STEREOCHEMISTRY
Stereochemistry adalah studi mengenai bagaimana molekul terstruktur dalam tiga
dimensi (Egan, 1996; Nau dan Strichartz, 2002). Chirality ialah bagian unik dari
stereochemistry, dan istilah chiral digunakan untuk mendesain suatu molekul yang memiliki
satu pusat (atau pusat-pusat) asimetri tiga dimensi. Konfigurasi molecular semacam ini hampir
selalu merupakan fungsi karakteristik ikatan tetrahedral yang unik dari atom karbon.
Chirality ialah dasar structural dari enantiomerism. Enantiomer (substansi dengan
bentuk yang berlawanan) adalah sepasang molekul yang terdapat dalam dua bentuk yang
merupakan bayangan cermin antara satu dengan yang lain (tangan kanan dan kiri) tetapi tidak
dapat di-superimpose-kan. Dalam setiap aspek yang lain, enantiomer identik secara kimiawi.
Sepasang enantiomer dibedakan oleh arah di mana, ketika dilarutkan menjadi larutan, mereka
memutar cahaya terpolarisasi, apakah searah jarum jam (dextrorotatory, d [+] atau berlawanan
dengan arah jarum jam (levorotatory, l [-]). Tanda rotasi yang teramati ini, d (+) dan (l), sering
keliru dengan tanda D dan L yang digunakan pada kimia protein dan karbohidrat. Karakteristik
rotasi dari cahaya terpolarisasi ialah asal dari istilah isomer optis. Ketika dua enantiomer
terdapat dalam proporsi yang sama (50:50), ini merujuk pada racemic mixture. Racemic mixture
tidak memutar cahaya terpolarisasi karena aktivitas optis dari masing-masing enantiomer
dibatalkan oleh yang satunya. Konvensi yang paling dapat diaplikasikan dan tidak ambigu untuk
menunjukkan isomer ialah klasifikasi sinister (S) dan rectus (R) yang menentukan konfigurasi
absolut dalam nama senyawa (Nau dan Strichartz, 2002). Interaksi molekular yang merupakan
dasar mekanisme farmakokinetik dan farmakodinamik ialah stereoselective (perbedaan relatif
di antara enantiomer) atau stereospecific (perbedaan mutlak di antara enantiomer) (Gambar 1-
1) (Nau dan Strichartz, 2002). Hipotesis ’gembok dan kunci’ pada aktivitas enzim-substrat
menekankan bahwa sistem biologis itu bersifat stereospecific. Ekstensi farmakologis dari
konsep ini ialah bahwa obat dapat diperkirakan berinteraksi dengan komponen biologis lain
dengan arah geometris spesifik (Egan, 1996). Secara farmakologis, tidak semua enantiomer
dibuat setara. Interaksi ikatan spesifik obat, enzim obat, dan protein-obat hampir selalu tepat
secara tiga dimensi. Enantiomer dapat menunjukkan perbedaan dalam absorpsi, distribusi,
1
klirens, potensi, dan toksisitas (interaksi obat). Enantiomer bahkan dapat bersifat antagonis
terhadap efek satu sama lain.
Kompartemen pusat meliputi cairan intravaskular dan jaringan yang sangat terperfusi
(paru, otak, ginjal, hepar) di mana uptake obat cepat. Pada orang dewasa, jaringan yang sangat
terperfusi ini menerima hampir 75% cardiac output tetapi mewakili 10% massa tubuh.
Kompartemen pusat ini ditetapkan hanya dalam hal volumenya yang nyata, yang dikalkulasi dan
tidakperlu sesuai dengan volume anatomis yang sesungguhnya. Demikian juga, kompartemen
perifer (yang terdiri atas banyak kompartemen) ditetapkan dalam hal volume terhitungnya.
Volume terhitung yang besar untuk kompartemen perifer mengesankan uptake obat yang luas
1
oleh jaringan tersebut yang menyusun kompartemen perifer. Kecepatan transfer obat
(konstanta kecepatan, K) di antara kompartemen-kompartemen (klirens antarkompartemen)
bisa berkurang sejalan dengan usia, yang mengakibatkan konsentrasi obat dalam plasma yang
lebih tinggi seperti thiopental pada pasien usia lanjut, walaupun dosis injeksi sama dan Vd yang
sama pada pasien dewasa muda dan usia lanjut (Avram et al., 1990; Stanski dan Maitre, 1990).
Residu obat yang terdapat dalam kompartemen perifer saat pengulangan injeksi IV akan
mengurangi efek proses distributif pada pengurangan konsentrasi plasma dan menimbulkan
efek berlebih (kumulatif) dari dosis yang berulang. Derajat efek obat kumulatif dapat dihitung
dengan mengetahui interval pendosisan obat dan waktu-paruh eliminasi.
Konsep Alternatif dalam Interpretasi Model Kompartemen
Aplikasi tepat dari model kompartemen tradisional bisa terbatasi atau bahkan
berkurang, terutama ketika diaplikasikan pada injeksi obat secara IV cepat yang mencapai efek
maksimum dalam <2 menit (Fisher, 1996; Kisor et al., 1996). Sebagai contoh, aplikasi tradisional
model kompartemen pada farmakokinetik mengasumsikan bahwa obat dieliminasi hanya dari
kompartemen pusat. Namun, eliminasi obat oleh mekanisme klirens nonorgan akan
mengakibatkan klirens dari kompartemen pusat dan perifer (Fisher, 1996). Singkatnya,
atracurium dan cisatracurium dieliminasi oleh jalur (liminasi Hoffman, hidrolisis ester) yang
tidak bergantung pada organ klirens yang biasa seperti yang digambarkan oleh kompartemen
pusat. Oleh karena itu, aplikasi model kompartemen tradisional pada farmakokinetik obat yang
mengalami klirens nonorgan ini cacat (Kisor et al., 1996). Lebih jauh lagi, waktu-paruh
eliminasi, yang memberikan penjelasan mengenai disposisi(penempatan) obat dalam model
kompartemen tunggal, nilainya dalam mendeskripsikan model multikompartemen bisa terbatas
(Shafer dan Varvel, 1991).
Kurva Konsentrasi Plasma
Plot grafik dari logaritma penurunan konsentrasi obat dalam plasma versus waktu
setelah injeksi IV (bolus) cepat mengkarakterisasi fase distribusi (alfa) dan eliminasi (beta) dari
obat itu (Gambar 1-3) (Stanski dan Watkins, 1982). Logaritma memberikan cara yang lebih
mudah dalam memplot kisaran konsentrasi plasma yang luas setelah injeksi IV suatu obat. Di
samping itu, logaritma ini sesuai untuk menggambarkan karakteristik kinetik urutan pertama
dari distribusidan eliminasi sebagian besar obat.
Fase distribusi dari kurva konsentrasi plasma dimulai segera setelah injeksi IV suatu
obat dan menggambarkan distribusi obat tersebut dari sirkulasi (kompartemen pusat) ke
jaringan perifer (kompartemen perifer) (lihat Gambar 1-2 dan 1-3) (Stanski dan Watkins, 1982).
Fase eliminasi dari kurva konsentrasi plasma mengikuti fase distribusi awal dan dikarakterisasi
dengan penurunan konsentrssi obat dalam plasma secara lebih bertahap (lihat Gambar 1-3)
(Stanski dan Watkins, 1982). Penurunan secara lebih berangsur-angsur ini menggambarkan
eliminasi obat dari sirkulasi (kompartemen pusat) oleh mekanisme klirens ginjal dan hepar.
1
Konsep Alternatif dalam Interpretasi Konsentrasi Obat dalam Plasma
Konsep tradisioanl bahwa efek farmakologis obat sebanding dengan konsentrasinya
dalam plasma (kiranya reseptor) tidak selalu valid. Sebagai contoh, 1 menit setelah administrasi
bolus cisatracurium, konsentrasi plasma telah berkurang, sementara efek farmakologis sedang
meningkat (Boyd et al., 1995). Untuk alasan ini, telah diusulkan bahwa efek farmakologis obat
sebaiknya tidak dikaitkan dengan konsentrasi plasmanya tetapi lebih ke konsentrasinya dalam
kompartemen perifer hipotetis (kompartemen efek) yang dihubungkan dengan plasma oleh
konstanta kecepatan (Fisher, 1996). Model kompartemen efek memberikan wawasan mengenai
perjalanan waktu onset dan offset dari banyak obat.
Waktu-Paruh Eliminasi
Kecepatan eliminasi obat ditentukan oleh kemiringan garis yang merepresentasikan
konsentrasi log plasma obat terhadap waktu selama fase eliminasi. Waktu-paruh eliminasi
adalah waktu yang dibutuhkan untuk konsentrasi plasma obat menurun sampai 50% selama
fase eliminasi. Waktu-paruh eliminasi obat berbanding lurus dengan Vd nya dan berbanding
terbalik dengan klirensnya. Untuk alasan inilah penyakit renal atau hepar yang mengubah Vd
dan/atau klirens akan mengubah waktu-paruh eliminasi. Namun, waktu-paruh eliminasi tidak
dipengaruhi dosis obat yang diberikan.
