Anda di halaman 1dari 34

Farmakokinetik ialah studi kuantitatif mengenai absorpsi, distribusi, metabolisme, dan

ekskresi obat-obat injeksi dan inhalasi serta metabolit-metabolitnya. Dengan demikian,


farmakokinetik bisa dipandang sebagai apa yang dilakukan tubuh terhadap suatu obat. Bersama
dengan dosis obat yang diadministrasikan, farmakokinetik menentukan konsentrasi obat pada
tempat aksinya (reseptor) dan intensitas efek obat dari waktu ke waktu. Farmakokinetik juga
bisa menentukan variabilitas respon terhadap obat di antara para pasien, yang mencerminkan
perbedaan individual dalam absorpsi, distribusi, dan eliminasi (Wood, 1989). Pemilihan dan
penyesuaian jadwal dosis obat dan interpretasi dari konsentrasi obat dalam plasma yang
terukur difasilitasi oleh pemahaman mengenai prinsip farmakokinetik.
Farmakodinamik ialah studi mengenai sensitivitas intrinsic atau respon reseptor
terhadap suatu obat dan mekanisme dengan mana efek-efek ini terjadi. Dengan demikian,
farmakodinamik bisa dipandang sebagai apa yang dilakukan obat terhadap tubuh. Hubungan
struktur-aktivitas mengkaitkan aksi obat dengan struktur kimia mereka dan memfasilitasi
desain obat dengan sifat farmakologis yang lebih diinginkan. Sensitivitas intrinsic reseptor
ditentukan mengukur konsentrasi obat dalam plasma yang dibutuhkan untuk menimbulkan
respon farmakologis spesifik. Sensitivitas intrinsic reseptor bervariasi di antara pasien-pasien.
Akibatnya, pada konsentrasi obat dalam plasma yang sama, beberapa pasien menunjukkan
respon terapetik, yang lain tidak menunjukkan respon, dan yang lainnya lagi terjadi toksisitas.

STEREOCHEMISTRY
Stereochemistry adalah studi mengenai bagaimana molekul terstruktur dalam tiga
dimensi (Egan, 1996; Nau dan Strichartz, 2002). Chirality ialah bagian unik dari
stereochemistry, dan istilah chiral digunakan untuk mendesain suatu molekul yang memiliki
satu pusat (atau pusat-pusat) asimetri tiga dimensi. Konfigurasi molecular semacam ini hampir
selalu merupakan fungsi karakteristik ikatan tetrahedral yang unik dari atom karbon.
Chirality ialah dasar structural dari enantiomerism. Enantiomer (substansi dengan
bentuk yang berlawanan) adalah sepasang molekul yang terdapat dalam dua bentuk yang
merupakan bayangan cermin antara satu dengan yang lain (tangan kanan dan kiri) tetapi tidak
dapat di-superimpose-kan. Dalam setiap aspek yang lain, enantiomer identik secara kimiawi.
Sepasang enantiomer dibedakan oleh arah di mana, ketika dilarutkan menjadi larutan, mereka
memutar cahaya terpolarisasi, apakah searah jarum jam (dextrorotatory, d [+] atau berlawanan
dengan arah jarum jam (levorotatory, l [-]). Tanda rotasi yang teramati ini, d (+) dan (l), sering
keliru dengan tanda D dan L yang digunakan pada kimia protein dan karbohidrat. Karakteristik
rotasi dari cahaya terpolarisasi ialah asal dari istilah isomer optis. Ketika dua enantiomer
terdapat dalam proporsi yang sama (50:50), ini merujuk pada racemic mixture. Racemic mixture
tidak memutar cahaya terpolarisasi karena aktivitas optis dari masing-masing enantiomer
dibatalkan oleh yang satunya. Konvensi yang paling dapat diaplikasikan dan tidak ambigu untuk
menunjukkan isomer ialah klasifikasi sinister (S) dan rectus (R) yang menentukan konfigurasi
absolut dalam nama senyawa (Nau dan Strichartz, 2002). Interaksi molekular yang merupakan
dasar mekanisme farmakokinetik dan farmakodinamik ialah stereoselective (perbedaan relatif
di antara enantiomer) atau stereospecific (perbedaan mutlak di antara enantiomer) (Gambar 1-
1) (Nau dan Strichartz, 2002). Hipotesis ’gembok dan kunci’ pada aktivitas enzim-substrat
menekankan bahwa sistem biologis itu bersifat stereospecific. Ekstensi farmakologis dari
konsep ini ialah bahwa obat dapat diperkirakan berinteraksi dengan komponen biologis lain
dengan arah geometris spesifik (Egan, 1996). Secara farmakologis, tidak semua enantiomer
dibuat setara. Interaksi ikatan spesifik obat, enzim obat, dan protein-obat hampir selalu tepat
secara tiga dimensi. Enantiomer dapat menunjukkan perbedaan dalam absorpsi, distribusi,
1
klirens, potensi, dan toksisitas (interaksi obat). Enantiomer bahkan dapat bersifat antagonis
terhadap efek satu sama lain.

Administrasi racemic drug mixture secara farmakologis dalam kenyataannya bisa


mewakili dua obat berbeda dengan sifat farmakokinetik dan farmakodinamik yang berbeda. Dua
enantiomer dari racemic mixture bisa memiliki kecepatan absorpsi, metabolisme, dan ekskresi
yang berbeda maupun afinitas terhadap tempat pengikatan-reseptor yang berbeda. Walaupun
hanya satu enantiomer yang secara terapeutik aktif, dimungkinkan bahwa enantiomer yang
lainnya berkontribusi untuk efek samping. Isomer yang secara terapeutik tidak aktif dalam
racemic mixture sebaiknya dianggap sebagai ketidakmurnian (Ariens, 1984). Argumen teoretis
yang kuat ialah bahwa studi mengenai racemic mixture bisa cacat secara ilmiah jika enantiomer
memiliki farmakokinetik dan farmakodinamik yang berbeda (Egan, 1996). Diperkirakan
sepertiga obat-obat pada penggunaan klinis diadministrasikan sebagai racemic mixture, tetapi
praktik ini kemungkinan besar menurun di masa mendatang walaupun keuntungan klinis dari
enantiomer tunggal harus diseimbangkan dengan meningkatnya harga obat (Nau dan Strichartz,
2002). Penelitian obat dengan enantiomer spesifik mungkin sekali menjadi lebih umum di masa
mendatang. Badan pengatur dan perusahaan farmasi semakin menyadari pentingnya
enantiomer dalam farmakologi dan mungkin sekali menghindari ambiguitas ilmiah yang terkait
dengan perkembangan obat racemic (Egan, 1996; Nation, 1994). Kemajuan dalam teknologi
kimia telah sangat menyederhanakan pemisahan dan preparasi enantiomer individual.

Aspek Klinis dari Chirality


Lebih dari sepertiga dari semua obat sintetis ialah chiral walaupun sebagian besar di
antara mereka digunakan secara klinis sebagai racemic mixture (Burke dan Henderson, 2002;
Nau dan Strichartz, 2002). Selain thiopental, methohexital dan ketamine diadministrasikan
sebagai racemic mixture. Mayoritas anestesi inhalasi ialah chiral dengan perkecualian
khususnya sevoflurane. Sebagian besar bukti mengesankan bahwa efek enantiomer selektif
untuk anestesi volatil ini relatif lemah dibanding dengan bukti yang lebih kuat untuk interaksi
obat-reseptor spesifik untuk anestesi intravena (IV) (Burke dan Henderson, 2002). Anestesi
lokal, termasuk mepivacaine, prilocaine, dan bupivacaine, memiliki satu pusat asimetri
1
molekular. Enantiomer S (+) dari ketamine lebih poten dibanding bentuk R (-) dan kurang
mungkin untuk menimbulkan delirium. Dengan cara yang sama, di samping perbedaan
farmakokinetik, toksisitas bupivacaine terhadap jantung dianggap terutama disebabkan
olehisomer R-bupivacaine. Ropivacaine ialah S-enantiomer dari homolog bupivacaine yang
memiliki toksisitas jantung yang lebih rendah. Demikian juga, S-enantiomer dari bupivacaine,
levobupivacaine terkait dengan toksisitas jantung yang lebih rendah bupivacaine. Cisatracurium
ialah isomer atracurium yang tidak punya potensi melepaskan histamin. Obat-obat yang
digunakan dalam anaestesi yang terjadi secara alami merefleksikan pentingnya stereochemistry,
dengan morfin (sebenarnya l-morfin) dan d-tubocurarine sebagai contoh. Karena obat-obat ini
disintesis oleh mesin enzimatik stereospesifik alam, mereka ada dalam bentuk tunggal sebelum
diekstraksi dan dimurnikan (Egan, 1996).

DESKRIPSI DARI RESPON OBAT


Hiperreaktif ialah istilah yang digunakan untuk orang-orang di mana dosis rendah dari
obat secara tidak biasa menghasilkan efek farmakologis yang diharapkan. Hipersensitif ialah
istilah yang biasanya diberikan untuk individu yang alergi (tersensitisasi) terhadap suatu obat.
Hiporeaktif menggambarkan orang-orang yang membutuhkan dosis yang luar biasa besaruntuk
menimbulkan efek farmakologis yang diharapkan. Hiporeaktivitas yang didapat dari paparan
kronis terhadap suatu obat lebih baik diistilahkan dengan toleransi. Toleransi silang
berkembang di antara obat-obat dengan kelas berbeda yang menghasilkan efek farmakologis
serupa (alkohol dan anestesi inhalasi).Toleransi yang berkembang secara akut hanya dengan
obat dosis kecil, seperti thiopental, diistilahkan dengan tachyphilaxis. Faktor paling penting
dalam berkembangnya toleransi terhadap obat-obat seperti opioid, barbiturat, dan alkohol ialah
adaptasi neuronal, yang dirujuk sebagai toleransi seluler. Mekanisme toleransi yang lain bisa
termasuk induksi enzimatik dan menipisnya neurotransmiter yang disebabkan oleh stimulasi
yang berkepanjangan. Imunitas muncul ketika hiporeaktivitas disebabkan oleh pembentukan
antibodi. Idiosyncrasy muncul ketika efek obat yang tidak biasa terjadi pada sejumlah kecil
individu tanpa memandang dosis yang diadministrasikan. Lebih tepatnya, efek obat yang tidak
biasa sebaiknya digambarkan secara tepat mengenai mekanismenya yang telah dibuktikan
kebenarannya atau kemungkinan mekanismenya, seperti alergi atau perbedaan genetik.
Efek aditif berarti bahwa obat kedua yang beraksi dengan obat pertama akan
menghasilkan efek yang setara dengan penjumlahan aljabar. Sebagai contoh, efek anestesi dari
dua anestesi inhalan yang berbeda ini bersifat aditif (lihat bagian Konsentrasi Alveolar
Minimal). Efek sinergitis berarti bahwa dua obat berinteraksi untuk menghasilkan efek yang
lebih besar dari penjumlahan aljabar. Antagonisme berarti bahwa dua obat berinteraksi untuk
menghasilkan efek kurang dari penjumlahan aljabar.
Suatu obat yang mengaktifkan sebuah reseptor dengan berikatan ke reseptor itu disebut
dengan agonist. Antagonist ialah suatu obat yang berikatan dengan sebuah reseptor tanpa
mengaktifkan reseptor itu dan pada saat yang sama mencegah sebuah agonist menstimulasi
reseptor tersebut. Antagonisme kompetitif muncul ketika meningkatnya konsentrasi antagonis
secara progresif menghambat respon terhadap konsentrasi agonist yang tidak berubah.
Antagonisme nonkompetitif muncul ketika, setelah administrasi antagonist, bahkan konsentrasi
agonist yang tinggi pun tidak dapat mengatasi antagonisme secara menyeluruh.

FARMAKOLOGI OBAT INJEKSI


1
Farmakokinetik dari obat injeksi pada awalnya biasanya ditetapkan pada orang dewasa
sehat dengan rasio rendah lemak-terhadap-tubuh kurus. Sebaliknya, obat-obatan paling
mungkin diberikan untuk pasien-pasien penyakit kronis (gagal ginjal, sirosis hati, gagal jantung)
dengan perbedaan yang besar pada usia, hidrasi, dan nutrisi. Anestesi umum dan anestesi bisa
mengubah farmakokinetik dari obat yang diinjeksikan relatif terhadap kesadaran karena adanya
perubahan pada aliran darah ginjal, aliran darah hepar, dan aktivitas enzim hepar. Perubahan
pada aliran darah perifer yang diinduksi obat bisa secara lebih jauh mengubah distribusi
anestesi injeksi perioperatif.
Pemahaman mengenai farmakokinetik obat injeksi merupakan dasar dalam pemilihan
interval pendosisan atau kecepatan infus IV kontinyu yang rasional dari obat ini selama
anestesi. Seperti semua obat lain, respon farmakologis bergantung pada konsentrasi reseptor
yang dicapai dan sensitivitas reseptor ini terhadap obat. Parameter farmakokinetik yang terukur
atau terhitung dari obat injeksi meliputi bioavailability, klirens (clearance), dan volume
distribusi (Vd), waktu-paruh eliminasi, sensitif-konteks half time, effect-site equilibration time,
dan waktu pemulihan (Hughes et al., 1992; Shafer dan Stanski, 1992). Sensitif-konteks half time,
effect-site equilibration time lebih bermanfaat dibandingkan waktu-paruh eliminasi dalam
mensifati respon klinis terhadap obat (Fisher, 1996).
Model Kompartemen
Farmakokinetik dari obat injeksi telah disederhanakan dengan menganggap tubuh
tersusun atas sejumlah kompartemen yang menggambarkan ruang-ruang teoretis dengan
volume terhitung. Model dua kompartemen dapat digunakan untuk mengilustrasikan konsep
dasar farmakokinetik yang juga dapat diaplikasikan untuk model yang lebih kompleks (Gambar
1-2) (Stanski dan Watkins, 1982). Pada model dua kompartemen, obat dimasukkan dengan
injeksi IV secara langsung ke kompartemen pusat. Setelah itu obat terdistribusi ke
kompartemen perifer hanya untuk kembali akhirnya ke kompartemen pusat, di mana klirens
dari tubuh terjadi.

