Anda di halaman 1dari 33

Gambaran Radiologi Trauma Kepala

Oleh :
Fuzarisma
1102014111

Pembimbing :
dr. Ida Widayanti, Sp. Rad

TUGAS KEPANITERAAN KLINIK ILMU RADIOLOGI


RSUD dr. Drajat Prawiranegara
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
JANUARI 2019
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum.

Alhamdulillahi Rabbil a’lamin, Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha
Esa atas selesainya sebuah refeerat yang berjudul “Gambaran Radiologi pada Trauma Kepala”.
Penulisan refeerat ini diajukan dan disusun dalam rangka memenuhi tugas dalam menempih
kepnitraan klinik di bagian Radiologi di RSUD Dr. Drajat Prawiranegara.
Dalam penyusunan dan penulisan refeerat ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan
serta dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis dengan
senang hati menyampaikan terima kasih terutama kepada yang terhormat dr. Ida Widayanti,
Sp. Rad yang telah memberikan arahan serta bimbingan selama penyusunan refeerat ini, dan
kepada seluruh staff di bagian Radiologi RSUD Dr. Drajat Prawiranegara, serta kepada teman
kelompok yang selalu memberikan saran dan dukungan selama pembuatan refeerat ini.Semoga
Allah SWT memberikan balasan yang berlipat ganda kepada semuanya.
Penulis menyadari bahwa refeerat ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu untuk
perbaikan selanjutnya, kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu
penulis harapkan demi kesempurnaan refeerat ini.

Serang, 6 Januari 2019

Fuzarisma

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................... 1

DAFTAR ISI.............................................................................................................................. 2

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................................... 3

BAB II TRAUMA KEPALA ................................................................................................... 4


1. Anatomi dan Fisiologi Kepala ....................................................................................... 4
1.1 Kulit Kepala ........................................................................................................... 4
1.2 Tulang Tengkorak .................................................................................................. 4
1.3 Meningia ................................................................................................................ 6
1.4 Otak ........................................................................................................................ 7
1.5 Cairan Serebrospinal .............................................................................................. 9
1.6 Tekanan Intra Kranial (TIK) .................................................................................. 9
2. Trauma Kepala ............................................................................................................. 10
2.1 Definisi ................................................................................................................. 10
2.2 Patofisiologi ......................................................................................................... 11
2.3 Tingkat Keparahan Trauma kepala dengan Skala Koma Glasgow (SKG) .......... 11
2.4 Fraktur Tulang Kepala ......................................................................................... 13
2.5 Perdarahan Intrakranial ........................................................................................ 13

BAB III INTERPRETASI RADIOLOGIS PADA TRAUMA KEPALA ............................... 16


1. Indikasi Pemeriksaan Radiologis ................................................................................. 16
2. Foto Polos Kepala ........................................................................................................ 17
2.1 Fraktur pada Tulang Tengkorak................................................................................. 17
3. CT scan (Computerized Tomography, CT) Kepala ......................................................... 18
3.1 Indikasi CT scan pada Trauma Kepala ................................................................ 18
3.2 Interpretasi Gambaran CT Scan pada Trauma Kepala ........................................ 19
4. Magnetic Resonance Imaging (MRI)........................................................................... 26

BAB IV KESIMPULAN ......................................................................................................... 30

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 31

2
BAB I
PENDAHULUAN

Trauma kepala menjadi masalah pada kesehatan masyarakat dan sosial ekonomi di
seluruh dunia. Trauma kepala adalah penyebab utama terjadinya kematian dan disabilitas
jangka panjang khususnya pada dewasa muda. Banyak pasien trauma kepala berat meninggal
sebelum sampai ke rumah sakit, hampir 90% kematian akibat trauma terkait dengan trauma
kepala. Sekitar 75% pasien trauma kepala diklasifikasikan sebagai trauma kepala ringan, 15%
trauma kepala sedang, dan 10% trauma kepala berat.

Trauma kepala didefiniskan sebagai trauma non degenerative dan non kongenital yang
terjadi akibat trauma yang mentraumai kepala yang kemungkinan berakibat gangguan kognitif,
fisik, dan psikososial baik sementara atau permanen yang berhubungan dengan berkurang atau
berubahnya derajat kesadaran. Mekanisme dari trauma kepala itu sendiri dapat berasal dari
trauma langsung ke jaringan otak, rudapaksa luar yang mengenai bagian luar kepala
(tengkorak) yang menjalar ke dalam otak, ataupun pergerakan dari jaringan otak di dalam
tengkorak. Trauma kepala berperan pada kematian akibat trauma, mengingat kepala
merupakan bagian yang rentan dan sering terlibat dalam kecelakaan. Laki-laki 2 – 3 kali lebih
sering dibandingkan wanita, terutama pada kelompok usia resiko tinggi (usia 15 – 24 tahun dan
>75 tahun). Berdasarkan studi epidemiologi, kecelakaan sepeda motor dan violence-related
injuries merupakan penyebab trauma kepala yang paling sering.

Pasien dengan trauma kepala memerlukan penegakan diagnosis sedini mungkin agar
tindakan terapi dapat segera dilakukan untuk menghasilkan prognosa yang baik. Peranan
diagnosa imajing juga diperlukan terutama pada pasien dengan tingkat resiko sedang-berat.
Tujuan utama dari pemeriksaan imajing pada pasien trauma kepala adalah untuk
mengkonfirmasi adakah trauma intrakranial yang berpotensi mengancam jiwa pasien bila tidak
segera dilakukan tindakan.

Imajing Computed Tomography (CT) merupakan pemeriksaan pilihan utama untuk


diagnosis trauma kepala akut dengan tujuan untuk menentukan apakah terdapat lesi yang
mengancam jiwa. Magnetic Resonance Imaging (MRI) lebih sensitif dalam mendeteksi
kelainan intrakranial dibandingkan CT scan khususnya untuk trauma kepala ringan.
Pemeriksaan radiologi konvensional tidak memiliki peran yang signifikan dalam mendiagnosis
kelainan intrakranial.

3
BAB II
TRAUMA KEPALA

1. Anatomi dan Fisiologi Kepala


1.1 Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut sebagai SCALP yaitu :
a. Skin atau kulit
b. Connective Tissue atau jaringan penyambung
c. Aponeurosis atau galea aponeurotika
d. Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar
e. Perikranium
Jaringan penunjang longgar memisahkan galea aponeurotika dari perikranium dan
merupakan tempat tertimbunnya darah (hematoma subgaleal). Kulit kepala memiliki
banyak pembuluh darah sehingga bila terjadi perdarahan akibat laserasi kulit kepala
akan menyebabkan banyak kehilangan darah, terutama pada bayi dan anak-anak.2

1.2 Tulang Tengkorak

Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Kalvaria khususnya di
bagian temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporal. Basis kranii berbentuk
tidak rata sehinga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan
deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu : fosa anterior, fosa media, dan fosa
posterior. Fosa anterior adalah tempat lobus frontalis, fosa media adalah tempat lobus
temporalis, dan fosa posterior adalah ruang bagian bawah batang otak dan serebelum. Kranium
terdiri dari 15 tulang.3
Gambar 1. Tulang-tulang Kranium

