Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

Patient Controlled Epidural Analgesia (PCEA) merupakan sebuah metode yang efektif

dalam mengontrol nyeri dengan pemberian obat analgesik kuat dan anestesi lokal melalui sebuah

kateter yang dimasukan ke ruang epidural yang dihubungkan dengan sebuah pompa yang akan

mengirimkan dosis kecil obat tersebut langsung menuju saraf spinal. Dikarenakan dosis obat

yang rendah untuk terbebas dari rasa nyeri, efek samping seperti mual, sedasi, dan depresi nafas

dapat diminimalkan. Penggunaan metode ini biasanya pada prosedur obstetrik dan nyeri pasca

operasi tubuh bagian bawah. Dan juga digunakan untuk penatalaksanaan nyeri pada pasien

kanker stadium lanjut atau nyeri kronik non-kanker. (Jeffrey A.G, 2005)

Administrasi obat secara epidural didistribusikan melalui tiga jalur utama, antara lain

melalui proses difusi melalui dura menuju cairan likuor serebrospinalis, kemudian menuju ke

medulla spinalis atau akar saraf. Kedua melalui pengambilan oleh pembuluh darah pada ruang

epidural menuju sirkulasi sistemik. Dan terakhir pengambilan oleh lemak pada ruang epidural,

membentuk suatu kumpulan obat dimana obat tersebut bisa masuk menuju cairan likuor

serebrospinalis atau sirkulasi sistemik. (Jeffrey A.G, 2005)

Melalui penggunaan patient controlled epidural analgesia (PCEA) memungkinkan

pasien untuk berperan dalam menentukan kebutuhan akan obat analgesik secara pribadi. PCEA

bisa memberikan waktu untuk terbebas dari rasa nyeri yang lebih baik, kontrol terhadap nyeri,

dan menjadi keuntungan bagi pasien dan perawat untuk mengurangi waktu yang diperlukan

untuk mendapatkan dan memberikan bolus obat analgesik. (Jeffrey A.G, 2005)

1
BAB II

PATIENT CONTROLLED EPIDURAL ANALGESIA

2.1. Definisi

Patient Controlled Epidural Analgesia (PCEA) adalah istilah yang menggambarkan

sebagai pemberian obat analgesik di bawah control pasien ke dalam ruang epidural. Teknik ini

memberikan beberapa keunggulan yaitu angka kepuasan pasien yang cukup tinggi

dan juga dosis yang lebih rendah dibandingkan dengan kontrol infus epidural biasa.

PCEA menggunakan pompa canggih yang dikendalikan mikroprosesor yang memberikan dosis

terprogram ketika pasien menekan tombol permintaan sehingga posisi kateter yang akurat sangat

penting untuk keberhasilan dan respon yang optimal. (ESRA, 2007)

2.2 ANATOMI

Ruang epidural adalah ruangan antara ligamentum flavum dengan duramater. Ruangan
ini mengelilingi kantung dura, memanjang dari foramen magnum sampai batas bawah di
membrana sakrokoksigeus. Pada tepi foramen magnum lapisan periosteum kanalis spinalis
vertebra berfusi dengan lapisan duramater. (Collin, 2006)

Ruang epidural sebelah anterior dibatasi oleh ligamentum longitudinal posterior yang
meliputi korpus dan diskus vertebralis; sedang bagian posterior berupa arkus vertebra dan
ligamentum flavum. Di sebelah lateral terdapat pedikel dan foramina intervertebralis. (Collin,
2006)

2
Gambar 2. 1. Anatomi dari ruang epidural

Ruang epidural berisi jaringan areolar, lemak, 31 pasang akar serabut saraf spinalis
dengan dural cuff yang menuju ke foramina intervertebralis, pembuluh darah vena dan pembuluh
limfe. Pembuluh darah vena disini tanpa klep, menerima aliran dari tulang-tulang yang
berdekatan dan dari korda spinalis kemudian membentuk pleksus vena didalam ruang epidural.
Vena-vena pada ruang epidural berhubungan dengan vena intervertebralis dan bergabung dengan
vena-vena pada vertebra, ascending cervical, intercosta, iliolumbal dan vena di sakralis lateralis.
Kebawah vena ini berhubungan dengan di intrakranial. Aliran vena ini menuju vena cava melalui
vena azygos. Vena di ruang epidural akan membesar sewaktu batuk, terjadi regangan maupun
pada tekanan yang mengakibatkan aliran vena cava terbendung seperti adanya tumor pada
abdomen dan kehamilan. (Collin, 2006)

Jarak dari kulit sampai ligamentum flavum adalah 4-5 cm, dari kulit sampai dura 4-6 cm
dan dari ligamentum flavum sampai dura adalah 3-6 mm. Sehingga tingginya medulla spinalis
ini menunjukkan pula dermatom yang diinovasi, misalnya T10 setinggi umbilikus kebawah,
sedangkan pada ketinggian T7 ini sesuai dengan daerah inervasinya setinggi xypoid ke bawah.

