Oleh :
Fuzarisma
1102014111
Pembimbing :
dr. Ida Widayanti, Sp. Rad
Assalamu’alaikum.
Alhamdulillahi Rabbil a’lamin, Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha
Esa atas selesainya sebuah refeerat yang berjudul “Gambaran Radiologi pada Trauma Kepala”.
Penulisan refeerat ini diajukan dan disusun dalam rangka memenuhi tugas dalam menempih
kepnitraan klinik di bagian Radiologi di RSUD Dr. Drajat Prawiranegara.
Dalam penyusunan dan penulisan refeerat ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan
serta dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis dengan
senang hati menyampaikan terima kasih terutama kepada yang terhormat dr. Ida Widayanti,
Sp. Rad yang telah memberikan arahan serta bimbingan selama penyusunan refeerat ini, dan
kepada seluruh staff di bagian Radiologi RSUD Dr. Drajat Prawiranegara, serta kepada teman
kelompok yang selalu memberikan saran dan dukungan selama pembuatan refeerat ini.Semoga
Allah SWT memberikan balasan yang berlipat ganda kepada semuanya.
Penulis menyadari bahwa refeerat ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu untuk
perbaikan selanjutnya, kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu
penulis harapkan demi kesempurnaan refeerat ini.
Fuzarisma
1
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.............................................................................................................................. 2
2
BAB I
PENDAHULUAN
Trauma kepala menjadi masalah pada kesehatan masyarakat dan sosial ekonomi di
seluruh dunia. Trauma kepala adalah penyebab utama terjadinya kematian dan disabilitas
jangka panjang khususnya pada dewasa muda. Banyak pasien trauma kepala berat meninggal
sebelum sampai ke rumah sakit, hampir 90% kematian akibat trauma terkait dengan trauma
kepala. Sekitar 75% pasien trauma kepala diklasifikasikan sebagai trauma kepala ringan, 15%
trauma kepala sedang, dan 10% trauma kepala berat.
Trauma kepala didefiniskan sebagai trauma non degenerative dan non kongenital yang
terjadi akibat trauma yang mentraumai kepala yang kemungkinan berakibat gangguan kognitif,
fisik, dan psikososial baik sementara atau permanen yang berhubungan dengan berkurang atau
berubahnya derajat kesadaran. Mekanisme dari trauma kepala itu sendiri dapat berasal dari
trauma langsung ke jaringan otak, rudapaksa luar yang mengenai bagian luar kepala
(tengkorak) yang menjalar ke dalam otak, ataupun pergerakan dari jaringan otak di dalam
tengkorak. Trauma kepala berperan pada kematian akibat trauma, mengingat kepala
merupakan bagian yang rentan dan sering terlibat dalam kecelakaan. Laki-laki 2 – 3 kali lebih
sering dibandingkan wanita, terutama pada kelompok usia resiko tinggi (usia 15 – 24 tahun dan
>75 tahun). Berdasarkan studi epidemiologi, kecelakaan sepeda motor dan violence-related
injuries merupakan penyebab trauma kepala yang paling sering.
Pasien dengan trauma kepala memerlukan penegakan diagnosis sedini mungkin agar
tindakan terapi dapat segera dilakukan untuk menghasilkan prognosa yang baik. Peranan
diagnosa imajing juga diperlukan terutama pada pasien dengan tingkat resiko sedang-berat.
Tujuan utama dari pemeriksaan imajing pada pasien trauma kepala adalah untuk
mengkonfirmasi adakah trauma intrakranial yang berpotensi mengancam jiwa pasien bila tidak
segera dilakukan tindakan.
3
BAB II
TRAUMA KEPALA
Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Kalvaria khususnya di
bagian temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporal. Basis kranii berbentuk
tidak rata sehinga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan
deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu : fosa anterior, fosa media, dan fosa
posterior. Fosa anterior adalah tempat lobus frontalis, fosa media adalah tempat lobus
temporalis, dan fosa posterior adalah ruang bagian bawah batang otak dan serebelum. Kranium
terdiri dari 15 tulang.3
Gambar 1. Tulang-tulang Kranium
4
Masalah yang paling umum pada foto tengkorak polos adalah membedakan sutura
tengkorak dari alur pembuluh darah dan fraktur. Sutura utama adalah koronal, sagital, dan
lambdoid. Sebuah sutura juga berjalan dalam bentuk pelangi di atas telinga. Pada orang
dewasa, sutura berbentuk
simetris dan memiliki tepi
yang sklerotik (sangat
putih). Alur vaskular
biasanya terlihat pada
tampilan lateral dan
meluas pada sisi posterior
dan superior dari hanya di
depan telinga. Alur
vaskular tersebut
Gambar 2. Foto Polos Kepala dari Proyeksi Lateral
merupakan gambaran dari
Arteri Meningea Media, yang mana jika terjadi trauma kepala dapat menyebabkan arteri ini
pecah, sehingga dapat menyebabkan terjadinya perdarahan epidural.3
5
Gambar 3. Vaskularisasi pada Tulang Tengkorak
1.3 Meningia
Meningia merupakan selaput yang membungkus otak dan sumsum tulang belakang.