Hidup-paruh eliminasi, berbeda dengan waktu-paruh eliminasi, menunjukkan waktu
yang dibutuhkan untuk eliminasi 50% obat dari tubuh setelah injeksi IV. Waktu-paruh eliminasi
dan hidup-paruh eliminasi adalah tidak sama jika penurunan konsentrasi plasma obat tidak
paralel dengan eliminasinya dari tubuh. Jumlah obat yang tersisa di tubuh terkait dengan jumlah
waktu-paruh eliminasi yang telah berlalu (Tabel 1-1). Sebagai contoh, jika 50% obat dieliminasi
dalam 10 menit, 10 menit yang lain akan dibutuhkan untuk eliminasi satu-setengah obat yang
tersisa. Sekitar lima waktu-paruh eliminasi dibutuhkan untuk eliminasi hampir total (96.9%)
obat dari tubuh. Untuk alasan inilah, akumulasi obat dapat diprediksikan jika interval
pemberian dosis kurang dari periode ini. Akumulasi obat berlanjut sampai kecepatan
eliminasinya sama dengan kecepatan administrasi. Sebagaimana dengan eliminasi obat, waktu
1
yang dibutuhkan obat untuk mencapai konsentrasi plasma yang tetap (Cp ss) dengan pemberian
dosis intermitten adalah sekitar lima waktu-paruh eliminasi.
Waktu-paruh sensitif-konteks
Konsep waktu-paruh sensitif-konteks telah diperkenalkan untuk mencegah
keterbatasan waktu-paruh eliminasi dalam mendeskripsikan farmakokinetika obat
kompartemen sentral postinfusi (Hughes et al 1992). Efek distribusi pada konsentrasi obat
plasma bervariasi dalam besarnya dan arahnya dan bergantung pada gradien konsentrasi obat
antar berbagai kompartemen. Waktu-paruh sensitif-konteks mendeskripsikan waktu yang
dibutuhkan oleh konsentrasi obat plasma untuk penurunan sebesar 50% (atau persentase yang
lain) setelah dilakukan diskontinuasi infus kontinu pada sebuah durasi spesifik (konteks
merujuk pada durasi infus). Simulasi komputer dari model farmakokinetika
multikompartemental mengenai disposisi obat telah digunakan untuk menghitung waktu-paruh
sensitif-konteks untuk obat yang diberikan sebagai infus kontinu selama anestesia (Fig.1-4)
(Hughes et al.,1992).
1
Waktu-paruh sensitif-konteks, berbeda dengan waktu-paruh eliminasi,
mempertimbangkan efek terkombinasi dari distribusi dan metabolisme serta durasi pada
administrasi IV yang terus-menerus pada farmakokinetik obat. Contohnya, berdasarkan pada
kelarutan obat terhadap lemak dan efisiensi mekanisme klirennya, waktu-paruh sensitif-
konteks meningkat secara paralel dengan durasi administrasi IV yang terus-menerus (lihat Fig.
1-4) (Hughes et.al.,1992). Waktu-paruh sensitif-konteks menghasilkan hubungan yang tidak
konstan terhadap waktu-paruh eliminasi obat.
Waktu Recovery
Waktu administrasi tergantung pada seberapa jauh konsentrasi obat dalam plasma
harus menurun untuk mencapai level yang cocok untuk kesadaran (Fig. 1.5).
Misalnya, jika konsentrasi obat hanya dipertahankan dengan infus yang terus-menerus melebihi
yang diperlukan untuk mencapai kesadaran, waktu recovery akan lebih cepat daripada setelah
infus terus-menerus yang mempertahankan konsentrasi obat plasma pada level jauh lebih tinggi
daripada yang diasosiasikan dengan kesadaran (lihat Fig. 1.5). Jadi, perbedaan antara
1
konsentrasi plasma pada saat infus obat yang terus-menerus dihentikan dan konsentrasi plasma
di bawah dimana kesadaran bisa diharapkan adalah sesuatu yang penting dalam menentukan
waktu recovery. Mengenai ini, waktu-paruh sensitif-konteks tidak secara langsung
menggambarkan seberapa lama ini akan membuat pasien sadar. Lebih jauh lagi, eliminasi
waktu-paruh tidak membiarkan perkiraan recovery setelah administrasi obat karena parameter
ini hanya menyetel batas atas bagaimana waktu yang dibutuhkan untuk 50% penurunan
konsentrasi obat plasma (Shafer dan Stanski, 1992)
Keseimbangan Efek-Tempat
Penundaan antara administrasi obat secara IV dan onset efek klinis menggambarkan
perlunya waktu untuk sirkulasi, mengantarkan obat ke tempat kerjanya (jaringan seperti otak).
Penundaan ini menggambarkan fakta bahwa plasma biasanya bukan tempat kerja obat tapi
lebih ke rute sirkulasi saja yang dengannya obat bisa mencapai tempat efeknya (biophase). Jika
beberapa parameter efek obat bisa diukur (waktu untuk menghasilkan efek khusus pada
elektroensefalogram), keseimbangan waktu-paruh antara konsentrasi obat di dalam plasma dan
efek obat dapat diukur. Waktu ini ditandai sebagai waktu keseimbangan efek-tempat.
Waktu keseimbangan efek-tempat adalah konsep waktu logis yang relevan dalam
administrasi obat IV. Obat dengan waktu keseimbangan efek-tempat yang pendek (remifentamil,
alfentamil, thiopental, propofol) akan menghasilkan onset efek farmakologis yang lebih cepat
dibandingkan dengan obat yang memiliki waktu keseimbangan efek-tempat yang lebih lama
(fentanyl, sufentanil, midazolam). Pengetahuan tentang waktu keseimbangan efek-tempat
penting dalam menentukan interval dosis, terutama ketika menetapkan kadar obat IV untuk
memberikan efek klinis. Contohnya, dosis midazolam seharusnya berasa di daerah dengan
interval yang mencukupi untuk memungkinkan terjadinya efek puncak farmakologis klinis yang
nyata sebelum administrasi obat berikutnya. Kegagalan untuk menilai pentingnya waktu
keseimbangan efek-tempat bisa menyebabkan tidak diperlukannya administrasi obat. Sebagai
tambahan terhadap waktu keseimbangan efek-tempat, interval dosis akan dipengaruhi juga oleh
redistribusi ke tempat jaringan inaktif. Redistribusi ini tergantung pada aliran darah jaringan,
yang mungkin diubah oleh kardiak output.
Rute Administrasi dan Absorpsi Sistemik Obat
Pilihan administrasi obat seharusnya ditentukan dengan factor-faktor yang
mempengaruhi absorpsi sistemik obat. Laju absorpsi sistemik obat menentukan intensitas dan
durasi aksinya. Perubahan dalam laju absorpsi sistemik mungkin mengharuskan suatu
pengaturan mengenai dosis atau interval waktu antara dosis obat berulang.
Absorpsi sistemik, tanpa memperhatikan rute administrasi obat, tergantung pada
kelarutan obat tersebut. Kondisi local pada tempat absorpsi bisa mengubah kelarutan, terutama
sekali di traktus gastrointestinal. Aliran darah ke tempat absorpsi juga penting dalam kecepatan
absorpsi. Contohnya, peningkatan aliran darah yang ditimbulkan dengan menggosok atau
memberikan panas pada lokasi injeksi meningkatkan absorpsi sistemik, sedangkan penurunan
aliran darah dikaitkan karena vasokonstriksi sehingga menghalangi absorpsi obat. Akhirnya,
area permukaan absorpsi yang tersedia untuk absorpsi sangat penting untuk masuknya obat ke
dalam sirkulasi.
Administrasi Oral
Administrasi obat secara oral adalah satu cara yang paling nyaman, tepat dan ekonomis.
Kerugian dari administrasi oral ini termasuk (a) muntah yang disebabkan karena iritasi mukosa
gastrointestinal oleh obat, (b) kerusakan pada obat oleh enzim-enzimm pencernaan atau cairan
asam lambung, dan (c) ketidakteraturan dalam masuknya makanan atau obat lain. Lebih jauh
1
lagi, obat mungkin dimetabolisme oleh enzim atau bakteri di traktus gastrointestinal sebelum
absorpsi sistemik bisa terjadi.
Dengan administrasi oral, onset efek obat sangat ditentukan oleh laju dan tingkat
absorpsi dari traktus gastrointestinal. Tempat utama absorpsi obat setelah administrasi oral
adalah di usus halus, dikarenakan area permukaan yang luas dalam traktus gastrointestinal.
Perubahan pH cairan gastrointestinal yang mendukung adanya obat dalam bentuk fraksi non-
ionisasinya (larut lemak) sehingga mendukung absorpsi sistemik. Obat yang dalam keadaan
asam lemah (seperti aspirin) menjadi terionisasi pada lingkungan basa di usus halus, tetapi
absorpsi masih berlangsung baik karena area permukaan yang luas. Selain itu, absorpsi juga
terjadi di lambung, dimana cairannya bersifat asam.