Kompartemen pusat meliputi cairan intravaskular dan jaringan yang sangat terperfusi
(paru, otak, ginjal, hepar) di mana uptake obat cepat. Pada orang dewasa, jaringan yang sangat
terperfusi ini menerima hampir 75% cardiac output tetapi mewakili 10% massa tubuh.
Kompartemen pusat ini ditetapkan hanya dalam hal volumenya yang nyata, yang dikalkulasi dan
tidakperlu sesuai dengan volume anatomis yang sesungguhnya. Demikian juga, kompartemen
perifer (yang terdiri atas banyak kompartemen) ditetapkan dalam hal volume terhitungnya.
Volume terhitung yang besar untuk kompartemen perifer mengesankan uptake obat yang luas
1
oleh jaringan tersebut yang menyusun kompartemen perifer. Kecepatan transfer obat
(konstanta kecepatan, K) di antara kompartemen-kompartemen (klirens antarkompartemen)
bisa berkurang sejalan dengan usia, yang mengakibatkan konsentrasi obat dalam plasma yang
lebih tinggi seperti thiopental pada pasien usia lanjut, walaupun dosis injeksi sama dan Vd yang
sama pada pasien dewasa muda dan usia lanjut (Avram et al., 1990; Stanski dan Maitre, 1990).
Residu obat yang terdapat dalam kompartemen perifer saat pengulangan injeksi IV akan
mengurangi efek proses distributif pada pengurangan konsentrasi plasma dan menimbulkan
efek berlebih (kumulatif) dari dosis yang berulang. Derajat efek obat kumulatif dapat dihitung
dengan mengetahui interval pendosisan obat dan waktu-paruh eliminasi.
Konsep Alternatif dalam Interpretasi Model Kompartemen
Aplikasi tepat dari model kompartemen tradisional bisa terbatasi atau bahkan
berkurang, terutama ketika diaplikasikan pada injeksi obat secara IV cepat yang mencapai efek
maksimum dalam <2 menit (Fisher, 1996; Kisor et al., 1996). Sebagai contoh, aplikasi tradisional
model kompartemen pada farmakokinetik mengasumsikan bahwa obat dieliminasi hanya dari
kompartemen pusat. Namun, eliminasi obat oleh mekanisme klirens nonorgan akan
mengakibatkan klirens dari kompartemen pusat dan perifer (Fisher, 1996). Singkatnya,
atracurium dan cisatracurium dieliminasi oleh jalur (liminasi Hoffman, hidrolisis ester) yang
tidak bergantung pada organ klirens yang biasa seperti yang digambarkan oleh kompartemen
pusat. Oleh karena itu, aplikasi model kompartemen tradisional pada farmakokinetik obat yang
mengalami klirens nonorgan ini cacat (Kisor et al., 1996). Lebih jauh lagi, waktu-paruh
eliminasi, yang memberikan penjelasan mengenai disposisi(penempatan) obat dalam model
kompartemen tunggal, nilainya dalam mendeskripsikan model multikompartemen bisa terbatas
(Shafer dan Varvel, 1991).
Kurva Konsentrasi Plasma
Plot grafik dari logaritma penurunan konsentrasi obat dalam plasma versus waktu
setelah injeksi IV (bolus) cepat mengkarakterisasi fase distribusi (alfa) dan eliminasi (beta) dari
obat itu (Gambar 1-3) (Stanski dan Watkins, 1982). Logaritma memberikan cara yang lebih
mudah dalam memplot kisaran konsentrasi plasma yang luas setelah injeksi IV suatu obat. Di
samping itu, logaritma ini sesuai untuk menggambarkan karakteristik kinetik urutan pertama
dari distribusidan eliminasi sebagian besar obat.
Fase distribusi dari kurva konsentrasi plasma dimulai segera setelah injeksi IV suatu
obat dan menggambarkan distribusi obat tersebut dari sirkulasi (kompartemen pusat) ke
jaringan perifer (kompartemen perifer) (lihat Gambar 1-2 dan 1-3) (Stanski dan Watkins, 1982).
Fase eliminasi dari kurva konsentrasi plasma mengikuti fase distribusi awal dan dikarakterisasi
dengan penurunan konsentrssi obat dalam plasma secara lebih bertahap (lihat Gambar 1-3)
(Stanski dan Watkins, 1982). Penurunan secara lebih berangsur-angsur ini menggambarkan
eliminasi obat dari sirkulasi (kompartemen pusat) oleh mekanisme klirens ginjal dan hepar.
1
Konsep Alternatif dalam Interpretasi Konsentrasi Obat dalam Plasma
Konsep tradisioanl bahwa efek farmakologis obat sebanding dengan konsentrasinya
dalam plasma (kiranya reseptor) tidak selalu valid. Sebagai contoh, 1 menit setelah administrasi
bolus cisatracurium, konsentrasi plasma telah berkurang, sementara efek farmakologis sedang
meningkat (Boyd et al., 1995). Untuk alasan ini, telah diusulkan bahwa efek farmakologis obat
sebaiknya tidak dikaitkan dengan konsentrasi plasmanya tetapi lebih ke konsentrasinya dalam
kompartemen perifer hipotetis (kompartemen efek) yang dihubungkan dengan plasma oleh
konstanta kecepatan (Fisher, 1996). Model kompartemen efek memberikan wawasan mengenai
perjalanan waktu onset dan offset dari banyak obat.

Waktu-Paruh Eliminasi
Kecepatan eliminasi obat ditentukan oleh kemiringan garis yang merepresentasikan
konsentrasi log plasma obat terhadap waktu selama fase eliminasi. Waktu-paruh eliminasi
adalah waktu yang dibutuhkan untuk konsentrasi plasma obat menurun sampai 50% selama
fase eliminasi. Waktu-paruh eliminasi obat berbanding lurus dengan Vd nya dan berbanding
terbalik dengan klirensnya. Untuk alasan inilah penyakit renal atau hepar yang mengubah Vd
dan/atau klirens akan mengubah waktu-paruh eliminasi. Namun, waktu-paruh eliminasi tidak
dipengaruhi dosis obat yang diberikan.
Hidup-paruh eliminasi, berbeda dengan waktu-paruh eliminasi, menunjukkan waktu
yang dibutuhkan untuk eliminasi 50% obat dari tubuh setelah injeksi IV. Waktu-paruh eliminasi
dan hidup-paruh eliminasi adalah tidak sama jika penurunan konsentrasi plasma obat tidak
paralel dengan eliminasinya dari tubuh. Jumlah obat yang tersisa di tubuh terkait dengan jumlah
waktu-paruh eliminasi yang telah berlalu (Tabel 1-1). Sebagai contoh, jika 50% obat dieliminasi
dalam 10 menit, 10 menit yang lain akan dibutuhkan untuk eliminasi satu-setengah obat yang
tersisa. Sekitar lima waktu-paruh eliminasi dibutuhkan untuk eliminasi hampir total (96.9%)
obat dari tubuh. Untuk alasan inilah, akumulasi obat dapat diprediksikan jika interval
pemberian dosis kurang dari periode ini. Akumulasi obat berlanjut sampai kecepatan
eliminasinya sama dengan kecepatan administrasi. Sebagaimana dengan eliminasi obat, waktu
1
yang dibutuhkan obat untuk mencapai konsentrasi plasma yang tetap (Cp ss) dengan pemberian
dosis intermitten adalah sekitar lima waktu-paruh eliminasi.

Konsep alternatif dalam pengintepretasian waktu-paruh eliminasi.


Waktu-paruh eliminasi adalah deskriptor yang paling banyak mengkarakteristik
perilaku farmakokinetika obat. Dalam bangunan matematis yang ketat, bagaimanapun juga,
waktu-paruh berguna dalam menghitung kompartemen sentral konsentrasi obat hanya pada
model satu-kompartemen (Hughes et al, 1992). Waktu-paruh eliminasi mungkin bernilai kecil
dalam mendeskripsikan farmakokinetika obat dalam model multi kompartemen. Lebih jauh lagi,
hal yang lebih penting untuk klinisi adalah seberapa lama waktu yang dibutuhkan oleh
konsentrasi plasma untuk menurunkan ke level yang mengijinkan pasien untuk bangun,
daripada kemiringan kurva konsentrasi obat plasma terhadap waktu (Fisher, 1996). Telah
ditunjukkan bahwa konklusi klinis berdasar pada waktu-paruh eliminasi obat anestesi yang
diberikan IV harus diganti dengan waktu recovery menggunakan simulasi komputer dari
skenario klinis spesifik (Shafer dan Stanski, 1992). Waktu-paruh eliminasi itu sendiri tidak
memberikan wawasan secara virtual mengenai kecepatan penurunan konsentrasi plasma
setelah diskontinuasi dari infus obat IV kontinu. Selain berfokus pada waktu-paruh eliminasi,
klinisi harus mempertimbangkan nilai konsep dari waktu-paruh sensitif-konteks (Hughes et
al,1992).

Waktu-paruh sensitif-konteks
Konsep waktu-paruh sensitif-konteks telah diperkenalkan untuk mencegah
keterbatasan waktu-paruh eliminasi dalam mendeskripsikan farmakokinetika obat
kompartemen sentral postinfusi (Hughes et al 1992). Efek distribusi pada konsentrasi obat
plasma bervariasi dalam besarnya dan arahnya dan bergantung pada gradien konsentrasi obat
antar berbagai kompartemen. Waktu-paruh sensitif-konteks mendeskripsikan waktu yang
dibutuhkan oleh konsentrasi obat plasma untuk penurunan sebesar 50% (atau persentase yang
lain) setelah dilakukan diskontinuasi infus kontinu pada sebuah durasi spesifik (konteks
merujuk pada durasi infus). Simulasi komputer dari model farmakokinetika
multikompartemental mengenai disposisi obat telah digunakan untuk menghitung waktu-paruh
sensitif-konteks untuk obat yang diberikan sebagai infus kontinu selama anestesia (Fig.1-4)
(Hughes et al.,1992).
1
Waktu-paruh sensitif-konteks, berbeda dengan waktu-paruh eliminasi,
mempertimbangkan efek terkombinasi dari distribusi dan metabolisme serta durasi pada
administrasi IV yang terus-menerus pada farmakokinetik obat. Contohnya, berdasarkan pada
kelarutan obat terhadap lemak dan efisiensi mekanisme klirennya, waktu-paruh sensitif-
konteks meningkat secara paralel dengan durasi administrasi IV yang terus-menerus (lihat Fig.
1-4) (Hughes et.al.,1992). Waktu-paruh sensitif-konteks menghasilkan hubungan yang tidak
konstan terhadap waktu-paruh eliminasi obat.
Waktu Recovery
Waktu administrasi tergantung pada seberapa jauh konsentrasi obat dalam plasma
harus menurun untuk mencapai level yang cocok untuk kesadaran (Fig. 1.5).

Misalnya, jika konsentrasi obat hanya dipertahankan dengan infus yang terus-menerus melebihi
yang diperlukan untuk mencapai kesadaran, waktu recovery akan lebih cepat daripada setelah
infus terus-menerus yang mempertahankan konsentrasi obat plasma pada level jauh lebih tinggi
daripada yang diasosiasikan dengan kesadaran (lihat Fig. 1.5). Jadi, perbedaan antara
1
konsentrasi plasma pada saat infus obat yang terus-menerus dihentikan dan konsentrasi plasma
di bawah dimana kesadaran bisa diharapkan adalah sesuatu yang penting dalam menentukan
waktu recovery. Mengenai ini, waktu-paruh sensitif-konteks tidak secara langsung
menggambarkan seberapa lama ini akan membuat pasien sadar. Lebih jauh lagi, eliminasi
waktu-paruh tidak membiarkan perkiraan recovery setelah administrasi obat karena parameter
ini hanya menyetel batas atas bagaimana waktu yang dibutuhkan untuk 50% penurunan
konsentrasi obat plasma (Shafer dan Stanski, 1992)
Keseimbangan Efek-Tempat
Penundaan antara administrasi obat secara IV dan onset efek klinis menggambarkan
perlunya waktu untuk sirkulasi, mengantarkan obat ke tempat kerjanya (jaringan seperti otak).
Penundaan ini menggambarkan fakta bahwa plasma biasanya bukan tempat kerja obat tapi
lebih ke rute sirkulasi saja yang dengannya obat bisa mencapai tempat efeknya (biophase). Jika
beberapa parameter efek obat bisa diukur (waktu untuk menghasilkan efek khusus pada
elektroensefalogram), keseimbangan waktu-paruh antara konsentrasi obat di dalam plasma dan
efek obat dapat diukur. Waktu ini ditandai sebagai waktu keseimbangan efek-tempat.
Waktu keseimbangan efek-tempat adalah konsep waktu logis yang relevan dalam
administrasi obat IV. Obat dengan waktu keseimbangan efek-tempat yang pendek (remifentamil,
alfentamil, thiopental, propofol) akan menghasilkan onset efek farmakologis yang lebih cepat
dibandingkan dengan obat yang memiliki waktu keseimbangan efek-tempat yang lebih lama
(fentanyl, sufentanil, midazolam). Pengetahuan tentang waktu keseimbangan efek-tempat
penting dalam menentukan interval dosis, terutama ketika menetapkan kadar obat IV untuk
memberikan efek klinis. Contohnya, dosis midazolam seharusnya berasa di daerah dengan
interval yang mencukupi untuk memungkinkan terjadinya efek puncak farmakologis klinis yang
nyata sebelum administrasi obat berikutnya. Kegagalan untuk menilai pentingnya waktu
keseimbangan efek-tempat bisa menyebabkan tidak diperlukannya administrasi obat. Sebagai
tambahan terhadap waktu keseimbangan efek-tempat, interval dosis akan dipengaruhi juga oleh
redistribusi ke tempat jaringan inaktif. Redistribusi ini tergantung pada aliran darah jaringan,
yang mungkin diubah oleh kardiak output.
Rute Administrasi dan Absorpsi Sistemik Obat
Pilihan administrasi obat seharusnya ditentukan dengan factor-faktor yang
mempengaruhi absorpsi sistemik obat. Laju absorpsi sistemik obat menentukan intensitas dan
durasi aksinya. Perubahan dalam laju absorpsi sistemik mungkin mengharuskan suatu
pengaturan mengenai dosis atau interval waktu antara dosis obat berulang.
Absorpsi sistemik, tanpa memperhatikan rute administrasi obat, tergantung pada
kelarutan obat tersebut. Kondisi local pada tempat absorpsi bisa mengubah kelarutan, terutama
sekali di traktus gastrointestinal. Aliran darah ke tempat absorpsi juga penting dalam kecepatan
absorpsi. Contohnya, peningkatan aliran darah yang ditimbulkan dengan menggosok atau
memberikan panas pada lokasi injeksi meningkatkan absorpsi sistemik, sedangkan penurunan
aliran darah dikaitkan karena vasokonstriksi sehingga menghalangi absorpsi obat. Akhirnya,
area permukaan absorpsi yang tersedia untuk absorpsi sangat penting untuk masuknya obat ke
dalam sirkulasi.
Administrasi Oral
Administrasi obat secara oral adalah satu cara yang paling nyaman, tepat dan ekonomis.
Kerugian dari administrasi oral ini termasuk (a) muntah yang disebabkan karena iritasi mukosa
gastrointestinal oleh obat, (b) kerusakan pada obat oleh enzim-enzimm pencernaan atau cairan
asam lambung, dan (c) ketidakteraturan dalam masuknya makanan atau obat lain. Lebih jauh
1
lagi, obat mungkin dimetabolisme oleh enzim atau bakteri di traktus gastrointestinal sebelum
absorpsi sistemik bisa terjadi.
Dengan administrasi oral, onset efek obat sangat ditentukan oleh laju dan tingkat
absorpsi dari traktus gastrointestinal. Tempat utama absorpsi obat setelah administrasi oral
adalah di usus halus, dikarenakan area permukaan yang luas dalam traktus gastrointestinal.
Perubahan pH cairan gastrointestinal yang mendukung adanya obat dalam bentuk fraksi non-
ionisasinya (larut lemak) sehingga mendukung absorpsi sistemik. Obat yang dalam keadaan
asam lemah (seperti aspirin) menjadi terionisasi pada lingkungan basa di usus halus, tetapi
absorpsi masih berlangsung baik karena area permukaan yang luas. Selain itu, absorpsi juga
terjadi di lambung, dimana cairannya bersifat asam.
Efek Hepatis Lintas-Pertama
Obat yang terabsorpsi dari traktus gastrointestinal memasuki darah vena portal dan
kemudian melewati hati sebelum memasuki sirkulasi sistemik untuk dikirimkan ke reseptor
jaringan. (Fig. 1.6). Hal ini dikenal sebagai efek hepatis lintas-pertama, dan untuk obat yang
mengalami ekstraksi hepatic dan metabolisme yang berlebihan (propanolol, lidocaine), ini
merupakan alasan adanya perbedaan dalam efek farmakologis antara dosis oral dan IV.

