SECARA FARMAKODINAMIKA 3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Interaksi obat adalah perubahan efek suatu obat akibat pemakaian obat lain (interaksi
obat-obat) atau oleh makanan, obat tradisional dan senyawa kimia lain. Interaksi obat yang
signifikan dapat terjadi jika dua atau lebih obat digunakan bersama-sama. Interaksi obat dan efek
samping obat perlu mendapat perhatian. Sebuah studi di Amerika menunjukkan bahwa setiap
tahun hampir 100.000 orang harus masuk rumah sakit atau harus tinggal di rumah sakit lebih
lama dari pada seharusnya, bahkan hingga terjadi kasus kematian karena interaksi dan/atau efek
samping obat. Pasien yang dirawat di rumah sakit sering mendapat terapi dengan polifarmasi (610 macam obat) karena sebagai subjek untuk lebih dari satu dokter, sehingga sangat mungkin
terjadi interaksi obat terutama yang dipengaruhi tingkat keparahan penyakit atau usia.
Interaksi obat dianggap penting secara klinik bila berakibat meningkatkan toksisitas dan
menurunkan efektivitas obat yang berinteraksi. Interaksi obat berdasarkan mekanismenya
dibedakan menjadi tiga macam yaitu inkompatibilitas, interaksi farmakokinetika, dan interaksi
farmakodinamik . Berdasarkan level kejadiannya, interaksi obat terdiri dari established (sangat
mantap terjadi), probable (interaksi obat bisa terjadi), suspected (interaksi obat diduga terjadi),
possible (interaksi obat mungkin terjadi, belum pasti terjadi), serta unlikely (interaksi obat tidak
terjadi). Sedangkan berdasarkan keparahannya, interaksi obat dapat diklasifiksikan menjadi tiga
yaitu mayor (dapat menyebabkan kematian), moderat (sedang), dan minor .
Fase farmakodinamik sendiri yang dipelajari adalah efek obat dalam tubuh atau
mempelajari pengaruh obat terhadap fisiologis tubuh. Kebanyakan obat pada tubuh bekerja
melalui salah satu dari proses interaksi obat dengan reseptor, interaksi obat dengan enzim, dan
kerja obat non spesifik.
1
BAB II
PEMBAHASAN
outcome
klinis
pasien.
Sebuah
interaksi
obat
terjadi
ketika
farmakokinetika atau farmakodinamika obat dalam tubuh diubah oleh kehadiran satu atau
lebih zat yang berinteraksi. Dua atau lebih obat yang diberikan pada waktu yang sama
dapat berubah efeknya secara tidak langsung atau dapat berinteraksi. Interaksi bisa
bersifat potensiasi atau antagonis efek satu obat oleh obat lainnya, atau adakalanya
beberapa efek lainnya. Suatu interaksi terjadi ketika efek suatu obat diubah oleh
kehadiran obat lain, obat herbal, makanan, minuman atau agen kimia lainnya dalam
lingkungannya. Definisi yang lebih relevan kepada pasien adalah ketika obat bersaing
satu dengan yang lainnya, atau apa yang terjadi ketika obat hadir bersama satu dengan
yang lainnya. Interaksi obat dianggap penting secara klinik bila berakibat meningkatkan
toksisitas dan atau mengurangi efektivitas obat yang berinteraksi terutama bila
menyangkut obat dengan batas keamanan yang sempit (indeks terapi yang rendah),
misalnya glikosida jantung, antikoagulan, dan obat-obat sitostatik.
Interaksi dapat membawa dampak yang merugikan kalau terjadinya interaksi
tersebut sampai tidak dikenali sehingga tidak dapat dilakukan upaya-upaya optimalisasi.
Secara ringkas dampak negatif dari interaksi ini kemungkinan akan timbul sebagai,
- Terjadinya efek samping,
- Tidak tercapainya efek terapetik yang diinginkan.
artinya
antara
dosis
toksik
dan
dosis
terapetik
tersebut
antikoagulansia: warfarin,
antikonvulsansia (antikejang): antiepilepsi,
hipoglikemika: antidiabetika oral seperti tolbutamid, klorpropamid dll,
anti-aritmia: lidokain,prokainamid dll,
glikosida jantung: digoksin,
antihipertensi,
kontrasepsi oral steroid,
antibiotika aminoglikosida,
obat-obat sitotoksik,
obat-obat susunan saraf pusat, dan lain-lain.
B. 2. Obat presipitan
Obat-obat presipitan adalah obat yang dapat mengubah aksi/efek obat lain. Untuk dapat
mempengaruhi aksi/efek obat lain, maka obat presipitan umumnya adalah obat-obat
dengan ciri sebagai berikut:
1) Obat-obat dengan ikatan protein yang kuat, oleh karena dengan demikian akan
menggusur ikatan-ikatan yang protein obat lain yang lebih lemah. Obat-obat yang
tergusur ini (displaced) kemudian kadar bebasnya dalam darah akan meningkat
6
Jangan memberikan suntikan campuran obat kecuali kalau yakin betul bahwa
dan lain-lain)
Sebelum memakai larutan untuk pemberian infus, intravenosa atau yang lain,
perhatikan bahwa tidak ada perubahan warna, kekeruhan, presipitasi dan lain-
C.2.2.
