PENDAHULUAN
Patient Controlled Epidural Analgesia (PCEA) merupakan sebuah metode yang efektif
dalam mengontrol nyeri dengan pemberian obat analgesik kuat dan anestesi lokal melalui sebuah
kateter yang dimasukan ke ruang epidural yang dihubungkan dengan sebuah pompa yang akan
mengirimkan dosis kecil obat tersebut langsung menuju saraf spinal. Dikarenakan dosis obat
yang rendah untuk terbebas dari rasa nyeri, efek samping seperti mual, sedasi, dan depresi nafas
dapat diminimalkan. Penggunaan metode ini biasanya pada prosedur obstetrik dan nyeri pasca
operasi tubuh bagian bawah. Dan juga digunakan untuk penatalaksanaan nyeri pada pasien
kanker stadium lanjut atau nyeri kronik non-kanker. (Jeffrey A.G, 2005)
Administrasi obat secara epidural didistribusikan melalui tiga jalur utama, antara lain
melalui proses difusi melalui dura menuju cairan likuor serebrospinalis, kemudian menuju ke
medulla spinalis atau akar saraf. Kedua melalui pengambilan oleh pembuluh darah pada ruang
epidural menuju sirkulasi sistemik. Dan terakhir pengambilan oleh lemak pada ruang epidural,
membentuk suatu kumpulan obat dimana obat tersebut bisa masuk menuju cairan likuor
pasien untuk berperan dalam menentukan kebutuhan akan obat analgesik secara pribadi. PCEA
bisa memberikan waktu untuk terbebas dari rasa nyeri yang lebih baik, kontrol terhadap nyeri,
dan menjadi keuntungan bagi pasien dan perawat untuk mengurangi waktu yang diperlukan
untuk mendapatkan dan memberikan bolus obat analgesik. (Jeffrey A.G, 2005)
1
BAB II
2.1. Definisi
sebagai pemberian obat analgesik di bawah control pasien ke dalam ruang epidural. Teknik ini
memberikan beberapa keunggulan yaitu angka kepuasan pasien yang cukup tinggi
dan juga dosis yang lebih rendah dibandingkan dengan kontrol infus epidural biasa.
PCEA menggunakan pompa canggih yang dikendalikan mikroprosesor yang memberikan dosis
terprogram ketika pasien menekan tombol permintaan sehingga posisi kateter yang akurat sangat
2.2 ANATOMI
Ruang epidural adalah ruangan antara ligamentum flavum dengan duramater. Ruangan
ini mengelilingi kantung dura, memanjang dari foramen magnum sampai batas bawah di
membrana sakrokoksigeus. Pada tepi foramen magnum lapisan periosteum kanalis spinalis
vertebra berfusi dengan lapisan duramater. (Collin, 2006)
Ruang epidural sebelah anterior dibatasi oleh ligamentum longitudinal posterior yang
meliputi korpus dan diskus vertebralis; sedang bagian posterior berupa arkus vertebra dan
ligamentum flavum. Di sebelah lateral terdapat pedikel dan foramina intervertebralis. (Collin,
2006)
2
Gambar 2. 1. Anatomi dari ruang epidural
Ruang epidural berisi jaringan areolar, lemak, 31 pasang akar serabut saraf spinalis
dengan dural cuff yang menuju ke foramina intervertebralis, pembuluh darah vena dan pembuluh
limfe. Pembuluh darah vena disini tanpa klep, menerima aliran dari tulang-tulang yang
berdekatan dan dari korda spinalis kemudian membentuk pleksus vena didalam ruang epidural.
Vena-vena pada ruang epidural berhubungan dengan vena intervertebralis dan bergabung dengan
vena-vena pada vertebra, ascending cervical, intercosta, iliolumbal dan vena di sakralis lateralis.
