Anda di halaman 1dari 28

REFERAT

OTITIS MEDIA EFUSI

Disusun oleh:

Rani Rahmani (030.12.222)

Citra Arum R. O. (030.11.061)

Pembimbing:

dr. Bambang Agus Soesanto, Sp.THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK ILMU

TELINGA HIDUNG TENGGOROKAN

PERIODE 10 OKTOBER 2016 – 12 NOVEMBER 2016

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA SEMARANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

JAKARTA
LEMBAR PENGESAHAN

Nama : Citra Arum R. O.

NIM : 030.11.061

Universitas : Trisakti

Fakultas : Kedokteran

Tingkat : Program Pendidikan Profesi Dokter

Bidang Pendidikan : Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok

Periode Kepaniteraan Klinik : 10 Oktober 2016 – 12 November 2016

Judul Referat : Otitis media efusi

(Oktober 2016-November 2016)

TELAH DIPERIKSA dan DISETUJUI TANGGAL : Oktober 2016

Bagian Ilmu THT

RSUD Kota Semarang

Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti

Coassistan Pembimbing

Citra Arum R. O. dr. Bambang Agus Soesanto, Sp.THT-KL

1
LEMBAR PENGESAHAN

Nama : Rani Rahmani

NIM : 030.12.222

Universitas : Trisakti

Fakultas : Kedokteran

Tingkat : Program Pendidikan Profesi Dokter

Bidang Pendidikan : Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok

Periode Kepaniteraan Klinik : 10 Oktober 2016 – 12 November 2016

Judul Referat : Otitis media efusi

(Oktober 2016- November 2016)

TELAH DIPERIKSA dan DISETUJUI TANGGAL : Oktober 2016

Bagian Ilmu THT

RSUD Kota Semarang

Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti

Coassistan Pembimbing

Rani Rahmani dr. Bambang Agus Soesanto, Sp.THT-KL

2
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala

kasih dan karunia-Nya yang telah memberikan kesehatan dan kekuatan kepada

penulis sehingga penelitian ini dapat diselesaikan. Referat ini disusun untuk

memenuhi salah satu syarat mengikuti dan meyelesaikan Kepaniteraan Klinik

Ilmu THT di RSUD Kota Semarang.

Penulis menyadari keberhasilan penyusunan penelitian ini adalah berkat

bantuan dari semua pihak. Untuk itu, penulis mengucapkan terima ksih kepada

semua pihak yang membantu dalam penyelesaian referat ini, terutama kepada:

1. Dr. Bambang Agus Soesanto, Sp.THT-KL selaku dokter pembimbing atas

segala ilmu, bimbingan dan bantuannya selama penulis menjalani

kepaniteraan bagian Ilmu THT di RSUD Kota Semarang.

2. Para staf dan karyawan di dalam maupun di luar lingkungan RSUD Kota

Semarang yang telah membantu dan memberi pengarahan selama

berlangsungnya kegiatan kepaniteraan.

3. Orang Tua dan keluarga penulis atas segala bentuk doa dan dukungannya.

4. Teman-teman kepaniteraan klinik atas bantuan dan kebersamaannya.

3
Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa penyusunan penelitian ini masih

jauh dari sempurna, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati penulis

menerima saran dan kritik. Harapan penulis semoga penelitian ini dapat

memberikan manfaat bagi pembaca khususnya dan menambah ilmu pengetahuan

pada umumnya.

Semarang, Oktober 2016

Penulis

4
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ..................................................................................... 1


KATA PENGANTAR ............................................................................................. 3
DAFTAR ISI ............................................................................................................ 5
PENDAHULUAN ................................................................................................... 6
BAB I. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ANATOMI ............................................................................................... 7
2.2 FISIOLOGI............................................................................................. 10
2.3 DEFINISI ............................................................................................... 11
2.4 EPIDEMIOLOGI ................................................................................... 12
2.5 ETIOLOGI ............................................................................................. 12
2.6 KLASIFIKASI ....................................................................................... 14
2.7 PATOFISIOLOGI .................................................................................. 14
2.8 MANIFESTASI KLINIK ....................................................................... 16
2.9 DIAGNOSIS ........................................................................................... 16
2.10 TATALAKSANA ................................................................................ 22
2.11 KOMPLIKASI ..................................................................................... 25
BAB III. KESIMPULAN....................................................................................... 26
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 26