4
Masalah yang paling umum pada foto tengkorak polos adalah membedakan sutura
tengkorak dari alur pembuluh darah dan fraktur. Sutura utama adalah koronal, sagital, dan
lambdoid. Sebuah sutura juga berjalan dalam bentuk pelangi di atas telinga. Pada orang
dewasa, sutura berbentuk
simetris dan memiliki tepi
yang sklerotik (sangat
putih). Alur vaskular
biasanya terlihat pada
tampilan lateral dan
meluas pada sisi posterior
dan superior dari hanya di
depan telinga. Alur
vaskular tersebut
Gambar 2. Foto Polos Kepala dari Proyeksi Lateral
merupakan gambaran dari
Arteri Meningea Media, yang mana jika terjadi trauma kepala dapat menyebabkan arteri ini
pecah, sehingga dapat menyebabkan terjadinya perdarahan epidural.3

Gambar 3. Skematik Foto Polos Kepala


Proyeksi Lateral (A) dan AP (B)

5
Gambar 3. Vaskularisasi pada Tulang Tengkorak

1.3 Meningia

Gambar 4. Potongan Melintang Tulang Tengkorak dan Meningens

Meningia merupakan selaput yang membungkus otak dan sumsum tulang belakang.
Fungsi meningia yaitu melindungi struktur saraf halus yang membawa pembuluh darah dan
cairan sekresi (cairan serebrospinal), dan memperkecil benturan atau getaran. Meningiaterdiri
atas 3 lapisan, yaitu :

6
a. Duramater (Lapisan sebelah luar)

Duramater adalah selaput keras pembungkus otak yang berasal dari jaringan ikat
tebal dan kuat, dibagian tengkorak terdiri dari selaput tulang tengkorak dan
duramater propia di bagian dalam. Duramater pada tempat tertentu mengandung
rongga yang mengalirkan darah vena dari otak, rongga ini dinamakan sinus
longitudinal superior yang terletak diantara kedua hemisfer otak.

b. Arachnoid (Lapisan tengah)

Arachnoid adalah membran impermeabel halus yang meliputi otak dan terletak
diantara piamater di sebelah dalam dan duramater di sebelah luar. Ruang sub
arachnoid pada bagian bawah serebelum merupakan ruangan yang agak besar
disebut sistermagna.

c. Piamater (Lapisan sebelah dalam)

Piamater merupakan selaput tipis yang terdapat pada permukaan jaringan otak.
Piameter berhubungan dengan arachnoid melalui struktur jaringan ikat.5

1.4 Otak
Otak merupakan suatu organ tubuh yang sangat penting karena merupakan pusat dari
semua organ tubuh, bagian dari saraf sentral yang terletak di dalam rongga tengkorak (kranium)
yang dibungkus oleh selaput otak yang kuat. Otak terdiri dari otak besar (cerebrum), otak kecil
(cerebellum), dan batang otak (Trunkus serebri). Besar otak orang dewasa kira-kira 1300 gram,
7/8 bagian berat terdiri dari otak besar.3

Gambar 5. Bagian
Utama dari Otak

7
a. Otak besar (cerebrum)

Otak besar adalah bagian terbesar dari otak dan terdiri dari dua hemispherium
cerebri yang dihubungkan oleh massa substansia alba yang disebut corpus
callosum. Setiap hemisfer terbentang dari os frontale sampai ke os occipitale, diatas
fossa cranii anterior, media, dan posterior, diatas tentorium cerebelli. Hemisfer
dipisahkan oleh sebuah celah dalam, yaitu fossa longitudinalis cerebri, tempat
menonjolnya falx cerebri.5

Otak mempunyai 2 permukaan, permukaan atas dan permukaan bawah. Kedua


lapisan ini dilapisi oleh lapisan kelabu (substansia grisea) yaitu pada bagian korteks
serebral dan substansia alba yang terdapat pada bagian dalam yang mengandung
serabut saraf. Fungsi otak besar yaitu sebagai pusat berpikir (kepandaian),
kecerdasan dan kehendak. Selain itu otak besar juga mengendalikan semua kegiatan
yang disadari seperti bergerak, mendengar, melihat, berbicara, berpikir dan lain
sebagainya.6

b. Otak kecil (cerebellum)

Otak kecil terletak dibawah otak besar. Terdiri dari dua belahan yang dihubungkan
oleh jembatan varol, yang menyampaikan rangsangan pada kedua belahan dan
menyampaikan rangsangan dari bagian lain. Fungsi otak kecil adalah untuk
mengatur keseimbangan tubuh serta mengkoordinasikan kerja otot ketika bergerak.

c. Batang Otak (Trunkus serebri)

Batang otak terdiri dari :

1. Diensefalon

Bagian batang otak paling atas terdapat diantara serebellum dengan mesensefalon,
kumpulan dari sel saraf yang terdapat dibagian depan lobus temporalis terdapat
kapsula interna dengan sudut menghadap kesamping. Diensefalon ini berperan
dalam proses vasokonstriksi (memperkecil pembuluh darah), respiratorik
(membantu proses pernafasan), mengontrol kegiatan refleks, dan membantu
pekerjaan jantung.

2. Mesensefalon

Atap dari mesensefalon terdiri dari empat bagian yang menonjol ke atas, dua di
sebelah atas disebut korpus kuadrigeminus superior dan dua disebelah bawah

8
disebut korpus kuadrigeminus inferior. Mesensefalon ini berfungsi sebagai pusat
pergerakan mata, mengangkat kelopak mata, dan memutar mata. 3

3. Pons varoli

Pons varoli merupakan bagian tengah batang otak dan arena itu memiliki jalur
lintas naik dan turun seperti otak tengah. Selain itu terdapat banyak serabut yang
berjalan menyilang menghubungkan kedua lobus cerebellum dan menghubungkan
cerebellum dengan korteks serebri.

4. Medula Oblongata

Medula oblongata merupakan bagian dari batang otak yang paling bawah yang
menghubungkan pons varoli dengan medulla spinalis. Medulla oblongata memiliki
fungsi yang sama dengan diensefalon.4

1.5 Cairan Serebrospinal


Cairan serebrospinal adalah hasil sekresi plexus khoroid. Cairan ini bersifat alkali,
bening mirip plasma dengan tekanannya 60-140 mmH2O. Sirkulasi cairan serebrospinal yaitu
cairan ini disalurkan oleh plexus khoroid ke dalam ventrikel-ventrikel yang ada di dalam otak.
Cairan itu masuk ke dalam kanalis sentralis sumsum tulang belakang dan juga ke dalam ruang
subaraknoid melalui celah-celah yang terdapat pada ventrikel keempat. Setelah itu cairan ini
dapat melintasi ruangan di atas seluruh permukaan otak dan sumsum tulang belakang hingga
akhirnya kembali ke sirkulasi vena melalui granulasi araknoid pada sinus sagitalis superior.
Oleh karena susunan ini maka bagian saraf otak dan sumsum tulang belakang yang sangat halus
terletak diantara dua lapisan cairan. Dengan adanya kedua ‘bantalan air’ ini maka sistem
persarafan terlindungi dengan baik. Cairan serebrospinal ini berfungsi sebagai buffer,
melindungi otak dan sumsum tulang belakang dan menghantarkan makanan ke jaringan sistem
persarafan pusat.3