Efek Hepatis Lintas-Pertama
Obat yang terabsorpsi dari traktus gastrointestinal memasuki darah vena portal dan
kemudian melewati hati sebelum memasuki sirkulasi sistemik untuk dikirimkan ke reseptor
jaringan. (Fig. 1.6). Hal ini dikenal sebagai efek hepatis lintas-pertama, dan untuk obat yang
mengalami ekstraksi hepatic dan metabolisme yang berlebihan (propanolol, lidocaine), ini
merupakan alasan adanya perbedaan dalam efek farmakologis antara dosis oral dan IV.
Uptake ke Paru-Paru
Paru-paru memiliki fungsi penting dalam farmakokinetik sebagaimana digambarkan
oleh uptake obat injeksi, terutama amino lipohilic dasar (pK 8). Misalnya, uptake lintas-pertama
1
paru dari dosis awal lidocaine, propanolol, meperidine, fentanyl, sufentamil, dan alfentan
melebihi 65% dosis (Boer et.al.,1994). Ventilasi spontan dan terkontrol versus apnea tidak
mempengaruhi arah efek lintas-pertama paru yang diamati untuk alfentamil dan sufentamil
(Boer et.al., 1994). Uptake obat oleh paru mungkin menyebabkan puncak konsentrasi arteri dari
obat ini dan berfungsi sebagai wadah untuk melepaskan obat kembali ke dalam sirkulasi
sistemik.
Distribusi Sistem Saraf Pusat.
Distribusi obat terionisasi larut air untuk system saraf pusat (CNS) dari sirkulasi sangat
ketat karena batasan karakteristik permeabilitas dari kapiler otak, yang dikenal sebagai sawar
darah otak (blood brain barrier). Sebaliknya aliran darah serebral hanya merupakan
pembatasan untuk penyebaran kepada system saraf pusat oleh obat larut lemak yang
terionisasi. Ini penting untuk memahami bahwa blood brain barrier adalah subjek untuk
merubah dan dapat diatasi dengan administrasi obat dosis tinggi. Lebih jauh lagi, luka kepala
akut dan hipoksemia arterial mungkin diasosiasikan dengan kerusakan blood brain barrier.
Volume Distribusi
Volume distribusi (Vd) adalah ekspresi matematikal dari penjumlahan volume yang jelas
dari kompartemen-kompartemen yang menyusun model kompratemen (lihat Fig 1.2) (Stanski
dan Watkins, 1982). Seperti demikian nilai ini melukiskan karakteristik distribusi obat di dalam
tubuh. Volume distribusi dikalkulasikan ketika dosis pemberian obat secara IV dibagi dengan
menghasilkan konsentrasi plasma obat sebelum eliminasi dimulai (inisial Vd atau Vd 1) atau
ketika kondisi posisi mantap telah dicapai (Vd ss). Seperti demikian, Vd dipengaruhi oleh
karakteristik fisiokimiawi obat, termasuk (a) kelarutan lemak, (b) keterikatan dengan protein
plasma, dan (c) ukuran molekul. Ikatan dengan protein plasma dan kelarutan lemak yang
rendah membatasi penerimaan obat ke jaringan, sehingga mempertahankan konsentrasi yang
tinggi di plasma dan kalkulasi kecil Vd. Contoh obat dengan kelarutan dalam lemak yang rendah
dengan Vd yang mirip dengan volume cairan ekstraseluler adalah obat bloking neuromuscular
nondepolarisasi. Obat yang larut dalam lemak yang berkonsentrasi tinggi dalam jaringan
dengan menghasilkan konsentrasi plasma yang rendah akan mempunyai perhitungan Vd yang
melebihi cairan total tubuh. Contoh obat larut lemak dengan Vd yang melebih cairan total tubuh
adalah thiopental dan diazepam. Model farmakokinetik tradisional yang tidak
memperhitungkan untuk kliren obat nonorgan (eliminasi Hoffman, ester hydrolysis)
meremehkan Vdss (Fisher, 1996).
Ionisasi
Kebanyakan obat adalah asam lemah atau basa lemah yang hadir dalam larutan baik
bentuk molekul terionisasi dan tidak terionisasi. Karakteristik kelarutan dari molekul yang
terionisasi dan tidak terionisasi menentukan kemudahan dengan obat mungkin berdifusi
melalui komponen lemak membrane sel. Difusi ini terutama sekali penting karena obat-obatan
sering terlalu besar untuk bebas melewati membrane channel.
Karakteristik Molekul Terionisasi dan tidak Terionisasi.
Molekul yang tidak terionisasi biasanya larut lemak dan dapat berdifusi menembus
membrane sel yang menyusun blood brain barrier, epitel tubulus ginjal, epitel gastrointestinal,
dan sel-sel hati (Tabel 1.4). sebagai hasilnya, fraksi obat ini aktif secara farmakologis, mengalami
penyerapan sepanjang tubulus ginjal, diabsorpsi dari traktus gastrointestinal dan cocok
terhadap metabolisme hati. Sebaliknya, fraksi terionisasi kelarutannya dalam lemak rendah dan
tidak bisa menembus membrane sel lemak dengan mudah (lihat Tabel 1.4). Ionisasi
menyebabkan obat di keluarkan dari bagian sel dengan tuntutan yang mirip. Derajat tinggi dari
ionisasi sehingga absorpsi obat tidak seimbang dari traktus gastrointestinal, membatasi akses
1
terhadap obat-enzim metabolisme dalam sel-sel hati, dan memfasilitasi ekskresi obat yang tidak
berubah, karena absorpsi melalui epitel tubulus ginjal tidak seperti biasanya.
Ion Trapping
Perbedaan konsentrasi dari obat total dapat mengembangkan dua sisi membrane yang
memisahkan cairan dengan pH yang berbeda (Fig 1.7) (Hug 1978). Sebagai hasil dari perbedaan
pH ini, derajat ionisasi obat juga berbeda pada masing-masing sisi membrane. Fraksi obat yang
tidak terionisasi dan larut lemak menyeimbangkan melalui membrane sel tetapi konsentarsi
total obat dangat berbeda pada masing-masing sisi membrane karena pengaruh kuat dari pH
pada fraksi obat yang berada pada bentuk terionisasi. Ini merupakan pertimbangan yang
penting karena satu fraksi obat mungkin lebih aktif secara farmakologis daripada fraksi lain.
1
Administrasi sistemik dari obat basa lemah, seperti opioid, dapat menghasilkan
akumulasi obat terionisasi (ion trapping) dalam lingkungan asam di lambung. Fenomena yang
hampir sama terjadi dalam pemindahan obat dasar, seperti anestesi local, menyebrangi plasenta
dari ibu ke fetus karena pH fetus lebih rendah daripada pH ibu. Fraksi nonionisasi yang larut
lemak dari anestesi local ketika menyebrang plasenta dan diubah menjadi fraksi terionisasi yang
kelarutan dalam lemaknya rendah dalam lingkungan yang lebih asam di fetus.
Fraksi terionisasi dalam fetus tidak dapat menyebrangi plasenta dengan mudah ke
sirkulasi maternal dan dengan begitu terperangkap dengan efektif di dalam fetus. Pada saat
yang sama, perubahan fraksi nonionisasi menjadi fraksi terionisasi mempertahankan gradient
untuk melanjutkan lintasan anestesi local menuju fetus. Adanya akumulasi anestesi local di
dalam fetus ditekankan oleh asidosis yang menyertai fetal distress.
Protein Pengikat
Jumlah variabel dari kebanyakan obat terikat pada protein plasma yang termasuk
albumin, asam alpha1 glikoprotein, dan lipoprotein (Wood, 1986). Kebanyakan obat yang
bersifat asam terikat pada albumin, sedangkan obat dasar memilih asam alpha 1 glikoprotein.
Protein pengikat memiliki efek yang penting pada distribusi obat karena hanya fraksi bebas atau
tidak terikat yang siap tersedia untuk menyebrangi membrane sel. Selanjutnya, Vd obat
berhubungan dengan terbalik terhadap protein pengikat. Contohnya, protein pengikat yang
tinggi membatasi lintasan obat ke dalam jaringan, sehingga menghasilkan konsentrasi obat
plasma yang tinggi dan kalkulasi Vd yang kecil. Kliren obat juga dipengaruhi oleh protein
pengikat karena fraksi yang tidak terikat ini dalam plasma yang sudah siap masuk ke enzim
metabolisme obat di hati, dan juga fraksi obat yang tidak terikat ini yang mengalami filtrasi
glomerular.
Kompleks obat-protein dipertahankan dengan ikatan yang lemah (ikatan ionic,
hydrogen, van der Waals) dan dapat memisah ketika konsentrasi obat plasma menurun sebagai
hasil kliren hepatic atau kliren ginjal dari fraksi yang tidak terikat. Mengenai ini, protein
pengikat obat mungkin sebenarnya memfasiliatsi eliminasi dengan berperan sebagai
mekanisme transport untuk mengirimkan obat ke tempat kliren.
