Medicine telah mempublikasikan konsensus mengenai blokade neraxial dan antikoagulasi; publikasi tersebut dapat dilihat pada situs online (www.asra.com). Infeksi Terbentuknya abses epidural merupakan komplikasi yang jarang ditemukan pada proses pemasangan anestesi atau analgesia epidural. Ada banyak
17

faktor resiko yang dipercaya dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya abses epidural. Beberapa di antaranya adalah penurunan daya tahan tubuh, sepsis, atau pasien bakteremia atau pasien yang mengalami banyak keadaan komplikasi (seperti keganasan, diabetes, trauma multipel, dan penyakit paru obstruktif kronik), infeksi pada daerah penusukan jarum, dan pemasangan kateter yang lama. Pasien yang mengalami abses epidural biasanya datang dengan keluhan nyeri punggung, eritema, leukositosis, dan defisit neurologis yang progresif sejak pemasangan kateter epidural. Penegakkan diagnosis dan penatalaksanaan dini seperti pemberian antibiotik dan pembedahan dekompresi, merupakan hal yang sangat esensial untuk menghindari defisit neurologis permanen. Migrasi Kateter/Salah Posisi Setelah dipasang, kateter epidural dapat bermigrasi secara intravena atau subdural. Insidensi migrasi intratekal dilaporkan pada 0,15%-0,18% kejadian. Insidensi yang hampir serupa terjadi pada migrasi intravena yang dilaporkan mencapai 0,18%.21 Cairan anestetik lokal yang secara tidak sengaja mengalir ke aliran darah dapat berakibat pada toksisitas yang dapat bermanifestasi secara neurologis dan/atau kardiologis. Selain itu, injeksi anestesi lokal intratekal dapat menyebabkan blok jantung derajat tinggi yang membutuhkan intervensi invasif. Sangat direkomendasikan untuk melakukan tes, sebelum dilakukan pemberian bolus epidural dengan epinefrin dosis kecil yang mengandung anestetik lokal untuk menyingkirkan migrasi kateter intravaskuler atau intratekal. Kateter salah posisi menggunakan dapat terjadi pada 5,7% kasus. Hal ini dapat menyebabkan adanya gap analgesik dengan nyeri apabila tidak segera dideteksi. Kateter yang terlalu dalam masuk ke ruangan epidural memiliki resiko terlipat; cara menghindari komplikasi ini adalah dengan teknik memasukan kateter hanya sekitar beberapa sentimeter (4-6 cm) ke dalam ruangan epidural. Hipotensi Hipotensi terjadi karena adanya blokade simpatetik oleh agen anestesi lokal epidural. Derajat hipotensi tergantung pada derajat blok, dosis anestetik lokal, dan status cairan pasien. Blok epidural terlalu tinggi yang mencapai level T1 hingga T5 dapat memblokade serabut akselerator jantung dan hal ini
18