1.6 Tekanan Intra Kranial (TIK)


Berbagai proses patologis yang mengenai otak dapat mengakibatkan peningkatan
tekanan intrakranial yang selanjutnya akan mengganggu perfusi otak dan akan memacu
terjadinya iskemia. Tekanan intrakranial normal pada saat istirahat adalah 10 mmHg. Tekanan
intrakranial yang lebih dari 20 mmHg khususnya bila berkepanjangan dan sulit diturunkan akan
menyebabkan hasil yang buruk kepada penderita

9
Doktrin Monro-Kellie

Doktrin Monro-Kellie adalah suatu konsep sederhana namun penting sekali dapat
menerangkan pengertian dinamika TIK. Konsep utamanya adalah bahwa volume total
intrakranial harus selalu konstan, karena rongga kranium pada dasarnya merupakan rongga
yang tidak mungkin membesar. Oleh karena itu segera setelah trauma kepala, suatu massa
perdarahan dapat membesar sementara tekanan intrakranial masih tetap normal. Namun bila
batas penggeseran cairan serebrospinal dan darah intravaskuler terlampaui maka tekanan
intrakranial akan mendadak meningkat dengan cepat.4

Doktrin Monro-Kellie(kompensasi intrakranial terhadap massa yang berkembang):

Votak + VCSS + Vdarah + Vmassa = Konstan

Dalam Doktrin Monro-Kellie, dijelaskan bahwa volume isi intrakranial akan selalu
konstan. Bila terdapat penambahan massa seperti adanya hematoma akan menyebabkan
tergesernya CSS dan darah vena keluar dari ruang intrakranial dengan volume yang sama, TIK
akan tetap normal. Namun bila mekanisme kompensasi ini terlampaui maka kenaikan jumlah
massa yang sedikit saja akan menyebabkan kenaikan TIK yang tajam.5

Kurva Volume-Tekanan menjelaskan bahwa isi intrakranial dapat mengkompenasi


sejumlah massa baru intrakranial, seperti perdarahan subdural atau epidural sampai pada titik
tertentu. Bila volume masa perdarahan ini telah mencapai 100-150 ml, akan terjadi peningkatan
tekanan intrakranial yang sangat cepat dan akan menyebabkan penghentian aliran otak.3

2. Trauma Kepala

2.1 Definisi
Trauma kepala atau trauma kepala adalah suatu ruda paksa (trauma) yang menimpa
struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau gangguan fungsional
jaringan otak. Menurut Brain Injury Association of America, trauma kepala adalah suatu
kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh
serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang
mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.10

10
2.2 Patofisiologi
Lesi pada kepala dapat terjadi pada jaringan luar dan dalam rongga kepala. Lesi
jaringan luar terjadi pada kulit kepala dan lesi bagian dalam terjadi pada tengkorak, pembuluh
darah tengkorak maupun otak itu sendiri. Terjadinya benturan pada kepala dapat terjadi pada
tiga jenis keadaan yaitu, kepala diam dibentur benda yang bergerak, kepala yang bergerak
membentur benda yang diam, dan kepala yang tidak dapat bergerak karena bersandar pada
benda yang lain dibentur oleh benda yang bergerak.13

Dalam mekanisme trauma kepala dapat terjadi peristiwa contre coup dan coup. Contre
coup dan coup pada trauma kepala dapat terjadi kapan saja pada orang orang yang mengalami
percepatan pergerakan kepala. Trauma kepala pada coup disebabkan hantaman otak bagian
dalam pada sisi yang terkena sedangkan contre coup pada sisi yang berlawanan dengan daerah
benturan.9

Berdasarkan patofisiologinya trauma kepala dibagi menjadi trauma kepala primer dan
trauma kepala sekunder. Trauma kepala primer merupakan trauma yang terjadi saat atau
bersamaan dengan kejadian trauma, dan ini merupakan suatu fenomena mekanik. Trauma ini
umumnya menimbulkan lesi permanen. Tidak banyak yang bisa dilakukan kecuali membuat
fungsi stabil, sehingga sel-sel yang sakit dapat menjalani proses penyembuhan yang optimal.7

Trauma kepala sekunder merupakan proses lanjutan dari trauma kepala primer dan
lebih merupakan fenomena metabolik. Pada penderita trauma kepala berat, pencegahan trauma
kepala sekunder dapat mempengaruhi tingkat kesembuhan penderita. Penyebab trauma kepala
sekunder antara lain penyebab sistemik (hipotensi, hipoksemia, hipo atau hiperkapnea,
hipertermia, dan hiponatremia) dan penyebab intrakranial (tekanan intrakranial meningkat,
hematoma, edema, pergeseran otak (brain shift), vasospasme, kejang, dan infeksi.7

2.3 Tingkat Keparahan Trauma kepala dengan Skala Koma Glasgow (SKG)

Skala koma Glasgow adalah nilai (skor) yang diberikan pada pasien trauma kepala,
gangguan kesadaran dinilai secara kuantitatif pada setiap tingkat kesadaran. Bagian-bagian
yang dinilai adalah:

1. Proses membuka mata (Eye Opening)

2. Reaksi gerak motorik ekstrimitas (Best Motor Response)

11
3. Reaksi bicara (Best Verbal Response)

Pemeriksaan tingkat keparahan trauma kepala disimpulkan dalam suatu tabel Skala Koma
Glasgow (SKG). 3

Tabel 1. Skala SKG

TES REAKSI SKOR


Mata terbuka dengan spontan 4
Eye Opening(E) Mata membuka setelah diperintah 3

Mata membuka setelah diberi rangsang nyeri 2

Tidak membuka mata 1


Menurut perintah 6
Best Motor Response (M) Dapat melokalisir nyeri 5
Menghindari nyeri 4
Fleksi (dekortikasi) 3
Ekstensi (decerebrasi) 2
Tidak ada gerakan 1
Menjawab pertanyaan dengan benar 5
Salah menjawab pertanyaan 4
Best Verbal Response (V) Mengeluarkan kata-kata yang tidak sesuai 3
Mengeluarkan suara yang tidak ada artinya 2
Tidak ada jawaban 1
Berdasarkan Skala Koma Glasgow, trauma kepala dibagi atas:

Tabel 2. Klasifikasi trauma kepala berdasarkan SKG

Beratnya Trauma kepala ringan GCS 13-15


Trauma
Trauma kepala sedang GCS 9-12

Trauma kepala berat GCS 3-8

Morfologi Fraktur tulang Tempurung Linier/Stelata


tengkorak
Depresi/nondepresi

Terbuka/tertutup
Basis Dengan/tanpa kebocoran LCS
Dengan/tanpa kelumpuhan N.VII

Lesi Intrakranial Fokal Epidural


Subdural

12
Intraserebral
Difus Concussion
Kontusio multipel
Hypoxic/ischemic injury Axonal
injury

2.4 Fraktur Tulang Kepala


Fraktur tulang kepala atau tengkorak dapat terjadi pada atap maupun dasar tengkorak,
dapat berbentuk garis atau bintang, dan dapat pula terbuka ataupun tertutup. Adanya tanda-
tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan kita untuk melakukan
pemeriksaan lebih rinci. Tanda-tanda tersebut antara lain ekimosis periorbital (raccoon eyes
sign), ekimosis retroaurikular (battle’s sign), kebocoran cairan serebrospinal dari hidung
(rhinorrhea) atau dari telinga (otorrhea) dan gangguan fungsi saraf kranialis VII (fasialis) dan
VII (gangguan pendengaran) yang mungkin timbul segera atau beberapa hari paska trauma
kepala.12

2.5 Perdarahan Intrakranial

2.5.1 Perdarahan Subgaleal

Subgaleal hematoma adalah perdarahan antara periosteum dan galea aponeurosis.