3
Untuk mencapai ruang epidural melalui pendekatan midline, jarum epidural dari luar berturut-
turut akan menembus bagian ini.

1. Kulit
2. Subkutis
3. Ligamentum supraspinosum
4. Ligamentum interspinosum
5. Ligamentum flavum

Pada waktu jarum epidural menembus subkutis sampai dengan ligamentum interspinosum terasa
tahanan meningkat. Apabila jarum menembus ligamentum flavum tiba-tiba tak terasa jarum
menembus adanya tahanan, berarti jarum telah berada diruang epidural dan apabila tusukan
jarum diteruskan, maka akan menembus dura dan masuk ke ruang subarakhnoid. (Richrad
D,2013)

2.3 OBAT- OBAT ANESTESI LOKAL

Terdapat dua golongan obat anestesi lokal berdasarkan struktur kimianya :

(Richrad D,2013)

 1. Golongan amide  Metabolisme di hepar

o Lidokain
o Bupivakain
o Prilokain
o Mepivakain
 2. Golongan ester  Metabolisme di plasma
o Kokain
o Prokain
o Tetrakain
o Kloroprokain

4
2.4 MEKANISME KERJA

Anestesi lokal mencegah transmisi impuls lokal dengan cara menghambat pasase ion
Na+ melewati saluran Na (sodium channel) dalam membran saraf. Konduksi impuls sepanjang
jaringan saraf disebabkan perubahan derajat elektrikal yang melintas membran saraf sebagai
akibat dari pergerakan ion Na dan K. (Bucklin,2009)

Depolarisasi satu segmen dari jaringan saraf yang tak bermielin menyebar ke segmen
yang lain, karena perbedaan potensial listrik antara depolarisasi dan repolarisasi. Hal ini
disebabkan oleh masuknya ion Na dari ekstraseluler melalui channel Na yang spesifik pada
membran. Aliran ion K dari inferior ke posterior saraf menyebabkan repolarisasi, sesudah
potensial aksi yang lengkap, terjadi keseimbangan ion melalui aktivasi dari pompa Na dan K
terjadi lagi proses seperti semula.

Obat lokal anestesi mencegah proses depolarisasi membran saraf dengan memblok
aliran ion Na. Akibatnya akan terjadi hantaran transmisi impuls saraf (blokade konduksi) dengan
mencegah permeabilitas membran saraf terhadap ion Na (Bucklin,2009)

Ada tiga tempat kerja obat lokal anestesi di dalam ruang epidural:

1. Pada serabut saraf yang lewat di ruang epidural. Obat akan berdifusi melintasi duramater
masuk kedalam ruang subarakhnoid dan kemudian bekerja dengan melakukan blokade pada
akar saraf spinal atau dorsal root ganglion.
2. Pada akar serabut saraf yang keluar melalui foramina intervertebralis. Obat berdifusi dari
rongga epidural masuk ke foramina intervertebral dan akan menyebabkan blokade
paravertebral pada kedua sisinya.
3. Difusi obat anestesi lokal melalui dura kedalam ruang subarakhnoid. Obat berdifusi
melintasi dural cuff mengelilingi akar saraf spinal masuk kedalam ruang subperineal dan
kemudian keruang subpial. Secara bersamaan obat juga berdifusi melintasi villi pia
arakhnoid masuk ke ruang subdural kemudian ke subarakhnoid dan ruang subpial.
Akibatnya terjadi blokade pada akar spinal dan traktus perifer spinal cord. (Bucklin,2009)

5
2.5 Tempat Pemasangan

Pemasangan epidural kateter yang lebih sering pada segmen thorakal dibandingkan

segmen lumbal telah menjadi suatu perubahan besar dalam 20 tahun terakhir dan telah digunakan

pada kebanyakan studi menunjukkan peningkatan untuk terbebas dari rasa nyeri yang lebih

adekuat. Teknik ini memiliki banyak keuntungan potensial saat digunakan dalam pemberian

kombinasi anestesi lokal dan opioid. Teknik thorakal menyediakan administrasi obat opioid

dalam dosis lebih kecil dan meminimalisir blok saraf simpatis dan motorik pada anggota gerak

bawah.

2.6 Indikasi, Kontraindikasi dan Komplikasi Pemasangan Epidural

INDIKASI: (Morgan, 2013)

 Blok tunggal atau kombinasi dg anestesi umum


 Bedah abdomen bawah
 Bedah inguinal & urogenital
 Bedah ekstremitas bawah
 Bedah anorektal
 Penanggulangan nyeri akut & kronik (mis nyeri persalinan, nyeri kanker)

KONTRA INDIKASI:

 Absolute
• Infeksi tempat injeksi
• Pasien menolak
• Koagulopati
• Hipovolemia berat
• Peningkatan TIK
• Stenosis aorta berat