Kebawah vena ini berhubungan dengan di intrakranial. Aliran vena ini menuju vena cava melalui
vena azygos. Vena di ruang epidural akan membesar sewaktu batuk, terjadi regangan maupun
pada tekanan yang mengakibatkan aliran vena cava terbendung seperti adanya tumor pada
abdomen dan kehamilan. (Collin, 2006)
Jarak dari kulit sampai ligamentum flavum adalah 4-5 cm, dari kulit sampai dura 4-6 cm
dan dari ligamentum flavum sampai dura adalah 3-6 mm. Sehingga tingginya medulla spinalis
ini menunjukkan pula dermatom yang diinovasi, misalnya T10 setinggi umbilikus kebawah,
sedangkan pada ketinggian T7 ini sesuai dengan daerah inervasinya setinggi xypoid ke bawah.
3
Untuk mencapai ruang epidural melalui pendekatan midline, jarum epidural dari luar berturut-
turut akan menembus bagian ini.
1. Kulit
2. Subkutis
3. Ligamentum supraspinosum
4. Ligamentum interspinosum
5. Ligamentum flavum
Pada waktu jarum epidural menembus subkutis sampai dengan ligamentum interspinosum terasa
tahanan meningkat. Apabila jarum menembus ligamentum flavum tiba-tiba tak terasa jarum
menembus adanya tahanan, berarti jarum telah berada diruang epidural dan apabila tusukan
jarum diteruskan, maka akan menembus dura dan masuk ke ruang subarakhnoid. (Richrad
D,2013)
(Richrad D,2013)
o Lidokain
o Bupivakain
o Prilokain
o Mepivakain
2. Golongan ester Metabolisme di plasma
o Kokain
o Prokain
o Tetrakain
o Kloroprokain
4
2.4 MEKANISME KERJA
Anestesi lokal mencegah transmisi impuls lokal dengan cara menghambat pasase ion
Na+ melewati saluran Na (sodium channel) dalam membran saraf. Konduksi impuls sepanjang
jaringan saraf disebabkan perubahan derajat elektrikal yang melintas membran saraf sebagai
akibat dari pergerakan ion Na dan K. (Bucklin,2009)
Depolarisasi satu segmen dari jaringan saraf yang tak bermielin menyebar ke segmen
yang lain, karena perbedaan potensial listrik antara depolarisasi dan repolarisasi. Hal ini
disebabkan oleh masuknya ion Na dari ekstraseluler melalui channel Na yang spesifik pada
membran. Aliran ion K dari inferior ke posterior saraf menyebabkan repolarisasi, sesudah
potensial aksi yang lengkap, terjadi keseimbangan ion melalui aktivasi dari pompa Na dan K
terjadi lagi proses seperti semula.
Obat lokal anestesi mencegah proses depolarisasi membran saraf dengan memblok
aliran ion Na. Akibatnya akan terjadi hantaran transmisi impuls saraf (blokade konduksi) dengan
mencegah permeabilitas membran saraf terhadap ion Na (Bucklin,2009)
Ada tiga tempat kerja obat lokal anestesi di dalam ruang epidural:
1. Pada serabut saraf yang lewat di ruang epidural. Obat akan berdifusi melintasi duramater
masuk kedalam ruang subarakhnoid dan kemudian bekerja dengan melakukan blokade pada
akar saraf spinal atau dorsal root ganglion.
2. Pada akar serabut saraf yang keluar melalui foramina intervertebralis. Obat berdifusi dari
rongga epidural masuk ke foramina intervertebral dan akan menyebabkan blokade
paravertebral pada kedua sisinya.
3. Difusi obat anestesi lokal melalui dura kedalam ruang subarakhnoid. Obat berdifusi
melintasi dural cuff mengelilingi akar saraf spinal masuk kedalam ruang subperineal dan
kemudian keruang subpial. Secara bersamaan obat juga berdifusi melintasi villi pia
arakhnoid masuk ke ruang subdural kemudian ke subarakhnoid dan ruang subpial.