Fungsi meningia yaitu melindungi struktur saraf halus yang membawa pembuluh darah dan
cairan sekresi (cairan serebrospinal), dan memperkecil benturan atau getaran. Meningiaterdiri
atas 3 lapisan, yaitu :
6
a. Duramater (Lapisan sebelah luar)
Duramater adalah selaput keras pembungkus otak yang berasal dari jaringan ikat
tebal dan kuat, dibagian tengkorak terdiri dari selaput tulang tengkorak dan
duramater propia di bagian dalam. Duramater pada tempat tertentu mengandung
rongga yang mengalirkan darah vena dari otak, rongga ini dinamakan sinus
longitudinal superior yang terletak diantara kedua hemisfer otak.
Arachnoid adalah membran impermeabel halus yang meliputi otak dan terletak
diantara piamater di sebelah dalam dan duramater di sebelah luar. Ruang sub
arachnoid pada bagian bawah serebelum merupakan ruangan yang agak besar
disebut sistermagna.
Piamater merupakan selaput tipis yang terdapat pada permukaan jaringan otak.
Piameter berhubungan dengan arachnoid melalui struktur jaringan ikat.5
1.4 Otak
Otak merupakan suatu organ tubuh yang sangat penting karena merupakan pusat dari
semua organ tubuh, bagian dari saraf sentral yang terletak di dalam rongga tengkorak (kranium)
yang dibungkus oleh selaput otak yang kuat. Otak terdiri dari otak besar (cerebrum), otak kecil
(cerebellum), dan batang otak (Trunkus serebri). Besar otak orang dewasa kira-kira 1300 gram,
7/8 bagian berat terdiri dari otak besar.3
Gambar 5. Bagian
Utama dari Otak
7
a. Otak besar (cerebrum)
Otak besar adalah bagian terbesar dari otak dan terdiri dari dua hemispherium
cerebri yang dihubungkan oleh massa substansia alba yang disebut corpus
callosum. Setiap hemisfer terbentang dari os frontale sampai ke os occipitale, diatas
fossa cranii anterior, media, dan posterior, diatas tentorium cerebelli. Hemisfer
dipisahkan oleh sebuah celah dalam, yaitu fossa longitudinalis cerebri, tempat
menonjolnya falx cerebri.5
Otak kecil terletak dibawah otak besar. Terdiri dari dua belahan yang dihubungkan
oleh jembatan varol, yang menyampaikan rangsangan pada kedua belahan dan
menyampaikan rangsangan dari bagian lain. Fungsi otak kecil adalah untuk
mengatur keseimbangan tubuh serta mengkoordinasikan kerja otot ketika bergerak.
1. Diensefalon
Bagian batang otak paling atas terdapat diantara serebellum dengan mesensefalon,
kumpulan dari sel saraf yang terdapat dibagian depan lobus temporalis terdapat
kapsula interna dengan sudut menghadap kesamping. Diensefalon ini berperan
dalam proses vasokonstriksi (memperkecil pembuluh darah), respiratorik
(membantu proses pernafasan), mengontrol kegiatan refleks, dan membantu
pekerjaan jantung.
2. Mesensefalon
Atap dari mesensefalon terdiri dari empat bagian yang menonjol ke atas, dua di
sebelah atas disebut korpus kuadrigeminus superior dan dua disebelah bawah
8
disebut korpus kuadrigeminus inferior. Mesensefalon ini berfungsi sebagai pusat
pergerakan mata, mengangkat kelopak mata, dan memutar mata. 3
3. Pons varoli
Pons varoli merupakan bagian tengah batang otak dan arena itu memiliki jalur
lintas naik dan turun seperti otak tengah. Selain itu terdapat banyak serabut yang
berjalan menyilang menghubungkan kedua lobus cerebellum dan menghubungkan
cerebellum dengan korteks serebri.