6
• Stenosis mitral berat
 Relative
• Sepsis
• Pasien tidak kooperatif
• Deficit neurologic
• Deformitas tulang belakang
• Gangguan katup jantung
 Controversial
• Operasi tulang belakang sebelumnya
• Tidak mampu berkomunikasi
• Pembedahan sulit (lama, perdarahan banyak, maneuver yg mengganggu
respirasi)

KOMPLIKASI: (Miller, 2005)

1. Hipotesi
2. Bradikardi
3. Mual dan muntah
4. Dura robek atau tembus
5. Total spinal, gejala: hipotensi, apneu, pupil dilatasi, kesadaran menurun
6. Hematoma epidural
7. Toksisitas

2.7 Pre atau post insisi epidural analgesia

Tidak ada perbedaan yang signifikan pada pengurangan rasa nyeri saat bupivacaine dan

morphine yang diberikan sebelum dan setelah insisi. Pada studi lain penggunaan kombinasi dari

ketamine, bupivacaine dan morphine menunjukkan peningkatan efek analgesia pada kelompok

pemberian epidural analgesia sebelum insisi setelah menjalani pembedahan abdomen bagian atas

selama hari pertama pasca operasi. (Lippincott, 2010)

7
2.8 Dosis Obat

Berdasarkan pengalaman klinis disarankan penggunaan ropivacaine atau bupivacaine

dalam konsentrasi 0,1% atau kurang. Terdapat tiga parameter yang harus diatur antara lain

volume bolus, lockout interval, dan background infusion. Beberapa dokter juga mengatur volume

maksimum setiap periode 2 sampai 4 jam.

Pada pengaturan volume bolus dikarenakan seorang dokter tidak harus selalu datang

setiap kali pasien menerima dosis obat, volume bolus haruslah cukup efektif dan aman bagi

pasien. Lockout interval haruslah diatur agar sesuai dengan waktu dimana dosis obat menjadi

efektif. Contohnya pasien merasakan peningkatan efek analgesia dalam 10 menit apabila

menggunakan bupivacaine. Oleh karena itu lockout interval harus diantara 10 sampai 30 menit

agar tepat dengan efektivitas obat tersebut. (Lippincott, 2010)

Menggunakan atau tidak menggunakan background infusion menjadi hal kontroversial.

Beberapa dokter yang berpengalaman dalam PCA IV memilih tidak menggunakan background

infusion. Akan tetapi dalam penggunaan PCEA tidaklah sama dikarenakan dosis obat yang

digunakan lebih rendah. Apabila dosis background infusion terlalu tinggi, pasien akan tidak

terlalu memiliki kontrol terhadap obat yang mereka terima. Ini akan mengakibatkan blok motorik

sejalan peningkatan dosis total obat. Untuk alasan ini dosis background infusion haruslah

disesuaikan pada setiap pasien. (Lippincott, 2010)

8
Tabel 2.1 Dosis untuk pasien kontrol epidural analgesia (ESRA, 2007)

Dosis PCEA regio lumbal atau thorakal

Background 4-6 ml / jam melalui infus PCEA


(maksimal 8ml/jam)

Bolus dosis 2 ml (range 2-4 ml/ bolus)

Lock Out Interval 10 - 30 menit , (Disarankan 30 menit)

Rekomendasi dosis per (Bolus + Latar Belakang) 12 ml / jam


jam maximal

Memberikan pasien kewenangan dalam mengontrol obat analgesia yang mereka terima

telah menjadi sebuah prinsip yang penting dalam penanganan nyeri akut. Kepentingan dari

background infusion saat penggunaan obat kombinasi anestesi lokal dan opioid pada pasien

dalam masa pemulihan dari gastrectomy saat penggunaan PCEA saja kurang efektif dalam

mengurangi rasa nyeri saat pasien batuk dibandingkan dengan PCEA dengan background

infusion.

Bonica, dalam buku manajemen nyeri menyebutkan bahwa pasien dengan control

epidural analgesia memungkinkan individualisasi terapi pasien nyeri dengan mandiri serta

mengurangi jumlah kebutuhan konsumsi obat-obatan analgesia. Dalam penelitiannya di jelaskan

data dari lebih dari 1000 pasien mengalami nyeri, di terapi dengan menggunakan analgesia

melalui epidural baik lumbal maupun thorakal menunjukkan bahwa hampir 90% pasien dengan

PCEA menerima analgesia yang memadai. (Bonica, 2009)

9
TABEL 2.2 Perbandingan efek samping epidural control infus dengan PCEA

(Nightale,2007)

Badan Nasional Pedoman Clearinghouse, Sebuah sumber daya publik untuk pedoman

praktek klinis berbasis bukti di Amerika Serikat memberikan pendapat bahwa Pasien

Controlled Analgesia Epidural (PCEA) aman untuk digunakan, dapat juga pada orang

dewasa yang lebih tua. (Manajemen nyeri akut pada orang dewasa yang lebih tua. 2006).