Administrasi Oral Transmukosa


Rute administrasi sublingual atau buccal mengizinkan suatu onset efek obat yang cepat
karena ini membypass/melewati hati sehingga mencegah efek hepatis lintas-pertama pada awal
konsentrasi obat plasma. Misalnya, saluran vena dari area sublingual langsung menuju vena
cava superior. Nilai bukti bypass efek hepatis lintas-pertama adalah kemajuran nitroglycerin
sublingual. Dan sebaliknya, administrasi oral nitroglycerin tidak efektif karena mengalami
metabolisme hepatis lintas-pertama yang berlebihan yang mencegah terbentuknya konsentrasi
plasma terapeutik. Administrasi buccal adalah satu alternative untuk penempatan obat
sublingual; ini lebih menoleransi dan kurang menstimulus air liur. Mukosa hidung juga
menyediakan permukaan absorpsi yang efektif untuk obat-obatan tertentu.
Administrasi Transdermal
Administrasi obat transdermal menyediakan konsentrasi obat plasma terapeutik yang
mendukung dan menurunkan kemungkinan hilangnya kemanjuran terapeutik dalam kaitannya
dengan puncak dan lembah yang diasosiasikan dengan injeksi obat konvensional intermiten.
Rute administrasi ini hanya kekompleksan teknik infuse yang terus-menerus, dan insidensi efek
samping yang rendah (karena digunakan dosis kecil) menambah tinggi kepatuhan pasien.
Karakteristik obat yang mendukung prediksi absorpsi transdermal termasuk (a) kombinasi
dengan air dan kelarutannya dalam lemak, (b) berat molekul < 1000, (c) pH 5 sampai 9 pada
larutan air jenuh, (d) tidak adanya efek pelepasan histamine, dan (e) dosis harian yang
dibutuhkan < 10 mg. Scopolamine, fentanyl, clonodine, dan nitroglycerin adalah obat-obatan
yang tersedia dalam system pengiriman transdermal. Sayangnya, konsentrasi plasma yang tetap
1
dibentuk dengan absorpsi transdermal dari scopolamine dan nitroglycerin mungkin
menghasilkan toleransi dan hilangnya efek terapeutik.
Sepertinya absorpsi transdermal obat pada awalnya terjadi sepanjang kelenjar keringat
dan folikel rambut yang berfungsi sebagai pengalih difusi. Tahap pembatasan laju pada absorpsi
obat transdermal adalah difusi sepanjang stratum corneum epidermis. Perbedaan ketebalan dan
bahan kimiawi stratum corneum direfleksikan pada permeabilitas kulit. Contohnya, kulit
mungkin bisa setebal 10 sampai 20 um pada punggung dan perut dibandingkan dengan 400
sampai 600 um pada permukaan telapak tangan. Demikian juga, studi-studi penyebaran kulit
menunjukkan perbedaan wilayah substansiil untuk absorpsi sistemik scopolamine. Zona
postauricular, karena lapisan edipermisnya tipis dan sedikit banyak lebih tinggi temperaturnya,
hanya merupakan area yang cukup permeable untuk memperkirakan dan menahan absorpsi
scopolamine. Stratum corneum yang terkelupas dan meregenerasi dengan laju yang membuat 7
hari adesi membatasi durasi untuk satu aplikasi system transdermal. Kontak kulit pada lokasi
aplikasi potongan kecil transdermal terjadi pada sejumlah pasien yang signifikan.
Administrasi Rektal
Obat yang diadministrasikan ke dalam bagian proksimal rectum diabsorpsi ke dalam
vena hemoroidal superior dan sesudah itu ditransport ke hati melalui system vena portal (efek
hepatis lintas-pertama), dimana mengarahkan kepada metabolisme sebelum memasuki
sirkulasi sistemik. Dengan kata lain, obat yang diabsorpsi dari tempat administrasi rectal yang
rendah mencapai sirkulasi sistemik tanpa melewati hati. Factor ini, pada bagian besar,
menjelaskan respon yang tidak diperkirakan yang mengikuti administrasi obat secara rectal.
Selanjutnya, obat mungkin menyebabkan iritasi mukosa rectum.
Administrasi Parenteral
Administrasi parenteral mungkin dibutuhkan untuk memastikan absorpsi obat dalam
bentuk aktif dan hanya merupakan rute administrasi yang diterima dalam keadaan tidak sadar
atau pasien yang tidak bisa bekerja sama. Absorpsi sistemik setelah injeksi subkutan atau
intramuscular biasanya lebih cepat dan bisa diperkirakan daripada pada administrasi oral. Laju
absorpsi sistemik dibatasi oleh area permukaan membrane absorpsi kapiler dan oleh kelarutan
obat dalam cairan interstisial. Saluran cairan yang besar di endotel vascular meliputi difusi yang
tidak terhalang dari molekul obat, termasuk kelarutan dalam lemaknya.
Konsentrasi obat yang diinginkan di dalam darah dapat dicapai lebih cepat dan tepat
dengan rute administrasi IV, yang mengelakkan factor-faktor itu yang membatasi absorpsi
sistemik oleh rute lainnya. Obat-obat pengganggu diadministrasikan lebih nyaman dengan rute
IV karena dinding pembuluh darah relative tidak sensitive dan obat yang diinjeksikan
mengencer dengan cepat, terutama jika obat diinjeksikan ke dalam vena besar di lengan bawah.

Distribusi Obat setelah Absorpsi Sistemik


Setelah absorpsi sistemik dari obat, jaringan dengan tingkat perfusi yang tinggi (jantung,
otak, ginjal, hati) menerima jumlah besar yang tidak sebanding dari dosis total (lihat halaman 7,
Tabel 1-2). Sejak konsentrasi obat plasma menurun di bawah itu dalam jaringan dengan tingkat
perfusi tinggi, obat meninggalkan jaringan ini untuk diredistribusikan ke tempat dengan perfusi
yang lebih rendah, misalnya otot skelet dan lemak (lihat Tabel 1-2). Contohnya, kesadaran
setelah dosis single thiopental terutama menggambarkan redistribusi obat dari otak ke jaringan
dengan tingkat perfusi yang lebih rendah, misalnya otot skelet dan lemak, dimana thiopental
dipertimbangkan untuk secara farmakologis inaktif.
1
Uptake obat oleh jaringan terutama ditentukan oleh aliran darah jaringan jika obat
dalam pertanyaan dapat menembus membrane dengan cepat. Gradient konsentrasi untuk fraksi
obat yang bisa berdifusi (non-ionisasi, larut lemak, dan tidak terikat dengan protein)
menentukan keduanya, laju dan arah net transfer antara plasma dan jaringan. Awalnya, setelah
administrasi obat, gradient konsentrasi obat menyerupai jalan lintasan obat dari plasma ke
dalam jaringan. Dengan condouing eliminasi obat, konsentrasi plasma menurun di bawah
konsentrasi plasma dan obat meninggalkan jaringan untuk memasuki kembali sirkulasi.
Kemudian, suatu jaringan yang mengakumulasi obat secara parenteral bisa bertindak sebagai
wadah untuk mempertahankan konsentrasi plasma dan dengan begitu memperpanjang durasi
aktifnya. Dengan cara yang sama, berulang atau dosis obat yang tinggi akan menjenuhkan
tempat jaringan inaktif, demikian menghambat peran jaringan ini dalam menyediakan jaringan
yang inaktif untuk redistribusi. Ketika ini terjadi, durasi aksi obat seperti thiopental dan fentanyl
sepertinya diperpanjang sebagai penyusutan efek obat yang sekarang tergantung pada
metabolisme daripada kepada redistribusi.
Kapasitas jaringan untuk menerima obat sangat tergantung pada kelarutan obat dalam
jaringan dan massa jaringan (Tabel 1.3). contohnya, obat bisa memperlihatkan kelarutan yang
terbatas di otot skelet, tetapi massa jaringan yang besar (sekitar 50% berat badan) akan
mempengaruhi redistribusi obat.

Uptake ke Paru-Paru
Paru-paru memiliki fungsi penting dalam farmakokinetik sebagaimana digambarkan
oleh uptake obat injeksi, terutama amino lipohilic dasar (pK 8). Misalnya, uptake lintas-pertama
1
paru dari dosis awal lidocaine, propanolol, meperidine, fentanyl, sufentamil, dan alfentan
melebihi 65% dosis (Boer et.al.,1994). Ventilasi spontan dan terkontrol versus apnea tidak
mempengaruhi arah efek lintas-pertama paru yang diamati untuk alfentamil dan sufentamil
(Boer et.al., 1994). Uptake obat oleh paru mungkin menyebabkan puncak konsentrasi arteri dari
obat ini dan berfungsi sebagai wadah untuk melepaskan obat kembali ke dalam sirkulasi
sistemik.
Distribusi Sistem Saraf Pusat.
Distribusi obat terionisasi larut air untuk system saraf pusat (CNS) dari sirkulasi sangat
ketat karena batasan karakteristik permeabilitas dari kapiler otak, yang dikenal sebagai sawar
darah otak (blood brain barrier). Sebaliknya aliran darah serebral hanya merupakan
pembatasan untuk penyebaran kepada system saraf pusat oleh obat larut lemak yang
terionisasi. Ini penting untuk memahami bahwa blood brain barrier adalah subjek untuk
merubah dan dapat diatasi dengan administrasi obat dosis tinggi. Lebih jauh lagi, luka kepala
akut dan hipoksemia arterial mungkin diasosiasikan dengan kerusakan blood brain barrier.
Volume Distribusi
Volume distribusi (Vd) adalah ekspresi matematikal dari penjumlahan volume yang jelas
dari kompartemen-kompartemen yang menyusun model kompratemen (lihat Fig 1.2) (Stanski
dan Watkins, 1982). Seperti demikian nilai ini melukiskan karakteristik distribusi obat di dalam
tubuh. Volume distribusi dikalkulasikan ketika dosis pemberian obat secara IV dibagi dengan
menghasilkan konsentrasi plasma obat sebelum eliminasi dimulai (inisial Vd atau Vd 1) atau
ketika kondisi posisi mantap telah dicapai (Vd ss). Seperti demikian, Vd dipengaruhi oleh
karakteristik fisiokimiawi obat, termasuk (a) kelarutan lemak, (b) keterikatan dengan protein
plasma, dan (c) ukuran molekul. Ikatan dengan protein plasma dan kelarutan lemak yang
rendah membatasi penerimaan obat ke jaringan, sehingga mempertahankan konsentrasi yang
tinggi di plasma dan kalkulasi kecil Vd. Contoh obat dengan kelarutan dalam lemak yang rendah
dengan Vd yang mirip dengan volume cairan ekstraseluler adalah obat bloking neuromuscular
nondepolarisasi. Obat yang larut dalam lemak yang berkonsentrasi tinggi dalam jaringan
dengan menghasilkan konsentrasi plasma yang rendah akan mempunyai perhitungan Vd yang
melebihi cairan total tubuh. Contoh obat larut lemak dengan Vd yang melebih cairan total tubuh
adalah thiopental dan diazepam. Model farmakokinetik tradisional yang tidak
memperhitungkan untuk kliren obat nonorgan (eliminasi Hoffman, ester hydrolysis)
meremehkan Vdss (Fisher, 1996).
Ionisasi
Kebanyakan obat adalah asam lemah atau basa lemah yang hadir dalam larutan baik
bentuk molekul terionisasi dan tidak terionisasi. Karakteristik kelarutan dari molekul yang
terionisasi dan tidak terionisasi menentukan kemudahan dengan obat mungkin berdifusi
melalui komponen lemak membrane sel. Difusi ini terutama sekali penting karena obat-obatan
sering terlalu besar untuk bebas melewati membrane channel.
Karakteristik Molekul Terionisasi dan tidak Terionisasi.
Molekul yang tidak terionisasi biasanya larut lemak dan dapat berdifusi menembus
membrane sel yang menyusun blood brain barrier, epitel tubulus ginjal, epitel gastrointestinal,
dan sel-sel hati (Tabel 1.4). sebagai hasilnya, fraksi obat ini aktif secara farmakologis, mengalami
penyerapan sepanjang tubulus ginjal, diabsorpsi dari traktus gastrointestinal dan cocok
terhadap metabolisme hati. Sebaliknya, fraksi terionisasi kelarutannya dalam lemak rendah dan
tidak bisa menembus membrane sel lemak dengan mudah (lihat Tabel 1.4). Ionisasi
menyebabkan obat di keluarkan dari bagian sel dengan tuntutan yang mirip. Derajat tinggi dari
ionisasi sehingga absorpsi obat tidak seimbang dari traktus gastrointestinal, membatasi akses
1
terhadap obat-enzim metabolisme dalam sel-sel hati, dan memfasilitasi ekskresi obat yang tidak
berubah, karena absorpsi melalui epitel tubulus ginjal tidak seperti biasanya.