Interaksi distribusi
Interaksi dalam proses distribusi terjadi terutama bila obat-obat
dengan ikatan protein yang lebih kuat menggusur obat-obat lain dengan
ikatan protein yang lebih lemah dari tempat ikatannya pada protein
plasma. Akibatnya maka kadar obat bebas yang tergusur ini akan lebih
tinggi pada darah dengan segala konsekuensinya, terutama terjadinya
peningkatan efek toksik. Sebagai contoh, misalnya meningkatnya efek
toksik dari antikoagulan warfarin atau obat-obat hipoglikemik
(tolbutamid, klorpropamid) karena pemberian bersamaan dengan
fenilbutason, sulfa atau aspirin. Hampir sama dengan interaksi ini adalah
dampak pemakaian obat-obat dengan ikatan protein yang tinggi pada
keadaan malnutrisi (hipoproteinemia). Karena kadar protein rendah,
maka obat-obat dengan ikatan protein yang tinggi akan lebih banyak
dalam keadaan bebas karena kekurangan protein untuk mengikat obat
(guanetidin,
debrisokuin),
sehingga
(pembuangan
atau
inaktivasi)
akan
diikuti
dengan
Rifampisin,
Antiepileptika: fenitoin, karbamasepin, fenobarbital.
Dari berbagai reaksi metabolisme obat, maka reaksi oksidasi
kloramfenikol
isoniazid
simetidin
propanolol
eritromisin
fenilbutason
alopurinol, dll.
C.2.4.
11
C.3.1.
Interaksi langsung
Interaksi langsung terjadi apabila dua obat atau lebih bekerja pada
tempat atau reseptor yang sama, atau bekerja pada tempat yang berbeda
tetapi dengan hasil efek akhir yang sama atau hampir sama. Interaksi dua
obat pada tempat yang sama dapat tampil sebagai antagonisme atau
sinergisme. Interaksi langsung ini dapat terbagi lebih lanjut sebagai
berikut.
12
c. Sinergisme pada tempat yang berbeda dari efek yang sama atau
hampir sama.
Obat-obat dengan efek akhir yang sama atau hampir sama, walaupun
tempat kerja atau reseptornya berlainan, kalau diberikan bersamaan akan
memberikan efek yang saling memperkuat. Misalnya,
13
pusat,
Antara berbagai obat yang punya efek yang sama terhadap susunan
C.3.2.
hemostasis.
Obat-obat yang menyebabkan perlukaan gastrointestinal seperti
aspirin, fenilbutason, indometasin, dan obat-obat antiinflamasi nonsteroid yang lain, bila diberikan pada pasien-pasien yang sedang
mendapatkan antikoagulansia seperti warfarin, maka dapat terjadi
diuretika.
Efek diuresis obat-obat diuretika tertentu seperti furosemid akan
berkurang bila diberikan bersama dengan obatobat antiinflamasi
non-steroid seperti aspirin, fenilbutason, ibuprofen, indometasin,
dll. Kemungkinan oleh karena penghambatan simtesis prostaglandin
oleh obat-obat presipitan tersebut, yang sebenarnya diperlukan
untuk menimbulkan efek diuretika furosemid.
14
15
A. Kesimpulan
Secara teoritis banyak sekali interaksi yang mungkin terjadi dengan mekanisme
yang telah diuraikan di muka. Namun demikian, tidak semuanya memberikan dampak
klinik yang penting. Dampak klinik akan sangat tergantung pada ciri-ciri obat obyek,
yakni:
-
Profil hubungan dosis (kadar) dengan respons dari obat obyek. Untuk obat-obat
dengan kurva kadar vs. respons yang curam (steep dose-response curve), di mana
perubahan sedikit kadar atau jumlah obat akan berpengaruh besar terhadap efek obat,
maka setiap perubahan kadar karena interaksi obat akan memberikan perubahan efek
atau tidak.
Kegagalan efek terapetik.
Perlu dicatat bahwa mekanisme interaksi farmakokinetik dan farmakodinamik
mekanisme
tersebut,
sehingga
untuk
ini
yang
penting
adalah
Obat yang memerlukan pengaturan dosis teliti (obat antidiabet oral, antihipertensi)
B. Saran
Tindakan berhati-hati atau kewaspadaan diperlukan untuk menghindari dampak
negatif dari interaksi obat. Untuk itu pegangan umum berikut mungkin bermanfaat,
1. Hindari semaksimal mungkin pemakaian obat gabungan (polifarmasi), kecuali jika
memang kondisi penyakityang diobati memerlukan gabungan obat dan pengobatan
gabungan tersebut sudah diterima dan terbukti secara ilmiah manfaatnya. Misalnya:
a. pengobatan tuberkulosis,
b. pengobatan infeksi berat seperti sepsis, dan lain-lain.
17
DAFTAR PUSTAKA
Ganiswarna, S., Farmakologi dan Terapi , edisi IV, Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta, 1995, 271-288 dan 800-810.
18
19