Penelitian telah menunjukkan nyeri yang efektif, penurunan penggunaan opioid, dan

meningkatkan kepuasan pasien dengan nyeri dengan PCEA (opioid dan anestesi lokal)."

pada penelitian acak, perbandingan double-blind ganda pasien yang menjalani reseksi kolon

yang diberikan analgesia pasca operasi menggunakan PCEA vs infus epidural ,

menyimpulkan bahwa PCEA menyediakan keberhasilan yang lebih besar daripada analgesik

10
epidural infus biasa, pasca operatif pun serta mengurangi pemauntauan ketat dari dokter atau

intervensi perawat.(Nightale,2007)

2.9 Teknik pemasangan kateter

Pemasangan kateter epidural harus dilakukan menggunakan teknik aseptik antara lain

seperti cuci tangan, sarung tangan steril, gown steril , masker (dipakai untuk menutupi hidung),

skin preparation, dan sterile drapes disekitar tempat suntikan. Ujung dari kateter epidural harus

diposisikan pada posisi spinal sesuai dengan tempat pembedahan. Kateter harus difiksasi untuk

meminimalisir kemungkinan pergerakan kateter keluar ruang epidural. Pemasangan dressing

disesuaikan agar tidak menutupi tempat pemasangan kateter. Dikarenakan resiko infeksi

nosokomial perlu dipertimbangkan dalam pemberian profilaksis antibiotik. Terutama bagi pasien

dengan resiko terinfeksi seperti pasien dengan diabetes, pasien yang mendapatkan terapi steroid

atau immunosupresi dan pasien yang telah dirawat di rumah sakit lebih dari 48 jam dengan

penggunaan kateter epidural. Pemasangan kateter pada vertebra bergantung pada lokasi nyeri,

cedera atau jenis operasi. (McKenzie, 2008)

Lokasi yang paling sering adalah:

Lokasi pembedahan atau cedera Lokasi kateter

Thorak T6-T8

Abdomen bagian atas T7-T10

Abdomen bagian bawah T9-L1

Pinggang atau anggota gerak bawah L1-L4

11
Gambar 2.2. Ruang epidural Gambar 2.3 Pemasangan epidural

Gambar 2.4 Pemasangan Patient Controlled Epidural Analgesia (PCEA)

12
BAB III

OBAT-OBAT PCEA

3.1 Anestesi lokal

Pemberian obat anestesi lokal saja pada epidural tidak digunakan secara luas dalam penanganan
nyeri pasca operasi dikarenakan regresi blok sensorik, dan kejadian blok motorik dan sering
menyebabkan kejadian hipotensi. Studi terhadap pasien yang mejalani pembedahan thorak,
penggunaan bupivacaine 37,5-50 mg yang diberikan secara epidural, 30% pasien membutuhkan
suplemen opioid dikarenakan efek analgetik yang tidak adekuat, dan sekitar 80% pasien
mengalami kejadian hipotensi. (Richrad D,2013)

Tabel 3.1 DOSIS EPIDURAL DENGAN PCEA (Richrad D, et al, Pocket Anesthesia 2013)

13
3.2 Opioid

Penggunaan analgesia epidural untuk mengurangi rasa nyeri menjadi populer setelah mulai

penggunaan obat opioid secara epidural akibat penemuan reseptor opioid pada kornu

posterior medulla spinalis. Opioid memiliki efek pada pre sinap dan post sinap kornu

posterior dan mempengaruhi modulasi terhadap rangsangan nyeri yang masuk, tetapi tidak

mengakibatkan blok motorik dan saraf simpatis. Penggunaan obat opioid telah secara luas

digunakan di Amerika dan Australia yaitu pemberian bolus obat seperti morphine,

diamorphine, dan pethidine atau infus kontinyu opioid lipofilik seperti fentanyl atau

sufentanil. Walaupun bolus obat opioid epidural memberikan efek analgetik yang lebih

lama dengan dosis kecil dibandikan dengan IM opioid. Tidak ditemukan perbedaan hasil

klinis yang signifikan antara pemberian opioid lipofilik epidural (PCEA) dibandingkan

dengan pemberian opioid intravena (PCA IV). Akan tetapi pada pembedahan abdomen

bagian bawah dan thorak ditemukan pemberian fentanyl epidural memberikan efek terbebas

dari rasa nyeri yang lebih efektif dibandingkan dengan PCA IV dengan obat morphine atau

fentanyl. Pada studi terhadap konsentrasi plasma obat, tidak ditemukan perbedaan

konsentrasi plasma pada kedua rute pemberian. (McKenzie, 2008)

3.3 Kombinasi anestesi lokal dan opioid

Infus kontinyu epidural dengan menggunakan kombinasi anestesi lokal dan opioid paling

sering digunakan di Inggris dan Australia oleh 97% dokter anestesi. Penggunaannya

berdasarkan observasi klinis kombinasi anestesi lokal dan opioid mengurangi efek blok

sensorik dibandingkan anestesi lokal saja dan meningkatkan kualitas terbebas dari rasa

nyeri. Survei di Inggris menunnjukan 40% departemen anestesi menggunakan diamorphine