Menentukan Derajat Ionisasi


Derajat ionisasi obat adalah satu fungsi disosiasi konstan obat (pK) dan pH cairan di
sekelilingnya. Ketika pK dan pH identik, 50% obat berada dalam bentuk ionisasi dan tidak
terionisasi. Perubahan kecil pada pH dapat menyebabkan perubahan besar dalam ionisasi yang
tinggi, terutama jika nilai pH dan pK mirip. Obat yang bersifat asam, seperti barbiturate,
cenderung terionisasi dengan tinggi pada pH alkali, sedangkan obat dasar, seperti opioids dan
anstesi local, terionisasi pada pH asam.

Ion Trapping
Perbedaan konsentrasi dari obat total dapat mengembangkan dua sisi membrane yang
memisahkan cairan dengan pH yang berbeda (Fig 1.7) (Hug 1978). Sebagai hasil dari perbedaan
pH ini, derajat ionisasi obat juga berbeda pada masing-masing sisi membrane. Fraksi obat yang
tidak terionisasi dan larut lemak menyeimbangkan melalui membrane sel tetapi konsentarsi
total obat dangat berbeda pada masing-masing sisi membrane karena pengaruh kuat dari pH
pada fraksi obat yang berada pada bentuk terionisasi. Ini merupakan pertimbangan yang
penting karena satu fraksi obat mungkin lebih aktif secara farmakologis daripada fraksi lain.

1
Administrasi sistemik dari obat basa lemah, seperti opioid, dapat menghasilkan
akumulasi obat terionisasi (ion trapping) dalam lingkungan asam di lambung. Fenomena yang
hampir sama terjadi dalam pemindahan obat dasar, seperti anestesi local, menyebrangi plasenta
dari ibu ke fetus karena pH fetus lebih rendah daripada pH ibu. Fraksi nonionisasi yang larut
lemak dari anestesi local ketika menyebrang plasenta dan diubah menjadi fraksi terionisasi yang
kelarutan dalam lemaknya rendah dalam lingkungan yang lebih asam di fetus.
Fraksi terionisasi dalam fetus tidak dapat menyebrangi plasenta dengan mudah ke
sirkulasi maternal dan dengan begitu terperangkap dengan efektif di dalam fetus. Pada saat
yang sama, perubahan fraksi nonionisasi menjadi fraksi terionisasi mempertahankan gradient
untuk melanjutkan lintasan anestesi local menuju fetus. Adanya akumulasi anestesi local di
dalam fetus ditekankan oleh asidosis yang menyertai fetal distress.
Protein Pengikat
Jumlah variabel dari kebanyakan obat terikat pada protein plasma yang termasuk
albumin, asam alpha1 glikoprotein, dan lipoprotein (Wood, 1986). Kebanyakan obat yang
bersifat asam terikat pada albumin, sedangkan obat dasar memilih asam alpha 1 glikoprotein.
Protein pengikat memiliki efek yang penting pada distribusi obat karena hanya fraksi bebas atau
tidak terikat yang siap tersedia untuk menyebrangi membrane sel. Selanjutnya, Vd obat
berhubungan dengan terbalik terhadap protein pengikat. Contohnya, protein pengikat yang
tinggi membatasi lintasan obat ke dalam jaringan, sehingga menghasilkan konsentrasi obat
plasma yang tinggi dan kalkulasi Vd yang kecil. Kliren obat juga dipengaruhi oleh protein
pengikat karena fraksi yang tidak terikat ini dalam plasma yang sudah siap masuk ke enzim
metabolisme obat di hati, dan juga fraksi obat yang tidak terikat ini yang mengalami filtrasi
glomerular.
Kompleks obat-protein dipertahankan dengan ikatan yang lemah (ikatan ionic,
hydrogen, van der Waals) dan dapat memisah ketika konsentrasi obat plasma menurun sebagai
hasil kliren hepatic atau kliren ginjal dari fraksi yang tidak terikat. Mengenai ini, protein
pengikat obat mungkin sebenarnya memfasiliatsi eliminasi dengan berperan sebagai
mekanisme transport untuk mengirimkan obat ke tempat kliren.
Perubahan dalam protein pengikat biasanya hanya penting untuk obat yang terikat kuat
dengan protein, seperti warfarin, propanolol, phenytoin, dan diazepam. Misalnya, untuk obat
yang 98% terikat protein, penurunan dalam pengikatan menjadi 96% akan menjadikan fraksi
plasma yang tidak terikat dua kali lipat dengan asosiasi peningkatan potensial dalam efek
farmakologis. Sebaliknya, penurunan dalam protein pengikat dari 70% menjadi 68%
menghasilkan hanya 7% peningkatan pada fraksi obat bebas dalam plasms.
Penentuan Protein Pengikat
Tingkat protein pengikat parallel dengan kelarutan obat dalam lemak. Contohnya,
pentobarbital kurang terikat dengan protein daripada kelarutannya dalam lemak thioanalog
thiopental. Sebagai tambahan untuk kelarutan lemak, fraksi obat total dalam plasma yang
terikat protein ditentukan oleh konsentrasi obat plasma dan jumlah tempat ikatan yang
tersedia. Konsentrasi obat plasma yang rendah sepertinya lebih terikat dengan protein daripada
konsentrasi plasma yang tinggi pada obat yang sama. Pernyatann mengenai persentasi protein
pengikat obat tidak berarti jika konsentrasi obat plasma dan ketersediaan tenpat ikatan
(konsentrasi plasma albumin) juga diketahui.
Ikatan obat terhadap albumin plasma sering tidak selektif. Sehingga banyak obat dengan
karakteristik fisiokimiawi yang mirip dapat bersaing dengan satu sama lain dan dengan zat
endogen untuk tempat ikatan protein yang sama. Contohnya, sulfonamides dapat menggantikan
bilirubin tidak terkonjugasi untuk tempat berikatan pada albumin, mendorong ke arah risiko
1
bilirubin ensefalopati pada neonates. Ini sangat penting untuk memperhatikan protein pengikat
ketika membandingkan laju pengikatan protein ibu dengan fetus. Contohnya, konsentrasi obat
dalam tubuh total mungkin berbeda, tetapi efek farmakologisnya sama karena konsentrasi
bebas dari obat juga mirip.
Gagal ginjal mungkin menurunkan fraksi obat yang terikat dengan protein bahkan dalam
tidak adanya perubahan dalam konsentrasi albumin plasma atau protein lainnya. Contohnya,
fraksi bebas phenytoin meningkat pada pasien dengan gagal ginjal seperti pada konsentrasi
toksik plasma seprtinya terjadi jika dosis obat total tidak menurun. Kejadian ini dengan
kehadiran konsentrasi albumin plasma normal menyarankan bahwa perubahan dalam struktur
protein atau pemindahan phenytoin dari tempat ikatannya oleh factor metabolic yang normal
diekskresikan oleh ginjal telah terjadi. Konsentrasi albumin cenderung lebih rendah pada pasien
lajut usia, tetapi pengaruh yang kuat dari perubahan ini kecil dibandingkan dengan efek
keadaan penyakit yang menghasilkan disfungsi ginjal atau hati.
Peningkatan dalan konsentrasi asam alpha 1 glycoprotein plasma terjadi dalam respon
bedah, sakit kronik, dan infark miokardium akut (Wood, 1986). Peningkatan fraksi protein ini
pada pasien dengan arthritis rematoid mengarahkan kepada peningkatan protein pengikat
lidocaine dan propanolol. Konsentrasi asam alpha 1 glycoprotein plasma menurun pada
neonates, menghasilkan penurunan protein pengikat untuk beberapa obat, termasuk diazepam,
propanolol, sufentamil dan lidocaine (Wood and Wood, 1981).

Klirens Obat dari Sirkulasi Sistemik


Clearance (klirens) adalah volume plasma yang dibersihkan dari obat melalui ekskresi
dan/atau metabolisme di liver atau organ lain. Contoh dari klirens non-organ untuk obat
misalnya eliminasi Hoffman dan hidrolisis ester yang bertanggung jawab untuk eliminasi
succinylcholine, atracurium, cistracurium, dan mivacurium. Hampir semua obat dimasukkan
dalam batas rentang dosis terapeutik dibersihkan dari sirkulasi pada laju yang proporsional
dengan jumlah obat yang terdapat dalam plasma (first-order kinetics). Lebih banyak lagi obat
yang dibersihkan dari plaspa per unit waktu pada permulaan ketika konsentrasi plasma
merupakan yang tertinggi (laju eliminasi proporsional dengan konsentrasi). Bahkan pada dosis
terapeutik, bagaimanapun, beberapa obat akan melebihi kapasitas metabolisme atau ekskresi
tubuh untuk membersihkan obat dengan first-order kinetics. Pada situasi ini, sejumlah konstan
obat dibersihkan per unit waktu (zero-order kinetics).
Klirens adalah satu dari variabel farmakokinetik yang paling penting ketika menentukan
regimen infusi obat yang konstan. Untuk menjaga konsentrasi obat dalam plasma tetap (steady
state), laju infusi harus sesuai dengan laju klirens obat oleh mekanisme klirens hepar dan ginjal.
Pengetahuan waktu-paruh eliminasi suatu obat penting untuk mendapatkan konsentrasi plasma
yang konstan untuk obat itu. Bagaimanapun, variasi individual untuk Vd dan klirens dapat
mengubah waktu-paruh eliminasi suatu obat pada suatu individu dibandingkan dengan nilai
yang dihitung dari pasien normal.

Klirens Hepatik
Klirens hepatik untuk suatu obat adalah produk dari aliran darah hepatik dan rasio
ekstraksi dari hepar. Jika rasio ekstraksi hepatik tinggi (>0.7), klirens suatu obat akan
tergantung pada aliran darah hepatik, di mana perubahan pada aktivitas enzim akan memiliki
pengaruh yang minimal (Gambar 1-8) (Wilkinson dan Shand, 1975). Oleh karena itu, rasio
ekstraksi hepatik yang tinggi akan berakibat pada perfusion-dependent elimination (eliminasi
yang bergantung pada perfusi). Jika rasio ekstraksi hepatik <0.3, hanya sebagian kecil dari obat
1
yang dibawa ke hepar akan dibuang per unit waktu. Sebagai akibatnya, sejumlah besar obat
akan tersedia untuk mekanisme eliminasi hepatik, dan perubahan pada aliran darah hepatik
tidak akan terlalu mempengaruhi klirens hepatik. Penurunan pengikatan protein atau
peningkatan aktivitas enzim, sebagaimana dihubungkan dengan induksi enzim, akan sangat
meningkatkan klirens hepatik suatu obat dengan ratio ekstraksi hepatik yang rendah. Tipe
eliminasi hepatik ini disebut capacity-dependent elimination (eliminasi yang bergantung pada
kapasitas).

Ekskresi Bilier
Kebanyakan metabolit dari obat yang diproduksi di hepar akan diekskresikan dalam
empedu ke dalan saluran gastrointestinal. Seringnya, metabolit ini diserap kembali dari saluran
gastrointestinal ke dalam sirkulasi untuk eliminasi akhir dalam urin. Anion organik, seperti
glukuronidase, ditranspor secara aktif ke dalam empedu oleh sistem pengangkutan yang mirip
dengan yang membawa anion itu ke tubulus ginjal.

Klirens Renal
Ginjal merupakan organ paling penting untuk eliminasi dari obat yang belum berubah
atau metabolitnya. Zat larut air diekskresikan lebih efisien oleh ginjal daripada zat dengan
kelarutan dalam lemak yang tinggi. Ini menekankan pentingnya peran metabolisme dalam
mengubah obat larut lemak menjadi metabolit larut air. Eliminasi obat oleh ginjal berhubungan
dengan klirens kreatinin endogen ataupun konsenstrasi serum kreatinin. Besarnya peningkatan
dari indikator tersebut memberikan perkiraan berapa penurunan dosis obat yang dibutuhkan.
Ekskresi obat oleh renal melibatkan (a) filtrasi glomerulus, (b) sekresi aktif tubuler, dan
(c) reabsorpsi pasif tubuler. Jumlah obat yang memasuki lumen tubuler ginjal bergantung pada
fraksi obat yang terikat protein dan laju filtrasi glomerulus. Sekresi tubuler renal melibatkan
proses transpor aktif, yang mungkin selektif terhadap obat dan metabolit tertentu, termasuk zat
1
terikat-protein. Reabsorpsi dari tubulus ginjal membuang obat yang telah memasuki tubulus
melalui filtrasi glomerulus dan sekresi tubuler. Reabsorpsi ini paling tampak untuk obat larut
lemak yang dapat dengan mudah melewati membran sel dari sel epitelial tubuler renal untuk
memasuki cairan peri-kapiler. Sebenarnya, obat dengan kelarutan dalam lemak yang tinggi,
seperti thiopental, hampir selalu direabsorpsi secara sempurna sehingga hanya sedikit atau
tidak ada obat yang belum diubah yang diekskresikan di urin. Sebaliknya, produksi dari
metabolit yang kurang larut lemak membatasi reabsorpsi tubulus renal dan memfasilitasi
ekskresi di urin.
Laju dari reabsorpsi dari tubulus renal dipengaruhi oleh faktor seperti pH dan laju aliran
urin renal tubuler. Reabsorpsi pasif dari basa dan asam lemah diubah oleh pH urin, yang
mempengaruhi fraksi obat yang ada di bentuk terionisasi. Sebagai contoh, asam lemah
diekskresikan lebih cepat dalam urin basa. Ini terjadi karena alkalinisasi urin berakibat pada
obat yang lebih terion yang tidak dapat melewati sel epitel tubuler renal dengan mudah,
sehingga reabsorpsi pasifnya lebih jarang terjadi.