5
BAB I

PENDAHULUAN

Otitis media merupakan peradangan sebagian atau seluruh mukosa

telinga tengah, tuba Eustachius, antrum mastoid dan sel-sel mastoid. Banyak ahli

membuat pembagian dan klasifikasi otitis media. Secara mudah, otitis

media terbagi atas otitis media supuratif dan otitis media non supuratif (otitis

media serosa, otitis media sekretoria, otitis media musinosa, otitis media

efusi/OME).1

Otitis media non supuratif nama lain adalah otitis media musinosa, otitis

media efusi, otitis media serosa, otitis media sekretoria, otitis media mukoid

(glueear). Otitis media efusi (OME) adalah keadaan terdapatnya sekret

yang nonpurulen di telinga tengah, sedangkan membran timpani utuh tanpa tanda

tanda infeksi disebut juga otitis media dengan efusi. Apabila efusi tersebut encer

disebut otitis media serosa dan apabila efusi tersebut kental seperti lem disebut

otitis media mukoid ( glue ear ).1,2

OME adalah salah satu penyakit yang paling sering terjadi pada anak.

Pada populasi anak, OME dapat timbul sebagai suatu kelainan short-term

menyertai suatu infeksi saluran pernapasan atas (ISPA), ataupun sebagai proses

kronis yang disertai gangguan dengar berat, keterlambatan perkembangan bicara

dan bahasa, gangguan keseimbangan, hingga perubahan struktur membrana

timpani dan tulang pendengaran.2

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Telinga

a. Anatomi telinga luar

Telinga luar terdiri dari daun telinga (aurikula), liang telinga (meatus

acusticus eksterna) sampai membran timpani bagian lateral. Daun telinga

terdiri dari tulang rawan elastin dan kulit yang berfungsi mengumpulkan

gelombang suara, sedangkan liang telinga menghantarkan suara menuju

membrana timpani. Liang telinga berbentuk huruf S dengan panjang 2,5-3

cm. Sepertiga bagian luar terdiri dari tulang rawan yang banyak

mengandung kelenjar serumen dan rambut, sedangkan dua pertiga bagian

dalam terdiri dari tulang dengan sedikit serumen.3

b. Anatomi telinga tengah

Telinga tengah berbentuk kubus yang terdiri dari membrana timpani,

cavum timpani, tuba eustachius, dan tulang pendengaran. Bagian atas

membran timpani disebut pars flaksida (membran Shrapnell) yang terdiri

dari dua lapisan,yaitu lapisan luar merupakan lanjutan epitel kulit liang

telinga dan lapisan dalam dilapisi oleh sel kubus bersilia. Bagian bawah

membran timpani disebut pars tensa (membran propria) yang memiliki

satu lapisan di tengah, yaitu lapisan yang terdiri dari serat kolagen dan

sedikit serat elastin. Tulang pendengaran terdiri atas maleus (martil), inkus

(landasan), dan stapes (sanggurdi) yang tersusun dari luar ke dalam seperti

rantai yang bersambung dari membrana timpani menuju rongga telinga

7
dalam. Prosesus longus maleus melekat pada membran timpani, maleus

melekat pada inkus, dan inkus melekat pada stapes. Stapes terletak pada

tingkap lonjong yang berhubungan dengan koklea. Hubungan antara

tulang-tulang pendengaran merupakan persendian. Tuba eustachius

menghubungkan daerah nasofaring dengan telinga tengah. Prosessus

mastoideus merupakan bagian tulang temporalis yang terletak di belakang

telinga. Ruang udara yang berada pada bagian atasnya disebut antrum

mastoideus yang berhubungan dengan rongga telinga tengah. Infeksi dapat

menjalar dari rongga telinga tengah sampai ke antrum mastoideus yang

dapat menyebabkan mastoiditis.2,3

c. Anatomi telinga dalam

Telinga dalam terdiri dari dua bagian, yaitu labirin tulang dan labirin

membranosa. Labirin tulang terdiri dari koklea, vestibulum, dan kanalis

semisirkularis, sedangkan labirin membranosa terdiri dari utrikulus,

sakulus, duktus koklearis, dan duktus semisirkularis. Rongga labirin tulang

dilapisi oleh lapisan tipis periosteum internal atau endosteum, dan

sebagian besar diisi oleh trabekula (susunannya menyerupai spons).

Koklea (rumah siput) berbentuk dua setengah lingkaran. Ujung atau

puncak koklea disebut helikotrema, menghubungkan perilimfa skala

vestibuli (sebelah atas) dan skala timpani (sebelah bawah). Diantara skala

vestibuli dan skala timpani terdapat skala media (duktus koklearis). Skala

vestibuli dan skala timpani berisi perilimfa dengan konsentrasi K + 4

mEq/l dan Na + 139 mEq/l, sedangkan skala media berisi endolimfa

8
dengan konsentrasi K + 144 mEq/l dan Na + 13 mEq/l. Hal ini penting

untuk pendengaran. Dasar skala vestibuli disebut membrana vestibularis

(Reissner’s Membrane) sedangkan dasar skala media adalah membrana

basilaris. Pada membran ini terletak organ corti yang mengandung

organel-organel penting untuk mekanisme saraf perifer pendengaran.