14
dan 51% menggunakan fentanyl dikombinasikan dengan obat anestesi lokal. Kebanyakan

studi menunjukkan penggunaan kombinasi anestesi lokal dan opioid berhubungan dengan

terbebas dari rasa nyeri yang lebih baik setelah pembedahan abdomen atas atau bawah,

ortopedi, dan thoraks. PCEA dengan kombinasi anestesi okal dan opioid menunjukkan

secara signifikan lebih baik dibandingkan PCA IV dengan obat morphine dalam menangani

nyeri pasca pembedahan mayor abdomen. Dan juga kombinasi anestesi lokal dan opioid

secara signifikan menunjukkan pengurangan keperluan atau dosis akan obat opioid. Banyak

studi awal menggunakan konsentrasi fentanyl 10 µg pada penggunaan epidural tanpa

kombinasi. Tetapi dengan kombinasi levobupivacaine 0,125% konsentrasi optimal fentanyl

menjadi 4 µg saja. Begitu juga terjadi penurunan pada konsentrasi obat morphine dan

diamorphine sekitar 50 µg yang efektif dalam penanganan nyeri. Dosis optimal dari anestesi

lokal pada studi menunjukkan konsentrasi dari bupivacaine 0,1% atau kurang, yang

diberikan dalam patient controlled epidural analgesia (PCEA) tanpa infus background, dosis

4-12 mg bupivacaine yang dikombinasikan dengan morphine 50 µg atau diamorphine 80 µg

atau fentanyl 10 µg atau sufentanyl 1 µg yang diberikan melaui kateter epidural pada

segmen thorak telah efektif untuk terbebas dari rasa nyeri. Kemudian dengan adanya obat

anestesi lokal yang terbaru seperti levobupivacaine dan ropivacaine akan lebih sering

dipakai karena batas keamanan obat yang lebih baik. Obat ropivacaine memiliki keuntungan

potensial berupa efek blok pada saraf motorik yang lebih sedikit. (McKenzie, 2008)

Keuntungan Kombinasi anestesi lokal dan opioid

1. Opioid yang diberikan melalui kateter epidural ke ruang epidural adalah salah satu

pilihan yang baik untuk terapi analgesia pasca operasi.

2. Kemampuan berikatan dengan lemak dan konstanta kelarutan (pKa) menentukan

15
profil analgesia dan efek samping pada obat-obatan opioid epidural.

3. Opioid yang diberikan secara epidural akan bekerja melalui mekanisme spinal dan

suprasinal/sistemik.

4. Opioid hidrofilik dosis tunggal dapat memberikan efek analgesia yang lebih panjang

daripada opioid lipofilik.

5. Morfin dengan campuran anestetik lokal pada epidural kontinu dapat menjadi

analgesia pasca operasi yang baik.

6. Opioid epidural memberikan efek samping yang sama dengan pemberian opioid

secara sistemik. Beberapa efek samping tergantung pada dosis pemberian. Ada

beberapa perbedaan pada efek samping yang timbul antara opioid lipofilik dan

hidrofilik.

7. Dokter mengukur dosis opioid untuk mengurangi efek samping yang timbul.

3.4 Adjuvant PCEA

Banyak obat-obat lain yang digunakan sebagai adjuvant untuk meningkatkan efektivitas

dari epidural analgesia. Obat-obat tersebut antara lain ketamine (antagonis NMDA), midazolam

(agonis GABA), klonidin (α2 agonist) dan adrenalin. Walaupun ketamine 400 µg digunakan

sebagai adjuvant pada infus epidural dosis kecil morphine, bupivacaine dan adrenalin, efek

peningkatan terbebas dari rasa nyeri masih menjadi pertimbangan dikarenakan kurangnya studi

akan potensi neurotoksik dari ketamine. Begitu juga pada pemberian klonidin 18-20 µg pada

epidural analgesia melalui thorakal menjadi pertimbangan dikarenakan peningkatan kejadian

hipotensi . tetapi penggunaan epinephrine berhubungan dengan efek blok sensorik yang lebih

minimal, peningkatan dari rasa nyeri saat batuk, dan penurunan konsentrasi serum fentanyl.

(McKenzie, 2008)

16
3.5 Pedoman Protokol PCEA berdasarkan American Society of Anesthesia (ASA)

1. Orientasi pra operasi pasien mengenai alat dan keselamatan PCEA, regimen obat dan
pemantauan jalannnya obat

2. Pasien mendapatkan jalur IV paten canule baik sebelum pemberian atau sesudah
pemberian PCEA, tidak dalam keadaan dehidrasi, dapat mendapatkan suplementasi O2 serta
mendapatkan pemantauan baik oleh orang yang profesional .

3. Semua pasien harus memilikipenjelasan mengenai alat PCEA yang digunakan,


mengetahui cara menekan tombol bolus dan mendengar bunyi bip lembut yang akan
menunjukkan telah menerima dosis dan pasien harus tahu bahwa dosis berada dalam batas aman,
tetapi mereka tidak harus menekan ketika tidak ada rasa sakit.