Akibatnya terjadi blokade pada akar spinal dan traktus perifer spinal cord. (Bucklin,2009)
5
2.5 Tempat Pemasangan
Pemasangan epidural kateter yang lebih sering pada segmen thorakal dibandingkan
segmen lumbal telah menjadi suatu perubahan besar dalam 20 tahun terakhir dan telah digunakan
pada kebanyakan studi menunjukkan peningkatan untuk terbebas dari rasa nyeri yang lebih
adekuat. Teknik ini memiliki banyak keuntungan potensial saat digunakan dalam pemberian
kombinasi anestesi lokal dan opioid. Teknik thorakal menyediakan administrasi obat opioid
dalam dosis lebih kecil dan meminimalisir blok saraf simpatis dan motorik pada anggota gerak
bawah.
KONTRA INDIKASI:
Absolute
• Infeksi tempat injeksi
• Pasien menolak
• Koagulopati
• Hipovolemia berat
• Peningkatan TIK
• Stenosis aorta berat
6
• Stenosis mitral berat
Relative
• Sepsis
• Pasien tidak kooperatif
• Deficit neurologic
• Deformitas tulang belakang
• Gangguan katup jantung
Controversial
• Operasi tulang belakang sebelumnya
• Tidak mampu berkomunikasi
• Pembedahan sulit (lama, perdarahan banyak, maneuver yg mengganggu
respirasi)
1. Hipotesi
2. Bradikardi
3. Mual dan muntah
4. Dura robek atau tembus
5. Total spinal, gejala: hipotensi, apneu, pupil dilatasi, kesadaran menurun
6. Hematoma epidural
7. Toksisitas
Tidak ada perbedaan yang signifikan pada pengurangan rasa nyeri saat bupivacaine dan
morphine yang diberikan sebelum dan setelah insisi. Pada studi lain penggunaan kombinasi dari
ketamine, bupivacaine dan morphine menunjukkan peningkatan efek analgesia pada kelompok
pemberian epidural analgesia sebelum insisi setelah menjalani pembedahan abdomen bagian atas
7
2.8 Dosis Obat
dalam konsentrasi 0,1% atau kurang. Terdapat tiga parameter yang harus diatur antara lain
volume bolus, lockout interval, dan background infusion. Beberapa dokter juga mengatur volume
Pada pengaturan volume bolus dikarenakan seorang dokter tidak harus selalu datang
setiap kali pasien menerima dosis obat, volume bolus haruslah cukup efektif dan aman bagi
pasien. Lockout interval haruslah diatur agar sesuai dengan waktu dimana dosis obat menjadi
efektif. Contohnya pasien merasakan peningkatan efek analgesia dalam 10 menit apabila
menggunakan bupivacaine. Oleh karena itu lockout interval harus diantara 10 sampai 30 menit
Beberapa dokter yang berpengalaman dalam PCA IV memilih tidak menggunakan background
infusion. Akan tetapi dalam penggunaan PCEA tidaklah sama dikarenakan dosis obat yang
digunakan lebih rendah. Apabila dosis background infusion terlalu tinggi, pasien akan tidak
terlalu memiliki kontrol terhadap obat yang mereka terima. Ini akan mengakibatkan blok motorik
sejalan peningkatan dosis total obat. Untuk alasan ini dosis background infusion haruslah
8
Tabel 2.1 Dosis untuk pasien kontrol epidural analgesia (ESRA, 2007)
Memberikan pasien kewenangan dalam mengontrol obat analgesia yang mereka terima
telah menjadi sebuah prinsip yang penting dalam penanganan nyeri akut. Kepentingan dari
background infusion saat penggunaan obat kombinasi anestesi lokal dan opioid pada pasien
dalam masa pemulihan dari gastrectomy saat penggunaan PCEA saja kurang efektif dalam
mengurangi rasa nyeri saat pasien batuk dibandingkan dengan PCEA dengan background
infusion.