4. Medula Oblongata
Medula oblongata merupakan bagian dari batang otak yang paling bawah yang
menghubungkan pons varoli dengan medulla spinalis. Medulla oblongata memiliki
fungsi yang sama dengan diensefalon.4
9
Doktrin Monro-Kellie
Doktrin Monro-Kellie adalah suatu konsep sederhana namun penting sekali dapat
menerangkan pengertian dinamika TIK. Konsep utamanya adalah bahwa volume total
intrakranial harus selalu konstan, karena rongga kranium pada dasarnya merupakan rongga
yang tidak mungkin membesar. Oleh karena itu segera setelah trauma kepala, suatu massa
perdarahan dapat membesar sementara tekanan intrakranial masih tetap normal. Namun bila
batas penggeseran cairan serebrospinal dan darah intravaskuler terlampaui maka tekanan
intrakranial akan mendadak meningkat dengan cepat.4
Dalam Doktrin Monro-Kellie, dijelaskan bahwa volume isi intrakranial akan selalu
konstan. Bila terdapat penambahan massa seperti adanya hematoma akan menyebabkan
tergesernya CSS dan darah vena keluar dari ruang intrakranial dengan volume yang sama, TIK
akan tetap normal. Namun bila mekanisme kompensasi ini terlampaui maka kenaikan jumlah
massa yang sedikit saja akan menyebabkan kenaikan TIK yang tajam.5
2. Trauma Kepala
2.1 Definisi
Trauma kepala atau trauma kepala adalah suatu ruda paksa (trauma) yang menimpa
struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau gangguan fungsional
jaringan otak. Menurut Brain Injury Association of America, trauma kepala adalah suatu
kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh
serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang
mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.10
10
2.2 Patofisiologi
Lesi pada kepala dapat terjadi pada jaringan luar dan dalam rongga kepala. Lesi
jaringan luar terjadi pada kulit kepala dan lesi bagian dalam terjadi pada tengkorak, pembuluh
darah tengkorak maupun otak itu sendiri. Terjadinya benturan pada kepala dapat terjadi pada
tiga jenis keadaan yaitu, kepala diam dibentur benda yang bergerak, kepala yang bergerak
membentur benda yang diam, dan kepala yang tidak dapat bergerak karena bersandar pada
benda yang lain dibentur oleh benda yang bergerak.13
Dalam mekanisme trauma kepala dapat terjadi peristiwa contre coup dan coup. Contre
coup dan coup pada trauma kepala dapat terjadi kapan saja pada orang orang yang mengalami
percepatan pergerakan kepala. Trauma kepala pada coup disebabkan hantaman otak bagian
dalam pada sisi yang terkena sedangkan contre coup pada sisi yang berlawanan dengan daerah
benturan.9
Berdasarkan patofisiologinya trauma kepala dibagi menjadi trauma kepala primer dan
trauma kepala sekunder. Trauma kepala primer merupakan trauma yang terjadi saat atau
bersamaan dengan kejadian trauma, dan ini merupakan suatu fenomena mekanik. Trauma ini
umumnya menimbulkan lesi permanen. Tidak banyak yang bisa dilakukan kecuali membuat
fungsi stabil, sehingga sel-sel yang sakit dapat menjalani proses penyembuhan yang optimal.7
Trauma kepala sekunder merupakan proses lanjutan dari trauma kepala primer dan
lebih merupakan fenomena metabolik. Pada penderita trauma kepala berat, pencegahan trauma
kepala sekunder dapat mempengaruhi tingkat kesembuhan penderita. Penyebab trauma kepala
sekunder antara lain penyebab sistemik (hipotensi, hipoksemia, hipo atau hiperkapnea,
hipertermia, dan hiponatremia) dan penyebab intrakranial (tekanan intrakranial meningkat,
hematoma, edema, pergeseran otak (brain shift), vasospasme, kejang, dan infeksi.7
2.3 Tingkat Keparahan Trauma kepala dengan Skala Koma Glasgow (SKG)
Skala koma Glasgow adalah nilai (skor) yang diberikan pada pasien trauma kepala,
gangguan kesadaran dinilai secara kuantitatif pada setiap tingkat kesadaran. Bagian-bagian
yang dinilai adalah:
11
3. Reaksi bicara (Best Verbal Response)
Pemeriksaan tingkat keparahan trauma kepala disimpulkan dalam suatu tabel Skala Koma
Glasgow (SKG). 3
Terbuka/tertutup
Basis Dengan/tanpa kebocoran LCS
Dengan/tanpa kelumpuhan N.VII
12
Intraserebral
Difus Concussion
Kontusio multipel
Hypoxic/ischemic injury Axonal
injury
Perdarahan epidural adalah perdarahan antara tulang kranial dan duramater, yang
biasanya disebabkan oleh robeknya arteri meningea media. Kelainan ini pada fase awal tidak
menunjukkan gejala atau tanda. Baru setetelah hematoma bertambah besar akan terlihat tanda
pendesakan dan peningkatan tekanan intrakranial. Penderita akan mengalami mual dan muntah
diikuti dengan penurunan kesadaran. Gejala perdarahan epidural yang klasik atau temporal
berupa kesadaran yang semakin menurun (biasanya somnolen), disertai oleh anisokoria pada
mata ke sisi dan mungkin terjadi hemiparese kontralateral.16
13
2.5.3 Perdarahan Subdural
Perdarahan subdural adalah perdarahan yang terletak diantara duramater dan arakhnoid.
Perdarahan subdural merupakan perdarahan intrakranial yang paling sering terjadi.
