Anda di halaman 1dari 11

NAMA : EMA RAHEL OHEE

NIM : 180391046
KELAS : 18-FARMASI
MATA KULIAH : KIMIA MEDISINAL
DOSEN : MICHAEL V.L TUMBOL S.Farm,

RINGKASAN MATERI!!!
BAB 9 “HUBUNGAN STRUKTUR DAN INTERAKSI OBAT-RESEPTOR”

Reseptor obat adalah suatu makromolekul jaringan sel hidup, mengandung gugus fungsional
atau atom-atom terorganisasi, reaktif secara kimia dan bersifat spesifik, dapat berinteraksi secara
reversibel dengan molekul obat yang mengandung gugus fungsional spesifik, menghasilkan respons
biologis yang spesifik pula.
Interaksi obat-reseptor terjadi melalui dua tahap, yaitu:
a. Interaksi molekul obat dengan reseptor spesifik.
Interaksi ini memerlukan afinitas.
b. Interaksi yang dapat menyebabkan perubahan konfirmasi makromolekul protein.
Interaksi obat-reseptor ini memerlukan efikasi (aktivitas intrinsik) yaitu kemampuan
obat untuk mengubah bentuk konformasi makromolekul protein sehingga dapat
menimbulkan respons biologis.
Interaksi obat-reseptor dapat membentuk kompleks obat-reseptor yang merangsang timbulnya
respons biologis, baik respons agonis maupun antagonis.
Ada beberapa teori interaksi obat-resptor, antara lain adalah teori klasik, teori pendudukan, teori
kecepatan, teori kesesuaian terimbas, teori gangguan makromolekul, teori pendudukan aktivasi,
konsep kurir kedua, serta teori mekanisme dan farmakopor sebagai dasar rancangan obat.

A. TEORI KLASIK
Crum, Brown dan Fraser (1869), mengatakan bahawa aktivitas biologis suatu senyawa
merupakan fungsi dari struktur kimianya dan tempat obat berinteraksi pada sistem biologis
mempunyai sifat yang karakteristik.
Langley (1878), dalam studi efek antagonis dari atropin dan pilokarpin, memperkenalkan
konsep reseptor yang pertama kali dan kemudian dikembangkan oleh Ehrlich.
Ehrlich (1970), memperkenalkan istilah reseptor dan membuat konsep sederhana tentang
interaksi obat-reseptor yaitu corpora non agunt nisi fixata atau obat tidak dapat menimbulkan
efek tanpa mengikat reseptor.
karakteristik atau sisi reseptor, dengan molekul asing yang sesuai atau obat, dan satu sama
lain merupakan struktur yang saling mengisi.

B. TEORI PENDUDUKAN
Clark (1926), memperkirakan bahwa satu molekul obat akan menempati satu sisi reseptor dan
obat harus diberikan dalam jumlah yang berlebih agar tetap efektif selama proses
pembentukan kompleks.
Obat (O) akan berinteraksi dengan resptor (P) membentuk kompleks obat-reseptor (OR).
(O) + (R) (OR) E
k1 : kecepatan penggabungan.
k2 : kecepatan disosiasi
E : efek biologis yang dihasilkan
Bila E sesuai dengan jumlah tempat reseptor yang diduduki maka:
E = k3 x (OR) k3 : faktor proposional (1)
Pada saat kesetimbangan , persamaan (1) dapat dituliskan sebagai berikut:
(O) (R) / (OR) = k1/k2 = kD kD : tetapan disosiasi kompleks (2)
Bila total jumlah reseptor = (Rt), maka:
(Rt) = (R) + (OR) (3)
sehingga,
KD = [ (Rt) – (OR) ] (O)/(OR) (4)
Dari persamaan (4) dapat di hitung harga:
(Rt) / (OR) = (KD)/[(O) + 1] (5)
Bila efek biologis tergantung pada jumlah reseptor yang di duduki, respons maksimal (E m) akan
diberikan bila semua reseptor di duduki oleh molekul obat.
Em = k3 x (Rt) (6)
Bila persamaan (1) dibagi dengan persamaan (6), maka
E/Em = (OR) / (Rt) (7)
Bila persamaan (5) disubtitusikan pada persamaan (7), maka
E = Em / [(KD) / (O)+1] atau
E = Em (O) / [(KD) + (O)]
Dengan memplot E terhadap (O) di dapat kurva seperti yang terlihat pada Gambar 56
Besar efek biologis yang dihasilkan secara langsung sesuai dengan jumlah reseptor spesifik
yang di duduki oleh molekul obat .Clark hanya meninjau dari segi antagonis.
Jadi respons biologis yanag terjadi setelah pengikatan obat-reseptor dapat merupakan :
1. Rangsangan aktivitas (efek agonis)
2. Pengurangan aktivitas ( efek antagonis)