Perubahan dalam protein pengikat biasanya hanya penting untuk obat yang terikat kuat
dengan protein, seperti warfarin, propanolol, phenytoin, dan diazepam. Misalnya, untuk obat
yang 98% terikat protein, penurunan dalam pengikatan menjadi 96% akan menjadikan fraksi
plasma yang tidak terikat dua kali lipat dengan asosiasi peningkatan potensial dalam efek
farmakologis. Sebaliknya, penurunan dalam protein pengikat dari 70% menjadi 68%
menghasilkan hanya 7% peningkatan pada fraksi obat bebas dalam plasms.
Penentuan Protein Pengikat
Tingkat protein pengikat parallel dengan kelarutan obat dalam lemak. Contohnya,
pentobarbital kurang terikat dengan protein daripada kelarutannya dalam lemak thioanalog
thiopental. Sebagai tambahan untuk kelarutan lemak, fraksi obat total dalam plasma yang
terikat protein ditentukan oleh konsentrasi obat plasma dan jumlah tempat ikatan yang
tersedia. Konsentrasi obat plasma yang rendah sepertinya lebih terikat dengan protein daripada
konsentrasi plasma yang tinggi pada obat yang sama. Pernyatann mengenai persentasi protein
pengikat obat tidak berarti jika konsentrasi obat plasma dan ketersediaan tenpat ikatan
(konsentrasi plasma albumin) juga diketahui.
Ikatan obat terhadap albumin plasma sering tidak selektif. Sehingga banyak obat dengan
karakteristik fisiokimiawi yang mirip dapat bersaing dengan satu sama lain dan dengan zat
endogen untuk tempat ikatan protein yang sama. Contohnya, sulfonamides dapat menggantikan
bilirubin tidak terkonjugasi untuk tempat berikatan pada albumin, mendorong ke arah risiko
1
bilirubin ensefalopati pada neonates. Ini sangat penting untuk memperhatikan protein pengikat
ketika membandingkan laju pengikatan protein ibu dengan fetus. Contohnya, konsentrasi obat
dalam tubuh total mungkin berbeda, tetapi efek farmakologisnya sama karena konsentrasi
bebas dari obat juga mirip.
Gagal ginjal mungkin menurunkan fraksi obat yang terikat dengan protein bahkan dalam
tidak adanya perubahan dalam konsentrasi albumin plasma atau protein lainnya. Contohnya,
fraksi bebas phenytoin meningkat pada pasien dengan gagal ginjal seperti pada konsentrasi
toksik plasma seprtinya terjadi jika dosis obat total tidak menurun. Kejadian ini dengan
kehadiran konsentrasi albumin plasma normal menyarankan bahwa perubahan dalam struktur
protein atau pemindahan phenytoin dari tempat ikatannya oleh factor metabolic yang normal
diekskresikan oleh ginjal telah terjadi. Konsentrasi albumin cenderung lebih rendah pada pasien
lajut usia, tetapi pengaruh yang kuat dari perubahan ini kecil dibandingkan dengan efek
keadaan penyakit yang menghasilkan disfungsi ginjal atau hati.
Peningkatan dalan konsentrasi asam alpha 1 glycoprotein plasma terjadi dalam respon
bedah, sakit kronik, dan infark miokardium akut (Wood, 1986). Peningkatan fraksi protein ini
pada pasien dengan arthritis rematoid mengarahkan kepada peningkatan protein pengikat
lidocaine dan propanolol. Konsentrasi asam alpha 1 glycoprotein plasma menurun pada
neonates, menghasilkan penurunan protein pengikat untuk beberapa obat, termasuk diazepam,
propanolol, sufentamil dan lidocaine (Wood and Wood, 1981).
Klirens Hepatik
Klirens hepatik untuk suatu obat adalah produk dari aliran darah hepatik dan rasio
ekstraksi dari hepar. Jika rasio ekstraksi hepatik tinggi (>0.7), klirens suatu obat akan
tergantung pada aliran darah hepatik, di mana perubahan pada aktivitas enzim akan memiliki
pengaruh yang minimal (Gambar 1-8) (Wilkinson dan Shand, 1975). Oleh karena itu, rasio
ekstraksi hepatik yang tinggi akan berakibat pada perfusion-dependent elimination (eliminasi
yang bergantung pada perfusi). Jika rasio ekstraksi hepatik <0.3, hanya sebagian kecil dari obat
1
yang dibawa ke hepar akan dibuang per unit waktu. Sebagai akibatnya, sejumlah besar obat
akan tersedia untuk mekanisme eliminasi hepatik, dan perubahan pada aliran darah hepatik
tidak akan terlalu mempengaruhi klirens hepatik. Penurunan pengikatan protein atau
peningkatan aktivitas enzim, sebagaimana dihubungkan dengan induksi enzim, akan sangat
meningkatkan klirens hepatik suatu obat dengan ratio ekstraksi hepatik yang rendah. Tipe
eliminasi hepatik ini disebut capacity-dependent elimination (eliminasi yang bergantung pada
kapasitas).
Ekskresi Bilier
Kebanyakan metabolit dari obat yang diproduksi di hepar akan diekskresikan dalam
empedu ke dalan saluran gastrointestinal. Seringnya, metabolit ini diserap kembali dari saluran
gastrointestinal ke dalam sirkulasi untuk eliminasi akhir dalam urin. Anion organik, seperti
glukuronidase, ditranspor secara aktif ke dalam empedu oleh sistem pengangkutan yang mirip
dengan yang membawa anion itu ke tubulus ginjal.
Klirens Renal
Ginjal merupakan organ paling penting untuk eliminasi dari obat yang belum berubah
atau metabolitnya. Zat larut air diekskresikan lebih efisien oleh ginjal daripada zat dengan
kelarutan dalam lemak yang tinggi. Ini menekankan pentingnya peran metabolisme dalam
mengubah obat larut lemak menjadi metabolit larut air. Eliminasi obat oleh ginjal berhubungan
dengan klirens kreatinin endogen ataupun konsenstrasi serum kreatinin. Besarnya peningkatan
dari indikator tersebut memberikan perkiraan berapa penurunan dosis obat yang dibutuhkan.
Ekskresi obat oleh renal melibatkan (a) filtrasi glomerulus, (b) sekresi aktif tubuler, dan
(c) reabsorpsi pasif tubuler. Jumlah obat yang memasuki lumen tubuler ginjal bergantung pada
fraksi obat yang terikat protein dan laju filtrasi glomerulus. Sekresi tubuler renal melibatkan
proses transpor aktif, yang mungkin selektif terhadap obat dan metabolit tertentu, termasuk zat
1
terikat-protein. Reabsorpsi dari tubulus ginjal membuang obat yang telah memasuki tubulus
melalui filtrasi glomerulus dan sekresi tubuler. Reabsorpsi ini paling tampak untuk obat larut
lemak yang dapat dengan mudah melewati membran sel dari sel epitelial tubuler renal untuk
memasuki cairan peri-kapiler. Sebenarnya, obat dengan kelarutan dalam lemak yang tinggi,
seperti thiopental, hampir selalu direabsorpsi secara sempurna sehingga hanya sedikit atau
tidak ada obat yang belum diubah yang diekskresikan di urin. Sebaliknya, produksi dari
metabolit yang kurang larut lemak membatasi reabsorpsi tubulus renal dan memfasilitasi
ekskresi di urin.
Laju dari reabsorpsi dari tubulus renal dipengaruhi oleh faktor seperti pH dan laju aliran
urin renal tubuler. Reabsorpsi pasif dari basa dan asam lemah diubah oleh pH urin, yang
mempengaruhi fraksi obat yang ada di bentuk terionisasi. Sebagai contoh, asam lemah
diekskresikan lebih cepat dalam urin basa. Ini terjadi karena alkalinisasi urin berakibat pada
obat yang lebih terion yang tidak dapat melewati sel epitel tubuler renal dengan mudah,
sehingga reabsorpsi pasifnya lebih jarang terjadi.
Metabolisme Obat
Peran dari metabolisme (biotransformasi) adalah untuk mengubah obat yang larut
lemak dan secara farmakologis aktif menjadi metabolit yang larut air dan seringkali tidak aktif
secara farmakologis. Peningkatan kelarutan dalam air menurunkan Vd dari obat dan
meningkatkan ekskresi renalnya dan kadang-kadang eliminasi dari gastrointestinal. Obat yang
larut lemak lebih tidak mungkin mengalami ekskresi d renal karena mudahnya reabsorpsi di
lumen dari tubulus renal ke dalam cairan peri-kapiler. Pada tiadanya metabolisme, sebuah obat
larut lemak, seperti thiopental, akan terus menjalani reabsorpsi dari tubulus renal dan memiliki
waktu-paruh eliminasi sekitar 100 tahun. Metabolisme menjadi metabolit larut air,
bagaimanapun, mengurangi reabsorpsinya dari tubulus renal dan memfasilitasi ekskresi melalui
urin.