Metabolisme Obat
Peran dari metabolisme (biotransformasi) adalah untuk mengubah obat yang larut
lemak dan secara farmakologis aktif menjadi metabolit yang larut air dan seringkali tidak aktif
secara farmakologis. Peningkatan kelarutan dalam air menurunkan Vd dari obat dan
meningkatkan ekskresi renalnya dan kadang-kadang eliminasi dari gastrointestinal. Obat yang
larut lemak lebih tidak mungkin mengalami ekskresi d renal karena mudahnya reabsorpsi di
lumen dari tubulus renal ke dalam cairan peri-kapiler. Pada tiadanya metabolisme, sebuah obat
larut lemak, seperti thiopental, akan terus menjalani reabsorpsi dari tubulus renal dan memiliki
waktu-paruh eliminasi sekitar 100 tahun. Metabolisme menjadi metabolit larut air,
bagaimanapun, mengurangi reabsorpsinya dari tubulus renal dan memfasilitasi ekskresi melalui
urin.
Penting untuk diketahui bahwa metabolisme tidak selalu menghasilkan metabolit yang
secara farmakologis tidak aktif. Sebagai contoh, diazepam dan propanolol mungkin dapat
dimetabolisme menjadi senyawa aktif. Pada beberapa contoh, senyawa induk inaktif (prodrug)
diberikan dan selanjutnya menjalani metabolisme menjadi metabolit aktif sehingga
memungkinkan rute pemberian yang mungkin tidak dapat dilakukan sebelumnya karena
kelarutannya. Contoh ini menekankan bahwa metabolisme tidak selalu sama dengan inaktivasi
atai bahkan detoksifikasi.
Laju Metabolisme
Laju metabolisme kebanyakan obat ditentukan oleh konsentrasi obat pada lokasi
metabolisme dan oleh laju intrinsik proses metabolisme. Aliran darah hepar sering menentukan
dan karenanya, juga konsentrasi obat di lokasi metabolisme. Laju intrinsik metabolisme
mencerminkan faktor yang mempengaruhi aktivitas enzim, seperti induksi enzim dan genetik.
First-Order Kinetics
Kebanyakan metabolisme obat mengikuti secara linear atau first-order kinetics sehingga
terdapat bagian konstan dari obat yang tersedia dimetabolisme dalam suatu periode waktu
tertentu. First-order kinetics bergantung pada konsentrasi obat dalam plasma sehingga jumlah
absolut dari obat yang akan dieliminasi per unit waktu adalah paling besar saat konsentrasinya
dalam plasma paling tinggi. Bagaimanapun, fraksi dari total obat yang dieliminasikan selama
first-order kinetics tidak bergantung pada konsentrasi plasma dari obat tersebut.
1
Zero-Order Kinetics
Zero-order kinetics terjadi ketika konsentrasi plasma dari obat melebihi kapasitas enzim
metabolisme. Ini mencerminkan saturasi dari enzim yang tersedia dan berakibat pada
metabolisme jumlah obat yang konstan per unit waktu. Ini berkebalikan dengan fraksi obat yang
dimetabolisme yang konstan pada first-order kinetics. Sebagai hasilnya, jumlah absolut obat
yang dieliminasi per uni waktu selama Zero-order kinetics adalah sama, tidak tergantung
konsentrasi obat dalam plasma. Aktivitas intrinsik dari enzim menentukan jumlah konstan dari
obat yang dimetabolisme per unit waktu. Alkohol, aspirin, dan phenytoin adalah obat yang
menunjukkan Zero-order kinetics bahkan pada konsentrasi terapeutik.

Jalur Metabolisme
Empat jalur dasar metabolisme adalah (a) oksidasi, (b) reduksi, (c) hidrolisis, dan (d)
konjugasi. Secara tradisional, metabolisme telah dikategorikan menjadi reaksi fase I dan fase II.
Reaksi fase I termasuk oksidasi, reduksi, dan hidrolisis yang meningkatkan polaritas obat dan
menyiapkan fase II. Reaksi fase II adalah reaksi konjugasi yang mengikat obat atau metabolit
secara kovalen dengan molekur berpolaritas tinggi (karbohidrat atau asam amino) lalu
membuat konjugat tersebut lebih larut air untuk ekskresi berikutnya. Enzim mikrosom hepar
bertanggung jawab untuk metabolisme kebanyakan obat. Lokasi lain metabolisme obat
termasuk plasma (eliminasi Hoffman, ester-hidrolisis), paru-paru, ginjal, dan saluran
gastrointestinal. Perkembangan evolusioner dari enzim metabolisme obat sering kali terkait
dengan ingesti alkaloid beracun dari tanaman. Dalam konteks ini, metabolisme obat telah
berevolusi menjadi cara melindungi terhadap racun dari lingkungan.
Enzim mikrosomal hepar, yang berpartisipasi dalam metabolisme banyak obat terletak
utamanya di retikulum endoplasmik halus hepar. Enzim ini juga terdapat di ginjal, saluran
gastrointestinal, dan korteks adrenal. Istilah enzim mikrosomal berasal dari fakta bahwa
sentrifugasi sel terhomogen (biasanya hepatosit) akan mengkonsentrasikan fragmen dari
retikulum endoplasmik halus yang pecah yang disebuh sebagai fraksi mirosomal.
Walaupun saluran gastrointestinal secara tradisional dianggap sebagai organ absorpsi,
telah diketahui bahwa usus halus memiliki aktivitas metabolisme obat yang cukup, serta
melibatkan baik reaksi fase I maupun fase II. Enzim sitokrom P-450 terletak sepanjang sistem
gastrointestinal tetapi kebanyakan dari enzim ini terletak di usus halus. Ginjal juga mampu
mengoksidasi dan mengkonjugasikan obat serta substrat endogen menggunakan enzim
sitokrom P-450 dan enzim fase II.
Enzim Fase I
Enzim yang bertanggung jawab untuk reaksi fase I termasuk enzim sitokrom P-450,
enzim nonsitokrom P-450, dan enzim monooxygenase yang mengandung flavin.
Enzim sitokrom P-450
Sistem enzim sitokrom P-450 (CYP) adalah keluarga besar dari protein heme terikat
membran yang mengkatalisis metabolisme senyawa endogen. Enzim P-450 kebanyakan enzim
mikrosom hepar walaupun ada juga enzim P-450 mitokondrial. Nama sitokrom P-450
menekankan substansi ini memiliki puncak absorpsi pada 450 nm ketika dikombinasikan
dengan karbon monoksida. Sistem enzim P-450 juga dikenal sebagai mixed function oxidase
system (sistem oksidase multi fungsi) atau monooksigenase karena ia melibatkan baik oksidasi
dan reduksi. Sitokrom P-450 berfungsi sebagai oksidase terminal pada skema transpor elektron.
Enzim P-450 individu (lebih dari 50 gen CYP telah diidentifikasi) telah berkembang dari
sebuah protein biasa (Nelson, 1999). Enzim P-450 yang memilliki lebih dari 40% urutan
homolog dinamakan dengan sebuah angka (CYP2), yang memiliki lebih dari 55% homologi
1
dikelompokkan dalam subfamili dengan penamaan sebuah huruf (CYP2A), dan enzim CYP
individu diidentifikasi oleh nomor ketiga (CYP2A6). Sepuluh isoform dari enzim P-450
bertanggung jawab untuk metabolisme oksidatif kebanyakan obat. Sejumlah aktivitas CYP
dihasilkan oleh CYP2D6 dan isozim CYP3A4/5. P-450 3A4 adalah isoform P-450 paling banyak
diekspresikan, menyusun 20% hingga 60% total aktivitas P-450. P-450 3A4/5 dianggap
bertanggung jawab untuk memetabolisme lebih dari separung dari semua obat yang tersedia
saat ini, termasuk opioid (altentanil, sfentanil, fentanyl), benzodiazepin, anastesi lokal
(lidocaine, repicavaine), imunosupresan (cyclosporine), dan antihistamin (terfenadine). Klirens
sistemik terhadap beberapa obat yang berfungsi sebagai substrat bagi P-450 3A4/5 adalah
tergantung gender, dengan klirens 20% hingga 40% lebih tinggi pada wanita daripada pria. Ini
menunjukkan stimulasi aktivitas P-450 A34/5 oleh hormon steroid, yang dapat bervariasi
selama siklus menstruasi. Bagaimanapun, klirens alfentanil tidak menunjukkan berbeda pada
berbagai hari dalam siklus menstruasi (Kharasch et al., 1997a). CYP2D6 bertanggung jawab
untuk reaksi fase I melibatkan hampir 25% semua obat termasuk analgesik, antidisritmia, lokal
anestesi amide, ketamine, propofol, antiemetik, dan beta-bloker.
Enzim mikrosomal mengkatalisasi kebanyakan oksidasi, reduksi, dan reaksi konjugasi
yang mengarah pada metabolisme obat. Kelarutan dalam lemak dari suatu obat membantu obat
melewati membran sel dan memfasilitasi akses obat ke enzim mikrosomal di hepatosit dan sel
lain. Aktifitas enzim mikrosomal hepar rendah pada neonatal, utamanya pada bayi prematur.
Perbedaan individu pada aktivitas enzim mikrosomal ditentukan secara genetis. Sebenarnya,
laju dari metabolisme obat dapat berbeda 6 kali atau lebih di antara individu sebagai cerminan
perbedaan aktifitas enzim mikrosomal.

Induksi Enzim
Hal unik dari enzim mikrosomal hepar adalah kemampuan obat atau bahan kimia untuk
menstimulasi aktivitas dari enzim ini. Peningkatan aktivitas enzim karena obat atau bahan
kimia ini dikenal sebagai induksi enzim (enzym induction). Induksi enzim juga terjadi dalam
lingkup terbatas di paur-paru, ginjal, dan saluran gastrointestinal. Hidrokarbon polikarbon dan
fenobarbital merupakan contoh dari substansi yang menginduksi enzim mikrosomal.
Peningkatan yang dihasilkan karena fenobarbital dikatakan berhubungan dengan peningkatan
sintesis sitokrom P-450 dan sikotrom P-450 reduktase.

Enzim Nonsitokrom P-450 (Ester)


Enzim sitokrom P-450 (enzim nonmikrosomal) mengkatalisasi reaksi yang bertanggung
jawab untuk metabolisme obat oleh konjugasi, hidrolisis, dan, pada jumlah yang lebih kecil, oleh
oksidasi dan reduksi. Enzim nonsitokrom P-450 ini terdapat utamanya di hepar tetapi juga pada
plasma dan saluran gastrointestinal. Semua reaksi konjugasi kecuali konjugasi asam glukoronat
dikataliasasi oleh enzim nonsitokrom P-450. Esterase non spesifik di hepar, plasma, dan saluran
gastrointestinal merupakan contoh dari enzim nonsitokrom P-450 yang bertanggung jawab
untuk hidrolisis dari obat yang mengandung ikatan ester (suksinilkolin, atracurium,
mivacurium, esmolol, anestesia lokal ester). Enzim nonsitokrom P-450 seperti kolinesterase
plasma dan enzim asetilasi tidak mengalami induksi enzim. Aktivitas dari enzim ini ditentukan
secara genetik, sebagaimana ditetekankan oleh pasien dengan enzim kolinesterase atipikal dan
individu yang digolongkan memiliki asetilator cepat atau lambat. Diperkirakan 1 dari 2500
individu adalah homozigot untuk “kolinesterase atipikal” yang mencerminkan mutasi gentik
(glisin diganti aspartat pada lokasi ikatan anionik protein) menghasilkan hilangnya interaksi
1
elektrostatik yang diperlukan untuk pengikatan obat-substrat. Sebagai hasilnya, durasi dari aksi
obat seperti suksinilkolin dan mivacurium secara dramatis menjadi lebih lama.

Enzim Monooxigenase Flain (Flavin-Containing Monooxygenase Enzymes/FMO)


Enzim FMO adalah nikotinamid adenin dinukleotid (NAD) yang bergantung enzim
mikrosomal yang mengoksidasi (reaksi fase I) nitrogen, sulfur, dan senyawa yang mengandung
fosfor. FMO3 mengkatalisasi oksigenasi antidepresan trisiklik dan antagonis reseptor H2.

Enzim Fase II
Enzim fase II termasuk glukuronosiltransferase, glutation-S-transferase, N-asetil-
transferase, dan sulfotransferase.

Glukuronosiltransferase
Enzim uridin difosfat glukuronosiltransferase merupakan keluarga dari enzim
mikrosomal hepatik yang mengkatalisasi penambahan kovalen asam glukoronat menjadi
berbagai senyawa eksogen dan endogen yang membuatnya menjadi lebih larut air. Usus
mengandung beta-glukoronidase yang menghidrolisis glukuronidase kembali ke senyawa
induknya yang dapat direabsorpsi dari usus dan ditranspor ke hepar untuk menjalani
rekonjugasi (resirkulasi entero-hepatik). Glukoronidase mungkin lebih aktif atau bahkan kurang
aktif secara farmakologis dibanding obat induknya.
Glukuronidasi adalah jalur metabolisme penting untuk beberapa obat yang digunakan
selama anestesia. Propofol menjalani glukuronidasi di hepar dan ginjal. Opioid menjadli
glukuronidasi seperti ditampakkan oleh morfin-3-glukuronat dan morfin-6-glukuronat.
Metabolit glukuronat, 1-hidroksimidazolam aktif secara farmakologis dan dapat berkontribusi
memperlama efek midazolam pada pasien dengan keterbatasan ginjal.

Glutation-S-Transferase
`Enzim glutation-S-transferase (GST) utamanya merupakan sistem pertahanan untuk
detoksifikasi dan perlindungan terhadap stres oksidatif. Dua famili besar enzim GST adalah
enzim sitosolik hepatik yang lebih banyak, dan enzim GST mikrosomal yang terikat membran
yang jumlahnya lebih sedikit. Toksisitas terhadap ginjal pada tikus berhubungan dengan aktivasi
yang tergantung GST di mana hilangnya toksisitas serupa pada manusia menunjukkan
perbedaan aktivitas enzim GST antar spesies.

N-asetil-transferase
N-asetilasi dikatalisasi oleh N-asetil-transferase (NAT) merupakan sebuah reaksi fase II
yang umum untuk heterosiklik aromatik amino dan arylamin hidrazin. Reaksi N-asetilasi
bertanggung jawab untuk inaktivasi dari isoniazid dan polimorfisme genetik dari enzim ini
berakibat pada asetilator cepat dan lambat. Asetilator lambat memiliki respon terapeutik yang
lebih besar terhadap obat yang diinaktivasi oleh enzim NAT dan inidivu ini memiliki resiko lebih
besar menderita efek samping yang diakibatkan obat (hepatotoksisitas isoniazid, sindrom
menyerupai lupus karena konsumsi hidralazin atau procainamid).