Bonica, dalam buku manajemen nyeri menyebutkan bahwa pasien dengan control
epidural analgesia memungkinkan individualisasi terapi pasien nyeri dengan mandiri serta
data dari lebih dari 1000 pasien mengalami nyeri, di terapi dengan menggunakan analgesia
melalui epidural baik lumbal maupun thorakal menunjukkan bahwa hampir 90% pasien dengan
9
TABEL 2.2 Perbandingan efek samping epidural control infus dengan PCEA
(Nightale,2007)
Badan Nasional Pedoman Clearinghouse, Sebuah sumber daya publik untuk pedoman
praktek klinis berbasis bukti di Amerika Serikat memberikan pendapat bahwa Pasien
Controlled Analgesia Epidural (PCEA) aman untuk digunakan, dapat juga pada orang
dewasa yang lebih tua. (Manajemen nyeri akut pada orang dewasa yang lebih tua. 2006).
Penelitian telah menunjukkan nyeri yang efektif, penurunan penggunaan opioid, dan
meningkatkan kepuasan pasien dengan nyeri dengan PCEA (opioid dan anestesi lokal)."
pada penelitian acak, perbandingan double-blind ganda pasien yang menjalani reseksi kolon
menyimpulkan bahwa PCEA menyediakan keberhasilan yang lebih besar daripada analgesik
10
epidural infus biasa, pasca operatif pun serta mengurangi pemauntauan ketat dari dokter atau
intervensi perawat.(Nightale,2007)
Pemasangan kateter epidural harus dilakukan menggunakan teknik aseptik antara lain
seperti cuci tangan, sarung tangan steril, gown steril , masker (dipakai untuk menutupi hidung),
skin preparation, dan sterile drapes disekitar tempat suntikan. Ujung dari kateter epidural harus
diposisikan pada posisi spinal sesuai dengan tempat pembedahan. Kateter harus difiksasi untuk
disesuaikan agar tidak menutupi tempat pemasangan kateter. Dikarenakan resiko infeksi
nosokomial perlu dipertimbangkan dalam pemberian profilaksis antibiotik. Terutama bagi pasien
dengan resiko terinfeksi seperti pasien dengan diabetes, pasien yang mendapatkan terapi steroid
atau immunosupresi dan pasien yang telah dirawat di rumah sakit lebih dari 48 jam dengan
penggunaan kateter epidural. Pemasangan kateter pada vertebra bergantung pada lokasi nyeri,
Thorak T6-T8
11
Gambar 2.2. Ruang epidural Gambar 2.3 Pemasangan epidural
12
BAB III
OBAT-OBAT PCEA
Pemberian obat anestesi lokal saja pada epidural tidak digunakan secara luas dalam penanganan
nyeri pasca operasi dikarenakan regresi blok sensorik, dan kejadian blok motorik dan sering
menyebabkan kejadian hipotensi. Studi terhadap pasien yang mejalani pembedahan thorak,
penggunaan bupivacaine 37,5-50 mg yang diberikan secara epidural, 30% pasien membutuhkan
suplemen opioid dikarenakan efek analgetik yang tidak adekuat, dan sekitar 80% pasien
mengalami kejadian hipotensi. (Richrad D,2013)
Tabel 3.1 DOSIS EPIDURAL DENGAN PCEA (Richrad D, et al, Pocket Anesthesia 2013)
13
3.2 Opioid
Penggunaan analgesia epidural untuk mengurangi rasa nyeri menjadi populer setelah mulai
penggunaan obat opioid secara epidural akibat penemuan reseptor opioid pada kornu
posterior medulla spinalis. Opioid memiliki efek pada pre sinap dan post sinap kornu
posterior dan mempengaruhi modulasi terhadap rangsangan nyeri yang masuk, tetapi tidak
mengakibatkan blok motorik dan saraf simpatis. Penggunaan obat opioid telah secara luas
digunakan di Amerika dan Australia yaitu pemberian bolus obat seperti morphine,
diamorphine, dan pethidine atau infus kontinyu opioid lipofilik seperti fentanyl atau
sufentanil. Walaupun bolus obat opioid epidural memberikan efek analgetik yang lebih
lama dengan dosis kecil dibandikan dengan IM opioid. Tidak ditemukan perbedaan hasil