REGIMEN

Background 4-6 ml / jam (maksimal 8ml/jam)

Bolus dosis 2 ml (range 2-4 ml/ bolus)

Lock Out Interval 10 - 30 menit , (Disarankan 30 menit)

Rekomendasi dosis per jam (Bolus + Latar Belakang) 12 ml / jam


maximal

Untuk Pasien yang mendapatkan perawatan di ICU

• Inj Bupivakain 0,1% dan inj sufentanil 0,16 mcg / ml, atau

• Inj bupivakain 0,1% dan inj Fentanyl 1-2 mcg / ml

Untuk Pasien yang mendapatkan perawatan di Bangsal

• Inj Bupivakain 0,125% ,atau

Inj Bupivakain 0,0625% + Opioid (Fentanyl 1 mcg / ml)

17
from barash , post acut operative pain

18
Contoh Formula dengan menggunakan rumus (Esra, 2007)

Kepekatan (%) x Volume sebenarnya. = konsentrasi yang Diinginkan x Volume yang Diinginkan

Contoh 1 : Untuk membuat Bupivacain. 0,1% dengan sufentanil. 0,16 ug / ml, sebanyak 100 ml

untuk di pasang pada cartridge PCEA, yaitu :

a.Untuk bupivacaine sediaannya 5mg/ml (20 ml/vial)

 0,5 x X = 0,1% x 100,sehingga kita perlu 20 ml yaitu (1 amp sediaan Bupivacain )

b. Untuk sufent.sediaan nya 5 ug / ml (10 ml/amp)

 5 x Y = 0,16 x 100, sehingg kita perlu 3,2 ml sufentanil (dari 10 ml sediaan sufentanil)

Jika digabungkan untuk Sufentanil + Bupivacain PCEA cartridge, maka ;

20 ml Bupivacain + 3,2 ml sufentanil + 76,8 ml Aquades = 100 ml cartridge.

Sehingga didapatkan Bupivacain. 0,1% dengan sufentanil. 0,16 ug / ml, sebanyak 100 ml
19
Contoh 2 : Demikian pula untuk fentanyl + Bupivacain PCEA cartridge

Bupivacain. 0,1% dengan Fentanil 2mcg / ml

maka Untuk Fentanil sediaan nya 50 ug / ml (2 ml/amp)

 50 x Y = 2 x 100, sehingg kita perlu 4 ml fentanil (200mcg)

20 ml Marcaine + 4ml fentanil + 76 ml saline = 100 ml cartridge

Sehingga didapatkan Bupivacain. 0,1% dengan Fentanil. 2mcg / ml, sebanyak 100 ml

BAB IV

KOMPLIKASI DAN EFEK SAMPING

4.1 Komplikasi

Terdapat beberapa komplikasi dari epidural analgesia, sebagian dari komplikasi tersebut

menjadi pertimbangan utama dikarenakan bisa menyebabkan kerusakan neurologis permanen.

Efek samping berhubungan dengan pemasangan kateter, kedudukan kateter pada ruang epidural

atau kesalahan obat. Pengenalan Acute Pain Services (APS) memungkinkan pendeteksian awal

dari efek samping tersebut. Pada studi kepada 50.000 pemasangan epidural analgesia hanya 3

pasien yang mengalami kelemahan tungkai permanen. Studi retrospektif dari 170.000

pemasangan epidural analgesia di Finlandia selama 10 tahun menunjukkan 9 komplikasi serius

antara lain, 1 kasus paraparesis, 1 kasus cauda equina syndrome permanen, 1 kasus peroneal

nerve paresis, 1 kasus defisit neurologis, 2 kasus infeksi bakteri, 2 kasus reaksi akut toksin pada

20
obat anestesi dan 1 kasus overdosis opioid epidural. Studi prospektif di Prancis melibatkan

30.413 pemasangan epidural analgesia selama periode 5 bulan, menunjukkan kejadian

komplikasi berat, 3 kasus cardiac arrest, 4 kasus kejang, dan 6 kasus cedera saraf. (Igor K, 2009)

4.2 Efek Samping dan Penanganannya

a. Mual dan Muntah

Insiden dari PONV (postoperative nausea and vomiting) dapat terjadi berdasarkan

banyak faktor yaitu jenis anestesi yang digunakan, tipe dan durasi pembedahan dan juga

jenis kelamin pasien. Pemberian anti-emesis pada pasien digunakan untuk melakukan

pencegahan pada kejadian PONV. Pemberian anti- emesis pada pasien harus selalu

dilakukan evaluasi oleh perawat ataupun dokter yang menangani. Pasien yang masih

merasakan mual 30 menit setelah pemberian, harus segera diberikan obat anti-emesis

yang lain. Obat pilihan pertama untuk anti-emesis yaitu Cyclizine 50mg IV/IM/PO setiap

8 jam (maksimum 150 mg dalam 24 jam), obat pilihan kedua Ondansetron 4mg

IV/IM/PO setiap 8 jam atau 8mg setiap 12 jam (maksimum 16 mg dalam 24 jam).

b. Distress Nafas dan Over Sedasi

Jika frekuensi nafas <8 kali permenit dan skor sedasi 1 atau 2. Hentikan

pengoperasian alat PCEA sendiri oleh pasien. Pertimbangkan pemberian oksigen

21
supplemental dan menjaga saturasi oksigen pasien diatas 90%. Lakukan monitoring

frekuensi nafas, saturasi oksigen dan skor sedasi setiap 15 menit.