Sebagian besar terjadi karena tindakan vaccum pada saat persalinan (ventouse assisted
delivery), dimana terjadi ruptur pada vena emissary (penghubung antara dural sinus dan vena
scalp) yang menyebabkan akumulasi darah dibawah aponeurosis dan di permukaan
periosteum. Subgaleal hematoma juga sering terjadi pada trauma kepala, perdarahan
intrakranial, atau fraktur tengkorak. Hal-hal tersebut tidak berhubungan secara signifikan
dengan tingkat keparahan perdarahan subgaleal.16

2.5.2 Perdarahan Epidural

Perdarahan epidural adalah perdarahan antara tulang kranial dan duramater, yang
biasanya disebabkan oleh robeknya arteri meningea media. Kelainan ini pada fase awal tidak
menunjukkan gejala atau tanda. Baru setetelah hematoma bertambah besar akan terlihat tanda
pendesakan dan peningkatan tekanan intrakranial. Penderita akan mengalami mual dan muntah
diikuti dengan penurunan kesadaran. Gejala perdarahan epidural yang klasik atau temporal
berupa kesadaran yang semakin menurun (biasanya somnolen), disertai oleh anisokoria pada
mata ke sisi dan mungkin terjadi hemiparese kontralateral.16

13
2.5.3 Perdarahan Subdural

Perdarahan subdural adalah perdarahan yang terletak diantara duramater dan arakhnoid.
Perdarahan subdural merupakan perdarahan intrakranial yang paling sering terjadi.
Karakteristik perdarahan subdural biasanya dibagi berdasarkan ukuran, lokasi dan lama
kejadian.

a. Perdarahan subdural akut

Secara umum perdarahan subdural akut terjadi dibawah 72 jam dan biasanya
pasien dalam keadaan koma. Gejala klinis perdarahan subdural akut dapat berupa
pusing, mual, bingung, penurunan kesadaran, sulit berbicara, henti napas dan
hilangnya kontrol atas denyut nadi dan tekanan darah.

b. Perdarahan subdural subakut

Perdarahan subdural subakut, biasanya terjadi dari hari ketiga hingga minggu
ketiga setelah trauma.

c. Perdarahan subdural kronis

Perdarahan subdural kronis biasanya terjadi setelah 21 hari atau lebih. 25 hingga
50 persen dari pasien yang menderita perdarahan subdural kronis tidak memiliki
riwayat trauma kepala, biasanya trauma kepala yang terjadi adalah trauma kepala
ringan. Gejala klinis dari perdarahan ini dapat berupa penurunan kesadaran, pusing,
kesulitan berjalan atau keseimbangan, disfungsi kognitif atau hilang ingatan,
perubahan kepribadian, defisit motorik, kejang, dan inkontinensia.13

2.5.4 Perdarahan Subarachnoid

Perdarahan subarachnoid adalah ekstravasasi darah ke dalam rongga subaraknoid yang


terdapat di antara lapisan piamater dan membran araknoid. Etiologi yang paling sering dari
perdarahan subaraknoid non traumatik adalah pecahnya aneurisma intrakranial (berry
aneurism). Gejala klinisnya biasanya tampak sepuluh hingga dua puluh hari setelah terjadinya
ruptur. Gejala yang paling sering berupa sakit kepala, nyeri daerah orbital, diplopia, gangguan
penglihatan, gangguan sensorik dan motorik, kejang, ptosis, disfasia.8

14
2.5.5 Perdarahan Intraventrikular

Perdarahan intraventrikular merupakan penumpukan darah pada ventrikel otak.


Perdarahan intraventrikular selalu timbul apabila terjadi perdarahan intraserebral. 8

2.5.6 Perdarahan Intraserebral

Perdarahan intraserebral merupakan penumpukan darah pada jaringan otak yang


semakin lama semakin banyak dan menimbulkan tekanan pada jaringan otak sekitar. Hal ini
menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial yang dapat menyebabkan konfusi dan letargi.
Gejala klinis biasanya timbul dengan cepat bergantung pada lokasi perdarahan. Gejala yang
paling sering adalah sakit kepala, nausea, muntah, letargi atau konfusi, kelemahan mendadak
atau kebas pada wajah, tangan atau kaki yang biasanya pada satu sisi, hilangnya kesadaran,
hilang penglihatan sementara, dan kejang.8

15
BAB III
INTERPRETASI RADIOLOGIS PADA TRAUMA KEPALA

1. Indikasi Pemeriksaan Radiologis

Tidak semua pasien dengan trauma kepala membutuhkan pemeriksaan neuroradiologis.


Penelitian menunjukkan bahwa kurang dari 10% pasien dengan trauma kepala ringan ternyata
memiliki hasil yang positif pada pemeriksaan CT scan, dimana kurang dari 1% yang
membutuhkan intervensi. Hal ini menunjukkan bahwa masih ada sejumlah kecil pasien yang
diuntungkan dengan pencitraan radiologis.6

Pasien harus diperiksa secara klinis dan diagnosis dibuat berdasarkan apakah pada
pemeriksaan fisik dan riwayat perjalanan penyakit menunjukkan trauma kepala sedang hingga
berat atau trauma kepala ringan. CT, MRI, atau radiografi tengkorak tidak diperlukan untuk
pasien berisiko rendah. Risiko rendah didefinisikan sebagai mereka yang tidak menunjukkan
gejala atau hanya pusing, sakit kepala ringan, kulit kepala lecet, atau hematoma, usia lebih dari
2 tahun, dan tidak memiliki temuan yang berisiko sedang ataupun tinggi.9

Pasien dengan resiko sedang adalah mereka yang memiliki salah satu kondisi berikut:
riwayat penurunan tingkat kesadaran beberapa waktu ataupun setelah terjadi trauma kepala,
sakit kepala berat atau progresif, kejang pasca-trauma, muntah terus menerus, multipel trauma,
trauma wajah yang serius, tanda-tanda dari fraktur tengkorak basilar (hemotympanum,
“raccoon eyes”, rinorrea atau otorrea), dugaan kekerasan pada anak, gangguan perdarahan, atau
usia lebih muda dari 2 tahun.9