Organ Corti terdiri dari satu baris sel rambut dalam yang berisi 3000 sel

dan tiga baris sel rambut luar yang berisi 12000 sel. Ujung saraf aferen dan

eferen menempel pada ujung bawah sel rambut. Pada permukaan sel-sel

rambut terdapat stereosilia yang melekat pada suatu selubung di atasnya

yang cenderung datar, dikenal sebagai membran tektoria. Membran

tektoria disekresi dan disokong oleh suatu panggung yang terletak di

medial disebut sebagai limbus. Nervus auditorius atau saraf pendengaran

terdiri dari dua bagian, yaitu: nervus vestibular (keseimbangan) dan nervus

kokhlear (pendengaran). Serabut-serabut saraf vestibular bergerak menuju

nukleus vestibularis yang berada pada titik pertemuan antara pons dan

medula oblongata, kemudian menuju cerebelum. Sedangkan, serabut saraf

nervus kokhlear mula-mula dipancarkan kepada sebuah nukleus khusus

yang berada tepat dibelakang thalamus, kemudian dipancarkan lagi

menuju pusat penerima akhir dalam korteks otak yang terletak pada bagian

bawah lobus temporalis.2,3

9
2.2 Fisiologi Pendengaran

Daun telinga mengumpulkan suara dan menyalurkannya ke saluran telinga

luar kemudian membrana timpani bergetar sewaktu terkena getaran suara. Daerah

daerah gelombang suara yang bertekanan tinggi dan rendah berselang-seling

menyebabkan gendang telinga yang sangat peka tersebut menekuk keluar masuk

seirama dengan frekuensi gelombang suara. Telinga tengah memindahkan

gerakan bergetar membrana timpani ke cairan di telinga dalam. Pemindahan ini

dipermudah oleh tulang-tulang pendengaran (maleus, inkus, dan stapes) yang

berjalan melintasi telinga tengah. Ketika membrana timpani bergetar sebagai

respons terhadap gelombang suara, rantai tulang-tulang tersebut juga bergerak

dengan frekuensi yang sama, memindahkan frekuensi gerakan tersebut dari

membrana timpani ke jendela oval. Tekanan di jendela oval akibat setiap getaran

yang dihasilkan menimbulkan gerakan seperti gelombang pada cairan telinga

dalam dengan frekuensi yang sama dengan frekuensi gelombang suara semula.

Namun, diperlukan tekanan yang lebih besar untuk menggerakkan cairan.

Tekanan tambahan ini cukup untuk menyebabkan pergerakan cairan koklea.

Gerakan cairan di dalam perilimfe ditimbulkan oleh getaran jendela oval

mengikuti dua jalur yaitu (1) gelombang tekanan mendorong perilimfe pada

membrana vestibularis ke depan kemudian mengelilingi helikotrema menuju

membrana basilaris yang akan menyebabkan jendela bundar menonjol ke luar dan

ke dalam rongga telinga tengah untuk mengkompensasi peningkatan tekanan, dan

(2) dari skala vestibuli melalui membrana basilaris ke skala timpani. Perbedaan

kedua jalur ini adalah transmisi gelombang tekanan melalui melalui membrana

10
basilaris menyebabkan membran ini bergetar secara sinkron dengan gelombang

tekanan.3

Organ corti menumpang pada membrana basilaris, sehingga sel-sel rambut

juga bergerak naik turun sewaktu membrana basilaris bergetar. Rambut-rambut

tersebut akan membengkok ke depan dan ke belakang sewaktu membrana

basilaris menggeser posisinya pada membran tektorial sehingga menyebabkan

saluran-saluran ion gerbang-mekanis terbuka dan tertutup secara bergantian. Hal

ini mengakibatkan perubahan potensial berjenjang di reseptor, yang menimbulkan

perubahan potensial berjenjang di reseptor, sehingga terjadi perubahan

pembentukan potensial aksi yang merambat ke otak. Gelombang suara

diterjemahkan menjadi sinyal saraf yang dipersepsikan otak sebagai sensasi

suara.3

2.3 Definisi

Otitis media merupakan suatu kondisi adanya peradangan di telinga bagian

tengah, tuba eustachius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid. Otitis media terbagi

atas otitis media supuratif dan otitis media non supuratif. Otitis media non

supuratif juga disebut dengan otitis media serosa, otitis media sekretoria, otitis