Penting untuk diketahui bahwa metabolisme tidak selalu menghasilkan metabolit yang
secara farmakologis tidak aktif. Sebagai contoh, diazepam dan propanolol mungkin dapat
dimetabolisme menjadi senyawa aktif. Pada beberapa contoh, senyawa induk inaktif (prodrug)
diberikan dan selanjutnya menjalani metabolisme menjadi metabolit aktif sehingga
memungkinkan rute pemberian yang mungkin tidak dapat dilakukan sebelumnya karena
kelarutannya. Contoh ini menekankan bahwa metabolisme tidak selalu sama dengan inaktivasi
atai bahkan detoksifikasi.
Laju Metabolisme
Laju metabolisme kebanyakan obat ditentukan oleh konsentrasi obat pada lokasi
metabolisme dan oleh laju intrinsik proses metabolisme. Aliran darah hepar sering menentukan
dan karenanya, juga konsentrasi obat di lokasi metabolisme. Laju intrinsik metabolisme
mencerminkan faktor yang mempengaruhi aktivitas enzim, seperti induksi enzim dan genetik.
First-Order Kinetics
Kebanyakan metabolisme obat mengikuti secara linear atau first-order kinetics sehingga
terdapat bagian konstan dari obat yang tersedia dimetabolisme dalam suatu periode waktu
tertentu. First-order kinetics bergantung pada konsentrasi obat dalam plasma sehingga jumlah
absolut dari obat yang akan dieliminasi per unit waktu adalah paling besar saat konsentrasinya
dalam plasma paling tinggi. Bagaimanapun, fraksi dari total obat yang dieliminasikan selama
first-order kinetics tidak bergantung pada konsentrasi plasma dari obat tersebut.
1
Zero-Order Kinetics
Zero-order kinetics terjadi ketika konsentrasi plasma dari obat melebihi kapasitas enzim
metabolisme. Ini mencerminkan saturasi dari enzim yang tersedia dan berakibat pada
metabolisme jumlah obat yang konstan per unit waktu. Ini berkebalikan dengan fraksi obat yang
dimetabolisme yang konstan pada first-order kinetics. Sebagai hasilnya, jumlah absolut obat
yang dieliminasi per uni waktu selama Zero-order kinetics adalah sama, tidak tergantung
konsentrasi obat dalam plasma. Aktivitas intrinsik dari enzim menentukan jumlah konstan dari
obat yang dimetabolisme per unit waktu. Alkohol, aspirin, dan phenytoin adalah obat yang
menunjukkan Zero-order kinetics bahkan pada konsentrasi terapeutik.
Jalur Metabolisme
Empat jalur dasar metabolisme adalah (a) oksidasi, (b) reduksi, (c) hidrolisis, dan (d)
konjugasi. Secara tradisional, metabolisme telah dikategorikan menjadi reaksi fase I dan fase II.
Reaksi fase I termasuk oksidasi, reduksi, dan hidrolisis yang meningkatkan polaritas obat dan
menyiapkan fase II. Reaksi fase II adalah reaksi konjugasi yang mengikat obat atau metabolit
secara kovalen dengan molekur berpolaritas tinggi (karbohidrat atau asam amino) lalu
membuat konjugat tersebut lebih larut air untuk ekskresi berikutnya. Enzim mikrosom hepar
bertanggung jawab untuk metabolisme kebanyakan obat. Lokasi lain metabolisme obat
termasuk plasma (eliminasi Hoffman, ester-hidrolisis), paru-paru, ginjal, dan saluran
gastrointestinal. Perkembangan evolusioner dari enzim metabolisme obat sering kali terkait
dengan ingesti alkaloid beracun dari tanaman. Dalam konteks ini, metabolisme obat telah
berevolusi menjadi cara melindungi terhadap racun dari lingkungan.
Enzim mikrosomal hepar, yang berpartisipasi dalam metabolisme banyak obat terletak
utamanya di retikulum endoplasmik halus hepar. Enzim ini juga terdapat di ginjal, saluran
gastrointestinal, dan korteks adrenal. Istilah enzim mikrosomal berasal dari fakta bahwa
sentrifugasi sel terhomogen (biasanya hepatosit) akan mengkonsentrasikan fragmen dari
retikulum endoplasmik halus yang pecah yang disebuh sebagai fraksi mirosomal.
Walaupun saluran gastrointestinal secara tradisional dianggap sebagai organ absorpsi,
telah diketahui bahwa usus halus memiliki aktivitas metabolisme obat yang cukup, serta
melibatkan baik reaksi fase I maupun fase II. Enzim sitokrom P-450 terletak sepanjang sistem
gastrointestinal tetapi kebanyakan dari enzim ini terletak di usus halus. Ginjal juga mampu
mengoksidasi dan mengkonjugasikan obat serta substrat endogen menggunakan enzim
sitokrom P-450 dan enzim fase II.
Enzim Fase I
Enzim yang bertanggung jawab untuk reaksi fase I termasuk enzim sitokrom P-450,
enzim nonsitokrom P-450, dan enzim monooxygenase yang mengandung flavin.
Enzim sitokrom P-450
Sistem enzim sitokrom P-450 (CYP) adalah keluarga besar dari protein heme terikat
membran yang mengkatalisis metabolisme senyawa endogen. Enzim P-450 kebanyakan enzim
mikrosom hepar walaupun ada juga enzim P-450 mitokondrial. Nama sitokrom P-450
menekankan substansi ini memiliki puncak absorpsi pada 450 nm ketika dikombinasikan
dengan karbon monoksida. Sistem enzim P-450 juga dikenal sebagai mixed function oxidase
system (sistem oksidase multi fungsi) atau monooksigenase karena ia melibatkan baik oksidasi
dan reduksi. Sitokrom P-450 berfungsi sebagai oksidase terminal pada skema transpor elektron.
Enzim P-450 individu (lebih dari 50 gen CYP telah diidentifikasi) telah berkembang dari
sebuah protein biasa (Nelson, 1999). Enzim P-450 yang memilliki lebih dari 40% urutan
homolog dinamakan dengan sebuah angka (CYP2), yang memiliki lebih dari 55% homologi
1
dikelompokkan dalam subfamili dengan penamaan sebuah huruf (CYP2A), dan enzim CYP
individu diidentifikasi oleh nomor ketiga (CYP2A6). Sepuluh isoform dari enzim P-450
bertanggung jawab untuk metabolisme oksidatif kebanyakan obat. Sejumlah aktivitas CYP
dihasilkan oleh CYP2D6 dan isozim CYP3A4/5. P-450 3A4 adalah isoform P-450 paling banyak
diekspresikan, menyusun 20% hingga 60% total aktivitas P-450. P-450 3A4/5 dianggap
bertanggung jawab untuk memetabolisme lebih dari separung dari semua obat yang tersedia
saat ini, termasuk opioid (altentanil, sfentanil, fentanyl), benzodiazepin, anastesi lokal
(lidocaine, repicavaine), imunosupresan (cyclosporine), dan antihistamin (terfenadine). Klirens
sistemik terhadap beberapa obat yang berfungsi sebagai substrat bagi P-450 3A4/5 adalah
tergantung gender, dengan klirens 20% hingga 40% lebih tinggi pada wanita daripada pria. Ini
menunjukkan stimulasi aktivitas P-450 A34/5 oleh hormon steroid, yang dapat bervariasi
selama siklus menstruasi. Bagaimanapun, klirens alfentanil tidak menunjukkan berbeda pada
berbagai hari dalam siklus menstruasi (Kharasch et al., 1997a). CYP2D6 bertanggung jawab
untuk reaksi fase I melibatkan hampir 25% semua obat termasuk analgesik, antidisritmia, lokal
anestesi amide, ketamine, propofol, antiemetik, dan beta-bloker.
Enzim mikrosomal mengkatalisasi kebanyakan oksidasi, reduksi, dan reaksi konjugasi
yang mengarah pada metabolisme obat. Kelarutan dalam lemak dari suatu obat membantu obat
melewati membran sel dan memfasilitasi akses obat ke enzim mikrosomal di hepatosit dan sel
lain. Aktifitas enzim mikrosomal hepar rendah pada neonatal, utamanya pada bayi prematur.
Perbedaan individu pada aktivitas enzim mikrosomal ditentukan secara genetis. Sebenarnya,
laju dari metabolisme obat dapat berbeda 6 kali atau lebih di antara individu sebagai cerminan
perbedaan aktifitas enzim mikrosomal.
Induksi Enzim
Hal unik dari enzim mikrosomal hepar adalah kemampuan obat atau bahan kimia untuk
menstimulasi aktivitas dari enzim ini. Peningkatan aktivitas enzim karena obat atau bahan
kimia ini dikenal sebagai induksi enzim (enzym induction). Induksi enzim juga terjadi dalam
lingkup terbatas di paur-paru, ginjal, dan saluran gastrointestinal. Hidrokarbon polikarbon dan
fenobarbital merupakan contoh dari substansi yang menginduksi enzim mikrosomal.