klinis yang signifikan antara pemberian opioid lipofilik epidural (PCEA) dibandingkan
dengan pemberian opioid intravena (PCA IV). Akan tetapi pada pembedahan abdomen
bagian bawah dan thorak ditemukan pemberian fentanyl epidural memberikan efek terbebas
dari rasa nyeri yang lebih efektif dibandingkan dengan PCA IV dengan obat morphine atau
fentanyl. Pada studi terhadap konsentrasi plasma obat, tidak ditemukan perbedaan
Infus kontinyu epidural dengan menggunakan kombinasi anestesi lokal dan opioid paling
sering digunakan di Inggris dan Australia oleh 97% dokter anestesi. Penggunaannya
berdasarkan observasi klinis kombinasi anestesi lokal dan opioid mengurangi efek blok
sensorik dibandingkan anestesi lokal saja dan meningkatkan kualitas terbebas dari rasa
14
dan 51% menggunakan fentanyl dikombinasikan dengan obat anestesi lokal. Kebanyakan
studi menunjukkan penggunaan kombinasi anestesi lokal dan opioid berhubungan dengan
terbebas dari rasa nyeri yang lebih baik setelah pembedahan abdomen atas atau bawah,
ortopedi, dan thoraks. PCEA dengan kombinasi anestesi okal dan opioid menunjukkan
secara signifikan lebih baik dibandingkan PCA IV dengan obat morphine dalam menangani
nyeri pasca pembedahan mayor abdomen. Dan juga kombinasi anestesi lokal dan opioid
secara signifikan menunjukkan pengurangan keperluan atau dosis akan obat opioid. Banyak
menjadi 4 µg saja. Begitu juga terjadi penurunan pada konsentrasi obat morphine dan
diamorphine sekitar 50 µg yang efektif dalam penanganan nyeri. Dosis optimal dari anestesi
lokal pada studi menunjukkan konsentrasi dari bupivacaine 0,1% atau kurang, yang
diberikan dalam patient controlled epidural analgesia (PCEA) tanpa infus background, dosis
atau fentanyl 10 µg atau sufentanyl 1 µg yang diberikan melaui kateter epidural pada
segmen thorak telah efektif untuk terbebas dari rasa nyeri. Kemudian dengan adanya obat
anestesi lokal yang terbaru seperti levobupivacaine dan ropivacaine akan lebih sering
dipakai karena batas keamanan obat yang lebih baik. Obat ropivacaine memiliki keuntungan
potensial berupa efek blok pada saraf motorik yang lebih sedikit. (McKenzie, 2008)
1. Opioid yang diberikan melalui kateter epidural ke ruang epidural adalah salah satu
15
profil analgesia dan efek samping pada obat-obatan opioid epidural.
3. Opioid yang diberikan secara epidural akan bekerja melalui mekanisme spinal dan
suprasinal/sistemik.
4. Opioid hidrofilik dosis tunggal dapat memberikan efek analgesia yang lebih panjang
5. Morfin dengan campuran anestetik lokal pada epidural kontinu dapat menjadi
6. Opioid epidural memberikan efek samping yang sama dengan pemberian opioid
secara sistemik. Beberapa efek samping tergantung pada dosis pemberian. Ada
beberapa perbedaan pada efek samping yang timbul antara opioid lipofilik dan
hidrofilik.
7. Dokter mengukur dosis opioid untuk mengurangi efek samping yang timbul.
Banyak obat-obat lain yang digunakan sebagai adjuvant untuk meningkatkan efektivitas
dari epidural analgesia. Obat-obat tersebut antara lain ketamine (antagonis NMDA), midazolam
(agonis GABA), klonidin (α2 agonist) dan adrenalin. Walaupun ketamine 400 µg digunakan
sebagai adjuvant pada infus epidural dosis kecil morphine, bupivacaine dan adrenalin, efek
peningkatan terbebas dari rasa nyeri masih menjadi pertimbangan dikarenakan kurangnya studi
akan potensi neurotoksik dari ketamine. Begitu juga pada pemberian klonidin 18-20 µg pada
hipotensi . tetapi penggunaan epinephrine berhubungan dengan efek blok sensorik yang lebih
minimal, peningkatan dari rasa nyeri saat batuk, dan penurunan konsentrasi serum fentanyl.