Pasien berisiko tinggi adalah mereka dengan salah satu kondisi berikut: temuan
neurologis fokal, pasien dengan derajat kesadaran berdasarkan GCS dengan skor 8 atau kurang,
dipastikannya terdapat penetrasi tengkorak, gangguan metabolik, keadaan postictal, atau
penurunan atau depresi tingkat kesadaran (tidak berhubungan dengan narkoba, alkohol , atau
obat-obatan depresan pada system saraf pusat lainnya). Jika terdapat trauma sedang atau berat
dan pasien dengan kondisi neurologis yang tidak stabil, CT scan harus dilakukan untuk
menyingkirkan adanya hematoma. Jika pasien dengan kondisi neurologis yang stabil, MR scan
lebih digunakan untuk mencari trauma dengan penekanan parenkim. Dalam trauma kepala
ringan (tanpa kehilangan kesadaran atau defisit neurologis), pasien dapat hanya diobservasi.
Jika sakit kepala terus-menerus terjadi setelah trauma, CT scan harus dilakukan.10

16
2. Foto Polos Kepala
Foto polos kepala dengan berbagai posisi seperti AP, lateral berguna untuk melihat adanya
fraktur tengkorak, tapi tidak menunjukkan jaringan lunak di dalam kepala. 11

Indikasi Foto Polos Kepala


Tidak semua penderita dengan trauma kepala di indikasikan untuk pemeriksaan kepala
karena masalah biaya dan kegunaan yang sekarang makin ditinggalkan. Jadi indikasi meliputi
jejas lebih dari 5 cm, luka tembus (tembak/tajam), adanya corpus alineum, deformitas kepala
(dariinspeksi dan palpasi), nyeri kepala yang menetap, Gejala fokal neurologis, gangguan
kesadaran. 7
Foto polos kepala hanya menunjukkan ada tidaknya patah tulang, dan tidak mampu
menghasilkan visibilitas yang baik pada otak atau adanya darah untuk menunjukkan trauma
intrakranial. Adanya patah tulang tengkorak tanpa kelainan neurologis tidak begitu signifikan.
Patah tulang tengkorak yang ditentukan berdasarkan pemeriksaan foto polos kepala pada
pasien dengan trauma kepala ringan telah dilaporkan dengan angka sangat rendah, mulai dari
1,9% hingga 4,3%. Patah tulang tengkorak tidak selalu berarti trauma intrakranial yang
signifikan, meskipun tidak adanya patah tulang tengkorak, pasien dapat memiliki kelainan
patologis yang signifikan pada intrakranialnya. 17

Foto polos kepala sangat membantu pada pasien yang dicurigai tidak trauma akibat
kecelakaan, patah tulang tengkorak depresi, trauma kepala akibat penetrasi oleh benda asing,
8
atau trauma kepala pada anak-anak kurang dari 2 tahun,walaupun tanpa gejala neurologis.

2.1 Fraktur pada Tulang Tengkorak


Pemeriksaan foto polos kepala untuk melihat pergeseran (displacement) fraktur tulang
tengkorak, tetapi tidak dapat menentukan ada tidaknya perdarahan intrakranial. Fraktur pada
tengkorak dapat berupa fraktur impresi (depressed fracture), fraktur linear, dan fraktur diastasis
(traumatic suture separation). Fraktur impresi biasanya disertai kerusakan jaringan otak dan
pada foto terlihat sebagai garis atau dua garis sejajar dengan densitas tinggi pada tulang
tengkorak. Fraktur linear harus dibedakan dari gambaran pembuluh darah normal atau dengan
garis sutura interna, yang tidak bergerigi seperti sutura eksterna. Garis sutura interna bersifat
superimposisi pada sutura yang bergerigi, sedangkan fraktur akan menyimpang dari itu di
beberapa titik. Selain itu, pada foto polos kepala, fraktur ini terlihat sebagai garis radiolusen,
paling sering di daerah parietal. Garis fraktur biasanya lebih radiolusen daripada pembuluh

17
darah dan arahnya tidak teratur. Fraktur diastasis lebih sering pada anak-anak dan terkihat
sebagai pelebaran sutura.11

Gambar 6. Fraktur Kranium Linier dan Fraktur Kranium Depresi

Keterangan:
a. Fraktur kranium linier. Fraktur kranium (tanda panah) biasanya berupa garis hitam
bertepi tajam dan tidak ada tepi yang berwarna putih. Pada posisi anteroposterior (AP)
(A), tidak dapat ditentukan apakah fraktur berasal dari tulang tengkorak bagian depan
atau belakang. Pada posisi Towne (B), yaitu posisi leher menunduk dan posisi occipital
lebih tinggi, fraktur ini dapat terlihat terletak di tulang occipital.
b. Fraktur kranium depresi. Pada posisi lateral (A) menunjukkan bagian sentral dari
fraktur, yaitu gambaran stelata (tanda panah besar), dan sekitarnya terdapat garis fraktur
konsentrik (tanda panah kecil). Perhatikan gambaran sutura dan gambaran vaskular
normal pada foto tersebut. Pada posisi anteroposterior (AP) (B) menunjukkan dalamnya
fraktur depresi, walau gambaran ini terlihat lebih jelas pada pemeriksaan CT scan.12

3. CT scan (Computerized Tomography, CT) Kepala

3.1 Indikasi CT scan pada Trauma Kepala

Dengan CT scan isi kepala secara anatomis akan tampak dengan jelas. Pada trauma
kepala, fraktur, perdarahan dan edema akan tampak dengan jelas baik bentuk maupun
ukurannya. Indikasi pemeriksaan CT scan pada kasus trauma kepala adalah seperti berikut:

1. Bila secara klinis didapatkan klasifikasi trauma kepala sedang dan berat.

2. Trauma kepala ringan yang disertai fraktur tengkorak.

3. Adanya kecurigaan dan tanda terjadinya fraktur basis kranii.

18
4. Adanya defisit neurologi, seperti kejang dan penurunan gangguan kesadaran.

5. Sakit kepala yang hebat.

6. Adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial atau herniasi jaringan


otak.

7. Kesulitan dalam mengeliminasi kemungkinan perdarahan intraserebral.

Melalui pemeriksaan ini dapat dilihat seluruh struktur anatomis kepala, dan merupakan
alat yang paling baik untuk mengetahui, menentukan lokasi dan ukuran dari perdarahan
intrakranial.15

3.2 Interpretasi Gambaran CT Scan pada Trauma Kepala


3.2.1 Fraktur Tulang Kepala

Fraktur pada dasar tengkorak seringkali sukar dilihat. Fraktur dasar tengkorak (basis
kranii) biasanya memerlukan pemeriksaan CT Scan dengan teknik “Jendela Tulang” (bone
window) untuk mengidentifikasi garis frakturnya. Fraktur dasar tengkorak yang melintang
kanalis karotikus dapat mentraumai arteri karotis (diseksi, pseuoaneurisma ataupun trombosis)
perlu dipertimbangkan untuk dilakukan pemeriksaan angiography cerebral. Gambaran fraktur
yang dapat dinilai pada pasien trauma kepala :

a. Fraktur kranium linier : Merupakan fraktur yang paling sering dan dapat mengakibatkan
hematoma epidural. 3 Fraktur di kranium ini paling sering pada area temporal dan
parietal.
b. Fraktur kranium depresi : Fraktur depresi sering berakibat pada kerusakan otak dan
sering terjadi pada regio frotoparietal3 biasanya berupa fraktur kominutif.
c. Fraktur basis cranii : Fraktur ini merupakan fraktur paling berat berupa fraktur linier
pada dasar tulang tengkorak. Pada pemeriksaan CT scan dapat dicurigai terdapat fraktur
basis cranii terutama bila terdapat udara dalam otak (traumatic pneumocephalus), cairan
di mastoid air cells, atau air–fluid level di sinus sfenoid.13