Metabolisme Oksidatif
Enzim mikrosomal hepatik, termasuk sitokrom P-450, penting bagi oksidasi dan
berakibat pada oksidasi banyak obat. Enzim-enzim tersebut membutuhkan sebuah donor
elektron dalam bentuk nikotinamid adenin dinukleotida tereduksi (NAD) dan oksigen molekuler
1
untuk aktivitasnya. Molekul oksigen dipisah, dengan satu atom oksiden mengoksidasi tiap
molekul obat dan atom oksigen lain digabungkan dengan molekul air. Kehilangan elektron
berakibat pada oksidasi, di mana penambahan elektron berakibat reduksi.
Contoh dari metabolisme oksidatif dari obat yang dikatalisasi oleh enzim sitokrom P-
450 termasuk hidroksilasi, deaminasi, desulfurasi, dealkilasi, dan dehalogenasi. Demetelasi, dari
morfin menjadi normorfin adalah contoh dari oksidasi dealkilasi. Dehalogenasi melibatkan
oksidasi ikatan karbon-hidrogen untuk membentuk metabolit intermediet yang tidak stabil dan
secara spontan kehilangan atom halogennya. Anestesi terhalogenasi dan tidak stabil rentan
terhadap dehalogenasi, sering berakibat pada lepasnya ion bromida, klorida, dan fluorida.
Oksidasi alifatik adalah oksidasi pada rantai samping. Sebagai contoh, oksidasi dari rantai
samping thiopental mengubah obat induk yang sangat larut lemak menjadi turunannya dalam
bentuk asam karboksilat yang lebih larut air. Thiopental juga menjalani desulfurasi menjadi
pentobarbital melalui langkah oksidasi.
Intermediet epoksida dalam metabolisme oksidatif dari obat dapat mengikat secara
kovalen dengan makromolekul dan dapat mengakibatkan toksisitas organ karena obat, seperti
disfungsi hepar. Normalnya, intermediet sangat reaktif ini memiliki eksistensi yang minim
karena mereka tak memiliki aksi biologis. Ketika induksi enzim terjadi, bagaimanapun, sejumlah
besar intermediet reaktif dapat diproduksi, berakibat kegagalan organ. Ini sering terjadi jika
antioksidan glutation, yang tersedia dalam jumlah terbatas di hepar, berkurang karena
intermedit reaktif.

Metabolisme Reduktif
Jalur reduktif dari metabolisme, seperti jalur oksidatif, melibatkan enzim sitokrom P-
450. Di bawah kondisi dengan tekanan parsial oksigen yang rendah, sitokrom P-450
mentransfer elektron langsung menuju substrat seperti halothane daripada menuju oksigen.
Pemberian elektron terhadap substrat ini terjadi hanya jika jumlah oksigen tidak mencukupi
untuk bersaing dengan elektron.

Hidrolisis
Enzim yang bertanggung jawab untuk hidrolisis obat (seringnya ikatan ester) tidak
melibatkan sitokrom P-450 (lihat bagian pada Enzim Nonmikrosomal). Hidrolisis dari konjugat
glukuronat yang disekresikan ke dalam empedu terjadi di saluran gastrointestinal dan
dibutuhkan untuk pelepasan obat agar menjadi tersedia untuk resirkulasi enterohepatik.

Konjugasi
Konjugasi dengan asam glukuronat melibatkan enzim sitokrom P-450. Asam glukuronat
tersedia dari glukosa. Ketika terkonjugasi dengan obat larut lemak atau metabolit, asam
glukuronat hidrofilik membuat substansi tersebut secara farmakologis inaktif dan lebih larut air.
Konjugat glukuronat yang lebih larut air itu lebih tidak mungkin direabsorpsi ke dalam sirkulasi
sistemik dan karenanya, lebih mungkin diekskresi melalui empedu dan urin.
Aktivitas enzim mikrosomal yang berkurang mengganggu konjugasi, berakibat pada
hiperbilirubinemia dari neonatus dan risiko ensefalopati karena bilirubin. Aktivitas enzim
mikrosomal yang berkurang ini berakibat meningkatnya toksisitas pada neonatus terhadap obat
yang normalnya diinaktivasi oleh konjugasi dengan asam glukuronat. Konjugasi dengan asam
glukuronat juga berkurang selama kehamilan, mungkin karena peningkatan progesteron dalam
darah.
1
Kurva Dosis-Respon
Kurva dosis-respon menggambarkan hubungan antara dosis obat yang diberikan dengan
efek farmakologis yang dihasilkan (Gambar 1-9). Transformasi logaritmik dari dosis sering
digunakan, karena ia memungkinkan menunjukkan rentang dosis yang luas. Kurva dosis-respon
dicirikan dengan perbedaan dalam (a) potensi, (b) kemiringan, (c) efikasi, dan (d) respon
individu.

Potensi
Potensi dari suatu obat digambarkan dengan lokasinya di sepanjang sumbu dosis dari
kurva dosis-respon. Faktor yang mempengaruhi potensi dari suatu obat yaitu (a) absorpsi, (b)
distribusi, (c) metabolisme, (d) ekskresi, dan (e) afinitas terhadap reseptor. Untuk tujuan klinis,
potensi dari obat membawa sedikit perbedaan sepanjang dosis efektif dari obat dapat diberikan
secara nyaman. Dosis yang diperlukan untuk memberikan efek tertentu disebut dosis efektif
(effective dose/ED) yang diperlukan untuk menimbulkan efek tersebut pada persentase pasien
tertentu (ED50, ED90). Peningkatan afinitas obat terhadap reseptornya menggeser kurva dosis-
respon ke kiri.

Kemiringan
Kemiringan dari kurva dosis-respon dipengaruhi oleh jumlah reseptor yang harus
ditempati sebelum efek obat terjadi. Sebagai contoh, jika sebuah obat harus menempati
mayoritas reseptor sebelum sebuah efek terjadi, kemiringan dari kurva dosis-respon akan
curam. Kurva dosis-respon yang curam adalah karakteristik dari obat pemblokir neuromuskuler
dan anastetik lewat inhalasi (minimal alveolar concentration [MAC]); ini berarti bahwa
peningkatan kecil dari dosis mengakibatkan peningkatan besar pada efek obat. Sebagai contoh,
konsentrasi 1 MAC dari anastesi yang mudah menguap menghindarkan pergerakan otot skeletal
sebagai respon terhadap insisi kulit dalam bedah pada 50% pasien, di mana peningkatan kecil
sekitar 1.3 MAC menghambat gerakan pada paling tidak 95% pasien. Lebih jauh lagi, jika kurva
dosis-respon curam, perbedaan antara konsentrasi terapeutik dan toksik akan kecil. Ini benar
untuk anastetik yang menguap yang dicirikan oleh perbedaan kecil antara dosis yang
menimbulkan depresi sistem saraf pusat yang diinginkan dengan depresi jantung yang tidak
diharapkan (lihat Bab 2).

Efikasi
Efek maksimal dari suatu obat menunjukkan aktivitas intrinsiknya terhadap efikasi.
Efikasi ini digambarkan dengan bentuk datar pada kurva dosis-respon. Perlu diketahui bahwa
1
efek tidak diinginkan (efek samping) dari suatu obat dapat membatasi dosis menjadi di bawah
dosis yang diharapkan menimbulkan efek yang diharapkan secara maksimal. Perbedaan pada
efikasi ditekankan dengan efek farmakologis opioid dibanding aspirin dalam meredakan nyeri.
Opioid meredakan nyeri intensitas tinggi, di mana dosis maksimum aspirin hanya efektif
terhadap ketidaknyamanan ringan. Efikasi dan potensi suatu obat tidak harus berhubugnan.
Indeks terapeutik (terapheutic index), atau margin keamanan, adalah perbedaan antara
dosis obat yang menghasilkan efek yang diharapkan dan dosis yang menghasilkan efek yang
tidak diharapkan. Pada studi laboratorium, indeks terapeutik sering disebut sebagai rasio antara
median dosis letal dan median dosis efektif (LD 50/ED50). Obat memiliki berbagai indeks
terapeutik, tergantung pada respon terapeutik yang sedang dipertimbangkan dan dosis dari
obat yang harus diberikan untuk menimbulkan efek tersebut. Sebagai contoh, indeks terapeutik
untuk aspirin untuk meredakan nyeri kepala sangat berbeda dengan indeks terapeutik untuk
mengurangi nyeri rheumatoid arthritis.

Variabilitas Individu
Respon terhadap banyak obat sangat berbeda di antara pasien (Caraco, 2004). Setelah
pemberian dosis identik, beberapa pasien mungkin mendapat efek samping yang signifikan
secara klinis, sedang yang lain mungkin tidak menampakkan respon terapeutik. Beberapa
perbedaan respon ini dapat dijelaskan menjadi perbedaan pada laju metabolisme obat,
utamanya oleh keluarga besar enzim sitokrom P-450. Penggabungan farmakogenetik ke dalam
kedokteran klinis mungkin menjadi berguna dalam memperkirakan respon pasien terhadap
obat.
Variabilitas respon individu terhadap obat sering mencerminkan perbedaan dalam
farmakokinetik dan/atau farmakodinamik di antara pasien (Tabel 1-5) (Wood, 1989).

Ini mungkin benar bahkan untuk perbedaan pada efek farmakologis dari obat pada pasien yang
sama pada waktu yang berbeda. Pemberian dosis yang akurat sulit untuk dilakukan dengan
adanya perbedaan antar individu dan bukan tidak biasa untuk menemukan paling tidak variasi
hingga dua kali pada konsentrasi plasma yang didapat pada individu berbeda menggunakan
skema dosis yang sama. Ini benar untuk obat yang dihirup seperti halnya obat yang diinjeksikan.
Lebih lanjut, mungkin terdapat konsentrasi obat dengan cakupan lima kali lipat di dalam plasma
yang dibutuhkan untuk mencapai efek farmakologis yang sama pada individu yang berbeda dan
cakupan ini bahkan bisa lebih besar bila telah timbul toleransi pada indovidu-individu ini.
Kepentingan relatif dari banyak faktor yang berkontribusi terhadap variasi respon
individu terhadap obat sebagian tergantung pada obat itu sendiri dan rute ekskresi biasanya.
1
Obat yang diekskresikan terutama tanpa diubah oleh ginjal cenderung menunjukkan perbedaan
farmakokinetik yang lebih kecil daripada obat yang dimetabolisme. Penentu kecepatan
metabolik yang paling penting adalah genetik. Perubahan pada kecepatan metabolik memiliki
sedikit pengaruh terhadap obat dengan ratio ekstraksi yang tinggi karena efisiensi ekstraksi
sangat besar sehingga aliran darah hepar merupakan faktor pembatas kecepatan yang lebih
daripada metabolisme. Sebaliknya, klirens sistemik obat yang ekstraksinya rendah sangat
rentan terhadap perubahan kecil pada kecepatan metabolisme. Sebagai contoh, klirens sistemik
alfentanil sangat sensitif terhadap induksi dan inhibisi CYP, sedangkan klirens opioid ekstraksi
tinggi seperti fentanyl dan sufentanil hanya sedikit dipengaruhi (Kharasch et.al., 1997b).
Variabilitas interindividu dalam responnya terhadap prodrug kodein ditentukan oleh aktivitas
demetilasi-O yang dimediasi CYP2D6 terhadap morfin dan morfin-6-glukoronid. Individu
dengan defisiensi CYP2D6 mengalami penurunan atau bahkan tidak ada sama sekali
pembentukan morfin setelah pemberian kodein, sedangkan individu dengan amplifikasi gen
CYP2D6 mengalami efek opioid yang berlebihan setelah pemberian kodein (intoksikasi kodein)
(Gasche et.al., 2004). Quinidin menghambat CYP2D6 dan sangat menurunkan bioaktivasi kodein
dan pembentukan morfin. Keadaan dinamik konsentrasi reseptor, karna dipengaruhi oleh
penyakit dan obat-obat lainnya, juga mempengaruhi variasi respon obat yang teramati di antara
pasien (lihat bagian Konsentrasi Reseptor). Akhirnya, anestesi yang dihirup, dengan mengubah
fungsi sirkulatori, hepar, dan ginjal, mungkin mempengaruhi farmakokinetik obat yang
diinjeksikan.
Dalam praktik klinis, pengaruh variabilitas interpasien mungkin tertutupi oleh pemberian
obat dosis tinggi. Misalnya, pemberian ED 95 2-3 X obat nondepolarizing neuromuscular blocking
umum digunakan dalam praktik untuk memperoleh efek yang diinginkan (paralisis otot skelet)
pada semua pasien. Akan tetapi variabilitas interpasien manifes jika level blokade
neuromuskuler dan durasi aksinya dimonitor. Lebih lanjut, umum digunakan dalam praktik
anestesi untuk memberikan obat dalam proporsi sesuai berat badan meskipun prinsip
farmakokinetik dan farmakodinamik tidak mendukung praktik ini. Dalam usaha untuk
meminimalisir variabilitas interindividual, sistem infusi terkomputerisasi (sistem infusi
terkontrol target) telah dikembangkan untuk memberikan obat-obat intravena (alfentanil,
remifentanil, etomidat, propotol) untuk mendapatkan konsentrasi (target) yang diinginkan
(White and Kenny, 1990).

Pasien Lansia
Pada pasien lansia, variasi respon obat hampir bisa dipastikan merefleksikan (a)
penurunan cardiac output, (b) peningkatan kandungan lemak, (c) penurunan pengikatan
protein, dan (d) penurunan fungsi ginjal. Penurunan cardiac output menurunkan aliran darah
hepar dan karena itu menurunkan penghantaran obat ke hepar untuk metabolisme. Penurunan
penghantaran ini, bersama dengan kemungkinan turunnya aktivitas enzim hepar, mungkin
memperlama durasi aksi obat seperti lidokain dan fentanyl (Bentley et.al., 1982). Kompartemen
lemak yang semakin banyak mungkin meningkatkan Vd dan mengarah pada akumulasi obat
larut lemak seperti diazepam dan thiopental (Jung et.al., 1982). Peningkatan kandungan lemak
tubuh total dan penurunan ikatan protein plasma terhadap obat menyebabkan peningkatan Vd
yang seiring dengan penuaan. Penurunan paralel pada cairan tubuh total beriringan dengan
peningkatan simpanan lemak. Efek bersih dari perubahan-perubahan ini adalah peningkatan
kerentanan pasien lansia terhadap efek obat kumulatif. Penuaan tampaknya tidak diiringi
dengan perubahan keresposifan reseptor.
1
Aktivitas Enzim
Perubahan aktivitas enzim sebagaimana direfleksikan oleh induksi enzim mungkin
bertanggung jawab terhadap variasi respon obat di antara individu. Misalnya asap rokok
mengandung polisiklik hidrokarbon yang menginduksi mixed-function hepatic oxidase,
mengarah pada peningkatan kebutuhan dosis untuk obat seperti teophylline dan antidepresan
trisiklik. Ingesti alkohol akut dapat menghambat metabolisme obat. Sebaliknya, penggunaan
alkohol kronis (> 200g/hari) , menginduksi enzim mikrosomal yang memetabolisme obat.
Karena induksi enzim, percepatan ini mungkin bermanifes sebagai toleransi terhadap obat
seperti barbiturat.