Karakteristik perdarahan subdural biasanya dibagi berdasarkan ukuran, lokasi dan lama
kejadian.
Secara umum perdarahan subdural akut terjadi dibawah 72 jam dan biasanya
pasien dalam keadaan koma. Gejala klinis perdarahan subdural akut dapat berupa
pusing, mual, bingung, penurunan kesadaran, sulit berbicara, henti napas dan
hilangnya kontrol atas denyut nadi dan tekanan darah.
Perdarahan subdural subakut, biasanya terjadi dari hari ketiga hingga minggu
ketiga setelah trauma.
Perdarahan subdural kronis biasanya terjadi setelah 21 hari atau lebih. 25 hingga
50 persen dari pasien yang menderita perdarahan subdural kronis tidak memiliki
riwayat trauma kepala, biasanya trauma kepala yang terjadi adalah trauma kepala
ringan. Gejala klinis dari perdarahan ini dapat berupa penurunan kesadaran, pusing,
kesulitan berjalan atau keseimbangan, disfungsi kognitif atau hilang ingatan,
perubahan kepribadian, defisit motorik, kejang, dan inkontinensia.13
14
2.5.5 Perdarahan Intraventrikular
15
BAB III
INTERPRETASI RADIOLOGIS PADA TRAUMA KEPALA
Pasien harus diperiksa secara klinis dan diagnosis dibuat berdasarkan apakah pada
pemeriksaan fisik dan riwayat perjalanan penyakit menunjukkan trauma kepala sedang hingga
berat atau trauma kepala ringan. CT, MRI, atau radiografi tengkorak tidak diperlukan untuk
pasien berisiko rendah. Risiko rendah didefinisikan sebagai mereka yang tidak menunjukkan
gejala atau hanya pusing, sakit kepala ringan, kulit kepala lecet, atau hematoma, usia lebih dari
2 tahun, dan tidak memiliki temuan yang berisiko sedang ataupun tinggi.9
Pasien dengan resiko sedang adalah mereka yang memiliki salah satu kondisi berikut:
riwayat penurunan tingkat kesadaran beberapa waktu ataupun setelah terjadi trauma kepala,
sakit kepala berat atau progresif, kejang pasca-trauma, muntah terus menerus, multipel trauma,
trauma wajah yang serius, tanda-tanda dari fraktur tengkorak basilar (hemotympanum,
“raccoon eyes”, rinorrea atau otorrea), dugaan kekerasan pada anak, gangguan perdarahan, atau
usia lebih muda dari 2 tahun.9
Pasien berisiko tinggi adalah mereka dengan salah satu kondisi berikut: temuan
neurologis fokal, pasien dengan derajat kesadaran berdasarkan GCS dengan skor 8 atau kurang,
dipastikannya terdapat penetrasi tengkorak, gangguan metabolik, keadaan postictal, atau
penurunan atau depresi tingkat kesadaran (tidak berhubungan dengan narkoba, alkohol , atau
obat-obatan depresan pada system saraf pusat lainnya). Jika terdapat trauma sedang atau berat
dan pasien dengan kondisi neurologis yang tidak stabil, CT scan harus dilakukan untuk
menyingkirkan adanya hematoma. Jika pasien dengan kondisi neurologis yang stabil, MR scan
lebih digunakan untuk mencari trauma dengan penekanan parenkim. Dalam trauma kepala
ringan (tanpa kehilangan kesadaran atau defisit neurologis), pasien dapat hanya diobservasi.
Jika sakit kepala terus-menerus terjadi setelah trauma, CT scan harus dilakukan.10
16
2. Foto Polos Kepala
Foto polos kepala dengan berbagai posisi seperti AP, lateral berguna untuk melihat adanya
fraktur tengkorak, tapi tidak menunjukkan jaringan lunak di dalam kepala. 11
Foto polos kepala sangat membantu pada pasien yang dicurigai tidak trauma akibat
kecelakaan, patah tulang tengkorak depresi, trauma kepala akibat penetrasi oleh benda asing,
8
atau trauma kepala pada anak-anak kurang dari 2 tahun,walaupun tanpa gejala neurologis.
17
darah dan arahnya tidak teratur. Fraktur diastasis lebih sering pada anak-anak dan terkihat
sebagai pelebaran sutura.11
Keterangan:
a. Fraktur kranium linier. Fraktur kranium (tanda panah) biasanya berupa garis hitam
bertepi tajam dan tidak ada tepi yang berwarna putih. Pada posisi anteroposterior (AP)
(A), tidak dapat ditentukan apakah fraktur berasal dari tulang tengkorak bagian depan
atau belakang. Pada posisi Towne (B), yaitu posisi leher menunduk dan posisi occipital
lebih tinggi, fraktur ini dapat terlihat terletak di tulang occipital.