19
Gambar 7. CT Scan Kepala dengan Fraktur Kranium Linier dan Fraktur Kranium Depresi

Keterangan :

a. CT scan kepala dengan fraktur kranium linier (B) dan hematoma epidural (A). Pada
brain window (A), terdapat gambaran lesi berbentuk lentikular dan hiperdens di regio
frontal kiri yang khas untuk hematoma epidural (panah hitam). Bone window (B)
menunjukkan fraktur di tulang regio frontal kiri (panah putih).

b. Fraktur kranium depresi (A) pada tulang parietal kanan (tanda panah putih). Fraktur
basis cranii (B) terdapat fraktur kominutif di tulang temporal kanan (tanda panah putih),
cairan di mastoid air cells (lingkaran putih), dan udara di dalam otak (pneumocephalus)
(tanda panah terputus).16

3.2.2 Perdarahan Epidural (Hematoma Epidural)

Hematoma epidural didefinisikan sebagai perdarahan ke dalam ruang antara duramater,


yang tidak dapat dipisahkan dari periosteumtengkorak dan tulang yang berdekatan

Hematoma epidural biasanya dapat dibedakan dari hematoma subdural dengan bentuk
bikonveks dibandingkan dengan crescent-shape dari hematoma subdural. Selain itu, tidak
seperti hematoma subdural, hematoma epidural biasanya tidak melewati sutura. Hematoma
epidural sangat sulit dibedakan dengan hematoma subdural jika ukurannya kecil. Dengan
bentuk bikonveks yang khas,elips, gambaran CT scan padahematoma epidural tergantung pada
sumber perdarahan, waktu berlalu sejak trauma, dan tingkat keparahan perdarahan. Karena
dibutuhkan diagnosis yang akurat dan perawatan yang cepat, diperlukan pemeriksaan CT scan
dengan cepat dan intervensi bedah saraf.15

20
Pada Gambar 8, pasien mengalami
kecelakaan kendaraan bermotor, terlihat
peningkatan kepadatan (hiperdens) di daerah
lenticular pada CT Scan aksial non kontras di
wilayah parietalis kanan. Ini biasanya terjadi
akibat pecahnya arteri meningeal media. Sedikit
perdarahan juga terlihat di lobus frontal kiri
(perdarahan intraserebral).13

Perdarahan epidural, terjadi akibat rupturnya


Gambar 8. Gambaran Perdarahan Epidural arteri atau vena meningea media ke dalam ruang
pada CT Scan Kepala Non-kontras antara duramater dan lapisan dalam tulang
tengkorak. Hampir 95% perdarahan epidural
terkait dengan fraktur kranium, terutama di
tulang temporal. Gambaran perdarahan epidural berupa massa hiperdens, ekstraaksial,
bikonveks, berbentuk seperti lensa, terletak paling sering di regio temporoparietal, tidak
melewati garis sutura, namun dapat melewati tentorium.15

3.2.3 Perdarahan Subdural (Hematoma Subdural)

Sebelum CT scan dan teknologi pencitraan magnetik (MRI), hematoma subdural


didiagnosis hanya berdasarkan efek massa, yang digambarkan sebagai perpindahan dari
pembuluh darah pada angiogram atau sebagai kalsifikasi kelenjar hipofisis pada foto polos
kepala. Munculnya CT scan dan MRI telah menjadi pilihan diagnosik rutin bahkan untuk
perdarahan kecil. Temuan CT scan dalam hematoma subdural tergantung pada lamanya
perdarahan.16

Pada fase akut, hematoma subdural muncul berbentuk bulan sabit, ketika cukup besar,
hematoma subdural menyebabkan pergeseran garis tengah. Pergeseran dari gray matter-white
matter junction merupakan tanda penting yang menunjukkan adanya lesi.17

21
Gambar 9. Gambaran Perdarahan Subdural pada CT Scan.

Jika ditemukan hematoma subdural pada CT scan, penting untuk memeriksa adanya
trauma terkait lainnya, seperti patah tulang tengkorak, kontusio intra parenkimal, dan darah
pada subaraknoid. Adanya trauma parenkim pada pasien dengan hematoma subdural adalah
faktor yang paling penting dalam memprediksi hasil klinis mereka.7

Gambar 10. Gambaran Perdarahan Subdural dengan Fraktur Tengkorak (kiri)


dan Perdarahan Subdural disertai Perdarahan Subarakhnoid (kanan)

Gambar 11. Hematoma Subdural Akut, Hematoma Subdural Subakut dan Hematomi
Subdural Kronis

22
Keterangan :

a. Terdapat gambaran lesi hiperdens berbentuk bulan sabit (tanda panah putih) dengan
herniasi otak yang ditunjukkan oleh dilatasi temporal horn kontralateral (tanda
panah terputus).

b. Hematoma menjadi isodens yang ditunjukkan oleh tidak tampaknya sulkus (tanda
panah putih) dibandingkan sisi sebelahnya (tanda panah hitam).

c. Gambaran hematoma menjadi hipodens (tanda panah putih) dan masih terdapat
pergeseran fisura interhemisfer (tanda panah terputus) dan kompresi ventrikel
lateral.6

Hematoma ini lebih sering dibandingkan hematoma epidural dan biasanya tidak
terkait dengan fraktur kranium.3 Hematoma subdural biasanya disebabkan oleh
kerusakan bridging veins yang menyebabkan perdarahan di ruang antara duramater dan
araknoid. Hematoma subdural akut memberikan gambaran lesi hiperdens berbentuk
bulan sabit (konkaf) yang dapat melewati sutura dan masuk ke dalam fisura
interhemisfer namun tidak melewati garis tengah.3 Jika hematoma ini menjadi subakut
atau darah bercampur cairan LCS, gambarnya bisa menjadi lesi isodens (terlihat berupa
pergeseran sulkus). Sedangkan hematoma subdural kronis (setelah 3 minggu) memberi
gambaran hipodens.8

3.2.4 Perdarahan Subaraknoid

Pada CT scan, perdarahan subaraknoid (SAH) terlihat mengisi ruangan subaraknoid


yang biasanya terlihat gelap dan terisi CSF di sekitar otak. Rongga subaraknoid yang biasanya
hitam mungkin tampak putih di perdarahan akut. Temuan ini paling jelas terlihat dalam rongga
subaraknoid yang besar.10

Gambar 12. Gambaran Perdarahan Subarakhnoid pada CT Scan Kepala

23
Ketika CT scan dilakukan beberapa hari atau minggu setelah perdarahan awal, temuan
akan tampak lebih halus. Gambaran putih darah dan bekuan cenderung menurun, dan tampak
sebagai abu-abu. Sebagai tambahan dalam mendeteksi SAH, CT scan berguna untuk
melokalisir sumber perdarahan. 9

3.2.5 Perdarahan Intraserebral


Perdarahan intraserebral biasanya disebabkan oleh trauma terhadap pembuluh darah,
timbul hematoma intraparenkim dalam waktu ½-6 jam setelah terjadinya trauma. Hematoma
ini bisa timbul pada area kontralateral trauma. Pada CT scan sesudah beberapa jam akan
tampak daerah hematoma (hiperdens), dengan tepi yang tidak rata.