Jika frekuensi nafas <6 kali permenit. Hentikan PCEA, segera berikan fraksi

oksigen tinggi 10 – 15 liter dengan masker non-rebreathing. Lakukan monitoring

frekuensi nafas, saturasi oksigen dan skor sedasi setiap 15 menit. Segera persiapkan

injeksi naloxone (400mcg dilarutkan dalam 0,9% NaCl hingga 8ml). Berikan

100mcg/2ml setiap 2 menit dan perhatikan efek yang terjadi. Jika skor sedasi masih

menunjukkan nilai 3 atau frekuensi nafas <6, pemberian naloxone diulang setiap 2 menit

sehingga terjadi perubahan frekuensi pernafasan >8. Pada pasien apnea segera berikan

naloxone dan segera lakukan Basic Life Support. (Igor K, 2009)

4.3 Hal - Hal Yang Perlu Diperhatikan dan Dimonitoring

Monitoring pada pasien pengguna PCEA harus selalu dilakukan, agar penyedia layanan

mengetahui setiap permasalahan teknis ataupun efek samping yang diderita oleh pasien dalam

penggunaan PCEA. Semua vital sign, gejala – gejala klinis, respiratory score, sedation score,

penilaian nyeri, dan durasi pemakaian PCA pada pasien harus dimonitoring. (McKenzie, 2008)

a. Vital sign dan gejala – gejala klinis

Tanda – tanda vital dan keluhan - keluhan harus dinilai secara regular dan

kontinu. Penilaian tersebut menggambarkan status generalis dari pasien. Penilaian gejala

– gejala klinis pada penggunaan PCEA digunakan untuk menilai efek samping dari

analgetik yang dipakai.

b. Penilaian Nyeri

22
Penilaian nyeri yang dilakukan dengan Visual Analouge Scale (VAS) ataupun

Pain Faces Scale. Penilaian nyeri harus dilakukan setiap saat, untuk mengetahui

efektivitas dari terapi yang dilakukan. Penilaian nyeri dilakukan dengan menggunakkan

skala, agar pasien dapat dengan mudah mendeskripsikan seberapa berat nyeri yang dia

rasakan dan seberapa baik perkembangan. Sehingga tidak terjadi kesalahan penilaian.

c. Penilaian Sedasi

Sedasi akan mendahului depresi pernapasan akibat penambahan dosis untuk

memproduksi efek opioid yang diinginkan. Penilaian sedasi sangat penting dilakukan

pada penggunaan PCEA. Rekomendasi skala penilaian derajat sedasi yang digunakan

adalah RASS (Richmond Agitation Sedation Scale). RASS dipakai karena singkat, mudah

dipergunakkan dan menggabungkan sedasi dan agitasi menjadi satu skala. Dasar

pemilihan RASS adalah untuk melihat seberapa besar jumlah stimulasi yang

dipergunakkan untuk memunculkan respon dan evaluasi sedasi. Beberapa peneliti juga

mempergunakkan Pasero scale untuk penilaian spesifik terhadap sedasi yang diinduksi

oleh opioid. (McKenzie, 2008)

23
Gambar.4.1 Richmond Agitation Sedation Scale (RASS)

d. Respiratory Assesment

Monitoring dari status respirasi pasien dan dipadukan dengan penilaian sedasi

sangat penting untuk mendeteksi depresi sistem pernafasan pada pasien yang

menggunakkan opioid pada PCEA. Penilaian respirasi meliputi frekuensi pernafasan dan

kualitas dari pernafasan.

24
Penilaian frekuensi pernafasan didasarkan pada umur, jenis kelamin, dan

frekuensi pernafasan sebelumnya. Jika pernafasan <9 kali/menit perhatian perlu diberikan

pada dosis penggunaan opioid karena telah terjadi depresi pernafasan. Normalnya

pemberian opioid akan lanjut diberikan jika frekuensi pernafasan >10 kali/menit.

Penilaian kualitas pernafasan dinilai dari kedalaman , irama pernafasan dan

suara – suara nafas yang abnormal. Pada beberapa pasien diperlukan juga penilaian pulse

oximetry (SpO2) dan capnography (ETCO2). SpO2 diperlukan untuk melakukan penilaian

oksigenasi pasien. ETCO2 juga diperlukan untuk menilai pernafasan yang terjadi, penilaian

ini lebih sensitif dalam mendeteksi hypercapnia. Sehingg praktisi kesehatan dapat

mendeteksi apakah pasien memerlukan terapi oksigen supplemental.