b. Fraktur kranium depresi. Pada posisi lateral (A) menunjukkan bagian sentral dari
fraktur, yaitu gambaran stelata (tanda panah besar), dan sekitarnya terdapat garis fraktur
konsentrik (tanda panah kecil). Perhatikan gambaran sutura dan gambaran vaskular
normal pada foto tersebut. Pada posisi anteroposterior (AP) (B) menunjukkan dalamnya
fraktur depresi, walau gambaran ini terlihat lebih jelas pada pemeriksaan CT scan.12
Dengan CT scan isi kepala secara anatomis akan tampak dengan jelas. Pada trauma
kepala, fraktur, perdarahan dan edema akan tampak dengan jelas baik bentuk maupun
ukurannya. Indikasi pemeriksaan CT scan pada kasus trauma kepala adalah seperti berikut:
1. Bila secara klinis didapatkan klasifikasi trauma kepala sedang dan berat.
18
4. Adanya defisit neurologi, seperti kejang dan penurunan gangguan kesadaran.
Melalui pemeriksaan ini dapat dilihat seluruh struktur anatomis kepala, dan merupakan
alat yang paling baik untuk mengetahui, menentukan lokasi dan ukuran dari perdarahan
intrakranial.15
Fraktur pada dasar tengkorak seringkali sukar dilihat. Fraktur dasar tengkorak (basis
kranii) biasanya memerlukan pemeriksaan CT Scan dengan teknik “Jendela Tulang” (bone
window) untuk mengidentifikasi garis frakturnya. Fraktur dasar tengkorak yang melintang
kanalis karotikus dapat mentraumai arteri karotis (diseksi, pseuoaneurisma ataupun trombosis)
perlu dipertimbangkan untuk dilakukan pemeriksaan angiography cerebral. Gambaran fraktur
yang dapat dinilai pada pasien trauma kepala :
a. Fraktur kranium linier : Merupakan fraktur yang paling sering dan dapat mengakibatkan
hematoma epidural. 3 Fraktur di kranium ini paling sering pada area temporal dan
parietal.
b. Fraktur kranium depresi : Fraktur depresi sering berakibat pada kerusakan otak dan
sering terjadi pada regio frotoparietal3 biasanya berupa fraktur kominutif.
c. Fraktur basis cranii : Fraktur ini merupakan fraktur paling berat berupa fraktur linier
pada dasar tulang tengkorak. Pada pemeriksaan CT scan dapat dicurigai terdapat fraktur
basis cranii terutama bila terdapat udara dalam otak (traumatic pneumocephalus), cairan
di mastoid air cells, atau air–fluid level di sinus sfenoid.13
19
Gambar 7. CT Scan Kepala dengan Fraktur Kranium Linier dan Fraktur Kranium Depresi
Keterangan :
a. CT scan kepala dengan fraktur kranium linier (B) dan hematoma epidural (A). Pada
brain window (A), terdapat gambaran lesi berbentuk lentikular dan hiperdens di regio
frontal kiri yang khas untuk hematoma epidural (panah hitam). Bone window (B)
menunjukkan fraktur di tulang regio frontal kiri (panah putih).
b. Fraktur kranium depresi (A) pada tulang parietal kanan (tanda panah putih). Fraktur
basis cranii (B) terdapat fraktur kominutif di tulang temporal kanan (tanda panah putih),
cairan di mastoid air cells (lingkaran putih), dan udara di dalam otak (pneumocephalus)
(tanda panah terputus).16
Hematoma epidural biasanya dapat dibedakan dari hematoma subdural dengan bentuk
bikonveks dibandingkan dengan crescent-shape dari hematoma subdural. Selain itu, tidak
seperti hematoma subdural, hematoma epidural biasanya tidak melewati sutura. Hematoma
epidural sangat sulit dibedakan dengan hematoma subdural jika ukurannya kecil. Dengan
bentuk bikonveks yang khas,elips, gambaran CT scan padahematoma epidural tergantung pada
sumber perdarahan, waktu berlalu sejak trauma, dan tingkat keparahan perdarahan. Karena
dibutuhkan diagnosis yang akurat dan perawatan yang cepat, diperlukan pemeriksaan CT scan
dengan cepat dan intervensi bedah saraf.15
20
Pada Gambar 8, pasien mengalami
kecelakaan kendaraan bermotor, terlihat
peningkatan kepadatan (hiperdens) di daerah
lenticular pada CT Scan aksial non kontras di
wilayah parietalis kanan. Ini biasanya terjadi
akibat pecahnya arteri meningeal media. Sedikit
perdarahan juga terlihat di lobus frontal kiri
(perdarahan intraserebral).13
Pada fase akut, hematoma subdural muncul berbentuk bulan sabit, ketika cukup besar,
hematoma subdural menyebabkan pergeseran garis tengah. Pergeseran dari gray matter-white
matter junction merupakan tanda penting yang menunjukkan adanya lesi.17
21
Gambar 9. Gambaran Perdarahan Subdural pada CT Scan.