Gambar 13. Gambaran Perdarahan Intraserebral pada CT Scan Kepala

Trauma pada point of impact (disebut coup injuries) dan trauma pada sisi
berlawanandari point of impact (disebut contrecoup injuries) sering terjadi setelah trauma.
Coup injuries sering disebabkan oleh robekan pada pembuluh darah kecil intraserebral.
Contrecoup injuries terjadi akibat peristiwa aselerasi-deselerasi saat otak didorong ke arah
berlawanan dan membentur bagian dalam tulang tengkorak. Mekanisme ini dapat
menyebabkan kontusio serebral. Kontusio hemoragik merupakan perdarahan terkait edema
yang biasa ditemukan di lobus frontal inferior dan lobus temporal anterior pada atau dekat
permukaan otak. Pada pemeriksaan CT scan, perdarahan intraserebral dapat berubah seiring
waktu dan dapat tidak terlihat pada CT scan awal. Berikut gambaran perdarahan intraserebral
pada CT scan:
a. Kontusio hemoragik tampak sebagai lesi hiperdens multipel, kecil dengan batas
tegas di parenkim otak.
b. Dapat dikelilingi oleh lingkaran hipodens dari edema.
c. Dapat terdapat perdarahan intraventrikel.

24
d. Efek massa merupakan hal yang sering terjadi dan menimbulkan penekanan
pada ventrikel, pergeseran ventrikel ke-3 dan septum pellucidum, sehingga
menyebabkan kerusakan pembuluh darah dan otak yang berat. Pergeseran ini
disebut sebagai herniasi.

Gambar 14. Kontusio Serebral

Keterangan :
a. Kontusio serebral memberikan gambaran lesi hiperdens multipel di dalam parenkim
otak (tanda panah putih).
b. Kontusio (tanda panah hitam) biasanya dikelilingi oleh lingkaran hipodens yang berasal
dari edema (tanda panah hitam putus-putus), dan terdapat efek massa yang ditunjukkan
oleh hilangnya sisterna basalis ipsilateral (tanda panah putih putus-putus), pergeseran
garis tengah (tanda panah putih) yang menggambarkan herniasi subfalcine, dan dilatasi
dari temporal horn kontralateral (lingkaran putih). Terdapat hematoma luas pada scalp
(tanda panah kuning).17

Gambar 15. Perdarahan pada ventrikel

25
3.2.6 Perdarahan Intraventrikular

Perdarahan intraventrikular merupakan penumpukan darah pada ventrikel otak.


Perdarahan intraventrikular selalu timbul apabila terjadi perdarahan intraserebral. Pada
perdarahan intraventrikular akan terlihat peningkatan densitas dari gambaran CT scan kepala.
Jika terlambat ditangani, perdarahan intraventrikular akan menyebabkan terjadinya
ventrikulomegali pada sistem ventrikel (hidrosefalus) dari gambaran CT scan.16

Gambar 16. Gambaran Perdarahan Intraserebral disertai Perdarahan Intraventrikular pada CT


Scan Kepala

4. Magnetic Resonance Imaging (MRI)

MRI merupakan pilihan utama untuk mendeteksi kelainan intrakranial karena lebih
sensitif dibandingkan CT scan. Dalam trauma kepala, MRI berperan besar untuk mendeteksi
adanya diffuse axonal injury (DAI). DAI merupakan kerusakan akson menyeluruh yang
menyebabkan kehilangan kesadaran mendadak dan koma selama lebih dari 6 jam. Penyebab
DAI biasanya terkait dengan akselerasi dan deselerasi cepat dari otak. Kerusakan akson ini
dapat terjadi segera pada saat trauma (primer) atau beberapa menit sampai jam setelah kejadian
(sekunder).15

Bagian-bagian otak yang lebih rentan terhadap DAI adalah substansia alba di
parasagital lobus frontal, lobus parietal (termasuk deep white matter), corpus callosum anterior
dan posterior, ganglia basalis (termasuk kapsula interna), serebelum (termasuk middle
cerebellar peduncle), dan pons (termasuk dorsolateral rostral brainstem).15

26
Gambaran DAI pada MRI adalah sebagai berikut:

a. Perdarahan petekie kecil tampak 
 hiperintens pada gambaran T1-weighted


 images.

b. Gambaran yang paling sering ditemukan 
 adalah area hiperintens multipel pada

T2-weighted images di cervicomedullary junction pada lobus temporal dan parietal


atau di corpus callosum.

Sekuen lain pada MRI yang dapat membantu diagnosis trauma kepala adalah fluid
attenuated inversion recovery (FLAIR). FLAIR merupakan pulse sequence yang meniadakan
sinyal dari cairan serebrospinal sehingga gambaran hiperintens berkaitan dengan edema. T2
weighted-MRI khususnya FLAIRMRI lebih sensitif untuk mendeteksi lesi traumatik
dibandingkan CT scan. Gradient-recalled echo (GRE) T2-weighted imaging dan susceptibility
weighted imaging (SWI) sering digunakan untuk mengidentifikasi perdarahan yang tampak
hipointens pada modalitas ini.

Gambar 17. Gambaran MRI pada Trauma Kepala Akut dan Kronis

Penggunaan tiga sekuen sering digunakan untuk men-diagnosis trauma kepala karena
kemampuannya untuk menemukan kelainan tersembunyi; kombinasi T1, T2, FLAIR, dan SWI
telah diketahui dapat membuat segmentasi dan model tiga dimensi pada edema dan perdarahan
pada substansia alba dan nigra. Diffusion MRI juga memegang peranan besar dalam diagnosis
trauma kepala karena kemampuannya untuk mendeteksi efek trauma pada struktur substansia

27
alba. Diffusion MRI lebih sensitif mendeteksi peningkatan kandungan air dibandingkan MRI
konvensional.

Gambar 18. Gambaran SWI pada Potongan sagital (kiri) dan aksial (kanan) dari SWI
pada otak normal.

Keterangan : Area titik hitam menunjukkan pembuluh darah otak yang menyengat
karena menggunakan SWI.

Meskipun demikian, diffusion MRI tidak dapat menggantikan MRI konvensional dalam
mendeteksi perdarahan minimal. Diffusion Weighted Imaging (DWI) dapat mendeteksi trauma
akson saat pulse sequence lain gagal. DWI telah terbukti dapat mengindentifikasi shearing
injury yang tidak terlihat pada T2/FLAIR, sehingga sangat berguna dalam evaluasi trauma
kepala tertutup. Gangguan pada jalur akson substansia alba dapat dideteksi secara dini melalui
pemeriksaan Diffusion Tensor Imaging (DTI). DTI memeriksa integritas jalur substansia alba
dengan mengukur derajat dan arah difusi air.