media musinosa, otitis media efusi, otitis media mucoid/glue ear.4

Otitis media efusi adalah peradangan telinga tengah yang ditandai

akumulasi cairan atau sekret di telinga tengah dengan membran timpani masih

dalam keadaan utuh, tanpa disertai tanda atau gejala infeksi akut. Disebut otitis

media serosa apabila efusi yang timbul berbentuk encer, sedangkan disebut glue

ear apabila efusi yang muncul kental seperti lem.4

11
2.4 Epidemiologi
Dari data statistik menunjukkan 80-90% anak prasekolah pernah

menderita OME. Kasus OME berulang (OME rekuren) pun menunjukkan

prevalensi yang cukup tinggi terutama pada anak usia prasekolah, sekitar 2838%.

Dari beberapa kepustakaan insidens OME berbeda-beda dibeberapa tempat,

disimpulkan rata-rata 14-62%. Di Malaysia negara yang mempunyai iklim yang

sama dengan Indonesia, prevalensi OME pada anak prasekolah usia 5-6 tahun

sebesar 13,6%. Di Indonesia telah dilaporkan penelitian di Jakarta pada anak usia

4-12 tahun didapatkan prevalensi OME sebesar 23,71%.

2.5 Etiologi
Penyebab terjadinya otitis media efusi, yaitu:2

1. Kegagalan fungsi tuba Eustachius, yang dapat disebabkan oleh:

- Hiperplasia adenoid

- Rhinitis kronik dan sinusitis

- Tonsilitis kronik

Pada pembesaran tonsil akan menyebabkan obstruksi mekanik pada

pergerakan palatum molle dan menghalangi membukanya tuba

Eustachius.

- Tumor nasofaring yang jinak dan ganas.

Kondisi ini selalu menyebabkan timbulnya otitis media unilateral pada

orang dewasa.

12
- Defek palatum, misalnya celah pada palatum atau paralisis palatum.

2. Alergi inhalans atau ingestan

Hal ini biasanya sering terjadi pada anak-anak. Ini tidak hanya

menyebabkan tersumbatnya tuba Eustachius oleh karena udem tetapi juga

dapat mengarah kepada peningkatan produksi sekret pada mukosa telinga

tengah.

3. Otitis media yang belum sembuh sempurna

Terapi antibiotik yang tidak adekuat pada OMSA dapat menonaktifkan

infeksi tetapi tidak dapat menyembuhkan secara sempurna. Akan

menyisakan infeksi dengan grade yang rendah. Proses ini dapat

merangsang mukosa untuk menghasilkan cairan dalam jumlah banyak.

Jumlah sel goblet dan kelenjar mukus juga bertambah.

4. Infeksi virus

Berbagai virus seperti adeno virus dan rino virus pada saluran pernapasan

atas dapat menginvasi telinga tengah dan merangsang peningkatan

produksi sekret.

5. Idiopatik.

13
2.6 Klasifikasi

Pada dasarnya otitis media efusi terbagi menjadi 2, yaitu:1

a. Otitis media efusi akut

Merupakan keadaan terbentuknya sekret di telinga tengah secara tiba-tiba

yang disebabkan oleh gangguan fungsi tuba, disertai rasa nyeri pada

telinga. Keadaan ini dapat disebabkan oleh karena adanya sumbatan pada

tuba, infeksi virus, reaksi alergi, dan idiopatik.

b. Otitis media efusi kronik

Pada keadaan kronis, sekret yang terbentuk secara bertahap dan tanpa rasa

nyeri, dengan gejala-gejala pada telinga yang berlangsung lama. Otitis

media efusi kronik lebih sering terjadi pada anak-anak, sedangkan otitis

media efusi akut lebih sering terjadi pada dewasa. Sekret pada otitis media

efusi kronik dapat kental seperti lem, sehingga disebut dengan glue ear.

Otitis media efusi kronik dapat juga terjadi sebagai gejala sisa dari otitis

media akut (OMA) yang tidak sembuh sempurna. Penyebab lainnya

diperkirakan adanya infeksi virus, reaksi alergi, dan gangguan mekanis

pada tuba.

2.7 Patofisiologi

Otitis media dengan efusi (OME) dapat terjadi selama resolusi otitis media

akut (OMA) sekali peradangan akut telah teratasi. Di antara anak-anak yang telah

memiliki sebuah episode dari otitis media akut, sebanyak 45 % memiliki efusi

14
persisten setelah 1 bulan, tetapi jumlah ini menurun menjadi 10 % setelah 3

bulan.