Ariena (1954) dan Stephenson (1956), memodifikasi dan membagi interaksi obat-reseptor
menjadi dua tahap, yaitu :

1. Pembentukan kompleks obat-reseptor.


2. Menghasilkan respons biologis.
Setiap struktur molekul obat harus mengandung bagian yang secara bebas dapat menunjang
afinitas interaksi obat-reseptor dan mempunyai efisiensi untuk menimbulkan respons biologis
sebagai akibat pembentukan kompleks obat reseptor. Jadi, respons biologis merupakan fungsi
dari jumlah kompleks obat-reseptor.
Afinitas adalah ukuran kemampuan obat untuk mengikat reseptor. Afinitas sangat tergantung
pada struktur molekul obat dan sisi reseptor.
Efikasi (aktivitas intrinsik) adalah ukuran kemampuan obat untuk dapat memulai timbulnya
respons biologis. Efikasi merupakan karakteristik dari senyawa-senyawa agonis.
Agonis parsial adalah senyawa yang dapat memberikan respons lebih kecil dari respons agonis
dan bekerja pada sisi reseptor yang sama dengan agonis.
Dari hal-hal di atas dapat di nyatakan bahwa :
Efek biologis = Aktivitas Intrinsik x (Kompleks O-R)
Bila aktivitas intrinsik senyawa agonis = 1, aktivitas intinsik senyawa agonis parsial lebih besar.

C. TEORI KECEPATAN
Crosatto dan Huidobro ( 1956), memberikan peskulais bahwa obat hanya efisien pada saat
berinteraksi dengan reseptor.
Faton (1961), mengatakan bahwa efek biologis dari obat setara dengan kecepatan ikatan obat-
reseptor dan bukan dari jumlah reseptor yang didudukinya. Disini tipe kerja obat ditentukan
oleh kecepatan penggabungan (asosiasi) dan peruraian (disosiasi) kompleks obat-reseptor dan
bukan dari pembentukan kompleks obat-reseptor yang stabil.
Senyawa dikatakan agonis bila mempunyai kecepatan asosiasi atau sifat mengikat reseptor
besar dan disosiasi yang besar
Senyawa dikatakan antagonis bila mempunyai kecepatan asosiasi sangat besar sedang
disosiasinya sangat kecil. Disini pendudukan reseptor tidak efektif karena menghalangi asosiasi
senyawa agonis yang produktif.
Senyawa dikatakan agonis parsial bila kecepatan asosiasi dan disosiasinya tidak maksimal.

D. TEORI KESESUAIAN TERIMBAS


Menurut Koshland (1968), ikatan enzim (E) dengan substrat (S) dapat menginduksi terjadinya
perubahan konformasi struktur enzim sehingga menyebabkan orientasi gugus-gugus aktif
enzim.
(E) + (S)  Kompleks E-S  Respons biologis
Contoh : Pengikatan substrat pada enzim fosfoglukomutase dapat menginduksi perubahan
konformasi enzim yang secara hipotesis.
Perubahan konformasi ini menyebabkan asam-asam amino lisin dan metizim menjadi tertutup
dan gugus SH menjaditerbuka. Hal ini digunakan sebagai dasar untuk menjelaskan mekanisme
kerja obat pada reseptor.
Diduga bahwa enzim atau protein membran memegang peranan penting dalam mengatur
pengangkutan ion. Substrat, seperti asetilkolin, akan mengikat reseptor atau protein membran
dan mengubah kekuatan normal yang menstabilkan struktur protein, terjadi penataulangan
struktur membran sehingga sifat pengaturan ion berubah.
Bila perubahan struktur protein mengarah pada konfigurasi sehingga obat terikat kurang kuat
dan mudah terdiosiasi, terjadi efek agonis.
Bila interaksi obat-protein mengakibatkan perubahan struktur protein sehingga obat terikat
cukup kuat, terjadi efek antagonis.