Peningkatan yang dihasilkan karena fenobarbital dikatakan berhubungan dengan peningkatan
sintesis sitokrom P-450 dan sikotrom P-450 reduktase.
Enzim Fase II
Enzim fase II termasuk glukuronosiltransferase, glutation-S-transferase, N-asetil-
transferase, dan sulfotransferase.
Glukuronosiltransferase
Enzim uridin difosfat glukuronosiltransferase merupakan keluarga dari enzim
mikrosomal hepatik yang mengkatalisasi penambahan kovalen asam glukoronat menjadi
berbagai senyawa eksogen dan endogen yang membuatnya menjadi lebih larut air. Usus
mengandung beta-glukoronidase yang menghidrolisis glukuronidase kembali ke senyawa
induknya yang dapat direabsorpsi dari usus dan ditranspor ke hepar untuk menjalani
rekonjugasi (resirkulasi entero-hepatik). Glukoronidase mungkin lebih aktif atau bahkan kurang
aktif secara farmakologis dibanding obat induknya.
Glukuronidasi adalah jalur metabolisme penting untuk beberapa obat yang digunakan
selama anestesia. Propofol menjalani glukuronidasi di hepar dan ginjal. Opioid menjadli
glukuronidasi seperti ditampakkan oleh morfin-3-glukuronat dan morfin-6-glukuronat.
Metabolit glukuronat, 1-hidroksimidazolam aktif secara farmakologis dan dapat berkontribusi
memperlama efek midazolam pada pasien dengan keterbatasan ginjal.
Glutation-S-Transferase
`Enzim glutation-S-transferase (GST) utamanya merupakan sistem pertahanan untuk
detoksifikasi dan perlindungan terhadap stres oksidatif. Dua famili besar enzim GST adalah
enzim sitosolik hepatik yang lebih banyak, dan enzim GST mikrosomal yang terikat membran
yang jumlahnya lebih sedikit. Toksisitas terhadap ginjal pada tikus berhubungan dengan aktivasi
yang tergantung GST di mana hilangnya toksisitas serupa pada manusia menunjukkan
perbedaan aktivitas enzim GST antar spesies.
N-asetil-transferase
N-asetilasi dikatalisasi oleh N-asetil-transferase (NAT) merupakan sebuah reaksi fase II
yang umum untuk heterosiklik aromatik amino dan arylamin hidrazin. Reaksi N-asetilasi
bertanggung jawab untuk inaktivasi dari isoniazid dan polimorfisme genetik dari enzim ini
berakibat pada asetilator cepat dan lambat. Asetilator lambat memiliki respon terapeutik yang
lebih besar terhadap obat yang diinaktivasi oleh enzim NAT dan inidivu ini memiliki resiko lebih
besar menderita efek samping yang diakibatkan obat (hepatotoksisitas isoniazid, sindrom
menyerupai lupus karena konsumsi hidralazin atau procainamid).
Metabolisme Oksidatif
Enzim mikrosomal hepatik, termasuk sitokrom P-450, penting bagi oksidasi dan
berakibat pada oksidasi banyak obat. Enzim-enzim tersebut membutuhkan sebuah donor
elektron dalam bentuk nikotinamid adenin dinukleotida tereduksi (NAD) dan oksigen molekuler
1
untuk aktivitasnya. Molekul oksigen dipisah, dengan satu atom oksiden mengoksidasi tiap
molekul obat dan atom oksigen lain digabungkan dengan molekul air. Kehilangan elektron
berakibat pada oksidasi, di mana penambahan elektron berakibat reduksi.
Contoh dari metabolisme oksidatif dari obat yang dikatalisasi oleh enzim sitokrom P-
450 termasuk hidroksilasi, deaminasi, desulfurasi, dealkilasi, dan dehalogenasi. Demetelasi, dari
morfin menjadi normorfin adalah contoh dari oksidasi dealkilasi. Dehalogenasi melibatkan
oksidasi ikatan karbon-hidrogen untuk membentuk metabolit intermediet yang tidak stabil dan
secara spontan kehilangan atom halogennya. Anestesi terhalogenasi dan tidak stabil rentan
terhadap dehalogenasi, sering berakibat pada lepasnya ion bromida, klorida, dan fluorida.
Oksidasi alifatik adalah oksidasi pada rantai samping. Sebagai contoh, oksidasi dari rantai
samping thiopental mengubah obat induk yang sangat larut lemak menjadi turunannya dalam
bentuk asam karboksilat yang lebih larut air. Thiopental juga menjalani desulfurasi menjadi
pentobarbital melalui langkah oksidasi.
Intermediet epoksida dalam metabolisme oksidatif dari obat dapat mengikat secara
kovalen dengan makromolekul dan dapat mengakibatkan toksisitas organ karena obat, seperti
disfungsi hepar. Normalnya, intermediet sangat reaktif ini memiliki eksistensi yang minim
karena mereka tak memiliki aksi biologis. Ketika induksi enzim terjadi, bagaimanapun, sejumlah
besar intermediet reaktif dapat diproduksi, berakibat kegagalan organ. Ini sering terjadi jika
antioksidan glutation, yang tersedia dalam jumlah terbatas di hepar, berkurang karena
intermedit reaktif.
Metabolisme Reduktif
Jalur reduktif dari metabolisme, seperti jalur oksidatif, melibatkan enzim sitokrom P-
450. Di bawah kondisi dengan tekanan parsial oksigen yang rendah, sitokrom P-450
mentransfer elektron langsung menuju substrat seperti halothane daripada menuju oksigen.
Pemberian elektron terhadap substrat ini terjadi hanya jika jumlah oksigen tidak mencukupi
untuk bersaing dengan elektron.
Hidrolisis
Enzim yang bertanggung jawab untuk hidrolisis obat (seringnya ikatan ester) tidak
melibatkan sitokrom P-450 (lihat bagian pada Enzim Nonmikrosomal). Hidrolisis dari konjugat
glukuronat yang disekresikan ke dalam empedu terjadi di saluran gastrointestinal dan
dibutuhkan untuk pelepasan obat agar menjadi tersedia untuk resirkulasi enterohepatik.
Konjugasi
Konjugasi dengan asam glukuronat melibatkan enzim sitokrom P-450. Asam glukuronat
tersedia dari glukosa. Ketika terkonjugasi dengan obat larut lemak atau metabolit, asam
glukuronat hidrofilik membuat substansi tersebut secara farmakologis inaktif dan lebih larut air.
Konjugat glukuronat yang lebih larut air itu lebih tidak mungkin direabsorpsi ke dalam sirkulasi
sistemik dan karenanya, lebih mungkin diekskresi melalui empedu dan urin.
Aktivitas enzim mikrosomal yang berkurang mengganggu konjugasi, berakibat pada
hiperbilirubinemia dari neonatus dan risiko ensefalopati karena bilirubin. Aktivitas enzim
mikrosomal yang berkurang ini berakibat meningkatnya toksisitas pada neonatus terhadap obat
yang normalnya diinaktivasi oleh konjugasi dengan asam glukuronat. Konjugasi dengan asam
glukuronat juga berkurang selama kehamilan, mungkin karena peningkatan progesteron dalam
darah.
1
Kurva Dosis-Respon
Kurva dosis-respon menggambarkan hubungan antara dosis obat yang diberikan dengan
efek farmakologis yang dihasilkan (Gambar 1-9). Transformasi logaritmik dari dosis sering
digunakan, karena ia memungkinkan menunjukkan rentang dosis yang luas. Kurva dosis-respon
dicirikan dengan perbedaan dalam (a) potensi, (b) kemiringan, (c) efikasi, dan (d) respon
individu.
Potensi
Potensi dari suatu obat digambarkan dengan lokasinya di sepanjang sumbu dosis dari
kurva dosis-respon. Faktor yang mempengaruhi potensi dari suatu obat yaitu (a) absorpsi, (b)
distribusi, (c) metabolisme, (d) ekskresi, dan (e) afinitas terhadap reseptor. Untuk tujuan klinis,
potensi dari obat membawa sedikit perbedaan sepanjang dosis efektif dari obat dapat diberikan
secara nyaman. Dosis yang diperlukan untuk memberikan efek tertentu disebut dosis efektif
(effective dose/ED) yang diperlukan untuk menimbulkan efek tersebut pada persentase pasien
tertentu (ED50, ED90). Peningkatan afinitas obat terhadap reseptornya menggeser kurva dosis-
respon ke kiri.