Terdapat 3 fungsi utama tuba eustachius yaitu ventilasi untuk menjaga

agar tekanan udara antara telinga tengah dan telinga luar selalu sama,

pembersihan sekret dan sebagai proteksi pada telinga tengah. Gangguan fungsi

yang dapat disebabkan oleh sejumlah keadaan dari penyumbatan anatomi

peradangan sekunder terhadap alergi, infeksi saluran pernafasan atas (ISPA) atau

trauma. Jika gangguan fungsi tuba eustachius berlangsung terus-menerus,

tekanan negatif berkembang dalam telinga tengah dari penyerapan dan atau

penyebaran nitrogen serta oksigen ke dalam sel mukosa telinga tengah. Jika

berlangsung cukup lama dengan sejumlah besar yang sesuai, terjadi transudasi

dari mukosa akibat tekanan negatif yang menyebabkan terjadinya akumulasi

serosa dengan dasar efusi yang steril. Disebabkan gangguan fungsi dari tuba

eustachius, efusi menjadi media yang baik untuk perkembangbiakan

bakteri dan bisa mengakibatkan terjadinya otitis media akut.

Hampir keseluruhan otitis media efusi disebabkan gangguan fungsi tuba

eustachius. Apabila peradangan dan infeksi bakteri akut telah jelas, kegagalan dari

mekanisme pembersihan telinga tengah memungkinkan terjadinya efusi

pada telinga tengah. Banyak faktor yang telah terlibat dalam kegagalan dari

mekanisme pembersihan, termasuk gangguan fungsi siliar, edema mukosa,

hiperviskositas efusi, dan tekanan udara antar telinga tengah dan telinga luar yang

tidak baik.

15
2.8 Manifestasi klinik

Penderita OME jarang memberikan gejala sehingga pada anak-anak sering

terlambat diketahui. Gejala OME ditandai dengan rasa penuh dalam telinga,

terdengar bunyi berdengung yang hilang timbulatau terus menerus, gangguan

pendengaran dan rasa nyeri ringan. Dizziness juga dirasakan penderita OME.

Gejala kadang ebrsifat Asimtomatik sehingga adanya OME diketahui oleh orang

yang terdekat eperti orang tua atau guru.

Anak-anak dengan OME juga kadang-kadang sering terlihat menarik-narik

telinga mereka atau merasa seperti telinganya tersumbat. Pada kasus yang lanjut

sering ditemukan adanya gangguan bicara dan perkembangan berbahasa. Kadang

– kadang juga ditemui keadaan kesulitan dalam berkomunikasi dan

keterbelakangan dalam belajar.

2.9 Diagnosis

Ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik

a. Anamnesis:6

- Penurunan pendengaran; pada anak dapat ditemukan perkembangan

bicara yang terlambat atau masalah sikap. Pada Otitis Media Serosa

Kronik (Mukoid) penurunan pendengaran lebih berat (tuli konduktif

(40-45 dB)

- Rasa Tersumbat/penuh pada telinga

- Diplacusis binauralis (suara sendiri terdengar berbeda/ lebih nyaring

pada telinga yang sakit)

16
- Sensasi cairan yang bergerak dalam telinga saat perunahan posisi

kepala

- Otalgia minimal saat awal penyakit namun kemudian berangsur

menghilang.

- Tinnitus ringan: pasien mengeluh terkadang telinga berdenging

- Vertigo: pasien mengeluh seperti berputar

- Pusing

- Gangguan keseimbangan: pasien mengeluh seperti hampir jatuh

b. Pemeriksaan fisik

Untuk mendiagnosis OME pada pemeriksaan fisik perlu dilakukan

pemeriksaan otoskopi, timpanogram, audiogram, dan kadang tindakan

miringotomi untuk memastikan adanya cairan dalam telinga tengah.

Kepala dan Leher: kelainan kraniofasial, obstruksi nasal, hipertrofi

adenoid, tumor nasofaring.6

c. Otoskopi

Pemeriksaan otoskopi dilakukan untuk kodidi, warna, dan translusensi

membrane timpani. Macam-macam perubahan atau kelainan yang terjasi pada

membrane timpani dapat dilihat sebagaimana berikut:

- Membrana timpani yang suram dan berwarna kekuningan selain itu

letak segitiga reflex cahaya pada kuadran antero inferior memendek,

17
mungkin saja didapatkan pula peningkatan pembuluh darah kapiler

pada membrane timpani tersebut. Pada kasus dengan cairan mukoid

atau mukopurulen membrane timpani berwarna lebih muda (krem)

- Penebalan dan retraksi membrana dapat terlihat dengan pemendekan

gagang maleus dan lebih horizontal, membrane kelihatan cekung dan

reflex cahaya memendek. Warna mungkin akan berubah agak

kekuningan. penurunan mobilitas membran timpani.