E. TEORI GANGGUAN MAKROMOLEKUL


Belleau (1964) memperkenalkan teori model kerja obat yang disebut teori gangguan
makromolekul. Menurut Belleau, interaksi mikromolekul obat dengan makromolekul protein
(reseptor) dapat menyebabkan terjadinya perubahan bentuk konformasi reseptor sebagai
berikut:
1. Gangguan konformasi spesifik (Specific Conformational Pertubation = SCP).
2. Gangguan konformasi tidak spesifik (Non Specific Conformational Pertubation=NSCP).
Obat agonis adalah obat yang mempunyai aktivitas intrinsik dan dapat mengubah struktur
reseptor menjadi bentuk SCP sehingga menimbulkan respons biologis.
Obat antagonis adalah obat yang tidak mempunyai aktivitas intrinsik dan dapat mengubah
struktur resptor menjadi bentuk NSCP sehingga menimbulkan efek pemblokan.
Pada teori ini ikatan hidrofob merupakan faktor penunjang yang penting pada proses
pengikatan obat-reseptor.
Belleau mengemukakan suatu hipotesis cara kerja garam alkitrimetilamonium.
R.N+(CH3)3(R=rantai alifatik dari C1-C12), pada reseptor muksarinik atau asetilkolinesterase.
Contoh adalah antihistamin, kemungkinan tidak hanya menempati daerah reseptor histamin
saja tetapi juga daerah hidrofobik tambahan dari reseptor histamin sehingga kemungkinan
dapat menghambat kerja histamin dengan mekanisme gangguan makromoleku, seperti juga
interaksi senyawa antikolinergik pada reseptor kolinergik.

F. TEORI PENDUDUKAN-AKTIVASI
Ariena dan Rodrigues de Miranda (1979), mengemukakan teori pendudukan-aktivasi dari
model dua keadaan yaitu bahwa sebelum berintraksi dengan obat, reseptor berada dalam
kesetimbangan dinamik antara dua keadaan yang berbeda fungsinya, yaitu:
1. Bentuk teraktifkan (R’) dapat menunjang efek biologis.
2. Bentuk istirahat (R) tidak dapat menunjang efek biologis.
Senyawa dikatakan agonis bila keseimbangan menuju ke bentuk yang teraktifkan (R’).
Senyawa dikatakan antagonis bila keseimbangan menuju ke bentuk istirahat (R).
Senyawa dikatan agonis parsial bila terjadi bentuk R’ dan R.
Reseptor dari banyak senyawa bioaktif endogen, seperti asetilkolin, histamin, norepinefrin,
hormon peptida dan serotonin, terikat pada protein membran yang bersifat amfifil. Senyawa
agonis biasanya bersifat sangat polar, distabilkan oleh bentuk konformasi reseptor yang relatif
polar dan akan menggeser keseimbangan menuju ke bentuk R’ yang lebih hidrofil. Senyawa
antagonis mempunyai gugus-gugus yang bersifat hidrofob, distabilkan oleh reseptor yang
bersifat hidrofob dan dalam keadaan istirahat sehingga akan menggeser keseimbangan
menuju ke bentuk R. Tempat pengikatan senyawa agonis dan antagonis tidak perlu di tunjang
oleh hubungan struktur dari masing-masing obat.

G. KONSEP KURIR KEDUA


Reseptor dari banyak hormon berhubungan erat dengan sistem adenil siklase. Sebagai contoh
katekolamin, gllukagon, hormon paratiroid, serotonin, dan histamin telah menunjukkan
pengaruhnya terhadap kadar siklik-AMP. Interaksi hormon-reseptor dapat meningkatkan atau
menurunkan kadar siklik-AMP dalam intrasel, tergantung pada rangsangan atau hambatan dari
adenil siklase. Bila rangsangan tersebut meningkatkan kadar siklik-AMP, hormon dianggap
sebagai kurir pertama (first messenger), sedang siklik-AMP sebagai kurir kedua (second
messenger).
Turunan xantin, seperti kafein dan teofilin, juga dapat menghambat secara kompeitif siklik
nukletida fosfodiesterase (PDE), suatu enzim yang mengkatalisis perubahan siklik-AMP
menjadi 5’-AMP. Pemberian turunan tersebut akan meningkatkan kadar siklik-AMP dalam
jaringan.