DTI telah menjadi biomarker potensial untuk mendeteksi kelainan pada pasien trauma
kepala ringan yang dengan pemeriksaan neuroimaging lain dinyatakan normal. Skala yang
paling sering dipakai dalam DTI adalah fractional anisotropy (FA) yang mengukur orientasi
dan integritas substansia alba. Penurunan FA mengindikasikan degradasi dan diskontinuitas
akson dengan bertambahnya kandungan air di antara jalur akson atau dalam ruang perivaskular
khusunya pada corpus callosum. Diffusion spectrum imaging (DSI) merupakan teknik terbaru
yang membuat pemetaan arsitektur jaras saraf yang komplek menggunakan teknologi spektrum
tiga dimensi.10 Teknik ini sangat efektif bila dikombinasikan dengan CT/MRI untuk

28
mengetahui efek trauma kepala terhadap struktur spesifik substansia alba dan mengindetifikasi
abnormalitas yang tidak terdeteksi oleh modalitas lain.

Pada pasien trauma kepala anak, kombinasi T2, FLAIR, dan SWI memberikan hasil
yang lebih akurat terhadap tingkat keparahan kerusakan substansia alba dan deteksi dampak
lesi dibandingkan CT scan.

29
BAB IV
KESIMPULAN

Trauma kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara langsung
atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat pada gangguan fungsi neurologis, fungsi
fisik, kognitif, psikososial, yang dapat bersifat temporer ataupun permanent.
Berdasarkan Skala Koma Glasgow, trauma kepala dibagi atas trauma kepala ringan
(SKG 14-15), sedang (SKG 9-13) dan berat (SKG 3-8). Trauma kepala dapat menimbulkan
perdarahan intrakranial berupa fraktur yulang kepala, perdarahan epidural, perdarahan
subdural, perdarahan subarakhnoid, perdarahan intraventrikular, dan perdarahan intraserebral.
Pemeriksaan foto polos kepala digunakan untuk melihat pergeseran (displacement) fraktur
tulang tengkorak, tetapi tidak dapat menentukan ada tidaknya perdarahan intrakranial.
Untuk menyatakan diagnosis kasus-kasus diatas, pemeriksaan penunjang berupa
pemeriksaan radiologi sangat dibutuhkan. Pemeriksaan radiologi tersebut adalah foto polos
kepala, CT-Scan Kepala, MRI, ataupun angiografi.
Gambaran radiologi dari masing-masing kasus tersebut mempunyai ciri khas yang
dapat membantu seorang dokter membuat suatu diagnosis pada penderita trauma kepala. Salah
satu ciri yang jelas adalah pada kasus hematoma epidural yang pada pemeriksaan CT-Scan
kepala memberikan gambaran densitas darah yang homogen (hiperdens) berbentuk bikonfeks
dan sering pada daerah temporoparietal. Sedangkan pada kasus hematoma subdural
memberikan gambaran hiperdens berbentuk seperti bulan sabit.
Pemeriksaan radiologi tersebut selain membantu untuk menyatakan diagnosis, juga
dapat menuntun seorang dokter untuk penatalaksanaan berikutnya yang akan dilakukan
terhadap pasien trauma kepala.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. American College of Surgeons. Advance Trauma Life Support For Doctor. 7th ed.
2004. USA: First Impression.

2. Rasad S, Kartoleksono S, Ekayuda I. Radiologi Diagnostik. Edisi 7. 2010. Balai


Penerbit FKUI

3. Snell RS. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi ke -6. 2006.Jakarta:
EGC.

4. Irwan O. Trauma Kepala. Fakultas Kedokteran Universitas Riau. 2006.

5. Mansjoer A., Suprohaita, Wardhani WI., SetiowulanW. Kapita Selekta Kedokteran.


Edisi Ketiga. 2000. Jakarta: Media Aesculapius.

6. Malueka R. G. Radiologi Diagnostik.Edisi 2. 2007. Yogyakarta: Pustaka Cendekia


Press Yogyakarta

7. Bob R, Andrew IR, David KM. Changing patterns in the epidemiology of traumatic
brain injury. E-Jnl Nature Reviews Neurology [Internet]. 2018 [cited 2019 Jan 1];
9:231-6. Available from:
http://www.nature.com/nrneurol/journal/v9/n4/full/nrneurol.2013.22.html.

8. American College of Surgeons Commite On Trauma. ATLS. 9th ed. Chicago; 2017(6)
.p. 149-68.

9. William H. Learning radiology recognizing the basic. 3rd ed. 2016;27:279-88.

10. Fred AM. Essentials of radiology. 3nd ed. Philadelphia: Saunders; 2015.

11. Pawan M. Diffuse axonal injury: Pathological and clinical aspects. E-Jnl Forensic
Research & Criminology International Journal [Internet]. 2017 [cited 2019 Jan 1]; 1(4):
00026. Available from: http://medcraveonline.com/FRCIJ/FRCIJ-01-00026.php.

12. Tibor H, Safa AS. The significance of diffuse axonal injury: How to diagnose it and
what does it tell us? E-Jnl Advances in Clinical Neuroscience & Rehabilitation
[Internet]. 2008 [cited 2019 Jan 2];8(2):16-8. Available from:
http://www.acnr.co.uk/may_june_08/ACNRMJ08_axonal.pdf.

31
13. Sanjith S. Traumatic axonal injury in mild to moderate head injury — an illustrated
review. E-Jnl The Indian Journal of Neurotrauma [Internet]. 2018 [cited 2019 Jan 1];
8(2):71-5. Available from:
http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0973050811800031.

14. Cecilia VM, Robin AH, Maryse L, Liying Z, Katherine HT. Mild traumatic brain
injury: Neuroimaging of sports-related concussion. E-Jnl Neuropsychiatry Clin
Neurosci [Internet]. 2015 [cited 2019 Jan 1];17(3):297-304. Available from:
http://neuro.psychiatryonline.org/doi/abs/10.1176/jnp.17.3.297.

15. Yuta A, Ryota I, Masataka G, Naoki Y, Hiroshi S. Diffusion tensor imaging studies of
mild traumatic brain injury: A meta-analysis. E-Jnl J Neurol Neurosurg Psychiatry
[Internet]. 2018 [cited 2019 Jan 1]; 83(9):870-6. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22797288.

16. Andrei I, Bo Wa, Stephen RA, Marcel W, Danielle FP, Guido G, et al. Neuroimaging
of structural pathology and connectomics in traumatic brain injury: Toward
personalized outcome prediction. E-Jnl NeuroImage: Clinical [Internet]. 2016 [cited
2019 Jan 1]; 1:1-17. Available from: http://www.sciencedirect.com/science/
article/pii/S2213158212000034?np=y

17. ShentonME,HamodaHM,SchneidermanJS,BouixS,PasternakO,RathiY,etal.Areviewof
magneticresonanceimaginganddiffusiontensorimagingfindings in mild traumatic brain
injury. E-Jnl Brain Imaging Behav [Internet]. 2016 [cited 2019 Jan 1];6(2):137-92.
Available from: https://www.youtube.com/ watch?v=Que597XbMK0.

32

Anda mungkin juga menyukai