Kemiringan
Kemiringan dari kurva dosis-respon dipengaruhi oleh jumlah reseptor yang harus
ditempati sebelum efek obat terjadi. Sebagai contoh, jika sebuah obat harus menempati
mayoritas reseptor sebelum sebuah efek terjadi, kemiringan dari kurva dosis-respon akan
curam. Kurva dosis-respon yang curam adalah karakteristik dari obat pemblokir neuromuskuler
dan anastetik lewat inhalasi (minimal alveolar concentration [MAC]); ini berarti bahwa
peningkatan kecil dari dosis mengakibatkan peningkatan besar pada efek obat. Sebagai contoh,
konsentrasi 1 MAC dari anastesi yang mudah menguap menghindarkan pergerakan otot skeletal
sebagai respon terhadap insisi kulit dalam bedah pada 50% pasien, di mana peningkatan kecil
sekitar 1.3 MAC menghambat gerakan pada paling tidak 95% pasien. Lebih jauh lagi, jika kurva
dosis-respon curam, perbedaan antara konsentrasi terapeutik dan toksik akan kecil. Ini benar
untuk anastetik yang menguap yang dicirikan oleh perbedaan kecil antara dosis yang
menimbulkan depresi sistem saraf pusat yang diinginkan dengan depresi jantung yang tidak
diharapkan (lihat Bab 2).
Efikasi
Efek maksimal dari suatu obat menunjukkan aktivitas intrinsiknya terhadap efikasi.
Efikasi ini digambarkan dengan bentuk datar pada kurva dosis-respon. Perlu diketahui bahwa
1
efek tidak diinginkan (efek samping) dari suatu obat dapat membatasi dosis menjadi di bawah
dosis yang diharapkan menimbulkan efek yang diharapkan secara maksimal. Perbedaan pada
efikasi ditekankan dengan efek farmakologis opioid dibanding aspirin dalam meredakan nyeri.
Opioid meredakan nyeri intensitas tinggi, di mana dosis maksimum aspirin hanya efektif
terhadap ketidaknyamanan ringan. Efikasi dan potensi suatu obat tidak harus berhubugnan.
Indeks terapeutik (terapheutic index), atau margin keamanan, adalah perbedaan antara
dosis obat yang menghasilkan efek yang diharapkan dan dosis yang menghasilkan efek yang
tidak diharapkan. Pada studi laboratorium, indeks terapeutik sering disebut sebagai rasio antara
median dosis letal dan median dosis efektif (LD 50/ED50). Obat memiliki berbagai indeks
terapeutik, tergantung pada respon terapeutik yang sedang dipertimbangkan dan dosis dari
obat yang harus diberikan untuk menimbulkan efek tersebut. Sebagai contoh, indeks terapeutik
untuk aspirin untuk meredakan nyeri kepala sangat berbeda dengan indeks terapeutik untuk
mengurangi nyeri rheumatoid arthritis.
Variabilitas Individu
Respon terhadap banyak obat sangat berbeda di antara pasien (Caraco, 2004). Setelah
pemberian dosis identik, beberapa pasien mungkin mendapat efek samping yang signifikan
secara klinis, sedang yang lain mungkin tidak menampakkan respon terapeutik. Beberapa
perbedaan respon ini dapat dijelaskan menjadi perbedaan pada laju metabolisme obat,
utamanya oleh keluarga besar enzim sitokrom P-450. Penggabungan farmakogenetik ke dalam
kedokteran klinis mungkin menjadi berguna dalam memperkirakan respon pasien terhadap
obat.
Variabilitas respon individu terhadap obat sering mencerminkan perbedaan dalam
farmakokinetik dan/atau farmakodinamik di antara pasien (Tabel 1-5) (Wood, 1989).
Ini mungkin benar bahkan untuk perbedaan pada efek farmakologis dari obat pada pasien yang
sama pada waktu yang berbeda. Pemberian dosis yang akurat sulit untuk dilakukan dengan
adanya perbedaan antar individu dan bukan tidak biasa untuk menemukan paling tidak variasi
hingga dua kali pada konsentrasi plasma yang didapat pada individu berbeda menggunakan
skema dosis yang sama. Ini benar untuk obat yang dihirup seperti halnya obat yang diinjeksikan.
Lebih lanjut, mungkin terdapat konsentrasi obat dengan cakupan lima kali lipat di dalam plasma
yang dibutuhkan untuk mencapai efek farmakologis yang sama pada individu yang berbeda dan
cakupan ini bahkan bisa lebih besar bila telah timbul toleransi pada indovidu-individu ini.
Kepentingan relatif dari banyak faktor yang berkontribusi terhadap variasi respon
individu terhadap obat sebagian tergantung pada obat itu sendiri dan rute ekskresi biasanya.
1
Obat yang diekskresikan terutama tanpa diubah oleh ginjal cenderung menunjukkan perbedaan
farmakokinetik yang lebih kecil daripada obat yang dimetabolisme. Penentu kecepatan
metabolik yang paling penting adalah genetik. Perubahan pada kecepatan metabolik memiliki
sedikit pengaruh terhadap obat dengan ratio ekstraksi yang tinggi karena efisiensi ekstraksi
sangat besar sehingga aliran darah hepar merupakan faktor pembatas kecepatan yang lebih
daripada metabolisme. Sebaliknya, klirens sistemik obat yang ekstraksinya rendah sangat
rentan terhadap perubahan kecil pada kecepatan metabolisme. Sebagai contoh, klirens sistemik
alfentanil sangat sensitif terhadap induksi dan inhibisi CYP, sedangkan klirens opioid ekstraksi
tinggi seperti fentanyl dan sufentanil hanya sedikit dipengaruhi (Kharasch et.al., 1997b).
Variabilitas interindividu dalam responnya terhadap prodrug kodein ditentukan oleh aktivitas
demetilasi-O yang dimediasi CYP2D6 terhadap morfin dan morfin-6-glukoronid. Individu
dengan defisiensi CYP2D6 mengalami penurunan atau bahkan tidak ada sama sekali
pembentukan morfin setelah pemberian kodein, sedangkan individu dengan amplifikasi gen
CYP2D6 mengalami efek opioid yang berlebihan setelah pemberian kodein (intoksikasi kodein)
(Gasche et.al., 2004). Quinidin menghambat CYP2D6 dan sangat menurunkan bioaktivasi kodein
dan pembentukan morfin. Keadaan dinamik konsentrasi reseptor, karna dipengaruhi oleh
penyakit dan obat-obat lainnya, juga mempengaruhi variasi respon obat yang teramati di antara
pasien (lihat bagian Konsentrasi Reseptor). Akhirnya, anestesi yang dihirup, dengan mengubah
fungsi sirkulatori, hepar, dan ginjal, mungkin mempengaruhi farmakokinetik obat yang
diinjeksikan.
Dalam praktik klinis, pengaruh variabilitas interpasien mungkin tertutupi oleh pemberian
obat dosis tinggi. Misalnya, pemberian ED 95 2-3 X obat nondepolarizing neuromuscular blocking
umum digunakan dalam praktik untuk memperoleh efek yang diinginkan (paralisis otot skelet)
pada semua pasien. Akan tetapi variabilitas interpasien manifes jika level blokade
neuromuskuler dan durasi aksinya dimonitor. Lebih lanjut, umum digunakan dalam praktik
anestesi untuk memberikan obat dalam proporsi sesuai berat badan meskipun prinsip
farmakokinetik dan farmakodinamik tidak mendukung praktik ini. Dalam usaha untuk
meminimalisir variabilitas interindividual, sistem infusi terkomputerisasi (sistem infusi
terkontrol target) telah dikembangkan untuk memberikan obat-obat intravena (alfentanil,
remifentanil, etomidat, propotol) untuk mendapatkan konsentrasi (target) yang diinginkan
(White and Kenny, 1990).
Pasien Lansia
Pada pasien lansia, variasi respon obat hampir bisa dipastikan merefleksikan (a)
penurunan cardiac output, (b) peningkatan kandungan lemak, (c) penurunan pengikatan
protein, dan (d) penurunan fungsi ginjal. Penurunan cardiac output menurunkan aliran darah
hepar dan karena itu menurunkan penghantaran obat ke hepar untuk metabolisme. Penurunan
penghantaran ini, bersama dengan kemungkinan turunnya aktivitas enzim hepar, mungkin
memperlama durasi aksi obat seperti lidokain dan fentanyl (Bentley et.al., 1982). Kompartemen
lemak yang semakin banyak mungkin meningkatkan Vd dan mengarah pada akumulasi obat
larut lemak seperti diazepam dan thiopental (Jung et.al., 1982). Peningkatan kandungan lemak
tubuh total dan penurunan ikatan protein plasma terhadap obat menyebabkan peningkatan Vd
yang seiring dengan penuaan. Penurunan paralel pada cairan tubuh total beriringan dengan
peningkatan simpanan lemak. Efek bersih dari perubahan-perubahan ini adalah peningkatan
kerentanan pasien lansia terhadap efek obat kumulatif. Penuaan tampaknya tidak diiringi
dengan perubahan keresposifan reseptor.
1
Aktivitas Enzim
Perubahan aktivitas enzim sebagaimana direfleksikan oleh induksi enzim mungkin
bertanggung jawab terhadap variasi respon obat di antara individu. Misalnya asap rokok
mengandung polisiklik hidrokarbon yang menginduksi mixed-function hepatic oxidase,
mengarah pada peningkatan kebutuhan dosis untuk obat seperti teophylline dan antidepresan
trisiklik. Ingesti alkohol akut dapat menghambat metabolisme obat. Sebaliknya, penggunaan
alkohol kronis (> 200g/hari) , menginduksi enzim mikrosomal yang memetabolisme obat.