Kelainan Genetik
Variasi respon obat di antara indidu sebagian dikarenakan perbedaan genetik yang
mungkin juga mempengaruhi sensitivitas reseptor. Variasi genetik pada jalur metabolik
(acetylator cepat versus lambat) mungkin memiliki implikasi klinis yang penting untuk obat
seperti isoniazid dan hydralazine. Farmakogenetik menggambarkan keadaan penyakit yang
ditentukan secara genetik yang awalnya ditunjukkan dengan perubahan respon terhadap obat
khusus. Contoh penyakit yang tidak tersamarkan oleh obat meliputi (a) enzim kolinesterase
atipikal ditunjukkan oleh blokade neuromuskuler yang lebih lama setelah pemberian
suksinilkolin atau mivacurium, (b) hiperthermi maligna yang dipicu oleh suksinilkolin atau
anestetik volatil, (c) defisiensi glukosa-6-fosfat dehidrogenase dimana obat-obat tertentu
menyebabkan hemolisis, dan (d) profiria intermiten, dimana barbiturat mungkin menimbulkan
serangan akut.

Interaksi Obat
Interaksi obat terjadi saat obat mengubah intensitas efek farmakologis obat lainnya yang
diberikan secara bersamaan. Interaksi obat mungkin merefleksikan perubahan farmakokinetik
(peningkatnan metabolisme obat pemblokade neuromuskuler pada pasien yang mendapat
antikonvulsan secara kronis) atau farmakodinamik (penurunan kebutuhan anestetik volatil
yang disebabkan opioid). Hasil bersih dari interaksi obat bisa berupa peningkatan atau
penurunan efek salah satu atau kedua obat, menyebabkan efek yang diinginkan ataupun yang
tidak diinginkan. Interaksi obat fisikokimiawi terjadi bila dua obat yang tidak kompatibel
dicampur dalam larutan yang sama (presipitat garam konjugat dari asam lemah dan basa lemah
ketika pancuronium dan thiopental dicampur bersama dalam tabung intravena yang sama).
Potensi untuk interaksi obat pada periode perioperatif sangat besar mengingat banyaknya
jumlah obat dari kelas kimia yang berbeda yang mungkin digunakan sebagai bagian dari
manajemen anestesi. Misalnya, ”balanced anesthetic” (anestesi seimbang) tipikal mungkin
meliputi benzodiazepine, hipnotik-sedatif, barbiturat, opioid, obat-obat pemblokade
neuromuskuler, antikolinergik, antikolinesterase, simpatomimetik, obat-obat pemblokade
sistem saraf simpatis, dan antibiotik.
Sebuah contoh interaksi obat yang menguntungkan adalah pemberian propanolol dan
hydralazine secara bersamaan untuk mencegah kompensasi peningkatan detak jantung yang
akan mengimbangi efek penurunan tekanan darah oleh hydralazine. Interaksi antarobat sering
digunakan untuk melawan efek obat agonis, sebagaimana direfleksikan dengan penggunaan
naloxon untuk antagonis opioid. Interaksi obat yang merugikan secara tipikal bermanifes
sebagai efikasi terapetik yang terganggu dan/atau peningkatan toksisitas. Dalam hal ini, satu
obat dapat berinteraksi dengan obat lainnya untuk (a) mengganggu absorbsi, (b) berkompetisi
1
dengan tempat pengikatan protein plasma yang sama, (c) mengubah metabolisme dengan
induksi atau inhibisi enzim, atau (d) mengubah kecepatan ekskresi ginjal.

FARMAKODINAMIK OBAT-OBAT INJEKSI


Mekanisme paling penting dengan mana obat menghasilkan efek farmakologis adalah
interaksi obat dengan molekul protein spesifik pada lipid bilayer dari membran sel (Gambar 1-
10) (Schwinn, 1993).

Makromolekul protein transmembran merujuk pada reseptor. Reseptor diklasifikasikan menjadi


reseptor permukaan atau reseptor intraseluler tergantung pada lokasi selulernya. Terdapat
reseptor yang sama untuk substansi regulator endogen seperti hormon dan neurotransmiter.
Obat yang diberikan sebagai substansi eksogen merupakan ”penumpang” insidental untuk
reseptor ini. Interaksi obat-reseptor mengubah fungsi atau konformasi komponen seluler
spesifik yang menginisiasi atau mencegah rangkaian perubahan yang mencirikan efek
farmakologis obat.
Sebagai tambahan untuk reseptor protein transmembran yang mudah tereksitasi, obat
dapat menimbulkan perubahan seluler (efek farmakologis) via reseptor sitoplasmik
(intraseluler) (terdapat di dalam nukleus atau sitosol) dan stimulasi atau inhibisi sistem enzim
(Schwinn, 1993). Reseptor sitoplasmik mungkin diwakili oleh reseptor hormon steroid. Karena
steroid merupakan lipofilik, mereka melintasi lipid bilayer membran sel dan berinteraksi
dengan reseptor steroid di dalam sitoplasma. Kompleks reseptor hormon steroid beraksi
sebagai faktor transkripsi yang diatur ligan untuk memodulasi ekspresi gen dengan berikatan
dengan sekuen DNA regulator pada gen target yang mengubah transkripsi mereka dan dengan
demikian mengubah fungsi sel target. Sebagai tambahan untuk reseptor sitoplasmik, berbagai
sistem enzim juga terletak di dalam sitoplasma. Inhibisi atau stimulasi enzim-enzim ini mungkin
penting dalam efek farmakologis obat-obat tertentu, misalnya amrinone dan milrinone yang
menghambat enzim fosfodiesterase tipe spesifik. Mekanisme aksi lainnya untuk obat meliputi
pembentukan ikatan yang kuat dengan kation logam (obat chelating) dan netralisasi langsung
1
asam lambung (antasid). Meskipun contoh obat menimbulkan efek farmakologis via reseptor
sitoplasmik atau enzim, mayoritas obat yang berguna secara klinis dan hormon yang
disekresikan secara endogen memediasi efek mereka via reseptor protein transmembran
permukaan yang mudah terangsang (Schwinn, 1993).
Tiga kelas reseptor permukaan sel sebagaimana ditentukan oleh mekanisme transduksi
sinyal mereka dikategorikan menjadi reseptor tergandeng-protein G, ligand-gated ion channels,
dan enzim terkait reseptor. Protein reseptor permukaan ini beraksi sebagai transduser sinyal
dengan mengikat molekul signaling ekstraseluler dan mengubah informasi ini menjadi sinyal
intraseluler yang mengubah fungsi sel target. Reseptor tergandeng-protein G merupakan
kelompok reseptor permukaan sel terbanyak dan mereka memediasi respon seluler terhadap
sinyal ekstraseluler yang berbeda-beda meliputi hormon, neurotransmiter, dan mediator lokal.
Tanda sinyal transduksi oleh reseptor tergandeng-protein G adalah kemampuan mereka untuk
memperkuat sinyal ekstraseluler. Reseptor permukaan sel terkait enzim merupakan kelompok
reseptor heterogen yang terkait dengan enzim-enzim intraseluler (tyrosine kinase, guanylate
cyclase) dan pengikatan reseptor yang mengaktivasi aktivitas katalitik intrinsik.

Protein Transmembran Yang Mudah Tereksitasi


Protein transmembran yang mudah tereksitasi diwakili oleh (a) kanal ion sensitif-voltase,
(b) ligand-gated ion channels (reseptor ionotropik), dan (c) reseptor transmembran (Schwinn,
1993).

Kanal Ion Sensitif-Voltase


Kanal ion sensitif-voltase membuka dan menutup sebagai respon terhadap perubahan
voltase yang melintasi membran sel dan diwakili oleh kanal ion klasik, seperti kanal natrium,
klorida, kalium, dan kalsium. Voltage-gated ion channels terdapat di neuron, otot skelet, dan sel
endokrin. Pada potensial membran istirahat normal (biasanya -60 hingga -80 mV) kanal-kanal
ini tetap tertutup. Ketika membran sel terdepolarisasi (menjadi kurang negatif) kanal-kanal ion
ini mengalami perubahan konformasi sedemikian hingga pori kanal ion terbuka dan ion
melintas (104 hingga 106 ion mengalir per milidetik dan ribuan kanal mungkin membuka selama
potensial aksi tunggal). Voltage-gated ion channel merupakan kompleks protein yang dibentuk
dari gabungan beberapa subunit individual. Subunit yang paling besar dari tiap voltage-gated
ion channel disebut subunit alfa.

Ligand-Gated Ion Channels


Ligand-gated ion channel meliputi reseptor asetilkolin (nAChRs), reseptor serotonin
(5HT3), reseptor gamma-amino-butyric-acid (GABA A), dan reseptor glisin. Reseptor-reseptor ini
berfungsi sebagai kompleks kanal ion-reseptor dimana kanal ion merupaka bagian integral dari
protein transmembran yang lebih besar dan kompleks. Masing-masing reseptor ini merupakan
pentamer, terdiri dari lima subunit homolog, masing-masing dengan empat segmen
transmembran dan sebuah terminus ekstraseluler yang mengandung residu yang membentuk
tempat pengikatan neurotransmitter. Dua ligand-gated ion channels adalah selektif kation dan
eksitatori (nAChRs, 5HT3) dan dua lainnya adalah selektif anion dan inhibitori (GABA A, glisin).
Keluarga kedua dari ligand-gated ion channel diaktivasi oleh glutamat, neurotransmitter
eksitator utama di sistem saraf pusat. Kombinasi subunit yang berbeda membentuk ligand-
gated ion channel yang diaktivasi oleh ligan selektif N-methyl-D-Aspartate (NMDA), alpha-
amino-3-hydroxy-5-methylisoxazole-4-propionic acid (AMPA) dan kainate. Ligand-gated ion
channel membuka dan menutup sebagai respon terhadap perubahan pada keberadaan ligan
1
ekstraseluler (neurotransmitter) dan terlibat secara primer dalam transmisi sinaptik cepat
antar sel yang tereksitasi. Neurotransmiter spesifik terikat pada reseptor-reseptor ini dan
secara singkat membuka atau menutup kanal ion terkait tanpa adanya messenger kedua untuk
mengubah permeabilitas ion dari membran plasma dan dengan demikian mengubah
permeabilitas ion dari potensial membran. Pola struktur umum untuk ligand-gated ion channel
adalah sebuah pentamer dari subunit yang mengelilingi sebuah pori ion sentral (Yost, 1993).
Aktivasi kanal ion tergantung pada penempatan kontinyu reseptor oleh ligan dan secara cepat
reversibel pada disosiasi ligan yang memungkinkan kanal ini untuk memediasi onset yang cepat
dan signaling sel yang reversibel secara cepat.
Reseptor NMDA memiliki properti unik di antara ligand-gated ion channel yang meliputi
sensitivitas voltase sebagai tambahan untuk sensitivitas glutamat, kebutuhan untuk glisin
sebagai co-agonis, dan blokade oleh ion magnesium. Kanal ion kalium pada dasarnya tidak
voltage-gated tetapi selalu membuka dan dengan demikian mungkin berfungsi untuk menjaga
potensial transmembran yang negatif.
Ligand-gated ion channel merupakan target yang penting untuk pemberian obat selama
anestesi (Dingledine et.al., 1999). Contohnya meliputi obat pemblokade aksi neuromuskuler
pada nAChRs, benzodiazepin dan barbiturat pada reseptor GABA A dan ketamine pada reseptor
NMDA. Neurotransmiter eksitatori (asetilkolin, glutamat) membuka kanal ion natrium yang
mengakibatkan depolarisasi membran sel. Neurotransmiter inhibitori (GABA, glisin) membuka
kanal ion klorida dan menyebabkan hiperpolarisasi membran sel dan dengan demikian
mencegah depolarisasi. Subkelas dari ligand-gated ion channels meliputi reseptor untuk
messenger intraseluler yang mengontrol kanal ion kalsium dan pengaturan konsentrasi kalsium
intraseluler (reseptor ryanodine, reseptor IP3).
Terdapat bukti penyerta untuk peran kompleks kanal ion klorida – reseptor GABA A dalam
mekanisme neuronal anestesi (Tanelian et.al., 1993). Misalnya, anestesi pada konsentrasi yang
relevan secara klinis memperkuat inhibisi yang dimediasi GABA dengan dua aksi primer (a)
peningkatan afinitas agonis untuk reseptor GABA A, dan (b) pemanjangan atau penambahan
konduktansi klorida yang digerbangi (gated) oleh resptor ini. Anestesi terdiri dari beberapa
kelas obat yang berbeda secara kimiawi dapat memperkuat inhibisi yang dimediasi GABA tanpa
kebutuhan struktural yang nyata untuk molekul yang terlibat. Kurangnya kebutuhan struktural
telah lama dikenali di antara anestesi dan telah dihubungkan dengan kurangnya reseptor
anestesi spesifik. Sekarang pandangan ini mungkin dimodifikasi karena adanya subtipe reseptor
multipel mungkin menjelaskan kurangnya kebutuhan struktural yang nyata untuk molekul
anestesi (Tanelian et.al., 1993).

Reseptor Transmembran
Tipe ketiga dari protein transmembran yang mudah tereksitasi adalah reseptor
transmembran yang berinteraksi secara selektif dengan komponen ekstraseluler (obat, hormon,
neurotransmiter) untuk menginisasi kaskade perubahan biokimiawi yang mengarah pada
respon farmakologis atau fisiologis . Karena reseptor transmembran terletak di dalam membran
sel lipid, mereka dapat mengikat ligan hidrofilik yang terletak di ruangan ekstraseluler. Dengan
demikian, banyak obat larut air tidak harus melintasi lipid bilayer untuk berinteraksi dengan
sel. Akan tetapi proses ini mengharuskan suatu mekanisme dimana reseptor transmembran
memberitahu sel yang reseptornya ditempati ligan seperti obat eksogen. Proses ini sering
dirujuk sebagai transduksi sinyal, yang mana sering melibatkan protein nukleotid guanin
(protein G) (lihat gambar 1-10) (Schwinn, 1993).
1
Keluarga Reseptor
Reseptor dikelompokkan dan dikategorikan sebagai anggota keluarga reseptor membran.

Reseptor Gamma-Amino Butyric Acid


Aktivasi kanal klorida-GABAA (reseptor) mengakibatkan hiperpolarisasi sel atau
peningkatan konduktansi ion yang mencegah depolarisasi, sehingga menghambat aktivitas
neuronal. Aktivasi yang demikian oleh benzodiazepin, barbiturat, dan propofol memperkuat
inhibisi yang dimediasi GABAA endogen di sistem saraf pusat, memberikan dasar neurobiologis
untuk efek hipnotis dan sedatif dari obat-obat ini (gambar 1-11) (Lynch dan Pancrazio, 1994;
Tanelian et.al., 1993). Anestetik volatil memiliki aksi yang sama dengan tidak mengabaikan
aktivasi kanal klorida-GABAA (lihat gambar 1-11) (Lynch dan Pancrazio, 1994). GABA
merupakan neurotransmiter inhibitori utama dari otak mamalia dan bertanggungjawab untuk
inhibisi sinaptik yang paling cepat dari neuron. Sekitar sepertiga dari semua sinaps di sistem
saraf pusat responsif terhadap GABA. GABA tidak aktif secara farmakologis ketika diberikan
secara sistemik karena GABA tidak dapat melintasi sawar darah otak.