Penilaian status respirasi harus dibarengi juga dengan penilaian sedasi dan

penilaian nyeri. Penilaian status respirasi dari pasien sangatlah penting. Masalah – masalah

yang timbul pada pernafasan diharapkan dapat segera ditemukan dan segera ditangani.

Sehingga kualitas dari kesembuhan pasien dapat lebih ditingkatkan. (McKenzie, 2008)

25
BAB V

KESIMPULAN

Nyeri selalu menjadi keluhan utama pasien dan alasan utama untuk mencari bantuan

medis. Nyeri menimbulkan banyak permasalahan bagi pasien, baik dari aspek psikologis, aspek

fisik hingga dapet mengganggu kehidupan sosial penderita. Meskipun pelayanan pengelolaan

nyeri pada dekade ini sudah maju, namun masih banyak pasien yang menderita akibat nyeri akut

maupun nyeri kronis.

Dampak dari nyeri itu sendiri akan dapat mempengaruhi semua sistem tubuh dan

memperberat kondisi pasien karena nyeri menimbulkan respon stres metabolik (MSR). Dan akan

merugikan pasien itu sendiri dan malah akan memperlambat penyembuhan pasien. Sehingga

manajemen nyeri baik nyeri akut maupun nyeri kronis menjadi hal yang penting dan juga harus

diperhatikan dalam perawatan pasien saat ini.

Salah satu metode yang sedang berkembang untuk memperoleh efek control nyeri secara

cepat dan tepat yaitu Patient Controlled Epidural Analgesia (PCEA). PCEA umumnya

diamsusikan sebagai pemberian opioid on-demand, inttermitten dibawah control pasien (dengan

atau tanpa bantuan infus kontinyu)melalui catether epidural . Metode PCEA didasarkan pada

penggunaan pompa infus canggih yang dikendalikan oleh mikroprosessor. Dengan menekan

tombol permintaan, distribusi opioid dengan dosis terpogram akan terdistribusi dan

meminimalisir nyeri pada tubuh pasien. Sehingga dosis efektif akan dapat tercapai pada pasien,

juga para praktisi kesehatan dapat memonitoring dan mengevaluasi pemberian analgetik melalui

PCEA. Pemberian secara epidural jauh lebih efektif dan hasilnya cukup memuaskan.

26
Daftar Pustaka

Barry N. An epidural for pain relief after surgery in children. RCoA, London 2009
(www.rcoa.ac.uk/docs/EPRASC.pdf).

Bonica, J.J.. The Nature of the Pain of the Parturition. In: Principles and Practice of Obstetric
Analgesia and Anesthesia. 2nd ed. Williams & Wilkins.. 2009

Brown DL, 2000. Spinal, Epidural and Caudal Anesthesia, Anesthesia 5th Ed, Editor RD Miller,
Churchill Livingstone, New York.

Collins, VJ, Epidural Anesthesia, in Principle of Anesthesiology, 4th ed, Lea, E Febiaer,
Philadelphia. 2006

David R. Gambling , Patient-controlled epidural analgesia in labour: varying bolus dose and
lockout interval, Anesthesiology and Pain Management, University of Texas,
Southwestern Medical Center, Dallas, Texas U.S.A. 2010

Hamill RJ dan Rowlingson JC. The Physiologic and Metabolic response to Pain and Stress. In:
Handbook of Critical Care Pain Management. New York: McGraw-Hill,Inc; 1994; 13-25.

Igor K. Patient_Controlled Analgesia Analgesimetry and Its Problems. Anesth Analg.


2009;108:1945-9

Ian McKenzie. 2008. Patient Controlled Analgesia (PCA), Canadian Journal of Anesthesia 47:
113-119 (2000) Last Updated 08-feb-2008.

Jeffrey A. G, 2005, Patient Controlled Analgesia , Anesth Analg 2005;101:S44-S61

Jeremy C. Best practice in the management of epidural analgesia in the hospital setting Royal
College of Anaesthetists , London, 2010.

Lippincott Williams & Wilkins. American Society of Anesthesiologist, in: Practice Guidelines
for Chronic Pain Management. An Updated Report by The American Society of
Anesthesiologists Task Force on Chronic Pain Management and The American Society
of Regional Anesthesia and Pain Medicine., 2010;112:810-33

Macintyre P.E. 2001. Safety and Efficacy of Patient Controlled Analgesia. British Journal of
Anaesthesia, Vol. 87: 36-46.

Miller RD, MD, 2005, Acut Postoperative Pain, Miller’s Anesthesia, sixth edition, 2741-2742

Morgan, GE. Spinal, Epidural and Caudal Blocks in Clinical Aneathesiology, 5th ed, Appleton
and Lange, Precentice Hall International. 2013.

27

Anda mungkin juga menyukai