- Atelektasis, membrane timpani dapat terlihat tipis, atrophy dan

mungkin menempel pada inkus, stapes dan promontorium, khususnya

pada kasus-kasus yang sudah lanjut, biasanya kasus yang seperti ini

karena sidfungsi tuba eustachius dan otitis media efusi yang sudah

berjalan lama.

- Membrana timpani dengan sikatrik, suram sampai retraksi berat

disertai bagian yang atropi didapatkan pada otitis media adesiva oleh

karena terjadi jaringan fibrosis ditelinga tengah sebagai akibat proses

peradangan sebelumnya yang berlangsung lama.

- Gambaran air fluid level atau bubles biasanya ditemukan pada OME

yang berisi cairan serus

- Jika kasus berat secret dapat berwarna keunguan hingga biru gelap

yang menandakan adanya perdarahan dalam kavum timpani

(hematotimpanum). Disebabkan oleh fraktur tulang temporal,

leukemia, tumor vaskuler telinga tengah. Sedangkan warna biru yang

lebih muda mungkin disebabkan oleh barotrauma

18
- Gambaran lain adalah ditemukan sikatrik dan bercak kalsifikasi. Pada

pemeriksaan otoskopi menunjukan kecurigaan OME apabila

ditemukan tanda-tanda: 6

a. Tidak didapatkan tanda-tanda radang akut.

b. Terdapat perubahan warna membrane timpani akibat refleksi dari

adanya cairan di dalam kavum timpani.

c. Membrane timpani tampak lebih menonjol.

d. Membrane timpani retraksi atau atelectasis.

e. Didapatkan air fluid levels atau buble.

f. Mobilitas membrane berkurang atau fiksasi.

d. Otoskop peumatik / otoskop Siegel

Otoskop pneumatic diperkenalkan pertama kali oleh Siegel, bentuknya

relative tidak berubah sejak pertama diperkenalkan pada tahun 1864. Pemeriksaan

otoskopi pneumatic selain bisa melihat jenis perforasi, jaringan patologi, dan

untuk membrane timpani yang masih utuh bisa juga silihat gerakannya (mobilitas)

dengan jalan memmberi tekanan positif maka membrane timpani akan bergerak

ke lateral. Pemeriksaan otoskopi peneumatik menrupakan standar fisik diagnosis

OME.6,7

19
e. Timpanometri

Adalah suatu alat untuk mengetahui kondisi dari system telinga tengah.

Pengukuran ini memberikan gambaran tentang mobilitas membrane timpani,

keadaan persendian tulang pendengaran, keadaan dalam telinga tengah termasuk

tekanan udara didalamnya, jadi berguna dalam mengetahui gangguan konduksi

dan fungsi tuba eustachius.

Grafik hasil pengukuran timpanometri atau timpanogram dapat untuk

mengetahui gambaran kelainan di telinga tengah. Meskipun ditemukan banyak

variasi bentuk timpanogram akan tetappi pada prinsipnya hanya ada tiga tipe,

yakni tipe A, tipe B, tipe C.

Pada penderita OME gambaran timpanogram yang sering didapati adalah

tipe B. Tipe B bentuknya relative datar, hal ini menunjukkan gerakan membrane

timpani terbatas karena adanya cairan atau perlekatan dalam kavum timpani.

Gravik yang sangat datar dapat terjadi akibat perforasi membrane timpani,

serumen yang banyak pada liang telinga luar atau kesalahan pada alat yaitu

saluran buntu. Pemeriksaan timpanometri dapat memperkirakan adanya cairan di

dalam kavum timpani yang lebih baik dibanding pemeriksaan otoskopi saja.

f. Audiogram

Pemeriksaan audiometric nada murni didapatkan nilai ambang tulang dan

udara. Gangguan pendengaran lebih sering ditemukan pada pasien OME dengan

cairan yang kental (glue ear). Meskipun demikian beberapa studi mengatakan

tidak ada perbedaan yang signifikan antara cairan serus dan kental terhadap

20
gangguan pendengaran, sedangkan volume cairan yang ditemukan didalam teinga

tengah lebih berpengaruh.

Pasien dengan OME ditemukan gangguan pendengaran dengan tuli

konduktif ringan sampai sedang sehingga tidak begitu berpengaruh dengan

kehidupan sehari-hari. Tuli bilateral persisten lebih dari 25dB dapat mengganggu

perkembangan intelektual dan kemampuan berbicara pada anak. Bila hal ini

dibiarkan bisa saja ketulian bertambah berat yang berakibat buruk bagi pasien.