menyebabkan bradikardi dan hipotensi. Parasimpatetik yang tidak dihambat oleh apapun dapat memediasi bronkokostriksi sehingga mengakibatkan bronkospasme selama analgesia epidural.81 Penggunaan dosis anestetik lokal yang lebih rendah dan infus PCEA dapat mengurangi efek penurunan tekanan darah. Blokade Fungsi Motorik Blokade fungsi motorik unilateral maupun bilateral atau kelemahan sudah pernah dilaporkan terjadi pada pasien-pasien yang mendapat infus epidural, meskipun menggunakan dosis rendah. Hal ini menyebabkan pasien beresiko jatuh dan tidak dapat berpartisipasi dalam terapi fisik. Penggunaan PCEA dapat membantu menurunkan kebutuhan anestetik lokal dan mengurangi resiko blokade fungsi motorik. Blok unilateral dapat dihindari dengan menggunakan kateter epidural multipori serta membatasi insersi kateter hanya sekitar 4-6 cm ke dalam ruangan epidural. Penggunaan ropivacaine dapat menghasilkan blokade motorik yang lebih sedikit bila dibandingkan dengan dosis ekuianalgesik bupivacaine, terutama ketika digunakan dalam konsentrasi rendah (0,1%) yang dikombinasikan dengan opioid. Depresi Pernapasan Opioid epidural dapat menyebabkan depresi pernapasan pada beberapa pasien terutama yang berusia 70 tahun ke atas. Insidensi depresi pernapasan lebih sering ditemukan pada penggunaan opioid hidrofilik, seperti morphine. Morphine memiliki kecenderungan tetap bertahan di CSF, menyebar secara rostral ke pusat pernapasan di batang otak dan dapat mengakibatkan depresi pernapasan yang tertunda. Kemungkinan depresi pernapasan yang tertunda lebih jarang terjadi pada penggunaan opioid hidrofobik; namun, ketika diberikan melalui infus, dosis kumulatif opioid hidrofobik dapat mengakibatkan penurunan laju napas pada beberapa pasien. ACUTE PAIN SERVICE (PELAYANAN UNTUK MENGATASI NYERI AKUT) Menyediakan analgesia pasca-operasi yang aman dan efektif merupakan tugas menantang yang melibatkan banyak hal. Oleh karena itu pendirian acute
19

pain service (APS) merupakan suatu hal yang esensial untuk mengatasi tantangan tersebut. Analgesia epidural merupakan bagian dari pendekatan multimodalitas yang dibutuhkan untuk mencapai keberhasilan APS. Seorang praktisioner harus mempertimbangkan 15.5). Tabel 15.5: Manajemen yang Efektif dan Aman pada Analgesia Epidural Informed consent; analisis yang tepat terhadap faktor Pasien resiko/keuntungan dan ada tidaknya kontraindikasi Teknik yang steril; Terdapat standar farmasi dan tindakan. Pompa Regimen infus standar (sebaiknya berbeda dengan pompa PCA) yang sesuai dengan kapasistas PCEA. Terdapat standar lembar pengisian. Alatalat memiliki tanda identifikasi. Perban anti bakteri yang steril. Mendapat pelatihan/program/protokol/buku acuan nyeri akut agar Staf dapat: mengenali dan memberikan manajemen komplikasi yang meliputi hipotensi, depresi pernapasan, analgesia yang tidak adekuat, dan blokade motorik. Terdapat monitoring reguler skor nyeri dinamis, parameter Pengawasa n kardiorespiratori, skor sedasi, level dermatom, dan blokade motorik. Inspeksi harian pada lokasi epidural. Peninjauan APS dilakukan dua kali sehari. Audit dan umpan balik ke ahli anestesi, ahli bedah, dan perawat. Melaporkan insiden yang kritis.21 beberapa faktor tertentu agar mampu menjalankan manajemen analgesia epidural pasca-operasi yang aman dan efektif (lihat Tabel

Audit

RINGKASAN Penggunaan analgesia epidural menjadi salah satu penanganan nyeri pada pasien yang menjalani multipel pembedahan. Analgesia epidural ini diketahui memberikan efek analgesia post-operatif yang lebih superior dan pereda nyeri yang konsisten dan membuat konsumsi opioid menjadi lebih rendah dan efek samping berkurang. Analgetik epidural dapat diberikan dalam bentuk infus yang berkelanjutan, sesuai kebutuhan, ataupun keduanya. Paling sering digunakan adalah dari jenis opioid dan anastetik lokal. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap efektifitas dari analgetik epidural adalah lokasi kateter epidural, cara
20

pemberian analgesia epidural, analgetik epidural dan pemilihan adjuvan. Penggunaan analgesia epidural berkaitan dengan sejumlah komplikasi potensial atau efek samping, yang mana efek samping tersebut tidak hanya disebabkan oleh penggunaan agen medikasi, namun juga diakibatkan oleh pemasangan, migrasi, dan pelepasan kateter epidural.

21

Anda mungkin juga menyukai