Anestetik komplit yang cukup untuk pembedahan tidak dapat dihasilkan oleh aktivitas
obat agonis GABAA seperti benzodiazepin, barbiturat, propofol, atau etomidate. Demikian juga,
bahkan dosis besar opioid dan agonis alfa 2 menginduksi keadaan anestesi inkomplit yang
biasanya membutuhkan obat hipnotik tambahan. Banyak opioid dan agonis alfa 2 yang beraksi
dengan menghambat kanal ion kalsium presinaps yang bertanggungjawab untuk mengaktivasi
pelepasan transmiter (lihat gambar 1-11) (Lynch dan Pancrazio, 1994). Aktivasi kanal GABA A
dan penurunan influks kalsium dihasilkan secara independen oleh obat hipnotik dan opioid,
secara berturu-turut, mungkin merupakan respon tunggal yang dihasilkan oleh anestesi volatil.

Reseptor Glisin
Reseptor glisin erat kaitannya dengan reseptor GABA A. Reseptor glisin merupakan
reseptor inhibitori yang permeabel secara selektif terhadap anion dan memediasi transmisi
1
sinaps inhibitori, terutama di medula spinalis. Tidak seperti reseptor GABA A yang membentuk
reseptor fungsional hanya sebagai heteromer, reseptor glisin merupakan homonomer dari
subunit alfa, dari mana beberapa subtipe berada. Seperti reseptor GABA A, aktivitas reseptor
glisin diperkuat oleh anestetik volatil (Mihic et.al., 1997).

Reseptor 5-Hydroxytryptamine (5-HT)


Terdapat banyak subtipe reseptor 5-HT tapi dengan pengecualian subtipe 5-HT 3,
semuanya merupakan metabotropik (tergandeng protein G). Reseptor 5-HT ionotropik bersifat
eksitatori, secara selektif permeabel terhadap kation dan menghasilkan berbagai efek di sistem
saraf pusat meliputi anxiolysis, analgesik, dan emetik.

Reseptor Glutamat
Glutamat merupakan neurotransmiter eksitatori dan reseptornya secara luas diekspesikan
di berbagai tipe sel glia. Karena asam glutamat tidak melintasi sawar darah otak, asam glutamat
harus berasal dari metabolisme lokal. Glutamat beraksi via reseptor metabotropik dan
ionotropik. Reseptor glutamat ionotropik meliputi reseptor AMPA, NMDA, dan kainate. Reseptor
AMPA memediasi transmisi eksitatori cepat pada kebanyakan sinaps di sistem saraf pusat.

Guanine nucleotid protein (Protein Nucleotide Guanine)


G protein adalah intermediet esensial dalam komunikasi sel yang mencerminkan
mekanisme aksi molekular, dari berbagai kelas obat termasuk opioid, simpatomemetik, dan
antikolinergik(yos 1993). Obat yang diberikan secara eksogen dikenali oleh reseptor spesifik,
dan interaksi reseptor-ligand ini menginduksi perubahan bentuk, yang membuat reseptor
mengaktifkan protein G Spesifik ( lihat gambar 1-10) (schwinn 1993).
Hidrolisis guanine triphospat menjadi guanine diphospat menyediakan energi untuk
protein G yang teraktivasi untuk berinteraksi dengan molekul efektor (baik sistem enzim atau
ion kanal) untuk memediasi cascade final dari langkah-langkah biologis dalam sel yang akan
menunjukkan karakteristik respon farmakologik atu fisiologik dari obat yang diberikan. Sistem
enzim reseptor dapat teraktivsi atau terinhibisi sedangkan chanel ion dapat terbuka atu
tertutup sebagai respon terhadap aktivasi protein G.
Banyak reseptor transmembran yang berbeda-beda merupakan bagian dari
superfamilial besar dari reseptor-reseptor protein G berpasangan. Contoh dari sistem reseptor
dari pasangan protein atau protein berpasanganl yang penting secara klinis adalah adrenergik,
opioid, muskarinik kolenergik, dopamin, dan reseptor histamin. Terdapat beberapa subreseptor
( alfa 1 dan ion kanal 2, beta 1 dan beta 2, mu 1 dan mu 2, h 1 dan h 2). Dan untuk reseptor
adrenergik, subtipe reseptor tersebut telah diklonkan(schwinn 1993). Sebagai contoh ada
beberapa perbedaan dalam ikatan ligan untuk asetilkolin pada reseptor nikotinik kolinergik
yang terdapat di ganglia sistem saraf otonom dibandingkan dengan yang di junctio
neuromuskular. Perbedaan ini bertitik berat pada, obat-obat yang memblok neuromuscular,
yang bersifat tidak mengalami depolarisasi, yang bekerja pada reseptor nikotinik pada
neuromuskular junction tapi bekerja minimal atau tidak punya efek pada reseptor ganglia
autonom.

Konsentrasi reseptor
Konsentrasi reseptor di bagian lemak pada sel membran adalah dinamik, bisa
meningkatkan (up-regulation) atau menurunkan (down regulation) dalam respon pada
rangsangan spesifik. Contoh banyaknya ligand endogen pada pasien dengan
1
pheochromocytoma, menghasilkan penurunan dalam konsentrasi pada reseptor beta-
adrenergik dalam sel membran dalam usaha untuk menurunkan intensitas rangsangan. Begitu
juga terapi berkepanjangan pada pasien asma dengan beta-agonist akan menghasilkan
trachyphylaxis berhubungan dengan penurunan konsentrasi reseptor. Sebaliknya interferensi
kronik dengan aktivitas pada reseptor yang diakibatkan oleh beta-antagonis akan
meningkatkan jumlah reseptor dalam membran sel seperti pada respon terlampau parah
( hipersensitivitas ) terjadi jika blokade (oleh beta antagonis) seketika dihentikan, seperti pada
penghentian pemberian propanolol tiba-tiba pada periode preoperative. Keadaan penyakit
menggambarkan ketidaktepatan regulasi pada konsentrasi reseptor dalam membran sel.
Contoh, antibodi melawan beta-adrenergik reseptor dapat terjadi pada pasien dengan asma,
menghasilkan aktivitas bronkokonstriktor hebat. Pasien dengan myasthenia gravis sering
memanifestasikan antibodi terhadap reseptor yang berespon pada acethylcoline.
Perubahan konsentrasi pada reseptor dalam membran sel menekankan bahwa reseptor
menentukan bahwa respon pharmacologi tidak statis tapi dinamis. Keadaan dinamis ini diatur
oleh faktor varietas exogen dan endogen yang juga mempengaruhi respon pharmacologi
terhadap obat-obat pada orang yang berbeda atau individu sama pada waktu berbeda. Jika
konsep ini dipegang dengan mantap, variabel respon pharmacologi bisa diprediksi.

Karakteristik Interaksi reseptor-obat


Obat atau substansi endogen(ligand) adalah agonis jika interaksi obat-reseptor
menghasilkan efek farmakologis oleh perubahan dalam properti fungsi reseptor. Obat adalah
antagonis jika berinteraksi dengan reseptor tapi tidak merubah properti fungsinya, dan pada
waktu yang sama, mencegah respon reseptor terhadap agonis. Jika penghambatan dapat diatasi
oleh peningkatan konsentrasi agonis, maka obat antagonis dikatakan menghasilkan kompetitif
blokade. Tipe antagonis diproduksi oleh obat-obat yang mem-block neuromuscular dan obat-
obat antagonis beta-adrenergik yang bekerja berkebalikan pada reseptor. Obat agonis yang
mengikat hanya dengan lemah pada reseptor bisa memproduksi efek farmakologis muinimal
meski konsentrasinya maksimal. Seperti pbat diketahui sebagai partial agonist. Contoh partial
agonist adalah obat-obat opioid agonist-antagonist .

Teori Okupansi Reseptor


Secara tradisional, ini bisa diasumsikan bahwa intensitas efek diproduksi oleh
pengikatan pada obat oleh reseptor adalah sebanding terhadap fraksi reseptor terikat oleh obat.
Konsep, efek obat maksimal terjadi ketika semua reseptor diikat. Teori pengikatan reseptor ini,
namun demikian, tidak menjelaskan perbedaan dalam aktivitas intrinsik antara obat yang
mengikat jumlah reseptor dan memproduksi respon-respon yang bervariasi antara simulasi
penuh hingga bersifat antagonis.

Kondisi aktivasi reseptor


Modifikasi teori okupansi reseptor yag konsisten dengan perbedaan dalam aktivitas
intrinsik pada obat adalah konsep pada keadaan teraktivasi dan tidak teraktivasi untuk
reseptor. Dalam teori, ketika agonis berikatan pada reseptor, ini mengubah reseptor dari
keadaan tidak teraktivasi menjadi teraktivasi. Agonis penuh dapat mengubah sebagian besar
reseptor untuk teraktivasi, parsial agonis mengubah hanya fraksi reseptor mengikat mereka dan
mengubah ke keadaan teraktivasi, dan antagonis tidak mengaktifkan sama sekali reseptor
menjadi terkativasi. Peningkatan dosis pada parsial agonis, saat keadaan maksimal efek yang
dihasilkan oleh agonis, akan menghasilkan sifat kompetitif antagonis pada efek agonis.
1
Sebaliknya, penambahan parsial agonis dalam keadaan efek kurang maksimal oleh keberadaan
agonis, akan menghasilkan penambahan aksi obat menjadi maksimal pada efek parsial agonis.
Ini seperti opioid-antagonis bekerja demikian ketika diadministrasikan saat adanya opioid
agonis.

Ikatan Reseptor Obat


Kerja obat pada reseptor membutuhkan pengikatan antara obat dan reseptor oleh gaya
psikokimiawi. Ini seperti tipe-tipe multipel pada ikatan obat dan reseptor terjadi melibatkan
kelompok reaktif pada obat dan regio komplemen pada reseptor. Ikatan kovalen dibentuk oleh
pembagian pasangan elektron antara atom-atom, sehingga membentuk ikatan kuat yang
berperan kecil dalam pengikatan reversibel pada obat terhadap reseptor. Pengikatan kovalen
dilibatkan dalam inaktivasi pada enzim cholinesterase oleh organophosphate (insektisida) dan
blokade ion kanal-adrenergik sebagaimana diproduksi oleh pheoxybenzamine. Ikatan-ikatan
ionik meningkat dari penjagaan gaya elektrostatik antara kelompok-kelompok pada muatan
berlawanan. Obat-obat asam atau basa yang terionisasi pada pH plasma dapat berkombinasi
dengan siap dengan kolmpok-kelompok. Ikatan-ikatan hidrogen terjadi antara 2 atom atau
kelompok pada atom pada molekul berbeda. Ketika konfigurasi antara obat dengan reseptor
cocok, ikatan-ikatan ini akan terbentuk dengan sigap.

Konstentrasi Obat Plasma


Konsentrasi obat dalam plasma adalah alat monitor reliabel pada terapi hanya ketika
diinterpretasi bersamaan dengan keadaan klinik pada pasien. Lebih dari itu, pengukuran serial
pada konsentrasi obat plasma saat interval tertentu adalah lebih informatif dibanding
determinasi terisolasi. Ini menghasilkan kesalahan pengukuran konsentrasi plasma pada obat
saat fase distribusi. Sebagai contoh, setelah administrasi cepat secara IV dengan obat relaksan
otot nondepolirizing, konsentrasi plasma meningkat sebelum puncak pengaruh farmakologis
obat menjadi manifes. Selanjutnya, ketika gradien terbalik, konsentrasi obat pada reseptor
kemungkinan lebih tinggi dibanding yang ada di plasma. Dengan memahami, karakteristik
pharmacokinetic individu setiap obat harus diperhatikan dalam menentukan waktu optimal
selama fase eliminasi untuk pengukuran konsentrasi plasma steady-state obat.
Disini penting untuk mengetahui bahwa teknik analisis yang digunakan untuk
menentukan konsentrasi plasma benar-benar mengukur obat baik bebas maupun terikat
protein. Paling sering, teknik untuk penentuan konsentrasi plasma mengukur konsentrasi total
obat dan tidak membeda-bedakan antara obat terikat protein atau bebas. Meskipun demikian,
pengaruh farmakologis biasamya menggambarkan hanya fraksi bebas dari obat dalam plasma.
Jadi, keracunan obat dari phenytoin atu diazepam lebih sering mucul pada pasien dengan
hypoalbuminemia, meyakinkan bahwa ukuran fraksi bebas obar memberi prediksi lebih baik
tentang keracunan obat.

Hubungan Konsentrasi obat di Plasma dan di Reseptor


Pada pasien, konsentrasi plasma obat adalah pengukuran secara praktis paling sering
dilakukan sebagai monitoring konsentrasi receptor. Konsentrasi plasma menjadi representatif
terhadap konsentrasi receptor obat selama Vd. Disini ada hubungan langsung antara (a) dosis
obat yang diadministrasi, (b) konsentrasi plasma (c) intensitas efek obat. Demikina juga, onset
dan durasi efek obat berkaitan pada peningkatan dan penurunan konsentrasi obat pada
1
reseptor responsif sebagaimana tergambar oleh bersamaan dengan perubahan dalam
konsentrasi plasma.

Dosis Awal dan Pemeliharaan


Loading dosis awal penting untuk menetapkan konsentrasi terapuitik obat secara tepat,.
Dosis awal ini akan lebih besar dibanding doses maintenance berikutnya. Perubahan dalam Vd
akan merubah ukuran dosis awal. Sebagai contoh, adanya peningkatan Vd, obat diencerkan
dalam volume besar dan akibatnya butuh dosis awal lebih besar untuk menghasilkan
konsentrasi obat plasma yang sama, konsentrasi yang sama juga bisa didapat dengan dosis lebih
kecil dengan Vd yang normal. Dosis maintenance obat harus disesuaikan terhadap adanya
disfungsi hati atau ginjal untuk mencegah akumulasi obat karena waktu-paruh eliminasi obat
yang memanjang. Penyesuaian ini dapat dicapai oleh penurunan dosis maintenance atau
meningkatkan interval waktu antara dosis.
Dosis intermiten menghasilkan peningkatan mendadak diikuti oleh penurunan
konsentrasi plasma pada obat sehingga level plasma terapeutik tidak diperoleh. Infus dengan
tingkatan tertentu secara berkelanjutan suatu obat lebih cenderung menjaga konsentrasi obat
dalam kadar terapeutik tanpa adanya osilasi konsentrasi yang besar seperti pada injeksi
intermiten.

Anda mungkin juga menyukai