(McKenzie, 2008)
16
3.5 Pedoman Protokol PCEA berdasarkan American Society of Anesthesia (ASA)
1. Orientasi pra operasi pasien mengenai alat dan keselamatan PCEA, regimen obat dan
pemantauan jalannnya obat
2. Pasien mendapatkan jalur IV paten canule baik sebelum pemberian atau sesudah
pemberian PCEA, tidak dalam keadaan dehidrasi, dapat mendapatkan suplementasi O2 serta
mendapatkan pemantauan baik oleh orang yang profesional .
REGIMEN
• Inj Bupivakain 0,1% dan inj sufentanil 0,16 mcg / ml, atau
17
from barash , post acut operative pain
18
Contoh Formula dengan menggunakan rumus (Esra, 2007)
Kepekatan (%) x Volume sebenarnya. = konsentrasi yang Diinginkan x Volume yang Diinginkan
Contoh 1 : Untuk membuat Bupivacain. 0,1% dengan sufentanil. 0,16 ug / ml, sebanyak 100 ml
5 x Y = 0,16 x 100, sehingg kita perlu 3,2 ml sufentanil (dari 10 ml sediaan sufentanil)
Sehingga didapatkan Bupivacain. 0,1% dengan sufentanil. 0,16 ug / ml, sebanyak 100 ml
19
Contoh 2 : Demikian pula untuk fentanyl + Bupivacain PCEA cartridge
Sehingga didapatkan Bupivacain. 0,1% dengan Fentanil. 2mcg / ml, sebanyak 100 ml
BAB IV
4.1 Komplikasi
Terdapat beberapa komplikasi dari epidural analgesia, sebagian dari komplikasi tersebut
Efek samping berhubungan dengan pemasangan kateter, kedudukan kateter pada ruang epidural
atau kesalahan obat. Pengenalan Acute Pain Services (APS) memungkinkan pendeteksian awal
dari efek samping tersebut. Pada studi kepada 50.000 pemasangan epidural analgesia hanya 3
pasien yang mengalami kelemahan tungkai permanen. Studi retrospektif dari 170.000
antara lain, 1 kasus paraparesis, 1 kasus cauda equina syndrome permanen, 1 kasus peroneal
nerve paresis, 1 kasus defisit neurologis, 2 kasus infeksi bakteri, 2 kasus reaksi akut toksin pada
20
obat anestesi dan 1 kasus overdosis opioid epidural. Studi prospektif di Prancis melibatkan
komplikasi berat, 3 kasus cardiac arrest, 4 kasus kejang, dan 6 kasus cedera saraf. (Igor K, 2009)
Insiden dari PONV (postoperative nausea and vomiting) dapat terjadi berdasarkan
banyak faktor yaitu jenis anestesi yang digunakan, tipe dan durasi pembedahan dan juga
jenis kelamin pasien. Pemberian anti-emesis pada pasien digunakan untuk melakukan
pencegahan pada kejadian PONV. Pemberian anti- emesis pada pasien harus selalu
dilakukan evaluasi oleh perawat ataupun dokter yang menangani. Pasien yang masih
merasakan mual 30 menit setelah pemberian, harus segera diberikan obat anti-emesis
yang lain. Obat pilihan pertama untuk anti-emesis yaitu Cyclizine 50mg IV/IM/PO setiap
8 jam (maksimum 150 mg dalam 24 jam), obat pilihan kedua Ondansetron 4mg
IV/IM/PO setiap 8 jam atau 8mg setiap 12 jam (maksimum 16 mg dalam 24 jam).