Akibat buruk ini dapat berupa gangguan lokal pada telinga maupun gangguan

yang lebih umum, seperti gangguan perkembangan bahsa dan kemunduran dalm

pelajaran sekolah. Pasien dengan tuli konduksi yang lebih berat mungkin sudah

didapatkan fiksasi atau putusnya rantai osikel.

Garis pedoman OME yang disusun bersamam oleh AAFP, AAOHNS, dan

AAP menyatakan bahwa audiologi merupakan salah satu komponen pemeriksaan

pada OME. Pemeriksaan audiometric direkomendasikan pada pasien dengan

OME selama 3 bulan atau lebih, kelambatan berbahasa, gangguan belajar, atau

dicurigai terdapat penurunan pendengaran bermakna. Berdasarkan beberapa

penelitian, tuli konduktif sering berhubungan dengan OME dan berpengaruh pada

proses mendengar keedua telinga, lokalisasi suara, persepsi bicara dalam

kebisingan, penurunan pendengaran yang disebabkan OME akan menghalangi

kemampuan awal berbahasa yang didapat.

21
g. Radiologi

Berdaasarkan pemeriksaan radiologi foto mastoid dahulu efektif

digunakan untuk skrining OME, tetapi sekarang jarang dikerjakan. Anamnesis

riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik banyak membantu diagnosis penyakit ini.

CT Scan sangat sensitive dan tidak diperlukan untuk diagnosis. Meskipun

CT scan penting untuk menyingkirkan adanya komplikasi dari otitis media misal :

mastoiditis, thrombosis sinus sigmoid ataupun adanya kolesteatoma. Ct Scan

penting khususnya pada pasien dengan OME unilateral yang harus dipastikan

adanya massa di nasofaring telah disingkirkan.

2.10 Penatalaksanaan

Diagnosis dan pengobatan sedini mungkin memegang peranan penting.

Keberhasilan dari penatalaksanaan ditentukan dengan mencari faktor penyebab

dan mengatasinya guna mencegah akibat lanjut penyakit tersebut. Sumbatan tuba

dan infeksi saluran nafas atas yang kronis serta berulang merupakan salah satu

faktor penting yang diperhatikan.8

Namun penatalaksanaan OME sendiri masih mejadi perdebatan, ini

disebabkan oleh karena baik pengobatan yang bersifat konservatif maupun

tindakan operatif, masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan.

Pengobatan OME secara konservatif ada yang belum terbukti menyembuhkan

penderita dengan OME, namun pada pokoknya dapat mengurangi morbiditas

ketika terapi konservatif dianggap gagal atau tidak memuaskan.

22
Pengobatan pada OME meliputi pengobatan konservatif dan tindakan

operatif. Pengobatan konservatif secara local dan sistemik antara lain antibiotka

spectrum luas, antihistamin, dekongestan, dengan atau tanpa kortikosteroid.

Pengobatan dan kontrol terhadap alergi dapat mengurangi atau menyembuhkan

otitis media efusi.8,9

Beberapa penelitian terbaru menyarankan tatalaksana dengan :

a. Antibiotik:

- Amoksisilin : dosis standar 40-45 mg/kg/hari terbagi tiga kali sehari

per oral:

- Sefuroksim 30mg/kg/hari terbagi 2 kali sehari PO

>2 tahun : diberikan selama 5 hari.

<2 tahun, berikan selama 10 hari

- Klaritromisin 30mg/kg/hari terbagi 2 kali sehari selama 10 hari.

- Azitromisin 10mg/kg/hari PO pada hari pertama dilanjutkan

5mg/kg/hari PO selama 4 hari berikutnya.

- Kotrimoksazol dengan dosis trimethoprim 6-12mg/kg/hari terbagi 2

kalo sehari PO:

> 2tahun, diberikan selama 5 hari.

< 2 tahun, diberikan selama 10 hari.

b. Steroid topikal atau sistemik: sebagai stabilisasi fosfolipid unttuk

mencegah pembentukan asam arakhidonat dan mediator inflamasi

serta menurunkan ukuran jaringan limfoid peritubal sehingga

23
menurunkan sekresi surfaktan tuba kemudian viskositas cairan efusi

dalam tengah berkurang

Pengobatan secara operatif dilakukan pada kasus dimana setelah dilakukan

pengobatan konservatif selama 3 bulan tidak sembuh. Untuk memberikan hasil

yang baik terhdap drainase dilakukan miringotomi dan pemsangan pipa ventilasi.

Pipa ventilasi dipasang pada daerah kuadran antero inferior atau antero superior.