Jika ditemukan hematoma subdural pada CT scan, penting untuk memeriksa adanya
trauma terkait lainnya, seperti patah tulang tengkorak, kontusio intra parenkimal, dan darah
pada subaraknoid. Adanya trauma parenkim pada pasien dengan hematoma subdural adalah
faktor yang paling penting dalam memprediksi hasil klinis mereka.7
Gambar 11. Hematoma Subdural Akut, Hematoma Subdural Subakut dan Hematomi
Subdural Kronis
22
Keterangan :
a. Terdapat gambaran lesi hiperdens berbentuk bulan sabit (tanda panah putih) dengan
herniasi otak yang ditunjukkan oleh dilatasi temporal horn kontralateral (tanda
panah terputus).
b. Hematoma menjadi isodens yang ditunjukkan oleh tidak tampaknya sulkus (tanda
panah putih) dibandingkan sisi sebelahnya (tanda panah hitam).
c. Gambaran hematoma menjadi hipodens (tanda panah putih) dan masih terdapat
pergeseran fisura interhemisfer (tanda panah terputus) dan kompresi ventrikel
lateral.6
Hematoma ini lebih sering dibandingkan hematoma epidural dan biasanya tidak
terkait dengan fraktur kranium.3 Hematoma subdural biasanya disebabkan oleh
kerusakan bridging veins yang menyebabkan perdarahan di ruang antara duramater dan
araknoid. Hematoma subdural akut memberikan gambaran lesi hiperdens berbentuk
bulan sabit (konkaf) yang dapat melewati sutura dan masuk ke dalam fisura
interhemisfer namun tidak melewati garis tengah.3 Jika hematoma ini menjadi subakut
atau darah bercampur cairan LCS, gambarnya bisa menjadi lesi isodens (terlihat berupa
pergeseran sulkus). Sedangkan hematoma subdural kronis (setelah 3 minggu) memberi
gambaran hipodens.8
23
Ketika CT scan dilakukan beberapa hari atau minggu setelah perdarahan awal, temuan
akan tampak lebih halus. Gambaran putih darah dan bekuan cenderung menurun, dan tampak
sebagai abu-abu. Sebagai tambahan dalam mendeteksi SAH, CT scan berguna untuk
melokalisir sumber perdarahan. 9
Trauma pada point of impact (disebut coup injuries) dan trauma pada sisi
berlawanandari point of impact (disebut contrecoup injuries) sering terjadi setelah trauma.
Coup injuries sering disebabkan oleh robekan pada pembuluh darah kecil intraserebral.
Contrecoup injuries terjadi akibat peristiwa aselerasi-deselerasi saat otak didorong ke arah
berlawanan dan membentur bagian dalam tulang tengkorak. Mekanisme ini dapat
menyebabkan kontusio serebral. Kontusio hemoragik merupakan perdarahan terkait edema
yang biasa ditemukan di lobus frontal inferior dan lobus temporal anterior pada atau dekat
permukaan otak. Pada pemeriksaan CT scan, perdarahan intraserebral dapat berubah seiring
waktu dan dapat tidak terlihat pada CT scan awal. Berikut gambaran perdarahan intraserebral
pada CT scan:
a. Kontusio hemoragik tampak sebagai lesi hiperdens multipel, kecil dengan batas
tegas di parenkim otak.
b. Dapat dikelilingi oleh lingkaran hipodens dari edema.
c. Dapat terdapat perdarahan intraventrikel.
24
d. Efek massa merupakan hal yang sering terjadi dan menimbulkan penekanan
pada ventrikel, pergeseran ventrikel ke-3 dan septum pellucidum, sehingga
menyebabkan kerusakan pembuluh darah dan otak yang berat. Pergeseran ini
disebut sebagai herniasi.
Keterangan :
a. Kontusio serebral memberikan gambaran lesi hiperdens multipel di dalam parenkim
otak (tanda panah putih).
b. Kontusio (tanda panah hitam) biasanya dikelilingi oleh lingkaran hipodens yang berasal
dari edema (tanda panah hitam putus-putus), dan terdapat efek massa yang ditunjukkan
oleh hilangnya sisterna basalis ipsilateral (tanda panah putih putus-putus), pergeseran
garis tengah (tanda panah putih) yang menggambarkan herniasi subfalcine, dan dilatasi
dari temporal horn kontralateral (lingkaran putih). Terdapat hematoma luas pada scalp
(tanda panah kuning).17
25
3.2.6 Perdarahan Intraventrikular
MRI merupakan pilihan utama untuk mendeteksi kelainan intrakranial karena lebih
sensitif dibandingkan CT scan. Dalam trauma kepala, MRI berperan besar untuk mendeteksi
adanya diffuse axonal injury (DAI). DAI merupakan kerusakan akson menyeluruh yang
menyebabkan kehilangan kesadaran mendadak dan koma selama lebih dari 6 jam. Penyebab
DAI biasanya terkait dengan akselerasi dan deselerasi cepat dari otak. Kerusakan akson ini
dapat terjadi segera pada saat trauma (primer) atau beberapa menit sampai jam setelah kejadian
(sekunder).15
Bagian-bagian otak yang lebih rentan terhadap DAI adalah substansia alba di
parasagital lobus frontal, lobus parietal (termasuk deep white matter), corpus callosum anterior
dan posterior, ganglia basalis (termasuk kapsula interna), serebelum (termasuk middle
cerebellar peduncle), dan pons (termasuk dorsolateral rostral brainstem).15
26
Gambaran DAI pada MRI adalah sebagai berikut:
images.