Jika frekuensi nafas <8 kali permenit dan skor sedasi 1 atau 2. Hentikan
21
supplemental dan menjaga saturasi oksigen pasien diatas 90%. Lakukan monitoring
Jika frekuensi nafas <6 kali permenit. Hentikan PCEA, segera berikan fraksi
frekuensi nafas, saturasi oksigen dan skor sedasi setiap 15 menit. Segera persiapkan
injeksi naloxone (400mcg dilarutkan dalam 0,9% NaCl hingga 8ml). Berikan
100mcg/2ml setiap 2 menit dan perhatikan efek yang terjadi. Jika skor sedasi masih
menunjukkan nilai 3 atau frekuensi nafas <6, pemberian naloxone diulang setiap 2 menit
sehingga terjadi perubahan frekuensi pernafasan >8. Pada pasien apnea segera berikan
Monitoring pada pasien pengguna PCEA harus selalu dilakukan, agar penyedia layanan
mengetahui setiap permasalahan teknis ataupun efek samping yang diderita oleh pasien dalam
penggunaan PCEA. Semua vital sign, gejala – gejala klinis, respiratory score, sedation score,
penilaian nyeri, dan durasi pemakaian PCA pada pasien harus dimonitoring. (McKenzie, 2008)
Tanda – tanda vital dan keluhan - keluhan harus dinilai secara regular dan
kontinu. Penilaian tersebut menggambarkan status generalis dari pasien. Penilaian gejala
– gejala klinis pada penggunaan PCEA digunakan untuk menilai efek samping dari
b. Penilaian Nyeri
22
Penilaian nyeri yang dilakukan dengan Visual Analouge Scale (VAS) ataupun
Pain Faces Scale. Penilaian nyeri harus dilakukan setiap saat, untuk mengetahui
efektivitas dari terapi yang dilakukan. Penilaian nyeri dilakukan dengan menggunakkan
skala, agar pasien dapat dengan mudah mendeskripsikan seberapa berat nyeri yang dia
rasakan dan seberapa baik perkembangan. Sehingga tidak terjadi kesalahan penilaian.
c. Penilaian Sedasi
memproduksi efek opioid yang diinginkan. Penilaian sedasi sangat penting dilakukan
pada penggunaan PCEA. Rekomendasi skala penilaian derajat sedasi yang digunakan
adalah RASS (Richmond Agitation Sedation Scale). RASS dipakai karena singkat, mudah
dipergunakkan dan menggabungkan sedasi dan agitasi menjadi satu skala. Dasar
pemilihan RASS adalah untuk melihat seberapa besar jumlah stimulasi yang
dipergunakkan untuk memunculkan respon dan evaluasi sedasi. Beberapa peneliti juga
mempergunakkan Pasero scale untuk penilaian spesifik terhadap sedasi yang diinduksi
23
Gambar.4.1 Richmond Agitation Sedation Scale (RASS)
d. Respiratory Assesment
Monitoring dari status respirasi pasien dan dipadukan dengan penilaian sedasi
sangat penting untuk mendeteksi depresi sistem pernafasan pada pasien yang
menggunakkan opioid pada PCEA. Penilaian respirasi meliputi frekuensi pernafasan dan
24
Penilaian frekuensi pernafasan didasarkan pada umur, jenis kelamin, dan
frekuensi pernafasan sebelumnya. Jika pernafasan <9 kali/menit perhatian perlu diberikan
pada dosis penggunaan opioid karena telah terjadi depresi pernafasan. Normalnya
pemberian opioid akan lanjut diberikan jika frekuensi pernafasan >10 kali/menit.
suara – suara nafas yang abnormal. Pada beberapa pasien diperlukan juga penilaian pulse
oximetry (SpO2) dan capnography (ETCO2). SpO2 diperlukan untuk melakukan penilaian
oksigenasi pasien. ETCO2 juga diperlukan untuk menilai pernafasan yang terjadi, penilaian
ini lebih sensitif dalam mendeteksi hypercapnia. Sehingg praktisi kesehatan dapat
Penilaian status respirasi harus dibarengi juga dengan penilaian sedasi dan
penilaian nyeri. Penilaian status respirasi dari pasien sangatlah penting. Masalah – masalah
yang timbul pada pernafasan diharapkan dapat segera ditemukan dan segera ditangani.