Karena induksi enzim, percepatan ini mungkin bermanifes sebagai toleransi terhadap obat
seperti barbiturat.
Kelainan Genetik
Variasi respon obat di antara indidu sebagian dikarenakan perbedaan genetik yang
mungkin juga mempengaruhi sensitivitas reseptor. Variasi genetik pada jalur metabolik
(acetylator cepat versus lambat) mungkin memiliki implikasi klinis yang penting untuk obat
seperti isoniazid dan hydralazine. Farmakogenetik menggambarkan keadaan penyakit yang
ditentukan secara genetik yang awalnya ditunjukkan dengan perubahan respon terhadap obat
khusus. Contoh penyakit yang tidak tersamarkan oleh obat meliputi (a) enzim kolinesterase
atipikal ditunjukkan oleh blokade neuromuskuler yang lebih lama setelah pemberian
suksinilkolin atau mivacurium, (b) hiperthermi maligna yang dipicu oleh suksinilkolin atau
anestetik volatil, (c) defisiensi glukosa-6-fosfat dehidrogenase dimana obat-obat tertentu
menyebabkan hemolisis, dan (d) profiria intermiten, dimana barbiturat mungkin menimbulkan
serangan akut.
Interaksi Obat
Interaksi obat terjadi saat obat mengubah intensitas efek farmakologis obat lainnya yang
diberikan secara bersamaan. Interaksi obat mungkin merefleksikan perubahan farmakokinetik
(peningkatnan metabolisme obat pemblokade neuromuskuler pada pasien yang mendapat
antikonvulsan secara kronis) atau farmakodinamik (penurunan kebutuhan anestetik volatil
yang disebabkan opioid). Hasil bersih dari interaksi obat bisa berupa peningkatan atau
penurunan efek salah satu atau kedua obat, menyebabkan efek yang diinginkan ataupun yang
tidak diinginkan. Interaksi obat fisikokimiawi terjadi bila dua obat yang tidak kompatibel
dicampur dalam larutan yang sama (presipitat garam konjugat dari asam lemah dan basa lemah
ketika pancuronium dan thiopental dicampur bersama dalam tabung intravena yang sama).
Potensi untuk interaksi obat pada periode perioperatif sangat besar mengingat banyaknya
jumlah obat dari kelas kimia yang berbeda yang mungkin digunakan sebagai bagian dari
manajemen anestesi. Misalnya, ”balanced anesthetic” (anestesi seimbang) tipikal mungkin
meliputi benzodiazepine, hipnotik-sedatif, barbiturat, opioid, obat-obat pemblokade
neuromuskuler, antikolinergik, antikolinesterase, simpatomimetik, obat-obat pemblokade
sistem saraf simpatis, dan antibiotik.
Sebuah contoh interaksi obat yang menguntungkan adalah pemberian propanolol dan
hydralazine secara bersamaan untuk mencegah kompensasi peningkatan detak jantung yang
akan mengimbangi efek penurunan tekanan darah oleh hydralazine. Interaksi antarobat sering
digunakan untuk melawan efek obat agonis, sebagaimana direfleksikan dengan penggunaan
naloxon untuk antagonis opioid. Interaksi obat yang merugikan secara tipikal bermanifes
sebagai efikasi terapetik yang terganggu dan/atau peningkatan toksisitas. Dalam hal ini, satu
obat dapat berinteraksi dengan obat lainnya untuk (a) mengganggu absorbsi, (b) berkompetisi
1
dengan tempat pengikatan protein plasma yang sama, (c) mengubah metabolisme dengan
induksi atau inhibisi enzim, atau (d) mengubah kecepatan ekskresi ginjal.
Reseptor Transmembran
Tipe ketiga dari protein transmembran yang mudah tereksitasi adalah reseptor
transmembran yang berinteraksi secara selektif dengan komponen ekstraseluler (obat, hormon,
neurotransmiter) untuk menginisasi kaskade perubahan biokimiawi yang mengarah pada
respon farmakologis atau fisiologis . Karena reseptor transmembran terletak di dalam membran
sel lipid, mereka dapat mengikat ligan hidrofilik yang terletak di ruangan ekstraseluler. Dengan
demikian, banyak obat larut air tidak harus melintasi lipid bilayer untuk berinteraksi dengan
sel. Akan tetapi proses ini mengharuskan suatu mekanisme dimana reseptor transmembran
memberitahu sel yang reseptornya ditempati ligan seperti obat eksogen. Proses ini sering
dirujuk sebagai transduksi sinyal, yang mana sering melibatkan protein nukleotid guanin
(protein G) (lihat gambar 1-10) (Schwinn, 1993).
1
Keluarga Reseptor
Reseptor dikelompokkan dan dikategorikan sebagai anggota keluarga reseptor membran.
Anestetik komplit yang cukup untuk pembedahan tidak dapat dihasilkan oleh aktivitas
obat agonis GABAA seperti benzodiazepin, barbiturat, propofol, atau etomidate. Demikian juga,
bahkan dosis besar opioid dan agonis alfa 2 menginduksi keadaan anestesi inkomplit yang
biasanya membutuhkan obat hipnotik tambahan. Banyak opioid dan agonis alfa 2 yang beraksi
dengan menghambat kanal ion kalsium presinaps yang bertanggungjawab untuk mengaktivasi
pelepasan transmiter (lihat gambar 1-11) (Lynch dan Pancrazio, 1994). Aktivasi kanal GABA A
dan penurunan influks kalsium dihasilkan secara independen oleh obat hipnotik dan opioid,
secara berturu-turut, mungkin merupakan respon tunggal yang dihasilkan oleh anestesi volatil.
Reseptor Glisin
Reseptor glisin erat kaitannya dengan reseptor GABA A. Reseptor glisin merupakan
reseptor inhibitori yang permeabel secara selektif terhadap anion dan memediasi transmisi
1
sinaps inhibitori, terutama di medula spinalis. Tidak seperti reseptor GABA A yang membentuk
reseptor fungsional hanya sebagai heteromer, reseptor glisin merupakan homonomer dari
subunit alfa, dari mana beberapa subtipe berada. Seperti reseptor GABA A, aktivitas reseptor
glisin diperkuat oleh anestetik volatil (Mihic et.al., 1997).
Reseptor Glutamat
Glutamat merupakan neurotransmiter eksitatori dan reseptornya secara luas diekspesikan
di berbagai tipe sel glia. Karena asam glutamat tidak melintasi sawar darah otak, asam glutamat
harus berasal dari metabolisme lokal. Glutamat beraksi via reseptor metabotropik dan
ionotropik. Reseptor glutamat ionotropik meliputi reseptor AMPA, NMDA, dan kainate. Reseptor
AMPA memediasi transmisi eksitatori cepat pada kebanyakan sinaps di sistem saraf pusat.
Konsentrasi reseptor
Konsentrasi reseptor di bagian lemak pada sel membran adalah dinamik, bisa
meningkatkan (up-regulation) atau menurunkan (down regulation) dalam respon pada
rangsangan spesifik. Contoh banyaknya ligand endogen pada pasien dengan
1
pheochromocytoma, menghasilkan penurunan dalam konsentrasi pada reseptor beta-
adrenergik dalam sel membran dalam usaha untuk menurunkan intensitas rangsangan. Begitu
juga terapi berkepanjangan pada pasien asma dengan beta-agonist akan menghasilkan
trachyphylaxis berhubungan dengan penurunan konsentrasi reseptor. Sebaliknya interferensi
kronik dengan aktivitas pada reseptor yang diakibatkan oleh beta-antagonis akan
meningkatkan jumlah reseptor dalam membran sel seperti pada respon terlampau parah
( hipersensitivitas ) terjadi jika blokade (oleh beta antagonis) seketika dihentikan, seperti pada
penghentian pemberian propanolol tiba-tiba pada periode preoperative. Keadaan penyakit
menggambarkan ketidaktepatan regulasi pada konsentrasi reseptor dalam membran sel.
Contoh, antibodi melawan beta-adrenergik reseptor dapat terjadi pada pasien dengan asma,
menghasilkan aktivitas bronkokonstriktor hebat. Pasien dengan myasthenia gravis sering
memanifestasikan antibodi terhadap reseptor yang berespon pada acethylcoline.
Perubahan konsentrasi pada reseptor dalam membran sel menekankan bahwa reseptor
menentukan bahwa respon pharmacologi tidak statis tapi dinamis. Keadaan dinamis ini diatur
oleh faktor varietas exogen dan endogen yang juga mempengaruhi respon pharmacologi
terhadap obat-obat pada orang yang berbeda atau individu sama pada waktu berbeda. Jika
konsep ini dipegang dengan mantap, variabel respon pharmacologi bisa diprediksi.