b. Gambaran yang paling sering ditemukan adalah area hiperintens multipel pada
Sekuen lain pada MRI yang dapat membantu diagnosis trauma kepala adalah fluid
attenuated inversion recovery (FLAIR). FLAIR merupakan pulse sequence yang meniadakan
sinyal dari cairan serebrospinal sehingga gambaran hiperintens berkaitan dengan edema. T2
weighted-MRI khususnya FLAIRMRI lebih sensitif untuk mendeteksi lesi traumatik
dibandingkan CT scan. Gradient-recalled echo (GRE) T2-weighted imaging dan susceptibility
weighted imaging (SWI) sering digunakan untuk mengidentifikasi perdarahan yang tampak
hipointens pada modalitas ini.
Gambar 17. Gambaran MRI pada Trauma Kepala Akut dan Kronis
Penggunaan tiga sekuen sering digunakan untuk men-diagnosis trauma kepala karena
kemampuannya untuk menemukan kelainan tersembunyi; kombinasi T1, T2, FLAIR, dan SWI
telah diketahui dapat membuat segmentasi dan model tiga dimensi pada edema dan perdarahan
pada substansia alba dan nigra. Diffusion MRI juga memegang peranan besar dalam diagnosis
trauma kepala karena kemampuannya untuk mendeteksi efek trauma pada struktur substansia
27
alba. Diffusion MRI lebih sensitif mendeteksi peningkatan kandungan air dibandingkan MRI
konvensional.
Gambar 18. Gambaran SWI pada Potongan sagital (kiri) dan aksial (kanan) dari SWI
pada otak normal.
Keterangan : Area titik hitam menunjukkan pembuluh darah otak yang menyengat
karena menggunakan SWI.
Meskipun demikian, diffusion MRI tidak dapat menggantikan MRI konvensional dalam
mendeteksi perdarahan minimal. Diffusion Weighted Imaging (DWI) dapat mendeteksi trauma
akson saat pulse sequence lain gagal. DWI telah terbukti dapat mengindentifikasi shearing
injury yang tidak terlihat pada T2/FLAIR, sehingga sangat berguna dalam evaluasi trauma
kepala tertutup. Gangguan pada jalur akson substansia alba dapat dideteksi secara dini melalui
pemeriksaan Diffusion Tensor Imaging (DTI). DTI memeriksa integritas jalur substansia alba
dengan mengukur derajat dan arah difusi air.
DTI telah menjadi biomarker potensial untuk mendeteksi kelainan pada pasien trauma
kepala ringan yang dengan pemeriksaan neuroimaging lain dinyatakan normal. Skala yang
paling sering dipakai dalam DTI adalah fractional anisotropy (FA) yang mengukur orientasi
dan integritas substansia alba. Penurunan FA mengindikasikan degradasi dan diskontinuitas
akson dengan bertambahnya kandungan air di antara jalur akson atau dalam ruang perivaskular
khusunya pada corpus callosum. Diffusion spectrum imaging (DSI) merupakan teknik terbaru
yang membuat pemetaan arsitektur jaras saraf yang komplek menggunakan teknologi spektrum
tiga dimensi.10 Teknik ini sangat efektif bila dikombinasikan dengan CT/MRI untuk
28
mengetahui efek trauma kepala terhadap struktur spesifik substansia alba dan mengindetifikasi
abnormalitas yang tidak terdeteksi oleh modalitas lain.
Pada pasien trauma kepala anak, kombinasi T2, FLAIR, dan SWI memberikan hasil
yang lebih akurat terhadap tingkat keparahan kerusakan substansia alba dan deteksi dampak
lesi dibandingkan CT scan.
29
BAB IV
KESIMPULAN
Trauma kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara langsung
atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat pada gangguan fungsi neurologis, fungsi
fisik, kognitif, psikososial, yang dapat bersifat temporer ataupun permanent.