Sehingga kualitas dari kesembuhan pasien dapat lebih ditingkatkan. (McKenzie, 2008)
25
BAB V
KESIMPULAN
Nyeri selalu menjadi keluhan utama pasien dan alasan utama untuk mencari bantuan
medis. Nyeri menimbulkan banyak permasalahan bagi pasien, baik dari aspek psikologis, aspek
fisik hingga dapet mengganggu kehidupan sosial penderita. Meskipun pelayanan pengelolaan
nyeri pada dekade ini sudah maju, namun masih banyak pasien yang menderita akibat nyeri akut
Dampak dari nyeri itu sendiri akan dapat mempengaruhi semua sistem tubuh dan
memperberat kondisi pasien karena nyeri menimbulkan respon stres metabolik (MSR). Dan akan
merugikan pasien itu sendiri dan malah akan memperlambat penyembuhan pasien. Sehingga
manajemen nyeri baik nyeri akut maupun nyeri kronis menjadi hal yang penting dan juga harus
Salah satu metode yang sedang berkembang untuk memperoleh efek control nyeri secara
cepat dan tepat yaitu Patient Controlled Epidural Analgesia (PCEA). PCEA umumnya
diamsusikan sebagai pemberian opioid on-demand, inttermitten dibawah control pasien (dengan
atau tanpa bantuan infus kontinyu)melalui catether epidural . Metode PCEA didasarkan pada
penggunaan pompa infus canggih yang dikendalikan oleh mikroprosessor. Dengan menekan
tombol permintaan, distribusi opioid dengan dosis terpogram akan terdistribusi dan
meminimalisir nyeri pada tubuh pasien. Sehingga dosis efektif akan dapat tercapai pada pasien,
juga para praktisi kesehatan dapat memonitoring dan mengevaluasi pemberian analgetik melalui
PCEA. Pemberian secara epidural jauh lebih efektif dan hasilnya cukup memuaskan.
26
Daftar Pustaka
Barry N. An epidural for pain relief after surgery in children. RCoA, London 2009
(www.rcoa.ac.uk/docs/EPRASC.pdf).
Bonica, J.J.. The Nature of the Pain of the Parturition. In: Principles and Practice of Obstetric
Analgesia and Anesthesia. 2nd ed. Williams & Wilkins.. 2009
Brown DL, 2000. Spinal, Epidural and Caudal Anesthesia, Anesthesia 5th Ed, Editor RD Miller,
Churchill Livingstone, New York.
Collins, VJ, Epidural Anesthesia, in Principle of Anesthesiology, 4th ed, Lea, E Febiaer,
Philadelphia. 2006
David R. Gambling , Patient-controlled epidural analgesia in labour: varying bolus dose and
lockout interval, Anesthesiology and Pain Management, University of Texas,
Southwestern Medical Center, Dallas, Texas U.S.A. 2010
Hamill RJ dan Rowlingson JC. The Physiologic and Metabolic response to Pain and Stress. In:
Handbook of Critical Care Pain Management. New York: McGraw-Hill,Inc; 1994; 13-25.
Ian McKenzie. 2008. Patient Controlled Analgesia (PCA), Canadian Journal of Anesthesia 47:
113-119 (2000) Last Updated 08-feb-2008.
Jeremy C. Best practice in the management of epidural analgesia in the hospital setting Royal
College of Anaesthetists , London, 2010.
Lippincott Williams & Wilkins. American Society of Anesthesiologist, in: Practice Guidelines
for Chronic Pain Management. An Updated Report by The American Society of
Anesthesiologists Task Force on Chronic Pain Management and The American Society
of Regional Anesthesia and Pain Medicine., 2010;112:810-33
Macintyre P.E. 2001. Safety and Efficacy of Patient Controlled Analgesia. British Journal of
Anaesthesia, Vol. 87: 36-46.
Miller RD, MD, 2005, Acut Postoperative Pain, Miller’s Anesthesia, sixth edition, 2741-2742
Morgan, GE. Spinal, Epidural and Caudal Blocks in Clinical Aneathesiology, 5th ed, Appleton
and Lange, Precentice Hall International. 2013.
27