Pipa ventilasi akan dipertahankan hingga fungsi tuba ini paten. Penatalaksanaan

secaraoperatif ini meliputi miringotomi dengan atau tanpa pemasangan pipa

ventilasi dan adenoidektomi dengan atau tanpa tonsilektomi.8

Tujuan pemasangan pipa ventilasi adalah menghilangkan cairan pada

telinga tengah, mengatasi gangguan pendengaran yang terjadi, mencegah

kekambuhan, mencegah gangguan perkembangan kognitif, bicara bahasa, dan

psikososial.

Pemasangan Pipa Ventilasi, Adenoidektomi pada keadaan:

 OMA berulang yang tak berespon/ alergi terhadap antibiotic.

 Tekanan telinga tengah dengan kolesteatoma impending;

 Efusi telinga tengah kronik dengan tuli konduktif >15 dB atau tumor

nasofaring;

Dua macam pipa ventilasi: pipa jangka pendek (grommet) untuk 1 tahun

dan pipa jangka panjang (pipa T) untuk beberapa tahun. Komplikasi pipa ventilasi

berupa otorea dan kontaminasi.

24
Adenoidektomi bermanfaat sebagai tatalaksana tambahan pada

miringotomi karena hipertrofi adenoid selain sebagai sumber bakteri juga

menimbulkan oklusi.8,9

2.11 Komplikasi

Akibat lanjut OME dapat mengakibatkan hilangnya fungsi pendengaran

sehingga akan mempengaruhi perkembangan bicara dan intelektual. Perubahan

yang terjadi pada telinga tengah dapat mengakibatkan penyakit berlanjut menjadi

otitis media adesiva dan otitis media kronis maligna.9

25
BAB III

KESIMPULAN

OME sering terjadi pada bayi dan anak-anak sehinggacukup sulit dalam

melakukan diagnosis penyakitnya. Orang terdekat dan orang yang banyak

berinteraksi dengan anak tersebut akan menjadi informasi yang baik. Perhatian

orang tua dan guru sangat membantu untuk menegakkan diagnosis.

Etiologi dan Patofisiologi OME sangat multi factorial, saling menunjang dan

saling terkait. Pada bayi dan anak, status imunologi sangat penting untuk menjaga

daya tahan tubuh terhadap infeksi.

Anamnesis dan pemeriksaan fisik diperlukan dalam penegakkan diagnosis

OME. Penggunaan alat otoskopi pneumatic, timpanometri, audiometri untuk

pemeriksaan fisik sangat membantu untuk penegakkan diagnosis.

Pengobatan pada OME meliputi pengobatan konservatif dan tindakan

operatif. Pengobatan konservatif meliputi pemberian antibiotika, antihistamin,

dekongestan, dengan atau tanpa kortikosteroid. Penatalaksanaan secara operatif

meliputi miringotomi dengan atau tanpa pemasangan pipa ventilasi dan

adenoidektomi dengan atau tanpa tonsilektomi. Penatalaksaan yang cepat, tepat,

dan adekuat sangat berperan dalam menghambat terjadinya proses gangguan

pendengaran dan komplikasi lainnya.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Snow JB, Ballenger JJ. Ballenger’s otorhinolaryngology head and neck


surgery. 16th Ed. Ontario: BC Decker; 2008. p. 429-30.
2. Helmi. Komplikasi otitis media supuratif kronis dan mastoiditis. Dalam:
Soepardi EA, Iskandar N, Ed. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok
kepala leher. 7th Ed. Jakarta: FKUI, 2012.
3. Sherwood L. Fisiologi manusia: dari sel ke sistem. 6th Ed. Jakarta:
EGC;2009.
4. Gleeson M. Schott Brown’s otorhinolaryngology head and neck surgery.
7th Ed. London; 2008. p. 877-890.
5. Djaafar ZA. Kelainan telinga tengah. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N,
Ed. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala leher. Edisi kelima.
Jakarta: FKUI, 2001.
6. Irwan AG. Sugianto. Atlas bewarna teknik pemeriksaan kelainan telinga
hidung tenggorok. FK UNSRI. Penerbit buku kedokteran EGC
7. Megantara, Imam. 2008. Informasi Kesehatan THT: Otitis Media Efusi. [5
screens] Cited October 2016. Available from: http://www.perhati-kl.org/
8. Paparella MM, Adams GL, Levine SC. Penyakit telinga tengah dan
mastoid. Dalam: Effendi H, Santoso K, Ed. BOIES buku ajar penyakit THT. Edisi
6. Jakarta: EGC
9. Thrasher, Richard D. 2009. Middle Ear, Otitis Media With Effusion [10
screens] Cited October 2016. Available from:
http://www.emedicine.medscape.com/

27

Anda mungkin juga menyukai