Berdasarkan Skala Koma Glasgow, trauma kepala dibagi atas trauma kepala ringan
(SKG 14-15), sedang (SKG 9-13) dan berat (SKG 3-8). Trauma kepala dapat menimbulkan
perdarahan intrakranial berupa fraktur yulang kepala, perdarahan epidural, perdarahan
subdural, perdarahan subarakhnoid, perdarahan intraventrikular, dan perdarahan intraserebral.
Pemeriksaan foto polos kepala digunakan untuk melihat pergeseran (displacement) fraktur
tulang tengkorak, tetapi tidak dapat menentukan ada tidaknya perdarahan intrakranial.
Untuk menyatakan diagnosis kasus-kasus diatas, pemeriksaan penunjang berupa
pemeriksaan radiologi sangat dibutuhkan. Pemeriksaan radiologi tersebut adalah foto polos
kepala, CT-Scan Kepala, MRI, ataupun angiografi.
Gambaran radiologi dari masing-masing kasus tersebut mempunyai ciri khas yang
dapat membantu seorang dokter membuat suatu diagnosis pada penderita trauma kepala. Salah
satu ciri yang jelas adalah pada kasus hematoma epidural yang pada pemeriksaan CT-Scan
kepala memberikan gambaran densitas darah yang homogen (hiperdens) berbentuk bikonfeks
dan sering pada daerah temporoparietal. Sedangkan pada kasus hematoma subdural
memberikan gambaran hiperdens berbentuk seperti bulan sabit.
Pemeriksaan radiologi tersebut selain membantu untuk menyatakan diagnosis, juga
dapat menuntun seorang dokter untuk penatalaksanaan berikutnya yang akan dilakukan
terhadap pasien trauma kepala.
30
DAFTAR PUSTAKA
1. American College of Surgeons. Advance Trauma Life Support For Doctor. 7th ed.
2004. USA: First Impression.
3. Snell RS. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi ke -6. 2006.Jakarta:
EGC.
7. Bob R, Andrew IR, David KM. Changing patterns in the epidemiology of traumatic
brain injury. E-Jnl Nature Reviews Neurology [Internet]. 2018 [cited 2019 Jan 1];
9:231-6. Available from:
http://www.nature.com/nrneurol/journal/v9/n4/full/nrneurol.2013.22.html.
8. American College of Surgeons Commite On Trauma. ATLS. 9th ed. Chicago; 2017(6)
.p. 149-68.
10. Fred AM. Essentials of radiology. 3nd ed. Philadelphia: Saunders; 2015.
11. Pawan M. Diffuse axonal injury: Pathological and clinical aspects. E-Jnl Forensic
Research & Criminology International Journal [Internet]. 2017 [cited 2019 Jan 1]; 1(4):
00026. Available from: http://medcraveonline.com/FRCIJ/FRCIJ-01-00026.php.
12. Tibor H, Safa AS. The significance of diffuse axonal injury: How to diagnose it and
what does it tell us? E-Jnl Advances in Clinical Neuroscience & Rehabilitation
[Internet]. 2008 [cited 2019 Jan 2];8(2):16-8. Available from:
http://www.acnr.co.uk/may_june_08/ACNRMJ08_axonal.pdf.
31
13. Sanjith S. Traumatic axonal injury in mild to moderate head injury — an illustrated
review. E-Jnl The Indian Journal of Neurotrauma [Internet]. 2018 [cited 2019 Jan 1];
8(2):71-5. Available from:
http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0973050811800031.
14. Cecilia VM, Robin AH, Maryse L, Liying Z, Katherine HT. Mild traumatic brain
injury: Neuroimaging of sports-related concussion. E-Jnl Neuropsychiatry Clin
Neurosci [Internet]. 2015 [cited 2019 Jan 1];17(3):297-304. Available from:
http://neuro.psychiatryonline.org/doi/abs/10.1176/jnp.17.3.297.
15. Yuta A, Ryota I, Masataka G, Naoki Y, Hiroshi S. Diffusion tensor imaging studies of
mild traumatic brain injury: A meta-analysis. E-Jnl J Neurol Neurosurg Psychiatry
[Internet]. 2018 [cited 2019 Jan 1]; 83(9):870-6. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22797288.
16. Andrei I, Bo Wa, Stephen RA, Marcel W, Danielle FP, Guido G, et al. Neuroimaging
of structural pathology and connectomics in traumatic brain injury: Toward
personalized outcome prediction. E-Jnl NeuroImage: Clinical [Internet]. 2016 [cited
2019 Jan 1]; 1:1-17. Available from: http://www.sciencedirect.com/science/
article/pii/S2213158212000034?np=y
17. ShentonME,HamodaHM,SchneidermanJS,BouixS,PasternakO,RathiY,etal.Areviewof
magneticresonanceimaginganddiffusiontensorimagingfindings in mild traumatic brain
injury. E-Jnl Brain Imaging Behav [Internet]. 2016 [cited 2019 Jan 1];6(2):137-92.
Available from: https://www.youtube.com/ watch?v=Que597XbMK0.
32