H. TEORI MEKANISME DAN FARMAKOFOR SEBAGAI DASAR RANCANGAN


OBAT
Teori mekanisme dan farmakofor sebagai dasar rancangan obat dapat di ilustrasikan oleh obat
antihipertensi penghambat kompetitif enzim pengubah angiotensin (Angiotensin-converting
enzyme= ACE). sebagai contoh kaptropil dan turunanya dapat menghamabt secara kompetitif
enzim pengubah angiotensin, sehingga mencegah perubahan angiotensis I menjadi
angiotensin II, senyawa yang dapat menimbulkan efek peningkatan tekanan darah.

Mekanisme kerja kaptropil sebagai antihipertensi dijelaskan secara skematis dalam


Gambar 63.
Interaksi kaptropil dengan ACE dapat berlangsung karena adanya gugus-gugus farmakofor
spesifik dan hal ini dapat digunakan untuk merancang turunan kaptorpil lain ,seperti: enalapril
dan lisinopril.
Interaksi kaptropil dan enalapril dengan reseptor ACE dapat dilihat pada Gambar 64.
Pada Gambar 64 terlihat bahwa enalapril berinteraksi lebih baik dngan reseptor ACE dibanding
kaptropil sehingga mempunyai aktivitas antihipertensi yang lebih besar. Enalapril juga
mempunyai masa kerja yang lebih panjang karena mengandung gugus-gugus yang bersifat
lebih lipofil.
BAB 10 “HUBUNGAN STRUKTUR DAN PENGEMBANGAN SENYAWA AGONIS DAN
ANTAGONIS”

A. AGONIS DAN ANTAGONIS


Antagonis obat tidak hanya penting untuk merancang obat atau dalam membuat komposisi obat
tetapi juga digunakan secara luas karena banyak aksi obat berdasarkan antagonis dengan agonis
endogen, seperti biokatalis, hormon dan neurotransmiter atau kemungkinan bekerja sebagai
antimetabolit terhadap metaboiit penting pada proses biokimia.
Contoh:
1. Kurare bekerja dengan memblok reseptor dari senyawa neurotransmiter asetilkolin pada
penghubung saral otot.
2. Organofosfat bekerja sebagai racun saraf dan insektisida dengan cara memblok enzim
asetilkolinesterase sehingga kadar asetilkolin dalam tubuh menjadi berlebihan.
3. Antihistamin bekerja dengan memblok tempat aksi histamin endogen. Pengetahuan tentang
agonis dan antagonis penting untuk diketahui karena dapat digunakan untuk :
a) merancang kombinasi obat, terutama dalam formulasi obat di industri farmasi.
b) pembuatan komposisi obat, terutama dalam peneampuran obat di apotek.
c) merancang senyawa antagonis terhadap senyawa agonis endogen, seperti metabolit-
antimetabolit, histamin-antihistamin dan neurotranamiter-antineurotransmiter.
Berdasarkan fasa kerja obat, senyawa antagonis dikelompokkan sebagai berikut:
1. Antagonis Ketersediaan Farmas
2. Antagonis Ketersediaan Biologisetik
3. Antagonis pada tingkat jaringan atau plasma dan reseptor

B. KOMBINASI OBAT
Kombinasi obat kemungkinan melibatkan campuran dua atau lebih obat dalam satu formulas,
penggunaan dua obat dalam tormulasi yang berbeda dan diminum bersama-sama, atau
penggunaan dua obat yang diminum dalam waktu yang berbeda tetapi kemudian berada
bersama-sama dalam darah. Hal-hal di atas dapat menimbulkan masulah interaksi obut,
sehingga kemungkinan terjadi peningkatan atau penurunan efek obat (bersifat antagonis).
Kombinasi obat kemungkinan juga dapat meningkatkan aktivitas obat, yaitu :
a. Efek potensiasi, dengan cara:
1. meningkatkan ketersediaan farmasetik,
2. meningkatkan ketersediaan biologis dengan proteksi terhadap proses bioinaktivasi,
3. menurunkan ekskresi obat
4. meningkatkan proses bioaktivasi.
b. Efek sinergisme, yang berdasarkan pengaruh pada fasa farmakodinamik

C. ANTAGONIS PADA FASA FARMAKOKINETIK


Antagonis pada fasa farmakokinetik pada umumnya adalah antagonis kimia atau netralisasi.
Dasar dari antagonis kimia adalah adanya interaksi antar obat pada obyek biologis sesudah
absorpsi. Antagonis kimia akan berinteraksi dengan senyawa agonis menghasillkan produk
tidak aktifsehingea jumlah agonis yang berinteraksi dengan reseptor menurun dan aktivitas
biologis obat juga menurun.
Hal tersebut digambarkan secara skematis sebagai berikut:

Agonis (A) + Reseptor (R) →Kompleks A-R → Stimulus →Efek biologis

+
Antagonis Kimia

Produk tidak aktir

D. ANTAGONIS ANTAR OBAT PADA FASA FARMAKODINAMIK


Antagonis farmakodinamik adalah antagonis yang mempengaruhi proses interaksi obat
reseptor, sehingga respons biologis obat menurun. Antagonis berperan pada proses biokimia
penting atau melakukan pemblokan pada reseptor spesifik. Interaksi dapat bersifat reversibel,
kompetitif atau ireversibe.
1. Antagonis Kompetitif
2. Antagonis Nonkompetitif
3. Kombinasi antagonis kompetitif dan nonkompetitif
4. Antagonis fungsional dan fisiologik
5. antagonis ireversibel
6. Antagonis tipe kompleks

E. HUBUNGAN STRUKTUR KIMIA SENYAWA AGONIS DAN ANTAGONIS


KOMPETITIF
Agonis dan antagonis kopetitif mempunyai afinitas terhadap reseptor yang sama dan yang
berbeda adalah aktivitas intrinsiknya Interaksi obat dengan tempat aktif atau reseptor
berdasarkan pada keseimbangan dinamik antara sifat-sifat kimia obat dan reseptor. Oleh
karena itu hubungan antara struktur kimia dan aktivitas dapat diperkirakan untuk obat-obat
yang bekerja pada reseptor yang sama.

1. Metabolit dan Antimetabolit


Pada umunya senyawa nais dan antagonis tipe ini mempunyai struktur yang mirip atau suatu
bioisosterik persial.
2. Agonis dan Pemblok Selektif
Suatu fakta bahwa apabila struktur asetilkolin dipotong sehingga tinggal molekul tetrametil
amonium, ternyata masih menunjukkan aktivitas intrinsik yang tinggi karena interaksi gugus
onium dengan reseptor kolinergik masih cukup untuk aktivasi reseptor. Hilangnya gugus onium
akan menghilangkan aktivitas kolinergik.
Hal tersebut menjadi lebih jelas apabila dibandingkan struktur obat kolinergik dan
antikolinergik, obat histamin dan antihistamin, serta senyawa a-adrenergik dengan senyawa
pemblok a-acdrenergik seperti yang terlihat pada Gambar

3. Hubungan struktur kimia agonis dan antagonis ireversibel selektif


Senyawa yang mengandung gugus pengalkilasi atau pengasilasi mempunyai afinitas yang tinggi
terhadap tempat aksi obat, dan dapat memblokadenya dengan pembentukan ikatan kovalen
melalui reaksi alkilasi atau asilasi.
Contoh: obat antikanker golongan senyawa pengalkilasi turunan nitrogen mustard, seperti
mekloretamin, siklofosfamid dan tiotepa, bekerja tidak selektis, karena dapat menghambat
pertumbuhan sel kanker maupun sel normal dalam tubuh. Prinsip pendudukan tempat aktif
secara langsung oleh senyawa pemblok ireversibel dapat digunakan untuk mendapatkan
senyawa dengan derajat selektilitas tertentu. Senyawa yang mempunyai gugus pengalkilasi
atau pengasilasi dengan afinítas atau selektifitas yang tinggi terhadap tempat aksi atau
reseptor dapat digunakan sebagai antimetabolit kompetitif yang bersifat ireversibel. Gugus-
gugus selektif tersebut dapat dipandang sebagai antimetabol kompetitif yang ireversibel
terhadap enzim sasaran, atau antagonis kompetiu terhadap reseptor sasaran.
Contoh, senyawa pemblok enzim asetilkolin esterase ireversibel, seperti benzililkolin mustard
Senyawa pemblok antikolinergik ireversibel di atas didapat dengan memasukkan gugus
nitrogen mustar reaktif pada senyawa pemblok antikolinergik reversibel (benzililkolin).
Benzililkolin mustar dapat berinteraksi dengan reseptor asetillkolin, melalui reaksi alkilasi,
membentuk ikatan kovalen yang bersifat ireversibel sehinga masa kerja obat menjadi lebih
panjang.

Anda mungkin juga menyukai